Karakteristik dan Jenis Tindak Tutur.doc

KARAKTERISTIK DAN JENIS TINDAK TUTUR

MAKALAH
diajukan untuk memenuhi tugas perkuliahan Kajian Tindak Tutur
yang dibina oleh Dr. Novia Juita, M.Hum.

DELSY ARMA PUTRI
NIM 16174007

PROGRAM STUDI PENDIDIKAN BAHASA DAN SASTRA INDONESIA
PASCASARJANA UNIVERSITAS NEGERI PADANG
PADANG
2016

KATA PENGANTAR
Puji syukur penulis ucapkan kepada Allah Swt yang telah melimpahkan
rahmat dan karunia-Nya kepada penulis, sehingga penulisan Makalah pada Mata
Kuliah Kajian Tindak Tutur yang berjudul ”Katakteristik dan Jenis Tindak Tutur”
dapat diselesaikan dengan baik. Shalawat serta salam kepada junjungan Nabi
Muhammad Saw yang telah membawa umatnya dari alam jahiliyah kepada
puncak ilmu pengetahuan.

Di dalam penyelesaian laporan ini, penulis mendapatkan bimbingan dan
motivasi dan masukan dari berbagai pihak. Namun, penulis menyadari makalah
ini jauh dari kesempurnaan. Penulis mengharapkan kritik, saran, yang
membangun untuk kesempurnaan makalah ini. Akhir kata, semoga makalah ini
bermanfaat bagi pembaca.
Padang, November 2016

Penulis

1

BAB I
PENDAHULUAN

A. Latar Belakang
Dalam kehidupan sehari-hari, seseorang sering berkomunikasi dengan
orang lain, dengan keperluan menyampaikan maksud, tujuan atau hanya sekedar
basa-basi. Berdasarkan kajian linguistik, pada saat berkomunikasi menghasilkan
tuturan yang mengandung kata-kata dan strukur gramatikal. Namun berdasarkan
kajian pragmatik, saat berkomunikasi seseorang tidak hanya menghasilkan tuturan

yang mengandung kata-kata dan strukur gramatikal, tetapi kita memngungkapkan
tindakan-tindakan melalui tuturan yang dapat kita pahami dengan mengenal dan
mendalami berbagai jenis tuturan. Makalah ini menjelaskan pengertian tindak
tutur, karakteristik tindak tutur, dan jenis tindak tutur.
B. Fokus Masalah
Permasalahan yang dibahas dalam makalah ini meliputi hakikat dan
pengertian tindak tutur, karakteristik tindak tutur, dan jenis tindak tutur.
C. Tujuan dan Manfaat Penulisan
Berdasarkan latar belakang dan fokus masalah, maka tujuan penulisan
makalah ini adalah sebagai berikut. Pertama, menjelaskan pengertian tindak tutur
dalam pragmatik. Kedua, menjelaskan karakteristik tindak tutur. Ketiga,
menjelaskan jenis-jenis tindak tutur. Harapannya, dengan adanya makalah ini bisa
memberi pemahaman lebih tentang hakikat tindak tutur besera jenis-jenisnya bagi
penulis dan pembaca.

1

BAB II
PEMBAHASAN
Dalam Bab II mengenai pembahasan tindak tutur, diuraikan tiga hal

berikut yang berkaitan dengan tindak tutur. 1) pengertian tindak tutur, 2)
karakteristik tindak tutur, dan 3) jenis tindak tutur.
A. Pengertian Tindak Tutur
Istilah tindak tutur 'speech act' pertama-tama dikemukakan oleh Austin
(1956) yang merupakan teori yang dihasilkan dari studinya di Universitas Havard
dan kemudian dibukukan oleh J.O. Urmson (1965) dengan judul How to Do
Thing with Words? Kemudian teori ini dikembangkan oleh Searle (1969) dengan
menerbitkan sebuah buku Speech Acts: An Essay in the Philosophy of
Language. Ia berpendapat bahwa komunikasi bukan sekadar lambang, kata atau
kalimat, tetapi akan lebih tepat apabila disebut produk atau hasil dari lambang,
kataa, atau kalimat yang berwujud perilaku tindak tutur (the performance of
speech acts).
Tindak tutur merupakan aksi (tindakan) dengan menggunakan bahasa
(Djajasudarma, 1994: 63). Bahasa digunakan pada hampir semua aktivitas.
Bahasa merupakan alat komunikasi yang digunakan oleh anggota masyarakat
dalam interaksi sosial. Dalam interaksi tersebut tampak adanya upaya
penyampaian gagasan, pertukaran gagasan, melalui kerja sama di antara penutur
dan mitra tutur. Dapat dipastikan bahwa dalam aktivitas komunikasi tersebut
senantiasa terjadi kegiatan bertutur. Dalam kaitannya dengan kegiatan bertutur
sebagai aktivitas komunikasi, Yule (2006:82) menjelaskan bahwa kegiatan

bertutur adalah tindakan-tindakan, janji atau permohonan.
Seseorang menggunakan bahasa untuk bertindak menyatakan informasi.
Ketika seseorang sedang bercakap-cakap, dapat dilihat bahwa ia sedang
melakukan beberapa tindakan seperti: melaporkan, menyatakan, memperingatkan,
menjanjikan, mengusulkan, menyarankan, mengkritik, meminta, memohon,
memerintah, bertaruh, menasihati, dan sebagainya. Jika kegiatan bertutur
dianggap sebagai tindakan, berarti setiap kegiatan bertutur atau menggunakan

2

3

tuturan terjadi tindak tutur. Kemudian tindak tutur (istilah kridalaksana penuturan
atau speech act, speech event) adalah pengajaran kalimat untuk menyatakan agar
suatu maksud dari pembicara diketahui oleh pendengar (Kridalaksana, 1984: 154).
Sehingga dalam tindak tutur lebih dilihat pada makna atau arti tindakan dalam
tuturannya. Hakikat tindak tutur itu adalah tindakan yang dinyatakan dengan
makna atau fungsi (maksud dan tujuan) yang melekat pada tuturan.
Berdasarkan pendapat para ahli yang telah dikemukakan sebelumnya,
dapat diketahui bahwa tindak tutur adalah kemampuan seorang individu

melakukan tindak ujaran yang mempunyai maksud tertentu sesuai dengan situasi
tertentu. Dari definisi tersebut dapat dilihat bahwa dalam tindak tutur yang lebih
ditekankan ialah arti tindakan dalam tuturannya. Hal ini sesuai dengan fungsi
bahasa sebagai alat komunikasi, yang bertujuan untuk merumuskan maksud dan
melahirkan perasaan penutur. Selain itu, tindak tutur juga mencakup ekspresi
psikologis (misalnya berterima kasih dan memohon maaf), dan tindak sosial
seperti mempengaruhi tingkah laku orang lain (misalnya mengingatkan dan
memerintahkan) atau membuat kontrak (misalnya berjanji dan menamai).
Tindak tutur adalah kegiatan seseorang menggunakan bahasa kepada mitra
tutur dalam rangka mengkomunikasikan sesuatu. Apa makna yang dikomukasikan
tidak hanya dapat dipahami berdasarkan penggunaan bahasa dalam bertutur
tersebut tetapi juga ditentukan oleh aspek-aspek komunikasi secara komprehensif,
termasuk aspek-aspek situasional komunikasi atau konteks tuturan. Hal ini sesuai
dengan pendapat Chaer (1995:65) yang menjelaskan bahwa tindak tutur
merupakan gejala individu, bersifat psikologis dan keberlangsungannya
ditentukan oleh kemampuan bahasa si penutur dalam mengahadapi situasi
tertentu. Dalam tindak tutur itu yang lebih dilihat adalah makna atau arti tindakan
dalam tuturannya.
Saat menuturkan kalimat, seorang tidak semata-mata mengatakan sesuatu
dengan mengucapkan kalimat itu. Ketika ia menuturkan kalimat, berarti ia

menindakkan sesuatu. Dengan mengucapkan, “Mau makan apa?” si penutur tidak
semata-mata menanyakan atau jawaban tertentu, ia juga menindakkan sesuatu,
yakni menawarkan makan siang. Seorang ibu berkata kepada anak perempuannya

4

yang dikunjungi oleh pacarnya “Sudah pukul sembilan”. Ibu tadi tidak sematamata memberitahukan tentang keadaan yang berkaitan dengan waktu, tetapi juga
menindakkan sesuatu yakni memerintahkan mitra tutur lain (misalnya anaknya)
agar pacarnya pulang.
B. Karakteristik Tindak Tutur
Tindak tutur atau tindak ujar (speech act) merupakan entitas yang bersifat
sentral dalam pragmatik sehingga bersifat pokok di dalam pragmatik. Tindak tutur
merupakan dasar bagi analisis topik-topik pragmatik lain seperti praanggapan,
perikutan, implikatur percakapan, prinsip kerja sama, dan prinsip kesantunan
(Rustono, 1999: 33).
Suatu ujaran atau tindak tutur ketika diujarkan maka dapat memiliki lebih
dari satu makna, sehingga untuk mengetahui makna yang terkandung dalam
tuturan tersebut sangat tergantung dengan konteks ketika penutur berbicara. Oleh
karena itu, dalam mengkaji tindak tutur, tidak lepas dari mitra tutur sendiri,
konteks tuturan, peristiwa tutur dan situasi tutur.

1. Situasi tutur
Rustono (1999:26) menyatakan bahwa situasi tutur adalah situasi yang
melahirkan tuturan. Dalam komunikasi, tidak ada tuturan tanpa situasi tutur.
Sebuah peristiwa tutur dapat terjadi karena adanya situasi yang mendorong
terjadinya peristiwa tutur tersebut. Situasi tutur sangat penting, karena dengan
adanya situasi tutur, maksud dari sebuah tuturan dapat diidentifikasikan dan
dipahami oleh mitra tuturnya. Sebuah tuturan dapat digunakan dengan tujuan
untuk menyampaikan beberapa maksud atau sebaliknya. Hal tersebut dipengaruhi
oleh situasi yang melingkupi tuturan tersebut. Dengan kata lain, maksud tuturan
yang sebenarnya hanya dapat diidentifikasi melalui situasi tutur yang
mendukungnya.
Leech (1994:4) menyatakan bahwa dalam tindak tutur dipertimbangkan
lima aspek situasi tutur yang mencakup: penutur dan mitra tutur, konteks tuturan,
tujuan tuturan, tindak tutur sebagai sebuah tindakan/aktivitas dan tuturan sebagai
produk tindak verbal.

5

Pertama, penutur dan mitra tutur. Penutur adalah orang yang bertutur,
sementara mitra tutur adalah orang yang menjadi sasaran atau kawan penutur.

Peran penutur dan mitra tutur dilakukan secara silih berganti, penutur pada tahap
tutur berikutnya dapat menjadi mitra tutur, begitu pula sebaliknya sehingga
terwujud interaksi dalam komunikasi. Konsep tersebut juga mencakup penulis dan
pembaca apabila tuturan tersebut dikomunikasikan dalam bentuk tulisan. Aspekaspek yang terkait dengan penutur dan mitra tutur tersebut antara lain aspek usia,
latar belakang sosial, jenis kelamin, tingkat pendidikan, dan tingkat keakraban.
Aspek-aspek tersebut mempengaruhi daya tangkap mitra tutur, produksi tuturan
serta pengungkapan maksud. Penutur dan mitra tutur dapat saling memahami
maksud tuturan apabila keduanya mengetahui aspek-aspek tersebut. Berikut
adalah contoh dalam percakapan.
Konteks : Andi Bertanya kepada Tatang mengenai hasil pertandingan
sepak bola Indonesia melawan Korea Selatan
Andi
: Tang, kemarin lihat bola gak, gimana Indonesia menang
nggak?
Tatang : Wah, kacau Ndi. Indonesia kalah 0-1.
Andi dalam tuturan tersebut berlaku sebagai penutur sedangkan Tatang sebagai
orang yang diajak bicara oleh Andi sebagai mitra tutur yang mendengarkan
tuturan Andi, disamping itu Tatang dalam peristiwa tutur tersebut juga berperan
sebagai penutur, yaitu dengan mengungkapkan jawaban atas pertanyaan Andi
yang menanyakan hasil pertandingan sepak bola AFC, Indonesia melawan Korea

Selatan yang dimenangkan oleh Korea Selatan 1-0.
Kedua, konteks tuturan. Kontek tuturan adalah konteks dalam semua aspek
fisik atau setting sosial yang relevan dari tuturan bersangkutan. Konteks berupa
situasi yang berhubungan dengan suatu kejadian. Pada hakikatnya konteks dalam
pragmatic merupakan semua latar belakang pengetahuan (background knowledge)
yang dipahami bersama antara penutur dengan mitra tuturnya.
Konteks : Rintan bertemu dengan Rizal saat menunggu angkutan
Rizal
: Hai, Rintan!, mau kemana nih, kok sendirian aja?
Rintan : Eh, Rizal, mau kuliah. Biasanya juga sendirian. (agak malu)

6

Konteks yang ditampilkan dalam peristiwa tutur yang terjadi antara Rintan dan
Rizal tersebut adalah Rizal bertanya kepada Rintan sedangkan koteks ditunjukkan
pada raut wajah Rintan yang agak malu menjawab pertanyaan Rizal.
Ketiga, tujuan tuturan. Tujuan tuturan merupakan hal yang yang ingin
dicapai penutur dengan melakukan tindakan tutur. Tujuan tuturan merupakan apa
yang ingin dicapai penutur dengan melakukan tindakan bertutur. Semua tuturan
memiliki tujuan, hal tersebut memiliki arti bahwa tidak ada tuturan yang tidak

mengungkapkan suatu tujuan. Bentuk-bentuk tuturan yang diutarakan oleh
penutur selalu dilatarbelakangi oleh maksud dan tujuan tuturan. Sehingga, bentuk
tuturan yang bermacam-macam dapat digunakan untuk menyatakan satu maksud
dan sebaliknya satu tuturan dapat menyatakan berbagai macam maksud.
Konteks : Adi datang berkunjung ke rumah Bu Nori untuk meminjam buku
catatan
Adi
: Kemarin aku gak sempat nyatet kuliahnya Pak Tomo nih
Bu Nori : Nah, kamu pasti mau pinjam buku catatanku lagi kan?
Berdasarkan peristiwa tutur tersebut dapat diungkapkan bahwa penutur
dalam hal ini Adi memiliki tujuan dalam menuturkan tuturan ‘Kemarin aku gak
sempat nyatet kuliahnya Pak Arifin nih.’ Tujuan dari tuturan tersebut adalah
bahwa Adi bermaksud meminjam buku catatan Bu Nori, karena kemarin dia tidak
sempat mencatat materi kuliah yang disampaikan Pak Arifin.
Keempat, tuturan sebagai bentuk tindakan atau aktivitas. Menuturkan
sebuah tuturan dapat dilihat sebagai melakukan tindakan (act). Tuturan dapat
dikatakan sebagai sebuah tindakan atau aktivitas karena dalam peristiwa tutur,
tuturan dapat menimbulkan efek sebagaimana tindakan yang dilakukan oleh
tangan atau bagian tubuh lain yang dapat menyakiti orang lain atau
mengekspresikan tindakan.

Konteks : Seorang ibu berkata kepada anaknya
Ibu
: Wah, terasnya kotor sekali ya?.
Anak
: (segera mengambil sapu dan menyapu teras tersebut)
Berdasarkan peristiwa tutur tersebut tuturan yang dilakukan oleh Ibu
merupakan tindakan menyuruh atau mendorong Anak untuk membersihkan teras
yang terlihat kotor. Tuturan tersebut menimbulkan efek pada mitra tutur yang
mendengarkan tuturan tersebut seperti halnya didorong atau dipukul dengan

7

menggunakan tangan. Dalam perilaku yang dilakukan oleh anak yang segera
mengambil sapu dan menyapu teras merupakan efek dari ucapan Ibu tersebut.
Kelima, tuturan sebagai produk tindakan verbal. Karena tercipta melalui
tindakan verbal, tuturan tersebut merupakan produk tindak verbal yang
merupakan tindakan mengekspresikan kata-kata atau bahasa. Tuturan sebagai
produk tindakan verbal akan terlihat dalam setiap percakapan lisan maupun
tertulis antara penutur dan mitra tutur, seperti yang tampak pada tuturan berikut.
Konteks : seorang ibu berpesan pada anaknya
Ibu : Ris, nanti kalau ada tamu bilang Ibu sedang arisan ya!
Risa : Iya, Bu.
Tuturan tersebut merupakan hasil dari tindakan verbal bertutur kepada
mitra tuturnya, dalam hal ini Risa yang diberi pesan Ibunya, bahwa kalau ada
tamu Risa harus mengatakan bahwa Ibunya sedang arisan.
Kelima aspek situasi tutur tersebut tentu tidak terlepas dari unsur waktu
dan tempat di mana tuturan tersebut diproduksi, karena tuturan yang sama apabila
diucapkan pada waktu dan tempat berbeda, tentu memiliki maksud yang berbeda
pula. Sehingga unsur waktu dan tempat tidak dapat dipisahkan dari situasi tutur.
2. Petistiwa tutur
Peristiwa tutur (Inggris: speech event) adalah terjadinya atau
berlangsungnya interaksi linguistik dalam satu bentuk ujaran atau lebih yang
melibatkan dua pihak, yaitu penutur dan lawan tutur, dengan satu pokok tuturan,
di dalam waktu, tempat, dan situasi tertentu (Chaer, 1995: 61). Jadi interaksi yang
berlangsung antara seorang pedagang dan pembeli di pasar pada waktu tertentu
dengan menggunakan bahasa sebagai alat komunikasinya adalah sebuah peristiwa
tutur. Peristiwa serupa kita dapati juga dalam acara diskusi di ruang kuliah, rapat
dinas di kantor, sidang di pengadilan, dan sebagainya.
Menurut Chaer (1995:62), sebuah percakapan baru dapat disebut sebagai
sebuah peristiwa tutur apabila memenuhi syarat-syarat atau delapan komponen,
yang bila huruf-huruf pertamannya dirangkaikan menjadi akronim SPEAKING.
Kedelapan komponen itu adalah sebagai berikut.

8

S : (setting and Scene)
P : (participants)
E : (ends: purpose and goal)
A : (Act sequences)
K : (key: tone or spirit of act)
I : ( instrumentalities)
N : (norms of interaction and interpretation)
G : (genres)
Pertama, setting and scene. Setting berkenaan dengan waktu dan tempat
tutur berlangsung, sedangkan scene mengacu pada situasi, tempat dan waktu atau
situasi psikologis pembicaraan. Waktu, tempat, dan situasi tuturan yang berbeda
dapat menyebabkan penggunaan variasi bahasa yang berbeda juga. Berbicara di
lapangan sepak bola pada waktu ada pertandingan sepak bola dalam situasi yang
ramai tentu berbeda dengan pembicaraan di ruang perpustakaan pada waktu
banyak orang membaca dan dalam keadaan sunyi. Di lapangan sepak bola kita
bisa berbicara dengan keras tapi di ruang perpustakaan harus bicara seperlahan
mungkin.
Kedua, participant. Participant adalah pihak-pihak yang terlibat dalam
pertuturan, bisa pembicara dan pendengar, penyapa dan pesapa, atau pengirim dan
penerima pesan. Dua orang yang bercakap-cakap dapat berganti peran sebagai
pembicara atau pendengar, tetapi dalam khotbah masjid, khotib sebagai pembicara
dan jemaah sebagai pendengar tidak dapat bertukar peran. Status sosial partisipan
sangat menentukan ragam bahasa yang digunakan. Misalnya, seorang anak akan
menggunakan ragam atau gaya bahasa yang berbeda bila berbicara dengan orang
tuanya atau gurunya bila dibandingkan kalau dia berbicara dengan teman-teman
sebayanya.
Ketiga, end. End merujuk pada maksud dan tujuan pertuturan. Peristiwa
tutur yang terjadi di ruang pengadilan bermaksud untuk menyelesaikan suatu
kasus perkara; namun para partisipan di dalam peristiwa tutur itu mempunyai
tujuan yang berbeda. Jaksa ingin membuktikan kesalahan si terdakwa, pembela

9

berusaha membuktikan bahwa terdakwa tidak bersalah, sedangkan hakim
berusaha memberikan keputusan yang adil.
Keempat, act sequence. Act sequence mengacu pada bentuk ujaran dan isi
ujaran. Bentuk ujaran dan isi ujaran ini berkenaan dengan kata-kata yang
digunakan, bagaimana penggunaannya, dan hubungan antara apa yang dikatakan
dan topik pembicaraan. Bentuk ujaran dalam kuliah umum, dalam percakapan
biasa, dan dalam pesta adalah berbeda. Begitu juga dengan isi yang dibicarakan.
Kelima, key. Key mengacu pada nada, cara, dan semangat di mana suatu
pesan disampaikan dengan senang hati, dengan serius, dengan singkat, dengan
sombong, dengan mengejek, dan sebagainya. Hal ini dapat juga ditunjukkan
dengan gerak tubuh dan isyarat. Keenam, instrumentalities. Instrumentalities,
mengacu pada jalur bahasa yang digunakan, seperti jalur lisan, tertulis, melalui
telegraf atau telepon. Instrumentalities ini juga mengacu pada kode ujaran yang
digunakan, seperti bahasa, dialeg ragam atau register.
Ketujuh, Norm of Interaction and Interpretation. Norm of Interaction and
Interpretation mengacu pada norma atau aturan dalam berinteraksi. Misalnya,
yang berhubungan dengan cara berinterupsi, bertanya, dan sebagainya. Juga
mengacu pada norma penafsiran terhadap ujaran dari lawan bicara. Kedelapan,
genre. Genre mengacu pada jenis bentuk penyampaian, seperti narasi, puisi,
pepatah, doa dan sebagainya.
Secara sederhana tindak tutur adalah segala tindak yang dilakukan
seseorang pada saat berbicara, sedangkan peristiwa tutur adalah suatu kegiatan
yang terkontrol oleh sejumlah kaidah maupun norma yang digunakan dalam
berbicara. Berbeda dengan tindak dan peristiwa tutur, situasi tutur adalah kegiatan
yang tidak terkontrol secara keseluruhan oleh kaidah-kaidah yang tetap, seperti
pembicaraan pada saat perkelahian, pembunuhan, makan dan pesta (Hymes, 1972
dalam Richard (1995).
Berdasarkan uraian sebelumnya dapat disimpulkan bahwa tindak tutur
merupakan bagian dari peristiwa tutur, dan peristiwa tutur merupakan bagian dari
situasi tutur. Tuturan baru dapat dimengerti hanya dalam kaitannya dengan
kegiatan yang menjadi konteks dan tempat tuturan itu tejadi. Sesuai dengan

10

pendapat Alwasilah (1993:20) bahwa ujaran bersifat context dependent
(tergantung konteks). Dengan demikian dapat dinyatakan bahwa sebagai
pembicara dituntut untuk memahami situasi, peristiwa, dan tindak tutur yang tidak
bisa dilepaskan begitu saja dalam konteks berbahasa.
C. Jenis Tindak Tutur
Jenis-jenis tindak tutur antara lain, 1) konstatif dan performatif. 2) lokusi,
ilokusi, dan perlokusi. 3) representatif, direktif, ekspresif, komisif, dan deklarasi.
4) langsung, tidak langsung, harfiah, dan tidak harfiah. 5) vernakuler dan
seremonial.
1. Tindak tutur konstatif dan performatif
Menurut Austin (1962:1-11) dalam bukunya yang berjudul How to do
things with word, tuturan yang kalimatnya bermodus deklaratif atau pernyataan
terbagi atas dua jenis, yaitu konstantif dan performatif.
Tuturan konstatif adalah tuturan yang menyatakan sesuatu yang
kebenarannya dapat diuji benar atau salah dengan menggunakan pengetahuan
tentang dunia. Tuturan “Semarang ibukota Jawa Tengah” merupakan tuturan
konstatif karena kebenaran tuturan itu.
Tuturan performatif adalah tuturan yang pengutaraannya digunakan untuk
melakukan sesuatu. Tuturan “Saya mohon maaf atas keterlambatan saya
ini” merupakan contoh tuturan performatif. Tuturan performatif tidak dapat
dikatakan bahwa tuturan itu salah atau benar. Terhadap tuturan performatif dapat
dinyatakan sahih atau tidak. Kesahihan tuturan performatif bergantung kepada
pemenuhan persyaratan kesahihan. Empat syarat kesahihan tersebut antara lain
adalah sebagai berikut.
1) Harus ada prosedur konvensional yang mempunyai efek konvensional dan
prosedur itu harus mencakupi pengujaran kata-kata tertentu oleh orang-orang
tertentu pada peristiwa tertentu.
2) Orang-orang dan peristiwa tertentu di dalam kasus tertentu harus berkelayakan
atau yang patut melaksanakan prosedur itu.
3) Prosedur itu harus dilaksanakan oleh para peserta secara benar.
4) Prosedur itu harus dilaksanakan oleh para peserta secara lengkap.
2. Tindak tutur lokusi, ilokusi dan perlokusi

11

Berkenaan dengan tuturan, Austin (1962) mengemukan tiga jenis tindakan
yang bisa diwujudkan seorang penutur, yaitu: (a) tindak lokusi, (b) tindak
perlokusi, dan (c) tindak perlokusi.
Tindak lokusi adalah tindak tutur untuk menyatakan sesuatu. Tindak tutur
ini disebut sebagai the act of saying something. Bila diamati konsep lokusi adalah
konsep yang berkaitan dengan proposisi kalimat. Tindak tutur lokusi paling
mudah untuk diidentifikasi karena pengidentifikasiannya cenderung dapat
dilakukan tanpa menyertakan konteks tuturan atau tanpa mengaitkan maksud
tertentu. Tuturan “Udara panas” yang mengacu kepada makna udara atau hawa
panas, lawan dingin; tanpa dimaksudkan untuk meminta kipas angin dijalankan
atau jendela dibuka merupakan tuturan lokusi.
Tuturan yang mengandung maksud dan fungsi atau daya tuturan adalah
tindak tutur ilokusi. Tindak ilokusi disebut the act of doing
something. Tuturan “Sayur ini enak meskipun kurang asin” yang dimaksudkan
untuk meminta diambilkan garam merupakan tuturan ilokusi.
Sebuah tuturan yang diutarakan oleh seseorang seringkali mempunyai
daya pengaruh atau efek bagi yang mendengarnya. Efek atau daya pengaruh ini
dapat secara sengaja atau tidak disengaja dikreasikan oleh penuturnya. Tindak
tutur yang pengutaraannya dimaksudkan untuk mempengaruhi mitra tutur disebut
dengan tindak perlokusi. Tindak tutur ini sering disebut the act of affecting
someone. Sebagai contoh, tuturan “Ada hantu” mempunyai daya pengaruh untuk
menakut-nakuti.
3. Tindak tutur representatif, direktif, ekspresif, komisif, dan deklarasi
Mneurut Searle (1975) tindak tutur dikategorikan menjadi lima jenis,
yaitu: (a) representatif atau asertif, (b) direktif atau impositif, (c) ekspresif atau
evaluatif, (d) komisif, dan (e) deklarasi atau isbati.
Tindak tutur representatif adalah tindak tutur yang mengikat penuturnya
akan kebenaran atas sesuatu yang diujarkan. Yang termasuk ke dalam jenis tindak
tutur ini adalah tuturan-tuturan menyatakan, menuntut, mengakui, melaporkan,
menunjukkan, menyebutkan, memberikan, kesaksian, dan berspekulasi.

12

Tuturan “Mahasiswa yang membayar angsuran kedua sudah 90%”, “Di kota
inilah dia dilahirkan”, dan “Sebentar lagi kita berangkat ke
Parangtritis” termasuk tuturan reprentatif.
Tindak tutur direktif adalah tindak tutur yang dilakukan oleh penutur
dengan maksud agar mitra tutur melakukan tindakan yang disebutkan di dalam
tuturan itu. Tuturan-tuturan yang termasuk jenis tindak tutur direktif
adalah: memaksa, mengajak, meminta, menyuruh, menagih, mendesak, memohon,
menyarankan, memerintah, memberi aba-aba, dan menantang.Tuturan “Ambilkan
sendok di meja itu!”, “Mana barang yang kau janjikan kemarin?”, dan “Lebih
baik Anda pulang sekarang” adalah tuturan direktif.
Tindak tutur ekspresif adalah tindak tutur yang diujarkan penutur
dimaksudkan sebagai evaluasi tentang hal yang disebutkan di dalam tuturan itu.
Yang termasuk jenis tindak tutur ini adalah tuturan-tuturan memuji, mengucapkan
terima kasih, mengkritik, mengeluh, menyalahkan, mengucapkan selamat, dan
menyanjung. Tuturan “Sudah bekerja keras, tetapi gaji tetap tidak mencukupi
kebutuhan hidup” termasuk tuturan mengeluh. Tuturan “Kegiatanmu hari ini
sangat bermanfaat, Nak” termasuk tuturan memuji.
Tindak tutur komisif adalah tindak tutur yang mengikat penuturnya untuk
melaksanakan sesuatu yang disebutkan di dalam tuturannya. Tuturan yang
termasuk jenis tindak tutur komisif adalah berjanji, bersumpah, mengancam,
menyatakan kesanggupan, dan berkaul. Contohnya: “Saya berjanji akan
mengasuh anak ini dengan ikhlas dan baik”, “Jika kau tidak datang ke pesta
pernikahanku, aku tidak akan berteman lagi denganmu”, dan “Jika ada rezeki,
kami akan menunaikan ibadah haji.
Tindak tutur deklarasi adalah tindak tutur yang dimaksudkan penuturnya
untuk menciptakan hal (status, keadaan, dan sebagainya) yang baru. Tuturantuturan dengan maksud mengesahkan, memutuskan, membatalkan, melarang,
mengizinkan, mengabulkan, mengangkat, menggolongkan, mengampuni, dan
memaafkan termasuk jenis tindak tutur deklarasi. Contoh tuturan jenis ini antara
lain: ”Jangan naik ke meja itu, Dik!”, “Silakan jika ingin mengambil bunga itu”,
Bapak maafkan kesalahanmu”, dan sebagainya.

13

4. Tindak tutur langsung, tidak langsung, harfiah, dan tidak harfiah
Sebuah tuturan yang bermodus deklaratif difungsikan secara konvensional
untuk mengatakan sesuatu, tuturan interogatif untuk bertanya, dan tuturan
imperatif untuk menyuruh atau mengajak atau memohon, dan sebagainya; tindak
tutur yang terbentuk adalah tindak tutur langsung. Di samping itu, untuk berbicara
secara sopan, perintah dapat diutarakan dengan kalimat berita atau kalimat tanya
agar orang yang diperintah tidak merasa diperintah. Bila hal itu terjadi,
terbentuklah tindak tutur tidak langsung. Tuturan seperti “Obat ayahmu sudah
habis”; jika dituturkan oleh seorang ibu kepada anaknya, tuturan itu dapat
merupakan pengungkapan secara tidak langsung. Hal itu terjadi karena maksud
yang diekspresikan dengan tuturan deklaratif itu bermaksud memerintah. Dengan
demikian, kita dapat membedakan dua jenis tindak tutur, yaitu tindak tutur
langsung dan tindak tuturtidak langsung.
Selain itu, tindak tutur dapat dibedakan menjadi tindak tutur harfiah dan
tindak tutur tidak harfiah. Tindak tutur harfiah adalah tindak tutur yang
maksudnya sama dengan makna kata-kata yang menyusunnya; sedangkan tindak
tutur tidak harfiah adalah tindak tutur yang maksudnya tidak sama dengan makna
kata-kata yang menyusunnya. Tuturan imperatif “Makan hati!”, yang diujarkan
seorang kakak kepada adiknya yang sedang makan dan di atas meja tersedia hati
ayam digoreng merupakan tindak harfiah. Tuturan “Pemuda itu tinggi hati”yang
diujarkan penutur untuk mengungkapkan pemuda yang tidak mudah bergaul
merupakan tindak tutur tidak harfiah.
5. Tindak tutur vernakuler dan seremonial
Berdasar sudut pandang kelayakan pelakunya, terdapat dua jenis tindak
tutur, yaitu vernakuler dan seremonial. Tindak tutur vernakuler adalah tindak tutur
yang dapat dilakukan oleh setiap anggota masyarakat tutur; sedangkan tindak
tutur seremonial adalah tindak tutur yang dilakukan oleh orang yang berkelayakan
untuk hal yang dituturkannya. Contoh tuturan vernakuler misalnya: “Terima kasih
kepercayaan yang sudah diberikan kepada anak saya”. Tindak menikahkan orang

14

“Dengan ini, Saudara saya nikahkan dengan Saudari Jenaka Amalia, putri bapak
Sudiro” sebagai contoh tindak tutur seremonial.

BAB III
PENUTUP
A. Simpulan
Dari berbagai penjelasan yang telah dikemukakan, dapat disimpulkan
ternyata fenomena tindak tutur dalam proses berkomunikasi cukup beragam dan
makna yang ditimbulkan adakalanya juga beragam. Makna dan maksud
dalam tindak tutur tidak dapat dilihat dari aspek ujaran nyata yang
keluar dari mulut penutur saja, tetapi juga dilihat dari aspek tindakan
penutur.
Dalam tindak tutur yang lebih ditekankan ialah arti tindakan dalam
tuturannya. Suatu ujaran atau tindak tutur ketika diujarkan maka dapat memiliki
lebih dari satu makna, sehingga untuk mengetahui makna yang terkandung dalam
tuturan tersebut sangat tergantung dengan konteks ketika penutur berbicara. Oleh
karena itu, dalam mengkaji tindak tutur, tidak lepas dari mitra tutur sendiri,
konteks tuturan, peristiwa tutur dan situasi tutur.
Secara pragmatis ada tiga jenis tindakan yang dapat diwujudkan oleh
seorang penutur, yaitu tindak lokusi (locutionary act), tindak ilokusi
(illocutionary act), dan tindak perlokusi (perlocutionary act).

15

DAFTAR PUSTAKA

Alwasilah, A. Chaedar. 1993. Pengantar Sosiolinguistik Bahasa. Bandung:
Angkasa.
Chaer, Abdul dan Leonie Agustina. 1995. Sosiolinguistik Perkenalan Awal.
Jakarta: PT Rineka Cipta.
Djajasudarma, 1994. Pragmatik Indonesia. Jakarta: PT Rineka Cipta.
Kridalaksana, Harimurti. 1984. Fungsi Bahsa dan Sikap Bahasa. Bandung:
Ganaco.
Leech, Geoffrey. 1993. Prinsip-prinsip Pragmatik. Jakarta: UI Press.
Rustono. 1999. Pokok-pokok Pragmatik. Semarang: IKIP Semarang Press.
Yule, George. 1996. Pragmatics. Oxford. Oxford University Press.

16