ARTIKEL ILMIAH DINAMIKA BAHASA INDONESIA

UJIAN TENGAH SEMESTER GENAP
TAHUN AJARAN 2015/2016
Nama

: Susi Sakinah

NIM

: 2108130016

Mata kuliah

:

Dosen

: Dr. R. Hendaryan,Drs.,MM

Prodi

: Bahasa dan Sastra Indonesia


Tingkat/Kelas

: 3/D

Waktu

: Satu Minggu

DINAMIKA PERKEMBANGAN BAHASA INDONESIA DENGAN PENGGUNAAN
BAHASA INDONESIA YANG KEKINIAN
Era globalisasi akan menyentuh semua aspek kehidupan, termasuk bahasa. Indonesia
sebagai Negara yang memiliki mayarakat multibahasa tentunya mengikuti dan akan terpengaruh
oleh perkembangan globalisasi ini. Bahasa Indonesia sebagai bahasa nasionalpun akan terkena
imbasnya. Dilihat dari segi positifnya, masyarakat daerah yang awam terhadap bahasa Indonesia
karena jarang penggunaannya akan berkurang. Akan tetapi bukan hanya bahasa Indonesia saja yang
berkembang, melainkan bahasa asing juga akan semakin marak dipakai, bahkan akan muncul
bahasa Indonesia yang tercampur dengan bahasa lain atau bahasa yang dewasa ini banyak
digunakan masyarakat Indonesia, yakni bahasa alay/gaul/kekinian.
Lahirnya bahasa alay itu tidak lepas dari perkembangan globalisasi dan kurangnya

pemahaman serta kecintaan masyarakat Indonesia akan bahasa Indonesia sebagai bahasa nasional
dan identitas negri. Bahasa yang semakin global dipakai oleh semua bangsa di dunia ialah bahasa
Inggris, yang pemakainya lebih dari satu miliar. Akan tetapi, sama halnya dengan bidang kehidupan
lain, sebagaimana dikemukakan oleh Naisbit (1991) dalam bukunya Global Paradox, akan terjadi
paradoks-paradoks dalam berbagai komponen kehidupan, termasuk bahasa. Bahasa Inggris,
misalnya, walaupun pemakainya semakin besar sebagai bahasa kedua, masyarakat suatu negara
akan semakin kuat juga memertahankan bahasa ibunya. Seperti di Islandia, sebuah negara kecil di
Eropa, yang jumlah penduduknya sekitar 250.000 orang, walaupun mereka dalam berkomunikasi
sehari-hari menggunakan bahasa Inggris sebagai bahasa kedua, negara ini masih memertahankan
kemurnian bahasa pertamanya dari pengaruh bahasa Inggris. Demikian juga di negara-negara
pecahan Rusia seperti Ukraina, Lithuania, Estonia (yang memisahkan diri dari Rusia) telah

menggantikan semua papan nama di negara tersebut yang selama itu menggunakan bahasa Rusia.
Bagaimana halnya dengan di Indonesia? Di Indonesia, fenomena yang sama pernah dilakukan
dengan pengeluaran Surat Menteri Dalam Negeri kepada gubernur, bupati, dan walikota seluruh
Indonesia Nomor 1021/SJ tanggal 16 Maret 1995 tentang Penertiban Penggunaan Bahasa Asing.
Surat itu berisi instruksi agar papan-papan nama dunia usaha dan perdagangan di seluruh Indonesia
yang menggunakan bahasa asing agar diubah menjadi bahasa Indonesia.
Ketika awal pemberlakukan peraturan tersebut, tampak gencar dan bersemangat usaha yang
dilakukan oleh pemerintah daerah di seluruh Indonesia. Pemda DKI Jakarta, misalnya, bekerja sama

dengan Pusat Pembinaan dan Pengembangan Bahasa mengadakan teguran-teguran lisan dan
tertulis, bahkan turun ke lapangan mendatangi perusahaan-perusahaan yang papan namanya
menggunakan bahasa Inggris atau mencampuradukkan bahasa Inggris dan bahasa Indonesia dengan
struktur bahasa Inggris. Misalnya, sebelumnya terpampang “Pondok Indah Mall”, “Ciputra Mall”,
“Mestika Bank”, dan lain-lain, sekarang diubah menjadi “Mal Pondok Indah”, “Mal Ciputra”,
“Bank Mestika”. Berbagai fenomena dan kenyataan ini akan semakin mendukung ke arah
terjadinya suatu pertentangan (paradoks) dan arus tarik-menarik antara globalisasi dan lokalisasi.
Persoalan berikutnya adalah mampukah bahasa Indonesia mempertahankan jati dirinya di tengahtengah arus tarik-menarik itu? Untuk menjawab persoalan ini, marilah kita menengok ke belakang
bagaimana bahasa Indonesia yang ketika itu masih disebut bahasa Melayu mampu bertahan dari
berbagai pengaruh bahasa lain baik bahasa asing maupun bahasa daerah lainnya di nusantara.
Berkembangnya suatu bahasa dalam suatu wilayah dan penyebarannya ke wilayah lain, akan
berproses secara alamiah dalam waktu yang cukup lama. Pertumbuhan dan perkembangannnya ke
wilayah-wilayah lain, ditentukan oleh banyaknya jumlah penutur yang tersebar. Banyak bahasa
yang perkembangannya sudah mendunia, yakni bahasa-bahasa yang diakui secara resmi oleh
Perserikatan Bangsa-Bangsa (PBB), antara lain : Bahasa Inggris, Bahasa Prancis, Bahasa Jerman,
Bahasa Mandarin, Bahasa Arab, dan lain-lain.
Memperhatikan seorang anak dalam menangkap dan menguasai suatu bahasa yang menjadi
bahasa ibu (atau bahasa pertama yang dikuasainya), kerapkali terjadi kesalahan pengucapan suatu
kata, dalam pelafalan hurufnya, beda pelafalan ini tanpa membedakan arti atau mengandung arti
yang berbeda. Pada pelafalan baru disertai susunan kata baru dengan arti baru. Bahasa baru ini

lebih berkembang karena dipengaruhi oleh sekelompok orang di lingkungannya, disebut bahasa
prokem, atau bahasa slang, atau bahasa ‘amiyah.
Bahasa prokem dianggap menyalahi aturan tata bahasa, dan merusak bahasa baku dan oleh
sebagian orang dianggap sebagai “kemunduran” dalam berbahasa, bahkan menggunakan bahasa
prokem dianggap “tidak sopan”. Karena suatu anggapan, bahwa bertutur yang sopan-santun itu,
tidak menggunakan bahasa prokem. Akhirnya penggunaan bahasa prokem terbatas pada

sekelompok orang tertentu. Apakah bahasa prokem semuanya mengandung kata-kata yang “jelek”?
Bagaimana bertutur dengan menggunakan bahasa yang standar dan sopan, tapi menyinggung
perasaan pendengarnya dan menyakitkan hati pendengarnya? (Dimana letaknya sopan santunnya?)
Bahasa prokem adalah bukti dari kreatifitas sekelompok orang yang merupakan pecahan
atau pengembangan dari bahasa standar. Tanpa bahasa standar bahasa prokem tidak pernah ada.
Berkembangnya bahasa prokem merupakan tuntutan dalam berkomunikasi pada sekelompok
masyarakat, dengan menggunakan bahasa prokem, pergaulan menjadi lebih akrab, lebih
komunikatif, dan lebih efektif. Jadi pada sekelompok masyarakat tertentu lebih banyak
menggunakan bahasa prokem, maka siapapun yang berupaya memusnahkan bahasa prokem adalah
upaya yang sia-sia.
Banyak bahasa-bahasa daerah di Nusantara yang hilang, mungkin akibat dampak kebijakan
memperkuat Bahasa Indonesia sebagai alat pemersatu bangsa. Walaupun ada kebijakan
memasukkan bahasa daerah sebagai muatan lokal pada pendidikan, tetapi bahasa-bahasa daerah

masih tidak berkembang, bahkan tetap banyak yang hilang.
Deskripsi dan Pembahasan Dinamika Perkembangan Kosakata Bahasa Indonesia
Berdasarkan Aspek Pemaknaan Masyarakat multilingual, seperti masyarakat Indonesia, cepat atau
lambat, akan berkenalan dengan bahasa lain. Peralihan tempat tinggal meng-akibatkan perubahan
lingkungan (misalnya mutasi pegawai atau karyawan dari suatu tempat ke tempat lain, pedagang
yang berpindah dari suatu kota ke kota lain yang lebih menguntungkan, pelajar atau mahasiswa
yang keluar dari kota asalnya untuk menempuh pendidikan yang lebih tinggi). Hal itu dapat
menimbulkan perubahan makna sehingga timbul pasang surut kosakata bahasa Indonesia dari aspek
pemaknaan. Hal ini mencakupi berikut ini. Sedemikian urgennya bahasa nasional ditengah-tengah
sebuah bangsa, maka seyogianya bahasa nasional dalam konteks ini bahasa Indonesia, menjadi
bahasa yang seharusnya murni dipahami, digunakan secara benar, dijaga keaslian dan kegunaannya
sebagaimana mestinya untuk keberlangsungan budaya dan pluralitas bahasa kita.
Jika kita melihat perkembangan kekinian dari berbagai gaya hidup di masyarakat yang
ditunjukkan secara masif dan jamak dapat dikatakan bahwa ada penurunan dan atau melebihlebihkan makna-makna bahasa yang digunakan sehari-hari. Dikatakan mengalami penurunan, sebab
tidak sedikit kekinian memahami secara sederhana saja yakni sekadar alat komunikasi.
Padahal, jika kita belajar bagaimana para pemuda bangsa di era kemerdekaan, bahasa merupakan
salah satu corak dan alat persatuan untuk menguatkan komitmen dan perjuangan dalam meraih
kemerdekaan.. Penurunannya ialah dalam kondisi kekinian pemaknaan atas nilai-nilai dan
semangat, bahasa Indonesia yang kita pergunakan sehari-hari nyaris tanpa makna sehingga
penggunaannya terkesan apa adanya saja, mudah diplesetkan terlebih oleh anak-anak muda saat ini.


Bisa kita lihat dalam istilah gaul, banyak bahasa Indonesia yang digunakan kurang pada tempatnya,
asal bunyi (asbun) dan terkesan kedengarannya keren.

Ada

kalanya

menggunakan

bahasa

Indonesia dicampur aduk dengan istilah-istilah asing supaya lebih nampak berpendidikan tinggi dan
pintar. Lain pula di kalangan pelajar, pengunaan bahasa Indonesia sebagaimana mestinya dianggap
kuno dan tidak gaul. Sebut saja misalnya kata "kamu, saya" kini diubah menjadi "loe, gue". Seakan
bahasa mengantar mereka pada penghargaan yang tinggi.
Penggemar televisi ada baiknya mengkritisi bagaimana bahasa yang sering digunakan artisartis kesayangan terutama di sinema- sinema elektronik (sinetron). Sinema-sinema demikian mulai
dari cerita sedih, perselingkuhan, perebutan, religi dan sebagainya masih tontotan atau andalan
utama kebanyakan televisi swasta di Indonesia. Namun yang sangat disayangkan, ketika televisi
menjadi sumber-sumber seminasi kekacauan bahasa anak-anak generasi saat ini, artis yang

notabene publik figur banyak menggunakan bahasa gaul, bahasa baru yang kurang memiliki
relevansi. Hal ini disebabkan televisi di negeri kita lebih mengutamakan popularitas dan rating yang
tinggi.