Privilese dan Marjinalitas Persoalan dal

PRIVILESE DAN
MARJINALITAS:
Persoalan Dalam Penguasaan Sumber
Daya Alam Serta Konteks Kebijakannya

Grahat Nagara, Fakultas Ilmu Administrasi Universitas
Indonesia / Yayasan Auriga
23 November 2015

Potret umum (kutukan) sumber
daya alam Indonesia
Reklamasi yang berujung pada
komersialisasi pesisir, di 19 kawasan
pesisir, 14 ribu nelayan yang meliputi 18 ribu
nelayan terusir (Kiara).
Pencurian ikan terjadi secara masif.
kerugian negara akibat pencurian ikan
sebesar 3 ribu trilyun rupiah, akibat kapal
yang tidak tercatat, dan dokumen bodong.

Terjadi di semua jenis dan sektor

sumber daya alam

Ratusan lubang bekas tambang
Sepanjang 2011-2015, sudah 12 anak tewas di lubang
bekas tambang yang tidak ditutup, paling kecil berusia 5
tahun itu di Samarinda saja, di Kukar sejak 2009 sudah 4
anak dan 2 orang dewasa yang meninggal dunia karena
jatuh di lubang tambang (Johansyah, Jatam Kaltim).

71% wilayah Kota Samarinda untuk tambang
batubara

Ruang yang berisi prasyarat kehidupan warga yakni air, lahan dan pangan
warga semakin sempit, di samarinda saja ada 63 IUP yang mengkapling
50.742,76 hektar atau 71 % dari luas kota (Johansyah, Jatam Kaltim).

Tata pemerintahan berubah, persoalan
masih terjadi? Apa yang sebenarnya terjadi?

1997


2008

2015

Semuanya berubah sejak masa orde baru, namun tidak ada yang
berubah!

Setidaknya ada 4 (empat) genre yang sering disebut
menjadi pokok persoalan pengelolaan sumber daya
alam
• Masyarakat sebagai manusia entitas
hedonistik dan inferioritas warga
negara dunia ketiga.
• Homo homini lupus.
• Feudalisme, post-kolonialisme.
• Ketidaksesuaian teori-teori
administrasi dan pengelolaan
sumber daya alam serta bagaimana
negara harus menguasainya.

• Negara integralistik, birokrasi
Weberian.
• Conservationism versus
developmentalism, komodifikasi
SDA (timber primacy, dll).

“Kalau kami memiliki uang bermilyarmilyar untuk membayar sanksi, untuk
apa kami cari makan ke hutan?” –
Masyarakat Cigugur

• Lemahnya pemerintah sebagai institusi
sosial untuk melaksanakan fungsinya.
• Pemerintah memiliki punya segala
alat, tetapi tidak mampu menjadi
solusi. Kapasitas, konflik kepentingan,
dan formalistik.
• Persoalan lintas sektoral dan rumit.
• Persoalan kebijakan yang salah kaprah.
Tidak sesuai dengan kondisi dan
kebutuhan masyarakat.

• Privatisasi ruang publik, dan campur
tangan urusan privat.
• Distribusi pembangunan yang tidak
Sumber: Ditjen Planologi Kehutanan, Ditjen BUK dan Ditjen PHKA (2015) dalam Muhajir (2015).
merata.
Klaim kawasan hutan
Antar pemegang izin

200
150

133

Perambahan kawasan hutan
Pemerintah dengan pemerintah
159

Masyarakat dengan perusahaan
Perusahaan dengan pemerintah


100
50
0

47
12 6

6 5

Sumatera

2111
2
Jawa
0

4 11

18 7


1

Bali Nusa
0 T0enggara
0

25

9

29
11 2

Kalimantan

22

7

2 3


Sulawesi
0 0

5 5 3
Maluku
0 0 0

3 1

2 1
Papua
0 0

Salah satu yang tidak
berubah adalah
ketimpangan

• 43 ribu orang terkaya di Indonesia (1%),
menguasai 25% dari GDP (Winters,

2011).
• 25 taipan kuasai 31% sawit dengan luas
5 juta hektar lahan di Indonesia (TuK
Indonesia, 2015).
• 128 juta hektar kawasan hutan yang
tumpang tindih dengan 33 ribu desa,
dibebankan kepada konsesi
pengusahaan hutan skala besar seluas
45 juta hektar – hutan menjadi ruang
konflik (KLHK, 2014).
• 25% masyarakat pra sejahtera adalah
nelayan (BPS, 2011)

Proses penguasaan dan pengelolaan SDA
yang membangun marjinalitas dan privilese!
Marjinalitas
• Menanggung
eksternalitas.
• Alienasi dari sumber
daya yang menjadi

ruang hidup.

Pemutusan akses
terhadap sumber
daya alam yang
bersifat publik
(alienasi,
overkriminalisasi,
dll)

Privilese
Konsesi
untuk
mengakses
SDA

Produksi dan
pengolahan
hasil SDA


Rekapitalisas
i

• Terbatasnya akses
terhadap legal
security atas tenurial
hazzard, pasar
dan sumber daya Moral
yang tidak sehat,
alam.
konsentrasi
kekayaan

Eksternalitas tidak
masuk biaya
eksploitasi

• Mendapatkan porsi
terbesar dari rente
ekonomi terbesar.


Asimetri
informasi
Keuntungan
dari
pengusahaan
SDA

• Penguasaan struktur
ekonomi dan politik
(hukum) (too big to
fail).
• Konsentrasi kekayaan
melalui subsidi.

Siapa yang mendapat privilese dan
siapa yang menjadi marjinal?
• Perikanan. Pengesahan
rencana tata ruang
wilayah/zona perikanan tidak
terbuka kepada publik.
• Kehutanan. Perencanaan
hutan dilakukan tanpa
melibatkan masyarakat (PP
44/2004).
• Perikanan. Alokasi ruang
untuk reklamasi
menghalangi hak
masyarakat untuk
mengakses pesisir.
• Kehutanan. Akses hanya
untuk kebutuhan subsisten
dan di luar hutan lindung (UU
18/2013). Alokasi wilayah
kelola rakyat harus
berdasarkan mekanisme
perhutanan sosial, tanpa
pengakuan hak atas tanah.

Perencanaan
dan
penguasaan

• Lahan budidaya. Perubahan tata
ruang lebih banyak berdasarkan
masukan untuk usaha skala besar,
bukan didasarkan kebutuhan riil
masyarakat.
• Kehutanan. Administrasi perencanaan
hutan dianggap dilakukan hanya untuk
hutan negara, sehingga hasilnnya
hanya untuk dimanfaatkan pemegang
konsesi (Put. MK 35/2012).

Alokasi ruang
dan akses

• Perikanan. Kegiatan reklamasi tidak
hanya untuk perbaikan daerah pesisir
tetapi juga peralihan kuasa atas ruangruang pesisir.
• Kehutanan. Akses untuk pemegang
izin tanpa ada batasan luas dengan
waktu hingga 100 tahun, di dalam
seluruh kawasan hutan - dianggap
hutan negara (PP 44/2004, PP 6/2007
jo. PP 3/2008).

• Kehutanan. Tidak ada
kompensasi kepada
masyarakat atas lahan,
sumber penghidupan,
maupun potensi bencana
yang terjadi (Psl. 68 (4)
hanya menyebutkan ketika
hilangnya akses).

• Kehutanan. Pasar domestik
lebih banyak terkonsolidasi
untuk pulp. Kayu mahal
dijual untuk dijadikan pulp
dengan harga yang rendah.

Produksi dan
beban sosiallingkungannya

• Kehutanan. Penggantian atas
ekonomi hutan yang hilang hanya
terhadap nilai intrinsik kayu (UU
41/1999).
• Perikanan. Pengaturan formulasi
PNBP perikanan rentan untuk diakali
dengan memanipulasi data
sebenarnya tentang produktivitas
kapal (PP 19/2006).

• Kehutanan. Vertikal integrasi dari
hulu sampai ke hilir tanpa
pembatasan.

Tata niaga dan
rantai pasok

• Infrastruktur. Rencana
pembangunan infrastruktur
didasarkan pada alat-alat produksi
usaha skala besar (mis. MP3EI).

Swasta; 20%

Petani; 30%
Petani
Supir
Buruh
Swasta

Buruh; 30%

Pembagian
hasil dengan
negara

Supir; 20%

• Perikanan. Pembatasan
tata cara penangkapan,
tidak dikelola untuk
diarahkan pada kapal skala
besar terlebih dahulu.
• Kehutanan. Kriminalisasi
terhadap masyarakat yang
hidup di dalam hutan
kenyataannya tidak
memperhatikan
pengecualian subsisten (Psl.
4 UU 18/2013).

Pengendalian
dan dan
penegakan
hukum

• Perikanan. 1) Insentif untuk
membiarkan manipulasi data hasil
tangkapan ikan, karena pemerintah
hanya menilai PNBP berdasarkan
perkiraan pra penangkapan. 2)
Masuk ke dalam sektor yang dapat
dimintakan keringanan pajak (tax
allowance).
• Kehutanan. Manipulasi data
produksi kayu, pemerintah tidak
memiliki satu pun data pembanding
yang kredibel untuk memverifikasi
data produksi yang dihasilkan
pemegang konsesi (PP 6/2007 jo. PP
3/2008 dan PP 10/2010 jo. PP
60/2012).
• Kehutanan. Meskipun pasalnya
tersedia, pelanggaran pasal
perusakan hutan oleh pemegang
konsesi jarang diberlakukan (Psl. 50
ayat (2) UU 41/1999).

Bagaimana menjembatani
(level the playing field)
yang marjinal dengan
yang mendapat privilese?
• Bagaimana mendorong akses publik yang
lebih luas dan adil terhadap penguasaan
sumber daya alam (??)
• Bagaimana mendorong akuntabilitas dan
partisipasi publik yang lebih efektif (??)
• Bagaimana kebijakan nasional menyediakan
safeguard bagi masyarakat akibat dari
dorongan marjinalisasi oleh struktur ekonomi
lintas nasional (??)
• Posisi pembenahan kebijakan inisiatif
pemerintah, termasuk Gerakan Nasional
Penyelamatan Sumber Daya Alam (??)

terima kasih