Taswir seni patung dan fotografi dalam t

1

Takhrij Hadis ‚Tas{wi>r Makhluk Bernyawa‛
Moh. Fadhil Nur
1620510043
Muhfadhilnur41@gmail.com
Abstrak
Sejarah telah membuktikan seni yang berkembang di dunia Islam lebih didominasi
ornamen, tumbuh-tumbuhan, dan dekorasi. Sedangkan seni rupa berbentuk lukisan, patung
atau yang dianggap makhluk bernyawa sulit ditemukan kecuali sedikit sekali. Hal tersebut
di pengaruhi teks-teks keagamaan dari hadis maupun al-Qur’an yang melarang segala
aktivitas tas}wi>r serta ancaman bagi pelakunya. Perdebatan diantara ulama mengenai hal
tersebut juga dapat dijumpai dalam kitab-kitab kajian hukum Islam. Istilah yang sering
digunakan untuk menyebut seni rupa yang berupa patung atau lukisan dalam Islam adalah
Tas}wi>r. Makalah ini mencoba mengkaji persoalan tas}wi>r ditinjau berdasarkan hadis
‚tas}wi>r makhluk bernyawa‛ dengan menggunakan metode takhrij al-hadis dan memberi
interpretasi dengan pendekatan ‘ilm ma’a>n al-hadi>s.
A. Pendahuluan

Tas}wi>r atau yang lazim disebut seni rupa berupa lukisan atau patung merupakan
salah satu kesenian yang paling tua dalam sejarah peradaban manusia. Peninggalanpeninggalan prasejarah membuktikan, bahwa sejak ratusan bahkan ribuan tahun yang lalu

nenek moyang manusia telah mengenal yang namanya seni lukis. Pada masa-masa
primitif, nenek moyang manusia telah mulai membuat gambar sebagai media pencatat
untuk menceritakan bagian-bagian penting dari kehidupan mereka. Cara komunikasi
dengan menggunakan gambar seperti itu jugalah yang pada akhirnya merangsang
pembentukan sistem tulisan, karena huruf sebenarnya berasal dari simbol-simbol gambar
yang kemudian disederhanakan dan dibakukan.1

1

Kasman K.S., Kondisi Seni Patung di Mata Masyarakat Islam di Zaman Modern , ed. Jabrohim dan
Saudi Berlian, Islam dan Kesenian (Yogyakarta: PP. Muhammadiyah, 1995), h.88.

2

Dalam kebudayaan Islam, kesenian berkembang pesat dan menemukan jati dirinya
pertamakali setelah kepindahan Khilafah Islamiyah Muawiyah ke Damaskus, kemudian
berlanjut pada dinasti-dinasti setelahnya.2 Cabang seni rupa berupa lukisan dan patung
berkembang sejajar dengan perkembangan hasil seni rupa lainnya seperti seni bangunan
(arsitektur), seni kerajinan, kaligrafi maupun dekorasi. Namun perkembangan seni lukis
dan patung tidaklah sesubur seperti perkembangan hasil seni rupa lainnya tersebut. Hal ini

terjadi karena ditemukan beberapa hadis Nabi saw., yang memberi petunjuk tentang
keburukan dan ditolaknya lukisan atau ukiran patung. Salah satu alasanya adalah dapat
mendatangkan mudharat karena dapat menyekutukan Allah swt. sebagai Maha Pencipta
seperti yang dilakukan masyarakat Jahiliyah. Oleh karena itu para pengamat Barat
menganggap bahwa Islam sangat dikenal menganut faham anti gambar mahluk hidup.3
B. Pembahasan
1) Pengertian Tas}wi>r
Kata tas}wi>r berasal dari kata s}awwara. Kata s}awwara bermakna menyerupakan
atau menjadikan gambar dengan berbagai bentuk. Bentuk masdarnya adalah tas}wi>r
artinnya proses dari penyerupaan, sedangkan hasil dari proses penyerupaan itu adalah al-

s}urah.4Al-s{urah juga kadang diartikan al-syakl (bentuk), al-h}aiah (rupa), al-h}aqi>qah
(hakikat), dan al-s}ifah (sifat).5
Di dalam al-Qur’an ada beberapa ayat yang menggunakan kata yang terbentuk dari
kata s}awara antara lain sebagai berikut:

Ba>sem Dahdouh, ‚al-Tas}wi>r ‘ind al-‘Arab wa al-Muslimin baina al-Iba>hah wa al-Tahri>m (fi al‘Us{u>r al-Wust}a>)‛, Jurnal Teknik Sipil Universitas Damascus, vol. 1, (edisi 26, 2010), h. 334
2

3


Budhi Munawar Rahman, ‚Dimensi Esoterik dan Estetik Budaya Islam‛,ed.,Zakiyuddin Baidhawi
dan Mutohharun Jinan, Agama dan Pluralitas Budaya Lokal (Surakarta: Pusat Studi Budaya dan Perubahan
Sosial UMS, 2003), h. 97
4

Luwis Ma’luf, Kamus al-Munji>d, h. 339-440.

5

Muh}ammad bin ‘Abd al-Razza>q, Ta>j al-‘Uru>s min Jawa>hir al-Qamu>s, Juz XII, h. 375.

3

QS al-Taga>bun/64: 3

Terjemahnya:

ْ ِ َ ْ‫َ َ َ ّال َ َا ِ َا ا ْ َ ِ اْ َ ِ َا َ ّ َ ْ ْ َ َ ْ َل َ ْ َ َ ْ ْ َا اَ ْ ِ ا‬
ِ


‚Dia menciptakan langit dan bumi dengan (tujuan) yang benar, Dia membentuk
rupamu dan memperbagusrupamu dan kepada-Nya-lah kembali (mu).‛6
QS al-A’raf/7:11

ْ ْ ِ َ ِ‫َااَ َ ْ َ َ ْ َ ْ ْ ْ ّ َ ّ ْ َ ْ ْ ْ ّ ْ ْ َ ِ ْ َ ا‬
َ ِ ‫ا ْ ا ا َ َ َ َل َ ْ ا ْ ِ َي اَ ْ َ ْ ْ ِ َ ّال ِا‬
ِ ِ

Terjemahnya:
‚Sesungguhnya Kami telah menciptakan kamu, kemudian membentuk tubuhmu,
kemudian Kami berfirman kepada para malaikat: Bersujudlah kamu kepada Adam;
maka mereka pun bersujud kecuali iblis. tidak termasuk mereka yang bersujud.‛7
Berdasarkan beberapa ayat di atas semuanya dimaknai ‚membentuk‛. Oleh karena
itu, bila predikat al-mus}awwir dilekatkan pada manusia, maka bisa bermakna pelukis atau
pengukir patung sebagaimana pendapat ulama dalam mengartikan tas}wi>r.
Sebagian ulama berpendapat bahwa tas}a>wir adalah t\ims\al> .8Ah}mad Mukhtar
mengartikan tama>si\ l dengan patung yang dibuat dari batu yang dipahat menyerupai
bentuk orang atau binatang.9 S{a>lih} bin Fauza>n mengatakan bahwa tas}wi>r adalah
memindahkan bentuk atau menyerupakan suatu bentuk baik dengan melukis, memetik

dengan alat atau dengan memahat baik di atas papan, kertas atau dalam bentuk patung.10
Sa’di> Abu> H}abi>b menjelaskan bahwa tas}wi>r

adalah memberi warna serta menghias

gambar sesuatu atau seseorang di atas papan atau dinding atau yang semisalnya11 dengan
6

Kementerian Agama RI, Al-Qur’an dan Terjemahnya, h. 557.

7

Kementerian Agama RI, Al-Qur’an dan Terjemahnya, h. 152.

8

Ibn Manz}u>r, Lisa>n al-‘Arab, Juz VII (Beirut: Da>r Ih}ya>’ al-Tura>t} al-‘Arabiyah, t.th), h. 438.

9


Ah}mad Mukhtar ‘Abd H}ami>d, Mu’jam al-Lugah al-‘Arabiyah al-Ma’a>s}irah, Juz III, h. 2067.

10
11

S{a>lih bin Fauza>n al-Fauza>n, Mukhtas{ar Tashi>l al-Aqi>dah al-Isla>miyah, Juz I, h.94.

Sa’di> Abu> H{abi>b, al-Qamu>s al-Faqhi>Lugah wa Ist}ila>h}an, Juz I, h. 218.

4

pena, kuas, atau alat gambar.12 Sebagian ulama berpendapat bahwa tas}a>wir adalah

t\ims\al> .13Ah}mad Mukhtar mengartikan tama>si\ l dengan patung yang dibuat dari batu yang
dipahat menyerupai bentuk orang atau binatang.14
2) Takhrij Hadis
a. Hadis Tentang Larangan Tas{wi>r Makhluk Bernyawa
Ba>sem Dahdouh mengungkapkan bahwa terdapat dua model hadis yang berkaitan
tentang tas}wi>r yaitu pertama, hadis yang mengindikasikan larangan, dan kedua, hadis yang
membolehkan. Model pertama yang mengindikasikan larangan, yaitu seperti yang terdapat

dalam Shahi>h Muslim dari riwayat Abdullah bin Mas’ud ,\ dan model yang kedua adalah
hadis yang terdapat dalam Shahi>h Bukhari dari riwayat Khalid bin Abi Thalhah. 15
Penulis sendiri menemukan matan hadis yang berindikasi larangan tas}wi>r makhlukmakhluk bernyawa, sedangkan yang tidak bernyawa seperti tumbuh-tumbuhan dibolehkan.
Jadi pelarangan yang dimaksud tidak menyeluruh, tapi dibatasi pada makhluk bernyawa
saja. Petunjuk yang ditemukan tentang

hadis yang berisi larangan taswi>r makhluk

bernyawa dengan menggunakan kitab al-Mu‘jam al-Mufahras li al-fa>z} al-H}adi>s\ al-Nabawi>
sebagai berikut:

99, ‫ اب‬,308 ,1 ‫ تع م‬،‫ه نفي‬

‫ جعل ه بل‬، ‫ي ا‬

‫ل‬

Sedangkan petunjuk dalam kitab Kanz al-‘Umma>l fi> Sunan al-Aqwa>l wa al-Af‘a>l
adalah sebagai berikut:


" ‫ "م ع ب عب‬."‫ه ي هم‬
12

‫ يع‬،‫ه نفي‬

‫ جعل ه بل‬، ‫ي ا‬

‫"ل‬

Ibra>him Mustafa dkk, Mu’jam al-Wasi>t}, Juz I (Da>r al-Da’wah, t.th), h. 528.

13
14

Ibn Manz}u>r, Lisa>n al-‘Arab, Juz VII (Beirut: Da>r Ih}ya>’ al-Tura>t} al-‘Arabiyah, t.th), h. 438.

Ah}mad Mukhtar ‘Abd H}ami>d, Mu’jam al-Lugah al-‘Arabiyah al-Ma’a>s}irah, Juz III, h. 2067.
Ba>sem Dahdouh, ‚al-Tas}wi>r ‘ind al-‘Arab wa al-Muslimin baina al-Iba>hah wa al-Tahri>m (fi al‘Us{u>r al-Wust}a>)‛, Jurnal Teknik Sipil Universitas Damascus, vol. 1, (edisi 26, 2010), h. 331-332
15


5

Petunjuk yang tercantum pada dua kitab takhri>j di atas menunjukkan bahwa hadis
yang diteliti terdapat pada kitab:
a. Musnad Ah}mad Juz I, halaman 308 dari Ibn ‘Abba>s.
b. S{ah}i>h} Muslim dalam kitab Liba>s hadis ke-99 dari Ibn ‘Abba>s.
Redaksi hadis yang penulis dapatkan dari kedua kitab hadis di atas berdasarkan petunjuk
kitab takhri>j adalah sebagai berikut:
1) S{ah}i>h} Muslim 1 riwayat:

َ ْ ِِ ‫ َح ّ ثَ َ َ َْ ََ ْب ْ َأ‬،ََ ‫ َع ْ َع ْب ِ ْ َا ْع ََ ْب ِ َع ْب ِ ْ َا ْع‬،‫َْ ْب ِ عَ ِ ٍل اْ َجهْضَ ِ ِي‬
ِ ْ ‫َ َ ْأ ْ عَ ََ ن‬
ْ ‫ َع‬،‫ْ َق‬
ِ
، َ‫ َ َ ْ ِت ِِ ِ ه‬، َ َ ُ ‫ ِّ َ ْا ٌل ُأ َ ِ ْ َه ِ ِه ا‬:‫ َ َ َا‬، ٍ ّ‫ َا َا َ ْا ٌل َ ْب ِ َعب‬:‫ َ َا‬، ِ ‫َ ِع ِ ْب ِ َأ ِِ اْ َ َل‬
ِ
ِ
ْ ِ ‫ ُأن َِبئْ َك ِ َ َ َِ ْع ْت‬:‫ َ َا‬، ِ ِ ‫ َ َ َ َ ّ َا َ َ َ َ ْه عَ ََ َ ْأ‬،ِِ ِ ْ ْ :‫ ْ ّ َ َا‬،ْ ْ ِ َ َ َ ،ِِ ِ ْ ْ :‫َ َ َا َ ْه‬
ُ ْ « :‫ َ َِ ْع ْت َ ْ َا ِ َ َّ ْ عَ َ ْ ِ َا َ ّ َ َ ْ ْا‬، َ ّ َ ‫َ ْ اِ ِ َ َّ ْ عَ َ ْ ِ َا‬
، ِ ّ ‫ل ْ َ ِ ٍ ِي ا‬

َ َ ‫ َ ْ َ ِ ّاش َج َ َا‬، ً ‫ « ْ ْك ْ َت َ ْ ّ َ ِع‬:‫ ن َ ْف ًل َ ْت َع ِ ْ ْ ِي َ َهمّ َ » ا َ َا‬، ‫ل ْ َ ٍ َ ّ َ َه‬
ِ ْ ‫ ِب‬،ْ‫َ ْج َع ْل َه‬
ِ
16 َ
»‫ن َ ْف َي ْه‬
2) Musnad Ah}mad bin H{anbal 1 riwayat:

َ ْ ِِ ‫ َع ْ َ َْ ََ َ ْع ِِ ْب َ َأ‬،ََ ‫َح ّ ثَ َ َع ْب ْ ْ َا ْع ََ ْب ْ َع ْب ِ ْ َا ْع‬
‫ َا َا‬:‫ َ َا‬، ِ ‫ َع ْ َ ِع ِ ْب ِ َأ ِِ اْ َ َل‬،‫ْ َق‬
ِ
‫ َ َ ْ ِت ِِ ِ هَ ؟‬، َ َ ُ ‫ َا َأ ْ َ ْ َه ِ ِه ا‬، َ َ ُ ‫ ِّ َ ْا ٌل ُأ َ ِ ْ َه ِ ِه ا‬، ِ ‫ ََ َأ َ اْ َع ّب‬:‫ َ َ َا‬، ٍ ‫َ ْا ٌل َ ْب ِ َع ّب‬
ِ
ِ
ْ ِ ‫ ُأن َِبئْ َك ِ َ َ َِ ْع ْت‬:‫ َ َا‬، ِ ِ ‫ َ َ َ ِ ْ ْ َ ّ َا َ َ َ َ ْه عَ ََ َ ْأ‬،ِِ ِ ْ ْ :‫ َ َا‬،ْ ْ ِ َ َ َ ،ِِ ِ ْ ْ :‫َ َا‬
ُ ْ " :‫ َ َِ ْع ْت َ ْ َا ِ َ َّ ْ عَ َ ْ ِ َا َ ّ َ َ ْ ْا‬، َ ّ َ ‫َ ْ اِ ِ َ َّ ْ عَ َ ْ ِ َا‬
، ِ ّ ‫ل ْ َ ِ ٍ ِي ا‬
‫ َ ْج َع ِل ّاش َج َ َا َ َ ن َ ْف َي‬، ً ‫ل ْ َ ٍ َ ّ َ َه ن َ ْف ٌي تْ َع ِ ْ ْ ِي َ َهمّ َ " َ ْ ْك ْ َت َ ْ ّ َ ِع‬
ِ ْ ‫ْ ْج َع ْل َ ْه ِب‬
ِ
17 َ

‫ْه‬

16

Abu> al-H{usain Muslim bin al-H{ajja>j al-Qusyairi> al-Naisa>bu>ri>>, al-Musnad al-S{ah}i>h} al-Mukhtas}ar bi

Naql al-‘Adl ‘an al-‘Adl Ila> Rasu>lulla>h saw., Juz III, h. 1670.
17

h. 308.

Abu> ‘Abdilla>h Ah{mad Ibn Muh{ammad Ibn H{anbal al-Syaiba>ni>, Musnad Ah{mad Ibn H{anbal Juz I,

6

b. I’tiba>r Sanad

Setelah menelusuri dan mengumpulakan hadis dari kitab sumber, penulis kemudian
melanjutkan dengan i’tibar.18 Melalui i’tiba>r, akan terlihat dengan jelas seluruh sanad
hadis, ada atau tidak adanya pendukung berupa periwayat yang berstatus sya>hid atau

muta>bi’.19 Berdasarkan penelusuran hadis yang menjadi objek kajian dalam al-Kutub alTis’ah, maka ditemukan 2 jalur periwayatan yaitu S{ahi>h Muslim 1 riwayat dan Musnad
Ah}mad 1 riwayat, sehingga jumlahnya adalah 2 jalur periwayatan.
Dari 2 jalur periwayatan tersebut tidak terdapat sya>hid dan muta>bi’. Hadits
tersebut hanya diriwayatkan dari Ibn Abba>s (sahabat), diterima oleh Sa’i>d bin Abi> alHasan (tabi'in), kemudian diterima oleh Yahya> bin Abi> Isha>q (siga>r al-Tabi’i>n), lalu
diterima oleh Abd al-‘A’la> bin ‘Abd al’A’la> (tabi'u al-tabi'in), darinya kemudian diterima
langsung oleh Ahmad bin Hambal, sedangkan Muslim menerimanya melalui ‘Ala Nasr bin
‘Aliy al-Jahd}ami>. Dapat disimpulkan hadis ini dari segi kuantitas rawi digolongkan
sebagai hadis ghari>b Mutlaq.20 Selanjutnya untuk memperjelas keterangan diatas maka
dapat dilihat pada skema sanad.

18

I’tiba>r masdar dari kata ‫ إعتبر‬yang berarti peninjauan terhadap berbagai hal dengan maksud untuk
dapat mengetahui sesuatu yang sejenis. Sedangkan menurut istilah adalah menyetarakan sanad-sanad yang
lain untuk suatu hadis tertentu yang hadis itu pada bagian sanadnya tampak hanya terdapat seorang
periwayat saja dan dengan menyetarakan sanad-sanad yang lain tesebut akan dapat diketahui apakah ada
periwayat yang lain ataukah tidak ada untuk bagian sanad dari sanad hadis dimaksud. Lihat M.Syuhudi
Ismail, ‚Metodologi Penelitian Hadis Nabi‛ (Cet. I; Jakarta:BulanBintang, 1992), h. 51.
19

Sya>h}id adalah periwayat yang berstatus pendukung yang berkedudukan sebagai sahabat Nabi,
sedangkan muta>bi’ adalah periwayat pendukung pada periwayat yang bukan sahabat Nabi. Lihat M.Syuhudi
Ismail, ‚Metodologi Penelitian Hadis Nabi, h. 52.
20

Garib Mutlaq adalah salah satu jenis dari hadis Ahad, dan merupakan hadis yang tidak
diriwayatkan kecuali dari (satu-satunya) seorang sahabat. Dan yang rajih adalah dia disebut juga dengan alFard al-Mutlaq, atau disebut juga garib matan dan sanad. Syaraf Mahmud al-Qudah,al-Minhaj al-hadi>s fi
Ulum al-Hadis, dikutip dalam Sulidar, ‚Kedudukan Hadis Garib Sebagai Hujjah Dalam Ajaran Islam‛,
Analytica Islamica, vol 16, no. 02, (November 2014), h. 356

7

c.

Kritik Sanad
adapun hadis yang diteliti adalah dari jalur Ahmad bin Hambal, sebagai berikut:

َ ْ ِِ ‫ َع ْ َ َْ ََ َ ْع ِِ ْب َ َأ‬،ََ ‫َح ّ ثَ َ َع ْب ْ ْ َا ْع ََ ْب ْ َع ْب ِ ْ َا ْع‬
‫ َا َا‬:‫ َ َا‬، ِ ‫ َع ْ َ ِع ِ ْب ِ َأ ِِ اْ َ َل‬،‫ْ َق‬
ِ
. َ‫ َ َ ْ ِت ِِ ِ ه‬، َ َ ُ ‫ َا َأ ْ َ ْ َه ِ ِه ا‬، َ َ ُ ‫ ِّ َ ْا ٌل ُأ َ ِ ْ َه ِ ِه ا‬، ِ ّ‫ ََ َأ َ اْ َعب‬:‫ َ َ َا‬، ٍ ّ‫َ ْا ٌل َ ْب ِ َعب‬
ِ
ِ
ْ ِ ‫ ُأن َِبئْ َك ِ َ َ َِ ْع ْت‬:‫ َ َا‬، ِ ِ ‫ َ َ َ ِ ْ ْ َ ّ َا َ َ َ َ ْه عَ ََ َ ْأ‬،ِِ ِ ْ ْ :‫ َ َا‬، ْ ْ ِ َ َ َ ،ِِ ِ ْ ْ :‫َ َا‬
ُ ْ " :‫ َ َِ ْع ْت َ ْ َا ِ َ َّ ْ عَ َ ْ ِ َا َ ّ َ َ ْ ْا‬، َ ّ َ ‫َ ْ اِ ِ َ َّ ْ عَ َ ْ ِ َا‬
، ِ ّ ‫ل ْ َ ِ ٍ ِي ا‬
‫ َ ْج َع ِل ّاش َج َ َا َ َ ن َ ْفي‬، ً ‫ل ْ َ ٍ َ ّ َ َه ن َ ْف ٌي تْ َع ِ ْ ْ ِي َ َهمّ َ " َ ْ ْك ْ َت َ ْ ّ َ ِع‬
ِ ْ ‫ْ ْج َع ْل َ ْه ِب‬
ِ
21 َ
‫ْه‬
Artinya:
Telah menceritakan kepada kami ‘Abd al-‘A’la> bin ‘Abdal-‘A’la> dari Yah}ya> yakni
Ibn Abu> Ish}aq> , dari Sa’id bin Abu>al-H{asan berkata: seorang laki-laki datang
kepada Ibn‘Abba>s lalu berkata: Wahai Abu> al-‘Abba>s, sesungguhnya aku adalah
orang yang menggambar gambar-gambar ini dan aku yang membuat gambargambar ini.Maka berilah fatwa kepada saya mengenai gambar-gambar tersebut!
Ibn‘Abba>s berkata: Dekatkan ia padaku!. Lalu orang itu mendekat kepadanya
sampai meletakkan tangannya di atas kepalanya. Ibn‘Abba>s berkata: Aku akan
memberitahukan kepadamu apa yang aku dengar dari Rasululla>h saw., beliau
bersabda: Setiap penggambar di neraka. Akan dibuatkan jiwa untuknya pada setiap
gambar yang digambarnya, yang akan menyiksanya di dalam Jahannam. Jika
engkau harus melakukannya maka gambarlah pepohonan atau sesuatu yang tidak
memiliki nyawa.
Adapun kualitas perawi dan ketersambungan sanadnya dapat dilihat pada
penjelasan berikut:
1. Ibn‘Abba>s
Bernama lengkap ‘Abd Allah ibn ‘Abba>s ibn ‘Abd al-Mut}t}alib al-Ha>syimi>, nama
panggilannya Abu> al-‘Abba>s.22 Beliau wafat pada tahun 68 Hijriyah.23 Beliaupun

21

Abu> ‘Abdilla>h Ah{mad Ibn Muh{ammad Ibn H{anbal al-Syaiba>ni>, Musnad Ah{mad Ibn H{anbal, Juz I
(Cet. I; Beirut: ‘Al al-Di>n Abu> al-H{ajja>j Yu>suf al-Mizzi>, Tahzi>b al-Kama>l fi> Asma>’ al-Rija>l, Juz XV (Beirut:
Muassasah al-Risa>lah, 1403 H/ 1983 M), h. 155.

8

mendapatkan doa langsung dari Nabi Muh}ammad SAW sebagaimana hadis yang
diriwayatkan oleh Ibnu ‘Umar bahwasanya beliau berada di dekat ‘Abd Allah ibn ‘Abba>s
beliau berkata: sesungguhnya aku melihat Rasulullah SAW mendoakanmu(ibn ‘Abba>s)
lalu membasuh kepalamu dan meludah di mulutmu seraya berdo’a : Ya Allah pahamkanlah
dia tentang agama dan ajakanlah ta’wi>l.24
Ia berguru antara lain kepada Nabi Muh}ammad SAW, Maimu>nah, Abu> Bakr,
‘Us\man, ‘Ali, ‘Abd al-Rahma>n ibn ‘Auf, Mu’a>dz ibn Jabal, Abu> Dzar, Ubay ibn ka’b dan
sebagainya.25 Adapun nama murid-muridnya antara lain: Sa’i>d bin Abi> al-Hasan,26 Abu>
Salamah ibn ‘Abd al-Rahma>n, al-Qa>sim ibn Muh}ammad ibn Abu> Bakr, ‘Alqamah ibn
Waqqa>sh, ‘Ali> ibn H{usain ibn ‘Ali, ‘Ikrimah, ‘At}a>’, T{awu>s, Kuraib, Sa’i>d ibn Jubair,
Muja>hid27 dan masih banyak lagi yang lain.
2. Sa’id bin Abu> al-H{asan
Bernama lengkap adalah Sa’i>d bin Abi>

al-Hasan Yasa>r al-Basri>. Ia adalah

seseorang yang Ra>hiban li di>nihi> dan menurut al-Nasa>’i>, ia termasuk s\iqah al-Ta>bi’i>n.
wafat pada tahun 100 H. ia meriwayatkan hadis dari ibunya, Khairah, Abu Hurairah, Abu
Bakrah al-S|aqafi>, dan Ibn ‘Abba>s. adapun murid-muridnya antara lain yaitu Qata>dah,
Sulaiman al-Taimi>y, Kha>lid al-Khazza’, ‘Auf al-‘A’rab>i>, ‘Ali bin Ali al-Raffa>’i>, dan
selainnya.28

23

Ah}mad ibn ‘Ali> ibn H{ajar Abu> al-Fad}l Al-‘Asqala>ni al-Syafi>’i>>, Tahzi>b al-Tahzi>b, Juz V (Beirut:
Muassasah al-Risa>lah, t.th.) h. 244.
24

Ah}mad ibn ‘Ali> ibn H{ajar Abu> al-Fad}l al-‘Asqala>ni> al-Syafi>’i>, al-Isha>bah fi> tamyi>z al-Shaha>bah,
Juz IV (Beirut: Da>r al-Jail, 1412), h. 143.
25

Al-‘Asqala>ni>, Tahzi>b al-Tahzi>b, h. 242.

26

Syamsuddin Abu Abdillah Muhammad bin Ahmad bin ‘Us\ma>n bin Qaima>z al-Zahabi>, Siyar

‘A’la>m al-Nubala>’, Jilid III (t.tp: Muassasah al-Risalah, 1405 H/1985 M), h. 333
27

Ibid., h. 243.

28

589

Muhammad bin Ahmad bin ‘Us\ma>n bin Qaima>z al-Zahabi>, Siyar ‘A’la>m al-Nubala>’, Jilid IV, h.

9

3. Yah}ya> Ibn Abu> Ish}a>q
Bernama lengkap adalah Yahya> bin Abi> Isha>q al-Had{rami> al-Basri>. Ia termasuk

Siga>r al-Ta>bi’i>n. Menurut ‘Amru> bin ‘Ali> dan Ibnu Hibba>n, ia wafat pada tahun 136 H,
sedangkan pendapat lain mengatakan wafatnya ditahun 132 H. al-Nasa>’i> dan Ibnu Hibba>n
menilainya s\iqah, dan Muhammad bin Sa’ad menambahkan bahwa selain ia s\iqah, ia
memiliki banyak hadis dan menguasai al-Qur’an, bahasa Arab dan ilmu nahwu.29
Ia meriwayatkan hadis diantaranya dari Anas bin Malik, Sa>lim bin Abdullah bin
Umar, Sa’i>d bin Abi> al-Hasan Yasa>r al-Basri>, ‘Abdurrahman bin Abi> Bakrah al-S|aqafi>,
dan selainnya. Adapun murid-muridnya antara lain yaitu Isma’i>l bin ‘Ulya, Kha>lid bin
‘Abdillah al-Wa>sit}i>, Syu’bah bin al-Hajja>j, ‘Abd al-‘A’la> bin ‘Abd al-‘A’la, Yahya> bin Abi>
kas\i>r, Hisya>m bin Basyi>r, dan selainnya.30
4. ‘Abd al-‘A’la> bin ‘Abd al-‘A’la>

Bernama lengkap adalah ‘Abd al-‘A’la> bin ‘Abd al-‘A’la> bin Muhammad alQurasyi> al-Basri> al-Sa>mi>y, dengan nama panggilan (kunniyah) yaitu ‘Abd al-‘A’la> Abu>
Muhammad dan Abu Hamma>m. ia termasuk Ta>bi’ al-Ta>bi’i>n

yang mendapat gelar

sebagai al-Ima>m, al-Muhaddis\, al-ha>fiz\, dan wafat pada tahun 189 H diusia 70 tahun. 31
Beberapa penilaian ulama terhadapnya antara lain: s\iqah menurut Yahya> bin Mu’i>n, lam

yakun bi al-Qawi> menurut Muhammad bin Sa’ad,32 dan s}adu>q qawiy al-Hadi>s\ lakinnahu>
rumiya bi al-Qadar menurut al-Zahabi>.33

29

Jama>l al-Di>n Abu> al-H{ajja>j Yu>suf al-Mizzi>, Tahzi>b al-Kama>l fi> Asma>’ al-Rija>l, Jilid XXXI, h. 199

30

Ibid., h. 201.

31

Muhammad bin Ahmad bin ‘Us\ma>n bin Qaima>z al-Zahabi>, Siyar ‘A’la>m al-Nubala>’, Jilid IX, h.

242-243.,
32

Syamsuddin Abu Abdillah Muhammad bin Ahmad bin ‘Us\ma>n bin Qaima>z al-Zahabi>, Mi>za>n al-

‘I’tida>l fi> Naqd al-Rija>l, Jilid II (Beirut: Dar al-Ma’rifah, 1963 M), h. 531.
33

243

Muhammad bin Ahmad bin ‘Us\ma>n bin Qaima>z al-Zahabi>, Siyar ‘A’la>m al-Nubala>’, Jilid IX, h.

10

Ia meriwayatkan hadis dari beberapa ulama antara lain Humaid al-Thawi>l, Yunus
bin Ubaid, Sai>d bin Abi> Aru>bah, Yahya> bin Abi> Isha>q al-Had{rami> al-Basri dan yang
semasa dengan mereka dan generasi setelahnya. Adapun murid-muridnya antara lain Isha>q
bin Ra>haway, Abu Bakr bin Abi> Syaibah, Nas}r bin ‘Ali, dan Muhammad bin Yahya alZimma>niy.34
5. Ah}mad ibn H{ambal
Bernama lengkap Ah}mad ibn Muh}ammad ibn H{ambal ibn Hila>l ibn Asad ibn Idris
ibn ‘Abdulla>h al-Syaiba>ni al-Marwazi>.35 Sha>lih} ibn Ahmad berkata : Beliau lahir pada
bulan Rabi’ al-Awal tahun 164 H36 di Baghda>d, ada juga yang berpendapat di Marwin dan
wafat pada hari Jum’at bulan Rajab 241 H.37
Mulai mencari ilmu di umur 15 tahun bertepatan dengan tahun wafatnya Imam
Malik dan Hamma>d bin Zaid.38 adapun nama guru-gurunya antara lain ‘Abd al-‘A’la> alSa>miy,39 Ibrahim ibn Kha>lid al-Shan’a>ni>, Ibra>him ibn Sa’d al-Zuhri>, Ibra>hi>m ibn Syamma>s
al-Samarkindi>, Ish}aq> ibn Yu>suf, dan Isma>’i>l ibn ‘Aliyah.40 Dan adapun nama muridmuridnya antara lain al-Bukha>ri>, Muslim, Abu> Da>wud, Ibra>hi>m ibn Ish}a>q al-H{arbi>, dan
Ah}mad ibn H{asan ibn Junaidib al-Turmudzi>.41 Dia adalah seorang muh}addis\ sekaligus

34

Ibid. h. 243

35

Abu> al-‘Abba>s Ah{mad ibn Muh{ammad ibn Abi> Bakar ibn Khalka>n, Wafaya>t al-A‘ya>n wa Anba>’

Abna>’ al-Zama>n, Juz. I (Beirut: Da>r S{a>dir, 1900 M.), h. 63.
36

Al-S{afdi>, al-Wafi> bi al-Wafaya>t, juz I (t.d.), hal. 344.

37

Abu> Ish}a>q al-Syaira>zi>, T{abaqa>t al-Fuqaha>’ (Beirut: Da>r al-Ra>id al-Arabi>, 1970 M.), h. 91.

38

Muhammad bin Ahmad bin ‘Us\ma>n bin Qaima>z al-Zahabi>, Siyar ‘A’la>m al-Nubala>’, Jilid XI, h.

39

Ibid., h. 181.

180
40

Jama>l al-Di>n Abu> al-H{ajja>j Yu>suf al-Mizzi>, Tahzi>b al-Kama>l fi> Asma>’ al-Rija>l, Juz I (Cet. II;
Beirut: Muassasah al-Risa>lah, 1403 H/ 1983 M), hal. 437.
41

Ibid. hal. 440.

11

mujtahid. Dia menghafal kurang lebih 1 juta hadis dan pernah berguru kepada al-Syafi>’i.
Dialah penyusun kitab Musnad Ah}mad.42
Hasil penelusuran memberikan jawaban bahwa sanad hadis tersebut memenuhi
syarat-syarat ketersambungan sanad, dengan melihat indikasi dimungkinkan terjadi
pertemuan guru-murid. Dari segi kedhabitan, seluruh periwayatnya s\iqah kecuali ‘Abd al‘A’la> bin ‘Abd al-‘A’la yang menurut al-Zahabi> kemampuan hafalannya mengalami
perubahan karena usia.43 namun hal tersebut tidak mengurangi ke-siqah-annya dengan
melihat kemungkinan bahwa Ahmad bin Hambal berguru padanya sebelum mengalami
perubahan. Sehingga dari segi kualitas hadis ini dikategorikan S}ahi>h al-Sanad.
Mengenai masalah Syadz dan Illat, para ulama berbeda pendapat dalam hadis ahad.
Dari beberapa pendapat, penulis lebih cenderung memilih pendapat al-Syafi’i> yakni
tidaklah dapat dinyatakan sebagai hadis yang mengandung syuzuz bila terdapat hadis yang
diriwayatkan oleh seorang periwayat yang siqah, sedangkan periwayat siqah yang lainnya
tidak meriwayatkan. Barulah Hadis dinyatakan mengandung syuzuz apabila hadis yang
diriwayatkan oleh seorang periwayat yang siqah tersebut bertentangan dengan hadis yang
diriwayatkan oleh banyak periwayat yang juga bersifat siqah.44 Karena memenuhi kualitas
kesahihan sanad, maka hadis ini kemungkinan terdapat syadz dan illat juga kecil.
jika pendapat Imam al-hakim al-Naisabu>ri> yang diterima, maka hadis dinyatakan
mengandung syuzuz apabila sebuah hadis diriwayatkan oleh seorang yang s\iqah, tetapi
tidak ada periwayat s\iqah lainnya yang meriwayatkannya. Adapun Abu Ya’la al-Khalili>
berpendapat bahwa hadis syaz adalah hadis yang sanadnya hanya satu macam, baik
42

Abu> al-H{asan Ah}mad ibn ‘Abdullah ibn S{a>lih} al-‘Ajli>, Ma’rifah al-S\iqa>h. Juz I, (Cet. I; Maktabah
al-Da>r bi al-Madi>nah al-Munawwarah, 1405 H), hal. 42.
43

Namun periwayat yang mengalami perubahan kemampuan hafalan karena pikun atau karena
sebab lain, tetap dinyatakan sebagai periwayat yang dhabit sampai saat sebelum mengalami perubahan.
Sedang sesudah mengalami perubahan, dia dinyatakan tidak dhabit. Syuhudi Ismail, Kaedah Kesahihan
Sanad Hadis (Jakarta: Bula Bintang, 1995), h. 137
44

Ibid., h. 139

12

periwayatnya s\iqah atau tidak. Apabila periwayatnya s\iqah maka hadis itu dibiarkan
(mutawaqqaf), tidak ditolak dan tidak diterima sebagai hujjah. Sedang apabila
periwayatnya tidak s\iqah maka hadis itu ditolak sebagai hujjah.45 Jika kedua pendapat ini
yang diikuti maka banyak hadis yang oleh mayoritas ulama hadis telah dinilai shahih akan
berubah menjadi tidak shahih.
Dari segi kehujjahan, pandangan Imam Asy-Syafi’i menetapkan bahwa hadis-hadis
yang sahih harus diterima secara keseluruhan baik dalam masalah aqidah maupun hukum.
Bahkan, Imam Asy-Syafi’i tidak membedakannya, apakah itu khabar mutawatir atau ahad.
Dengan demikian orang yang membedakannya mestinya mengemukakan dalil yang jelas,
baik berdasarkan Alquran ataupun hadis.46
Bahkan Ibnu ‘Abdil-Bar telah mengisyaratkan ijma’ tentang penerimaan dan
pengamalan khabar/hadis ahad dalam semua permasalahan agama (termasuk aqidah dan
hukum), dimana beliau menjelaskan dengan tegas :

، ‫ اجع ه ع ً ا ً ِ عت ه‬، ‫ ا ع ي ا ي ع ه‬،

‫َخ ا ح اع ا ِ اعت‬
‫ال‬
. ‫عَ ذك ميع أهل ال‬

‚Dan semuanya berpegang kepada satu riwayat satu orang yang adil dalam hal
‘aqidah; membela, mempertahankannya, serta menjadikannya sebagai syari’at dan agama.
Seperti itu pula pendapat jama’ah Ahlus-Sunnah.‛47
d.

Kritik Matan
Teks hadis ini memberi indikasi adanya celaan penggambaran mahluk hidup

sebagai objek lukisan. Pandangan ini bisa mengakibatkan terhambatnya kreatifitas para

45
46

Ibid., h. 140

Imam al-Sya>fi’i>, al-Risa>lah (Riyad: Dar al-Ma’arif, 1997), h. 154
Abu Umar Yusuf ibn Abd al-Bar, al-Tahmid, dikutip dalam Sulidar, ‚Kedudukan Hadis Garib
Sebagai Hujjah Dalam Ajaran Islam‛, Analytica Islamica, h. 366.
47

13

seniman muslim. Mereka akan memilih bersikap menghindar dari menuangkan ide-ide
kreatifnya ke dalam bentuk lukisan mahluk bernyawa.
Kandungan matan hadis ini tidaklah bertentangan dengan al-Qur’an, hadis dan akal
sehat. Namun masalah akan muncul jika hadis ini dipahami secara harfiah saja tanpa
melakukan penelusuran terhadap fakta sejarah, yakni masa ketika hadis ini di sabdakan
oleh Rasulullah saw.
Al-Qur’an dalam surah al-Baqarah/2: 22 dapat dijadikan dalil pendukung hadis
tersebut:

َ َ ُْ ْ َ‫ّ َِي َج َع َل اَ ْ ُْ ْ َا ْ َ ِ َ ًش َا ّال َ َا ِ َ ًا َا َأ ْن َز َا ِ َ ّال َ ِا َ ًا َ َ ْخ َ َج ِ ِ ِ َ اث ّ َ َ ِ ِ ْ ً ا‬
َ ْ َ ‫َ َْ َع ْ ِ ّ ِّ َأنْ َ ً َا َأن ْ ُْْ تَ ْع‬
Terjemahnya:
‚Dialah yang menjadikan bumi sebagai hamparan bagimu dan langit sebagai atap,
dan Dia menurunkan air dari langit, lalu Dia menghasilkan dengan hujan itu segala
buah-buahan sebagai rezeki untukmu, karena itu janganlah kamu mengadakan
sekutu-sekutu bagi Allah, padahal kamu mengetahui‛
Hadis tentang larangan taswi>r makhluk bernyawa dapat menjadi baya>n (penjelas)
terhadap dalil al-Qur’an ini. Karena dalam al-Qur’an tidak dijelaskan secara rinci tentang
praktik syirik, namun hanya menegaskan larangan dan ancaman perbuatan syirik. Hadis
inilah yang menjelaskan tentang beberapa upaya praktik kemusyrikan yang terjadi dimasa
Rasulullah saw, salah satunya melalui taswi>r.
3) Analisis Kandungan Hadis
Dalam kehidupan umat Islam persoalan lukisan atau gambar dan patung, sebagian
besar ulama terutama ulama klasik menolak bahkan mengharamkan membuat lukisan atau
patung makhluk bernyawa. Pendapat ini berdasarkan pada pesan Nabi saw. yang

14

mengancam para pembuat gambar atau pematung sebagaimana riwayat dari Ibn ‘Abba>s r.a
berikut:

ِ ْ ‫ِ ٍ ِي ا ّ ِ َ ْج َع ْل َ ْه ِب‬
َ ّ ‫ل ْ َ ٍ َّا َ َه ن َ ْف ًل َ ْت َع ِ ْ ْ ِي َ َه‬
48 َ
‫ن َ ْف َي ْه‬

ُ ْ ‫َ ْ ْا‬
َْ‫ل‬
َ َ ‫ّاش َج َ َا‬

َ ّ َ ‫َ ْ َا ّ ِّ َ َّ ّ ّْ عَ َ ْ ِ َا‬
ْ َ ْ َ ً ‫َ َا ْ ْك ْ َت َ ْ ّ َ ِع‬
ِ

Artinya:
‚Rasululla>h saw. bersabda: Setiap orang yang suka menggambar akan masuk neraka.
Allah akan menjadikan baginya, dengan setiap gambar yang dibuat sosok yang akan
menyiksanya di neraka Jahanam kelak. Ibn Abba>s berkata; 'Jika kamu memang harus
tetap melakukannya juga, maka buatlah gambar pepohonan atau benda lain yang tak
bernyawa.‛
Bila melihat beberapa keterangan atau kitab yang menjelaskan tentang sebabsebab munculnya hadis (asba>b al-wuru>d),ditemukan bahwa asba>b al-wuru>d hadis di atas,
yaitu ketika seorang laki-laki yang profesinya sebagai penggambar atau pengukir patung
datang dan meminta fatwa kepada Ibn ‘Abba>s tentang profesinya, yakni sebagai
penggambar atau pematung kemudian Ibn ‘Abba>s menyampaikan hadis di atas.49
Menurut al-Qast}ala>ni>,secara umum kata tas}wi>r/al-mus}awwiru>n yang terdapat pada
hadis adalah para pelukis yang menjadikan bentuk makhluk yang memiliki ruh.50 Bila

ُ ْ‛
‫ل‬

diamati secara teks, dengan memperhatikan kata ‚

yang dimaknai dengan

‚setiap‛maka secara umum hadis di atas memberikan pengertian bahwa setiap orang yang
menggambar atau yang berprofesi sebagai penggambar atau pengukir patung makhluk
bernyawa, akan masuk neraka dan akan diazab oleh Allah swt.

48

Abu> al-H{usain Muslim bin al-H{ajja>j al-Qusyairi> al-Naisa>bu>ri>, al-Musnad al-S{ah}i>h} al-Mukhtas}ar, Juz
III, h. 1670.
49

Ibra>him Ibn Hamzah al-H{usaini>, al-Baya>n wa al-Ta’rif fi> Asba>b al-Wuru>d al-H{adi>s\ al-Syarif, Jilid II
(Beirut: Da>r al-Kutub al-‘Arabi>, t.th), h. 147.
50

Abu> al-‘Abba>s Ah}mad bin Muh}ammad bin Abi> Bakr al-Qast}ala>ni>, Irsya>d al-Syari>’ liSyarh S}ah{i>h}
al-Bukha>ri>, Juz VIII (Cet.VII, Mesir:al-Mat{ba’ah al-Kabri> al-Amiriyah, 1323H), h. 481.

15

Sedangkan kalimat ‚

‫‛ َ ْ َ ْ ّاش َج َ َا َ َ ن َ ْف َي َ ْه‬

merupakan pengecualian atau

pembatasan, yakni kecuali orang-orang yang melukis atau menggambar makhluk tidak
bernyawa. Keburukan dan dibencinya pembuat gambar atau ukiran patung makhluk
bernyawa ditunjukkan melalui lafas ‚

َ ّ‫‛ َ ْت َع ِ ْ ْ ِي َ َهم‬yaitu siksaan atau azab bagi orang yang

suka menggambar atau mengukir patung adalah neraka Jahannam.
Terkait dengan hal ini al-Syauka>ni> mengatakan bahwa, kalimat ‚

َ ّ‫(‛ َ َهم‬azab

‫َ ْت َع ِ ْ ْ ِي‬

di neraka Jahannam) pada hadis di atasmenunjukkan keharaman untuk

membuat gambar atau mengukir patung. Sedangkan perkataan Ibn ‘Abba>s

‫َ ِع ً َ ْ َ ْ ّاش َج َ َا َ َ ن َ ْف َي َ ْه‬

menunjukkan pembatasan,

ّ ْ َ ‫ْ ْك ْ َت‬
ِ

yakni kebolehan untuk

menggambar atau mengukir makhluk yang tidak bernyawa, seperti pepohonanserta
keharaman lukisan atau patung yang bernyawa seperti manusia dan binatang (makhluk
bernyawa).51
Sejalan

dengan

al-Syauka>ni>,

Fais}}al

bin

‘Abd

al-‘Azi>z

al-Nazdi>

juga

mengungkapkan bahwa hadis di atas menunjukkan kebolehan menggambar makhluk yang
tidak bernyawa seperti pohon, bangunan dan sebagainya.52 Demikian juga syekh S}a>lih alUs\aimin menjelaskan bahwa berdasarkan hadis di atas, bila dipandang dari segi objeknya,
maka tas\wir terbagi menjadi dua. Pertama adalah gambar atau patung yang diharamkan
yakni gambar atau patung yang memiliki ruh atau nyawa, seperti manusia dan binatang
yang terbuat dari kayu, batu, tanah dan sebagainya. Kedua adalah gambar atau patung
yang tidak memiliki ruh seperti matahari,bulan, bintang, gunung dan sebagainya,gambar
seperti ini tetap dibolehkan.53Dengan demikian bila hadis di atas dipahami secara teks dan
51

Muh}ammad bin Ali> bin Muh}ammad al-Syauka>ni> al-Yama>ni>, Nail al-Aut}a>r, Juz II (Mesir: Da>r alH}adi>s,\ 1993M), h. 122.
52

Fais}al bin ‘Abd al-‘Azi>z al-Nazdi>, Tat}ri>z Riya>d} al-S|a>lihi>n, Juz I (Riyad}: Da>r al-‘A>simah li al-Nas|r
al-Tauzi>’, 2002 M), h. 947.
53

Muh}ammad bin S{a>lih} bin Muh}ammad al-‘Us\aimi>n, Syarh Riya>d al-S{a>lihi>n, Juz VI (Riya>d: Da>r alWat}an, 1426H), h. 418.

16

memperhatikan pandangan ulama di atas, maka gambar atau ukiran berupa makhluk
bernyawa merupakan hal yang dibenci dan ditolak secara mutlak oleh Islam kapan dan
dimanapun. Sedangkan yang tidak memiliki nyawa tetap diterima dan dibenarkan.
Selanjutnya,melihat realitas kehidupan khususnya kaum muslim dalam konteks
kehidupan masa kini berdasarkan perkembangan ilmu pengetahuan dan teknologi,maka

tas\wi>r (lukisan dan patung) dari sisi cara pembuatannya terbagi menjadi dua. Pertama
yaitu membuat dengan tangan seperti menggambar,melukis dan mengukir. Kedua adalah
membuat dengan menggunakan alat-alat modern seperti kamera (fotografi), komputer dan
sebagainya.
Terkait persoalan pertama,yakni membuat lukisan atau ukiran dengan tangan,
mayoritas ulama menolak karena termasuk dosa besar dengan alasan menyerupai atau
menandingi ciptaan Allah. Alasan ini merujuk kepada QS al-Ahz\ab/33:57, yang memiliki
arti:

ً ‫ّ ّ َِ َ ْ ْؤ ْذا َ ّ َّ َا َ ْ َ ْه اَ َعََ ْ ْ ّ ّْ ِي دُ نْ َ َا ْا ِخ َ ِ َا َأعَ ّ اَهْ ْ عَ َ ً ْ ِه‬
ِ

Terjemahnya:
‚Sesungguhnya (terhadap) orang-orang yang menyakiti Allah dan Rasul-Nya,
Allah akan melaknatnya di dunia dan di akhirat, dan menyediakan azab yang
menghinakan bagi mereka.‛54
Ikrimah berpendapat bahwa yang dimaksud menyakiti Allah dan Rasul-Nya pada
ayat di atas adalah mereka yang membuat al-s}uwar (lukisan atau patung),55 pendapat
Ikrimah dilandasi oleh hadis yang diriwayatkan oleh Abu>Hurairah berikut:

ً َ ،َ َ ْ َ ‫ َ َ ْ ْت َ َ َأ ِِ ْه‬:‫ َ َا‬، َ َ‫ َح ّ ثَ َ َأ ْ ْ ْ ع‬،ْ َ َ ْ َ َ‫ َح ّ ث‬، ِ ‫ا َ ِح‬
ْ َ ‫ « َا َ ْ َأ ْظ‬:‫ َ َِ ْع ْت َ ْ َا ّ ِّ َ َّ ْ عَ َ ْ ِ َا َ ّ َ َ ْ ْا‬:‫ َ َا‬، ْ ِ َ ْ ً ِ
56
» ً ّ ‫ َااْ َ ْ ْ ْ َذ‬، ً ّ َ ْ ْ ْ َ ْ َ

ْ ‫ َح ّ ثَ َ َع ْب‬،‫َح ّ ثَ َ ْ َو‬
َ ْ ‫ َ َ َأ َأ ْع َ َه‬، ِ َ ِ َ ْ‫ِ ا‬
،‫ِ ّ ْ َذ َه َ َ ْ ْ ْ َك َ ْ ِي‬

54

Kementerian Agama RI, Al-Qur’an dan Terjemahnya, h. 427.

55

Abu> Muh}ammad ‘Abd al-‘Azi>z, al-Asalat Wa al-Ajwabat al-Fiqhiyah, Juz I (t.t), h. 97.

17

Artinya:
‚Telah menceritakan kepada kami Musa> telah menceritakan kepada kami ‘Abd alWa>hid telah menceritakan kepada kami 'Umarah telah menceritakan kepada kami
Abu>> Zar'ah dia berkata; saya masuk rumah (milik salah seorang) penduduk Madinah
bersama Abu> Hurairah, lalu dia melihat ke atap rumah ada sesuatu yang bergambar,
dia berkata; saya mendengar saw.bersabda: 'Dan siapakah yang lebih zalim daripada
orang-orang yang pergi untuk membuat ciptaan seperti halnya ciptaan-Ku. Maka
hendaklah mereka menciptakan jagung, atau biji-bijian atau biji gandum"
Hadis di atas merupakan salah satu dalil yang digunakan oleh para ulama untuk
menolak bahkan mengharamkan taswi>r yang dibuat dengan tangan. Sementara fotografi
atau membuat dengan menggunakan alat seperti kamera, terjadi perbedaan dikalangan
ulama.Sebagian ulama berpendapat bahwasanya dari sisi hukum, fotografi sama hukumnya
dengan membuat dengan tangan yakni haram dan sebagian yang lain membolehkan.
Di antara ulama yang mengharamkan fotografi adalah Syekh Bin Baz, dia
mengatakan bahwa dalil-dalil tentang membuat lukisan atau patung dengan tangan juga
berlaku pada fotografi. Demikian juga syekh Ali> al-Sabu>>ni> dan al-Gani>ma>n menjelaskan
bahwa kata ‚kullu‛ pada hadis yang menjadi objek kajian menunjukkan keumuman,
termasuk di dalamnya gambar dengan tangan maupun dengan menggunakan alat seperti
kamera, semuanya termasuk di dalam hadis tersebut.57Alasan lain mungkin karena yang
dibatasi oleh Ibn ‘Abba>s hanya dari sisi bernyawa atau tidak, bukan dari sisi dibuat dengan
tangan atau dengan alat seperti kamera dan sebagainya. Sedangkan ulama mutaakhirin
seperti Yu>suf al-Qard}a>wi>, tetap membuka ruang dan menerima fotografi selama tidak
menyimpang dari syariat islam.
Yu>suf al-Qard}a>wi> menganggap bahwa fotografi merupakan hal baru dan belum ada
pada masa Rasululla>h saw. ataupun ulama Salaf, lalu apakah bisa disamakan dengan
56

Abu> ‘Abdilla>h Muh}ammad bin Isma>il bin Ibra>him bin Mugi>rah al-Bukha>ri>, Al-Ja>mi’ al-Musnad al-

S}ah}i>h} al-Mukhtas}ar min Umu>r Rasu>lulla>h, JuzVII, h. 167.
57

‘Abdulla>h bin Muh}ammad al-Gani>ma>n, Syarh Kitab al-Tauhi>d min S{ah}i>h} al-Bukha>ri>, Juz IV
(Madinah: Maktabah al-Da>r, 1405H), h. 128.

18

menggambar dan melukis dengan tangan.? Apakah fotografi ini dapat dikiaskan dengan
menggambar menggunakan kuas? atau apakah alasan yang ditetapkan beberapa hadis
tentang akan disiksanya para penggambar yaitu karena niatnya hendak menandingi ciptaan
Allah itu dapat diberlakukan pada fotografi. ?58
Yu>suf al-Qard}a>wi> mengutip fatwa yang disampaikan Syekh Bukhait Mufti Mesir
di dalam risalahnya ketika menjawab tentang permasalahan ini. Syekh Bukhait
mengatakan bahwa pengambilan

fotografi adalah

menahan bayangan dengan

menggunakan sarana yang sudah dikenal di kalangan orang-orang yang berprofesi seperti
itu. Masalah ini sama sekali tidak termasuk gambar yang dilarang, karena menggambar
yang dilarang itu adalah mewujudkan dan menciptakan gambar yang belum diwujudkan
dan diciptakan sebelumnya, sehingga bisa menandingi makhluk ciptaan Allah. Sedangkan
tindakan menandingi ciptaan Allah tidak terdapat dalam pengambilan gambar melalui alat
fotografi (kamera) tersebut.59
Sebagian ulama menerangkan bahwa sebab atau alasan dibenci dan ditolaknya
gambar atau patung makhluk bernyawa ada kaitannya dengan persoalan tauhid,
sebagaimana orang-orang Jahiliah yang menyembah lukisan atau patung. Di antaranya
adalah al-Jibri>n berpendapat bahwa salah satu alasannya karena gambar atau lukisan
dijadikan sarana kesyirikan yakni menyekutukan Allah swt gambar atau patung menjadi
sumber pemujaan (berhala), bergantung kepadanya atau disembah selain Allah swt.60
Sementara Muh}ammad bin ‘Abd al-‘Azi>z Sulaima>n menyatakan bahwa alasannya bila

58

Yu>suf al-Qard}a>wi>,al-Islam Wa al-Fann, terj. Wahid Ahmadi dkk, Islam Bicara Seni, h. 104.

59

Yu>suf al-Qard}a>wi>, al-Islam Wa al-Fann, terj. Wahid Ahmadi dkk, Islam Bicara Seni, h.105.

60

‘Abdulla>h bin ‘Abd al’Azi>z bin H{amma>dah al-Jibri>n, Mukhtas}ar Tashi>l al-‘Aqi>dah al-Isla>miyah,
Juz I (Maktabh al-Rasyi>d, 1424H), h. 94.

19

dihubungkan dengan tauhid adalah karena tas}wi>r menyerupai atau menandingi ciptaan
Allah dan itu adalah bagian dari menyaingi Allah swt. dari sisi rububiyah-Nya.61
Pelarangan taswi>r oleh Rasulullah kala itu erat kaitannya dengan kebiasaan bangsa
Arab Badui pra-Islam yang merupakan masyarakat animis dan politeis. Mereka percaya
tentang kehidupan roh pada objek-objek tertentu, seperti pada patung, batu besar, pohon
keramat. Adanya perniagaan patung, sehingga beberapa orang beprofesi sebagai pemahat
patung yang menggambarkan Latta, Uzza, Manna, dan Hubal.62
Kemunculan Islam dengan tegas memberantas kemusyrikan yang demikian
mendarah daging dalam masyarakat Arab. Berhala yang disembah berupa patung-patung
berbentuk orang dan nabi-nabi mulai dihilangkan dan dilarang. Begitupun juga dengan
kebiasan-kebiasaan buruk lainnya seperti zina, minuman keras, dan musik.63
Hadis-hadis yang membahas taswir sangat efektif diterapkan dimasa masyarakat
Arab masih menyembah dan mengagungkan berhala, dan kaum muslimin yang baru
melepaskan diri dari kemusyrikannya. Namun apabila hadis tersebut dihadapkan dengan
konteks kekinian maka hadis tersebut dapat menjadi sebuah problem sosial bagi umat
sekarang, dimana hasil kerajinan dan kesenian menjadi sebuah ekspresi akan keindahan,
dibuat untuk mengagumi ciptaan Tuhan, dan menjadi sumber mata pencaharian untuk
menghidupi keluarga. Bahkan seni rupa dan lukis telah menjadi program studi diberbagai
tingkat jenjang pendidikan di Indonesia.
Menghadapi fenomena ini, saat hadis terasa tidak sejalan dengan realita, maka
tidak mungkin untuk meniadakan atau membuang hadis yang benar-benar berasal dari

61

Muh}ammad bin ‘Abd al-‘Azi>z al-Sulaima>n al-Qur’a>wi>, al-Jadi>d fi> Syarh Kita>b al-Tauh}i>d, Juz I
(Jeddah: Maktabah al-Sawa>di>, 2003M), h. 443.
62

Ira M. Lampidus, Sejarah Sosial Umat Islam Bagian I dan II. Terj. Gufron A. Mas’adi (Jakarta:
Raja Grafindo Persada, 1999), h. 87-90
Ba>sem Dahdouh, ‚al-Tas}wi>r ‘ind al-‘Arab wa al-Muslimin baina al-Iba>hah wa al-Tahri>m (fi al‘Us{u>r al-Wust}a>)‛, Jurnal Teknik Sipil Universitas Damascus, h. 329
63

20

Rasulullah saw. Sebagian orang tetap berpegang teguh pada teks, bahwa segala hal yang
berkaitan dengan seni rupa seperti melukis, memahat, dan mempelajarinya adalah haram.
Sedangkan sebagian yang lain lebih memilih memahaminya secara konteks, bahwa hadis
yang melarang taswir dimaksudkan sebagai langkah prefentif yaitu pencegahan umat
Islam kembali kepada kepercayaan terdahulu; penyembahan berhala. Boleh jadi ada
ketakutan dalam diri Rasulullah bahwa nanti sepeninggal dirinya, umat kembali tersesat,
oleh karena itu ia dengan tegas melarang aktivitas yang berkaitan dengan berhala, patung,
dan lukisan. Nabi tidak membenci aktivitas maupun materi-materi itu, namun
keberadaannya dapat mengundang kepada kesyirikan.
Syuhudi Ismail berpendapat bahwa larangan melukis dan memajang lukisan yang
dikemukakan oleh Nabi sebenarnya memiliki illat hukum. Illat hukumnya kurang lebih
seperti dikemukakan diatas, yakni dalam kapasitasnya sebagai Rasul, Nabi berusaha keras
agar umat Islam terlepas dari jerat kemusyrikan. Salah satu cara yang ditempuh adalah
dengan mengeluarkan larangan memproduksi dan memajang lukisan. Ancaman yang berat
ditujukan untuk pembuat dan pemajangnya. Kalau illat hukumnya demikian, maka akan
ada masa dimana umat Islam tidak lagi terjerumus dalam kemusyrikan, khususnya dalam
bentuk menyembah lukisan, maka membuat dan memajang lukisan dibolehkan.64 Jika
pendapat Syuhudi Ismail dapat diterima, maka larangan tas{wi>r pada objek bernyawa harus
disesuaikan dengan konteks masyarakat yang dihadapi.
C. Kesimpulan
Penelitian yang singkat ini menyimpulkan bahwa hadis tentang larangan taswir
makhluk bernyawa termasuk hadis garib mutlaq atau al-Fard al-Mutlaq. Hadis ini
memenuhi kriteria sanad yang shahih yang dibuktikan dengan ketersambungan sanad dan

64

Syuhudi Ismail, Pemahaman Hadis Nabi secara Tekstual dan Kontekstual, dalam pidato
pengukuhan guru besar, pada tanggal 26 Maret 1994, di kampus IAIN Alauddin Ujung Pandang.

21

kedhabitan perawinya. Dari sisi kehujjahan, penulis menerima kehujjahan hadis tersebut
dengan pertimbangan hadis tersebut terdapat juga dalam shahih Muslim yang diakui
keabsahannya oleh mayoritas umat Islam.
Dari segi kandungan matan hadis, penulis lebih cenderung menghadapkan hadishadis tentang larangan taswir

makhluk bernyawa dengan kondisi masyarakat yang

dihadapi dan konteks kekinian. Saat ini, hasil kerajinan dan kesenian menjadi sebuah
ekspresi akan keindahan, dibuat untuk mengagumi ciptaan Tuhan, dan menjadi sumber
mata pencaharian untuk menghidupi keluarga. Sehingga aktivitas taswir dan wujudnya
(dalam bentuk lukisan, patung, dll) dibolehkan selama tujuan dan kegunaannya tidak
diarahkan pada kesyirikan.

22

Daftar Pustaka
Abdulla>h bin ‘Abd al’Azi>z bin H{amma>dah al-Jibri>n, Mukhtas}ar Tashi>l al-‘Aqi>dah alIsla>miyah, Maktabh al-Rasyi>d, 1424H
Abdulla>h bin Muh}ammad al-Gani>ma>n, Syarh Kitab al-Tauhi>d min S{ah}i>h} al-Bukha>ri>,
Madinah: Maktabah al-Da>r, 1405H
Abu> ‘Abdilla>h Ah{mad Ibn Muh{ammad Ibn H{anbal al-Syaiba>ni>, Musnad Ah{mad Ibn
H{anbal. Beirut: ‘A ‘Abdilla>h Muh}ammad bin Isma>il bin Ibra>him bin Mugi>rah al-Bukha>ri>, Al-Ja>mi’ alMusnad al-S}ah}i>h} al-Mukhtas}ar min Umu>r Rasu>lulla>h, Beirut: Da>r Ibn Kas\i>r, alYama>ma>h, t.th.
Abu> al-‘Abba>s Ah{mad ibn Muh{ammad ibn Abi> Bakar ibn Khalka>n, Wafaya>t al-A‘ya>n wa
Anba>’ Abna>’ al-Zama>n, Beirut: Da>r S{a>dir, 1900 M
Abu> al-H{asan Ah}mad ibn ‘Abdullah ibn S{a>lih} al-‘Ajli>, Ma’rifah al-S\iqa>h. Maktabah al-Da>r
bi al-Madi>nah alAbu> al-H{usain Muslim bin al-H{ajja>j al-Qusyairi> al-Naisa>bu>ri>>, al-Musnad al-S{ah}i>h} alMukhtas}ar bi Naql al-‘Adl ‘an al-‘Adl Ila> Rasu>lulla>h saw., Beirut: Da>r Ih}ya> alTura>s,\ t.th.
Abu> Muh}ammad ‘Abd al-‘Azi>z, al-Asalat Wa al-Ajwabat al-Fiqhiyah, Juz I (t.t)
Ah}mad ibn ‘Ali> ibn H{ajar Abu> al-Fad}l Al-‘Asqala>ni al-Syafi>’i>>, Tahzi>b al-Tahzi>b, Beirut:
Muassasah al-Risa>lah, t.th.
_> _________, al-Isha>bah fi> tamyi>z al-Shaha>bah, Beirut: Da>r al-Jail, 1412
Ah}mad Mukhtar ‘Abd H}ami>d, Mu’jam al-Lugah al-‘Arabiyah al-Ma’a>s}irah, CD Rom
Maktabah al-Sya>milah.
Al-Qard{awi>, Yu>suf, al-Isla>m wa al-Fann,terj. Wahid Ahmadi, dkk.Islam BicaraSeni Solo :
Intermedia, 1998.
Budhi Munawar Rahman, ‚Dimensi Esoterik dan Estetik Budaya Islam‛,ed.,Zakiyuddin
Baidhawi dan Mutohharun Jinan, Agama dan Pluralitas Budaya Lokal . Surakarta:
Pusat Studi Budaya dan Perubahan Sosial UMS, 2003.
Dahdouh, Ba>sem . ‚al-Tas}wi>r ‘ind al-‘Arab wa al-Muslimin baina al-Iba>hah wa al-Tahri>m
(fi al-‘Us{u>r al-Wust}a>)‛, Jurnal Teknik Sipil Universitas Damascus, vol. 1, edisi 26,
2010.
Fais}al bin ‘Abd al-‘Azi>z al-Nazdi>, Tat}ri>z Riya>d} al-S|a>lihi>n, Riyad}: Da>r al-‘A>simah li alNas|r al-Tauzi>’, 2002 M
Ibn Manz}u>r, Lisa>n al-‘Arab, Beirut: Da>r Ih}ya>’ al-Tura>t} al-‘Arabiyah, t.th

23

Ibra>him Ibn Hamzah al-H{usaini>, al-Baya>n wa al-Ta’rif fi> Asba>b al-Wuru>d al-H{adi>s\ alSyarif, Beirut: Da>r al-Kutub al-‘Arabi>, t.th
Ibra>him Mustafa dkk, Mu’jam al-Wasi>t}, t.tp: Da>r al-Da’wah, t.th
Ira M. Lampidus, Sejarah Sosial Umat Islam Bagian I dan II. Terj. Gufron A. Mas’adi.
Jakarta: Raja Grafindo Persada, 1999
Jama>l al-Di>n Abu> al-H{ajja>j Yu>suf al-Mizzi>, Tahzi>b al-Kama>l fi> Asma>’ al-Rija>l, Beirut:
Muassasah al-Risa>lah, 1403 H/ 1983 M
Kasman K.S., Kondisi Seni Patung di Mata Masyarakat Islam di Zaman Modern, ed.
Jabrohim dan Saudi Berlian, Islam dan Kesenian. Yogyakarta: PP. Muhammadiyah,
1995
Kementerian Agama RI, Al-Qur’an dan Terjemahnya, Bekasi: PT. Sukses Mandiri, 2013.
M.Syuhudi Ismail, Metodologi Penelitian Hadis Nabi. Cet. I; Jakarta:BulanBintang, 1992
Muh}ammad bin ‘Abd al-‘Azi>z al-Sulaima>n al-Qur’a>wi>, al-Jadi>d fi> Syarh Kita>b al-Tauh}i>d,
Jeddah: Maktabah al-Sawa>di>, 2003M
Muh}ammad bin Ali> bin Muh}ammad al-Syauka>ni> al-Yama>ni>, Nail al-Aut}a>r, Mesir: Da>r alH}adi>s,\ 1993M
Muh}ammad bin S{a>lih} bin Muh}ammad al-‘Us\aimi>n, Syarh Riya>d al-S{a>lihi>n, Riya>d: Da>r alWat}an, 1426H
S{a>lih bin Fauza>n al-Fauza>n, Mukhtas{ar Tashi>l al-Aqi>dah al-Isla>miyah, CD Rom Maktabah
al-Sya>milah.
Syamsuddin Abu Abdillah Muhammad bin Ahmad bin ‘Us\ma>n bin Qaima>z al-Zahabi>,
Siyar ‘A’la>m al-Nubala>’, t.tp: Muassasah al-Risalah, 1405 H/1985 M
Syamsuddin Abu Abdillah Muhammad bin Ahmad bin ‘Us\ma>n bin Qaima>z al-Zahabi>,
Mi>za>n al-‘I’tida>l fi> Naqd al-Rija>l, Beirut: Dar al-Ma’rifah, 1963 M
Sulidar, ‚Kedudukan Hadis Garib Sebagai Hujjah Dalam Ajaran Islam‛, Analytica
Islamica, vol 16, no. 02, November 2014
Syuhudi Ismail, Kaedah Kesahihan Sanad Hadis. Jakarta: Bula Bintang, 1995.
Syuhudi Ismail, Pemahaman Hadis Nabi secara Tekstual dan Kontekstual, dalam pidato
pengukuhan guru besar, pada tanggal 26 Maret 1994, di kampus IAIN Alauddin
Ujung Pandang.