Paradigma Keberislaman Radhar Panca Dahana : ditinjau dari bentuk berteologi di Indonesia

(1)

! " # #

! " # #

! " # #

! " # #

$ % &' ( & "" " $ & $ ' $ % &' ( & "" " $ & $ ' $ % &' ( & "" " $ & $ ' $ % &' ( & "" " $ & $ ' ) ' & # * $ ( " * ' && ( ) ' & # * $ ( " * ' && ( ) ' & # * $ ( " * ' && (

) ' & # * $ ( " * ' && ( %%%% ''''

+ (,- ,

+ (,- ,

+ (,- ,


(2)

Skripsi

Diajukan kepada Fakultas Ushuluddin dan Filsafat untuk memenuhi persyaratan meraih gelar Sarjana Theologi Islam (S.Th.I)

Oleh:

Arif Sugiharto

NIM: 0032118695

Di bawah Bimbingan Pembimbing,

Drs. Nanang Tahqiq, MA.

NIP. 150240753

JURUSAN PERBANDINGAN AGAMA FAKULTAS USHULUDDIN DAN FILSAFAT

UNIVERSITAS ISLAM NEGERI (UIN) SYARIF HIDAYATULLAH JAKARTA


(3)

PERSEMBAHAN

Skripsi ini penulis persembahkan untuk: Andriyani, Istriku,

Tanpa dia, penulis akan menjadi seseorang yang “tidak ada.” Ibu Siti Aminah, Mertuaku

Kedua orangtuaku

Saudara-saudara kandungku Seluruh keluargaku

Hikmah kehidupan ada di mana-mana, termasuk di dalam keluarga Radhar Panca Dahana,

Sebagai inspirator tangguh yang patut penulis tiru

Semua ummat manusia yang mencintai dan menghargai setiap perbedaan dan warna kehidupan


(4)

PENGESAHAN PANITIA UJIAN

Skripsi yang berjudul PARADIGMA KEBERISLAMAN RADHAR PANCA

DAHANA (DITINJAU DARI BENTUK BERTEOLOGI DI INDONESIA)

telah diujikan dalam sidang munaqasyah Fakultas Ushuluddin dan Filsafat Universitas Islam Negeri Syarif Hidayatullah Jakarta, pada Selasa, 17 Juni 2008. Skripsi ini telah diterima sebagai salah satu syarat untuk meraih gelar Sarjana Theologi Islam (S.Th.I) pada jurusan Perbandingan Agama.

Jakarta, 17 Juni 2008 Sidang Munaqasyah

Ketua Merangkap Anggota Sekretaris Merangkap Anggota

Drs. Masri Mansoer, MA Maulana, MA

NIP. 150244493 NIP. 150293221

Penguji I Penguji II

Dr. Hamid Nasuhi, MA Dra. Ida Rosyidah, MA

NIP. 150241817 NIP. 150242267

Pembimbing,

Drs. Nanang Tahqiq, MA


(5)

= a

= b

= t

= ts

= j

= h

= kh

= d

= dz

= r

= z

= s

= sy

= sh

= dl

= th

= zh

= ‘

= gh

= f

= q

= k

= l

= m


(6)

= n

= w

= h

= ’

= y

Untuk Madd dan Diftong

=

â

= aw

= û

= ay

= î


(7)

KATA PENGANTAR

Sembah dan sujud hamba kepada Allah SWT, Tuhan semesta alam, Tuhan seluruh ummat manusia yang mengatur alam ini dengan penuh cinta dan kasih. Dan penulis yakin atas cinta kasih-Nya, penulis dapat merampungkan tugas akhir skripsi ini. Salam penghormatan kepada manusia istimewa yang telah mengorbankan hidupnya untuk tegaknya nilai-nilai kemanusiaan di muka bumi ini, Nabi Muhammad SAW.

Ucapan terima kasih penulis haturkan kepada Bapak Dr. H. M Amin Nurdin, MA, selaku Dekan Fakultas Ushuluddin dan Filsafat Universitas Islam Negeri (UIN) Syarif Hidayatullah Jakarta, Ibu Dra. Ida Rosyidah, MA, selaku Ketua Jurusan Perbandingan Agama, Bapak Drs. Maulana, MA, selaku Sekretaris Jurusan Perbandingan Agama yang dengan baik hati telah memberikan semangat untuk menyelesaikan skrips ini. Dan seluruh dosen-dosen di Fakultas Ushuluddin dan Filsafat, khususnya di jurusan Perbandingan Agama yang telah mengajari penulis dengan penuh antusiasme sehingga penulis mampu melihat realitas kehidupan beragama dengan sesungguhnya.

Bapak Drs. Nanang Tahqiq, MA, selaku dosen pembimbing. Banyak pesan dan kesan positif serta penuh makna ketika penulis menjalani bimbingan dengan beliau. Beliau adalah figur yang sabar dan detail dalam melakukan bimbingan skripsi, sehingga mampu memberikan masukan yang sangat amat berharga bagi penulis.

Kepada seluruh staf Perpustakaan Utama dan Perpustakaan Fakulas Ushuluddin dan Filsafat UIN Syarif Hidayatullah Jakarta atas pelayanan yang baik. Juga penulis tidak lupa haturkan terima kasih kepada beberapa institusi yang telah menyediakan ‘waktunya’ untuk memberikan pinjaman bahan-bahan skripsi ini, seperti Soegeng Sarjadi Syndicate (SSS), terutama Mbak Miskola yang dengan ramah membantu penulis dalam mendapatkan dokumentasi siaran diskusi Radhar Panca Dahana. Kepada perpustakaan Freedom Institute, perpustakaan HB. Jassin, perpustakaan Wahid Institute dan perpustakaan Imam Jama.

Persembahan terbesar dan terima kasih tak terhingga untuk yang paling utama penulis haturkan kepada Andriyani, istri tercinta yang telah memberikan dukungan tanpa batas kepada penulis. Istri yang dengan tulus mengorbankan


(8)

apapun demi sang suami. Tidak lupa kepada Ibu mertua, Siti Aminah yang selalu memberikan nasihat-nasihat baik kepada kami. Juga kepada keluarga tercinta Papa dan Mamaku, Omah, Emak dan Saudara dan saudari kandungku atas semua dorongan dan doa.

Ucapan terima kasih terbesar juga penulis haturkan kepada Abang Radhar Panca Dahana dan keluarga yang telah bersedia meluangkan waktu untuk diwawancarai di tengah-tengah kesibukannya. Selain bahan-bahan skripsi yang diberikan, penulis juga mendapatkan banyak hal bermanfaat dari setiap obrolan dan diskusi dengan Abang Radhar. Bagi penulis, Abang Radhar memang seorang inspirator tangguh. Dua kata kunci yang akan selalu penulis ingat dari Abang Radhar: “independensi dan idealisme.”

Terima kasih juga kepada Komunitas Teater Syahid UIN Jakarta, yang penulis anggap sebagai keluarga kedua yang telah bersedia menampung segala kegelisahan penulis sebagai manusia muda dan mewujudkan kegelisahan itu dalam bentuk berkesenian yang mampu membuka potensi yang ada dalam diri penulis. Kita akan selalu mengingat: “Dan perjuangan adalah pelaksanaan kata-kata” (mengutip sajak Rendra). Dan marilah kita terus dan terus berkarya. Tidak lupa, penulis haturkan terima kasih kepada teman-teman pekerja seni di Ciputat atas pergaulan dan obrolan yang bermakna.

Terima kasih kepada Mas Klutuk yang kini menjabat redaktur politik di harian Nonstop dan rekan-rekan yang pernah berjuang bersama melawan

pemerintahan tiranik di negeri ini yang tergabung dalam komunitas pergerakan kampus, khususnya di Kesatuan Aksi Mahasiswa Jakarta (Kamjak) UIN Jakarta. “Hanya ada satu kata: LAWAN!” (mengutip sajak Wiji Tukul). Terima kasih atas dukungan semangatnya.

Terima kasih kepada ‘guru-guru’ dan rekan-rekan yang kini berkarya di CSRC (Centre for Study of Religion and Culture) UIN Syarif Hidayatullah Jakarta yang telah bersedia melibatkan penulis dalam berbagai kegiatan akademiknya, khususnya kepada Pak Chaider S. Buallim, Pak Irfan, Mas Ridwan, Ibu Karlina, Teh Sri. Dan juga kepada rekan-rekan SCRC lainnya, yang telah menerima penulis dengan kehangatan dan kebersamaan dalam setiap kegiatan


(9)

ilmiahnya. Pak Idris, Gus Sholah dan Mas Dlirin “ Saya tidak akan pernah melupakan keceriaan kita dalam bekerja.”

Terima kasih penulis haturkan juga kepada rekan-rekan wartawan dan para pekerja di Tabloid Gema Olahraga (GO), harian Indo Pos dan Tabloid Wanita Indonesia. Kebersamaan kita memang singkat, namun banyak petuah dan ilmu yang sangat bermanfaat bagi penulis dalam melanjutkan hidup ini. “Jangan lupa:

cover both side.”

Terima kasih selanjutnya adalah kepada Pondok Pesantren Tarbiyatul Falah di Cicurug, Sukabumi, Jawa Barat, tempat penulis menimba berbagai ilmu (agama dan kemasyarakatan) selama kurun waktu enam tahun. Dari sinilah awal penulis mengenal kehidupan sesungguhnya dan mengenal kasih sayang yang tulus dan murni dari orang-orang yang penulis anggap sebagai orang tua dan keluarga, yakni kepada Ajengan Asep Yusuf Afandi dan Ibu Idah, Ajengan Fauzi dan Ibu Euis, Pak Mumuh dan Ibu Anis serta seluruh keluarga besar pondok pesantren.

Tidak lupa kepada keluarga besar Pak Abbas dan Mamih, Mamah Nining, Mamah Martin dan Mamah Yayan yang telah berkenan rumah tinggalnya dijadikan tempat ’peristirahatan’ oleh para santri untuk melepas lelah setelah berjibaku dengan rutinitas pondok dan tentunya ’melepas’ kelaparan perut kami. Sampai kapanpun penulis tidak akan pernah lupa apa yang telah keluarga Pak Abbas berikan kepada kami dari mulai perhatian dan kasih sayang hingga hal-hal yang bersifat materiil. Dan terakhir kepada teman-teman di desa Sadammukti dan keluarganya, Ipang, Blank, Kaka dan Ade, yang telah menerima kehadiran penulis dengan kehangatan dan rasa persaudaraan yang kental. “Saya pasti akan selalu kembali.”

Guru spiritual Kang Ajuy dan keluarga yang telah memberikan bimbingan ruhani kepada penulis. Banyak petuah dari beliau yang kini penulis jadikan pegangan dalam mengarungi hidup ini. Dan tidak lupa kepada tiga punggawa perkumpulan spiritual Sukabumi, Asep Cepot, Bang Idris dan Dedet. “Ingat kita selalu bersama dan tidak akan pernah pecah.”

Juga kepada para sahabat yang akan selalu mewarnai kehidupan penulis, Mas Hafid Embek (guru), Ustadz Farid (editor), Aris (pengusaha), Nuril (mahasiwa), Amir Coleng (calon politisi) beserta keluarga, Edi Klenk (seniman),


(10)

Ainurahman (pekerja pers), teman-teman perkumpulan guru sufi di Depok, Anwar Cablak the best friend, teman-teman di komunitas Lombok, Lestari Sunyek, Riadi,

Akieb dan Oji Lalu, Fator dan seluruh rekan-rekan di jurusan Perbandingan Agama angkatan 2000.

Dan terakhir penulis berterima kasih adalah kepada orang-orang yang pernah menjalin persahabatan dengan penulis di berbagai komunitas dan wilayah pekerjaan yang tidak mungkin penulis sebutkan satu per satu karena adanya keterbatasan. Yang terpenting adalah persahabatan yang telah terjalin di antara kita tidak pernah terputus.

Ciputat, 2 Mei 2008 Penulis


(11)

DAFTAR ISI

KATA PENGANTAR... i

DAFTAR ISI ... v

PEDOMAN TRANSLITERASI ... vii

BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah ... 1

B. Pembatasan dan Perumusan Masalah... 10

C. Tujuan Penelitian ... 10

D. Studi Kepustakaan... 12

E. Metode Penelitian... 13

F. Sistematika Penulisan... 15

BAB II BENTUK BERTEOLOGI DI INDONESIA A. Pengertian Teologi secara Umum ... 16

B. Pengertian Teologi Islam di Indonesia ... 21

C. Sejarah Kemunculan Corak Berteologi di Indoneisa ... 22

D. Bentuk-Bentuk Berteologi di Indonesia ... 31

1. Teologi Tradisional ... 31

2. Teologi Rasional... 34

3. Teologi Neo-Modernisme... 37


(12)

BAB III BIOGRAFI RADHAR PANCA DAHANA

A. Riwayat Hidup... 45

B. Pergulatan Radhar Panca Dahana dalam Dunia Akademik... 49

C. Aktivitas Radhar Panca Dahana ... 51

D. Karya-karya Radhar Panca Dahana... 53

Bab IV PARADIGMA KEBERISLAMAN RADHAR PANCA DAHANA: PANDANGAN TENTANG TUHAN DAN MANUSIA A. Konsep Keberislaman Radhar Panca Dahana... 55

B. Pandangan Radhar Panca Dahana Tentang Tuhan... 63

1. Keesaan Tuhan ... 63

2. Tuhan dalam Tafsiran Angka ... 66

C. Pandangan Radhar Panca Dahana tentang Manusia... 69

1. Manusia sebagai Homo-Religius... 69

2. Manusia Semesta dalam Konteks Keberislaman... 72

BAB V PENUTUP A. Kesimpulan ... 77

B. Saran ... 79

DAFTAR PUSTAKA... 81


(13)

BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah

Sejak awal abad ke-20 pemahaman masyarakat Muslim Indonesia terhadap agamanya telah mengalami transformasi secara massif. Kebanyakan ummat Islam terutama sarjana Muslim terdidik Barat secara berani dan bertanggung jawab kembali menelaah dan mempertanyakan pemahaman dan keyakinan beragama yang mereka anut selama ini, yang dalam hal ini terkait dengan doktrinal Islam yang prinsipil, seperti tawhîd, Kitab Suci dan kenabian.1

Dalam produk pemahaman yang baru masyarakat Muslim terdidik Barat itu tidak mau asal menerima dan menggunakan dogma-dogma agama tradisional (konservatif) tanpa proses penelahaan kritis. Dan telaah kritis mereka dilakukan dengan menggerakkan berbagai disiplin keilmuan (multidisipliner) secara komprehensif. Penelahaan kritis tersebut dilakukan sebagai penegasan bahwa tidak ada pertentangan antara keyakinan agama yang dianut dengan proses kehidupan yang tengah mereka jalani di era modern.2 Sehingga ummat Islam dapat dengan leluasa mengembangkan potensi yang ada dalam dirinya yang bisa berdampak kepada kemajuan bangsa dalam berbagai bidang kehidupan.

Gagasan-gagasan pembaharuan yang disuarakan oleh sarjana keislaman itu, secara perlahan-lahan mengikis hegemoni dan dominasi pemahaman tradisional atas keyakinan agama yang pada umumnya bersandar kepada pendapat aliran dalam madzhab fiqh ditambah sikap taqlid buta atas setiap fatwa-fatwa

1Baca Prof Howard M Federspiel dalam Kata Pengantar pada buku, Fauzan Saleh,

Teologi Pembaharuan: Pergeseran Wacana Islam Sunni di Indonesia Abad XX, (Jakarta: Serambi Ilmu Semesta: 2004), h. 5-9.

2Azyumardi Azra,

Konteks Berteologi Islam di Indonesia: Pengalaman Islam, (Jakarta: Paramadina, 1999), h. 7.


(14)

yang disuarakan oleh para agamawan. Paradigma kebanyakan individu Muslim yang terpenjara oleh pemahaman-pemahaman tradisional seperti itu dinilai sebagai pemicu utama kemunduran yang dialami ummat Islam Indonesia.3

Dari persoalan kebuntuan dan kemunduran yang dialami ummat Islam Indonesia yang kemudian memunculkan usaha-usaha pembaharuan dalam bidang teologis sebagai persoalan dasar yang tidak bisa dipisahkan dari kehidupan masyarakat Muslim Indonesia, lahirlah beragam corak atau bentuk-bentuk berteologi (Islam) di Indonesia.

Kemunculan beragam corak atau bentuk berteologi di Indonesia tersebut adalah sebagai respon atas situasi dan kondisi kebekuan dan kemunduran yang dialami ummat Islam dalam banyak bidang antara lain ekonomi, sains dan teknologi, politik dan kebudayaan. Namun demikian, kelahiran teologi-teologi yang dianggap sebagai pembaharuan itu tidak otomatis menghilangkan corak teologi tradisional-klasik (Asy‘ariyyah) atau dalam istilah kontemporer

dinamakan dengan teologi formalis-normatif-tradisional.4 Sebagian besar masyarakat Muslim Indonesia hingga sekarang masih banyak menganut aliran teologi tersebut.

Bentuk teologi pembaharuan di Indonesia pada umumnya didasari atau dipengaruhi oleh dua teologi besar, yaitu teologi rasional yang diusung oleh Harun Nasution dan teologi neo-modernisme yang disuarakan oleh Nurcholish Madjid (Cak Nur).5 Kendati demikian, ada juga corak teologi yang selama ini

3Moeslim Abdurrahman,

Islam Transformatif, (Jakarta: Pustaka Firdaus, 1997), cet. 3., h. 62-65.

4Fachry Ali dan Bachtiar Effendi,

Merambah Jalan Baru Islam: Rekonstruksi Pemikiran Islam Indonesia Masa Orde Baru, (Bandung: Mizan, 1986), h. 48-49.

5Fauzan Saleh,


(15)

kurang terdengar, namun memiliki pengaruh besar secara diam-diam yakni teologi kultural yang salah satunya digerakkan oleh Abdurahman Wahid (Gusdur).6

Lebih menarik lagi, dalam fenomena masyarakat Muslim kekinian, pemikiran tentang pembaharuan teologis yang berkembang di Indonesia tidak hanya terpusat dan diramaikan oleh mereka yang disebut sebagai pemikir-pemikir arus utama (mainstream), yang dalam kategori ini adalah para sarjana Muslim

didikan Barat yang dulu pernah mengecap pendidikan tradisional Islam (pesantren atau madrasah yang mengajarkan bahasa Arab, fiqh, ‘ulûm al-Qur’ân dan ‘ulûm al-Hadîst) atau mereka yang pernah hidup di seputar lingkungan dan kalangan

pesantren, melainkan juga oleh mereka kalangan masyarakat perkotaan, sekular-rasional dan tidak terdidik dalam ilmu-ilmu Islam tradisional7 (sarjana Muslim sekular). Dengan demikian mereka diyakini tidak begitu menguasai ilmu-ilmu tradisional Islam. Oleh William Liddle, individu-individu tersebut diberi nama

6

Penamaan berbagai corak teologi Islam di Indonesia sangat beragam sekali tetapi setiap satu istilah tidak begitu ketat dan mengikat, dan terkadang dipertukarkan maka penamaan istilah tersebut tidak baku atau mutlak. Dalam berbagai literatur dapat ditemukan istilah dari bentuk-bentuk teologi, antara lain teologi transformatif, teologi rasional, teologi pembangunan, teologi kultural dan teologi substansialis. Untuk mengetahui istilah dari bentuk-bentuk teologi, baca antara lain buku Teologi Pembangunan, ed. M. Masyhur Amin (Yogyakarta: LKPSM NU, 1989), Jalan Baru Islam: Memetakan Paradigma Mutakhir Islam Indonesia, ed. Mark R Woodward, terj. Yuliani Lipoto (Bandung: Mizan, 1998) Azyumardi Azra Konteks Berteologi Islam di Indonesia: Pengalaman Islam (Jakarta: Paramadina, 1999) dan buku Greg Barton, Gagasan Islam Liberal: Pemikiran Neo-modernisme Nurcholish Madjid, Djohan Effendi, Ahmad Wahib, dan Abdurrahman Wahid, terj. Nanang Tahqiq (Jakarta: Paramadina, 1999). Dalam penulisan ini penulis hanya akan menggunakan beberapa bentuk teologi yang banyak mendominasi atau berpengaruh dan telah banyak dikaji oleh kalangan akademisi, yaitu teologi tradisional, teologi rasional, teologi neo-modernisme dan teologi substansialis.

7Islam di Indonesia dianut oleh dua lapisan struktur masyarakat, yaitu masyarakat

pedesaan yang dikenal dengan rakyat jelata dan orang-orang yang berpendidikan tinggi, yang berada pada posisi sosial-ekomoni yang lebih baik. Baca: Fachry Ali dan Bachtiar Effendi, Merambah Jalan Baru Islam: Rekontruksi Pemikiran Islam Indonesia Masa Orde Baru (Bandung: Mizan, 1986), h. 39-40. Menurut penulis, pemahaman atas kedua lapisan masyarakat terhadap agama tidak sama. Masyarakat pedesaan (tradisional) pada umumnya masih menganut sistem hierarkis keagamaan di mana mereka sangat loyal terhadap para pemuka agamanya. Sedangkan masyarakat perkotaan dan terdidik lebih independen dalam metode memahami agamanya.


(16)

dengan sebutan Islam substansialis.8 Sedangkan bila menggunakan kerangka teori Azyumardi Azra, kelompok ini bisa dikategorikan sebagai Muslim subaltern9.

Kebanyakan mereka adalah individu-individu yang menggeluti satu bidang tertentu, misalnya politik, kesenian, sastra, ekonomi, lembaga swadaya masyarakat dan lain sebagainya. Mereka tidak mau bidang-bidang tersebut tergerus hancur oleh sebab persoalan doktrinal Islam (teologis).

Para Muslim substansialis subaltern ini meyakini persoalan teologis dalam

Islam yang pada umumnya masih bersandar kepada paradigma tradisional-normatif dan dianggap dapat membuntukan ruang gerak atau bidang yang mereka geluti (politik, ekonomi, seni dan budaya) di mana di ruang atau bidang itulah mereka bisa mencurahkan segala potensi kemanusiaan yang telah diberikan Tuhan. Namun di sisi lain mereka juga cenderung menolak para pemikir arus utama yang beraliran moderat-liberal (sarjana Islam berpendidikan Barat), karena mereka dianggap belum mampu menyentuh akar persoalan yang dihadapi oleh golongan Muslim subaltern ini terkait dengan bidang yang mereka geluti.

Untuk mencegah terjadinya kemunduran dan pereduksian makna terhadap bidang-bidang yang mereka geluti, tidak sedikit yang kemudian para individu

8Kelompok substansialis tidak terpaut dengan warna-warni kelompok sektarian

keislaman, seperti Muhammadiyah, Sunnî dan non-Sunnî. Berbeda dengan kelompok pemikir arus utama yang memiliki keahlian dalam ilmu-ilmu tradisionalis dan modern sekaligus, yang terdidik klasik dan dipengaruhi pendidikan pesantren tradisional yang kental, kelompok substansialis tidak memiliki latarbelakang pendidikan tradisional keislaman, seperti pesantren, baca Greg Barton, Gagasan Islam Liberal: Pemikiran Neomodernisme Nurcholish Madjid, Djohan Effendi, Abdurrahman Wahidan dan Ahmad Wahib, terj. Nanang Tahqiq (Jakarta, Paramadina, 1999), h. 34-35. Tentang kelompok substansialis secara lebih dalam akan dibahas pada bab 2.

9Berasal dari kata Latin subalternus. Sub berarti di bawah dan altern berarti yang lain.

Dalam perkembangannya teori-teori tentang subaltern memunculkan sejumlah literatur historis tentang pengalaman orang-orang yang termarjinalkan, yang dalam konteks ini oleh pemikiran yang menjadi mainstream (ulama, cendekiawan Islam dan lain sebagainya), baca Azyumardi Azra, "Komunitas Tersisih: Perspektif Subaltern," Gatra 6 Desember 2003, h. 8, Dawam Rahardjo, “Aliran Khawarij dan Teologi Sempalan,” dalam M. Masyhur Amin, ed., Teologi Pembaharuan: Paradigma Baru Pemikiran Islam, (Yogyakarta: LKPSM NU, 1989), h. 105-113 dan Hasbullah Mursyid, “Aliran Khawarij dan Splinter Group,” dalam M. Masyhur Amin, ed. Teologi Pembaharuan, h. 114-132.


(17)

tersebut melakukan usaha-usaha yang antara lain mengeluarkan gagasan-gagasan personal-alternatif keislaman yang lebih kontekstual sebagai landasan berpijak mereka dalam menjalankan aktivitas mereka. Tidak seperti kebanyakan pemikir arus utama yang menggunakan metode kombinasi modern-tradisional dalam memahami dan menafsir Islam, mereka para Muslim substansialis subaltern

memahami Islam dengan metode empiris ditambah dengan menggunakan latarbelakang keilmuan yang sekular.10

Dari konteks inilah besar keinginan penulis untuk menempatkan paradigma keberislaman Radhar Panca Dahana (selanjutnya disingkat RPD) dalam objek kajian keislaman di mana penulis akan menempatkan RPD sebagai Muslim subaltern11 yang memiliki cara pandang alternatif keislaman, dalam hal

10Kasus seperti ini terjadi di Indonesia di mana HB Jassin, seorang sastrawan Indonesia,

yang hanya memiliki latar belakang pendidikan sekular (kesusasteraan) di Barat (Belanda dan Amerika) mampu menelurkan sebuah karya yang dianggap monumental, yaitu Al-Qur`an Bacaan Mulia (ABM) sebagai karya terjemahan dan Al-Qur’ân Berwajah Puisi (ABP) sebagai penemuan model penyusunan mushhaf al-Qur`ân. Dalam penerjemahan ABM, Jassin hanya mempelajari bahasa Arab ketika mengajar sekaligus menjadi Mahasiswa di Fakultas Sastra Universitas Indonesia, baca Abdul Hafid, “Estetika Puitis al-Qur`ân: Studi Analisis tentang Dua Metode HB. Jassin Memahami al-Qur`ân,” Skripsi (Jakarta: Jurusan Tafsir Hadis Fakultas Ushuluddin dan Filsafat Universitas Islam Negeri Syarif Hidayatullah: 2005), h. 3. Alasan Jassin melahirkan karya ABM dan ABP adalah, antara lain, karena terjemahan al-Qur’ân yang ada sekarang cenderung ditulis dalam bahasa prosa yang lebih mengutamakan kandungannya saja yang pada akhirnya cenderung kaku, baca Abdul Hafidh, “Estetika Puitis al-Qur’ân: Studi Analisis tentang Dua Metode HB Jassin Memahami al-Qur`an,” h. 3

11Peta pemikiran Islam di Indonesia tidak selalu monolitik dan tunggal, dalam arti hanya

didominasi oleh kalangan sarjana keislaman atau para agamawan yang kemudian menjadi arus utama pemikiran dalam Islam. Dalam realitasnya ditemukan beragam corak pemikiran dari orang-orang atau kelompok yang tidak menggunakan metode normatif-tradisional (Hadîst, ‘ulûm al-Qur’ân, ‘ulûm al-Hadîst, fiqh dan lain sebagainya) dalam memahami Islam (al-Qur’ân) sebagai agama yang dianutnya. Melainkan dengan, misalnya, ijtihâd personal yang bukan tidak sering dipengaruhi konteks sosio-historis dan kultural tertentu, baca Azyumardi Azra, "Komunitas Tersisih,” Gatra 6 Desember 2003, h. 8-9. Penulis dalam konteks ini menempatkan RPD sebagai kategori Muslim subaltern atau dengan kata lain Muslim yang pemikirannya tidak menjadi arus utama (mainstream) dalam wilayah kajian doktrinal Islam atau juga dikategorikan sebagai Muslim pinggiran, baca Azyumardi Azra, "Komunitas Tersisih” Gatra 6 Desember 2003, h. 8-9. Bahwa selama ini yang bisa menjadi arus utama pemikiran dalam keilmuan Islam adalah pandangan mereka yang menguasai bahan dasar Islam yaitu bahasa Arab, serta mendalami ilmu-ilmu keislaman secara formal dan berkesinambungan. Sedangkan mereka, yang tergolong masyarakat tidak berpendidikan Islam tradisional, tetapi berpendidikan sekular (Barat) dianggap sebagai Muslim pinggiran (termarjinalkan) yang pemikiran dan pemahaman keagamaan mereka dipandang telah menyimpang dan sesat serta tidak layak untuk dimunculkan sebagai objek penelitian untuk


(18)

ini adalah tentang Tuhan dan manusia, dan ditinjau dari bentuk berteologi di Indonesia, untuk mengetahui bentuk berteologi macam apa pemikiran yang digagas RPD tersebut.

RPD adalah seorang pemikir,12 yang berlatarbelakang sebagai seorang sastrawan,13 dan seniman14 Muslim yang pernah mengenyam pendidikan Barat.15 Sesuai dengan latarbelakangnya, sebagai seorang sastrawan, seniman kemudian ditambah sekolah di jurusan sosiologi di Barat, banyak hal yang disorot RPD studi keislaman. Padahal bukan tidak mungkin kritik konstruktif atas pemahaman agama yang telah mapan bisa muncul dari pandangan mereka. Selain itu, wacana keilmuan sekular yang digunakan RPD dalam memahami agama (Islam) setidaknya bisa memberikan pandangan dan saluran alternatif bagi seorang Muslim dalam merespon dan memperlakukan peradaban modern demi sebuah kemajuan Islam. Dengan mengkaji paradigma keberislaman RPD sebagai Muslim subaltern, skrispsi ini bisa

dikatakan sebagai bagian dari subaltern studies yang mengekplorasi dan mengetengahkan tema keagamaan dari seseorang tokoh yang memiliki pemahaman splinter (orang yang berbeda dengan pemikiran arus utama)

atas agama yang dianutnya. Penulis melihat bahwa selama ini arus utama dalam diskursus keilmuan Islam menjadi terpusat, terhegemoni dan terkontrol oleh agamawan dan intelektual Islam yang notabene berasal dari kalangan pesantren dan perguruan tinggi Islam. Padahal fenomena masyarakat Muslim menunjukkan bahwa selama ini banyak orang yang menafsirkan dogma agamanya (al-Qur’ân) tidak dengan menggunakan metode normatif-tradisional, melainkan juga dengan merujuk kepada hasil pemikiran pemikir-pemikir agama yang telah ada dan atau menggunakan disiplin keilmuan sekular (antropologi, sosiologi, seni, budaya dan lain-lain) yang dimilikinya. Oleh karenanya “Islam sebagai sebuah realitas historis, sosiologis dan kultural tidak pernah tunggal dan monolitik.” Penulis tidak menggunakan teori Clifford Geertz, untuk memetakan RPD masuk ke dalam kelompok Muslim Abangan dan tidak juga sebagai Muslim sekular. Karena teori Abangan sudah tidak tepat untuk mengklasifikasikan masyarakat Jawa dalam golongan agama, karena klasifikasi tersebut tidak bersumber pada satu sistem klasifikasi yang sama. Parsudi Suparlan yang dikutip oleh Abuddin Nata menegaskan, “Abangan dan Santri adalah penggolongan yang dibuat menurut tingkat ketaatan mereka

menjalankan ibadah agama Islam, sedangkan Priyai adalah suatu penggolongan sosial,” baca Abuddin Nata, Peta Keragaman Pemikiran Islam di Indonesia (Jakarta: Raja Grafindo Pustaka, 2001), h. 183-184. Selain

itu, istilah Abangan cenderung denotatif yang isinya merendahkan derajat bagi mereka yang tidak taat dalam

menjalankan ibadah, baca Abuddin Nata, Peta Keragaman Pemikiran Islam Indonesia, h. 184. Dalam hal ini RPD adalah Muslim taat beribadah, tetapi tidak terdidik dalam ilmu-ilmu Islam tradisional. Sedangkan, kenapa penulis tidak menggunakan Muslim sekular adalah untuk menghindari anggapan bahwa RPD adalah orang menutup diri dari agama serta menafikan perannya dalam kehidupan ini. RPD tetap berpandangan bahwa fungsi dan peran sangat vital dalam kehidupan agama, meskipun hanya sebatas peran spiritualisme, baca RadharPanca Dahana, “Keragaman yang Teperdaya,” Gatra 13 Oktober 2007, h.106.

12Fokus terbesar dalam hidupnya adalah antara lain dicurahkan untuk bidang pemikiran. Ada tiga

bidang yang menjadi sorotan RPD, yaitu sosio-kultural (dalam hal ini termasuk agama), kesenian dan sastra. Penulis dalam hal ini hanya akan mengelompokan dan memfokuskan kepada pemikiran RPD dalam bidang keagamaan (Islam) yang meliputi pandangannya tentang Tuhan dan manusia.

13Sebagai sastrawan RPD banyak menelurkan karya-karya dalam bentuk cerpen, puisi dan prosa

yang tema-temanya sangat aktual dengan situasi kekinian dan problema yang dialami manusia modern. Kumpulan puisinya yang berjudul Lalu Batu dan Lalu Waktu dinilai oleh berbagai kalangan penikmat sastra

sebagai karya fenomenal. RPD juga telah menulis sebuah buku sastra dengan judul Kebenaran dan Dusta dalam Sastra (Yogyakarta: Lkis, 2004).

14RPD juga seorang pekerja seni. Sejak duduk di SMP RPD telah menggeluti dunia seni teater di

berbagai paguyuban teater baik sebagai pemain, penulis naskah dan sutradara. Pementasan teater yang ia bawakan selalu aktual dengan persoalan-persoalan yang dihadapi manusia modern, seperti tema pencaharian identitas individu di tengah dunia yang materialis dan modern.

15Ia adalah seorang sarjana strata dua (S-2) jurusan Sosiologi lulusan EHESS (Ecole des hautes

ettuedes en Sciences) Prancis. Dalam jurusan sosiologi yang dijalani ini ia juga mengkaji agama, tentu dengan menggunakan pendekatan yang bukan normatif-tradisional.


(19)

dalam pemikiran, namun dalam skripsi ini penulis hanya akan menggali pemikiran RPD yang termuat dalam karya-karya tulisannya dalam bidang keagamaan (Islam) dengan fokus menggali pandangannya seputar Tuhan dan manusia.

RPD memiliki ciri khas dalam melahirkan gagasan-gagasan dalam bidang keagamaan. Meskipun ia memiliki latar belakang pendidikan Barat, ia tidak otomatis berpihak kepada paradigma Barat, yang menurut RPD terlalu mengeliminir metabolisme spiritual yang ada di dalam jiwa manusia, dalam menilai agama.

Dalam masalah keyakinan dan paham keagamaan, bagi RPD, setiap manusia tidak boleh terikat dan bergantung pada suatu monopoli dan otoritas kebenaran ilmu pengetahun, peradaban dan dogma-dogma agama yang menghegemonik sebagai pilihan hidup,16 lebih-lebih mengikuti satu paham dan keyakinan seseorang, yang dilihatnya sebagai suatu hasil penafsiran atau interpretasi terhadap segala sesuatu. Setiap Muslim, bagi RPD harus mampu dan berhak menafsir sekaligus membentuk keyakinan Islamnya dan tauhidnya masing-masing sesuai dengan kapasitas intelektual, psikologis dan mental.

Dalam konteks agama Islam di Indonesia, RPD berusaha mengubah wacana hegemoni paradigmatik intelektual global yang telah masuk dan membentuk nalar kritis intelektual Muslim Indonesia, yakni dengan cara melakukan perubahan paradigmatik-ideologis.17

Usaha-usaha dasar untuk melakukan perubahan paradigmatik-ideologis yang ditawarkan oleh RPD antara lain adalah dengan mengubah cara pandang

16Wawancara penulis dengan RPD pada tanggal 11 November 2007 pukul 19.00-22.00

WIB di kediaman RPD di perumahan Villa Pamulang, Tangerang, Banten.

17 Radhar Panca Dahana,

Jejak Postmodernisme: Pergulatan Kaum Intelektual Indonesia, (Yogyakarta: PT Bintang Pustaka, 2004), cet. I., h. viii.


(20)

(persepsi) individu-individu Muslim terhadap dogma agama (fatwa atau tafsir agamawan atau ulama). Bagi sebagian masyarakat Muslim apa yang berasal dari tafsiran seorang agamawan atau ulama adalah sesuatu yang juga dianggap berasal dari Tuhan yang absolut dan maha sempurna.

Sedangkan menurut RPD dogma agama (Islam) yang berasal dari agamawan dan ulama tersebut adalah ajaran yang belum tentu murni berasal dari Tuhan, bisa saja tafsiran atas dogma itu adalah kesepakatan antara manusia dengan manusia maupun manusia dengan budaya lokalnya yang berlangsung ketika dogma itu dirumuskan.18 Dalam kasus Islam ditemukan seorang ulama berijtihad dalam menentukan sebuah hukum fiqh, tidak terlepas dari pengalaman

empiris ulama tersebut terhadap realitas sosial-kultural-geografis yang ada di sekitarnya.19

Dogma yang ilahiah menurut RPD adalah dogma yang tidak menutup potensi kemanusiaan yang dimiliki oleh manusia itu sendiri, tetapi sebaliknya justru akan memberikan ruang sebesar dan seluas mungkin bagi tiap manusia untuk mengoptimalkan peran yang sudah difitrahkan kepada manusia.20

Antara lain atas dasar hal-hal di atas, RPD berpandangan bahwa ajaran-ajaran Tuhan dalam setiap agama sebenarnya adalah ajaran-ajaran kemanusiaan. Dalam artian, keterlibatan manusia di dalam hukum-hukum Tuhan dalam hal memahami dan menafsir adalah sebuah keniscayaan. Ini tercermin dari konsep Tuhan dalam

18“Radhar Panca Dahana: ‘Semua Orang Merindukan Tuhan, Tapi…’”

http://islamlib.com/id/index.php?page=article7id=944 diakses pada 10 Agustus 2007.

19Dengan perbedaan budaya yang dihadapi oleh para imam madzhab

fiqh, serta mempertimbangkan faktor sosial budaya, maka ditemukan perbedaan-perbedaan bentuk hukum yang ada pada mereka, meski itu dalam satu kasus. Bahkan seorang imam bisa berubah istilah atau metode yang dipakai dalam menentukan produk hukum tatkala ia pindah dari satu daerah ke daerah lain. Baca, Azyumardi azra, Konteks Berteologi di Indonesia: Pengalaman Islam, cet. I., h. 12.

20“Radhar Panca Dahana: ‘Semua Orang Merindukan Tuhan, Tapi…’”


(21)

Islam yang menurut RPD diwakili oleh 99 atau yang biasa disebut asmâ’ al-husnâ. Kenapa 99? Karena Islam bukan dan tidak akan menjadi agama yang telah

mencapai kesempurnaan tanpa adanya keterlibatan manusia di dalamnya. Dalam tafsiran RPD, angka 99 bukanlah angka yang belum mencapai sempurna, ia harus disempurnakan dengan kehadiran angka satu yang tak lain dan tak bukan adalah manusia. Berbeda dengan konsep ketuhanan pada agama Kristen yang telah berkeyakinan bahwa konsep ajaran ketuhanan mereka telah sempurna dan tidak perlu dilakukan intepretasi oleh manusia. Hal ini terlihat dari bentuk salib yang menurut tafsiran RPD merupakan bentuk lain dari huruf Romawi, X (10) yang

artinya Xristos atau sempurna.21

Dalam pandangannya tentang manusia, RPD menilai bahwa manusia dalam pergumulannya dengan peradaban modern kian terseret keluar dari pusat lingkaran eksistensi mereka sendiri. Di sinilah kemudian problem eksistensial mencuat kembali: “bagaimana seorang individu, kelompok, bangsa atau warga dunia menjelaskan dirinya sendiri”22

Problem eksistensial itu akan melahirkan kerinduan manusia untuk mengembalikan kesadarannya kepada bentuknya yang paling amat purba: yaitu mencari dan mendekati Tuhan yang merupakan kodrat pertama manusia. Dalam penjelasannya yang lebih lanjut, RPD menyimpulkan bahwa sebenarnya sudah menjadi kodrat bahwa sebenarnya manusia adalah homo-religius.

Dari penjelasan-penjelasan tersebut penulis ingin menguraikan satu bentuk penulisan tentang paradigma keberislaman RPD yang dalam hal ini mengkaji pandangannya tentang Tuhan dan manusia yang ditinjau dari bentuk berteologi

21Radhar Panca Dahana, “2008”

Gatra 7 Januari 2008, h. 106

22Radhar Panca Dahana,


(22)

Islam di Indonesia ke dalam satu penulisan skripsi dengan judul Paradigma Keberislaman Radhar Panca Dahana (Ditinjau dari Bentuk Berteologi di Indonesia).

B. Pembatasan dan Perumusan Masalah

Keberislaman RPD adalah hal masih sangat umum sekali. Untuk itu penulis membatasi pembahasan masalah hanya pada seputar pandangan RPD tentang Tuhan dalam Islam dan manusia. Untuk menyamakan variabel penelitian dengan paradigma keberislaman RPD, dalam pembahasan bentuk berteologi pun penulis hanya akan membahas seputar pandangan Tuhan dan manusia menurut masing-masing aliran teologi tersebut.

Adapun rumusan masalah yang akan dijawab dalam penulisan skrispsi ini adalah isi pandangan RPD tentang Tuhan dan manusia serta mencari bentuk paradigma keberislaman RPD yang ditinjau dari konteks berteologi di Indonesia.

C. Tujuan penulisan

Ada beberapa tujuan dari penulisan karya ilmiah ini. Pertama memperkenalkan isi pemahaman keberislaman RPD dalam hal ini yang terkait dengan kajian tentang Tuhan dan manusia. RPD tergolong sebagai Muslim

subaltern atau dengan kata lain Muslim yang pemikirannya tidak menjadi arus

utama (mainstream) dalam wilayah kajian doktrinal Islam atau juga bisa

dikategorikan sebagai Muslim ‘pinggiran.’

Penulis melihat bahwa selama ini arus utama dalam diskursus keilmuan Islam menjadi terpusat, terhegemoni dan terkontrol oleh agamawan dan


(23)

intelektual Islam yang notabene berasal dari kalangan terdidik dalam ilmu-ilmu Islam tradisional. Padahal fenomena masyarakat Muslim menunjukkan bahwa selama ini banyak orang yang menafsirkan dogma agamanya tidak dengan menggunakan metode normatif-tradisional, melainkan juga dengan merujuk kepada metode non-tradisional (antropologi, sosiologi, seni, budaya dan lain-lain) dan atau merujuk kepada hasil pemikiran para pemuka ataupun pemikir-pemikir agama (baik yang dianggap menyimpang maupun yang tidak). Oleh karenanya “Islam sebagai sebuah realitas historis, sosiologis dan kultural tidak pernah tunggal dan monolitik.”23

Untuk itu yang kedua penulis bermaksud memperkaya diskursus keilmuan Islam dengan mengkaji pemikiran orang-orang, dalam hal ini RPD, yang selama ini menjadi margin of history dalam kajian keislaman. Dalam hal ini penulis

berharap, para sarjana Islam tidak hanya terpaku untuk meneliti para tokoh-tokoh Muslim yang menjadi arus utama pemikiran Islam, tetapi juga meneliti orang-orang yang selama ini dianggap sebagai Muslim pinggiran yang memiliki pemahaman splinter atas Islam, dengan catatan ia telah memiliki karya-karya

tertulis untuk, setidaknya, menjadi petunjuk atas bentuk paham keagamaan yang ia anut. Karena dalam realitas historis, sosiologis dan kultural, Islam tidak akan pernah menjadi tunggal dan monolitik.

Sisi positif yang bisa diharapkan dari meneliti para Muslim subaltern

adalah munculnya kritik konstruktif dan solusif atas kebuntuan pemahaman akan agama (Islam), dalam ruang lingkup dan bidang tertentu, dalam rangka merespon dan memperlakukan peradaban mutakhir ini.

23 Azyumardi Azra, “Komunitas Tersisih”


(24)

Dan bukan tidak mungkin bahwa fenomena paradigma keberislaman yang digagas RPD ini mewakili pandangan sejumlah orang yang beridentitas Muslim dengan kemiripan latarbelakang sosio-kultural.

Ketiga, tidak ada pemikiran yang terlahir secara sempurna dan terklaim sebagai kebenaran tunggal. Dalam konteks RPD, apa yang dilahirkannya tentu memiliki kekurangan dan kelebihan, untuk itu apa yang dituangkan RPD dalam penulisan karya ilmiah ini seyogyanya dapat dikaji secara lebih kritis dan proporsional dengan menggunakan berbagai sudut pandang.

D. Studi Kepustakaan

Memperkenalkan bentuk paradigma keberislaman RPD sebagai Muslim

substansialis subaltern yang memfokuskan pemikirannya tentang Tuhan dan

manusia sebagai homo-religius yang ditinjau dari bentuk berteologi di Indonesia dalam bentuk penulisan karya skripsi adalah hal baru dan belum pernah ada sebelumnya. Walalupun demikian, bentuk pemahaman dan gagasan RPD tentang agama secara umum dan singkat bisa dibaca dalam wawancara RPD dengan

Jaringan Islam Liberal (JIL) pada situs

http://islamlib.com/id/index.php?page=article7id=944 dengan judul “Radhar Panca Dahana: ‘Semua Orang Merindukan Tuhan, Tapi….’” Dalam wawancara tersebut, RPD menjelaskan tentang definisi agama secara fenomenologis-historis, Tuhan dan dogma serta semiotika.

Selain itu, gagasan keberagamaan RPD juga tertuang dalam wawancaranya dengan koran Jurnal Nasional edisi 013, Miggu IV-April 2007


(25)

tentang makna hidup, dalam wawancara itu RPD juga menguraikan tentang Tuhan.

Sekalipun berbeda dari tulisan-tulisan tersebut, penulisan skripsi ini adalah bentuk pendalaman dan perluasan dari isi gagasan dan pemahaman keberislaman RPD yang memfokuskan kepada pandangan RPD tentang Tuhan dan manusia.

E. Metode Penelitian

Karya penulisan skripsi ini menggunakan dua metodologi penelitian, yaitu metode pengumpulan data dan metode pembahasan. Untuk metode pertama, penulis mengumpulkan data-data, literatur dan rujukan melalui studi kepustakaan

(library research) dan studi lapangan (field research) dengan mewawancarai nara

sumber secara langsung. Data-data dalam skripsi ini terbagai dua, yakni, data primer yang mengulas tentang pengertian, sejarah kemunculan dan bentuk teologi di Indonesia dan tulisan-tulisan RPD yang terdapat di dalam buku Inikah Kita: Mozaik Manusia Indonesia, Menjadi Manusia Indonesia, dan yang terdapat di

dalam majalah Gatra24dengan judul “Keberagaman yang Teperdaya” dan “2008.”

Selanjutnya dari data-data primer tersebut, penulis akan memilah dan memilih pembahasan yang mengulas tentang Tuhan dan manusia.

Penulis menyadari bahwa data-data primer yang ada di dalam buku maupun majalah tersebut belum mencukupi untuk menjelaskan pandangannya seputar Tuhan dan manusia dalam penulisan karya ilmiah ini. Untuk lebih menegaskan lagi tentang pandangan-pandangan RPD, maka penulis harus mengambil data-data yang ada di dalam wawancara RPD dengan berbagai media


(26)

cetak maupun internet. Pertama wawancara RPD dengan Burhanuddin dari Jaringan Islam Liberal di situs www.islamlib.com dengan judul “Semua Orang

Merindukan Tuhan, Tapi….” Kedua wawancara RPD dengan koran Jurnal Nasional25 dengan judul “Pergulatan Hidup Radhar Panca Dahana,” ketiga

wawancara RPD dengan majalah Alkisah26 dengan judul “Radhar Panca Dahana:

‘Saya adalah Karyawan Allah’,” dan terakhir wawancara khusus penulis dengan RPD27

Sedangkan untuk data sekunder penulis menggunakan rujukan pendukung yang bersumber dari buku dan tulisan lain yang termuat dalam jurnal, majalah, koran sebagainya. Selain itu, data sekunder dari tulisan-tulisan lain baik yang berasal dari dalam maupun luar negeri yang masih terkait dengan pembahasan tetap akan penulis gunakan dalam pembahasan ini.

Setelah data-data yang diperlukan dianggap lengkap, penulis melakukan pembahasan dengan cara deskriptif-analitis-personal, yaitu menjelaskan, menguraikan dan memaparkan masalah beserta aspek pentingnya dengan menggunakan nalar penulis. Untuk lebih memperdalam analisis, penulis menggunakan pendekatan hermeneutik, yang terbagi dalam dua metode. Pertama, hermeneutika kecurigaaan (interpretation as excercise of suspention) atau

penafsiran sebagai latiahan kecurigaan. Kedua, penafsiran sebagai upaya untuk mencari kembali makna (interpretation as recollection of meaning).

25

Jurnal Nasional edisi 0131 Minggu, IV April 2007.

26

Alkisah No. 4 / 1-14 September 2003.

27Wawancara yang langsung terfokus kepada bahasan pokok skripsi dilakukan pada dua

kali pertemuan. Pertama pada tanggal 11 November 2007, wawancara ini khusus membahas tentang pandangan RPD tentang Tuhan dan manusia serta agama secara umum. Wawancara kedua pada tanggal 25 November 2008 yang mengetengahkan sejarah singkat RPD sebagai seorang Muslim, yang bergelut di dunia seni teater, sastra dan penulisan.


(27)

Adapun untuk teknik penulisan karya ilmiah ini, penulis merujuk pada buku pedoman penulisan skripsi, tesis dan disertasi yang disusun oleh tim penyusun dari Fakultas Ushuluddin dan Filsafat, Universitas Islam Negeri Syarif Hidayatullah Jakarta tahun 2006 ditambah arahan dari pembimbing untuk melengkapi pedoman Fakultas Ushuluddin dan Filsafat.

F. Sistematika Penulisan

Untuk lebih memudahkan pembahasan, skripsi ini disusun sesuai dengan alur pembahasan yang komprehensif dan sistematis yang bersandar kepada bab-bab dan sistematika penulisan yang dapat dilihat di dalam daftar isi.


(28)

BAB II

BENTUK BERTEOLOGI DI INDONESIA

A. Pengertian Teologi secara Umum

Istilah teologi28 di dunia Islam lebih dikenal dengan ‘ilm al-kalâm,29 yang

secara harfiah adalah pembicaraan yang membahas kredo Muslim yang sangat prinsip seperti ketauhidan, kenabian dan eskatologis.30 Menurut Ahmad Hanafi penggunaan istilah ‘ilm al-kalâm adalah untuk membahas kredo dasar Islam,

karena pertama, persoalan terpenting yang menjadi fokus pembahasan adalah firman Tuhan (kalâm Allah). Kedua dasar ‘ilm al-kalâm adalah dalil-dalil pikiran

yang dijelaskan melalui pembicaraan-pembicaraan, dan ketiga untuk membedakan antara logika dalam filsafat.31

Sedikit berbeda dengan Ahmad Hanafi, menurut Harun Nasution, teologi adalah ajaran-ajaran dasar dari sesuatu agama. Dalam istilah Arab teologi memiliki banyak sebutan, yakni ushûl al-dîn (ilmu yang mempelajari dasar-dasar

agama), ‘aqâ’îd (keyakinan dasar), ‘ilm al-tawhîd (keesaan atau monoteisme) dan

terakhir adalah ‘ilm al-kalâm.

28Secara etimologis teologi berasal dari kata Yunani,

theo berarti Tuhan dan logos berarti akal, pikiran, ucapan dan pembicaraan. Dari konteks itu teologi mempunyai pengertian ilmu atau pembahasan tentang Tuhan, Hasbullah Mursyid, “Aliran Khawarij dan Splinter Group” dalam M. Masyhur Amin, ed., Teologi Pembangunan: Paradigma Baru Pemikiran Islam (Yogyakarta: LKPSM NU, 1989), h. 114. Istilah teologi yang dipakai sekarang sebenarnya telah lama ada. Istilah ini digunakan oleh para pemikir (intelektual) keagamaan di Yunani untuk menjelaskan soal-soal keagamaan (Tuhan dan dewa-dewa). Istilah teologi bisa juga bisa digunakan untuk menguraikan tradisi masyarakat yang tidak bertuhan (ateistik) ataupun kepada tradisi non-theistik, seperti Hindu, Budha dan Tao, baca David Tracy, “Theology: Comparative Theology,” dalam Mircea Eliade, et.al., The Encyclopedi of Religion, vol. 13., (New York: Macmillan Library refference, 1993), print number 10, h. 446.

29Terminologi

‘ilm al-kalâm kali pertama digunakan pada masa pemerintahan rezim ‘Abbâsiyyah, tepatnya ketika khalifah al-Makmûn menjabat. Sebelumnya, pembahasan masalah kepercayaan dalam Islam menggunakan istilah, antara lain al-fiqh fî al-dîn dan al-fiqh al-Akbar, baca Ahmad Hanafi, Teologi Islam (Ilmu Kalam), (Jakarta: Bulan Bintang, 2001), cet. 12., h. 4

30Parviz Morewegde, “Teologi” dalam John L. Espositto ed.,

Ensiklopedi Oxford: Dunia Islam Modern, jil. 6, terj. Eva Y.N., dkk., (Bandung: Mizan, 2001), h.14.

31Ahmad Hanafi,


(29)

‘Ilm al-kalâm, kata Harun Nasution, memiliki dua pengertian, yaitu bila

kata kalâm yang dimaksud merujuk kepada sabda Tuhan, maka pengertian teologi

dalam Islam adalah persoalan sabda Tuhan (al-Qur’ân), namun jika istilah al-kalâm merujuk kepada kata-kata manusia, maka pembahasan ‘ilmal-kalâm adalah

pendapat atau jalan pikiran dari manusia yang berpendapat itu.32

Harun Nasution juga menyatakan teologi adalah ilmu yang membahas masalah-masalah yang fundamental dalam setiap agama, terutama masalah Tuhan. Teologi akan memberikan keyakinan yang kuat pada sesorang tentang ajaran agama yang dianutnya, dengan tujuan agar keyakinanya tidak mengalami ambiguitas dan skeptis atas tantangan dan perubahan Zaman.33

Secara umum teologi mengandung,

“Pertama, analisis tentang konsep Tuhan; kedua, bukti ontologis dan kosmologis keberadaan Tuhan; ketiga, kosmologis hubungan antara Tuhan dan dunia; keempat, etika teodisi perintah Tuhan dalam kaitan dengan kehendak bebas, determinisme, nasib, kebaikan, keburukan, hukuman dan ganjaran; kelima aspek pragmatis dari bahasa agama dan fungsi khusus dari fakultas imajinasi yang secara istimewa terdapat pada para nabi, mistikus dan para pewaris nabi; keenam hubungan antara penalaran dan wahyu; dan ketujuh aspek politik dari penarapan hukum Tuhan ilahi dalam masyarakat.34

32Harun Nasution, Teologi Islam: Aliran-aliran Sejarah Analisa Perbandingan, (Jakarta

UI Press, 1972), cet. II., h. ix.

33Harun Nasution,

Teologi Islam, h iv


(30)

Di dalam Islam, persoalan teologi lahir35 karena politik, terutama perdebatan mengenai siapakah yang berhak menjadi pemimpin ummat Islam terutama sesudah ‘Umar ibn Khaththâb wafat. Di sini terdapat beberapa kubu yang berambisi menduduki rezim kekuasan Islam, yaitu antara lain kubu ‘Ustmân ibn ‘Affân dan ‘Alî ibn Abû Thâlib serta tidak ketinggalan beberapa kubu lainnya yang juga mengklaim lebih berhak untuk menduduki rezim pemerintahan, seperti kubu ‘Â’isyah.36

35Kelahiran teologi Islam memang telah disepakati banyak intelektual adalah karena

alasan politik, namun demikian, ada beberapa tokoh yang tidak mengamini secara eksplisit bahwa politiklah faktor pemicu dominan bagi kelahiran teologi. Seperti Nurcholish Majdid atau yang biasa disapa Cak Nur, menegaskan persoalan kelahiran teologi karena sebab skisme (perpecahan) di dalam tubuh ummat Islam yang berpuncak pada tewasnya ‘Ustmân ibn ‘Affân, dan bukan menyatakannya langsung dengan istilah sebab politis. Justru karena sebab skisme dalam Islam inilah yang kemudian menumbuhkembangkan ummat Islam dalam berbagai bidang seperti politik, sosial dan keagamaan. ‘Ilmal-kalâm, yang oleh Cak Nur didefinisikan sebagai pembicaraan nalar yang menggunakan logika, pada awalnya adalah untuk keperluan penalaran logis bagi orang-orang yang mendukung dan melakukan pembunuhan terhadap ‘Ustmân ibn ‘Affân, menurut para pendukung dan pelaku pembunuhan, mengapa ‘Ustmân layak dibunuh karena ia telah berbuat dosa besar dengan menjalani pemerintahan dengan tidak adil, sedankan dosa besar adalah kekafiran. Dan kekafiran adalah perbuatan menentang Tuhan, maka ‘Ustmân wajib dibunuh, baca Nurcholish Madjid, Islam Doktrin dan Peradaban: Sebuah Telaah Kritis tentang Masalah Keimanan, Kemanusiaan dan Kemodernenan (Jakarta: Paramadina, 1992), cet. 2., h. 203. Sementara itu, menurut Seyyed Hossein Nasr, kelahiran teologi yang berfungsi untuk menunjang kepercayaan-kepercayaan prinsipil di dalam Islam secara tradisional adalah oleh ‘Alî ibn Abû Thâlib. Karya ‘Alî, al-Nahj al-Balâghah, kata Nasr adalah karya pertama yang dapat membuktikan keesaan Tuhan yang mengikuti di belakang al-Qur’ân dan Hadîst, Seyyed Hossein Nasr dan William C. Chittick, Islam Intelektual: Teologi, Filsafat dan Ma’rifat, terj. Tim Perenial (Depok: Perenial Press, 2001), cet. 2., h. 18. Berbeda dengan Cak Nur dan Nasr, Fazlur Rahman, meskipun secara samar ia tetap mengakui bahwa persoalan politik merupakan pemicu bagi kelahiran teologi Islam, namun persoalan politis, kata Rahman tidak bisa dijadikan sebagai faktor pemicu yang dominan bagi kelahiran teologi Islam. Kata dia, kelahiran teologi juga dimunculkan oleh sebab pergolakan-pergolakan pemahaman ummat Islam terhadap al-Qur’ân dan Hadîst pada masa ‘Ustmân dan ‘Alî. Pergolakan pemahaman atas kedua sumber hukum Islam itu bertambah dalam dan luas ketika daulat Umayyah berkuasa. Pergolakan pemahaman atas al-Qur’ân dan Hadîst dipicu oleh pertanyaan “apakah seorang Muslim dapat disebut sebagai Muslim setelah ia melakukan dosa besar? Atau, apakah iman dalam hati saja sudah cukup atau haruskan ia dinyatakan dalam perbuatan.” Hal ini yang kemudian, menurut Rahman, bisa disebut sebagai salah satu pemicu utama kelahiran teologi Islam, Fazlur Rahman, Islam, terj. Ahsin Mohammad (Bandung; Pustaka, 1994), cet. 2., h.117.

! " # $ %

& $ %%$

# ' ( !


(31)

Dari persoalan politis di kalangan ummat Islam yang tidak bisa didamaikan, lahirlah aliran-aliran yang awalnya memperdebatkan mekanisme arbitrase antara kubu ‘Alî dan Mu‘awiyah37 yang menurut sebagian mereka tidak sah, karena tidak sesuai dengan hukum Tuhan (al-Qur’ân). Perdebatan ini kemudian mengalir ke ranah siapa yang kafir dan yang mukmin serta siapa yang berdosa dan tidak.

Saling menuduh kesalahan (kafir-dosa) dan saling mengklaim kebenaran (mukmin-pahala) antar golongan Muslim, membuat masing-masing kubu yang bertikai membentuk aliran-aliran teologi yang masing-masing memiliki isi pandangan yang berbeda tentang persoalan-persoalan keyakinan dasar keislaman yang kemudian dijadikan dasar pijakan oleh mereka dalam menjalankan aktivitas keseharian (politik, ibadah, ekonomi dan lain sebagainya).

, !

!% & $ - % & $

! + & $

" . ( !

& $ - / & $

0 1 2

3 %%! (

+ -

! - " $

! 1 % - 0

+ " $

! 0 !

" $ + 0 ! !%


(32)

Menurut catatan sejarah, terdapat aliran-aliran teologi penting di dalam Islam yang mempengaruhi pola pikir keberagamaan individu Muslim. Aliran itu adalah Khawârij,38 Murji‘ah,39 Mu‘tazilah,40 Asy‘ariyyah41 dan Mâtûrîdiyah.42 Hingga kini hanya Asy‘ariyyah dan Mâtûrîdiyyah yang keduanya biasa disebut

4( ( -$ 0

! !

! /( -$ 0

2 3 !

$ " 5 6 ! ! #

( -$ 0 + 0 74 0

- !% "

. & ( $

% + 7 7 . + 0

+ 0 89*

:. ( -$ 0 0

! 0

! 1 0 3 !

; 0

) <

" !% " <" % 3

) + #

% + 0 % %

+ 8 84

9 = 0

5$ $ 8 0 (

+ 3

89 0 =

+ 0 ># 6 ?

7@ " !

= 0 - 0 !

= @

= !% "

0 - 0 ) + 3

8* ( 0

3 !

-- 0 # (

0

-# @ A =

- ># ? 7:

83 3 !

$ " !

" " $ " ! !

3 # B )

$ " !

- # $ " !

- 0 # C =


(33)

sebagai Islam Sunnî atau Ahl al-Sunnah wa al-Jamâ‘ah43 yang masih memiliki

wujud. Namun, seiring masuknya paham rasionalisme ke dunia Islam melalui kebudayaan Barat modern, maka ajaran Mu‘tazilah yang bersifat rasional mulai timbul kembali, terutama di kalangan cerdik-cendekia Muslim yang berpendidikan Barat.44

B. Pengertian Teologi Islam di Indonesia

Sebenarnya pengertian teologi Islam di Indonesia adalah sama dengan pengertian teologi secara umum, yaitu membahas tentang konsep Tuhan, kenabian, perintah Tuhan dalam kaitannya dengan kehendak bebas, nasib, kebaikan, keburukan, wahyu dan nalar, Hari Akhir dan lain sebagainya.45 Namun, pengertian teologi Islam di Indonesia lebih dimaknai sebagai sebuah gerakan pembaruan pemikiran dalam rangka merespon perubahan zaman yang umumnya dilakukan oleh intelektual muda berpendidikan modern (baik di dunia Timur atau Barat). Para intelektual muda tersebut mencoba merumuskan landasan teologis, yang selama ini dianggap formalis, legalistis dan normatif, untuk membuat penyesuaian antara Islam dan realitas sosial-budaya Indonesia.46

Pengertian teologi di Indonesia terutama yang disuarakan oleh gerakan pembaharuan Islam adalah persoalan yang terkait dengan pembaharuan pemikiran

1 ) 3 - D $

3 ! ( $ " ! (

3 D $ 0 0

$ " ! + (

+ ! !

3 D $ ) +

* 44Harun Nasution,

Teologi Islam, h. 11.

45Parviz Morewegde, “Teologi,” h. 14.

46Jamhari, "Islam di Indonesia," dalam Taufiq Abdullah dkk., ed.,

Ensiklopedi Tematis Dunia Islam, vol. , (Jakarta: Ichtiar Van Hoeve), h. 346.


(34)

Islam yaitu pandangan seputar pandangan bagaimana keislaman dan keindonesiaan dapat bersinergi.47 Namun perumusan pandangan berteologi di Indonesia tidak selalu merujuk kepada kalâm Tuhan (al-Qur’ân) sebagai fokus

perbincangan, tetapi juga pemikiran (ijtihâd) dari para agamawan dan intelektual

Muslim baik yang klasik maupun kontemporer. Secara spesifik, dalam kajian Islam modern di Indonesia, persoalan pemikiran pembaharuan Islam (teologis) dilatarbelakangi oleh dua hal, yaitu Indonesia dan modernitas versus Islam. Mengenai latar belakang kemunculan bentuk atau corak teologi di Indonesia akan didalami pada pembahasan berikutnya.

C. Sejarah Kemunculan Corak Berteologi di Indonesia

Kemunculan aliran teologi di Indonesia tidak bisa dilepaskan dari sejarah kedatangan Islam yang dibawa para pedagang Persia dan Arab pada sekitar abad ke-12 atau 13 di Nusantara ini.48 Namun, di sisi lain faktor eksternal berupa pengaruh kondisi sosio-historis dan kultural tertentu49 juga merupakan faktor penting dalam kemunculan corak berteologi di Indonesia.

Secara historis aliran teologi yang kali pertama muncul di Indonesia sejak awal abad ke-12 adalah teologi Asy‘ariyyah. Ini terlihat dari para pedagang

47Jamhari, "Islam di Indonesia," h. 347.

48Tidak ada yang dapat memastikan kedatangan Islam ke Nusantara untuk kali pertama,

namun abad ke-12 dan 13 adalah abad yang cenderung dipilih oleh para sejarahwan bagi kedatangan Islam ke Nusantara ini. Selain itu, para ahli sejarah juga berdebat dalam kesimpulan tentang cara bagaimana Islam datang ke negeri ini. Sebagian ahli sejarah menegaskan bahwa Islam tiba di Nusantara melalui para pedagang yang berasal dari benua India. Namun, para ahli sejarah yang lain menyatakan bahwa Islam datang di Nusantara ini sejak abad pertama Hijriah atau abad ke-7 Masehi langsung dari Arabia. Untuk kajian lebih lanjut tentang kedatangan Islam ke Nusantara dan melalui medium apa Islam datang, dapat dibaca di Azyumardi Azra, Jaringan Ulama Timur Tengah da Kepulauan Nusantara Abad XVII dan XVIII: Akar Pembaharuan Islam Indonesia, (Jakarta: Prenada, 2005), edisi revisi, cet. Ke-2., h. 2-19.

49 Azyumardi Azra, “Komunitas Tersisih: Perspektif Subaltren,”

Gatra 6 Desember 2003, h. 8.


(35)

Muslim, baik itu dari benua India maupun Arabia yang masuk ke Indonesia kebanyakan beraliran madzhab Syâfi‘î dan sebagian lagi adalah Hanafî50. Menurut Harun Nasution, teologi Asy‘ariyyah dan Mâtûrîdiyyah umumnya banyak dianut oleh individu Muslim yang menganut Madzhab Syâfi‘î dan Hanafî.51

Sejak abad ke-12 di bumi Nusantara ini sudah terjadi gerakan Islamisasi di Nusantara yang dilakukan oleh gerakan teologi Asy‘ariyyah.52 Namun gerakan ini tidak sepenuhnya berhasil. Ini dikarenakan, meskipun sebagian masyarakat Nusantara khususnya Jawa telah menganut Islam pada abad ke-14,53 mereka telah menganut teologi yang dinamakan oleh Fauzan Saleh, sebagai teologi pra-Islam. Teologi ini sangat dipengaruhi oleh orientasi mistik keyakinan Jawa kuno. Berbeda dengan teologi Asy‘ariyyah yang meyakini Tuhan adalah transenden, teologi pra-Islam berkeyakinan bahwa Tuhan adalah imanen.54

Meskipun mendapatkan ganjalan dari keberadaan teologi pra-Islam dalam penyebarannya, sejak saat itu teologi yang mengusung pemurnian Islam ini semakin berkembang luas di Indonesia. Dan kemudian menemukan titik awal perkembangan yang pesat sejak abad ke-17, atau tepatnya ketika sebagian muslim Indonesia yang belajar dari Timur Tengah, terutama Arab (Makkah dan Madînah) pulang ke Indonesia.55

Pada abad ke-18 terkait dengan datangnya kolonialisme Belanda, muncul teologi jihad yang diprakarsai oleh gerakan tasawuf yang dalam hal ini dipelopori oleh Syekh Abd al-Shamad al-Palembani. Gerakan teologi jihad mencapai

50Azyumardi Azra,

Jaringan Ulama, h. 4.

51Harun Nasution,

Teologi Islam, h.13

52Azyumardi Azra,

Konteks Berteologi di Indonesia: Pengalaman Islam, (Jakarta: Paramadina, 1999), cet. 1., h. 45.

53Fauzan Saleh,

Teologi Pembaharuan: Pergeseran Wacana Islam Sunni di Indonesia Abad XX, (Jakarta: Serambi Ilmu Semesta, 2004), h. 63-64.

54Fauzan Saleh,

Teologi Pembaharuan, h. 66-67

55Azyumardi Azra,


(36)

puncaknya pada tahun 1888 ketika dua aliran tarekat yakni Naqsybandiyyah dan Qâdiriyyah melakukan pemberontakan di Cilegon, Banten melawan Belanda. Sekitar abad ke-19 teologi jihad juga terlihat pada gerakan Pangeran Diponegoro di Jawa dan di Minangkabau yang dipelopori oleh kaum Padri. Teologi jihad paska penjajahan Belanda, pada akhirnya diarahkan sasarannya kepada ummat Islam sendiri. Teologi tersebut diyakini berafiliasi dengan gerakan Wahhâbî di Arab Saudi yang mengusung pemurnian kembali (repurifikasi) Islam sebagaimana yang telah diterapkan oleh Nabi Muhammad dan para sahabatnya.56

Proses repurifikasi Islam pada abad ke-19 yang dilakukan oleh gerakan teologi jihad dan sejumlah ulama yang pernah belajar di Timur Tengah, terutama di Makkah dan Madînah, lebih menekankan aspek formal-ritual ketimbang hakikat Islam. Hal ini tidak mengherankan, karena sejak abad ke-12 teologi Asy‘ariyyah telah mendominasi paradigma keislaman kebanyakan ummat Islam Nusantara dan memulai titik perkembangan yang amat pesat sejak abad ke-17.

Dominasi teologi Asy‘ariyyah yang dikategorikan sebagai aliran tradisionalisme57 yang menganut paham predestinasi58 terus berlanjut hingga Indonesia memproklamirkan kemerdekaannya. Sebagian dari kalangan penganut teologi tradisionalisme ini mulai masuk ke ranah politik-kenegaraan. Tujuannya

56Azyumardi Azra,

Konteks Berteologi di Indonesia, h. 44-49. Teologi Asy‘ariyyah kemudian mendapat kritik dari kalangan ummat Islam Indonesi karena sifatnya yang cenderung mengikuti bentuk teologi Jabâriyyah dalam masalah takdir (predestination). Teologi Asy‘ariyyah dianggap bertanggung jawab atas lemahnya etos sosial ekonomi ummat Islam Indonesia yang cenderung menyandarkan segala bentuk kehidupan pada kekuasaan Tuhan. Manusia tidak lebih berperan sebagai wayang yang diatur oleh dalangnya. Pergeseran cara pandang ummat Islam Indonesia terhadap teologi Asy‘ariyyah ini terlihat sejak abad ke-18.

57Penggunaan kata tradisionalisme atas teologi Asy‘ariyyah, dikarenakan kebanyakan dari

mereka adalah masih terikat kuat dengan pemikiran ulama ahli tawhîd, fiqh, Hadîst, tasawuf dan tafsîr yang hidup antara abad ke-7 hingga abad ke-13, Fachry Ali dan Bachtiar Effendy, Merambah Jalan Baru Islam: Rekonstruksi Pemikiran Islam Indonesia Masa Orde Baru, (Bandung: Mizan, 1986), h. 48-49.

58Penganut paham ini meyakini bahwa manusia adalah makhluk yang tidak berkuasa dan

tidak mampu berkehendak atas sesuatu apapun, melainkan atas kuasa dan kehendak Tuhan, baca Harun Nasution, Teologi Islam, h. 107.


(37)

adalah agar Indonesia dijadikan sebagai negara Islam yang berazaskan kepada al-Qur‘ân dan Hadist,59 salah satu alasannya adalah karena mayoritas penduduk Indonesia adalah Muslim. Selanjutnya oleh kalangan intelektual, mereka diidentifikasi menjadi golongan teologi formalis-legalistis, teologi normatif dan teologi ortodoks.60

Dalam peta pemikiran Islam kekinian, nama teologi Asy‘ariyyah memang telah hampir redup dalam perbincangan akademis. Kini oleh sebagian intelektual Muslim, golongan yang menyerupai teologi Asy‘ariyyah, karena memiliki paham seperti predestinasi, teosentris,61 fatalistis, skriptualis dan fiqh oriented,62

dikategorikan sebagai aliran teologi tradisionalisme, formalistis-legalistis,63

normatif,64 ortodoks65 bahkan konservatisme.66 Selanjutnya untuk

59Jamhari, “Islam di Indonesia,” h. 346.

60Teologi yang mengusung semangat pemurnian kembali Islam seperti yang disyariatkan

di dalam al-Qur’ân dan oleh Nabi Muhammad serta menolak keras sinkretisme dan bid‘ah di dalam agama, baca Fauzan Saleh, Teologi Pembaharuan, h. 25.

61Paham yang meyakini bahwa segala sesuatu kejadian atau perubahan hanya berpusat

pada Tuhan. Manusia tidak memiliki kehendak apapun untuk mengubah diri dan keadaannya, baca Zamakhsyari Dhofier, “Teologi Asy‘ari dan Pembangunan,” dalam M. Masyhur Amin, ed., Teologi Pembangunan: Paradigma Baru Pemikiran Islam, (Yogyakarta: LKPSM NU, 1989), h. 42.

62Pemahaman keagamaan yang hanya bersandar kepada fatwa-fatwa yang terdapat di

dalam empat madzhab fiqh. Pemahaman keagamaan ini diyakini sebagai salah satu pemicu utama kemunduran yang dialami ummat Islam Indonesia, Moeslim Abdurrahman, Islam Transformatif, (Jakarta: Pustaka Firdaus, 1997), cet. 3., h. 62-65.

63Golongan ini juga memfokuskan diri pada perjuangan untuk menjadi Islam sebagai

ideologi negara, Jamhari, “Islam di Indonesia,” h. 346. Penekanan paham keagamaan ini juga terletak pada ketaatan formal dan hukum agama. Dan setiap ekspresi keagaman harus diwujudkan secara eksplisit, seperti pembentukan bank-bank Islam, asuransi Islam dan lain sebagainya. Di sisi lain mereka cenderung mengadopsi tradisi-tradisi Arab yang dianggap sebagai warisan Nabi Muhammad, seperti memelihara jenggot dan lain-lain, baca Azyumardi Azra, Konteks Berteologi di Indonesia, h. 9.

64Paham Islam yang berangkat dari teks yang tertulis di dalam kitab suci. Paham ini

sangat meyakini bahwa keterpurukan yang menimpa bangsa Indonesia dapat ditemukan solusinya di dalam kitab suci dan Hadîst. Mereka sangat menolak usaha penafsiran yang dilakukan oleh kalangan Muslim liberal, baca Azyumardi Azra, Konteks Berteologi di Indonesia, h. 9-10.

65Istilah ortodoks sendiri merupakan pinjaman dari istilah dalam lembaga keagamaan

dalam tradisi Kristen yang berwenang untuk merumuskan suatu doktrin sebagai kebenaran resmi. Secara umum pengertian tentang ortodoks adalah keyakinan yang benar dan keimanan yang murni sesuai dengan ajaran dan arahan dari pemilik kewenangan mutlak, baca Fauzan Saleh, Teologi Pembaharuan, h. 77-78. Aliran teologi ortodoks ini mengusung semangat pemurnian kembali Islam seperti yang disyari‘atkan di dalam al-Qur’ân dan oleh Nabi Muhammad serta menolak


(38)

mengidentifikasi teologi yang identik dengan paham ajaran Asy‘ariyyah penulis akan menggunakan istilah yang telah dipakai oleh Harun Nasution dan Fachry Ali, yaitu dengan teologi tradisional.67

Azyumardi Azra menilai tidak tepat jika ada anggapan yang berpendapat bahwa teologi Asy‘ariyyah tidak mendorong terjadinya dinamika perubahan dalam masyarakat Islam Indonesia dan justru mendorongnya ke arah kemunduran. Meskipun bila dilihat secara teoritis, tuduhan itu sangat mendasar sekali dikarenakan adanya peningkatan aktivisme yang cukup menonjol di kalangan Muslim, baik dalam bidang politik, ritual keagamaan, budaya dan ekonomi yang landasan aktivitasnya belum tentu berafiliasi ke dalam teologi Asy‘ariyyah.68

Sebagian kalangan, terutama masyarakat Muslim terdidik modern, mulai resah dengan dominasi dan hegemoni teologi tradisional yang telah mendarah daging dalam keyakinan dan pemikiran ummat Islam kebanyakan, sehingga membuat ummat Islam Indonesia mengalami kebuntuan dan kemunduran dalam berbagai bidang.

Pernyataan mereka didasari oleh sebuah pandangan bahwa persoalan teologis dalam masyarakat Islam merupakan soal yang sangat amat sensitif, karena meyangkut masalah keyakinan beragama, dan juga faktor determinan dalam progresifitas ummat Islam Indonesia, karena pendirian teologis merupakan upaya untuk mencetak pola perilaku dan struktur keyakinan, selain, tentunya keras sinkretisme dan bid‘ah di dalam agama. Oleh sebagian peneliti keagamaan, sebutan ortodoksi Indonesia bisa melekat pada kelompok yang digolongkan tradisionalis maupun modernis, yang dalam hal ini oleh M. Howard Federspiel adalah kelompok Muhammadiyah dan Persatuan Islam (Persis), Fauzan Saleh, Teologi Pembaharuan, h. 24-25.

66Fachry Ali dan Bachtiar Effendi,

Merambah Jalan Baru Islam, h. 49.

67Istilah tradisionalisme berasal dari kata tradisi yang berarti segala sesuatu, baik itu

kepercayaan, kebiasaan, ajaran yang turun-temurun dari nenek moyang, Poerwadarminta, Kamus Umum Bahasa Indonesia (Jakarta: Balai Pustaka, 1982), h. 1088.

68Azyumardi Azra,


(39)

sebagai rasionalisasi atau justifikasi bagi tindakan-tindakan sosial dan program pembangunan yang telah direncanakan.69

Kalangan sarjana Muslim menilai dengan pemahaman beragama yang masih didominasi dan dihegemoni oleh pemahaman tradisionalisme akan

membuntukan jalan pembangunan Indonesia, yang mengakibatkan

keterbelakangan ummat Islam dalam berbagai bidang, terutama ekonomi, politik serta sains dan teknologi.

Dalam abad modern ini, ummat Islam Indonesia dihadapi oleh dua problem besar, yaitu Indonesia dan modernitas versus Islam.70 Teologi tradisional yang masih menganut paham tradisionalisme-teosentris-skripturalis diyakini tidak akan mampu menemukan kesesuaian di antara dua problem besar itu. Sebab mereka masih terkunci oleh pemahaman sempit bahwa modernisasi di Indonesia akan meminggirkan peran agama dan merusak nilai-nilai yang ada di dalamnya.71

Dengan kerangka tersebut beberapa pemikir Muslim Indonesia mulai berbicara untuk merumuskan sebuah teologi baru yang kondusif dan dapat menopang modernisasi dan pembangunan dalam bidang ekonomi. Dalam ide mereka, para pemikir itu mengharapkan adanya teologi yang lebih kontekstual dengan perkembangan situasi modern.72

Meskipun gerakan pembaharuan Islam Indonesia telah muncul sejak awal abad ke-20, namun awal 1970 adalah periode penting bagi perkembangan pemikiran Islam di Indonesia. Menurut Greg Barton, Indonesia mengalami

69Taufik Abdullah, “Terbentuknya Paradigma Baru: Sketsa Wacana Islam Kontemporer”

dalam Mark R. Woodward, ed., Jalan Baru Islam: Memetakan Paradigma Mutakhir Islam Indonesia, terj. Ihsan Ali Fauzi, (Bandung: Mizan, 1996), h. 84.

70Taufik Abdullah, “Terbentuknya Paradigma Baru,” h. 74. 71Jamhari, “Islam di Indonesia,” h. 347.

72Azyumardi Azra,


(40)

kebangkitan yang amat progresif dan begitu memiliki masa depan dalam pemikiran keagamaan. Dikatakannya, bahwa kebangkitan ini juga bukan petanda bahwa Islam akan kembali ke zaman 1950 di mana kelompok Islam tertentu menginginkan azas Islam sebagai ideologi negara. Islam yang bangkit pada tahun 1970 adalah Islam kontekstual dan substansial, yang memiliki ciri moderat, liberal dan progresif.73

Gerakan yang dimotori oleh para intelektual menyerukan tentang pembaharuan pemikiran Islam itu oleh Barton diidentifikasi sebagai gerakan neo-modernisme. Mereka yang dikategorikan masuk ke dalam gerakan ini adalah pemikir-pemikir yang memiliki pengaruh kuat atas setiap gagasan pembaharuan pemikiran Islam yang keluar dari masyarakat Islam Indonesia. Mereka adalah Nurcholish Madjid (Cak Nur), Abdurrahman Wahid, Djohan Effendi, Ahmad Wahib.

Menurut Barton, sebenarnya banyak tokoh-tokoh Islam, selain yang telah disebutkan di atas, dapat digolongkan ke dalam komunitas pemikir neo-modernisme, seperti, Dawam Rahardjo, Jalaluddin Rakhmat dan Masdar F. Mas’udi. Tetapi mereka ini lebih memilih untuk tidak menggunakan istilah neo-modernisme, yang awalnya dipopulerkan oleh media massa di luar keinginan mereka sendiri.74

Selain tokoh-tokoh yang telah disebutkan Barton, ada tokoh Islam lainnya yang juga memiliki pengaruh kuat dalam hal pemikiran di kalangan masyarakat Muslim Indonesia, yakni Harun Nasution. Karena dalam karyanya, ia banyak

73Greg Bartoh,

Gagasan Islam Liberal di Indonesia: Pemikiran Neo-Modernisme Nucholish Madjid, Djohan Effendi, Ahmad Wahib dan Abdurrahman Wahid, terj. Nanang Tahqiq (Jakarta: Paramadina, 1999), h. 3-4.

74Greg Barton,


(41)

memaparkan teologi Mu‘tazilah dan tokoh-tokoh kontemporer yang beraliran Mu‘tazilah, seperti Muhammad ‘Abduh,75 maka Harun oleh sebagian intelektual Islam kerap digolongkan sebagai Muslim berteologi rasional. 76

Berbeda dengan kelompok rasional yang oleh Fachry Ali digolongkan ke dalam kelompok modernisme Islam yang cenderung terfokus ke dalam perdebatan sektarian, seperti Muhammadiah, Persatuan Islam, Sunnî dan non- Sunnî, gerakan neo-modernisme lebih bersifat kultural, karenanya gerakan neo-modernisme disebut sebagai gerakan yang bersifat moderat, karena ia mampu memadukan antara paham modernisme Islam dengan tradisionalisme.

Azyumardi Azra berpandangan bahwa penggolongan terhadap bentuk-bentuk teologi ini adalah penyederhanaan dari berbagai corak berteologi di Indonesia, yang masih sangat mungkin sekali belum pernah tercatat dalam kajian sejarah. Penggolongan ini hanya mencoba menangkap pandangan teologis terkuat di dalam penggolongan itu. Dalam artian, dalam setiap bentuk itu sangat mungkin terdapat unsur-unsur bentuk teologi yang lain yang dapat digolongkan kembali.77

Perlu penulis tekankan juga bahwa mengapa penggolongan ini turut menyertakan terma teologi karena pemikiran-pemikiran yang akan diuraikan dalam penulisan ini adalah tafsir-tafsir para tokoh Islam terhadap realitas kehidupan dengan menggunakan perspektif ketuhanan.

75Dalam dua bukunya, seperti

Teologi Islam: Aliran-aliran Sejarah Analisa Perbandingan (Jakarta: Universitas Indonesia Press, 1986) dan Muhammad Abduh dan Teologi Rasional Mu‘tazilah (Jakarta: UI Press, 1987) yang hingga kini masih dicetak ulang, Harun terkesan mempromosikan paham Mu‘tazilah yang lebih rasional untuk masyarakat muslim Indonesia, yang menurut peninjauan Harun masih terpenjara oleh paham teologi Asy‘ariyyah yang mengusung paham fatalistis. Dan paham ini menurut Harun tidak sesuai dengan iklim perubahan maupun pembangunan di negara Indonesia, Jamhari, “Islam di Indonesia,” h. 350.

76Fauzan Saleh memetakan diskursus teologi Islam mutakhir Indonesia tetap dipengaruhi

oleh dua pemikiran besar, yaitu pemikiran Harun Nasution yang dikenal dengan teologi rasional Mu‘tazilah dan Nurcholish Madjid dengan neomodernisme, baca Fauzan Saleh, Teologi Pembaharuan, h. 260-384.

77Azyumardi Azra,


(42)

Gerakan pembaharuan teologis yang terjadi di Indonesia sudah barang tentu berpengaruh terhadap pola pikir kebanyakan Muslim Indonesia, baik yang berpendidikan tradisional Islam sekaligus sekular maupun Muslim yang hanya berlatarbelakang berpendidikan sekular saja. Fenomena pembaharuan ini juga menjadi pembenaran bagi setiap Muslim untuk mengembangkan agama yang tidak normatif dan legalistik, tetapi lebih pada aspek substantif sehingga instrumen yang digunakan untuk memahami Islam menjadi terbuka.78

Oleh karenanya tidak mengherankan, bila ada fenomena dalam masyarakat Muslim kekinian bahwa ide-ide keislaman (teologis) yang berkembang di Indonesia tidak hanya terpusat dan diramaikan oleh mereka yang disebut sebagai pemikir-pemikir arus utama (mainstream) yang bila dalam konteks penulisan ini

adalah yang dikategorikan oleh Greg Barton sebagai pengusung gerakan neo-Modernisme, yaitu Nurcholish Madjid, Abdurahman Wahid dan lain sebagainya, melainkan juga oleh kalangan masyarakat sekular-rasional dan tidak terdidik dalam ilmu-ilmu tradisional Islam (Muslim atau sarjana sekuler). Oleh William Liddle, kelompok ini diberi nama dengan sebutan Islam substansialis, meskipun kelompok ini tetap bisa digolongkan ke dalam gerakan neo-modernisme. Namun karena mereka memiliki ciri khas tersendiri dari kelompok neo-modernisme, maka dipilihkan istilah lain untuk menggolongkan kelompok tersebut.79

Berdasarkan uraian di atas, bentuk-bentuk teologi yang akan penulis bahas pada penjelasan berikut adalah teologi tradisional, teologi rasional, teologi neo-modernisme dan teologi substansialis. Dalam penulisan berikut, penulis akan

78Jamhari, “Islam di Indonesia,” h. 354. 79Greg Barton,


(1)

DAFTAR PUSTAKA Buku

Abdullah, M. Amin, Studi Agama Normatif atau Historisitas?, Yogyakarta: Pustaka Pelajar, 1996.

Abdullah, Taufik, “Terbentuknya Paradigma Baru: Sketsa Wacana Islam Kontemporer” dalam Mark R. Woodward, ed., Jalan Baru Islam: Memetakan Paradigma Mutakhir Islam Indonesia, terj. Ihsan Ali Fauzi, Bandung: Mizan, 1996

Abdurrahman, Moeslim, Islam Transformatif, Jakarta: Pustaka Firdaus, 1997, cet. 3.

Ali , Fachry dan Bachtiar Effendi, Merambah Jalan Baru Islam: Rekonstruksi Pemikiran Islam Indonesia Masa Orde Baru, Bandung: Mizan, 1986 Amal, Taufik Adnan, ed., Metode dan Alternatif Neomodernisme Islam Fazlur

Rahman, Bandung: Mizan, 1994, cet. vi

Azra, Azyumardi, Konteks Berteologi Islam di Indonesia: Pengalaman Islam, Jakarta: Paramadina, 1999.

____, Jaringan Ulama Timur Tengah da Kepulauan Nusantara Abad XVII dan XVIII: Akar Pembaharuan Islam Indonesia, Jakarta: Prenada, 2005, edisi revisi, cet. Ke-2.

Barton, Greg Gagasan Islam Liberal: Pemikiran Neo-modernisme Nurcholish Madjid, Djohan Effendi, Ahmad Wahib, dan Abdurrahman Wahid, terj. Nanang Tahqiq Jakarta: Paramadina, 1999.

Dahana, Radhar Panca, Kebenaran dan Dusta dalam Sastra, Yogyakarta: Lkis, 2004.

______, Menjadi Manusia Indonesia, Yogyakarta: LKis, 2003.

______, Dalam Sebotol Coklat Cair dan Sejumlah Esei-Esei, Depok: Koekoesan, 2008.

______, Jejak Postmodernisme: Pergulatan Kaum Intelektual Indonesia, Yogyakarta: PT Bintang Pustaka, 2004, cet. I.


(2)

______, Wawancara penulis dengan Radhar Panca Dahana pada tanggal 11 November 2007 pukul 19.00-22.00 WIB di kediamannya di perumahan Villa Pamulang, Tangerang, Banten.

Derrida, Jacques, Dekonstruksi Spiritual: Merayakan Ragam Wajah Spiritual, terj. Firmansyah Agus, Yogyakarta: Jalasutra, 2002.

Dhofier, Zamakhsyari, “Teologi Asy‘ari dan Pembangunan,” dalam M. Masyhur Amin, ed., Teologi Pembangunan: Paradigma Baru Pemikiran Islam, Yogyakarta: LKPSM NU, 1989.

Federspiel, Prof Howard M., dalam Kata Pengantar dalam Fauzan Saleh, Teologi Pembaharuan: Pergeseran Wacana Islam Sunni di Indonesia Abad XX, Jakarta: Serambi Ilmu Semesta: 2004

Hafid, Abdul “Estetika Puitis al-Qur`ân: Studi Analisis tentang Dua Metode HB. Jassin Memahami al-Qur`an,” Skripsi, Jakarta: Jurusan Tafsir Hadis Fakultas Ushuluddin dan Filsafat Universitas Islam Negeri Syarif Hidayatullah, 2005.

Halim, Abdul, ed., Teologi Islam Rasional: Apresiasi terhadap Wacana dan Praksis Harun Nasution , Jakarta: Ciputat Press, 2005.

Hanafi, Ahmad, Teologi Islam (Ilmu Kalam), Jakarta: Bulan Bintang, 2001, cet. 12.

Jamhari, "Islam di Indonesia," dalam Taufiq Abdullah dkk., ed., Ensiklopedi Tematis Dunia Islam, vol. V, Jakarta: Ichtiar Van Hoeve.

Kleden, Ignas, Sastra Indonesia dalam Enam Pertanyaan: Esai-esai Sastra dan Budaya, Jakarta: Pustaka Utama Grafiti, 2004, cet. I.

Madjid, Nurcholish, Islam Doktrin dan Peradaban: Sebuah Telaah Kritis tentang Masalah Keimanan, Kemanusiaan dan Kemodernenan Jakarta: Paramadina, 1992, cet. 2.

_____, “Sekapur Sirih,” dalam Sukidi, Teologi Inklusif Cak Nur, Jakarta: Kompas, 2001.

Morewegde, Parviz, “Teologi” dalam John L. Espositto ed., Ensiklopedi Oxford: Dunia Islam Modern, jil. 6, terj. Eva Y.N., dkk., Bandung: Mizan, 2001.


(3)

Mursyid, Hasbullah, “Aliran Khawarij dan Splinter Group” dalam M. Masyhur Amin, ed., Teologi Pembangunan: Paradigma Baru Pemikiran Islam, Yogyakarta: LKPSM NU, 1989.

Nasr, Seyyed Hossein dan Chittick, William C., Islam Intelektual: Teologi, Filsafat dan Ma’rifat, terj. Tim Perenial, Depok: Perenial Press, 2001, cet. 2.

Nasution, Harun, Muhammad Abduh dan Teologi Rasional Mu’tazilah, Jakarta: UI Press,1987.

_______, Islam Ditinjua dari Segala Aspek Jilid 2, Jakarta: Universitas Indonesia Press, 1987.

_______, Islam Rasional: Gagasan dan Pemikiran Prof. Dr. Harun Nasution, Saiful Mujani, ed., Bandung: Mizan, 1995.

_______, Teologi Islam: Aliran-aliran Sejarah Analisa Perbandingan, Jakarta UI Press, 1972, cet. II.

Nata, Abuddin, Peta Keragaman Pemikiran Islam di Indonesia Jakarta: Raja Grafindo Pustaka, 2001.

Poerwadarminta, Kamus Umum Bahasa Indonesia, Jakarta: Balai Pustaka, 1982. Rajabi, Mahmud, Horison Manusia, terj. Yusuf Anas, Jakarta: al-Huda, 2006. Rahardjo, Dawam “Aliran Khawarij dan Teologi Sempalan,” dalam M. Masyhur

Amin, ed., Teologi Pembaharuan: Paradigma Baru Pemikiran Islam, Yogyakarta: LKPSM NU, 1989).

_______, “Islam dan Modernisasi: Catatan atas Paham Sekularisasi Nurcholish Madjid” dalam Nurcholish Madjid, Islam Kemodernan dan Keindonesiaan, Bandung: Mizan, 1999, cet. xii.

Rahman, Fazlur, Islam, terj. Ahsin Mohammad, Bandung; Pustaka, 1994, cet. 2. Saleh, Fauzan, Teologi Pembaharuan: Pergeseran Wacana Islam Sunni di

Indonesia Abad XX, Jakarta: Serambi Ilmu Semesta, 2004.

Sugiharto, I Bambang, Postmodernisme: Tantangan Bagi Filsafat, Jakarta: Kanisius, 2006, cet. ke-6.

Tjaya, Thomas Hidya, Kierkegaard dan Pergulatan Menjadi Diri Sendiri, Jakarta: Kepustakaan Populer Gramedia, 2004.


(4)

Woodward, Mark R., “Pendahuluan: Indonesia, Islam, dan Orientalisme: Sebuah Wacana yang Melintas, dalam Mark R. Woodward, ed., Jalan Baru Islam: Memetakan Paradigma Mutakhir Islam Indonesia, terj. Ihsan Ali Fauzi, Bandung: Mizan, 1996.

Koran, Majalah dan Internet

Azra, Azyumardi "Komunitas Tersisih: Perspektif Subaltern," Gatra 6 Desember 2003.

Alkisah, No. 4 / 1-14 September 2004, “Radhar Panca Dahana: ‘Saya adalah Karyawan Allah.’”

Bali Post, 3 September 1995, “Radhar Panca Dahana, Perjalanan dari Kosong Menjadi Ada.”

Jurnal Nasional, edisi 0131 Minggu IV-april 2007, “Pergulatan Hidup Radhar Panca Dahana.”

Dahana, Radhar Panca, “Seni Oke, Politik Eko!,”

http://www.kompas.com/kompas

-cetak/0509/15/humaniora/2049656.htm. artikel diakses pada tanggal 17 September 2007 jam 14.00.

______, “Keragaman yang Teperdaya,” Gatra 13 Oktober 2007 ______, “Jika Seni Menjadi Industri,” Republika, 16 Mei 1997.

______, “Presiden Negeri Simbol http://www.kompas.com/kompas -cetak/0409/16/humaniora/1271939.htm. ,” diakses pada tanggal 17 September jam 14.30.

______, “2008” Gatra 7 Januari 2008


(5)

______, “Catatan Perjalanan ke Eropa (1): Harga Kesenian yang Dihargai,” Media Indonesia, 19 April 1997,

______, “Catatan Perjalanan ke Eropa (2): Mencari Manusia di Puncak Kapitalisme,” 26 April 1997,

______, “Catatan Perjalanan ke Eropa (3): Dunia Kubus Seorang Frans Malschaert,” 10 Mei 1997,

______, “Catatan Perjalanan ke Eropa (4): Boneka Menangis di Paris,” 17 Mei 1997

______, “Catatan Perjalanan ke Eropa (5): Menghalau Galau Para Perantau,” 24 Mei 1997.

http://islamlib.com/id/index.php?page=article7id=944 diakses pada 10 Agustus 2007.“Radhar Panca Dahana: ‘Semua Orang Merindukan Tuhan, Tapi…’”

Kompas 11 April 2003, "Di Panggung Radhar Terus Hidup." Playboy, edisi Juli 2006, “Dalam Maut dan Puisi.”

Tempo, 20 April 2008, “Dari Skandinavia ke Dunia Maya.” Tempo 22 Juli 2007, "Bahasa 'Baru' Teater Radhar."


(6)