Pencemaran Nama Baik dan Kudeta dalam Ti
Pencemaran Nama Baik dan Kudeta dalam Tinjauan Ushul Fiqh
Wahyu NH Aly
Desakan masyarakat dalam pemberantasan korupsi di era Presiden RI Soesilo
Bambang Yudhoyono terus meningkat. Khususnya terkait dengan skandal besar
Century dan BLBI. Hanya saja, harapan masyarakat yang begitu besar atas dua
kasus tersebut masih sebatas “mimpi”. Karena, sampai saat ini KPK belum dirasa
terlihat benar‐benar menyentuh dua mega skandal.
Ketidakjelasannya KPK dalam menangani dua kasus besar tersebut, pun
melahirkan banyak praduga di kalangan masyarakat, termasuk dugaan
kemungkinan kasus besar Century dan BLBI terkait dengan Cikeas. Pada sisi lain,
pimpinan KPK tiap kali ditanyakan, dalam pernyataannya pembelaannya atas
kasus‐kasus besar ataupun dugaan Cikeas, selalu dikunci dengan kata “penyidik.”
Menguatnya anggapan masyarakat yang demikian terhadap Cikeas juga
merambah terhadap Ibas atas keterangannya Yulianis. Sehingga, memosisikan
citra Cikeas di hadapan masyarakat tampak mengerutkan dahi. Berbagai upaya
yang menguras tenaga demi membentengi citra “istana” Cikeas dan partai
Demokrat saat ini begitu besar, hingga persoalan rakyat yang begitu penting
selama beberapa hari ini mendapat porsi yang kurang sepadan, kalau tidak boleh
dikata tidak dipedulikan.
Masih jauh harapan masyarakat atas penuntasan dugaan Cikeas dan mega
skandal BLBI dan Century, kini publik di hadapkan dengan isu “kudeta” yang
dikeluarkan secara langsung oleh kepala Negara. Tak terkecuali, RUU tentang
Santet juga turut mengiringi “gelapnya” beragam masalah besar yang terkait
dengan kesejahteraan dan keadilan masyarakat.
Hanya saja, kondisi menyayat hati yang demikian, hingga hari ini masih banyak
kalangan yang melihatnya sepenggal‐sepenggal. Oleh karena itu, penting kiranya
menggunakan pendekatan sulfik (ushul fiqh) pada dugaan korupsi, pencemaran
nama baik, dan isu kudeta, yang secara khusus terkait dengan Ibas Yudhoyono
dan Cikeas. Hal ini, agar masyarakat tidak mudah terjebak oleh propaganda
ataupun pencitraan dari siapapun.
Ibas‐Yulianis dalam Potret Sulfik
Ibas, sapaan anak bungsu Presiden SBY, sebelumnya, Rabu (20/3) mendatangi
Polda Metro Jaya. Dia melaporkan dugaan pencemaran nama baiknya oleh
pemberitaan media yang mengangkat pernyataan Yulianis. Menelisik upaya
laporan Ibas atas pencemaran nama baik, disini tidak menyinggung etika buruk
Ibas dari sudut pandang prinsip jurnalistik. Hal ini dimaksudkan agar tidak
terlampau melebar.
Mengikuti kegeraman Ibas atas pemberitaan dirinya, pada dasarnya suatu hal
yang lumrah sebagai manusia. Namun, menilik latar belakang yang menjadikan
Ibas tidak saja geram tetapi juga mengambil langkah‐langkah hukum, maka
Negara yang di dalamnya berpenduduk 90 persen muslim, selayaknya turut
mengkaji dari sudat pandang agama. Dugaan dalam agama, adakalanya dilarang
dan adakalanya diwajibkan. Berpraduga dalam hal muamalah dalam kondisi dan
situasi tertentu hukumnya wajib, diantaranya berdasarkan pada agama yang
menuntut umat untuk ikhtiat.
Dugaan terkait dengan muamalah, dalam tinjauan sulfik, haruslah dibuktikan.
Tidak boleh dibiarkan, bila ada yang tidak menerima secara hukum. Hanya saja,
upaya langkah balik dari terduga diperbolehkan selama dugaan tersebut telah
dituntaskan secara hukum pula. Namun, bila masalah dugaan belum dituntaskan,
maka upaya langkah balik hukumnya terlarang dilakukan. Termasuk kasus Ibas
yang saat ini ramai.
Pernyataan Yulianis tentang kasus Ibas, harus dibuktikan terlebih dahulu benar
dan tidaknya sebelum langkah hukum kegeraman Ibas berjalan. Ini melihat, apa
yang dikatakan Yulianis adalah memotret Ibas yang saat itu sebagai pejabat
(DPR RI) sekaligus kegeraman Ibas juga terlahir dari dugaan Yulianis yang
menuntut untuk dibuktikan. Pandangan sulfik ini juga memiliki kesamaan
dengan Surat Edaran Bareskrim No.B/345/III/2005 tertanggal 7 Maret 2005
saat menangani laporan Edhie Baskoro Yudhoyono, anak bungsu Presiden Susilo
Bambang Yudhoyono. Surat edaran itu menegaskan jika menerima pengaduan
pencemaran nama baik terkait korupsi dengan melibatkan pihak sama, maka
polisi harus mendahulukan dugaan korupsi lebih dulu.
Tuduhan Yulianis terhadap Ibas yang menuntut pembuktian, dalam pendekatan
sulfik, masyarakat dan terlebih lagi pejabat, hukumnya dilarang menghakimi
Yulianis ataupun Ibas. Melainkan, semua pihak harus berpraduga tak bersalah
sembari mendorong agar dugaan tersebut lekas dibuktikan benar dan tidaknya.
Apabila ada pejabat yang menghakimi salah satu dari kedua belah pihak, baik
pada Yulianis ataupun Ibas, maka pejabat tersebut hukumnya haram dan secara
sulfik masyarakat memiliki kewenangan untuk mendesak atau menuntut
mundur pejabat yang demikian. Sekali lagi, bagaimanapun, Yulianis dan Ibas
harus diberi ruang pembuktian terlebih dahulu sebelum memberikan penilaian
kepada keduanya.
Selain itu, dalam sulfik, ditegaskan, bahwa urusan yang lebih besar harus
diutamakan dari yang kecil. Dengan demikian, keharusan mendahulukan dugaan
kasus Ibas atas dugaan pencemaran nama baik, juga mengharuskan untuk
menilik tingkat kemudhorotannya. Kasus dugaan terhadap Ibas jauh lebih besar
dan lebih penting karena di dalamnya ada kemungkinan kaitannya dengan
masyarakat, sedangkan dugaan pencemaran nama baik lingkup yang terkait
lebih kecil.
Nyanyian Kudeta Presiden
Kaget mendengar beberapa kali pernyataan SBY akan isu kudeta, seperti
menjelang kepergiannya ke Jerman pada waktu yang lalu. Bukan kaget akan
kemungkinan kebenaran kudeta tersebut, namun kaget karena kepala Negara
tampaknya terlampau disibukkan dengan kursi kekuasaannya dari pada
mengurusi rakyatnya. Setelah sebelumnya terlihat letih mengurusi partainya
yang dinilai makin menyusut karena slogan “Tidak pada Korupsi” lebih berlaku
pada partai lain dari pada partai yang diasuhnya ataupun keluarganya. Terbukti,
koruptor banyak lahir dari partainya dan besannya masuk penjara saat KPK
dipimpin Antasari yang kini di jeruji besi.
Nyanyian kudeta dari kepala Negara tersebut, secara publik telah melakukan
pembiasan isu faktual dan sangat penting seperti mega skandal Century dan
BLBI. Juga, memperburuk keadaan masyarakat yang kini sedang gelisah dengan
persoalan ekonomi yang di antaranya diakibatkan oleh kader‐kader Demokrat
dan keluarga presiden. Sebagai seorang pemimpin yang semestinya mendukung
secara penuh penuntasan hukum Century dan BLBI serta memberikan rasa
nyaman pada rakyat, namun kebijakannya justru tampak meresahkan. Hal ini
tentu tidak baik. Secara tegas, sulfik mengharamkan mengikuti pemimpin yang
selalu membuat rasa tidak nyaman. Dalam hal ini juga, dapat dikata sebagai
perbuatan isrof seorang pemimpin.
Hukum Menghujat Pemimpin
Dendam dan benci sebagai manusia, acapkali menyelimuti diri manusia. Akan
tetapi, itu justru dapat merusak diri sendiri jikalau tidak mampu
mengendalikannnya. Sehingga, kita dituntut untuk kuat, tabah, dan bergerak.
Jangan sampai beragam kondisi dan situasi yang kurang menyehatkan justru
memenjarakan diri kita sendiri, sehingga kita tidak mampu berfikir sehat dan
tidak kuasa melangkahkan kaki kita guna meraih ridho Ilahi. Termasuk di
dalamnya, kita dalam menyikapi kondisi dan situasi yang buruk seperti
maraknya perilaku penguasa yang munafik yang lebih memperhatikan kursi
kekuasaannya dari pada kesejahteraan rakyat, pejabat yang lebih mempedulikan
dirinya sendiri dari pada mengurusi masyarakat, dan meningkatnya kejahatan
korupsi.
Dengan kondisi demikian, tidaklah kemudian kita lengah, mendiamkan tanpa
aksi, dan sikap‐sikap yang setara lainnya. Kita harus mampu memposisikan diri
kita di tempat yang semestinya. Kita sebagai rakyat tidak boleh mendiamkan
keadaan yang seperti ini karena, fenomena tersebut bukan saja merusak satu
dua orang, melainkan merusak banyak orang. Pemimpin atau pejabat yang tidak
amanah, dalam Islam, tidak akan diampuni dosanya oleh Allah Swt sampai
terlebih dahulu dimaafkan oleh orang‐orang yang disakitinya.
Mengambil firman Allah Swt dalam Qs. Annisa (4): 148, tegas dikatakan apabila
rakyat diberi kebolehan untuk mencemarkan nama baik penguasa (selama
bukan fitnah), boleh mencaci maki atau menghujat pemimpinnya, dan
diperbolehkan juga mendesak mundur pemangku amanahnya, bila ingkar janji.
“Allah tidak menyukai ucapan buruk, (yang diucapkan) dengan terus terang
KECUALI OLEH ORANG YANG DIANIAYA. Allah adalah Maha Mendengar lagi Maha
Mengetahui,” Qs. Annisa (4): 148. Billahittaufik wal hidayah. Wallahua’lam
bishawab. []
Wahyu NH Aly
Desakan masyarakat dalam pemberantasan korupsi di era Presiden RI Soesilo
Bambang Yudhoyono terus meningkat. Khususnya terkait dengan skandal besar
Century dan BLBI. Hanya saja, harapan masyarakat yang begitu besar atas dua
kasus tersebut masih sebatas “mimpi”. Karena, sampai saat ini KPK belum dirasa
terlihat benar‐benar menyentuh dua mega skandal.
Ketidakjelasannya KPK dalam menangani dua kasus besar tersebut, pun
melahirkan banyak praduga di kalangan masyarakat, termasuk dugaan
kemungkinan kasus besar Century dan BLBI terkait dengan Cikeas. Pada sisi lain,
pimpinan KPK tiap kali ditanyakan, dalam pernyataannya pembelaannya atas
kasus‐kasus besar ataupun dugaan Cikeas, selalu dikunci dengan kata “penyidik.”
Menguatnya anggapan masyarakat yang demikian terhadap Cikeas juga
merambah terhadap Ibas atas keterangannya Yulianis. Sehingga, memosisikan
citra Cikeas di hadapan masyarakat tampak mengerutkan dahi. Berbagai upaya
yang menguras tenaga demi membentengi citra “istana” Cikeas dan partai
Demokrat saat ini begitu besar, hingga persoalan rakyat yang begitu penting
selama beberapa hari ini mendapat porsi yang kurang sepadan, kalau tidak boleh
dikata tidak dipedulikan.
Masih jauh harapan masyarakat atas penuntasan dugaan Cikeas dan mega
skandal BLBI dan Century, kini publik di hadapkan dengan isu “kudeta” yang
dikeluarkan secara langsung oleh kepala Negara. Tak terkecuali, RUU tentang
Santet juga turut mengiringi “gelapnya” beragam masalah besar yang terkait
dengan kesejahteraan dan keadilan masyarakat.
Hanya saja, kondisi menyayat hati yang demikian, hingga hari ini masih banyak
kalangan yang melihatnya sepenggal‐sepenggal. Oleh karena itu, penting kiranya
menggunakan pendekatan sulfik (ushul fiqh) pada dugaan korupsi, pencemaran
nama baik, dan isu kudeta, yang secara khusus terkait dengan Ibas Yudhoyono
dan Cikeas. Hal ini, agar masyarakat tidak mudah terjebak oleh propaganda
ataupun pencitraan dari siapapun.
Ibas‐Yulianis dalam Potret Sulfik
Ibas, sapaan anak bungsu Presiden SBY, sebelumnya, Rabu (20/3) mendatangi
Polda Metro Jaya. Dia melaporkan dugaan pencemaran nama baiknya oleh
pemberitaan media yang mengangkat pernyataan Yulianis. Menelisik upaya
laporan Ibas atas pencemaran nama baik, disini tidak menyinggung etika buruk
Ibas dari sudut pandang prinsip jurnalistik. Hal ini dimaksudkan agar tidak
terlampau melebar.
Mengikuti kegeraman Ibas atas pemberitaan dirinya, pada dasarnya suatu hal
yang lumrah sebagai manusia. Namun, menilik latar belakang yang menjadikan
Ibas tidak saja geram tetapi juga mengambil langkah‐langkah hukum, maka
Negara yang di dalamnya berpenduduk 90 persen muslim, selayaknya turut
mengkaji dari sudat pandang agama. Dugaan dalam agama, adakalanya dilarang
dan adakalanya diwajibkan. Berpraduga dalam hal muamalah dalam kondisi dan
situasi tertentu hukumnya wajib, diantaranya berdasarkan pada agama yang
menuntut umat untuk ikhtiat.
Dugaan terkait dengan muamalah, dalam tinjauan sulfik, haruslah dibuktikan.
Tidak boleh dibiarkan, bila ada yang tidak menerima secara hukum. Hanya saja,
upaya langkah balik dari terduga diperbolehkan selama dugaan tersebut telah
dituntaskan secara hukum pula. Namun, bila masalah dugaan belum dituntaskan,
maka upaya langkah balik hukumnya terlarang dilakukan. Termasuk kasus Ibas
yang saat ini ramai.
Pernyataan Yulianis tentang kasus Ibas, harus dibuktikan terlebih dahulu benar
dan tidaknya sebelum langkah hukum kegeraman Ibas berjalan. Ini melihat, apa
yang dikatakan Yulianis adalah memotret Ibas yang saat itu sebagai pejabat
(DPR RI) sekaligus kegeraman Ibas juga terlahir dari dugaan Yulianis yang
menuntut untuk dibuktikan. Pandangan sulfik ini juga memiliki kesamaan
dengan Surat Edaran Bareskrim No.B/345/III/2005 tertanggal 7 Maret 2005
saat menangani laporan Edhie Baskoro Yudhoyono, anak bungsu Presiden Susilo
Bambang Yudhoyono. Surat edaran itu menegaskan jika menerima pengaduan
pencemaran nama baik terkait korupsi dengan melibatkan pihak sama, maka
polisi harus mendahulukan dugaan korupsi lebih dulu.
Tuduhan Yulianis terhadap Ibas yang menuntut pembuktian, dalam pendekatan
sulfik, masyarakat dan terlebih lagi pejabat, hukumnya dilarang menghakimi
Yulianis ataupun Ibas. Melainkan, semua pihak harus berpraduga tak bersalah
sembari mendorong agar dugaan tersebut lekas dibuktikan benar dan tidaknya.
Apabila ada pejabat yang menghakimi salah satu dari kedua belah pihak, baik
pada Yulianis ataupun Ibas, maka pejabat tersebut hukumnya haram dan secara
sulfik masyarakat memiliki kewenangan untuk mendesak atau menuntut
mundur pejabat yang demikian. Sekali lagi, bagaimanapun, Yulianis dan Ibas
harus diberi ruang pembuktian terlebih dahulu sebelum memberikan penilaian
kepada keduanya.
Selain itu, dalam sulfik, ditegaskan, bahwa urusan yang lebih besar harus
diutamakan dari yang kecil. Dengan demikian, keharusan mendahulukan dugaan
kasus Ibas atas dugaan pencemaran nama baik, juga mengharuskan untuk
menilik tingkat kemudhorotannya. Kasus dugaan terhadap Ibas jauh lebih besar
dan lebih penting karena di dalamnya ada kemungkinan kaitannya dengan
masyarakat, sedangkan dugaan pencemaran nama baik lingkup yang terkait
lebih kecil.
Nyanyian Kudeta Presiden
Kaget mendengar beberapa kali pernyataan SBY akan isu kudeta, seperti
menjelang kepergiannya ke Jerman pada waktu yang lalu. Bukan kaget akan
kemungkinan kebenaran kudeta tersebut, namun kaget karena kepala Negara
tampaknya terlampau disibukkan dengan kursi kekuasaannya dari pada
mengurusi rakyatnya. Setelah sebelumnya terlihat letih mengurusi partainya
yang dinilai makin menyusut karena slogan “Tidak pada Korupsi” lebih berlaku
pada partai lain dari pada partai yang diasuhnya ataupun keluarganya. Terbukti,
koruptor banyak lahir dari partainya dan besannya masuk penjara saat KPK
dipimpin Antasari yang kini di jeruji besi.
Nyanyian kudeta dari kepala Negara tersebut, secara publik telah melakukan
pembiasan isu faktual dan sangat penting seperti mega skandal Century dan
BLBI. Juga, memperburuk keadaan masyarakat yang kini sedang gelisah dengan
persoalan ekonomi yang di antaranya diakibatkan oleh kader‐kader Demokrat
dan keluarga presiden. Sebagai seorang pemimpin yang semestinya mendukung
secara penuh penuntasan hukum Century dan BLBI serta memberikan rasa
nyaman pada rakyat, namun kebijakannya justru tampak meresahkan. Hal ini
tentu tidak baik. Secara tegas, sulfik mengharamkan mengikuti pemimpin yang
selalu membuat rasa tidak nyaman. Dalam hal ini juga, dapat dikata sebagai
perbuatan isrof seorang pemimpin.
Hukum Menghujat Pemimpin
Dendam dan benci sebagai manusia, acapkali menyelimuti diri manusia. Akan
tetapi, itu justru dapat merusak diri sendiri jikalau tidak mampu
mengendalikannnya. Sehingga, kita dituntut untuk kuat, tabah, dan bergerak.
Jangan sampai beragam kondisi dan situasi yang kurang menyehatkan justru
memenjarakan diri kita sendiri, sehingga kita tidak mampu berfikir sehat dan
tidak kuasa melangkahkan kaki kita guna meraih ridho Ilahi. Termasuk di
dalamnya, kita dalam menyikapi kondisi dan situasi yang buruk seperti
maraknya perilaku penguasa yang munafik yang lebih memperhatikan kursi
kekuasaannya dari pada kesejahteraan rakyat, pejabat yang lebih mempedulikan
dirinya sendiri dari pada mengurusi masyarakat, dan meningkatnya kejahatan
korupsi.
Dengan kondisi demikian, tidaklah kemudian kita lengah, mendiamkan tanpa
aksi, dan sikap‐sikap yang setara lainnya. Kita harus mampu memposisikan diri
kita di tempat yang semestinya. Kita sebagai rakyat tidak boleh mendiamkan
keadaan yang seperti ini karena, fenomena tersebut bukan saja merusak satu
dua orang, melainkan merusak banyak orang. Pemimpin atau pejabat yang tidak
amanah, dalam Islam, tidak akan diampuni dosanya oleh Allah Swt sampai
terlebih dahulu dimaafkan oleh orang‐orang yang disakitinya.
Mengambil firman Allah Swt dalam Qs. Annisa (4): 148, tegas dikatakan apabila
rakyat diberi kebolehan untuk mencemarkan nama baik penguasa (selama
bukan fitnah), boleh mencaci maki atau menghujat pemimpinnya, dan
diperbolehkan juga mendesak mundur pemangku amanahnya, bila ingkar janji.
“Allah tidak menyukai ucapan buruk, (yang diucapkan) dengan terus terang
KECUALI OLEH ORANG YANG DIANIAYA. Allah adalah Maha Mendengar lagi Maha
Mengetahui,” Qs. Annisa (4): 148. Billahittaufik wal hidayah. Wallahua’lam
bishawab. []