Ideologi Peradaban dan Gerakan Sosial

Ideologi Peradaban dan Gerakan Sosial
oleh : Gunawan Wibisono
*dimuat dalam Jurnal Dialektika Himpunan Mahasiswa Sosiologi Edisi 9

Jauh sebelum era modern muncul pada peradaban manusia, sistem atau
ideologi liberalisme telah ada dan digunakan oleh manusia. Orang-orang yang
mempunyai modal (capital) bergerak bebas dalam menciptakan produksi mandiri.
Banyak dari mereka atau orang-orang bermodal tidak hanya menciptakan produksi,
tetapi juga menyerap tenaga kerja dalam mencapai tujuan industrinya. Lambat laun
sejalan dengan berkembangnya industri para pemilik modal, menyebabkan terjadinya
produksi yang berlebihan atau over-production. Dengan adanya over-production, para
pekerja (buruh) terpaksa bekerja tak kenal waktu siang sampai malam sehingga
mencapai tingkat kejenuhan. Tingkat kejenuhan inlah yang disebut oleh pemikir
sosial, Karl Marx sebagai alienasi. Perbedaan ini yang menghasilkan segmentasi
kelas-kelas sosial tertentu dimana borjouis sebagai pemilik modal dan proletariat
sebagai kelas pekerja. Melihat fenomena ini, Marx berpikir bahwa suatu saat kelas
pekerja akan mencapai otoritasnya pada sebuah revolusi besar yang mengantar rakyat
pekerja pada gerbang demokrasi proletar menuju kesejahteraan bersama. Kemudian
pemikiran inilah yang disebut dengan Marxisme.
Memasuki abad ke-20 dengan semakin majunya teknologi, maka semakin tak
terbatasnya komunikasi di berbagai belahan dunia. Bukan hanya sebagai media

komunikasi, tetapi juga mencakup media sosial, politik, ekonomi, bahkan sampai
hiburan umat manusia. Hal inilah yang menjadi titik tolak rezim neoliberalisme
dalam menunjukkan eksistensinya. Runtuhnya Uni Soviet dan sosialisme Cina yang
mengarah pada kapitalis seolah membuktikan bahwa semakin memudarnya ideologi
Marxisme. Kaum neoliberal mengaitkan kekuatan-kekuatan pasar yang bergerak

1

bebas dan pertahanan institusi-institusi tradisional, terutama keluarga dan Negara
(Anthony Giddens, 1999). Mereka beranggapan bahwa individu punya kuasa atas
kebebasan sama halnya dengan Negara. Dengan adanya teknologi, neoliberalisme
merasuki berbagai segmen kehidupan khususnya pada aspek ekonomi. Negara
bahkan individu mampu menciptakan pasar yang global atas dasar kebebasan.
Kebebasan menurut Anthony Giddens mampu menciptakan ketimpangan ekonomi.
Sebuah masyarakat dimana pasar bergerak dengan bebas akan menciptakan
ketimpangan ekonomi yang lebih luas (Anthony Giddens, 1999).
Ideologi itu Sengit
Masuknya neoliberal kedalam negara-negara dunia ketiga menjadikan
ketimpangan yang nyata dalam masyarakat. Perbedaan antara si miskin dan si kaya
bukan lagi fenomena langka, tetapi menjadi sangat akrab di telinga dan mata kita.

Dalam konteks bangsa Indonesia, munculnya globalisasi yang diikiuti dengan
kemunculan neoliberal senantiasa dipengaruhi dan dipaksa menelan pemahaman yang
seakan-akan paling benar, bahwa keikutsertaan dalam globalisasi ekonomi adalah
suatu keharusan mutlak yang dapat membawa bangsa ini meraih cita-cita
kesejahteraan (Ign. Gatut Saksono, 2009).
Media menjadi alat vital kondisi sosial politik dalam suatu Negara. Sehingga
menjadi bahaya ketika hegemoni media telah dipegang oleh pemilik kekuasaan atau
birokrasi bahkan partai politik. Konglemerasi media seperti ini mampu mengarahkan
pemberitaan sesuai keinginan pemegang kuasa. Dunia hiburan pun seolah sangat
lentur untuk disentuh baik itu yang positif maupun negatif. Contohnya sebagai
hiburan global, pendistribusian produksi film porno hanya dengan hitungan detik
sudah menyebar keseluruh penjuru dunia. Dampak dari film porno jelas pada Negara
yang masih memegang teguh tendensi nilai agama dan budaya. Moralitas telah
diperkosa oleh rezim neoliberalisme. Produk-produk kecantikan juga telah

2

memusnahkan paru-paru dunia dalam sistem ekologi seperti penggundulan hutan dan
pembunuhan binatang. Maka hidup di abad ke-20 seolah hidup yang penuh dengan
kepalsuan, kesenangan yang semu, bahkan tak ada ketenteraman. Seperti Trotsky

yang menyatakan: Siapa saja yang mau hidup tenteram, jangan hidup di abad ke-20
(Goenawan Mohamad, 2002).
Dengan

segala

kecacatan

sistem

neoliberal

yang

berdampak

pada

ketimpangan, kemudian menghasilkan ideologi yang merupakan penerus dari
Marxisme, yakni Neo-Marxisme. Jika Marxisme adalah ideologi yang menentang

segmentasi kelas kapitalis-proletar, maka Neo-Marxis merupakan ideologi yang
menitikberatkan pada ketimpangan ekonomi global, modal asing, kebebasan individu
dan ketergantungan negara dunia ketika pada negara-negara maju. Neo-Marxis adalah
sebuah paham yang mengacu pada kebangkitan kritis teori Marxis pada pasca perang
dunia II dan munculnya krisis global. Aktor dalam Neo-Marxis adalah Negara, kaum
borjouis dan kaum proletar. Negara sebagai suatu sistem kebijakan dan borjouisproletar sebagai perasa dampak dari kesenjangan global. Neo-Marxis merupakan
sebutan sebuah upaya, ide atau gagasan yang menghasilkan sebuah gerakan sosial
baru.
Efek kontaminasi dari industri neoliberal pada sekitar tahun 1980-an, bumi
telah menyampaikan sebuah pesan kepada umat manusia. Khususnya di Amerika
terjadi kekeringan hebat dan lama yang melanda berbagai daerah. Semua ini jelas
menunjukkan terjadinya pemanasan global sebagai akibat banyaknya gas karbon yang
memenuhi atmosfer bumi dengan membuat efek rumah kaca dengan iklim memanas.
Pada tahun 1988 kampanye pemilihan presiden George Bush lebih banyak bicara
mengenai lingkungan dibanding lawan politiknya Michael Dukakis (Matheos Nalle,
1996). Ini merupakan sebuah gerkan sosial baru yang dilakukan oleh Negara dalam
bidang politik. Dalam buku terjemahan Revolusi Hijau karya Matheos Nalle, Bush
dipandang berjasa karna berhasil mengesahkan amandemen Clean Air Act (Undang3

Undang udara bersih) meskipun tanpa persetujuan kongres. Selain itu juga

mengembangkan Arctic National Wildlife Refuge (Perlindungan Binatang Liar di
Taman Natur Arktik) dari pengeboran minyak lepas pantai. Kebijakan George Bush
mengenai lingkungan antara lain Environmental Protection Act, Clean Water Act, dan
Endanger Spesis Act. Itu semua merupakan bukti gerakan sosial baru di Amerika
pada tahun 1980-an.
Gerakan Sosial
Pada tahun 1960-an di Eropa sedang gandrung dengan perubahan. Festival
musik Woodstock memanfaatkan musik pop dan rock sebagai refrensi gaya hidup
yang serba bebas, komunalistis, memberotntak dan berpolitik. Mereka mulai
melancarkan protes sosial sejak pemerintah Amerika Serikat melakukan invasi ke
Indochina yang dimulai oleh presiden John F. Kennedy sampai Richard M. Nixon.
Mereka juga menggungat transparasi dan akuntabilitas institusi-institusi pemerintah,
terutama dibidang keamanan dan pertahanan, sejak kegagalan di teluk babi, Kuba,
dan pembunuhan presiden Kennedy dan Martin Luther King. Perang dingin dari
lomba senjata melawan Uni Soviet dianggap sebagai bisnis yang hanya
menguntungkan industri militer (Ahimsa Marquez, 2009).
Gerakan sosial baru juga tidak hanya terjadi pada sebuah Negara, namun juga
pada gerakan anak muda. Gerakan yang dipicu oleh kemrosotan moral para tokoh
politik yang menyebabkan pengangguran kriminalitas tinggi. Suatu gerakan sekaligus
ekspresi anak muda dalam bermusik yang disebut dengan punk. Punk merupakan

subkultur yang lahir di London, Inggris yang awalnya selalu dikacaukan oleh
kelompok skinhead. Sebagai bagian dari subkultur, menghimpun nilai-nilai tersendiri
dalam komunitas atau scene masing-masing, seraya menjauhi orang asing yang
dianggap berseberangan paham (Ojel, 2008). Komposisi musik punk sendiri
mengandung unsur isu sosial, kritik politik, global citizen, penindasan kapitalis
terhadap dunia ketiga yang dibalut dengan beat yang cepat dan mengehentak. Salah
4

satu band punk legendariss Amerika yang bernama Bad Religion sering mengkritik
pemerintahan Bush, masyarakat global, ketimpangan, bahkan analisis terhadap nasib
anak-anak pada abad ke-21. Greg Graffin selaku vokalis di band ini yang juga
seorang dosen filsafat di University of California ini juga pernah membuat album
kompilasi bersama band-band punk Amerika yang berjudul Rock Against Bush.
Sebuah gerakan mosi tidak percaya terhadap pemerintah dari golongan musisi punk
Amerika. Ini semua adalah bukti kegelisahan dari kesengitan ideologi yang
menghasilkan gerakan-gerakan sosial baru.

5

DAFTAR PUSTAKA


Giddens, Anthony. 1999: The Third Way, Gramedia Pustaka Utama
Ign, Saksono Gatut. 2009: Neoliberalisme vs Sosialisme, Forkoma PMKRI
Yogyakarta
Marquez, Ahimsa. 2009: John Lennon: Biografi Singkat 1940-1980, APlus Books,
Yogyakarta
Mohamad, Goenawan. 2001: Catatan Pinggir 5, Pustaka Utama Grafiti, Jakarta
Nalle, Matheos. 1996: Revolusi Hijau: Sebuah Tinjauan Historis-Kritis Gerakan
Lingkungan Hidup di Amerika, Yayasan Obor Indonesia, Jakarta
Ojel. 2008: Portraits of Bad Religion, Hitheroad Publishing, Bandung

6