Ubah Paradigma Agroindustri Sawit Menuju

UBAH PARADIGMA

AGROINDUSTRI SAWIT
MENUJU ENERGI

TERBARUKAN

SYUKRI M NUR & JUSRI JUSUF { Sangatta-Kutai Timur, Juni 2014 }

BIOENERGI UTAMA INDONESIA

02

UBAH PARADIGMA AGROINDUSTRI SAWIT
MENUJU KE ENERGI TERBARUKAN
{ Syukri M Nur dan Jusri Jusuf }

PENGANTAR
Agroindustri kelapa sawit di Indonesia telah memberikan banyak kontribusi pada ekonomi
negara. Wujudnya antara lain, perluasan kesempatan kerja dan berusaha bagi masyarakat
dan pengusaha, serta pemasukan devisa, penggerak ekonomi daerah dan pajak bagi

negara (Sipayung, 2012). Namun demikian, sawit masih harus berhadapan dengan isu-isu
perusakan lingkungan dan aspek sosial seperti akibat konversi hutan menjadi perkebunan,
pencemaran akibat limbah sawit yang tak terolah bahkan sampai pada perampasan lahan
petani oleh perusahaan perkebunan.
Penjelasan awal ini menunjukkan bagai agroindustri sawit bagai memiliki tiga ujung pisau,
satu sisi tajam pada peningkatan ekonomi, namun pada dua sisi lain masih tumpul pada
sisi lingkungan dan sosial. Kondisi “Tri Sula” ini perlu diperbaiki supaya ada keseimbangan
ketajaman mata pisau untuk
mencapai
keberlanjutan
agroindustri sawit Indonesia.
Alasannya,
keberlanjutan
itu hanya dapat tercapai
bukan saja pada kemampuan
menyeimbangkan kepentingan
ekonomi,lingkungan,
dan
sosial tetapi agroindustri sawit
juga harus mampu memenuhi

tercapainya target sebagai
penyedia
pangan,papan,dan
energi
(istilah
populernya
Food, Fiber, Fuel) seperti yang
dikonsepkan oleh National
Research Council, Amerika
Serikat (2010).

Gambar 1. Paradigma keberlanjutan sistem pertanian di abad 21,
NRC-USA (2010).

BIOENERGI UTAMA INDONESIA

Untuk mencapai target pemikiran tersebut, agroindustri kelapa sawit Indonesia harus
mampu mengubah paradigma pengelolaannya. Titik perubahan itu dimulai dari hanya
memproduksi CPO dan membiarkan limbah industrinya, ke arah pendayagunaan limbah
pabrik sawit menjadi produk bioenergi dan biokimia serta menjadi produsen listrik selama

proses produksi berlangsung.
Perubahan paradigma ini berarti bahwa agroindustri sawit harus mampu menggali sendiri
atau menyerap kemajuan teknologi terkini dalam menghadapi masalah lingkungan dan
sosial Perubahan paradigma ini akan melahirkan strategi pendayagunaan teknologi
dan sumberdaya manusia, pembukaan celah pasar dan peluncuran produk baru, serta
intensiikasi perkebunan sawit sebagai bahan baku energi dan pangan. Singkat kata,
perubahan paradigma itu menggiring masalah dan tantangan menjadi peluang bisnis baru
di bidang energi tanpa meninggalkan bisnis utama dibidang perkebunan sawit.
Artikel ini akan memaparkan perubahan paradigma agroindustri sawit disertai dengan pilihan
teknologi, estimasi kebutuhan modal investasi dan modal kerja, alternatif pembiayaan
investasi, potensi pasar, serta manfaat sosial dan lingkungan yang akan dicapai oleh
industri tersebut.

1. PENDAHULUAN
1.1
LUAS DAN PRODUKSI SAWIT INDONESIA
Berdasarkan data statistik Departemen Pertanian RI tahun 2013 yang disajikan pada
Gambar 2, rata-rata pertumbuhan luas lahan perkebunan kelapa sawit pada tahun 20092013 mencapai 4 %/tahun sedangkan produksinya mencapai 6 %/tahun. Pada tahun
2013, Indonesia telah memiliki lahan sawit seluas 9,1 juta hektar dengan produksi tandan
buah segar (TBS) sebanyak 24,4 juta ton.


03

04

BIOENERGI UTAMA INDONESIA

Gambar 2. Perkembangan luas lahan dan produksi TBS kelapa sawit Indonesia
tahun 2009-2013. (Data diolah dari Departemen Pertanian RI Tahun 2013).

Berdasarkan Data Statistik Pertanian 2013, hampir setiap pulau besar Indonesia telah
memiliki perkebunan sawit seperti yang disajikan pada Tabel 1, dimana pulau Sumatera
memiliki areal terluas yang mencapai hampir 6 juta hektar atau 65% dari luas perkebunan
di Indonesia, kemudian disusul pulau Kalimantan (31%), pulau Sulawesi 3%, dan Papua
(1%). Untuk pulau Jawa, perkebunan sawit yang tersedia merupakan perkebunan tua yang
bakal menghadapi persaingan kebutuhan lahan dengan sektor lain.
Tabel 1. Perkembangan luas lahan (hektar) di setiap pulau di Indonesia pada tahun
2009-2013.

BIOENERGI UTAMA INDONESIA


05

Gambar 3. Persentase luas lahan
kelapa sawit menurut pulau di
Indonesia tahun 2013. (Data diolah
dari Departemen RI, 2013).

1.2 Produksi Utama Agroindustri Sawit
Hingga saat ini, agroindustri kelapa sawit Indonesia yang memiliki luas areal 11 juta ha
lebih dengan 650 PKS hanya berorientasi pada produk minyak yaitu minyak mentah nabati
(crude palm oil, CPO) dan minyak biji sawit (Palm Kernel Oil, PKO). Sisanya, dalam bentuk
serat sawit (11-12%), cangkang sawit (5-7%), tandan kosong (20-23%), dan limbah cair
(POME) (50-60%) dari setiap tandan buah segar (TBS) yang diproses oleh pabrik kelapa
sawit (PKS). Lihat Gambar 4.

Gambar 4. Pemilahan komponen
tandan buah segar kelapa sawit
dari produk PKS (sumber: http://
aplikasi.ebtke.esdm.go.id/

biomass/index.php/geochart/
index)

06

BIOENERGI UTAMA INDONESIA

1.3 Masalah Baru adalah Limbah Sawit
Dengan menggunakan data Departemen Pertanian RI (2013) dan asumsi limbah yang
terjadi berdasarkan pada hasil penelitian Abdullah dan Sulaiman (2013) yang disajikan pada
Tabel 2, maka estimasi potensi limbah yang terdapat di industri perkebunan kelapa sawit
Indonesia akan terus bertambah setiap tahun seperti yang disajikan pada Tabel 3.
Tabel 2. Estimasi limbah sawit dari PKS

Tabel 3. Estimasi perkembangan limbah sawit dari PKS di Indonesia

Kondisi ini mengakibatkan limbah sawit menjadi barang yang tidak bernilai ekonomi dan
sosial serta menambah beban biaya operasional perusahaanperkebunan. Pada skala daerah
dan nasional, jika kondisi ini tidak dikelola dengan baik maka akan menimbulkan masalah
baru pada lingkungan dan sosial. Pada prespektif global, limbah sawit akan menimbulkan

isu sebagai sumber penyumbang gas rumah kaca karena potensi emisi gas metan (CH4).
2. Perubahan Paradigma
Perubahan paradima harus dilakukan untuk mengatasi permasalahan yang muncul dari
tumbuhnya industri pengolahan kelapa sawit di Indonesia. Langkah awal adalah mengenal
paradigma lama (Gambar 5) yang masih digunakan oleh perusahaan Sawit Indonesia,
kemudian langkah selanjutnya mengenal paradigma baru (Gambar 6). Ciri-ciri kedua
paradigma tersebut sebagai berikut:

BIOENERGI UTAMA INDONESIA

Paradigma Lama:
• Perusahaan sawit saat ini masih berorientasi pada produksi CPO untuk bahan Industri
pangan dan sedikit bioenergi (energi terbarukan).
• Sumber pendapatan perusahaan hanya berasal CPO, sedangkan pengeluaran terjadi
pada penyediaan solar untuk listrik bagi pabrik dan perumahan, serta operasional
lainnya.
• Biaya operasional akan bertambah jika akan dihadapkan pada persoalan mengatasi
limbah pabrik kelapa sawit, apalagi juga harus mendukung program sosial melalui
Corporate Social Responcibility (CSR).
• Pengembalian modal investasi akan butuh waktu lama, sekitar 7-9 tahun.

• Rentan pada isu lingkungan dan masalah sosial, akibat ada potensi bahan pencemaran
yang dihasilkan oleh pabrik kelapa sawit.

Gambar 5. Paradigma Lama agroindustri kelapa sawit.

07

0808

BIOENERGI UTAMA INDONESIA

Paradigma Baru:
• Berorientasi pada produksi Pangan-Papan-Energi (Food-Fiber-Fuel), dengan
konsekuensi perusahaan harus mengembangkan sayap bisnisnya ke energi khususnya
penjualan listrik dan produk bioenergi.
• Pendapatan dari multi produk (CPO, Pupuk, Bioenergi dan Listrik, serta bahan kimia).
• Menghindari penambahan beban biaya operasional akibat kebutuhan solar untuk listrik
bagi perumahan karyawan.
• Berorientasi pada peningkatan nilai ekonomi untuk energi berbasis agroindustri dengan
mendayagunakan teknologi dan ketersediaan pasar.

• Aplikasi konsep ini akan mengubah peran agroindustri sawit sebagai sentra penyediaan
listrik daerah.
• Pengembalian modal investasi akan singkat, kurang dari tiga tahun, dengan biaya
operasional yang kecil.
• Mengubah masalah menjadi solusi, bahkan memberikan nilai tambah ekonomi dan
sosial. Pada aspek ekonomi, limbah sawit diubah menjadi listrik dan produk bioenergi,
dan pupuk. Kemampuan konversi ini akan membuat persoalan limbah teratasi dengan
tuntas. Manfaat sosial yang mampu diberikan adalah membuka lapangan usaha baru
sebagai agen penjualan pupuk organik.

09

BIOENERGI UTAMA INDONESIA

09

Implikasi positif dari perubahan paradigma tersebut adalah bertambahnya komponen
pendapatan yang berasal dari penjualan listrik, penjualan produk bioenergi, penjualan pupuk
organik, dan CPO itu sendiri. Produk bioenergi ini diperlukan sebagai bahan baku energi di
industri peleburan logam atau untuk pembangkit listrik bagi negara-negara industri di Asia

seperti Korea Selatan, Jepang, dan Taiwan. Khusus untuk produksi listrik, perusahaan juga
akan mendapatkan manfaat sosial karena mendukung penyediaan listrik di daerah dan
nasional yang kondisinya semakin kritis (Gambar 7).

Gambar 7. Ragam produk
yang dihasilkan dari
agroindustri kelapa sawit

Jadi ada lima perbedaan penting antara paradigma lama dan paradigma baru untuk
agroindustri sawit Indonesia yang diringkas dan disajikan pada Gambar 8. Indikatornya
menggunakan produk yang dihasilkan, biaya operasional, pendapatan, dan tambahan
investasi.

Gambar 8. Ringkasan
perbedaan paradima
lama dan baru

10

BIOENERGI UTAMA INDONESIA


2.1 Pilihan Teknologi
Persyaratan dasar yang dibutuhkan dalam realisasi perubahan paradigma baru untuk
agroindustri sawit adalah kemampuan memilih dan beradaptasi dengan teknologi. Kendati
beragam teknologi telah digali oleh para peneliti di Indonesia dan manca negara, baik pada
skala laboratorium, model di lapangan, maupun teknologi yang sudah diterapkan pada
skala industri, namun tetap berpegang pada dua prinsip teknologi konversi biomassa yaitu
termokimia dan biokimia. Pada konversi termokimia, terdapat empat jenis proses yaitu
pembakaran, pirolisa, gasiikasi, dan pencairan. Sementara itu, pada konversi biokimia
tersedia tiga proses yaitu penghancuran, fermentasi, dan hidrolisa asam seperti yang
dijelaskan pada Gambar 9. Pemahaman mengenai jenis konversi ini akan memberikan
panduan bagi pengusaha mengenai pilihan teknologi dan target produk yang dihasilkan
yang mengantarkannya menjadi bisnis utama pengusaha tersebut.

Gambar 9. Pilihan prinsip teknologi konversi biomassa menjadi bioenergi

BIOENERGI UTAMA INDONESIA

11

Pilihan teknologi akan memberikan perbedaan produk bioenergi seperti yang dicontohkan
pada Gambar 10 dimana setiap teknologi akan menghasilkan produk yang berbeda. Pada
gambar tersebut, diambil contoh tandan buah kosong (empty fruit bunch, EFB) yang berbeda
nilai kalorinya jika diproses dengan torrefaction suhu 300oC. Perbedaan nilai kandungan
energi akan semakin besar jika dilakukan proses pirolisa lambat pada suhu 815oC.

Gambar 10.
Perbedaan nilai
kalori tandan kosong
jika diproses teknik
torrefaction dan
pirolisa lambat.

2.2 Adaptasi Teknologi
Bagi pelaku agroindustri kelapa sawit, ada dua pilihan untuk beradaptasi dengan teknologi
konversi biomassa menjadi bioenergi yaitu pola terpisah atau pola terpadu (Gambar 11).
Pada pola terpisah, sistem dan lokasi kerja pabrik kelapa sawit berbeda lokasi dan tidak
menyatu dengan sistem dan teknologi yang menghasilkan bioenergi dan listrik (power plant
dan bioenergy). Input dalam bentuk tandan buah segar (TBS) dari perkebunan sawit diolah
menjadi CPO dan menghasilkan (output) berupa limbah sawit. Output ini merupakan bahan
baku (input) bagi sistem power plant dan bioenergy untuk diolah menjadi beragam produk
bioenergi dan dalam proses produksinya juga menghasilkan listrik, baik untuk kebutuhan
sendiri di pabrik maupun untuk dijual ke PLN.

12

BIOENERGI UTAMA INDONESIA

Gambar 11. Pola terpisah dan pola terpadu untuk beradaptasi dengan teknologi konversi biomassa
menjadi bioenergi dan listrik.

Pada pilihan kedua yaitu pola terpadu, sistem kerja PKS langsung dipaduserasikan dengan
sistem dan teknologi untuk pembangkit listrik dan produksi bioenergi. Karena terpadu maka
lokasi untuk penempatan dua sistem itu harus sama dan saling mendukung. Sistem PKS
memberikan bahan baku berupa limbah kepada sistem power plant dan bioenergy untuk
diolah menjadi listrik dan produk bioenergi. Listrik yang dihasilkan dipakai lagi untuk sistem
produksi PKS untuk menghasilkan CPO dan produk bioenergi.
Pada pola pertama lebih eisien diterapkan pada PKS yang sudah beroperasi, sedangkan
pada pola kedua lebih tepat diterapkan pada PKS baru yang akan dibangun dan juga
memiliki rencana untuk menjadikan listrik dan produk bioenergi sebagai bidang bisnis baru.
Penentuan pilihan dari dua pola tersebut, akan dibantu melalui aplikasi model yang akan
menggambarkan sistem kerja dan hasil produksi dalam bentuk simulasi visual dan data
kuantitatif. Aplikasi ini telah banyak diterapkan oleh perusahaan bekerja sama dengan
perguruan tinggi. Piranti lunak yang umum digunakan Matlab dan Aspen Plus yang
mendekati proses sebenarnya dalam skala industri. Dalam proses pembangunan model

BIOENERGI UTAMA INDONESIA

tersebut, perusahaan juga sudah berarti membangun dan menjalankan sebagian fungsi
penelitian dan pengembangan (Research and Development, R & D). Tujuan penerapan
model sebelum realisasi proyek seperti ini adalah menambah keyakinan pengusaha dan
menurun potensi risiko yang mungkin terjadi. Titik persinggungan antara keyakinan yang
terus meningkat dengan risiko yang terendah merupakan titik awal bagi dimulainya bisnis/
industri ini. Dua hal tersebut diilustrasikan pada Gambar 7.

Gambar 12. Awal mulai bisnis pada titik persinggungan antara penurunan resiko bisnis
dengan bertambahnya keyakinan pengusaha pada sistem industri ini.

3. PRODUK BIOENERGI DAN LISTRIK
3.1 Produk Bioenergi
Produk yang dihasilkan dari sistem dan teknologi ini adalah biocoal dan juga dikenal dengan
nama lain seperti charcoal, terra preta, atau arang. Semuanya dihasilkan dari bahan baku
biomassa.
Pada Tabel 4 disajikan tiga contoh bahan baku yang berasal dari komponen limbah kelapa
sawit yaitu (1) tandan kosong (Empty Fruit Bunch, EFB), (2) cangkang sawit (Palm Kernel
Shell, PKS), dan (3) serat sawit (Palm Fiber, FB) kemudian dibandingkan dengan hasil tiga

13

BIOENERGI UTAMA INDONESIA

14

bahan baku tersebut jika diolah dengan sistem torrefaction pada suhu 300oC, dan melalui
pirolisa lambat pada suhu 815oC.
Table 4. Perbandingan nilai kalori dan unsur kimia lainnya pada bahan baku
dan produk bioenergi

Sumber: data diolah dari berbagai sumber:
1. https://www.ecn.nl/phyllis2/
2. Data from our products.
3. http://www.bayan.com.sg/index.php/coal-quality
4. Rezaiyan and Cheremisinoff (2005)

Produk biocoal juga memiliki kandungan energi lebih tinggi daripada dua contoh produk
batubara yang dijual oleh produsen batubara dari Indonesia, Gunung Bayan Group dan
Kaltim Prima Coal. Jika menggunakan biocoal dari cangkang sawit sebagai contoh, maka
nilainya lebih tinggi (1.140 kCal/kg) dari batubara dengan label Gunung Bayan 1 yang hanya
memiliki nilai kalori 7.000 kCal/kg.
Berdasarkan perbandingan data antara bahan baku komponen limbah sawit dengan produk
dari torrefaction dan pirolisa lambat, serta batubara berkalori tinggi yang tergolong sebagai
low-vilatile bituminous maka tampak perbedaan kandungan nilai energi (energy content)

BIOENERGI UTAMA INDONESIA

yang disajikan pada Gambar 14. Perbedaan ini disajikan dalam satuan kCal/kg yang umum
dikenal oleh publik atau pengusaha bidang pertambangan batubara, sedangkan satuan
MJ/kg digunakan dalam tulisan ilmiah karena merupakan Satuan Internasional (SI).

Gambar 13. Perbandingan data antara bahan baku komponen limbah sawit dengan produk dari torrefaction dan
pirolisa lambat, serta batubara berkalori tinggi yang tergolong sebagai low-vilatile bituminous.

3.2 Sistem Pembangkit Listrik
Sistem pembangkit listrik yang banyak dikembangkan di daratan Eropa ketika penulis
berkunjung pada tanggal 2-16 Juni 2014 di Jerman dan Swiss adalah pemanfaatan limbah
panas dan pendayagunaan gas hasil dari proses torrefaction, pyrolysis, thermolysis, atau
gasiikasi. Keempat proses itu juga dapat dilakukan pada sistem rotary kiln atau sistem
reaktor. Limbah panas yang terjadi disalurkan dikumpulkan pada steam generator untuk
menjalankan steam turbin. Demikian juga dengan gas yang terkumpul dalam sebuah tangki
gas akan disalurkan untuk pembakaran pada sistem gas burner atau juga digunakan pada
sistem steam turbine generator untuk menghasilkan listrik. Pada Gambar 14 disajikan
sistem reaktor yang dikembangkan oleh Jerman dalam mengolah biomassa menjadi
biochar, gas, dan tar.

15

BIOENERGI UTAMA INDONESIA

16

Penemu teknologi sistem reaktor (kiln) ini, Dr. Bernd
Schottdorf,menjelaskan bahwa sistem yang digunakan
adalah Gasiikasi Berkelanjutan
(continuous
gasiication). Produk utamanya adalah biocoal, gas
sintetis, serta limbah panas sebesar 300 kWheatyang
terjadi akan didayagunakan untuk membangkitkan
listrik selama proses karbonisasi. Limbah panas saja
dapat dikonversi menjadi 80 kWe.
Limbah panas tersebut dapat didaur ulang untuk
pengeringan, pendinginan, bahkan pembangkitan
listrik dengan menggunakan organic rankine cycle atau
panel parabolic.
Sumber utama bahan bakar untuk pembangkitan
listrik dari sistem Schottdorf Kiln ini berasal dari gas.
Kemudian dapat ditampung pada sebuah tangki gas
bertekanan, lalu dialirkan ke gas burner pada subsistem
steam turbine generator hingga menjadi listrik.

Gambar 13 Sistem kerja reaktor pengolah
biomassa menjadi gas dan biochar.

Jika reaktor ini dirangkai untuk pembangkit listrik akan menghasilkan skema dasar seperti
dua gambar (14 dan 15) berikut ini:

Gambar 14.
Skema dasar
untuk mengubah
biomassa menjadi
gas dengan sistem
Schottdorf Kiln.

BIOENERGI UTAMA INDONESIA

Gambar 15. Skema dasar untuk mengubah biomassa menjadi gas dengan sistem Schottdorf Kiln digabung
dengan steam generator dan steam turbine.

Aplikasi teknologi ini dapat berdaya guna dengan sistem modul dimana setiap modul
akan terdiri dari beberapa rektor yang menggunakan bahan baku yang sama jenis,
ukuran, kualitasnya. Untuk mencapai target optimum dalam produksi listrik masih lagi
mempertimbangkan kapasitas produksi gas dari setiap modul, kualitas dan kuantitas gas
untuk proses lanjutannya.
Berdasarkan kajian tim penulis, kemampuan produksi panas dan gas dari 120 reaktor akan
menghasilkan listrik 9,6 MWe. Kemampuan produksi listrik tersebut juga diimbangi secara
paralel produksi biocoal yang mencapai 84.000 ton/tahun.

17

BIOENERGI UTAMA INDONESIA

18

4. POTENSI PASAR
Berdasarkan pada informasi di media dan analisis kebutuhan energi, maka terdapat dua
target wilayah pemasaran produk bioenergi yaitu (1) untuk kebutuhan energi listrik nasional
dan (2) untuk ekspor ke Korea Selatan, Jepang, dan Eropa. Ragam penggunaanya masih
pada kebutuhan baku energi bagi pembangkit listrik bagi pemukiman dan industri. Skema
target pemasaran disajikan pada Gambar 14.
Target pemenuhan energi listrik nasional menjadi prioritas dari konsep ini karena Indonesia
mengalami krisis listrik. Prioritas itu juga menjadi alasan mendasar untuk menghindari
kesalahan pada pertambangan batubara yang diekspor ke negara lain, sementara negara
– daerah penghasil batubaranya sendiri – mengalami pemadaman bergilir.
Komponen pengguna energi listrik dalam negeri yang menjadi prioritas utama adalah
perumahan, industri kecil dan menengah, industri pengolahan pangan, serta fasilitas umum
dan perkantoran.

Gambar 16. Skema target pemasaran produk bioenergi

BIOENERGI UTAMA INDONESIA

4.1 Pasar Dalam Negeri
Ada tiga segmen pasar untuk terkait kebutuhan listrik di Indonesia yaitu: (1) kabupaten dan
kota sebanyak 547 daerah, terutama yang berada di luar pulau Jawa. (2) kawasan industri
sebanyak 61 lokasi, dan (3) perusahaan pengolah dan pemurnian logam/mineral sebanyak
66 unit usaha/lokasi.
Kebutuhan listrik bagi daerah (kabupaten dan kota) di luar pulau Jawa-Madura-Bali
merupakan kebutuhan yang sangat mendesak. Berdasarkan kondisi sosial dan ekonomi
daerah yang baru berkembang, maka kebutuhan listrik diperkirakan berkisar 3 – 10 MW
yang harus disediakan oleh PLN dan pihak swasta. Penyediaan listrik dari pembangkit
bahan bakar solar sudah tidak ekonomis lagi karena menambah beban negara dalam subsidi
listrik tersebut. Kebutuhan listrik pada daerah yang sudah berkembang ekonominya dengan
adanya industri akan semakin bertambah namun kemampuan suplai sangat terbatas.
Strategi terpenting dalam pembangunan pembangkit listrik dengan menggunakan bahan
adalah mendayagunakan posisi, kemampuan produksi limbah dari pabrik kelapa sawit
(PKS). Posisi geograis (PKS) yang berada di pedalaman dan jauh dari fasilitas listrik PLN,
harus dimanfaatkan untuk menjadi sumber listrik melalui aplikasi konsep ini. Kemampuan
ini harus terwujud karena sudah tersedia bahan baku berupa limbah, dan hasilnya adalah
listrik, pupuk, bicoal, dan komponen lainnya yang memberikan nilai tambah ekonomi bagi
perusahaan dan kesempatan berusaha bagi masyarakat.
Penyediaan listrik bagi 61 kawasan industri tersebar di 13 provinsi merupakan segmen
pasar menarik karena sudah terukur jumlah kebutuhannya, memiliki kemampuan beli, serta
mekanisme kerjasama dilandaskan pada hubungan bisnis. Pengelola atau pemilik kawasan
industri harus mampu menyediakan listrik supaya mampu barsaing dengan pengelola
kawasan industri lainnya.
Estimasi kebutuhan listrik bagi kawasan industri di Indonesia diperkirakan berkisar 50300 MW untuk mampu mendukung kinerja para tenan karena tersedia cukup listrik dalam
pengembangan usahanya. Total kebutuhan seluruh kawasan industri itu berkisar 3.05018.300 MW.
Kebutuhan listrik atau energi untuk pengolah bahan mineral seperti timah, emas, mangan,
dan nikel akan memaksa Indonesia untuk bekerja keras dalam penggalian sumber-sumber
energi nasional, baik yang menggunakan bahan bakar dari sumber tak terbarukan maupun
dari sumber terbarukan. Estimasi kebutuhan listrik setiap perusahaan peleburan mineral

19

20

BIOENERGI UTAMA INDONESIA

yang berkisar 50-150 MW akan menjadikan industri tersedikit terhambat bahkan terancam
tertutuk karena penyediaannya harus dilakukan secara swakelola dan bukan menjadi
tanggungjawab pemerintah. Gambar 15 menunjukkan segmen pasar, sedangkan gambar
16 adalah rincian kawasan Indonesia di Indonesia.

Gambar 17. Potensi pasar dari penyediaan listrik berbahan baku biomassa untuk kabupaten-kota di 33 provinsi ,
kawasan industri dan peleburan mineral

BIOENERGI UTAMA INDONESIA

Gambar 18. rincian kawasan industri di Indonesia

4.2 Pasar Internasional
Pasar internasional bionergi diutamakan pada negara-negara yang berada di utara posisi
geograis Indonesia seperti Singapura, Korea Selatan, Taiwan, Jepang, dan Cina. Negaranegara ini tergolong negara maju namun memerlukan energi yang banyak dalam memenuhi
kebutuhan penduduk dan industrinya, sementara sumber daya alam yang mampu memenuhi
kebutuhan energinya sangat terbatas.
Contoh kasus adalah Korea Selatan, yang membutuhkan bahan baku energi terbarukan
dalam jumlah setara 2.000.000 ton/tahun untuk memenuhi energi listrik tiga kota wilayah
tersebut. Seperti yang disajikan pada Gambar 19.

21

Gambar 19. Kebutuhan bahan baku bioenergi untuk tiga kota di Korea Selatan

5. TANTANGAN DAN DUKUNGAN
Ada dua komponen yang menjadi tantangan dalam dalam penerapan konsep ini. Pertama,
meyakinkan pihak Jerman dan pemilik teknologi konversi biomassa ini bahwa hak intelektual
mereka terlindungi dari segi hukum untuk penerapannya di Indonesia.
Kedua, pembiayaan proyek ini yang sering terkendala dengan minat pemegang modal
dan perbankan nasional yang masih dalam posisi historical data. Artinya mereka hanya
ingin investasi berdasarkan contoh pabrik yang sudah ada dan beroperasi di Indonesia.
Padahal, contoh aplikasi teknologi ini baru ada di daratan Eropa dan Amerika. Seharusnya,
analogi dalam logika dapat diterapkan untuk meyakinkan bahwa aplikasi teknologi ini dapat
diterapkan dan layak secara ekonomis.
Perbedaan aplikasi di Eropa dan Amerika hanyalah pada jenis bahan baku. Negara-negera
di benua itu menggunakan cacahan kayu dari limbah industrinya, sementara Indonesia
sebaiknya menggunakan limbah sawit dan limbah berbasis pertanian lainnya.

5.1 Pembiayaan
Dua hal terkait dengan pembiayaan yaitu: 1. Hitungan ekonomi dari konsep ini. 2. Mekanisme
kerjasama investasi.

Hitungan Ekonomi
Berdasarkan hitungan ekonomi dengan data estimasi biomassa sebanyak 20.000 m3/bulan,
dibutuhkan investasi Rp 460 Milyar. Sedangkan pendapatan berasal dari penjualan listrik
sebesar Rp 15,6 milyar/tahun yang digunakan untuk pabrik kelapa sawit. Hasil penjualan
listrik sebesar Rp 87.6 milyar/tahun. Pendapatan terbesar diperoleh dari penjualan biocoal
sebesar Rp 437.8 milyar/tahun. Jadi, total pendapatan per tahun Rp541 milyar.

Gambar 20. Rincian modal investasi dan sumber pendapatan.

Mekanisme kerjasama yang ditawarkan antara mitra investasi dengan mitra sawit seperti
pada Tabel 6 berikut ini.
Tabel 6. Mekanisme kerjasama mitra investasi dan mitra sawit

Pada prinsip kerjasama yang dirancang ini disesuaikan dengan kepakatan berdasarkan
kemampuan dan strategi bisnis masing-masing pihak. Pihak Pertama adalah mitra
investasi yang berasal dari perusahaan Indonesia dan didukung oleh perusahaan Jerman,
sedangkan pihak kedua berasal dari pemilik perkebunan sawit baik yang sudah memiliki
pabrik pengolahan kelapa sawit menjadi CPO atau yang belum.

5.2 Dukungan Pembiayaan
Pihak Perbankan Jerman memberikan dukungan pembiayaan anya dan khusus untuk
pembangunan pembangkit listrik berbasis energi terbarukan, dimana penggunaan biomassa
merupakan salah bagian didalamnya.
Perbankan Jerman memberikan plafon pinjaman sebesar 25 juta Euro untuk setiap proyek
dengan bunga 2 persen per tahun. Jangka waktu pinjaman tersebut adalah 10-20 tahun.
Plafon pinjaman dari perbankan Jerman itu cukup memenuhi kebutuhan modal investasi
dan modal kerja pembangunan pembangkit listrik dengan menggunakan teknologi ini.
5.3 Dukungan Riset dan Pengembangan
Penelitian dan pengembangan (Research and Development, R & D) adalah kunci dari
kemajuan negara-negara di Eropa seperti Jerman, Belanda, Inggris, Swiss, dan Austria.
Berkat R&D juga, inovasi berkembang pesat yang membawa pada perubahan dan
kemampuan daya adaptasi serta solusi pada kondisi energi pada saat ini.
Indonesia dapat meraih kondisi serupa di Eropa jika melakukan hal yang sama. Langkahlangkah R&D telah banyak dilakukan oleh LIPI, Universitas, dan Pusat Penelitian di bawah
Departemen Kementerian Teknis, serta beberapa lembaga penelitian dari perusahaan
swasta.

6. MANFAAT LINGKUNGAN, EKONOMI DAN SOSIAL
Tiga manfaat yang dapat dipetik dari penerapan konsep ini yaitu lingkungan, ekonomi, dan
sosial.
Manfaat Lingkungan:
n Mengurangi dampak pencemaran lingkungan karena mengubah limbah menjadi produk
bernilai tambah secara ekonomi.
n Industri Sawit mencapai target kriteria RSPO/ISPO dengan CEPAT dan EFISIEN.
Manfaat Ekonomi:
n Perluasan kesempatan kerja dan berusaha bagi masyarakat untuk mendistribusikan
produk bioenergi seperti pupuk organik, biocoal untuk peningkatan kesuburan tanah,
bio oil atau green oil.
Manfaat Sosial
n Masyarakat dan daerah memperoleh listrik untuk mendukung aktivitas kehidupannya.

BIOENERGI UTAMA INDONESIA

26

7. PUSTAKA
Abdullah, N and F. Sulaiman (2013). The Oil Palm
Wastes in Malaysia, Biomass Now - Sustainable Growth
and Use, Dr. Miodrag Darko Matovic (Ed.), ISBN:
978-953-51-1105-4, InTech, DOI: 10.5772/55302.
Available from: http://www.intechopen.com/books/
biomass-now-sustainable-growth-and-use/the-oilpalm-wastes-in-malaysia.
Rezaiyan, John, and Nicholas P. Cheremisinoff. 2005.
Gasiication technologies: a primer for engineers and
scientists. Boca Raton: Taylor & Francis.
Sipayung, T. 2012. Ekonomi Agribisnis Minyak Sawit.
Bogor, IPB Press. 205p.

Jusri Jusuf, Pria kelahiran
19 Desember ini merupakan
lulusan Berlin Institute of
Technology, Jerman hampir
25 tahun silam. Bahkan lebih
dari 15 tahun berdomisili
di Jerman dan Eropa untuk
belajar dan bekerja di
perusahaan terkemuka bidang
energi.
Saat ini dia mengembangkan
kerjasama teknologi dan
mekanisme pembiayaan
untuk pembangunan industri
energi antara Eropa dengan
Indonesia.
Kontak email:
jusri.jusuf@gmail.com

BIOENERGI UTAMA INDONESIA

M. Syukri Nur, lahir di Pare-Pare, 24 September 1966. Ia menyelesaikan pendidikan
dasar dan menengah di Samarinda. Lulus SMA Negeri 1 Samarinda pada tahun 1986
dan pada tahun yang sama di terima di Institut Pertanian Bogor (IPB) melalui undangan
PMDK (Penelusuran Minat dan Kemampuan) oleh Rektor IPB Prof. Dr. Ir. H. Andi
Hakim Nasution karena menjadi juara I Lomba Karya Ilmiah Remaja LIPI Bidang
Humaniora di tahun 1986.
Lulus dari program studi Agrometeorologi, IPB tahun 1991, kemudian bekerja di LKBN
Antara Biro Samarinda sebagai wartawan selama dua tahun. Akhir September 1993
melanjutkan S2 dan S3 hingga tahun 2003 di IPB dengan pengalaman studi di musim
panas, kegiatan penelitian dan pembentukan jaringan akademik di Swiss, Perancis,
Jerman, Jepang, dan Austria.
Penelitian tentang model perubahan iklim global di Institut Bioklimatologie, Universitas
Geottingen, Jerman selama 2 tahun lebih atas sponsor DAAD dan Proyek STORMA.
Penghargaan yang pernah diperoleh LIPI – UNESCO untuk PIAGAM MAB (Man and
Biosphere) tahun 2003 dan sejumlah beasiswa dari START Amerika Serikat, DAAD
Jerman, Yayasan Super Semar, Republika dan ICMI, serta KOMPAS selama menempuh
pendidikan di IPB.
ALAMAT LENGKAP:
Jl. Malabar Ujung No. 27
RT 04/03, Tegalmanggah,
Bogor 16144
Telp & FAX :
0251-835715,

Penulis pernah tercatat sebagai staf dosen di STIPER Kabupaten Kutai Timur dan Peneliti
bidang Agroindustri dan Teknologi Informasi di PT. VISIDATA RISET INDONESIA,
serta tahun 2006-2009 menjadi staf Ahli Bupati Kutai Timur bidang pengembangan
Agribisnis dan Agroindustri.

HP:
0811580150

Pada tahun 2011-2012, menjadi Wakil Ketua Tim Likuidator PT. Kutai Timur Energi dan
pernah menjabat sebagai Direktur HR&GA PT. Kutai Timur Energi. Saat ini menjadi
Direktur di PT. Kutai Mitra Energi Baru.

Email :
syukrimnur@gmail.com

Minat penulis adalah penelitian dan penulisan ilmiah untuk bidang kajian pertanian,
teknologi informasi dan lingkungan hidup, serta energi baru dan terbarukan.

27