Kritik Atas Kebijakan dan Kurikulum Pend

Wajah Muram Pendidikan Nasional
Reiza Patters

Sudah 67 tahun Indonesia merdeka dan sejak itu pula pemerintah Indonesia, melalui Kementerian
Pendidikan dan Kebudayaan (Kemendibud), melakukan 11 kali pergantian kurikulum pendidikan
nasional. Kurikulum tahun 1947, yang disebut dengan Rencana Pelajaran Dirinci Dalam Rencana
Pelajaran Terurai, terimplementasi selama 17 tahun dan mengalami perubahan pada tahun 1964,
dengan kurikulum yang disebut dengan Rencana Pendidikan Dasar yang hanya terimplementasi
selama 4 tahun. Lalu, tahun 1968, dengan Kurikulum Sekolah Dasar yang diubah pada tahun 1974,
dengan Kurikulum Proyek Perintis Sekolah Pembangunan dan hanya 1 tahun kemudian, yaitu tahun
1975, diubah kembali menjadi Kurikulum Sekolah Dasar.
Lalu, pada tahun 1984, Kurikulum Sekolah Dasar, diubah menjadi Kurikulum Cara Belajar Siswa Aktif
(K-CBSA). Setelah terimplementasi selama 10 tahun, CBSA diubah menjadi Kurikulum 1994, dan
kurikulum ini direvisi pada tahun 199. Pada tahun 2004, Kurikulum CBSA mengalami perubahan yang
cukup signifikan menjadi Kurikulum Berbasis Kompetensi (KBK), lalu berusaha disempurnakan pada
tahun 2006 dengan Kurikulum Tingkat Satuan Pendidikan (KTPS). Dan, tahun 2013 ini pemerintah
kembali menerapkan kurikulum baru yang saat ini sudah terimplementasi.
Menteri Pendidikan dan Kebudayaan (Mendikbud) Republik Indonesia, Mohammad Nuh, mengklaim
Kurikulum 2013 memiliki beberapa keunggulan dibandingkan kurikulum KTSP tahun 2006
(kompas.com 11 Maret 2013). Keunggulan itu, antara lain, pertama, jika menurut Kurikulum KTSP
mata pelajaran ditentukan dulu untuk menetapkan standar kompetensi lulusan, maka Kurikulum

2013 pola pikir itu dibalik. Kedua, kurikulum baru 2013 memiliki pendekatan yang lebih utuh dengan
berbasis pada kreativitas siswa. Kurikulum baru memenuhi tiga komponen utama pendidikan, yaitu
pengetahuan, keterampilan dan sikap. Ketiga, kurikulum baru tersebut didisain agar terdapat
hubungan yang berkesinambungan antara kompetensi yang ada di SD, SMP hingga SMA.
Jika melihat penjelasan dari Menteri di atas, kita agak sedikit mengerutkan dahi untuk bisa mencerna
dan memahami letak perbedaan-perbedaan yang signifikan antar kurikulum tersebut. Kebanyakan,
letak perbedaannya bukanlah pada hakikat dari konsep kurikulum, namun pada sisi praktis dan
teknis. Seperti misalnya, pada Kurikulum Berbasis Kompetensi (2004), yang sebetulnya cukup ideal
untuk bisa diterapkan karena secara prinsip menyentuh pada tiga aspek pendidikan yang menyentuh
siswa secara psikologis dan intelektual, yaitu sisi kognitif, afektif dan motorik.
Ketiga sisi tersebut sebetulnya tidak memiliki perbedaan yang signifikan dengan apa yang dimaksud
dengan tiga komponen utama pendidikan, yaitu pengetahuan (kognitif), sikap (afektif) dan
keterampilan (motorik). Namun yang membedakan menurut Menteri Pendidikan adalah
kesinambungan antara kompetensi yang ada di SD, SMP hingga SMA. Ini berarti, seharusnya setiap
kegiatan belajar mengajar, di setiap level, haruslah mempersiapkan siswa didik agar mampu
menguasai kompetensi pada level pendidikan yang lebih tinggi.
Dan ini sangat perlu disosialisasikan di tingkat guru-guru sebagai ujung tombak pelaksanaan
kurikulum tersebut, yang kenyataannya, hingga sekarang mayoritas guru hanya mengajar dengan
pola yang dia ketahui sejak mereka memulai menjadi guru dan pengalaman otodidak yang tidak
mengalami kemajuan signifikan. Beberapa guru ketika ditanya mengenai hal tersebut mengatakan,

yang berubah dari pola kurikulum setiap tahunnya, hanya bertumpu pada sisi teknis pelaporan dan

administrasi kegiatan belajar-mengajar, tidak menyentuh hingga level implementasi pada guru di
sekolah.
Itupun pada akhirnya hanya menambah beban guru dan menghabiskan waktunya berkutat dengan
laporan dan sistem komputerisasi. Ini bisa dilihat pada DKI Jakarta, misalnya. Sistem pelaporan
komputerisasi yang diterapkan, hanya menambah beban dan waktu guru dalam menjalankan fungsi
dan tugasnya sebagai pengajar dan pendidik, sehingga mengurangi waktu yang seharusnya bisa
dipergunakan untuk melakukan pendekatan yang lebih dalam dan intens dengan siswa didik, kalau
perlu hingga level individual.
Yang lebih mengherankan lagi bagaimana Kurikulum itu diterjemahkan misalnya ada peraturan tidak
formal pada sekolah-sekolah dasar di Indonesia, khususnya di wilayah perkotaan, di mana seorang
calon siswa sekolah dasar diwajibkan untuk menguasai kemampuan membaca, menulis dan
berhitung sebelum dia diterima di sekolah dasar negeri. Ini cukup mengejutkan sebetulnya, seolah
dunia pendidikan Indonesia, khususnya sekolah-sekolah usia dini dan sekolah dasar, tidak mengerti
esensi dari tugas perkembangan anak, dari mulai 2 tahun hingga 7 tahun. Dengan mewajibkan calon
siswa Sekolah Dasar sudah menguasai kemampuan membaca, menulis dan berhitung, itu artinya
akan ada pemaksaan pada anak-anak yang notabene masih berada dalam tugas perkembangannya
dengan esensi kegiatan bermain dan bisa diisi sambil belajar, bukan belajar sambil bermain.
Apalagi jika kita melihat soal-soal ujian, tes-tes harian pada anak kelas satu Sekolah Dasar misalnya,

guru-guru seolah kehilangan fokus pembelajaran, dengan memberikan soal-soal yang menggunakan
bahasa terlalu formal dan memaksa anak-anak untuk menggunakan logika formal yang normatif,
yang esensial bukan konsumsi anak-anak dengan umur 5-7 tahun. Mereka seolah tidak paham bahwa
yang mereka hadapi adalah anak-anak yang masih berada dalam tugas perkembangan sebagai anak,
bukan remaja yang sudah mulai mampu menggunakan logika normatif formal dalam memahami
persoalan dan ujian yang dihadapi.

Kurikulum Pendidikan dan Perubahannya
Sebetulnya, penggantian model kurikulum yang ingin diberlakukan itu sah-sah saja dilakukan, jika
memang dibutuhkan untuk membuat dunia pendidikan Indonesia semakin berkembang. Apalagi jika
program dari kurikulum itu bisa membuat guru lebih memahami apa yang harus mereka lakukan
dalam menghadapi siswa didik sesuai tingkatan umur dan tugas perkembangannya secara
profesional bisa membuat siswa didik menjadi lebih bergairah dalam belajar. Namun tidak bisa
dipungkiri juga bahwa pergantian kurikulum yang tergesa-gesa, tanpa suatu kajian mendalam yang
melibatkan pelaku pendidikan seperti guru, ahli psikologi perkembangan, ahli pedagogis pendidikan
dan juga tanpa adanya evaluasi terlebih dahulu terhadap kurikulum sebelumnya, maka hanya akan
menjadi akan sia-sia.
Yang paling parah, dan sepertinya merupakan kesalahan terbesar dari pemerintah terkait perubahan
dan penerapan kurikulum, sejak tahun 1945 hingga 2013 ini (hingga terakhir kurikulum 2006), yang
sudah pernah dilaksanakan di Indonesia, ternyata tidak pernah dilakukan evaluasi pencapaian hasil

terhadap kurikulum yang berlaku sebelumnya. Contohnya, kurikulum KTSP 2006 yang lahir sebagai
kurikulum penyempurna Kurikulum Berbasis Kompetensi (KBK) yang dipakai sebelumnya. Meskipun
penerapannya berjalan selama enam tahun, ternyata KTSP belum sepenuhnya dipahami oleh guruguru di Indonesia. Seminar dan workshop di berbagai daerah untuk meningkatkan pemahaman guru

akan kurikulum KTSP sudah sering dilakukan menyedot anggaran yang besar, namun pada
kenyataannya belum bisa dipahami secara baik oleh guru-guru.
Dan pada akhirnya, justru diubah di tahun 2013 ini padahal evaluasi terhadapnya belum pernah
dilakukan. Apakah Kurikulum 2006 itu efektif atau tidak, apa kelebihan dan kekurangannya, apa
keberhasilannya apa kegagalannya, dan bagaimana kesimpulannya, menjadi pertanyaan yang
seharusnya sudah terjawab sebelum melakukan pergantian kurikulum sebagai pedoman dasar
penerapan proses belajar mengajar dunia pendidikan nasional. Namun Kemendikbud kini sudah
membuat Kurikulum 2013 dan sudah diterapkan sejak Juli 2013 di seluruh sekolah di Indonesia,
tanpa pernah ada evaluasi Kurikulum 2006.
Uraian di atas, memperlihatkan dengan sangat jelas bahwa pemerintah Indonesia tidak bijaksana
dalam melakukan pergantian kurikulum, seolah tidak memiliki grand design dan Blue Print
pelaksanaan pendidikan nasional. Kondisi ini bisa sangat mengganggu hasil yang diharapkan dari
dunia pendidikan Indonesia, di mana masa depan bangsa tentu akan menjadi taruhannya. Hal ini
jelas-jelas bisa terjadi jika kurikulum diterbitkan tanpa melalui proses penyusunan yang bijak dan
matang dan tanpa adanya evaluasi kurikulum sebelumnya.
Begitupula dengan kondisi objektif di lapangan, bahwa masih sangat banyak guru yang mengaku

belum paham dan belum bisa menerapkan Kurikulum 2006, di mana rencana pelaksanaan
pembelajaran (RPP) lebih banyak tematik. Dalam penyusunan dokumen 1 yang dipersyaratkan pada
kurikulum 2006, penyusunannya masih copy-paste tanpa mengubah isinya. Hal ini bahkan
berlangsung hingga tiga tahun kalender tidak mengalami perubahan. Guru-guru mengaku belum siap
untuk menerapkan Kurikulum 2006 karena terlalu banyak administrasi yang harus dibuat dalam RPP.
Harusnya Kurikulum 2006 dievaluasi dulu baru terapkan kurikulum baru 2013.
Muncul pertanyaan, apakah Kurikulum 2013 ini lahir sebagai upaya memberi jawaban untuk
mengatasi keprihatinan akan kondisi moralitas generasi muda kita sekarang, atau lahir sebagai reaksi
terhadap kondisi kita saat ini. Banyak ahli berpendapat bahwa seharusnya, setiap kurikulum, atau
khususnya Kurikulum 2006, bisa dikaji mendalam. Kalau perlu sampai pada guru di pelosok desa agar
kompetensi guru betul-betul bisa terbentuk, memiliki keterampilan dan kemampuan untuk
melakukan intepretasi atas kurikulum, barulah kurikulum diubah dengan yang dianggap lebih
sempurna dari yang sebelumnya.
Terkait dengan perubahan kurikulum yang seakan terburu-buru dan tidak pernah dievaluasi
penerapannya, menjadikan proses pembentukan dan pemantapan kompetensi guru pun terhambat
serta seperti jalan di tempat. Hingga pada akhirnya guru-guru mengalami kesulitan mendasar, yaitu
tidak mampu memahami persoalan perangkat pembelajaran, sehingga belum bisa sepenuhnya
melakukan implementasi kurikulum. Jika hal itu terjadi pada guru, bagaimana mereka bisa
berkonsentrasi dalam membentuk karakter anak didik? Guru harus mendapatkan pelatihan agar
memahami kurikulum sebelum terjun ke lapangan.

Terlepas dari sudah tepatkah kurikulum 2013 ini diterapkan pada tahun ajaran 2013/2014 dan
kesiapan guru serta murid untuk melaksanakan kurikulum baru itu, yang perlu diingat bahwa guru
bukan obyek pendidikan. Guru bukan hanya sebagai pelaksana dari kurikulum yang dibuat oleh
pemerintah. Sebaliknya, guru adalah manusia yang memiliki panggilan profesi dan tanggung jawab
besar untuk menentukan masa depan anak didik, masa depan dunia pendidikan, masa depan bangsa
Indonesia. Karena itu, guru harus bisa lebih cermat dalam memaknai dan menentukan sikap apakah

bisa atau tidak untuk menerima setiap kebijakan yang dibuat oleh pemerintah entah itu pemerintah
daerah ataupun pemerintah pusat.

Evaluasi dan Sitem Penilaian
Di sisi lain, Menteri Pendidikan dan Kebudayaan (Mendikbud) membeberkan tiga hal yang menjadi
poin monitoring dan evaluasi (monev) dalam kurikulum 2013. Pertama mengenai buku, kedua
tentang proses pelaksanaan pembelajaran dan ketiga menyangkut kemampuan guru. Evaluasi
terhadap buku diperlukan agar terdapat perbaikan di periode berikutnya. Sebab buku dalam
kurikulum bersifat model yang harus diidealkan dengan tujuan kurikulum. Sementara untuk guru,
kementerian berharap memiliki rapor penilaian seluruh guru. Penilaian dapat diperoleh melalui
pelatihan-pelatihan yang sudah dilakukan. Evaluasi juga akan mempersiapkan pendampingan
terhadap para guru. Sedangkan tahap ketiga untuk kompetensi, para guru akan diukur
rasionalitasnya terhadap kurikulum.

Ketiga poin monitoring dan evaluasi tersebut justru yang menjadi titik lemah dari Kementrian
Pendidikan selama ini yang seperti tidak pernah peduli dengan situasi yang dialami oleh guru-guru di
lapangan. Misalnya persoalan tentang penilaian. Selama ini, sistem evaluasi pendidikan kita adalah
evaluasi yang sifatnya formatif. Evaluasi formatif menganggap penilaian pendidikan itu bagian dari
pembelajaran itu sendiri, sehingga hasil evaluasi dapat digunakan untuk menentukan kemajuan,
kekuatan, dan kelemahan pengalaman belajar siswa. Model evaluasi seperti ini hanya dapat
dilakukan guru di dalam kelas dan hal itu dikarenakan guru yang berinteraksi secara langsung dengan
siswa, sehingga mereka yang mengetahui bagaimana membantu siswa maju dalam proses belajar.
Evaluasi formatif membandingkan kemajuan siswa dengan tingkat kompetensi sebelumnya, tidak
memperbandingkan kemajuan antar-peserta didik yang justru selama ini dipraktekkan, seperti
penerapan Ujian Nasional (UN), misalnya.
Sistem evaluasi yang diterapkan dalam UN adalah bersifat sumatif, di mana model ini hanya menilai
sejauh mana kualitas pembelajaran peserta didik setelah mengalami proses belajar dalam kurun
waktu tertentu. Fokus model ini adalah pada sejauh mana peserta didik menguasai materi, lantas
diperbandingkan dengan peserta lain. Karena itu, muncullah berbagai macam pemeringkatan, seperti
pemeringkatan antar siswa, antar sekolah, antar kabupaten dan antar provinsi.
Padahal, meskipun dapat digunakan untuk pemeringkatan, model ini tidak memberikan informasi
apa-apa tentang yang terjadi di kelas, bagaimana kualitas guru mengajar, ketersediaan dan akses
siswa terhadap materi pembelajaran serta kualitas pendidikan. Karena itu, seandainya saja seorang
siswa dapat mengerjakan soal matematika dalam UN dan memperoleh nilai 10, kita tidak dapat

otomatis mengatakan bahwa guru yang mengajar di sekolah tersebut memang memiliki kompetensi
tinggi, sarana dan prasarana lengkap, serta kualitas pendidikan yang sudah baik.
Kerancuan pengertian antara tes formatif dan sumatif serta membabi buta menerapkannya secara
bersamaan sebagai paket tujuan evaluasi pendidikan berbeda akan melahirkan manipulasi dan
pretensi tanpa dasar kenyataan. Bahaya dari distorsi pemikiran seperti ini adalah seolah-olah, angkaangka statistik hasil UN adalah realitas nyata dunia pendidikan kita. Selama 10 tahun pelaksanaan
UN, kita tahu rata-rata kelulusan siswa kita hampir 98 persen.
Karena pada prinsipnya, hasil nilai yang diperoleh saat UN, hanya dapat menunjukkan jumlah soal
yang dijawab benar oleh seorang siswa dalam tes itu, pada saat itu. Dan hal itu terjadi tanpa kita

tahu dari mana mereka memperoleh jawaban benar tersebut dan bagaimana keterkaitan hasil UN itu
dengan kompetensi guru, kecukupan sarana prasarana sekolah serta kualitas proses belajar mengajar
yang terjadi sebenarnya.
Apakah ini berarti bahwa dunia pendidikan kita baik-baik saja? Padahal, berdasarkan fakta, pada saat
hasil UN menjadi parameter untuk mengukur keberhasilan proses pendidikan, kita sebenarnya
sedang melanggengkan sebuah kebijakan pendidikan yang penuh kepura-puraan dan kemunafikan.
Apalagi jika kita hanya menggunakan hasil UN untuk melihat indeks kompetensi sekolah, padahal UN
tidak mampu memberikan informasi tentang proses belajar-mengajar di sebuah unit pendidikan,
maka kita sudah terjebak dalam kesesatan berpikir.

Situasi Kekinian dan Gagasan Perbaikan

Pada tahun 2012, Programme for International Study Assessment (PISA)pernah menempatkan
Indonesia sebagai salah satu negara dengan peringkat terendah dalam pencapaian mutu pendidikan.
Pemeringkatan tersebut dapat dilihat dari skor yang dicapai pelajar usia 15 tahun dalam kemampuan
membaca, matematika, dan sains.
Dalam studi ini, mutu pendidikan Indonesia yang rendah dikonfirmasikan dengan anggaran dan biaya
pendidikan yang langsung dibayar masyarakat, naik signifikan dari tahun ke tahun. Mutu pendidikan
Indonesia yang rendah, sebagaimana tercermin dari hasil studi PISA, memperlihatkan ada sesuatu
yang salah dalam sistem persekolahan dan kebijakan pendidikan Indonesia.
Hal ini seharusnya menjadi fokus Pemerintah, bagaimana untuk mengembangkan sistem pendidikan
nasional yang menekankan pada kemampuan siswa secara berkelanjutan dalam pengembangan
kompetensinya pada setiap mata ajar, perkembangan psikologisnya dan kemampuan kreatifnya
dalam memahami persoalan yang dihadapi dalam proses belajar mengajar. Selayaknya, Kementerian
Pendidikan mengembangkan sistem assessment bersifat nasional dan mencerminkan keberagaman
anak dari sisi komptensi individual, bukan hanya fokus pada klasikal.
Dalam sebuah seminar di UNY Oktober silam, Prof. Dr. H.A.R. Tilaar dan Drs. Sumarno, M.A., Ph.D.
memaparkan dan menyoroti persoalan globalisasi yang semakin booming di setiap negara, termasuk
Indonesia. Prof Tilaar menyebut bahwa Indonesia adalah salah satu negeri yang terseret arus
globalisasi namun banyak melupakan kekayaan budaya sendiri. Menurut Prof. H.A.R. Tilaar, Indonesia
kini miskin secara ekonomi dan miskin secara intelektual, padahal Indonesia merupakan negara
dengan sumber daya alam dan sumber daya manusia yang melimpah.

Kemiskinan intelektual yang dimaksud oleh Prof. H.A.R. Tilaar adalah masih sangat minimnya
penelitian mengenai anak Indonesia. Kebanyakan bahan kajian pustaka di Indonesia merupakan hasil
penelitian orang Barat dengan subjek yang menarik bagi mereka sendiri. Hal tersebut membuat
pendidikan Indonesia tidak cocok jika mengikuti pola pendidikan mereka.
Dalam seminar tersebut pula, Prof. H.A.R. Tilaar mengkritik habis Kurikulum 2013 yang dikeluarkan
oleh Kementerian Pendidikan dan Kebudayan Indonesia. Menurutnya, Kurikulum 2013 tersebut
pernah dipakai oleh sekolah-sekolah Belanda saat zaman penjajahan, tepatnya di Kota Bandung.
Begitu pula mengenai Ujian Nasional yang menurutnya sangat membatasi kreativitas anak, padahal
untuk menciptakan negara yang maju harus banyak orang yang kreatif.

Menurut Tracey Yani Harjatanaya, Dewan Pembina Yayasan Perguruan Sultan Iskandar Muda
(Kompas.com, 2 Mei 2012), sekurang-kurangnya ada empat hal yang bisa diperbaiki guna
meningkatkan kualitas pendidikan Indonesia. Pertama, berhubungan dengan akses dan infrastruktur.
Infrastruktur yang dimaksud di sini tidak hanya mencakup sarana dan prasarana yang ada di
lingkungan sekolah. Dalam kaitan ini pemerintah harus dapat menyediakan infrastruktur jalan dan
transportasi yang memadai agar anak dapat bersekolah dengan nyaman. Hal tersebut dapat terlihat
pada kasus anak-anak di Banten yang harus menantang maut menyeberangi jembatan yang runtuh di
atas arus Sungai Ciberang yang deras agar bisa sekolah, tak boleh lagi terjadi. UUD 1945 menjamin
hak setiap warga negara mendapatkan pendidikan yang layak dan negara dalam hal ini berkewajiban
memenuhi hak itu.

Kedua, program pendidikan dasar gratis memang dari segi kuantitas dapat dikatakan berhasil karena
angka partisipasi siswa SD hampir mencapai 100 persen, tetapi tidak dari segi kualitas. Badan Pusat
Statistik (2010) mencatat, 13 persen siswa SD tidak menyelesaikan pendidikan. UNESCO, dalam
Global Monitoring Report 2011 juga melaporkan, 80 persen dari murid kelas IV SD di Indonesia masih
memiliki kemampuan membaca di bawah standar internasional.
Ketiga, privatisasi dalam bidang pendidikan -walau diperlukan untuk menunjang kinerja pemerintahtelah memperlebar jurang pencapaian prestasi antara anak dari keluarga berkecukupan dan anak
dari keluarga tak mampu.
Salah satu contoh dapat dilihat dari dominasi siswa/siswi dari sekolah swasta yang meraih prestasi di
ajang olimpiade ataupun kompetisi bergengsi lain. Ketimpangan ini dapat terjadi karena sekolah
swasta dengan uang sekolah yang lebih tinggi dibandingkan dengan sekolah negeri, mempunyai
anggaran lebih besar untuk terus memperbaharui infrastruktur dan fasilitasnya. Sekolah swasta juga
memiliki daya tarik lebih kuat bagi calon guru dengan kompetensi yang tinggi. Selain gaji yang lebih
tinggi, lingkungan kerja pun lebih baik.
Keempat, mengacu pada ketiga hal di atas, dapat dipastikan kesetaraan akan kualitas pendidikan
yang diterima oleh siswa/siswi di seluruh pelosok Indonesia sulit tercapai. Padahal, pendidikan
seyogianya mempersiapkan siapa saja, baik yang terlahir di keluarga kaya maupun miskin, untuk bisa
mendapatkan kesejahteraan hidup.
Uraian dari Prof. Tilaar dan Tracey Yani di atas, cukup bisa menggambarkan bahwa dalam
menghadapi proses globalisasi dan efeknya dalam perkembangan peradaban dunia, kita wajib
mempersiapkan masyarakat kita untuk mampu menghadapi situasi tersebut di saat sudah benarbenar menerpa bangsa kita. Caranya adalah dengan membangun pola pendidikan yang ideal
berdasarkan pada evaluasi menyeluruh terhadap struktur, pola dan teknis pada kurikulum
pendidikan nasional yang ada, kemudian membangun yang baru, yang memang realistis untuk
diterapkan dan bertujuan membangun kompetensi rakyat Indonesia melalui pola pendidikan yang
berkualitas dalam rangka mencerdaskan bangsa ini agar mampu dan siap dalam menghadapi proses
globalisasi di segala bidang sambil tetap mempertahankan kebudayaan asli bangsa ini.
Penerapan pendidikan gratis di daerah-daerah oleh Pemerintah Daerah, seringkali menyesatkan,
khususnya pada sekolah-sekolah negeri, tanpa mempedulikan kualitas sekolah dan
diimplementasikan sama rata. Hal ini seringkali hanya dijadikan komoditas politik dalam membangun
popularitas dan kosmetik politik untuk meraih suara pada setiap kontestasi politik memperebutkan
kekuasaan. Ini sebetulnya justru memberikan rasa ketidakadilan pada penerapannya. Bagaimana

sekolah menjadi gratis untuk setiap siswa, tanpa melihat latar belakang status sosial ekonomi
keluarga siswa, padahal biaya yang digunakan adalah anggaran Negara yang sudah seharusnya
digunakan secara tepat, yaitu subsidi hanya bagi yang membutuhkan.
Penerapan sekolah gratis ini, selain hanya membebani anggaran biaya pendidikan, yang sebetulnya
bisa digunakan untuk membiayai kegiatan yang lain, seperti membuat pelatihan untuk meningkatkan
kompetensi guru misalnya, juga memuat sekolah akhirnya memiliki ketergantungan yang tinggi pada
anggaran Negara dan tidak mampu menarik iuran dari masyarakat untuk memnerapkan programprogram mandiri yang dianggap perlu, guna meningkatkan kualitas sekolahnya sendiri.
Kemudian lagi, banyak terjadi praktek-praktek yang tidak sehat dalam memilih sekolah, khususnya
pada siswa yang memiliki latar belakang keluarga yang kaya ataupun orang tua yang pejabat,
akhirnya mendapatkan kesempatan untuk memasuki sekolah-sekolah yang favorit yang sudah
dikenal memiliki kualitas pola pendidikan yang bagus. Dan pada akhirnya, menutup kesempatan bagi
siswa yang sebetulnya memiliki tingkat kompetensi yang tinggi serta bakat minat yang memadai
untuk bisa mendapatkan kualitas pendidikan yang baik di sekolah-sekolah favorit.
Ada pula dogma yang terlanjur mengakar pada masyarakat Indonesia, yaitu akan menjadi apa setelah
sekolah, yang juga pada akhirnya mempengaruhi pola kurikulum. Tren masyarakat dan dunia kerja
yang menekankan pencapaian akademis, membuat persekolahan yang bertumpu pada ekonomi
pasar secara tidak langsung berperan memperuncing ketidaksetaraan ekonomi-sosial yang ada.
Meminjam rumusan Pierre Bourdieu, anak dari keluarga kaya punya tendensi untuk bertahan di
piramida sosial atas, karena mereka ditunjang budaya keluarga yang sejalan dengan budaya
dominan, yaitu materi dan jaringan yang tidak dimiliki anak yang terlahir di keluarga miskin.
Namun begitu, walaupun masih banyak kendala dan tantangan besar dalam dunia pendidikan
Indonesia, bukan berarti tidak dapat dibenahi. Bantuan pendidikan, seperti bantuan operasional
sekolah dan anggaran pendidikan yang mencapai 20 persen dari total APBN/APBD, serta klaim bahwa
kurikulum 2013 adalah merupakan hasil evaluasi dari kurikulum 2006, bisa menjadi awal yang baik.
Namun, tanpa arah yang jelas, komitmen dan konsistensi dalam penerapannya dari semua pihak,
masalah yang dipaparkan di atas tak akan pernah terselesaikan.
Pola kurikulum pendidikan nasional yang menjadikan siswa didik menjadi obyek sekaligus subyek
pendidikan, yang menekankan pada penilaian dan assessment menyeluruh di tingkat individual,
sebagai hasil dari evaluasi kompetensi siswa didik dan peningkatan kompetensi guru dalam
melakukan implementasi kurikulum, serta penekanan pada aspek psikologis dan tugas
perkembangan siswa sebagai pendukung utama pencapaian akademis, menjadikan kurikulum
pendidikan nasional menjadi lebih fokus dan tajam dalam menghasilkan pendidikan bermutu bagi
setiap anak. Dan hal itu haruslah terimplementasi tanpa melihat latar belakang sosial dan ekonomi,
harus berlandaskan pada nilai demokrasi, kemanusiaan, keadilan, dan kesetaraan sehingga bisa
menjadi solusi yang tepat bagi perbaikan dan masa depan bangsa yang lebih baik.***

*Dimuat dalam Buku “Pergerakan Indonesia Menggugat: Kumpulan Catatan 10 Tahun Terakhir
Indonesia”, Jakarta, 2013.