Dokter Jawa dan Mantri Kesehatan dalam S

Dokter Jawa dan Mantri Kesehatan dalam Sejarah Kesehatan Indonesia
pada Masa Kolonial
Oleh: Baha` Uddin

Pengantar
Berbeda dengan bidang ekonomi dan politik, ketika pemerintah Hindia Belanda
mempunyai desain dan arah yang cukup jelas serta terstruktur, yang tercermin pada
kebijakan-kebijakan ekonomi dan politik kolonial, pada aspek kesehatan hampir sebagian
besar kebijakan yang diambil oleh pemerintah Hindia Belanda didasarkan pada peristiwa
yang bersifat insidentil dan tidak terencana. Hal ini semakin meyakinkan bahwa sebenarnya
pemerintah kolonial tidak berniat memberi akses pelayanan kesehatan (modern) kepada
masyarakat pribumi. Sebaliknya sejak masa VOC sampai paruh kedua abad ke-20,
pemerintah kolonial Belanda dengan sengaja membiarkan masyarakat pribumi untuk
menggunakan jasa dukun dan tabib dalam mencari solusi untuk kesehatannya, sedangkan
pada sisi yg lain dalam waktu bersamaan di Indonesia pada waktu itu kalangan Eropa sudah
mendapatkan pelayanan medis yang bersifat modern.
Pada masa VOC, para surgeon (ahli bedah) yang dibawa dari Belanda dikhususkan
untuk kepentingan perang dan pendukung kesehatan tentaranya. Kebijakan ini kemudian
juga dilanjutkan pada masa pemerintahan Hindia Belanda. Namun melihat kualifikasi
golongan orang-orang yang direkrut untuk menjadi surgeon bagi kepentingan militer VOC,
sepertinya kebijakan ini juga tidak lebih hanya sebagai pelengkap pasukan militer. Pada

akhir abad ke-18 VOC telah menyertakan surgeon dalam pasukan militernya yang direkrut
dari para tukang cukur, tukang patri, dan pengebiri babi.1
Sebelum kedatangan para dokter, sampai menjelang pertengahan abad ke-19 para
surgeon inilah yang menangani kesehatan orang-orang Eropa dan terutama kalangan
militernya. Ketika Militaire Geneeskundige Dienst (MGD) dibentuk pada masa
pemerintahan Daendels, terdapat 3 klasifikasi surgeon yang bekerja pada lembaga tersebut.
Tingkat paling rendah adalah surgeon yang masih dalam status magang atau pegawai
kesehatan kelas tiga. Kemudian tingkat menengah ditempati oleh para asisten surgeon atau
pegawai kesehatan kelas dua, sedangkan tingkat yang paling atas ditempati oleh para
surgeon utama atau pegawai kesehatan kelas satu.2 Secara keseluruhan, jumlah surgeon
yang dipekerjakan di MGD pada masa Daendels ini sejumlah 81 surgeon.
A.

1 A.H.M. Kerkhoff, “The Organization of the Military and Civil Medical Service in

the Nineteenth Century”, dalam A.M. Luyendijk-Elshout, Dutch Medicine in the Malaya
Archipelago 1816-1942 (Amsterdam: Rodopi, 1989), hlm. 9.

2Ibid,. hlm 11.


Para dokter Belanda yang mendapatkan pendidikan di Belanda, mulai berperan
dalam bidang kesehatan di Indonesia pada masa kolonial terutama ketika dibentuk lembaga
baru yaitu Burgerlijke Geneeskundige Dienst (BGD) pada tahun 1820. Sebagaimana
keberadaan lembaga kesehatan pada waktu itu, maka pada waktu itu juga terdapat dokter
militer dan dokter sipil. Para dokter Belanda pada waktu itu lebih memilih sebagai pegawai
(dokter) pemerintah jika dibandingkan menjadi pegawai swasta dan membuka praktek
sendiri. Status itu lebih banyak dipilih oleh para dokter dengan pertimbangan kesejahteraan
mereka lebih layak ketika menjadi pegawai pemerintah jika dibandingkan membuka
praktek sendiri.
Sampai pertengahan abad ke-19, praktis pelayanan kesehatan modern di Indonesia
mutlak milik orang Eropa terutama kalangan militer. Masyarakat pribumi baru mulai
berperan dalam pelayanan kesehatan ketika pemerintah Belanda menyadari keterbatasan
sumber daya manusia medis yang dimilikinya. Kondisi tersebut paling tidak terjadi pada
dua keadaan, pertama pada suatu kondisi ketika terjadi wabah suatu penyakit di daerah
tertentu yang membutuhkan penanganan cepat sedangkan dokter yang dimiliki oleh
pemerintah sangat terbatas. Kedua mobilisasi dokter Belanda sangat terbatas di daerah
perkotaan saja sedangkan biasanya sebagian besar wabah penyakit terjadi di wilayah
pedesaan. Oleh karena itulah untuk pemerintah Hindia Belanda dengan terpaksa membuat
kebijakan untuk mencetak profesi baru di kalangan masyarakat pribumi dalam bidang
kesehatan yaitu Dokter Jawa dan mantri kesehatan. Jika Dokter Jawa harus dicetak melalui

pendidikan formal sedangkan mantri kesehatan cukup dengan pelatihan-pelatihan khusus
sesuai dengan bidang penyakit atau aspek kesehatan lain yang menjadi tanggung jawabnya.
Tulisan singkat ini mencoba untuk mendiskripsikan sisi lain kesehatan masyarakat
Indonesia pada masa kolonial dengan menyoroti dinamika kehidupan dua profesi baru
tersebut karena menurut penulis sebenarnya tingkat keberhasilan kebijakan kesehatan
pemerintah kolonial Belanda, terutama dalam propaganda kesehatan dan pengendalian
wabah penyakit-penyakit tropis, sangat tergantung dengan dua golongan masyarakat
pribumi ini. Hal itu disebabkan oleh kedudukan dan posisi sosio-kultural mereka dalam
masyarakat yang tidak dimiliki oleh dokter Belanda. Walaupun Dokter Jawa dalam
historiografi Indonesia lebih populer kiprahnya dalam perluasan ide-ide dan gerakan
nasionalisme Indonesia pada awal abad ke-20 dibandingkan dengan tugasnya pada
pelayanan medis namun keberadaanya sangat berarti bagi masyarakat pribumi terutama
dalam memperluas akses pelayanan kesehatan. Sementara keberadaan mantri kesehatan
merupakan ujung tombak pelayanan kesehatan masyarakat di pedesaan pada masa kolonial
baik yang bersifat promotif, preventif, dan terutama pengendalian wabah penyakit di
wilayah tertentu.
Sekolah Dokter Jawa: Mencetak Profesi Baru
Pendidikan dokter di Indonesia mulai diselenggarakan pada pertengahan abad ke-19
oleh pemerintah Hindia Belanda paling tidak dilatarbelakangi oleh dua aspek yaitu:
B.


1. Pandangan pemerintah Hindia Belanda terhadap keberadaan dukun di masyarakat

Indonesia yang cenderung bersifat negatif. Dalam kasus epidemi, keberadaan dukun
bahkan sama sekali tidak bisa diandalkan.3
2. Munculnya berbagai wabah penyakit, terutama wabah penyakit cacar di perkebunan
Belanda di Banyumas Jawa Tengah pada tahun 1847.4
Dokter-dokter Belanda yang ditugaskan untuk melakukan pemberantasan wabah
cacar di daerah itu, karena keterbatasan jumlahnya, merasa tidak sanggup untuk
menanggulangi keganasan penyakit itu yang menjangkiti mayoritas buruh di perkebunan
itu. Peristiwa itu kemudian menyadarkan pemerintah Hindia Belanda, bahwa
kepentingannya untuk membatasi akses pelayanan pengobatan modern yang hanya
diperbolehkan untuk kalangan masyarakat Belanda (Eropa) dan kalangan militer saja dalam
konteks ini gagal. Pemerintah Hindia Belanda dengan terpaksa mengobati para buruh yang
notabene adalah orang pribumi dari keganasan penyakit cacar karena untuk melindungi
kepentingan ekonominya yaitu perkebunan.
Dengan mengobati para buruh perkebunan dari serangan penyakit cacar maka
kerugian perusahaan dapat teratasi karena roda produksi bisa berjalan seperti sedia kala.
Sehingga sebenarnya perhatian pemilik perkebunan swasta terhadap kesehatan para buruh
belum bisa dilihat sebagai tanggung jawab sosial, namun lebih pada kepentingan

ekonominya semata. Pada beberapa kasus yang lain seperti di beberapa perkebunan di
Sumatera Timur, pengobatan yang dilakukan terhadap para buruh lebih didorong motif
untuk melindungi golongan Eropa dari kemungkinan tertularinya penyakit dibandingkan
motif untuk menyembuhkan para buruh dari penyakit yang dideritanya.
Kedua aspek tersebut diatas kemudian mendorong para pejabat yang bertugas di
Militaire Geneeskundige Dienst (MGD) dan Burgerlijke Geneeskundige Dienst (BGD)
untuk mencari jalan keluar dari permasalahan ketidakseimbangan tenaga medis yang
dimiliki oleh pemerintah Hindia Belanda dengan kebutuhan di lapangan. Untuk itulah
kemudian muncul gagasan untuk memanfaatkan penduduk pribumi untuk membantu
dibidang kesehatan. Sebenarnya ide seperti ini bukan hal yang baru karena pada awal abad
ke-19, penduduk pribumi sudah mulai dilibatkan oleh pemerintah kolonial dalam
menangani masalah-masalah kesehatan masyarakat yaitu sebagai mantri cacar atau juru
cacar (vaccinateur).5 Namun untuk ide mendidik penduduk pribumi dengan pendidikan
formal kesehatan memang baru muncul pada pertengahan abad ke-19 ini.
3 Liesbeth Hesselink, Genezers op de koloniale markt: Inheemse dokters en vroedvrouwen
in Nederlandsch oost-indië,1850-1915, (Amsterdam, Amsterdam University Press, 2009), hlm. 8586.
4 Slamet Riyadi, Ilmu Kesehatan Masyarakat: Dasar-dasar dan sejarah
perkembangannya,(Surabaya: Usaha Nasional, 1982), hlm. 35. Pada kasus epidemi cacar di
Banyumas tahun 1847, pemerintah kolonial sudah melakukan kebijakan untuk menanggulanginya,
salah satunya dengan membagikan buku panduan tuntunan kesehatan dalam bahasa Jawa dan

Melayu kepada semua kepala desa di wilayah itu dengan harapan kesehatan warganya dapat terjaga,
namun tampaknya tindakan ini tidak berhasil.

Peristiwa wabah penyakit cacar di Banyumas itu kemudian menjadi tonggak penting
bagi perkembangan dunia kesehatan dan juga kedokteran di Indonesia, tidak hanya pada
masa kolonial namun juga sampai sekarang. Peristiwa itulah yang mendorong pemerintah
kolonial untuk membuka pendidikan dokter pertama di Indonesia yang disebut dengan
Sekolah Dokter Jawa atau Dokter Jawa School. Dengan menggunakan dasar hukum
Gouvernements Besluit no. 22 tahun 1849, sekolah yang dikhususkan untuk mendidik
dokter dari kalangan pribumi ini resmi didirikan pada tanggal 1 Januari 1851 atas prakarasa
Dr. William Bosch, kepala Miliataire Geneeskundige Dienst (Dinas Kedokteran Militer).
Sementara untuk mengelolanya diangkat Dr. P. Bleeker sebagai direktur dengan dibantu 2
orang koleganya sebagai guru pada periode awal ini.
Bosch sangat paham mengenai permasalahan dan kondisi kesehatan masyarakat di
Indonesia pada masa kolonial karena sampai pada pertengahan abad ke-19 sudah bertugas
di Jawa kurang lebih 25 tahun. Sehingga prakarsanya untuk mendirikan sekolah Dokter
Jawa ini tentu sudah melalui pemikiran dan pertimbangan yang matang. Dalam pandangan
Bosch pengetahuan medis (modern) di kalangan orang Jawa sangat rendah, bahkan pada
golongan pribumi yang bangsawan. Oleh karena itu beberapa diantara mereka kemudian
justru menggunakan jasa dokter Eropa. Selain itu, jasa dukun sangat sedikit digunakan pada

kasus epidemi hal itu terbukti pada kasus epidemi cacar di Banyumas, Jawa Tengah. Oleh
karena itulah pada bulan Oktober 1847, Bosch mengajukan “proposal” kepada Gubernur
Jenderal J.J. Rochussen untuk mengadakan pendidikan kedokteran Barat kepada penduduk
pribumi.
Sekolah yang berlokasi di Weltevreden, Batavia, ini merancang kurikulum
pendidikannya selama 2 tahun. Mata pelajaran pada tahun pertama siswa diharuskan
mempelajari pelajaran Fisika, Kimia, Geologi, Botani dan Zoologi, serta melakukan
analisis terhadap tubuh manusia. Sementara pada tahun kedua, pelajaran yang diajarkan
adalah ilmu bedah, latihan membedah mayat, Patologi, Anatomi Patologis, material
medica, obat-obat pokok, dan pelatihan praktek di klinik.6
Setelah lulus para siswanya kemudian mendapatkan gelar Dokter Jawa. Sampai
pada tahap perkembangan ini sebenarnya yang dicetak oleh pemerintah kolonial melalui
pendidikan ini bukanlah murni seorang dokter, melainkan pembantu dokter Eropa (hulp
geneesher). Hal itu terbukti ketika sekolah ini mulai meluluskan para muridnya yang
kemudian diberi tugas sebagai pembantu dokter bahkan ada lulusannya yang kemudian
diberi tugas sebagai mantri cacar. Kebijakan penugasan lulusan Sekolah Dokter Jawa ini
bahkan ditetapkan melalui Gubernements Besluit no. 10 tanggal 5 Juni 1853 yang
menyatakan bahwa lulusan sekolah ini diberi gelar Dokter Jawa dan kemudian
dipekerjakan sebagai mantri cacar.
Hasil lulusan sekolah pada tahap awal ini dan kemudian penempatan para

lulusannya yang tidak sesuai dengan ide awal pendirian sekolah kemudian menimbulkan
perdebatan dikalangan para dokter Belanda. Inti permasalahan perdebatan terletak pada
5 D. Schoute, De Geneeskundige in Nederlandsche-Indie gedurende de negentiende eeuw,
(Weltevreden: DVG, 1934), hlm. 250.
6 Liesbeth Hesselink, op.cit., hlm. 92.

rasa kurang puas atas hasil pendidikan dokter yang lulusannya “hanya” dijadikan sebagai
mantri cacar, sebuah profesi paramedis pada masa itu hanya dihasilkan cukup melalui
pelatihan. Permasalahan kedua, adalah mengenai perlu tidaknya ditingkatkannya
kompetensi pendidikan sekolah dokter ini. Jika memang perlu ditingkatkan maka
konsekuensinya adalah harus menambah lama pendidikan menjadi 3 tahun.
Menghadapi permasalahan tersebut, sikap dan pendapat dari kalangan dokter
Belanda terbelah menjadi 2 kelompok. Kelompok orang-orang Belanda yang progresif
menaruh simpati terhadap pendidikan Dokter Jawa berpendapat bahwa untuk lebih
meningkatkan keahlian lulusan Sekolah Dokter Jawa mutlak harus dilakukan perubahan
kurikulum yaitu dengan menambah lama studi menjadi 3 tahun. Dengan penambahan lama
studi menjadi 3 tahun, mereka beranggapan para lulusannya sudah dapat berdiri sendiri
dalam menjalankan prakteknya, sehingga diharapkan benar-benar dapat membantu dalam
melakukan pelayanan kesehatan terhadap masyarakat, terutama dalam pengendalian wabah
penyakit. Dalam konteks ini, para lulusan cukup diawasi oleh para dokter Belanda dan

pemerintah daerah setempat, lokasi para Dokter Jawa bertugas. Pemikiran kelompok ini
diilhami oleh model yang dikembangkan dunia kedokteran di Belanda, dan mereka
berharap bisa menerapkannya dalam sekolah Dokter Jawa.
Sementara kelompok yang tidak setuju menentang usulan diatas. Mereka
berpendapat bahwa jika kompetensi sekolah Dokter Jawa ditingkatkan maka secara tidak
langsung lulusannya nanti akan menggeser peran dan kedudukan para dokter Belanda.
Lebih lanjut, kelompok kedua ini berpendapat bahwa pendidikan dokter untuk kalangan
pribumi memang tidak seharusnya sama dengan pendidikan dokter yang diterima oleh
mereka di Belanda. Polemik mengenai perlu tidaknya ditambah masa studi pendidikan
untuk Dokter Jawa memakan waktu yang lumayan lama. Sampai akhirnya pada tahun 1863
ketika Kepala MGD dijabat oleh Dr G. Wassink lama studi pendidikan Dokter Jawa
diperpanjang menjadi 3 tahun. Perubahan ini membawa konsekuensi pada persyaratan
siswa masuk yang lebih diperketat.
Selain itu perubahan kurikulum pendidikan Dokter Jawa itu juga berdampak pada
kewenangan para lulusannya yang bisa mandiri menjadi dokter walaupun berada dalam
pengawasan. Tentu saja perubahan ini disambut gembira oleh para lulusannya jika
dibandingkan dengan pada periode sebelumnya yang hanya berperan sebagai pembantu
dokter atau mantri cacar. Perubahan lama studi ini juga meningkatkan status kepegawaian
mereka yang diangkat menjadi pegawai rendah pemerintah Hindia Belanda. Dengan
demikian para Dokter Jawa berhak atas gaji karena sebelumnya mereka hanya menerima

uang saku saja dari pemerintah.
Perdebatan antara kelompok konservatif dengan moderat dalam hal pengembangan
pendidikan dokter di Hindia belum berakhir sampai disini. Antara tahun 1867 dan 1868
muncul lagi perdebatan serupa terutama mengenai masalah perlu tidaknya dilakukan
perubahan kurikulum Sekolah Dokter Jawa untuk meningkatkan kemampuan lulusannya
dengan menambah lama studinya. Golongan konservatif menentang ide tersebut karena
khawatir tingginya kemampuan lulusan sekolah ini akan disalahgunakan terutama dalam
bidang politik. Bagi mereka orang pribumi tidak perlu mendapatkan pendidikan yang
tinggi, yang dibutuhkan adalah pendidikan secukupnya saja sehingga nantinya bisa
dipekerjakan. Menurut golongan konservatif, asal lulusan sekolah Dokter Jawa itu

mempunyai kemampuan untuk menyuntik maka dianggapnya sudah cukup dan tidak perlu
melakukan perubahan pada kurikulumnya.
Kekhawatiran golongan konservatif pada akhir abad ke-19 itu sebenarnya sangat
beralasan karena dengan tingkat mobilisasi yang tinggi dan komunikasi serta pemahaman
kultural yang sangat baik dengan semua lapisan masyarakat pribumi, Dokter Jawa sangat
mudah melakukan gerakan-gerakan politik dengan memanfaatkan profesinya.7 Sementara
golongan moderat yang simpati terhadap pengembangan pendidikan dokter di Hindia
Belanda tetap bertahan pada pendapatnya bahwa penambahan lama studi itu harus
dilakukan karena hal tersebut merupakan kebijakan yang mulia yaitu berhubungan dengan

masalah tugas-tugas kemanusiaan.
Berkat adanya kritikan yang tajam dan dilakukan secara terus menerus serta
didukung oleh Direktur Sekolah Dokter Jawa pada saat itu, Dr. J.J.W.E. van Riemsdyk,
yang merasa belum puas dengan kemampuan Dokter Jawa dengan kurikulum 3 tahun. Pada
1875 pemerintah Hindia Belanda akhirnya melakukan perubahan besar dalam
perkembangan pendidikan dokter di Indonesia yaitu mengubah kurikulum dengan
menambah lama studi dari 3 tahun menjadi 7 tahun dengan perincian 2 tahun awal sebagai
pendidikan persiapan dan 5 tahun untuk pendidikan ilmu kedokteran. Jika pada kurikulum
sebelumnya bahasa pengantar dalam pendidikan adalah Bahasa Melayu, pada kurikulum
yang baru ini bahasa pengantarnya menggunakan Bahasa Belanda.
Penggunaan Bahasa Belanda sebagai bahasa pengantar merupakan kebijakan yang
dipaksakan karena dalam prakteknya siswa yang rata-rata berusia 14 – 18 tahun itu sama
sekali belum menguasai bahasa Belanda. Walaupun pada 2 tahun pertama mereka
diwajibkan untuk belajar bahasa Belanda namun menjelang ujian untuk masuk pada tahap
pendidikan kedokteran hanya 20% siswa yang dinyatakan lulus dan berhak melanjutkan ke
bagian medis pada periode 1876 – 1880.
Pada tahun 1881 dilakukan perubahan kurikulum lagi dengan menambah lama studi
dibagian persiapan dari 2 tahun menjadi 3 tahun, sehingga total lama pendidikan menjadi 8
tahun (3 tahun bagian persiapan dan 5 tahun bagian ilmu kedokteran). Perubahan
kurikulum ini kemudian diikuti juga perubahan syarat masuk siswanya. Sejak tahun 1890
para calon siswa yang akan masuk Sekolah Dokter Jawa diharuskan lulus sekolah dasar
Belanda atau ELS (Europeesche Lagere School).8 Setelah sebelumnya sempat berganti
nama menjadi School tot Opleiding van Inlandsche Geneeskundigen, pada tahun 1898
Sekolah Dokter Jawa diubah namanya menjadi School tot Opleiding van Inlandsche Artsen
(STOVIA).9 Perubahan ini juga berdampak pada gelar lulusannya yang tidak lagi bergelar
Dokter Jawa melainkan Inlandsche Arts (dokter pribumi).10
7 Sartono Kartodirdjo, Sejarah Indonesia Baru: Pergerakan Nasional dari Kolonialisme
sampai Nasionalisme, (Jakarta: Gramedia, 1992), hlm. 100-106.
8 D. Schoute, loc.cit.
9 Terdapat perbedaan tahun mengenai perubahan nama sekolah ini menjadi

beberapa sumber lain menyebutkan nama STOVIA resmi digunakan pada tahun 1902.

STOVIA,

Perbaikan pendidikan kedokteran di Indonesia belum berhenti ketika nama
sekolahnya sudah berubah menjadi STOVIA. Pada tahun 1902 terjadi penambahan lama
studi terutama pada bagian ilmu kedokterannya yang semula 5 tahun ditingkatkan menjadi
6 tahun sehingga total lama studi di STOVIA menjadi 9 tahun (3 tahun dibagian persiapan
dan 6 tahun dibagian ilmu kedokteran). Bersamaan dengan perubahan kurikulum ini, pada
tahun yang sama atas prakarasa direktur Dr. H.F. Roll gedung baru STOVIA dibuka di
Hospitaalweg. Diharapkan dengan lama pendidikan 9 tahun maka kemampuan lulusannya
akan semakin sempurna karena bidang kebidanan dan forensik juga dimasukkan dalam
kurikulum ini. Harapan itu banyak datang dari kalangan pengusaha swasta pada waktu itu,
terutama para pengusaha perkebunan di Deli, Sumatera Timur yang sangat membutuhkan
tenaga dokter pribumi untuk melayani kesehatan para kuli perkebunan. Bagi mereka, dokter
pribumi lulusan STOVIA ini merupakan solusi bagi permasalahan kesehatan para kuli di
perusahaannya ketika mereka tidak bisa menjangkau gaji yang diminta oleh para dokter
Eropa.
Penyempurnaan pendidikan kedokteran di STOVIA dilakukan lagi, pada tahun 1913
lama studi ditambah menjadi 10 tahun yaitu dengan menambah lama studi bagian ilmu
kedokteran dari 6 tahun menjadi 7 tahun. Seiring dengan perubahan kurikulum itu juga
dilakukan perubahan pada gelar lulusan dari Inlandsche Artsen menjadi Indische Artsen.
Selain itu sekolah kedokteran ini semakin terbuka dalam menerima siswanya karena mulai
waktu itu STOVIA juga menerima siswa dari etnis Tionghoa dan orang-orang Belanda.
Keterbukaan penerimaan siswa ini merupakan desakan dari Indo Europeesche Verbond
(IEV), sebuah perkumpulan peranakan Belanda, yang menuntut bahwa golongan
masyarakat lain juga berhak untuk mendapatkan pendidikan di STOVIA, tidak hanya
pribumi saja.
Pada tahun yang sama Sekolah Dokter kedua didirikan di Surabaya berdasarkan
Keputusan Pemerintah "Besluit van de Gouverneur General van Nederlansch Indie van 8
Mei 1913 No. 4211" dengan nama Nederlandsch Indische Artsen School (NIAS). Tujuan
didirikannya NIAS ini adalah menghasilkan dokter-dokter yang langsung dapat bekerja di
kalangan masyarakat desa dan dapat memberikan pertolongan praktis dengan pengetahuan
cukup serta dapat dipertanggungjawabkan. Sekolah dokter di Surabaya ini diresmikan pada
tanggal 15 September 1913 di Jalan Kedungdoro No. 38 Surabaya. Ciri khas pendidikan
dokter di Surabaya (NIAS) adalah aspek kemasyarakatannya. Kurikulum NIAS disesuaikan
dengan kurikulum STOVIA, dengan masa pendidikan 10 tahun, yaitu 3 tahun bagian
persiapan dan 7 tahun bagian kedokteran. Seperti halnya di STOVIA, siswa yang diterima
adalah lulusan sekolah dasar Belanda (ELS), dan terbuka untuk semua etnis dan golongan
baik pribumi, Arab, Tionghoa, maupun Belanda.
Pendidikan di STOVIA dan NIAS semakin baik ketika di kedua lembaga tersebut
kemudian melengkapi sarana dan prasarana pendidikannya. Pada tahun 1919, stadverband11
10 A. de Waart, “Het Indisch Geneeskundige Onderwijs in de laatse 25 jaren” dalam

Feestbundel Geneeskundige Tijdschrift Nederlandsch Indie 1936, hlm. 247.
11 Stadverband merupakan tempat perawatan untuk luka tembak atau perang yang biasa
digunakan oleh militer Belanda. Di Jawa pada abad ke-19 didirikan 3 stadverband yaitu di Batavia
pada tahun 1819, di Surabaya antara tahun 1820-1823 dan di Semarang antara tahun 1840-1850.

yang ada di Batavia dikembangkan menjadi rumah sakit pusat yang disebut dengan
Centrale Burgelijke Ziekeninrichtingen (CBZ) yang kemudian menjadi rumah sakit
pendidikan bagi STOVIA. Setahun kemudian gedung pendidikan kedokteran di Salemba 6
selesai dibangun dan seluruh fasilitas pendidikan STOVIA kemudian dipindahkan ke
Salemba 6. Sementara di Surabaya pada tahun 1923 gedung baru NIAS selesai dibangun
dan kemudian menjadi pusat aktivitas pendidikannya, pada periode yang sama Centrale
Burgelijke Ziekeninrichtingen yang ada di Surabaya juga dijadikan sebagai rumah sakit
pendidikan bagi NIAS.
Mulai tahun 1924, baik di STOVIA maupun NIAS, syarat penerimaan siswa
dilakukan perubahan. Jika sebelumnya kedua sekolah itu hanya mensyaratkan siswanya
lulusan sekolah dasar Belanda atau ELS maka sejak waktu itu siswa yang akan masuk
STOVIA dan NIAS harus sudah lulus Meer Uitgebreid Lager Onderwijs (MULO),
setingkat sekolah menengah pertama. Oleh karena itu lama studi kemudian dipersingkat
menjadi 8,5 tahun dengan meniadakan bagian persiapan. Atas perjuangan para dokter
pribumi dan juga direktur dan para mantan direktur STOVIA, pada tanggal 16 Agustus
1927 dibuka Geneeskundige Hoogeschool (GHS, Sekolah Tinggi Kedokteran) untuk
menggantikan STOVIA. Perubahan STOVIA menjadi GHS tertuang dalam Staatsblad Van
Nederlansch Indie tahun 1924, No. 456. Praktis sejak tahun itu STOVIA tidak menerima
siswa lagi dan hanya menyelesaikan pendidikan bagi para siswanya yang sudah ada. Siswa
yang duduk pada tingkat rendah diberi kesempatan untuk pindah ke AMS (Algeemen
Midelbaar School) atau ke NIAS Surabaya, sedangkan siswa yang duduk pada tingkat
tinggi dapat menyelesaikan studi di Batavia, disamping GHS. Tercatat, sebagai lulusan
terakhir dari STOVIA adalah dr. Sanjoto yang lulus pada tahun 1934.12
Pendirian GHS ini tidak lepas dari perjuangan Ikatan Dokter Pribumi (Indische
Artsen Bond), terutama dr. Abdul Rivai dan teman-temannya sesama Dokter Jawa. Ide
untuk mendirikan sekolah tinggi dalam bidang kedokteran di Indonesia pertama kali
dilontarkan oleh dr. Abdul Rivai dimuka sidang Volksraad pada tahun 1918. Pada forum itu
dr. Abdul Rivai mengusulkan perlu diselenggarakannya sebuah pendidikan yang bersifat
universiter di Indonesia. Untuk menindaklanjuti gagasan ini, kemudian dibentuklah sebuah
“Panitia Penasehat Pendirian Perguruan Tinggi Kedokteran”. Dari pihak Indische Artsen
Bond yang duduk di kepanitian itu antara lain, J. Kajadoe, Abdoel Rasjid, dan R. Soetomo.
Hasil laporan panitia ini berkesimpulan bahwa dokter yang diluluskan dari lembaga
pendidikan kedokteran yang ada di Indonesia pada waktu itu belum memenuhi tuntutan
kemampuan dokter sebagaimana yang ada di luar negeri, oleh karena itu mendesak kepada
pemerintah Hindia Belanda untuk secepatnya mendirikan sebuah sekolah tinggi dalam
bidang kedokteran di Indonesia. Laporan itu oleh panitia sudah diserahkan kepada
Ketiga stadverband inilah yang kemudian pada awal abad ke-20 dikembangkan menjadi Centrale
Burgelijke Ziekeninrichtingen (CBZ) atau rumah sakit umum pusat. Lihat D. Schoute, Occidental
Therapeutics in the Netherlands East Indies during three Centuries of Netherlands Settlement
(1600-1900) (Batavia: G. Kolff & Co., 1937), hlm 163.
12 Departemen Kesehatan RI, Sejarah Kesehatan Nasional I (Jakarta: Depkes, 1978), hlm.

36.

pemerintah Hindia Belanda pada tahun 1922 namun baru lima tahun kemudian Sekolah
Tinggi Kedokteran didirikan di Indonesia. Atas perjuangan para dokter pribumi yang
tergabung dalam Indische Artsen Bond status ijasah GHS akhirnya disamakan dengan
ijasah fakultas-fakultas kedokteran universitas yang ada di Belanda.13
Selain adanya faktor desakan dan tuntutan dari para dokter pribumi, terdapat 2
faktor yang sangat mendukung terjadinya perkembangan dari STOVIA menjadi GHS yaitu
keberadaan lembaga-lembaga penelitian kedokteran dan tersedianya rumah sakit
pendidikan. Keberadaan lembaga penelitian kedokteran sangat menguntungkan karena
selain menghasilkan karya-karya yang langsung dapat diterapkan dan meningkatkan mutu
pelayanan kesehatan juga mengembangkan iklim ilmiah yang dibutuhkan oleh sebuah
pendidikan tinggi. Sampai pada awal abad ke-20, terdapat 2 lembaga penelitian kedokteran
di Indonesia yang sangat terkenal yaitu Laboratorium voor Pathologische Anatomie en
Bacteriologie di Batavia yang kemudian diubah namanya menjadi Eijkman Instituut pada
tahun 1938,14 dan Centrale Laboratorium di Medan.15
Penerimaan mahasiswa GHS sangat berbeda dengan STOVIA. Di antara beberapa
persyaratannya antara lain bahwa siswa harus lulusan HBS (Hoogere Burger School)
bagian B dan lulusan AMS (Algeemen Midelbaar School). Calon mahasiswa yang bebas
ujian masuk adalah lulusan diploma Akademi Militer di Breda dan Institute Maritim di
Willemsoord. Lulusan STOVIA bisa langsung melanjutkan ke GHS dan duduk pada tingkat
pertama. Perbedaan yang jelas antara STOVIA dan GHS juga terlihat pada aspek
pembiayaan, jika di STOVIA pemerintah Hindia Belanda memberi beasiswa kepada
siswanya, namun di GHS mahasiswa harus membiayai sendiri biaya kuliahnya.
Pembiayaan pendidikan di STOVIA memang sepenuhnya menjadi tanggung jawab
pemerintah kolonial dengan memberi beasiswa kepada semua siswanya. Hanafiah
menceritakan bahwa setiap pelajar menerima uang saku sebesar 15 gulden/bulan dan
mendapatkan tambahan 2,5 gulden setiap tiga tahun hingga akhirnya 20 gulden/bulan.
Biaya sebesar itu digunakan untuk ongkos makan dan untuk memenuhi kebutuhan harian
seorang pelajar. Sementara Soemohamidjojo menyatakan bahwa beasiswa yang diterima
oleh seorang siswa di STOVIA adalah sebesar 8 - 20 gulden/bulan, hampir dua kali lipat
dari yang diterima oleh seorang magang yang bekerja sebagai juru tulis.16

13 Ibid., hlm. 45.
14 Atas saran Commissie Beri-beri, pada 1888 didirikan Laboratorium voor Pathologische
Anatomie en Bacteriologie (Laboratorium Anatomi Patologi dan Bakteriologi) di bangsal Rumah
Sakit Pusat Militer di Weltevreden, yang kemudian menjadi Geneeskundige Laboratorium
(Laboratorium Kesehatan) pada 1901. Untuk menghormati Eijkman, atas izin keluarganya pada
1938 nama laboratorium resmi diganti menjadi Eijkman Instituut. Centraal Laboratorium van den
Dienst der Volksgezondheid. A.A. Loedin, “Pengungkapan Misteri Penyakit Beri-beri” dalam
Tempo, Edisi Mei 2002.
15 Departemen Kesehatan RI, Museum Kesehatan Dr. Adhyatma, MPH: Selayang Pandang

Perjalanan Kesehatan Nasional, (Jakarta, Depkes, 2004), hlm. 101.

Dalam kurikulum GHS dengan tegas dinyatakan bahwa sama dengan kurikulum
sekolah-sekolah kedokteran di negeri Belanda, baik dalam pelaksanaan maupun persyaratan
yang harus dipenuhi calon yang akan menempuh ujian. Begitu juga dengan kedudukan
lulusannya mempunyai wewenang yang sama antara dokter lulusan GHS dengan dokter
lulusan universitas di Belanda. Lulusan GHS bergelar Artsen, mempunyai hak dan
wewenang yang sama dengan dokter-dokter di Belanda, dan dapat mempraktekkan semua
ilmu yang telah diperolehnya baik dalam negara Hindia Belanda maupun di Belanda.
Lulusan GHS tidak terikat lagi pada pemerintah untuk bekerja sebagai pegawai pemerintah.
GHS merupakan salah satu cita-cita yang sudah tercapai untuk menciptakan tenaga ahli
bidang kedokteran yang status dan wewenangnya sama dengan tenaga ahli bidang dan
diharapkan bisa mengatasi masalah kesehatan pada masyarakat Hindia Belanda.17
Kedudukan dan Posisi Dokter Jawa dalam Masyarakat Kolonial
Ketika Sekolah Dokter Jawa pertama kali dibuka pada tahun 1851, pemerintah
Hindia Belanda menargetkan ada 30 pemuda-pemuda dari Jawa yang akan masuk dalam
program ini. Namun ternyata target tersebut meleset karena jumlah murid pada angkatan
tahun pertama ini hanya berjumlah 12 orang. Mereka diharuskan berasal dari keluarga baikbaik dan lebih disukai dari keluarga terhormat atau keluarga priyayi dan aristokrat Jawa.
Selain itu, mereka tidak diharuskan lulus sekolah dasar Belanda, namun cukup bisa menulis
dan membaca dalam bahasa Melayu, serta berumur 15 – 16 tahun.
Pada tahun 1853, menurut laporan Bosch kepada Gubernur Jenderal, bahwa dari 12
orang siswa angkatan pertama 11 orang diantaranya dinyatakan lulus dan berhak
mendapatkan gelar Dokter Jawa. Sesuai dengan keinginan pemerintah Hindia Belanda,
sebagian besar murid Sekolah Dokter Jawa didominasi oleh golongan priyayi. Dari 11
orang yang dinyatakan lulus pada tahun 1853, hanya satu orang yang bergelar Mas, sebuah
gelar priyayi paling rendah dalam kebangsawanan Jawa. Kemudian lulusan pada periode
1853-1865, diantara 81 orang lulusannya, 6 orang bernama depan Si,18 15 orang bergelar
Mas, 13 orang bergelar Raden, 1 orang bergelar Bagindo dan 1 orang Raja. Dari jumlah
keseluruhan lulusan pada periode tercatat 36 orang atau sekitar 44% adalah berasal dari
golongan bangsawan.19 Pada tahun 1875, ketika kurikulum diubah menjadi 7 tahun, siswa
sekolah ini juga mengalami peningkatan yang tajam yaitu tidak kurang dari 50 sampai 100
C.

16 M.A. Hanafiah S.M., “Sepuluh Tahun dalam Asrama STOVIA”, 125 Tahun Pendidikan
Dokter di Indonesia 1851-1976, (Jakarta: Panitya Peringatan 125 Tahun Pendidikan Dokter di
Indonesia, 1976), hlm. 101; Soemohamidjojo, “Hal Dokter Djawa”, Pewarta Prijaji, Jilid 1-2,
1900-1901, hlm. 215.
17 “Ensiklopedi Jakarta” dalam www.jakarta.go.id, diakses pada tanggal 18 November

2011
18 Merupakan sebutan untuk membedakan nama-nama orang kebanyakan dan tidak
memiliki jabatan tertentu dalam struktur pemerintahan tradisional di Jawa.
19 Liesbeth Hesselink, op.cit. hlm. 93.

siswa pada setiap angkatannya. Jumlah itu semakin meningkat menjadi dua kali lipat yaitu
antara 100 sampai 200 siswa pada periode 1890 – 1900.20
Jika dilihat dari kondisi dunia pendidikan pada saat itu, angka-angka diatas menjadi
sangat wajar karena sampai tahun 1845 hanya dari golongan bangsawan sajalah dari
masyarakat pribumi yang bisa mengenyam pendidikan sampai tingkat sekolah dasar dan
berkemampuan membaca dan menulis dalam bahasa Melayu. Oleh karena itu yang bisa
menjadi bagian Sekolah Dokter Jawa kemudian didominasi oleh golongan aristokrat Jawa.
Sampai pertengahan dekade kedua abad ke-19, keberadaan sekolah ini bagi masyarakat
pribumi sebenarnya masih samar terutama dalam hal motivasi memasukkan anak mereka
untuk mengikuti pendidikan di sekolah ini. Hal itu dikarenakan, bagi masyarakat pribumi,
ilmu pengobatan Barat masih sangat asing. Sebagian besar dari para orang tua ini justru
berharap jika anaknya lulus dari sekolah ini akan bisa menduduki jabatan di pemerintahan.
Dalam rancangan awal pendirian sekolah ini adalah bagaimana masyarakat pribumi
ikut berpartisipasi dalam menanggulangi terjadinya wabah-wabah penyakit tropis yang
sering melanda daerah-daerah di seluruh Indonesia. Oleh karena itu sebenarnya pemerintah
kolonial berharap para Dokter Jawa harus kembali lagi ke daerah asal mereka dan bukan
menjadi pejabat pemerintah di perkotaan. Walaupun tempat dan nama sekolah ini ada unsur
Jawa, namun sebenarnya asal siswanya sangat beragam. Sebagian besar tentu saja berasal
dari wilayah Jawa namun tidak sedikit asal siswa sekolah ini yang berasal dari luar Jawa.
Pada tahun 1854, sudah ada 2 orang pertama siswa yang berasal dari luar Jawa yaitu dari
Manado. Pada periode-periode berikutnya justru terjadi fenomena sebaliknya artinya siswa
yang berasal dari wilayah Jawa lebih sedikit dibandingkan dengan siswa yang berasal dari
luar Jawa. Misalnya pada tahun 1856, dari 20 orang siswa yang diterima hanya 6 orang
yang berasal dari Jawa, selebihnya berasal dari luar Jawa.
Selain menjadi pembantu dokter Eropa dan vaccinaeur, lulusan Dokter Jawa pada
periode awal ini, oleh pemerintah kolonial Belanda juga dipekerjakan perawat beberapa
penyakit antara lain: menjadi perawat penderita penyakit kusta di Leprozerien di
Karawang, penderita penyakit Siphilis di Kudus, Madiun, dan Cianjur, serta perawat umum
di rumah sakit pribumi di Malang. Bandung dan Sumedang.
Dinamika perkembangan kondisi ekonomi dan politik yang terjadi pada akhir abad
ke-19 telah membuka pos-pos pekerjaan baru bagi para dokter pribumi. Pertama, sebagai
dampak dari politik ekonomi liberal dan dibangunnya infrastruktur pendukungnya seperti
pembangunan rel kereta api, pelabuhan, dan jalan telah membuka pos pekerjaan baru bagi
para dokter. Baik dokter Eropa maupun pribumi pada periode ini banyak dijadikan sebagai
staf layanan medis pada proyek-proyek pembangunan infrastruktur tersebut. Beberapa
dokter pada periode ini juga sudah ada yang menjadi staf medis di perusahaan swasta
seperti yang dilakukan oleh perusahaan tambang timah di Bangka.
Kedua, adanya perang-perang yang dilakukan oleh Belanda untuk menganeksasi
beberapa daerah di Indonesia yang belum dikuasai sangat membutuhkan tenaga dokter
sebagai bagian yang tidak terpisahkan. Misalnya pada Perang Aceh, sejak akhir tahun 1876,
sedikitnya empat orang Dokter Jawa dikirim ke Aceh untuk menjadi staf militer Belanda
20 D. Schoute, De Geneeskundige in Nedeerlandsch-Indie gedurende de negentiende eeuw

(Batavia: G.Kolff & Co., 1936), hlm. 250.

dalam bidang medis. Selain itu ekspedisi-ekspedisi dalam bidang lain yang dilakukan oleh
pemerintah Belanda selalu menyertakan Dokter Jawa untuk menjadi bagian didalamnya.21
Ketiga, pekerjaan baru bagi Dokter Jawa adalah menjadi tenaga medis pada setiap
rombongan haji ke Mekkah. Pada setiap kapal pemberangkatan jamaah haji terdapat lebih
dari 200 orang Dokter Jawa. Salah satu Dokter Jawa yang pada tahun 1887 ikut menyertai
perjalanan haji ke Mekah adalah I. Groneman, dokter pribadi Sultan Yogyakarta. Menurut
C. Snouck Hurgronje pada tahun 1888, sudah ada seorang dokter Djawa yang ditempatkan
untuk konsul di Jeddah. Bahkan beberapa Dokter Jawa juga ada yang bekerja untuk rumah
sakit zending, seperti Dokter Jawa Ismail yang bekerja di rumah sakit zending Mojowarno
pada tahun 1920-an, dan dokter Soetomo pada tahun 1912 pernah bekerja di rumah sakit
zending Blora.
Para Dokter Jawa ini umumnya mendapatkan gaji 20 sampai 25 gulden setiap
bulannya. Jika dibandingkan dengan profesi yang setara yaitu guru pribumi, jumlah itu
relatif rendah karena gaji guru pribumi 30 gulden per bulan dan setelah bekerja lima tahun
akan menjadi 50 gulden per bulan.22 Fenomena yang lebih buruk dari itu menimpa beberapa
Dokter Jawa yang dianggap gagal dalam menjalankan tugasnya menjadi vaccinateur.
Mereka ini kemudian oleh pemerintah kolonial Belanda dipekerjakan di rumah sakit
pribumi Malang menjadi pembantu dokter Eropa, mandor jaga, dan pengasuh. Pembantu
dokter Eropa di rumah sakit itu digaji 8 gulden/bulan, mandor 6 gulden/bulan, dan
pengasuh 10 gulden/bulan. Rendahnya gaji dan politik diskriminasi yang dilakukan
pemerintah kolonial telah memaksa Dokter Jawa kemudian membuka praktek sendiri,
walaupun hal ini sangat disangsikan oleh para dokter Eropa dan pemerintah sendiri.
Pada tahun 1864, besaran gaji Dokter Jawa sama dengan jumlah gaji guru tahun
1858, yakni 30 gulden/bulan. Jumlah itu kemudian naik pada tahun 1875 menjadi 50/bulan
dan akan mendapatkan kenaikan sebesar 10 gulden setelah bekerja pada pemerintah selama
lima tahun. Gaji maksimal Dokter Jawa pada periode ini adalah 90 gulden/bulan setelah dia
bekerja selama 20 tahun kepada pemerintah kolonial. Namun gaji tertinggi Dokter Jawa
tersebut jika dibandingkan dengan gaji guru pada periode yang sama masih lebih rendah.
Seorang guru pada waktu itu mendapatkan gaji 75 gulden/bulan dan setiap tiga tahun
meningkat 15 gulden sampai maksimal gaji 150 gulden/bulan. Tidak ada argumen dari
pihak pemerintah yang bisa menjelaskan mengenai perbedaan yang mencolok antara gaji
Dokter Jawa dengan guru pada akhir abad ke-19 ini.23
Gaji dokter mengalami kenaikan setelah C. Snouck Hurgronje memberi saran
kepada Direktur Departement van Onderwijs, Eeredienst en Nijverheid (DOEN) bahwa
pendapatan para Dokter Jawa masih jauh dibandingkan dengan tuntutan pekerjaan mereka.
Oleh karena itu C. Snouck Hurgronje menyarankan untuk dilakukannya kenaikan gaji
Dokter Jawa secara signifikan. Akhirnya atas saran tersebut jumlah gaji Dokter Jawa
dinaikkan, untuk gaji awal sebesar 70 gulden/bulan dan menjadi 150 gulden setelah 12
21 A. de Waart, op.cit., hlm. 251.
22 Liesbeth Hesselink, ibid., hlm. 95.
23 Liesbeth Hesselink, ibid., hlm. 165.

tahun. Pada awal abad ke-20, tepatnya pada tahun 1910 gaji Dokter Jawa dinaikkan lagi,
dengan gaji awal sebesar 150 gulden/bulan dan menjadi 250 gulden/bulan setelah 12 tahun.
Gaji merupakan salah satu objek isu yang sering diangkat dan dikeluhkan oleh para
dokter pribumi bahkan sampai pada tingkat Volksraad karena mereka merasa didiskriminasi
oleh pemerintah kolonial. Sekitar tahun 1900, seorang dokter pribumi bernama W.K.
Tehupeiory dalam sebuah ceramahnya di depan masyarakat Indonesia di Den Haag
mengatakan bahwa pejabat pribumi setingkat Asisten Wedana menerima gaji antara 120150 gulden per bulan sementara Dokter Jawa menerima 70 gulden. Pendapat itu dibenarkan
oleh dokter Belanda yang bertugas kotapraja Semarang W. Th. Vogel, menurutnya adalah
gaji maksimal Dokter Jawa lebih rendah dari gaji setiap pejabat pribumi lainnya.
Selain gaji, diskriminasi yang harus diterima oleh Dokter Jawa lainnya adalah
pelarangan penggunaan payung. Pada abad ke-19 dalam upacara-upacara resmi tradisional
yang diselenggarakan oleh aristokrat Jawa, terdapat beberapa peralatan yang selalu
digunakan, yaitu kotak sirih, tombak, payung, beberapa ornament yang selalu menempel di
baju kebesaran. Untuk mengetahui tingkatan jabatan tradisional aristokrat Jawa dalam
upacara resmi itu bahkan bisa dilihat dari warna payung yang digunakan serta jumlah garis
dan lingkarannya. Oleh karena itu payung dalam konteks ini bagi aristokrat Jawa
merupakan simbol status sosial.
Terdapat 3 kelompok dalam masyarakat kolonial yang menggunakan payung
sebagai simbol status sosialnya. Golongan pertama adalah para kepala pemerintahan
pribumi, golongan kedua adalah pemimpin wilayah pribumi (seperti bupati, asisten bupati,
dan wedana), golongan ketiga adalah para pegawai etnis Tionghoa (leutnan dan kapiten).
Selain itu beberapa golongan pejabat dalam pemetintahan Hindia Belanda juga
menggunakan payung dalam menjalankan aktivitas pekerjaannya yaitu residen dan asisten
residen.
Sebagai keturunan dari aristokrat Jawa, Dokter Jawa juga mempunyai hak untuk
menggunakan payung sebagai simbol status sosialnya. Namun tanpa alasan yang jelas,
pemerintah kolonial Belanda melarang mereka untuk menggunakan payung terutama dalam
upacara-upacara resmi. Beberapa kalangan menduga sikap pelarangan pemerintah kolonial
itu didasarkan oleh minimal 2 alasan, pertama karena para dokter Eropa dalam tugasnya
juga tidak menggunakan payung maka demikian juga dengan dokter pribumi, kedua Dokter
Jawa adalah sebuah profesi baru dalam masyarakat kolonial dan oleh karena itu harus
melepaskan simbol-simbol lama termasuk payung. Alasan diatas merupakan baru sebatas
dugaan karena baik gubernur jenderal maupun kepala dinas kesehatan Belanda tidak pernah
menjelaskan alasan resmi pelarangan penggunaan payung kepada Dokter Jawa terutama
pada saat menghadiri upacara-upacara resmi.
Setelah sekian lama penggunaan payung untuk Dokter Jawa ini menjadi polemik
yang berkepanjangan, pada tahun 1882, seorang Dokter Jawa bernama Mas Prawiro
Atmodjo yang bekerja di wilayah Priangan mengajukan permintaan resmi kepada Residen
Priangan untuk bisa menggunakan payung. Residen Priangan kemudian meneruskan
permintaan tersebut kepada Direktur DOEN, W. Stortenbeker Jr. Dalam sarannya kepada
Gubernur Jenderal F. ’s Jacob, W. Stortenbeker Jr. bahwa posisi, kemampuan, dan peran
Dokter Jawa sejak tahun 1875 telah meningkat dengan pesat. Atas dasar masukan dari
Direktur DOEN itu, Gubernur Jenderal F. ’s Jacob pada bulan November 1882 akhirnya
memberikan izin penggunaan payung bagi Dokter Jawa. Dalam keputusannya itu dijelaskan

bahwa payung hanya diizinkan digunakan oleh Dokter Jawa yang bekerja untuk pemerintah
Hindia Belanda dan berada di wilayah Jawa dan Madura saja. Hal ini berarti Dokter Jawa
yang memilih untuk membuka praktek swasta tetap tidak diizinkan menggunakan payung
walaupun dia keturunan dari aristokrat. Selain pertimbangan diatas, pemerintah kolonial
Belanda juga memandang bahwa izin pemakaian payung bagi Dokter Jawa justru akan
menambah rasa percaya diri dan meningkatkan rasa hormat mereka akan kemampuannya.
Masih berhubungan dengan pakaian, pada tahun 1902, Dokter Jawa bernama Raden
Moekadi meminta izin kepada pemerintah untuk diperbolehkan memakai pakaian Barat.
Alasan yang dikemukakannya adalah pakaian Barat lebih praktis dibandingkan dengan
pakaian tradisional, selain itu para Dokter Jawa dengan berpakaian tradisional sering
diperlakukan kasar oleh petugas kereta api dan kapal laut. Pemerintah kolonial akhirnya
mengizinkan permohonan ini dan sejak saat itu sebagian Dokter Jawa banyak yang
menggunakan pakaian Barat sebagai pakaian resmi mereka. Dalam konteks lain, hal ini bisa
dilihat sebagai upaya melawan diskriminasi karena dengan menggunakan pakaian model
Barat tidak bisa dibedakan lagi antara dokter Eropa dengan dokter pribumi dalam hal
pakaian.24
Semua siswa sekolah ini diwajibkan menggunakan atribut yang disediakan oleh
pihak sekolah. Atribut itu adalah sebuah blangkon bernomer dengan lambang ilmu
kedokteran (ular melilit tongkat atau serpent and staff) dan sebuah sabuk. Kedua atribut itu
wajib digunakan oleh semua siswa pada tiga tahun akademik terakhir. Jika siswa
meninggalkan sekolah tanpa memakai atribut tersebut maka pihak sekolah akan
menghukumnya. Atribut ini yang dikenakan oleh siswa STOVIA ini sangat mirip dengan
atribut yang dikenakan oleh siswa dari Opleiding School voor Inlandsche Ambtenaren
(OSVIA) atau sekolah untuk mendidik pegawai bumiputera.
Dalam konteks hubungan sosial dan budaya, sebagai orang yang berasal dari
masyarakat asli pribumi, posisi Dokter Jawa ditempatkan sebagai jembatan antara
penduduk pribumi dengan dunia kedokteran Barat. Posisi itu memang sesuai dengan
pekerjaan sehari-hari Dokter Jawa yang lebih banyak menangani pasien penduduk pribumi
dibandingkan dengan dokter Eropa. Dalam beberapa kasus, menurut Kepala BGD, A.G.
Vorderman, kemampuan Dokter Jawa lebih baik dibandingkan dengan dokter Eropa dalam
menangani penyakit dikalangan masyarakat pribumi karena Dokter Jawa menguasai bahasa
dan budaya lokal. Hal ini terjadi karena sebagian besar dokter Eropa tidak menguasai
bahasa lokal, sehingga terdapat hambatan sosial dan budaya ketika dokter Eropa melakukan
layanan medis kepada masyarakat pribumi. Dalam konteks inilah posisi dan peran penting
Dokter Jawa yang tidak bisa digantikan oleh dokter Eropa.
Dalam beberapa kasus, pejabat pemerintah Belanda justru lebih percaya kepada
Dokter Jawa daripada dokter Eropa. Sebagai dampak dari terjadinya perlawanan Orang
Sasak di Lombok yang daerahnya tidak mau dianeksasi maka terjadilah perang antara tahun
1894-1900. Kontrolir Lombok A.J.N. Engelberg melaporkan bahwa setelah perang selesai
kemudian justru terungkap beberapa penyakit yang ada diantara masyarakat Sasak, salah
satunya adalah cacar yang kemudian menjadi epidemi. Pengendalian epidemi cacar pada
masyarakat Sasak pada waktu itu terkendala masalah sosio-kulural, hal itu disebabkan
24 Liesbeth Hesselink, ibid., hlm. 180

orang Sasak menolak vaksinasi. Mereka percaya sakit yang dideritanya disebabkan oleh
adanya roh jahat yang masuk dalam tubuhnya. Dokter Eropa tidak bisa mengatasi kondisi
ini, akhirnya Engelberg mengandalkan Dokter Jawa untuk melakukan vaksinasi. Kepada
masyarakat Sasak, para Dokter Jawa ini mengatakan bahwa vaksinasi adalah air suci yang
bisa mengusir roh jahat dalam tubuh.
Wilayah Indonesia yang sangat luas dan menjamurnya epidemi penyakit tropis pada
awal abad ke-20 menyebabkan banyaknya permintaan profesi ini. Walaupun jumlah
siswanya dari periode ke periode selalu mengalami peningkatan namun STOVIA tetap
tidak bisa memenuhi kebutuhan akan dokter pada waktu itu. Kondisi ini terjadi sampai
akhir masa kolonialisme di Indonesia. Pada tahun 1930 di Indonesia hanya ada 1.030 orang
dokter, 667 diantaranya ada di Jawa. Jika dibandingkan dengan jumlah penduduk di
Indonesia pada waktu itu, maka perbandingan adalah seorang dokter melayani 62.000
orang untuk di Jawa dan 52.000 orang untuk di luar Jawa.25
D. Pendidikan Kedokteran pada Masa Pendudukan Jepang

Pada masa ini, pendidikan kedokteran di Surabaya (NIAS) ditutup oleh pemerintah
Jepang, sementara yang Sekolah Tinggi Kedokteran di Jakarta juga sempat ditutup selama 6
bulan. Adalah inisiatif seorang mahasiswa NIAS bernama Soejono Martosewojo dibantu
perwakilan mahasiswa Jakarta-Surabaya serta didampingi oleh Dr. Abdul Rasjid dan
beberapa dosen, mengajukan penggabungan konsep kurikulum eks-GHS dan eks-NIAS.
Prof. Ogira Eiseibucho yang ketika itu menjabat sebagai Kepala Kantor Kesehatan
Pemerintah Militer Jepang, menyetujui proposal tersebut. Menindaklanjuti hal tersebut,
komite pendidikan segera dibentuk, selain untuk mengembangkan kurikulum pendidikan
kedokteran, juga mempromosikan staf pengajar untuk menjadi dosen, asisten dosen, dan
guru besar. Bersamaan dengan itu, terbentuk pula komite yang terdiri dari mahasiswa Jakarta
dan Surabaya. 26
Komite ini mengembangkan rencana untuk menggabungkan eks-GHS dan eksNIAS menjadi sekolah kedokteran dengan lama pendidikan 5 tahun. Penyesuaian
penerimaan siswa pun dilakukan untuk menunjang sistem pendidikan tersebut. Akhirnya
pada tanggal 29 April 1943, sekolah kedokteran bernama Ika Daigaku dibuka sebagai hadiah
dari pemerintah Jepang untuk Indonesia, dengan Prof. Itagaki sebagai dekan fakultas.
Sementara itu di Semarang didirikan Sekolah Pembantu Dokter yang disebut dengan Hojoi,
siswa sekolah ini diambil dari para perawat dengan masa studi satu tahun.
E. Pendidikan Kedokteran masa Awal Kemerdekaan

Ketika kekuasaan Jepang berakhir dengan diproklamirkan kemerdekaan Indonesia
tahun 1945, Ika Daigaku akhirnya diambil alih oleh Pemerintah Republik Indonesia dan
diganti namanya menjadi Perguruan Tinggi Kedokteran Republik Indonesia. Ketika terjadi
agresi militer I tahun 1946, Perguruan Tinggi Kedokteran Republik Indonesia terpaksa
25 M.C.Ricklefs, Sejarah Indonesia Modern (Yogyakarta: Gadjah Mada University Press,
1998), hlm. 234.
26 http://www.fk.ui.ac.id

mengungsi bersama Pemerintah Republik ke daerah. Perguruan Tinggi Kedokteran
Republik Indonesia dipencar tempatnya di Jakarta, Solo, Klaten dan Malang sebagai
tindakan persiapan terhadap kemungkinan pembumihangusan Belanda. Pada tahun ini juga,
Pemerintah Belanda mendirikan "Nooduniversitet van Indonesia" dan satu diantaranya
adalah "Geneeskundige Faculteit" di Rumah Sakit Cikini Jakarta dengan 128 mahasiswa
(63 orang Cina, 63 orang Belanda dan 2 orang Indonesia). Pemerintah Belanda membuka
kembali Faculteit der Geneeskunde dan cabangnya di Surabaya pada tanggal 1 September
1948 . Faculteit der Geneeskunde cabang Surabaya yang dibuka pada tahun 1948 baru
dimulai dengan tingkat persiapan, namun pada tahun 1951 telah lengkap sampai Tingkat
VII dengan cara menerima mahasiswa eks sebelum perang yang sudah duduk di tingkat
atas. Ketika terjadi penyerahan kedaulatan dari pemerintah Belanda kepada pemerintah
Indonesia pada 29 Desember 1949, maka turut serta penyerahan Faculteit der Geneeskunde
baik yang ada di Jakarta maupun Surabaya.
Tanggal 1 April 1950, Prof. Dr. G.M. Streef menyerahkan jabatan Ketua Faculteit
der Geneeskunde kepada Prof. Dr. Moch. Syaaf. Selanjutnya, nama Faculteit der
Geneeskunde diganti namanya menjadi Fakultet Kedokteran di Jakarta dan cabangnya
Fakultet Kedokteran di Surabaya. Fakultet Kedokteran di Jakarta kemudian menjadi
Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia sedangkan Fakultet Kedokteran di Surabaya
menjadi Fakultas Kedokteran Universitas Airlangga. Sementara itu Perguruan Tinggi
Kedokteran (PTK) yang ada di Klaten menjadi cikal bakal Fakultas Kedokteran Universitas
Gadjah Mada yang didirikan pada tahun 1949. Pendidikan Kedokteran setelah tahun 1950
dikelola oleh Kementerian Pendidikan, Pengajaran dan Kebudayaan. Kementerian
Kesehatan hanya berwenang menangani pendidikan tenaga paramedik.27

27 Departemen Kesehatan RI, Sejarah Kesehatan Nasional II (Jakarta: Depkes, 1978), hlm.