Sekerei Mentawai Keseharian dan Tradisi

ISSN: 1693-167X

ANTROPOLOGI
INDONESIA
Indonesian Journal of Social and Cultural Anthropology
Tentang Kata Korupsi yang Datang Silih Berganti:
Suatu Penjelasan Budaya

ANTROPOLOGI INDONESIA Vol. 34 No. 1 Januari-Juni 2013

Totua Ngata dan Konlik
(Studi atas Posisi Totua Ngata sebagai Lembaga Adat
di Kecamatan Marawola)

Vol. 34 No. 1
Januari-Juni
2013

Sekerei Mentawai: Keseharian dan Tradisi Pengetahuan
Lokal yang Digerus oleh Zaman


Departemen Antropologi
Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik
Universitas Indonesia

ANTROPOLOGI INDONESIA Vol. 34 No. 1 2013
Dewan Penasihat

Dekan Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik,
Universitas Indonesia
Ketua Departemen Antropologi,
Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik, Universitas Indonesia
Ketua Pusat Kajian Antropologi,
Departemen Antropologi, Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik, Universitas
Indonesia
Pemimpin Redaksi

Semiarto Aji Purwanto
Redaksi Pelaksana

Dave Lumenta, Dian Sulistiawati, Ezra M. Choesin, Irwan M. Hidayana, Sri

Paramita Budi Utami.
Manajer Tata Laksana

Ni Nyoman Sri Natih
Administrasi dan Keuangan

Dewi Zimarny
Distribusi dan Sirkulasi

Ni Nyoman Sri Natih
Pembantu Teknis

Rendi Iken Satriyana Dharma
Dewan Redaksi

Achmad Fedyani Saifuddin, Universitas Indonesia
Birgit Bräuchler,, University of Frankfurt
Boedhi Hartono, Universitas Indonesia
Engseng Ho, Duke University
Greg Acciaioli, University of Western Australia

Heddy Shri Ahimsa Putra, Gadjah Mada University
Martin Slama, Austrian Academy of Sciences
Meutia F. Swasono, Universitas Indonesia
Kari Telle, Chr. Michelsen Institute
Ratna Saptari, University of Leiden
Semiarto Aji Purwanto, Universitas Indonesia
Suraya Afiff, Universitas Indonesia
Timo Kaartinen, University of Helsinki
Yasmine.Z. Shahab, Universitas Indonesia
Yunita.T. Winarto, Universitas Indonesia

ISSN 1693-167X

ANTROPOLOGI INDONESIA is a refereed international journal

Daftar Isi
ANTROPOLOGI INDONESIA VOL. 34 NO. 1 2013

Tentang Kata Korupsi yang Datang Silih Berganti:
Suatu Penjelasan Budaya

Muhammad Nasrum

1

Totua Ngata dan Konlik
(Studi atas Posisi Totua Ngata sebagai Lembaga Adat
di Kecamatan Marawola)
Hendra

15

Sekerei Mentawai: Keseharian dan Tradisi
Pengetahuan Lokal yang Digerus oleh Zaman
Lucky Zamzami

29

Kebangkitan Identitas Orang Bajo di Kepulauan Wakatobi
Tasriin Tahara


41

Marapu: Konstruksi Identitas Budaya
Orang Sumba, NTT
Purwadi Soeriadiredja

59

‘Memanusiakan Manusia’
dalam Lingkungan yang Tangguh:
Mengapa ‘Jauh Panggang dari Api’?
Yunita T. Winarto

75

Budaya Penjara:
Arena Sosial Semi Otonom
di Lembaga Pemasayarakatan “X”
A. Josias Simon Runturambi


91

Berdasarkan Keputusan Direktorat Jenderal Pendidikan Tinggi Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan Republik lndonesia Nomor: 80/DIKTI/
Kep/2012 tanggal 13 Desember 2012 tentang “Hasil Akreditasi Terbitan Berkala llmiah Periode II Tahun 2012,” Jurnal Antropologi Indonesia
(JAI) diakui sebagai jurnal nasional terakreditasi, berlaku sejak 13 Desember 2012 – 13 Desember 2017.

Sekerei Mentawai:
Keseharian dan Tradisi Pengetahuan Lokal yang Digerus oleh Zaman

Lucky Zamzami1
Antropologi FISIP Universitas Andalas

Abstrak
Berdasarkan hasil penelitian lapangan di Mentawai, artikel ini membahas ketertarikan peneliti
terhadap pelaku pengobatan tradisional dalam masyarakat Mentawai, yaitu Sekerei. Daya tarik
seorang Sekerei diwujudkan melalui kehidupan kesehariannya yang begitu bersahaja, meskipun
pengaruh kekinian yang berasal dari kekuasaan dari luar dan modernitas begitu dahsyat menggerus kepada pengetahuan lokal yang tersedia. Jumlah Sekerei yang semakin berkurang jumlahnya seiring temuan ramuan obat berkurang setiap tahunnya memperlihatkan eksistensi seorang
pengobat tradisional telah terpecah menjadi dua bagian, yaitu tetap bersinergi dengan kehidupan
alam tradisional atau menjadi bagian yang sangat penting dalam arus globalisasi yang semakin
mencengkram kekuatan seorang Sekerei.

Kata Kunci: Sekerei, Pengetahuan Lokal, Tumbuhan Obat

Abstract
Based on data from fieldwork in Mentawai, this article discusses the researcher’s interest in
traditional medicine actors among the Mentawai people, namely Sekerei. The appeal of a Sekerei
is realized through their modest daily lives, despite the effect these days of power from outside
and modernity, that has so heavily eroded the local knowledge available. Sekerei are diminishing
numbers, and medicinal herb findings are diminishing annually, showing that traditional healers
have been split into two parts, namely fixed synergized with traditional natural life, or becoming
a very important part in the globalization that is gripping the power of a Sekerei.
Key-words: Sekerei, Indigeneus Knowledge, Medicine Herbs

1 Lucky Zamzami , staf pengajar pada jurusan Antropologi, Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik, Universitas Andalas, Padang. E-mail: haidz_
smartillah@yahoo.com.

ANTROPOLOGI INDONESIA Vol. 34 No. 1 2013

29

Pengantar

Dalam konteks studi antropologi di Indonesia, kajian-kajian tentang kelompok suku
bangsa minoritas tampaknya telah banyak
ditinggalkan para peneliti di Indonesia. Sekarang
banyak peneliti antropologi yang memusatkan
penelitian kepada kajian masyarakat perkotaan
dan kehidupan sosial pedesaan sebagai akibat
dari dampak pembangunan Indonesia yang
dianggap tidak adil dan merata. Dalam konteks ini, kajian tentang masyarakat terasing
telah memberikan sumbangsih yang berarti
bagi dunia antropologi Indonesia, khususnya
kajian etnografi. Keunggulan utamanya adalah
kajian yang mendalam tentang keyakinan dan
pandangan hidup masyarakat Mentawai. Dalam
rentang perkembangan penelitian tersebut
tentang etnis Mentawai, bukanlah hal yang
baru untuk dibicarakan. Studi tentang salah
satu etnis di provinsi Sumatera Barat ini mengenai ulasan etnografi kehidupan masyarakat
Mentawai di Kepulauan Siberut (Rudito 1993,
1999; Reeves 1999; Schefold 1991), perkembangan tradisi/upacara masyarakat Mentawai
melalui tradisi berburu (Schefold 2001,2007),

akibat pengaruh perubahan ekologi, intervensi
pembangunan, eksploitasi hutan, masuknya
gagasan dan praktik konservasi (Erwin 1997;
Persoon 2001, 2003; Persoon and Schefold (eds.)
1985), ekspansi tanaman komersial, pendidikan, antivisme (Darmanto dan Abidah 2012).
Dalam beberapa tahun terakhir pun, penelitian etnografi mengenai etnis Mentawai
terus dilakukan seiring mulai banyak peneliti
antropologi mulai hilang kegairahan melakukan penelitian pada masyarakat terasing.
Seperti disertasi tentang ekonomi kultural dan
hubungan resiprositas yang didasari oleh relasi
sosial orang Mentawai (Hammons 2010), monograf Tulius (2012) mengenai peran cerita lisan,
memori dan silsilah keluarga dalam kaitannya
perebutan klaim atas tanah, dan terakhir buku
etnografi terbaru dari Rudito (2013) mengenai
Bebetai Uma sebagai salah satu tradisi upacara
yang sangat penting dalam etnis Mentawai

30

saat ini.

Dalam kesempatan perkembangan penelitian pada dekade 1990an dalam kehidupan
etnis Mentawai hingga saat ini telah terjadi
proses transformasi sosial yang berlangsung
secara masif dan intens. Hal ini terkait erat
dengan dinamika perubahan kehidupan orang
Mentawai ketika mereka berinteraksi dengan
bidang kekuasaan dari luar dan pengaruh
global. Pengabaian dalam konteks tersebut menyebabkan adanya hubungan antara perubahan
mata pencaharian dan produksi dengan involusi
budaya dan pengaruhnya dalam rincian prosesi
ritual. Munculnya identitas etnis, peluang
ekonomi dari wisata dan aspirasi politik baru
sangat disambut antusias oleh masyarakat Mentawai (Hammons 2010; Tulius 2012) . Dalam
konteks transformasi sosial lainnya dalam kehidupan masyarakat Mentawai, yaitu semakin
meningkatnya kualitas hidup, pendidikan dan
kesehatan, perubahan pola konsumsi dan gaya
hidup, hilangnya sistem barter dan munculnya gejala monetisasi, ancaman ekologis, dan
berkurangnya otoritas pemimpin tradisional
(Sekerei2) (Elfitra 2006).
Eksplorasi lainnya yang tak kalah penting

dalam kehidupan etnis Mentawai terutama
peranan seorang Sekerei. Dinamika perubahan yang telah terjadi dalam kehidupan orang
Mentawai sejak tahun 2000an, Sekerei tidak
mampu menangkis segala perubahan yang
ada dan akhirnya mereka selalu berinteraksi
dengan bidang kekuasaan dari luar dan pengaruh global. Seorang Sekerei bisa pergi kemana saja di luar Mentawai akibat eksploitasi
terhadap mereka yang didasarkan program
pemerintah mengenai seni dan budaya. Mereka
harus menunjukkan kepiawaiannya dalam menari dan bernyanyi dalam pentas seni tertentu
sehingga akhirnya mereka masuk dalam arus
global dan modernitas yang berakibat kepada
gejala seorang kapitalis “no money no show”.
Eksistensi seorang Sekerei pun sudah mulai
2 Sekerei adalah tokoh masyarakat yang dituakan dalam masyarakat
Mentawai dan mampu menjadi seorang pengobat dan ambil bagian
dalam tradisi upacara ‘Bebetei Uma’, perkawinan dan lain sebagainya.
(Lihat Rudito 1993, 1999; Schefold 1991)

Zamzami, Sekerei Mentawai: Keseharian dan Tradisi...

dipertanyakan karena semakin berkurangnya
otoritas seorang pemimpin tradisional dan yang
lebih parah lagi adalah semakin berkurangnya
jumlah Sekerei di tanah Mentawai. Hal tersebut
terlihat di wilayah Siberut Utara, yang bisa dihitung dengan jari dan hilangnya simbol tatoo
dalam identitas seorang Sekerei. Kurangnya
keterlibatan sekerei dalam program pemerintah, juga antara lain disebabkan “trauma” mereka terhadap tindakan aparat di masa lampau.
Pada tahun 1960 hingga tahun 1970-an,
banyak dari Sekerei yang ditahan sehubungan
dengan kebijakan penghapusan tatto oleh
pemerintah. Justru kepercayaan Arat Sabulungan, dimana Sekerei menjadi bagian penting
dalam prosesi ritualnya, sempat “dilarang”
karena penduduk hanya boleh menganut agama
yang diakui pemerintah (Elfitra 2006). Proses
transformasi sosial yang semakin dasyat terbukti telah memberikan efek negatif terhadap
pengetahuan lokal (local indigeneous) seorang
Sekerei, terutama kepada interaksinya terhadap
alam (tumbuhan) yang semakin berkurang jumlahnya yang dimanfaatkan sebagai pengobatan
tradisional. Berbicara mengenai ciri pengobatan
seorang dukun adalah penggunaan doa-doa
atau bacaan-bacaan, air putih yang diisi rapalan doa-doa, dan ramuan dari tumbuh-tumbuhan (Agoes, 1996). Pada masyarakat Bugis dan
Makassar, orang yang ahli mengobati penyakit
secara tradisional dipanggil sanro, yang juga
berarti dukun (Rahman 2006; Said 1996).
Bruce Kapferer (Alhumami 2010) mengatakan,
kepercayaan kepada dukun dan praktik perdukunan merupakan local believe yang tertanam
dalam kebudayaan suatu masyarakat. Sebagai
kepercayaan lokal, dukun pengobatan tak bisa
dinilai dari sudut pandang rasionalitas ilmu
karena punya nalar dan logika sendiri yang
disebut rationality behind irrationality. Orang
yang kemudian memercayai dukun dan praktik
perdukunan tidak lantas digolongkan ke dalam
masyarakat tradisional atau tribal, yang melambangkan keterbelakangan. Hal ini sejalan

ANTROPOLOGI INDONESIA Vol. 34 No. 1 2013

dengan pemikiran E.E. Evans Pritchard (Pals
2001), yang menyatakan, kepercayaan terhadap
kekuatan supranatural itu tidak mengenal batasan sosial, seperti yang dia teliti pada Suku
Azande di Sudan. Baginya, orang berpikiran
modern, termasuk dirinya sekalipun, percaya
terhadap kekuatan supranatural.
Meminjam istilah Ward Goodenough (Kalangie 1994, Al-Kumayi 2011), pengobatan
dukun telah menjadi bagian sistem kognitif masyarakat, yang terdiri atas pengetahuan, kepercayaan, gagasan, dan nilai yang berada dalam
pikiran anggota-anggota individual masyarakat. Penelitian mengenai pengobatan tradisional
telah banyak dilakukan oleh beberapa peneliti.
Darojat (2005) lebih banyak mengulas terapi
ruqyah berdasar atas perspektif Islam. Said
(1996) melihat strategi dukun dalam mempertahankan pasiennya serta jaringan sosial yang
terbentuk berdasarkan jaringan teman-teman
pasien dan teman-teman dukun serta jaringan
keluarga pasien maupun dan jaringan keluarga
dukun. Disamping itu, publikasi populer yang
biasa kita ingat dalam kajian Antropologi Kesehatan adalah konsep Etnomedisin (Foster/
Anderson 2005). Etnomedisin, yaitu suatu pola
kepercayaan dan praktik-praktik (budaya) yang
berkenaan dengan penyakit, yang merupakan
hasil dari perkembangan kebudayaan asli dan
secara eksplisit tidak berasal dari kerangka
konseptual kedokteran modern---sistem medis
non barat. W.H.R Rivers dalam bukunya Medicine, Magic dan Religion (1942) menjelaskan
bahwa sistem pengobatan asli adalah suatu pranata sosial dan praktiknya adalah rasional dari
sudut kepercayaan. Fokus tulisan ini adalah
mengenai keseharian seseorang Sekerei, khususnya tiga orang Sekerei tua yang menekuni
bidang ramuan obat selama lebih kurang 30
tahun di Desa Bojakan, Kecamatan Siberut
Utara, Kabupaten Kepulauan Mentawai. Lebih
khusus lagi adalah transformasi sosial yang
terjadi dalam aktivitas pengobatan tradisional
yang kemudian menjadi justifikasi semakin

31

berkurangnya jumlah ramuan obat yang dihasilkan oleh seorang Sekerei saat ini.
Kekayaan Alam Mentawai: Daya Tarik yang
Masih Terjaga dan Keberadaan Seorang
Sekerei
Indonesia merupakan negara dengan biodiversitas tumbuhan terbesar kedua di dunia.
Di dalam biodiversitas yang tinggi tersebut,
tersimpan pula potensi tumbuhan berkhasiat
obat yang belum tergali dengan maksimal.
Potensi tersebut sangat besar untuk menjamin
kesehatan dan kesejahteraan masyarakat apabila dimanfaatkan dengan baik. Disamping
kekayaan keanekaragaman tumbuhan tersebut,
Indonesia juga kaya dengan keanekaragaman
suku dan budaya. Biro Pusat Statistik (BPS)
menyebutkan Indonesia memiliki 1.128 suku
bangsa yang tersebar dari Sabang sampai Merauke. Masing-masing suku memiliki khasanah
yang berbeda-beda. Pada setiap suku, terdapat
beraneka ragam kekayaan kearifan lokal
masyarakat, termasuk di dalamnya adalah
pemanfaatan tumbuhan untuk pengobatan
tradisional (Kementerian Kesehatan RI 2012).
Pemanfaatan tumbuhan untuk pengobatan
tradisional telah dilakukan masyarakat sejak
dulu, dimana pengetahuan ini diperoleh secara turun temurun dari nenek moyangnya
yang memanfaatkan tumbuhan-tumbuhan
hutan tertentu untuk pengobatan maupun jamu
tradisional. Dengan adanya potensi tumbuhan obat di kawasan hutan dan berbekal
pengetahuan dalam pemanfaatan tumbuhan
obat, sebagian masyarakat yang tinggal di
sekitar kawasan tersebut telah memanfaatkan
tumbuhan obat tersebut dalam skala kecil untuk pengobatan sehari-hari. Potensi tumbuhan
obat di kawasan hutan masih dapat kita temui
di wilayah Indonesia bagian Barat, khususnya
di kepulauan Mentawai. Kepulauan ini berada
di gugusan pulau-pulau yang secara geografis
terletak di Samudera Hindia dan secara administratif masuk ke dalam provinsi Sumatera
Barat, Indonesia. Kepulauan Mentawai berada

32

di sisi barat Provinsi Sumatera Barat dengan
etnis Mentawai yang mempunyai kebudayaan
yang berbeda dengan etnis Minangkabau.
Kepulauan Mentawai mempunyai empat pulau
besar, yakni Pulau Siberut, Pulau Sipora, Pulau
Pagai Utara, Pulau Pagai Selatan dan beberapa
pulau-pulau kecil.
Berbicara mengenai Suku Mentawai, tidak
bisa terlepas dari kepercayaan Arat Sabulungan. Dalam publikasi populer dan beberapa
karya etnografi Mentawai, didefinisikan
sebagai kepercayaan terhadap daun-daunan
(Coronese 1986; Salmeno 1994). Pendefinisian ini telah ditelaah lebih jauh dan hati-hati
bahwa kepercayaan Arat Sabulungan lebih
tepat disebut sebagai kepercayaan yang memberi sesuatu kepada kumpulan ‘sesuatu yang
harus diberi persembahan’—dunia roh-roh
yang ada di alam semesta seperti pohon, daun,
batu dan lain sebagainya (Hammons 2010;
Tulis 2012). Peran penting dalam kepercayaan
Arat Sabulungan ini selalu dipegang teguh
oleh seorang Sekerei. Suatu kepercayaan yang
dianggap memiliki hubungan antara manusia
dengan alam gaib tersebut dapat dijembatani
oleh seorang Sekerei. Alam sekitar terutama
keanekaragaman hayati tumbuhan menjadi
bagian penting eksistensi bagi seorang Sekerei.
Seorang Sekerei mampu melakukan pengobatan tradisional kepada masyarakatnya yang
sakit dengan kemampuannnya mengolah bahan
baku obat diambil dari berbagai tanaman yang
tumbuh di hutan Mentawai.
Tulisan ini dilaksanakan melalui studi
lapangan yang bertipe deskriptif dengan
pendekatan kualitatif (Newman 1997; Denzim
1994; Matthew 1992; Vredenbregt 1983). Menurut Bogdan dan Taylor, penelitian kualitatif
adalah prosedur penelitian yang menghasilkan
data deskriptif berupa data tertulis dan lisan
dari orang dan perilaku yang dapat diamati dari
lingkungan yang alamiah (Moleong1991:3).
Data dalam bentuk wawancara untuk setiap
informan dilakukan dengan menggunakan
metode snowball (bola salju).

Zamzami, Sekerei Mentawai: Keseharian dan Tradisi...

Sekerei di Kepulauan Mentawai: Gambaran
Wilayah dan Kehidupannya
Gambaran Desa Bojakan
Kepulauan Mentawai terkenal dengan
nama Bumi Sekerei. Kepulauan Mentawai
merupakan bagian dari serangkaian pulaupulau non-vulkanik dimana gugus kepulauan
ini merupakan puncak-puncak dari suatu
punggung pegunungan bawah laut. Sebagian
besar penghuni pulau-pulau di kabupaten ini
berasal dari Pulau Siberut yang merupakan
pulau terbesar di wilayah ini. Sebagai bagian
dalam studi lapangan yang telah dilaksanakan,
salah satu daerah tersebut adalah Desa Bojakan yang terletak di bagian Barat dari Muara
Sikabaluan yang menjadi Ibukota Kecamatan
Siberut Utara dengan waktu tempuh sekitar
3-5 jam perjalanan dengan perahu bot tempel.
Desa tersebut memanjang di sepanjang aliran
Sungai Sikabaluan, sehingga transportasi yang
dipergunakan oleh masyarakat setempat adalah
perahu tempel (=bahasa lokal: pompong/boat).
Pada umumnya topografi Desa Bojakan
adalah berbukit dan agak landai sampai datar
dimana wilayah ini merupakan wilayah sedimentasi. Ketinggian wilayah ini kurang dari
400 m di atas permukaan laut dan tidak terdapat gunung yang tergolong tinggi, melainkan
hanya berupa bukit-bukit dengan kemiringan
sekitar 25 – 80 %. Daerah yang berbukit-bukit
ini hanya dipergunakan sebagai daerah
perladangan, terutama di sisi bukit. Kondisi
iklim di Desa Bojakan dicirikan oleh tingginya
curah hujan, sehingga tidak pernah didapatkan
bulan-bulan yang memiliki curah hujan kurang
dari 50 persen dari jumlah hari hujan. Rata-rata
curah hujan tertinggi terjadi pada bulan April
(290 mm) sampai bulan Oktober (390 mm),
sedangkan rata-rata curah hujan terendah terjadi pada bulan Februari dan Juni (220 mm).
Kelembaban udara relatif konstan berkisar
antara 81 – 85 %, sementara suhu udara
rata-rata terendah adalah 22oC dan rata-rata
tertinggi mencapai 31oC. Desa Bojakan dari

ANTROPOLOGI INDONESIA Vol. 34 No. 1 2013

Ibukota Kecamatan Muaro Sikabaluan berjarak sekitar 20 km dan hanya dapat ditempuh
dengan jalur sungai. Untuk jalur sungai dapat
dilakukan dengan naik pompong/boat yang
lamanya sekitar 4-5 jam. Untuk jalur sungai
dapat dilakukan dengan naik pompong/boat
yang lamanya sekitar 1-2 jam. Sementara
untuk jalur darat melewati jalan beton yang
dibangun melalui program P2PD Mandiri dan
dapat ditempuh dengan sepeda motor sekitar
30 menit atau satu jam bila menggunakan
sepeda. Masyarakat Desa Bojakan khususnya
ibu-ibu, rajin bertani pisang, kacang tanah dan
sayur-sayuran. Umumnya hasil ladang yang
dijual seperti pisang, keladi, dan sayur-sayuran
dibawa oleh ibu-ibu ke desa Mongan Poula atau
Pasar Muara Sikabaluan, baik dengan melalui
jalur sungai dengan naik pompong maupun
lewat melalui jalur darat.
Desa Bojakan berasal dari penamaan anak
sungai yang mengalir ke Sungai Sikabaluan.
Anak sungai yang disebut masyarakat sebagai
‘Bojakan’ memiliki air yang jernih dan bersih
dan terhubung ke Air Terjun Bojakan. Desa
Bojakan merupakan desa yang mengalami
proses perpindahan pemukiman yang dilakukan oleh Program Dinas Sosial pada tahun
1970-an. Dalam proses perpindahan tersebut,
masyarakat saat itu tidak ada yang menolak
dikarenakan Dinas Sosial telah menyediakan
lahan untuk pemukiman sekaligus tempat tinggal yang disesuaikan dengan bentuk rumah
Suku Mentawai. Masyarakat Desa Bojakan
menganut sistem kekerabatan patrilineal, artinya keturunan berdasarkan garis ayah dimana
anak yang lahir menggunakan nama suku
ayahnya. Desa Bojakan memiliki suku-suku
yang mendiami daerah tersebut, yaitu suku Satairakrak, suku Sagulu, suku Sakerengan, suku
Satolae, suku Samanggilailai, suku Sakarigi,
suku Siriombak, suku Sakoka dan suku Sagajim Poula. Dalam penentuan Kepala Suku yang
ada di Desa Bojakan, pemilihan berdasarkan
kepada ketaatan kepada agama, pemerintah
dan pandai bergaul dengan masyarakat. Dalam
masyarakat Desa Bojakan, tradisi yang biasa

33

dilakukan adalah tradisi perkawinan, kematian, membuat sampan baru, membuat rumah
(uma), membuat ladang baru dan upacara dari
hasil Tulou.
Desa Bojakan terdiri dari 3 (tiga) Dusun,
yaitu Dusun Bojakan, Dusun Baik dan Dusun
Lumbaga. Sebagian besar penduduk Desa
Bojakan terkonsentrasi di Dusun Bojakan.
Menurut data Pemerintahan Desa tahun 2012,
jumlah penduduk diperkirakan sekitar 145 KK,
dengan jumlah 310 laki-laki dan 312 perempuan. Desa Bojakan memiliki sarana pendidikan, yaitu 1 unit TK dan 1 unit SD Negeri.
Sarana ibadah terdiri dari 1 unit Gereja Katolik
dan 1 unit Gereja Pantekosta. Sebagian besar
penduduk menganut Agama Kristen Katolik
dan Kristen Protestan. Sarana lainnya adalah
1 unit rumah Bidan Desa, 1 unit jembatan yang
menghubungkan desa Bojakan dengan kawasan
ladang/hutan, yang berasal dari program
PNPM 2011. Tingkat kepadatan penduduk di
Desa Bojakan relatif jauh lebih kecil dibandingkan tingkat kepadatan penduduk di Kepulauan
Mentawai, yaitu kepadatannya sedikit di atas 1
jiwa per km2, apalagi bila dibandingkan dengan
tingkat kepadatan penduduk di Sumatera Barat,
masing-masing berturut-turut menunjukkan
angka rata-rata sebesar 4,88 jiwa, 7,92 jiwa,
dan 98,39 jiwa untuk setiap km2. Rata-rata
pertumbuhan penduduk Desa Bojakan selama
periode 2001-2011 adalah sebesar negatif 18%.
Balai sosial (Kantor Desa) dan tempat ibadah di
Desa Bojakan (Gereja) sering berfungsi sebagai
tempat pembinaan, penyuluhan dan pelayanan
berbagai aktivitas meliputi ekonomi, pendidikan, kesehatan dan tentu saja aktivitas berbau
keagamaan sendiri. Sejalan dengan pengadaan
fasilitas dan dengan berbagai penyuluhan yang
dilakukan oleh petugas dari berbagai instansi
pemerintah mulai pula tumbuh kesadaran bagi
penduduk di kedua desa betapa pentingnya
arti pendidikan. Anak-anak dimasukkan ke
Sekolah Dasar yang ada di pemukiman dan
selanjutnya kemudian melanjutkan ke SMP
dan SMA yang berada di Ibukota Kecamatan.
Memang, kondisi sekolah tersebut sangat seder-

34

hana dengan fasilitas penunjang pendidikan
yang tidak mencukupi. Demikian juga halnya
tenaga pengajar (guru) jumlahnya selalu kurang
dibanding dengan murid yang akan diajar. Satu
sekolah biasanya memiliki guru 2-3 orang itu
pun statusnya tidak menentu, karena berbagai
alasan para guru tersebut sering minta pindah
ke tanah tepi. Pembangunan kesehatan formal pada masyarakat Desa Bojakan juga berada pada seorang bidan desa. Dengan kondisi
pemukiman yang bersih, daerah ini tidak terindikasi kepada epidemi penyakit malaria dan
penyakit-penyakit berbahaya lainnya.
Tiga Orang Sekerei yang bersahaja: Eksistensi Pengobat Tradisional
Studi lapangan yang cukup melelahkan dan
didukung oleh ketiadaan listrik dan signal HP
membuat saya semakin tertarik kepada kepesonaan alam Desa Bojakan. Selama kurang
lebih tiga minggu di lapangan, saya mencoba
melakukan studi etnografi terhadap tiga orang
Sekerei (dianggap senior karena sudah lebih
dari 50 tahun), terutama dalam kajian pemanfaatan tumbuhan obat menjadi ramuan obat/
jamu tradisional. Apa yang diperoleh selama
berinteraksi dengan para Sekerei tersebut sudah bisa diprediksi. Artinya, Sekerei sebagai
informan kunci dalam riset tersebut akan
bersemangat memberikan seluruh informasi
yang dibutuhkan apabila sejak pertama bertemu dan bertatap muka telah mengungkapkan
pembayaran informasi tersebut, walaupun tidak
secara eksplisit. Hal tersebut tidak menjadi
kendala dalam riset ini karena pembiayaan riset
telah masuk dalam proyek penelitian Kementrian Kesehatan Republik Indonesia.
Tiga orang Sekerei yang bersahaja dan
mampu berinteraksi, berkomunikasi dengan
baik membuat saya terhanyut dan makin serius
dalam uraian-uraian informasi yang mereka
ungkapkan. Seperti seorang Sekerei, Kletus
Koulou (laki-laki) yaitu seorang Sekerei yang
sudah berumur 70 tahun bersuku Sagulu. Dia

Zamzami, Sekerei Mentawai: Keseharian dan Tradisi...

mempunyai satu orang istri dan dua orang anak
laki-laki. Informan tidak pernah menjalani
pendidikan sekolah sehingga bisa dikatakan
informan tidak bisa baca dan tulis. Informan
bermata pencaharian utama sebagai dukun obat
dan memulai aktivitas sebagai Sekerei pada
usia remaja. Latar belakang informan menjadi
seorang dukun obat berasal dari warisan dari
kakek/nenek. Selain dari warisan keturunan,
informan banyak memperoleh ilmu pengobatan, metode pengobatan dan meramu obat
berasal dari pengalaman dan mimpi. Umur
yang sudah tidak muda dan sudah dianggap
uzur/sakit-sakitan, tetapi tidak menyurutkan
langkahnya menemani saya mencari tumbuhtumbuah obat yang berada di sekitar pekarangan, sekitar persawahan/perladangan, dan
juga wilayah hutan. Sesekali dia melantunkan
nyanyian khas Mentawai dengan suara merdu
ketika rasa penat telah dirasakan. Saya pun
mulai merekam nyanyian yang indah tersebut,
sambil mendengarkan dia terus bernyanyi.
Selama perjalanan ke wilayah hutan, bagian
ini yang membuat saya terkesan, karena saya
sempat terjatuh untuk mengikuti langkah
Sekerei tua ini namun tidak sampai mengalami
luka yang serius hanya baju dan celana yang
dipakai kotor sekali.
Sambil bersenandung merdu, Kletus,
dengan hati-hati memetik beberapa jenis
tanaman. Ia memasukkannya ke tas yang
terbuat dari pelepah kayu. Aneka tumbuhan
dan rimpang dari hutan itu akan digunakan
untuk mengobati penyakit kulit gatal-gatal
seorang pemuda di kampungnya. Kletus hanya
memakai celana pendek, tanpa baju, dengan
penutup kepala tanpa adanya manik-manik
dan daun-daunan serta bunga, serta kalung
dan gelang manik-manik yang didominasi
warna merah pakaian khas sikerei, tidak seperti
Sekerei di wilayah Siberut Utara. Tenaganya
sangat dibutuhkan dalam mengobati berbagai macam penyakit. ”Semua cukup dengan
tumbuhan obat. Semua orang yang sakit di
kampung ini minta pertolongan kepada saya,”
katanya kepada saya. Orang-orang yang datang

ANTROPOLOGI INDONESIA Vol. 34 No. 1 2013

kepadanya bukan hanya yang mengeluh tentang
kondisi tubuh mereka. “Ada juga yang terkena
roh jahat,” ujar sikerei yang mengabdikan
dirinya sejak usia remaja ini.
Hutan di pinggir Desa Bojakan adalah laboratorium hidup tempat Kletus mulai membuat
ramuannya. Ia menebas pelepah daun sagu tua
yang berduri, lalu membersihkannya dari daun.
Pelepah itu dipotong dan jadilah semacam parutan dari duri pelepah. Lalu sikerei ini mulai
memarut jahe hutan, yang baunya mirip temu
lawak, dan beberapa daun lagi yang sebelumnya sudah diiris kecil-kecil. Aromanya terasa
segar. “Ini untuk digosokkan ke kulit yang
gatal-gatal,” kata Kletus sembari menunjukkan hasil ramuan. “Nanti gatalnya akan hilang
dengan cepat,” katanya. Karena gatal-gatal itu
termasuk sakit ringan, ramuan obat itu langsung diberikan tanpa ritual tertentu. Biasanya,
untuk sakit yang lebih parah seperti demam,
Kletus akan mengadakan ritual lebih dulu sebelum memberikan obat kepada si sakit. Biasanya
di tengah malam, diiringi denting lonceng yang
ia bunyikan, Kletus itu akan merapalkan doadoa. “Kadang-kadang juga diadakan tarian
Sekerei untuk mengusir roh-roh pengganggu,”
katanya. Kesehajaan seorang Kletus mampu dia
tunjukkan dengan mendapatkan sebanyak 13
ramuan obat untuk mengobati penyakit seperti
sakit kepala, gatal-gatal, sakit gigi, sakit perut,
penyakit getah bening, penyakit kulit kurap,
digigit ular, lidah putih pada anak-anak, perih
sekitar mata, penyakit cacingan, campak, dengan 1-5 orang pasien dalam sebulan. Ramuan
obat yang diramu/diracik sebagian besar menggunakan bahan dari daun, bunga, batang dan
akar tumbuhan. Cara penyiapan yang umum
dilakukan oleh Kletus untuk penyakit sakit
kepala adalah semua daun digabung menjadi
satu kemudian diparut dengan dudurut (=istilah
parutan dari batang pelepah pohon sagu), hasil
parutan dimasukkan dalam piring dan diberi
air matang secukupnya, setelah itu ramuan
tersebut disiramkan ke kepala dan ampasnya
ditempelkan di kening selama 15 menit dan
seterusnya. Dosis ramuan obat tersebut harus

35

diminum dan ditempelkan ke bagian yang sakit
selama 3 x sehari, dengan lama penyembuhan
sekitar 1-3 hari.
Hal lainnya juga ditunjukkan oleh seorang
Sekerei, Japet Satolae (laki-laki) yang berumur
56 tahun bersuku Satolae. Dia mempunyai
satu istri dengan lima orang anak sebanyak
tiga laki-laki dan dua perempuan. Informan
pernah sekolah Pemberantasan Buta Huruf
(PBH) setingkat SD pada tahun 1960-an, tetapi
tidak tamat. Japet bermata pencaharian utama
sebagai dukun obat dan memulai aktivitas
sebagai Sekerei pada usia 17 tahun. Latar belakang informan menjadi seorang dukun obat,
bukan dari keturunan (bukan warisan dari
kakek/nenek dan orangtua) melainkan informan belajar dari seorang guru Sekerei yang
berasal dari Desa Muara Saibi dengan waktu
hanya satu bulan saja. Selain dari guru tempat
ia belajar, informan banyak memperoleh ilmu
pengobatan, metode pengobatan dan meramu
obat berasal dari mimpi. Informan ini tidak
begitu bersahaja dibandingkan dengan Kletus.
Informan tidak banyak berbicara, kalaupun
berbicara ketika ditanyai mengenai tumbuhantumbuhan obat tersebut. Dengan pengetahuan
lokalnya, Japet mampu mendapatkan sebanyak
18 ramuan obat untuk mengobati berbagai
penyakit seperti sakit kepala, sakit perut, luka
akibat sayatan pisau/parang, terkilir/keseleo,
sakit mata, sakit telinga, sesak napas, pegal
linu, dengan 1-5 orang pasien dalam sebulan.
Tidak berbeda jauh dengan Japet, informan
ketiga, yaitu Andreas Satolae (laki-laki) yang
berumur 53 tahun bersuku Satolae, mempunyai
satu orang istri dan tiga orang anak. Informan
pernah menjalani pendidikan sekolah tetapi
tidak tamat Sekolah Dasar sehingga bisa dikatakan informan bisa baca dan tulis. Andreas
bermata pencaharian utama sebagai petani dan
pekerjaan dukun obat sebagai pekerjaan sambilan. Informan memulai aktivitas sebagai
Sekerei pada usia remaja. Latar belakang
informan menjadi seorang dukun obat adalah
belajar dari Japet Satolae (informan pertama).
Informan berguru kepadanya karena diantara

36

mereka adalah satu suku. Selain dari belajar
dari dukun lainnya, informan banyak memperoleh ilmu pengobatan, metode pengobatan
dan meramu obat berasal dari pengalaman dan
mimpi. Informan mengobati berbagai penyakit
seperti batuk, sakit mata apabila ditekan, penyakit maag, sakit perut, penyakit air, gigitan
hutan, dengan 1-5 orang pasien dalam sebulan.
Dalam studi yang dilakukan terhadap tiga
Sekerei tersebut diperoleh 144 spesies tumbuhan berdasarkan nama lokal, dimana sebanyak
29 spesies merupakan spesies yang sama dan
115 spesies merupakan spesies yang berbeda.
Dari keseluruhan jumlah spesies tersebut,
diketahui empat spesies memiliki nama lokal
yang berbeda yaitu Dereng Geigeig (= Tenggeiluk), Gajang Gajang (= Rangge Ranggei),
Tata Bagok (= Tampak Taibabui) dan Tomboi
(= Gombiat), namun merupakan spesies yang
sama. Berdasarkan identifikasi awal untuk
nama latin, diketahui sebanyak 108 spesies,
dimana 82 spesies teridentifikasi, 20 spesies
teridentifikasi Famili, 13 spesies belum diketahui dan tujuh spesies merupakan spesies yang
sama. Hasil identifikasi ini merupakan hasil
identifikasi awal yang dilakukan di lapangan
dan dapat terjadi perubahan jumlah dimasingmasing item yang tersebut diatas. Ramuan
tumbuhan obat yang berhasil digunakan oleh
Sekerei menggunakan campuran air, daun dan
bunga, dengan alat berupa parutan (=dudurut).
Ramuan obat yang digunakan oleh masyarakat
yang sakit, baik diminum maupun dioleskan
dengan frekwensi selama dua atau tiga kali
sehari. Masa penyembuhan biasanya antara 1-3
hari tergantung kepada penyakit yang diderita
oleh masyarakat yang sakit tersebut. Penyakit
yang diobati oleh seorang Sekerei hanya sebatas penyakit-penyakit tidak berat, seperti sakit
kepala, demam, pegal linu, luka sayatan benda
tajam dan lain sebagainya.
Tradisi Pengetahuan Lokal Sekerei yang
digerus oleh Zaman
Konsep sistem pengetahuan lokal berakar

Zamzami, Sekerei Mentawai: Keseharian dan Tradisi...

dari sistem pengetahuan dan pengelolaan lokal
atau tradisional. Masyarakat lokal, tradisional
atau asli dapat ditemukan di setiap benua, di
banyak negara. Definisi tentang masyarakat
asli atau lokal cukup beragam. Walaupun
demikian, beberapa elemen dasar biasanya
termasuk antara lain : (1) Keturunan penduduk
asli suatu daerah yang kemudian dihuni oleh
sekelompok masyarakat dari luar yang lebih
kuat, (2) Sekelompok orang yang mempunyai
bahasa, tradisi, budaya, dan agama yang berbeda dengan kelompok yang lebih dominan,
(3) Selalu diasosiasikan dengan beberapa tipe
kondisi ekonomi masyarakat, (4) Keturunan
masyarakat pemburu, nomadik, peladang
berpindah, (5) masyarakat dengan hubungan
sosial yang menekankan pada kelompok,
pengambilan keputusan melalui kesepakatan,
serta pengelolaan sumberdaya secara kelompok
(Bruce, dkk. 2000).
Pengetahuan lokal tidak hanya dilihat
sebagai faktor yang potensial, tetapi juga
memiliki kekurangan dalam membantu para
pendukungnya untuk memahami dinamika
lingkungan hidup yang kompleks, serta
kondisi ketidakpastian yang besar. Karena itu,
pengayaan pengetahuan lokal dipandang amat
signifikan. Pembentukan dan pengembangan
pranata sosial di kalangan penduduk setempat
pun dinilai semakin relevan bagi upaya-upaya
pengelolaan lingkungan hidup yang tangguh
(Winarto dan Choesin 2001). Telah semakin
disadari bahwa pemerintah bukanlah merupakan aparat yang mampu menanggulangi berbagai masalah lingkungan hidup yang sangat
beragam dan dinamis (lihat Ostrom 1994;
Winarno dan Choesin 2001). Penanggulangan
masalah pengelolaan sumberdaya alam haruslah dengan sepenuhnya melibatkan penduduk
setempat itu sendiri.
Seorang Sekerei memiliki pengetahuan lokal yang khas dan unik, selain sebagai seorang
pemimpin upacara dalam uma, ia juga diklaim
sebagai seorang pengobat. Sebagai seorang
pengobat, kondisi ini mengharuskan mereka
untuk selalu menyediakan stok bagi tumbu-

ANTROPOLOGI INDONESIA Vol. 34 No. 1 2013

han obat yang biasa mereka gunakan untuk
menjaga kesehatan masyarakat di kampung
mereka. Dari keseluruhan ramuan yang didapatkan selama proses wawancara terhadap
tumbuhan obat secara umum beberapa diantaranya terdapat kesamaan penyakit dan ramuannya. Beberapa tumbuhan seperti Gojo, Sileu
Aken, Sanggra Lingok, Surak, Kiniu, Pelekag,
Sailempen, Kopuk, Tata Bagok dan Sigujuk
pada beberapa penyakit sering digunakan oleh
semua informan dalam membuat ramuannya.
Namun demikian, selama proses perbincangan
yang hangat dengan para Sekerei, mereka terlihat mengalami kesulitan dalam mencari tumbuhan obat. Menurut mereka, dalam 10 tahun
terakhir keberadaan tumbuhan obat semakin
hilang di bumi mereka diakibatkan luas hutan
semakin berkurang akibat perambahan untuk
perkebunan sawit dan coklat. “Padahal hutan
bagi seorang Sekerei hanya berarti satu hal,
yakni untuk hidup mereka sendiri, jika hutan
kami tidak ada lagi, berarti kami akan mati”
kata Japet Satolae. Menurutnya, untuk mencari
tumbuhan obat dari sejenis pohon tertentu,
yang dahulunya sangat mudah ditemukan, ia
harus berjalan kaki sejauh beberapa kilometer
ke tengah hutan. Sekerei masih mengandalkan
tumbuhan obat mereka di hutan alam di dekat
dusun mereka, dan belum memiliki tradisi
membudidayakan jenis-jenis tumbuhan tertentu. Hal tersebut menjadi ancaman kepunahan
tumbuhan obat dipastikan akan lebih cepat dari
yang diperkirakan.
Uraian di atas menjelaskan bahwa keberadaan seorang Sekerei sebagai seorang
Pengobat saat ini akan mengalami hambatan. Disamping kuantitas tumbuhan obat
berkurang, juga terbukti kuantitas Sekerei
sendiri yang sudah mulai berkurang akibat
terputusnya warisan dari Sekerei senior kepada
pemuda dalam masyarakat tersebut. Persoalan
pemuda yang sudah mengenal dunia luar dan
berinteraksi dengan kehidupan modern memperlihatkan motivasi mereka menjadi seorang
Sekerei semakin berkurang dan lama kelamaan fenomena tersebut menyebabkan pelaku

37

pengobat tersebut akan hilang di bumi Sekerei.
Bisa dikatakan, Sekerei sekarang hanya bisa
ditemukan di wilayah Siberut Selatan seperti
wilayah Rogdog, Madobag, Matotonan, Sakuddei, Salappa, Simatalu, Simalegi dan sebagian
wilayah Siberut Utara. Hal ini menyebabkan hambatan sendiri bagi masyarakat yang
ingin berobat kepada Sekerei dan terlihat dari
peran Puskesmas dan Polindes yang semakin
menonjol. Ketika kuantitas Sekerei semakin
berkurang, akan berdampak langsung kepada
tradisi pengetahuan lokal seorang Sekerei
yang semakin tergerus oleh zaman, terutama
pengetahuannya terhadap tumbuhan dan
ramuan obat.
Kesimpulan
Kepulauan Mentawai dianggap sebagai
salah satu bagian wilayah Provinsi Sumatera
Barat berbasis keanekaragaman hayati tumbuhan yang mampu menyediakan bahan-bahan
untuk ramuan obat. Pelaku pengobat dalam
etnis mentawai yaitu seorang Sekerei dapat
mengumpulkan bahan-bahan tumbuhan
alami yang ditemukan di wilayah pemukiman, persawahan dan wilayah hutan melalui
pengetahuan lokal yang ia peroleh secara turun
temurun, sehingga tumbuhan alami tersebut
menjadi ramuan tumbuhan obat yang mujarab

dan dipakai oleh masyarakatnya yang mengalami sakit.
Namun demikian, dalam 10 tahun terakhir,
luas hutan semakin berkurang akibat perambahan untuk perkebunan sawit dan coklat, yang
berakibat banyaknya tumbuhan obat yang telah
hilang sehingga berakibat mengancam kepunahan tumbuhan-tumbuhan tersebut yang lebih
cepat dari perkiraan. Saat ini, Sekerei masih
mengandalkan tumbuhan obat mereka di hutan
alam dekat dusun mereka, dan belum memiliki
tradisi membudidayakan jenis-jenis tumbuhan
tertentu. Seorang Sekerei harus berjalan kaki
sejauh beberapa kilometer ke tengah hutan
dan hasilnya belum tentu diperoleh, karena
keterbatasan fisik.
Seiring jumlah tumbuhan obat berkurang,
kekuatan Sekerei selaku pengobat tradisional
di bumi Mentawai lambat laun mulai hilang,
seiring dengan semakin berkurangnya jumlah Sekerei. Tradisi pengetahuan lokal yang
makin tergerus oleh zaman tersebut telah diperlihatkan melalui terputusnya warisan dari
seorang Sekerei senior kepada pemuda dalam
masyarakat tersebut. Persoalan pemuda yang
sudah mengenal dunia luar dan berinteraksi
dengan kehidupan modern memperlihatkan
motivasi mereka menjadi seorang Sekerei semakin berkurang.

Daftar Pustaka
Agoes, Azwar.
1996 Antropologi Kesehatan Indonesia Jilid I, Pengobatan Tradisional. Jakarta: Buku Kedokteran B.G.C.
Al-Kumayi, Sulaiman
2011 Islam Bubuhan Kumai. Perspektif Varian Awam, Nahu, dan Hakekat. Jakarta: Kementerian
Agama RI.
Coronese, Stefano
1986 Kebudayaan Suku Mentawai. Jakarta: PT Grafidian Jaya.
Darojat, M., Ariyanto
2005 Terapi Ruqyah Terhadap Penyakit Fisik, Jiwa, dan Gangguan Jin. (Makalah). Surakarta:
Universitas Muhammadiyah

38

Zamzami, Sekerei Mentawai: Keseharian dan Tradisi...

Darmanto dan Abidah B. Setyowati
2012 Berebut Hutan Siberut: Orang Mentawai, Kekuasaan dan Politik Ekologi. Jakarta: Kepustakaan Populer Gramedia.
Denzim, Norman K. and Yvonna S. Lincoln (peny.)
1994 Handbook of Qualitative Research. USA: Sage Publications.
Erwin
1997 “Pengaruh Perubahan Ekologi Terhadap Sistem Kepercayaan Tradisional Masyarakat
Mentawai.” Jurnal Pembangunan dan Perubahan Sosial Budaya (3-4). Padang: Pusat
Studi Pembangunan dan Perubahan Sosial Budaya Universitas Andalas.
Foster, G.M dan Anderson, B.G
2005 Antropologi Kesehatan. Jakarta: Penerbit UI Press
Hammons, Cristian, S
2010 Sakaliou: Resiprocity, Mimesis and The Cultural Economy of Tradition of Siberut, Mentawai Islands, Indonesia. Ph.D Disertation, University of Southern California.
Kalangie, S. Nico
1994 Kebudayaan dan Kesehatan; Pengembangan Pelayanan Kesehatan Primer Melalui
Pendekatan Sosiobudaya. Jakarta: PT Kesaint Blanc Indah Corp.
Neuman, Lawrence, W
1997 Social Research Methods: Qualitative and Quantitative Approaches. London: Allyn and
Bacon.
Mitchell, Bruce, dkk
2000 Pengelolaan Sumberdaya dan Lingkungan. Gadjah Mada University Press. Yogyakarta
Matthew, B Miles And Michael Huberman
1992 Analisis Data Kualitatif. (Tjmhn), Jakarta: UI Press.
Moleong, Lexy
1991 Metode Penelitian Kualitatif. Bandung: PT.Remaja Rosda Karya.
Oktaviana, Linda Marisa
2008 Pemanfaatan Tradisional Tumbuhan Obat Oleh Masyarakat Di Sekitar Kawasan Cagar
Alam Gunung Tilu, http://repository.ipb.ac.id/bitstream/handle/123456789/11696/ E08lmo.
pdf?sequence=2. Jawa Barat: Departemen Konservasi Sumberdaya Hutan Dan Ekowisata.
Fakultas Kehutanan Institut Pertanian Bogor.
Ostrom, E.
1992 Crafting Institutions for Self-governing Irrigation Systems. San Francisco: Institute for
Contemporary Studies Press.
Pals, L., Daniel
2001 Seven Theories of Religion: dari Animisme E.B Taylor, Materialisme Karl Marx, Hingga
Antropologi Budaya C. Geertz. Yogyakarta: Penerbit Qalam
Persoon, G. and R.Schefold (Peny)
1985 Pulau Siberut: Pembangunan Sosio-Ekonomi, Kebudayaan Tradisional dan Lingkungan

ANTROPOLOGI INDONESIA Vol. 34 No. 1 2013

39

Hidup. Jakarta: Penerbit Bhratara Karya Aksara.
Persoon, Gerard A.
2001 “The Management of Wild and Domesticated Forest Resources on Siberut, West Sumatra.”
Jurnal Antropologi Indonesia (64).
Persoon, Gerard A.
2003 Conflicts Over Trees and Waves On Siberut Island. Geografiska Annales 85.
Rudito, Bambang
1993 Masyarakat Mentawai di Sebelah Barat Sumatera dalam Koentjaraningrat (Peny.) Masyarakat Terasing di Indonesia. Jakarta: PT. Gramedia.
Rudito, Bambang
1999 Masyarakat dan Kebudayaan Suku Bangsa Mentawai. Padang: Laboratorium Antropologi
FISIP, Universitas Andalas.
Said, M., Basir
1996 Dukun. Suatu Kajian Sosial Budaya tentang Fungsi Dukun Bugis Makassar di Kotamadya
Ujung Pandang. (Tesis). Jakarta: Universitas Indonesia.
Salmeno, Y
1994 Menyusuri Pelosok Mentawai. Jakarta: Puspa Swara dan Dana Mitra Lingkungan
Schefold, Reimar
1991 Mainan Bagi Roh: Kebudayaan Mentawai. Jakarta: Pustaka Jaya
Schefold, Reimar
2001 “Three Sources of Ritual Blessings in Traditional Indonenesia Societies.” Bijdragen tot De
Taal, Land En Volkenkunde, 157 (2).
Schefold, Reimar
2007 Head-Hunting On Siberut (Mentawai) In A Comparative Southeast Asian Perspective.
Anthropos 102
Tulius, Juniator
2013 Family stories: oral tradition, memories of the past, and contemporary conflicts over land
in Mentawai, Indonesia. Leiden Institute for Area Studies (LIAS), Faculty of Humanities,
Leiden University.
Vredenbregt
1983 Metode dan Teknik Penelitian Masyarakat. Jakarta: PT. Gramedia.
Winarto, Yunita T dan Choesin, Ezra M
2001 “Pengayaan Pengetahuan Lokal, Pembangunan Pranata Sosial: Pengelolaan Sumberdaya
Alam dalam Kemitraan.” Jurnal Antropologi Indonesia (64).
Sumber Internet
Elfitra
2006 Dampak Resettlement Terhadap masyarakat dan Budaya Mentawai dalam http://elfitra.
multiply.com/journal/item/27/DAMPAK_RESETTLEMENT_TERHADAP_MASYARAKAT_DAN_BUDAYA_MENTAWAI, diakses tanggal 1 Oktober 2013 Jam 20.00.

40

Zamzami, Sekerei Mentawai: Keseharian dan Tradisi...



Panduan Penulisan untuk Kontributor



Guidelines for contributors

Antropologi Indonesia diterbitkan dengan tujuan
ikut mengembangkan ilmu antropologi sosial dan budaya di Indonesia. Jurnal ini menggunakan sistem mitra
bebestari (Peer-Review) dalam proses pemilihan naskah
yang akan diterbitkan. Redaksi menerima sumbangan
artikel baik yang bersifat teoretis, maupun hasil penelitian etnografi. Karangan tersebut tidak harus sejalan
dengan pendapat redaksi. Kriteria artikel yang dapat
dimuat dalam jurnal ini dapat dipisah menjadi empat bagian. Pertama, adalah artikel hasil penelitian etnografi
atau kualitatif mengenai topik tertentu yang berkaitan
dengan kelompok etnik/kelompok sosial di Indonesia;
Kedua, Hasil penelitian terapan, kolaboratif, dan juga
hasil penelitian yang dihasilkan dari pengalaman keterlibatan penulis dengan masyarakat/komunitas, semisal
program-program intervensi yang berhubungan dengan
relasi kebudayaan, politik, lingkungan, dan pembangunan; Ketiga, adalah Pembahasan/diskusi mengenai
teori/metodologi dalam ilmu antropologi atau ilmu-ilmu
sosial lainnya yang berkaitan dengan diskursus teoritik
di antropologi; dan terakhir adalah tinjauan buku terhadap buku teks antropologi atau ilmu-ilmu sosial lainnya.
Buku yang dikaji berlaku untuk buku yang diterbitkan
dalam 3 tahun terakhir untuk terbitan dalam negeri dan
5 tahun terakhir untuk terbitan luar negeri.
Artikel yang masuk masih akan disunting oleh
Dewan Redaksi. Naskah dapat dikirimkan kepada
Redaksi melalui email journal.ai@gmail.com dalam
format program MS Word, spasi rangkap, dengan ukuran kertas letter dan margin normal. Panjang tulisan
maksimal 5000 kata. Mohon agar disertakan abstrak
maksimal 250 kata dalam bahasa Inggris dan sekaligus
abstrak berbahasa Indonesia. Disertai dengan minimal
tiga kata kunci dan maksimal enam kata kunci. Penulis
juga diharapkan mengirimkan alamat kontak dan nomor
telepon.
Sistematika penulisan harus dibuat dengan mencantumkan pendahuluan, pembahasan/ulasan (jika
artikel bersifat teoritik/metodologi bagian ini adalah
ulasan yang mendukung argumen di sub bab pertama) ,
dan penutup /kesimpulan. Semua catatan dalam artikel
hendaknya tersusun rapi dengan ketentuan penulisan
ilmiah yang berlaku. Begitu pula dengan catatan kaki,
agar ditulis di bagian bawah halaman, bukan pada bagian belakang artikel. Kemudian untuk daftar pustaka
dibuat merujuk pada gaya penulisan AAA (American
Anthropologist Association) Style, dengan beberapa
modifikasi sebagaimana ditunjukan pada contoh berikut
abjad sebagai berikut:

Antropologi Indonesia was published to develop
and enrich scientific discussion for scholars who put
interest on socio-cultural issues in Indonesia. These
journals apply peer-reviewed process in selecting
high quality article. Editors welcome theoretical or
research based article submission. Author’s argument
doesn’t need to be in line with editors. the criteria
of the submitted article covers the following types
of article: first, the article presents the results of an
ethnographic/qualitative research in certain topic and
is related with ethnic/social groups in Indonesia; second, the article is an elaborated discussion of applied
and collaborative research with strong engagement
between the author and the collaborator’s subject
in implementing intervention program or any other
development initiative that put emphasizes on social,
political, and cultural issues; Third, a theoretical
writing that elaborates social and cultural theory
linked with the theoretical discourse of anthropology,
especially in Indonesia anthropology; last, the article
is a critical review of anthropological reference and
other ethnography books that must be published at
least in the last 3 years.
Submitted article will be selected and reviewed
by editorial boards. The submission should be in soft
copy format and must be sent to journal.ai@gmail.
com in Ms Word file format, double spaces, with
letter size paper. The length of the article should
not exceed 5000 word. Please also attach abstract
with maximum of 250 words length in English and
Bahasa, and six keywords. Author should write their
institution postal address and also the phone contact
in first part of the article.
Article should meet the following structures:
introduction, supporting data and the ground of
author argument (for articles that are theoretical or
methodological should include theoretical discussion
and literature study), and conclusion. All references
in the articles should be neatly put in a proper format. Footnotes should be written on the bottom part
of every page, do not put them at the end of article.
Bibliography should follow the AAA (American
Anthropologist Association) Style, with some adjustment as follow:

Geertz, C.
1984 ‘Tihingan: Sebuah Desa di Bali’, dalam
Koentjaraningrat (peny.) Masyarakat Desa
di Indonesia. Jakarta: Lembaga Penerbit
Fakultas Ekonomi Universitas Indonesia.
Hlm. 246–274.
Koentjaraningrat.
1974 Manusia dan Kebudayaan di Indonesia.
Jakarta: Penerbit Djambatan.
Manoppo-Watupongoh, G.Y.J.
1995 ‘Wanita Minahasa’, Antropologi Indonesia
18(51):64–74.

If it is a chapter in a book, or an article in a journal please
give the title of book/journal and the page numbers. In
the case of journal please give the Volume and issue
number. e.g.

Gilmore, D.
1990 Manhood in the Making: Cultural Concepts of
Masculinity. New Haven and London: Yale
University Press.

Geertz, C.
1980 ‘Tihingan: Sebuah Desa di Bali’, in Koentjaraningrat (ed.) Masyarakat Desa di Indonesia.
Jakarta: Lembaga Penerbit Fakultas Ekonomi
Universitas Indonesia. Pp.246–274.

Marvin, G.
1984 ‘The Cockight in Andalusia, Spain: Images of
the Truly Male’, Anthropological Quarterly
57(2):60–70.
copyright © 2013
ANTROPOLOGI INDONESIA
Pusat Kajian Antropologi, Departemen Antropologi,
Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik
Universitas Indonesia
Lantai 1, Gedung B, Kampus Universitas Indonesia, Depok, 16424
Phone/Fax: +62 21 78881032 e-mail: journal.ai@gmail.com

ANTROPOLOGI INDONESIA VOL. 34 NO. 1 2013

Tentang Kata Korupsi yang Datang Silih Berganti:
Suatu Penjelasan Budaya
Muhammad Nasrum

1

Totua Ngata dan Konlik
(Studi atas Posisi Totua Ngata sebagai Lembaga Adat
Di Kecamatan Marawola)
Hendra

15

Sekerei Mentawai: Keseharian dan Tradisi
Pengetahuan Lokal yang Digerus oleh Zaman
Lucky Zamzami

29

Kebangkitan Identitas Orang Bajo di Kepulauan Wakatobi
Tasriin Tahara

41

Marapu: Konstruksi Identitas Budaya
Orang Sumba, NTT
Purwadi Soeriadiredja

59

‘Memanusiakan Manusia’
dalam Lingkungan yang Tangguh:
Mengapa ‘Jauh Panggang dari Api’?
Yunita T. Winarto

75

Budaya Penjara:
Arena Sosial Semi Otonom
di Lembaga Pemasayarakatan “X”
A. Josias Simon Runturambi

91