141804244 Debat Plus dan id. docx
PENINGKATAN KETERAMPILAN DEBAT PLUS SISTEM BRITISH PARLIAMENTARY
DALAM PROSES PEMBELAJARAN ‘SPEAKING’
PADA MAHASISWA ‘ENGLISH DEBATE CLUB’ STAIN BUKITTINGGI
HAYATI SYAFRI, S.S, M.Pd
STAIN SJECH M. DJAMIL DJAMBEK
BUKITTINGGI
2013
haya
DAFTAR ISI
Halaman
HALAMAN JUDUL
……………………………………….......................... i
PERSETUJUAN
……………………………….……………………............ ii
PENGESAHAN
……………………………………………………………… iii
PERNYATAAN
…………………………………………………………….. iv
MOTTO
………………………………………………………...................... v
PERSEMBAHAN
……………………………………………………….......... vi
KATA PENGANTAR
……………………………………………………… vii
DAFTAR ISI
………………………………………………………………... ix
DAFTAR LAMPIRAN
……………………………………………………… xii
DAFTAR TABEL
………………………………………………………….. xiii
DAFTAR TABEL LAMPIRAN
……………………………………………. xiv
DAFTAR GAMBAR
……………………………………………………….. xv
ABSTRAK
………………………………………………………………….. xvi
BAB I PENDAHULUAN
…………………………………………………… 1
Latar Belakang Masalah ………………………………………… 1B.
Identifikasi Masalah …………………………………………….. 5C.
Pembatasan Masalah ……………………………………………. 6D.
Perumusan Masalah …………………………………………….. 6E.
Tujuan Penelitian ……………………………………………….. 7F.
Manfaat Penelitian ……………………………………………… 7G.
Batasan Istilah…………………………………………………… 8
BAB II KAJIAN TEORI
…………………………………………………... 9A.
Deskripsi Teori ………………………………………………….. 91.
Hakikat Berbicara ……………………………………………. 9a.
Pengertian Berbicara ……………………………………… 9b.
Tujuan Berbicara …………………………………………. 10c.
Faktor Penghambat Berbicara …………………………….. 10d.
Faktor Penunjang Berbicara ………………………............ 11e.
Bentuk Kegiatan Berbicara ……………………………… 122.
Diskusi Sebagai Salah Satu Ragam Keterampilan Berbicara ... 13
t
. BAB I
PENDAHULUAN
1.1 Latar Belakang
Berbicara merupakan suatu aktivitas kehidupan manusia normal yang sangat penting.
Dengan berbicara kita dapat berkomunikasi antara sesama manusia, menyatakan pendapat,
menyampaikan maksud dan pesan, mengungkapkan perasaan dalam segala kondisi emosional
dan lain sebagainya. Kalau diamati dalam kehidupan sehari-hari, banyak didapati orang yang
berbicara. Namun tidak semua orang didalam berbicara itu memiliki kemampuan yang baik
didalam menyampaikan isi pesannya kepada orang lain sehingga dapat dimengerti sesuai
dengan keinginannya, dengan kata lain, tidak semua orang memiliki kemampuan yang baik
didalam menyelaraskan atau menyesuaikan dengan detail yang tepat antara apa yang ada
dalam pikiran atau perasaannya dengan apa yang diucapkannya sehingga orang lain
yangmendengarkannya dapat memiliki pengertian dan pemahaman yang pas dengan keinginan
sipembicara
Keterampilan berbicara merupakan keahlian yang diharapkan dapat teraplikasi dengan baik oleh
penuturnya. Keterampilan ini merupakan suatu indikator yang penting bagi keberhasilan mahasiswa
dalam belajar Bahasa Inggris. Dengan penguasaan keterampilan berbicara yang baik, mahasiswa
diharapkan dapat mengomunikasikan ide-ide mereka di areal kampus dan lingkungan masyarakat
dengan mereka yang sama-sama mengerti Bahasa Inggris maupun dengan penutur asing Bahasa Inggris.
Semakian tinggi keterampilan berbicara bahasa Inggris mereka maka akan semakin mudah dan lancarlah
mereka dalam mengexpresikan ide dan gagasan yang mereka miliki. Tentu saja akhirnya akan semakin
terasa manfaat ilmu bahasa yang mereka coba kuasai selama ini.
Berhubungan dengan pernyataan di atas, Ur (1996) menyatakan bahwa “Jika seseorang
menguasai suatu bahasa secara intuitif, ia akan mampu berbicara dalam bahasa tersebut”. Pendapat ini
jelas mengindikasikan bahwa keterampilan berbicara mengisyaratkan agar seseorang mengetahui seluk
beluk bahasa itu. Selain itu, keterampilan berbicara bisa juga digunakan sebagai suatu media untuk
belajar bahasa (Izquirdo, 1993). Dalam hal ini tentu saja keterampilan berbicara sangat terkait dengan
pelafalan bunyi, pengungkapan kosakata, gramatika bahasa, dan juga terkait dengan berbagai bentuk
keterampilan bahasa lainnya seperti mendengarkan,menulis dan membaca. Jadi keterampilan berbicara
sangat menentukan keberhasilan seseorang dalam mendalami bahasa. Selain itu keterampilan berbicara
sangat penting dalam pembelajaran bahasa sebagai bukti penguasaan mahasiswa akan materi yang
diberikan.
Dalam peradaban manusia, keterampilan berbicara selalu mengalami perkembangan dan
peningkatan. Sejarah membuktikan bila di antara liku-liku kegiatan berbicara tersebut mengalami
perkembangan, akan terbentuk kemjauan peradaban dalam bentuk kegiatan berbicara yang lebih
terorganisir. Dalam hal ini terlahirlah debat yang berawal dizaman Romawi kuno. Dalam konteks
masyarakat Indonesia, budaya debat baru muncul secara umum lewat televisi setelah terjadi reformasi di
negeri ini. Kegiatan ini menarik banyak pihak dan diminati oleh berbagai elemen masyarakat, akademisi,
tokoh pergerakan, politikus, dan lain-lain karena merupakan olah fokal yang terangkum dari ketajaman
anallitis yang mendalam akan suatu kasus dan permasalahan. Meski dunia debat dalam konteks
masyarakat kita saat ini masih belum ideal, titik ini merupakan langkah awal yang memang harus
ditempuh menuju msyarakata Indonesia yang lebih maju menuju tingkat peradaban dunia yang lebih
mulia.
Debat adalah kegiatan dalam mengadu argumentasi dari dua pihak atau lebih, baik secara
perorangan maupun berkelompok. Mereka beradu pandang dalam mendiskusikan dan
memutuskan masalah dan perbedaan. Secara formal, debat banyak dilakukan dalam lembaga
legislatif seperti dalam parlemen terutama dinegara-negara yang menggunakan system oposisi.
Selain itu debat juga diselenggarakan secara formal antar kandidat legislatif dan antar calon
presiden/wakil presiden yang umum dilakukan menjelang pemilihan umum. Mereka saling
berkompetisi untuk menampilkan kemampuan mereka untuk menampilkan yang terbaik agar
mendapat dukungan dan simpati khalayak ramai dengan tujuan terpilih dengan suara
terbanyak.
Disamping jenis debat diatas, terdapat lagi jenis debat kompetitif lainnya dalam bentuk
permainan yang biasa dilakukan di tingkat sekolah dan universitas. Dalam hal ini, debat
dilakukan sebagai pertandingan dengan aturan yang jelas dan ketat antara dua pihak yang
masing-masing mendukung dan menentang sebuah pernyataan yang dikemukakan oleh panitia.
Debat disaksikan oleh banyak penonton dan dinilai oleh satu atau beberapa orang juri yang ditunjuk
untuk menentukan pemenang dari debat tesebut. Tim yang berhasil menunjukkan pengetahuan dan
kemampuan nya sehingga dapat meyakinkan para juri adalah tim debat yang lebih baik dan yamg akan
maju sebagai pemenang. Dalam hal ini mereka adalah tim yang paling menguasai keterampilan dalam
berdebat.
Keterampilan berdebat seseorang, sangat dipengaruhi oleh dua faktor utama yaitu internal dan
eksternal. Hal ini diuangkapkan oleh Agung (2008) dengan menjelaskan bahwa maksud faktor internal
disini adalah segala potensi yang ada di dalam diri orang tersebut, baik fisik maupun non fisik faktor pisik
yang menyangkut kesempurnaan organ-organ tubuh yang digunakan didalamb erbicara misalnya, pita
suara, lidah, gigi, dan bibir, sedangkan faktor non fisik diantaranya adalah: kepribadian (kharisma),
karakter, temparamen, bakat (talenta), cara berfikir dan tingkat intelegensia. Sedangkan faktor eksternal
misalnya tingkat pendidikan, kebiasaan, dan lingkungan pergaulan. Namun demikian, kemampuan atau
keterampilan berdebat tidaklah secara otomatis dapat diperoleh atau dimiliki oleh seseorang walaupun
ia sudah memiliki dua faktor penunjang ini dengan baik. Kemampuan atau keterampilan berdebat yang
baik akan dapat dimiliki dengan jalan mengasah, mengolah serta melatih seluruh potensi yang ada
dengan melibatkan kerjasama tim. Harus ada tim dan komunitas yang solit yang akan menunjang latihan
mereka dalam berdebat.jika tidak, mereka tetap saja kehilangan media untuk berlatih
Di STAIN Sjech M. Djamil Djambek Bukittinggi baru terbentuk satu kelompok debat yang diberi
nama ‘English Debate Club’ (EDC). Klub ini terlahir dari keterbutuhan kampus STAIN akan kualitas
mahasiswa dalam keterampilan debat. Mahasiswa ini dibutuhkan agar siap untuk dikirim ke perayaan
regular lomba debat PTAIN se Indonesia yang skalanya tentu saja besar dan bergengsi. Dengan di ‘back
up’ oleh ‘English Debate Club’ (EDC) ini, diharapkan mahasiswa kita akan semakin terasah dan terpacu
untuk meningkatkan keterampilan debat mereka.
Keanggotaan dalam kelompok ini didiri dari utusan perkelas masing-masing empat orang
perangkatan sehingga diharapkan akan tercetaklah pengkaderan yang optimal. Mereka telah memiliki
jadwal latihan debat yang rutin. Tiap-tiap tim akan dipertemukan dengan tim lain dengan
memperdebatkan satu permasalahan yang telah ditetapkan oleh English Community Club (ECC) yang
berada dibawah HMPS Prodi Bahasa Inggris.
Permasalahan yang terjadi adalah ternyata mahasiswa banyak yang agak keberatan untuk
menjadi tim debat walau akhirnya mau juga karena rasa ketidakmampuan mereka disaat merasakan
debat dikelas yang pernah di tuntun oleh dosen ‘speaking’ mereka. Mereka masih mengalami kesulitan
untuk menyampaikan ide, gagasan, pikiran dan pertanyaan mereka dalam bahasa Inggris dengan
menggunakan keterampilan debat dengan baik dan benar. Selain itu masih terdapatnya kekurangtepatan
pelafalan, pemilihan kosa kata, ketatabahasaan, dan keterbiasaan dengan system debat. Hal ini
disebabkan karena debat memang bukan hanya berkomunikasi seperti biasa. Namun komunikasi yang
tingkatnya sudah ketahap yang lebih tinggi. Dalam debat mereka dituntut kritis dan paham akan kasus
yang disampaikan serta bisa mengutarakannya dengan baik. Inilah yang sering menggelitik pikiran
mereka sehingga banyak yang merasa tidak terlalu mampu untuk melakukan debat. Selain itu,
merekapun jarang melakukan debat dikelas karena sistem debat yang diberikan dosen dikelas tidak bisa
optimal mengasah kemampuan debat mereka akibat jumlah dan waktu yang terbatas. Akibatnya mereka
tidak terlalu familiar dengan pengalaman dalam berdebat dan juga tidak familiar dengan aturan debat
yang telah distandarkan dalam debat PTAIN se Indonesia sebelumnya.
Fenomena seperti ini merupakan permasalahan yang perlu segera ditemukan alternatifalternatif pemecahannya. Salah satu upaya yang dapat dijadikan alternatif pemecahan masalah tersebut
adalah dengan langsung menerapkan system British Parliamentary dalam ECD dan menjadikan aktifitas
debat rutin dengan system ini sebagai wadah untuk mengasah kemampuan ‘speaking’ mereka.
Karena kondisi diatas inilah akhirnya penulis berkeinginan untuk melakukan penelitian tindakan
kelas dengan selalu mengontrol pelaksanaan debat sambil menyempurnakan penelitian ini dengan judul
PENINGKATAN KETERAMPILAN DEBAT PLUS SISTEM BRITISH PARLIAMENTARY DALAM PROSES
PEMBELAJARAN ‘SPEAKING’ PADA MAHASISWA ‘ENGLISH DEBATE CLUB’ STAIN BUKITTINGGI.
Penggunaan kata plus dimaksudkan untuk menyampaikan pesan adanya
“manipulasi/modifikasi’ terhadap sebuah metode pembelajaran keterampilan berdebat sehingga
mahasiswa tidak bosan karena diajak belajar sambil bermain dengan permainan (games) serta kuis.
Game dan kuis dicantumkan dalam metode ini mulai dari teknik pembagian kelompok, kegiatan dalam
debat, ataupun di tengah-tengah kegiatan atau setelah kegiatan debat.
1.2 Rumusan Masalah
Berdasarkan latar belakang masalah di atas, rumusan masalah penelitian ini dapat dirangkumkan
sebagai berikut:
1) Apakah permasalahan utama yang dialami mahasiswa dalam berbicara saat berdebat dari segi
pelafalan, tata bahasa, pemilihan kosa kata dalam bahasa Inggris?
2) Bagaimanakah mekanisme penerapan metode debat plus sistem British Parlimentary dalam
peningkatan keterampilan berbicara bahasa Inggris mahasiswa EDC?
3) Bagaimanakah hasil pembelajaran keterampilan berbicara Bahasa Inggris mahasiswa setelah tindakan
(treatment) dilakukan?
1.3 Tujuan Penelitian
1.3.1 Tujuan Umum
Secara umum, penelitian ini bertujuan untuk mengetahui efektivitas kegiatan “debat plus sistem
British Parlimentary” dalam proses pembelajaran ‘speaking’ dalam meningkatkan kemampuan berbicara
Bahasa Inggris mahasiswa EDC STAIN Bukittinggi. Efektivitas dalam penelitian ini berarti bagaimana debat
plus sistem British Parlimentary dapat meningkatkan aspek-aspek kebahasaan dari kemampuan
berbicara, baik aspek verbal maupun aspek nonverbal.
1.3.2 Tujuan Khusus
Secara khusus, penelitian ini bertujuan untuk:
1) Mengetahui permasalahan utama yang dialami mahasiswa dalam berbicara saat berdebat dari segi
pelafalan, tata bahasa, pemilihan kosa kata dalam bahasa Inggris
2) Mendeskripsikan mekanisme penerapan metode debat plus sistem British Parlimentary dalam
peningkatan keterampilan berbicara bahasa Inggris mahasiswa EDC?
3) Memperoleh gambaran tentang hasil pembelajaran keterampilan berbicara bahasa Inggris setelah
tindakan (treatment) dilakukan.
1.4 Ruang Lingkup Penelitian
Penelitian ini memerlukan pembatasan pada pembahasannya agar permasalahan yang hendak diteliti
tidak terlalu luas. Adapun ruang lingkup penelitian ini dijabarkan sebagai berikut:
1) Permasalahan utama yang dialami mahasiswa dalam berbicara saat debat bahasa Inggris
dari segi pelafalan, tata bahasa dan pemilihan kosa kata bahasa Inggris;
2) Mekanisme penerapan metode debat plus sistem British Parlimentary dalam peningkatan
keterampilan berbicara bahasa Inggris mahasiswa EDC yang meliputi penilaian kemampuan berbicara
siswa dibatasi pada communication skills yang mencakup ketepatan berbahasa (accuracy), kelancaran
(fluency), pemahaman topic (comprehensibility), dan metode penyampaian argumen (methods of
delivering arguments).
3) Menganalisis hasil pembelajaran keterampilan berbicara bahasa Inggris melalui metode debat plus
sistem British Parlimentary dalam meningkatkan keterampilan berbicara mahasiswa EDC yang mencakup
peningkatan pemakaian bahasa siswa dibatasi pada kemampuan pelafalan, tata bahasa (grammar) dan
kosa kata (vocabulary).
1.5 Manfaat Penelitian
Manfaat yang diperoleh dari penelitian ini ada dua macam, yaitu manfaat akademis dan manfaat
praktis. Secara akademis, penelitian ini diharapkan dapat bermanfaat untuk pengembangan teori
pembelajaran bahasa, khususnya yang berkenaan dengan pembelajaran keterampilan berbicara pada
siswa Kelas XI IPA SMA Pariwisata Kertha Wisata sehingga dapat dijadikan sebagai referensi untuk
penelitian- penelitian lain yang serupa. Selain itu, penelitian ini juga bermanfaat untuk memperkaya
khazanah penelitian, terutama yang berupa penelitian tindakan kelas. Secara praktis, penelitian ini
diharapkan dapat bermanfaat bagi guru bahasa Inggris khususnya guru Kelas XI IPA dan bagi siswa. Bagi
guru, penelitian ini dapat dijadikan model pembelajaran berbicara yang lebih efektif sehingga dapat
memberikan alternatif teknik dalam pembelajaran pengembangan keterampilan berbicara. Bagi siswa,
manfaat yang dapat diambil dari penelitian ini adalah untuk meningkatkan motivasi dan keterampilan
berbicara di kelas.
6
BAB II
KAJIAN PUSTAKA, KONSEP, LANDASAN TEORI,
DAN MODEL PENELITIAN
Pada bab ini berturut-turut disajikan beberapa hal seperti kajian pustaka,
konsep, landasan teori, dan model penelitian.
2.1 Kajian Pustaka
Penelitian mengenai keterampilan berbahasa pada umumnya dan
keterampilan berbicara pada khususnya bukanlah hal baru dalam dunia
pendidikan. Para mahasiswa jurusan pendidikan Bahasa dan Sastra Inggris telah
banyak melakukannya. Penelitian-penelitian tersebut merupakan penelitian
tindakan kelas untuk memperbaiki pembelajaran keterampilan berbicara yang
berlangsung selama ini.
Pustaka-pustaka yang mendasari penelitian ini adalah tulisan hasil
penelitian terdahulu yang relevan dengan penelitian ini. Beberapa penelitian yang
mengangkat permasalahan pembelajaran keterampilan berbicara, antara lain,
dilakukan oleh Sumarwati (1999), Dewi (2003), dan Hubert (2008)
Sumarwati (1999) meneliti tentang peningkatan keterampilan berbicara
siswa melalui teknik bermain peran di SLTPN 8 Denpasar. Dari hasil penelitian
itu diperoleh simpulan bahwa teknik bermain peran dapat meningkatkan
keterampilan berbicara siswa. Secara kuantitatif, hasil penelitian melalui dua
siklus itu menunjukkan peningkatan sebesar 10,6% untuk aspek kebahasaan dan 7
11,6% untuk aspek nonkebahasaan. Penelitian yang dilakukan oleh Sumarwati
berbeda dengan penelitian ini karena jenis penelitian sebelumnya merupakan
penelitian secara deskriptif guna mendeskripsikan fenomena dan permasalahanpermasalahan yang terjadi di lapangan sehubungan dengan prosedur yang
diterapkan oleh guru dalam proses pengajaran speaking di SLTPN 8 Denpasar,
sedangkan penelitian ini bersifat improftif (perbaikan) yang bertujuan untuk
mendeskripsikan perbedaan hasil belajar siswa dalam pengajaran speaking
sebelum dan sesudah tindakan dilakukan.
Dewi (2003) dalam penelitiannya yang berjudul “The Success of
Communication Approach in teaching-learning process at the third levels of IEC
Denpasar 01” membahas tentang keberhasilan pendekatan komunikatif dalam
proses belajar mengajar pada level ketiga di lembaga pendidikan bahasa Inggris
IEC Denpasar 01. Penerapan pendekatan komunikatif tersebut mencakup 4
(empat) keterampilan bahasa, yaitu keterampilan mendengarkan (listening),
keterampilan berbicara (speaking), keterampilan membaca (reading), dan
keterampilan menulis (writing). Keberhasilan penerapan pendekatan komunikatif
tersebut didukung oleh peran guru dalam pemberian materi, dan peran siswa
sendiri yang memiliki kemauan yang besar dalam meningkatkan kemampuan
berbahasa Inggrisnya.
Hubert (2008) dalam penelitiannya yang berjudul ”Incorporating
Classroom Debate into University EFL Speaking Courses” membahas betapa
pentingnya debat dalam meningkatkan kemampuan berbicara di kalangan
mahasiswa Universitas Kyoto Sangyo Jepang. Studi tersebut berfokus pada 8
penerapan langkah-langkah debat formal dengan sistem “Australasian
Parliamentary Sistem”, yang mencakup peran masing-masing pembicara di kedua
tim, isi dari topik yang diperdebatkan, sehingga studi tersebut lebih menargetkan
peningkatan pemahaman (comprehensibility) daripada kelancaran (fluency) dan
ketepatan ujaran (Accuracy).
1. Hayat; Arief, Zaenal. 2005. Peningkatan Keterampilan Berbicara Siswa Kelas X-4 SMA
Negeri I Jepara melalui Diskusi dengan Pendekatan Kontekstual Fokus
Pemodelan. Skripsi. Jurusan Bahasa dan Sastra Indonesia, Fakultas
Bahasa dan Seni, Universitas Negeri Semarang. Penelitian ini merupakan penelitian yang
berbasis kelas. Dengan demikian, metode yang digunakan adalah metode Penelitian Tindakan
Kelas (PTK) yang meliputi dua siklus. Tiap-tiap siklus dilakukan secara berdaur yang terdiri atas
empat tahap, yaitu 1) perencanaan, 2) tindakan, 3) pengamatan, dan 4) refleksi. Data penelitian
diambil melalui tes dan nontes. Alat pengambilan data tes yang digunakan berupa instrumen tes
perbuatan yang berisi aspek-aspek kriteria penilaian keterampilan berbicara berupa penilaian
keterampilan berbicara melalui diskusi. Alat pengambilan data nontes yang digunakan berupa
pedoman observasi, wawancara, jurnal, dokumentasi foto, rekaman pita, rekaman video, dan
sosiometri. Selanjutnya, data dianalisis secara kuantitatif dan kualitatif.
Berdasarkan analisis data penelitian, disimpulkan bahwa melalui pendekatan
kontesktual fokus pemodelan (modeling), keterampilan berbicara siswa meningkat ebesar
sebesar 7,8%. Pada siklus I, nilai rata-rata yang diperoleh siswa sebesar 73,4%, sedangkan pada
siklus II, hasil yang dicapai sebesar 81,2%. Perilaku yang ditunjukkan siswa pun berubah setelah
diberikan tindakan. Siswa lebih antusias mengikuti pembelajaran, bekerja sama dengan baik
dalam kelompoknya, tidak gugup atau grogi dan semakin percaya diri ketika berbicara di depan
kelas.
Selanjutnya, dari hasil penelitian tersebut, saran yang dapat direkomendasikan antara lain 1)
para guru Bahasa dan Sastra Indonesia hendaknya kreatif dalam menentukan pendekatan dalam
pembelajaran keterampilan berbicara siswa agar siswa tidak merasa jenuh dengan pembelajaran
yang dihadapi, 2) para guru Bahasa dan Sastra Indonesia dapat menggunakan teknik diskusi
dengan pendekatan kontekstual fokus pemodelan untuk membelajarkan keterampilan berbicara,
3) para guru bidang studi lain dapat mengadaptasi teknik pembelajaran ini dalam membelajarkan
mata pelajaran kepada siswa, dan 4) para pakar atau praktisi bidang pendidikan bahasa dapat
melakukan penelitian serupa dengan teknik pembelajaran yang berbeda, sehingga didapatkan
berbagai alternatif teknik pembelajaran keterampilan berbicara siswa.
2. Hayat: Mudairin ROLE
PLAY:SUATUALTERNATIFPEMBELAJARANYANGEFEKTIFANMENYENANGKA
N
DALAMMENINGKATKANKETERAMPILANBERBICARASISWASLTPISLAMMAN
BAULULUMGRESIK Salah satu upaya guna meningkatkan keterampilan berbicara
siswa adalah memberikanR o l e P l a y s e b a g a i b e n t u k k e g i a t a n
p e m b e l a j a r a n b a h a s a I n g g r i s d i k e l a s . H a l i n i dimaksudkan untuk
menciptakan English atmosphere di dalam kelos. Dalam RolePlay siswa disetting pada situasi tertentu dan saling berinteraksi bersama teman-temanny
Hayat; Jafrizal UPAYAMENINGKATKANKEMAMPUANBERBICARA
BAHASAINGGRISMELALUItekNIKKWLDANPERMAINANBAHASA
http://pakguruonline.pendidikan.net
Oleh : Jafrizal *)
Abstrak.
Hasil observasi di beberapa SLTP di Bayang ditemukan bahwa banyak siswa SLTP
yang mengalami kesulitan dalam pembelajaran berbicara bahasa Inggris. Untuk ituperlu
digunakan strategi baru agar dapat meningkatkan kemampuan berbicara
mereka,yaitu dengan menggunakan teknik KWL dan permainan bahasa. Tujuan
penelitian iniadalah untuk mengetahui apakah penerapan teknik KWL dan
permainan bahasa dapatmeningkatkan kemampuan berbicara bahasa Inggris
siswa. Penelitian ini diadakan pada gugus SLTP 2 Bayang Kelas 3 semester I Tahun
Ajaran2 0 0 2 - 2 0 0 3 y a n g t e r d i r i d a n 6 s e k o l a h , w a k t u p e n e l i t i a n b e r l a n g s u n g
selama 2 bulandengan 3 siklus. Siklus I siswa melengkapi tabel kolom (K)
d a n k o l o m ( W ) d e n g a n pengalaman yang berhubungan dengan topik dan materi
yang mereka ingin ketahui.Berikutnya siswa mengemukakan hasil atau kesimpulan dari
materi yang mereka pelajarid a n d i t u l i s p a d a k o l o m ( L ) . D i s e t i a p a k h i r
pertemuan, siswa melakukan permainanbahasa sesuai dengan topik
b a h a s a n . S i k l u s I I s i s w a m e n j a w a b p e r t a n y a a n s e s u a i panduan guru peneliti.
Siklus III sebelum pembelajaran semua siswa diberi tugas belajar di rumah tentang topik bahasan
yang akan diajarkan berikutnya Hasil peneliti an menunjukkan ada peningkatan siswa yang
akti f berbicara pada sikius Is e k i t a r 1 0 % , s i k i u s I I 1 5 % d a n s i k i u s I I I s e b a n y a k
20,8%. Hal ini juga terlihat padaula ngan harian siswa,ya ng diajar den gan
m e n g g u n a k a n t e k n i k K W L d a n p e r m a i n a n bahasa lebih baik, dan persentase ketuntasan
belajar pun lebih tinggi dibanding denganyang tidak menggunakan teknik KWL. .
Hayat KEEFEKTIFAN METODE DEBAT AKTIFDALAM PEMBELAJARAN DISKUSIPADA SISWA KELAS X SMA
NEGERI 1 KUTOWINANGUN Diajukan kepada Fakultas Bahasa dan SeniUniversitas Negeri
Yogyakartauntuk Memenuhi Sebagian Persyaratanguna Memperoleh GelarSarjana Pendidikan
Penelitian ini merupakan penelitian kuantitatif, yaitu eksperimen semu(
quasi experimental
) dengan desain
control group pretest posttes desaign
.Variabel dalam penelitian ini ada dua, yaitu variabel bebas yang berupapenggunaan metode
debat aktif dan variabel terikat berupa keterampilan diskusisiswa. Populasi penelitian ini adalah
siswa kelas X SMA Negeri 1 Kutowinangunsebanyak 278 siswa. Teknik penyampelan yang
digunakan adalah
simple randomsampling
. Sampel dalam penelitian ini adalah 80 siswa. Teknik pengumpulan datadengan menggunakan
tes diskusi. Validitas instrumen yang digunakan dalampenelitian ini adalah validitas isi dengan
dikonsultasikan kepada ahlinya (
expert judgement
). Uji reliabilitas dalam penelitian ini menggunakan
Alpha Cronbrach
.Hasil penghitungan menunjukkan besarnya reliabilitas instrumen adalah 0, 946dengan p sebesar
0,000. Teknis analisis data menggunakan uji-t dan uji scheffe.Dari hasil uji statistik dapat
diperoleh nilai uji-t dan uji scheffe. Hasilpenghitungan uji-t menunjukkan bahwa skor t hitung
lebih besar dari t tabel (
t
h
:2,006 >
t
t
: 1,994) pada taraf signifikansi 5% dan db 78 dengan nilai signifikansi(2-tailed) sebesar 0,048
pada taraf signifikansi 5%. Hasil penghitungan uji scheffemenunjukkan F hitung lebih besar
daripada skor F tabel (Fh : 4,025 > Ft :3, 96)dengan db 78 dan pada taraf signifikansi 5%. Hal ini
menunjukkan bahwa (1) adaperbedaan yang signifikan antara keterampilan diskusi siswa yang
mendapatpembelajaran diskusi dengan menggunakan metode debat aktif dengan siswa
yangmendapat pembelajaran diskusi tanpa menggunakan metode debat aktif, dan
(2)pembelajaran diskusi dengan menggunakan metode debat aktif lebih efektif
3. :
2.2 Konsep
Studi yang dilakukan dalam penelitian ini terdiri dari beberapa konsep yang
memerlukan penjelasan. Konsep-konsep tersebut antara lain peningkatan,
keterampilan berbicara, pendekatan metode dan teknik pembelajaran berbicara,
dan metode debat plus.
2.2.1 Peningkatan
Peningkatan adalah suatu proses, cara, perbuatan meningkatkan (usaha,
kegiatan, dsb) (Purwadarminta, 1976: 118). Peningkatan dalam hal ini adalah
suatu proses meningkatkan kemampuan berbicara bahasa Inggris siswa.
2.2.2 Keterampilan Berbicara
Keterampilan berbicara pada hakikatnya adalah “kemampuan
mengucapkan bunyi-bunyi artikulasi atau kata-kata untuk mengekspresikan,
menyatakan serta menyampaikan pikiran, gagasan, dan perasaan” (Tarigan
1981:15).
9
2.2.3 Pendekatan, Metode, dan Teknik Pembelajaran Berbicara
Pendekatan adalah konsep dasar yang melingkupi metode dengan cakupan
teoretis tertentu. Metode merupakan jabaran dari pendekatan. Metode adalah
prosedur pembelajaran yang difokuskan ke pencapaian tujuan. Satu metode dapat
diaplikasikan melalui berbagai teknik pembelajaran. Teknik adalah cara kongkret
yang dipakai saat proses pembelajaran berlangsung, guru dapat berganti-ganti
teknik meskipun dalam koridor metode yang sama (Sugandi, 2004:15).
Pembelajaran berbicara memiliki banyak sekali teknik pembelajaran. Teknikteknik tersebut antara lain: wawancara, cerita berpasangan, pidato tanpa teks,
pidato dengan teks, mengomentari film/sinetron/cerpen/novel, debat,
membawakan acara, memimpin rapat, menerangkan obat/makanan/minuman atau
benda lainnya, bermain peran, info berantai, dan cerita berangkai (Sugandi,
2004:112-121).
2.2.4 Metode Debat Plus
Debat merupakan kegiatan bertukar pikiran antara 2 (dua) orang atau lebih
yang masing–masing berusaha memengaruhi orang lain untuk menerima usul
yang disampaikan (Simon, 2005:3). Debat dapat diartikan pula sebagai silang
pendapat tentang tema tertentu antara pihak pendukung dan pihak penyangkal
melalui dialog formal yang terorganisasi (Depdiknas, 2001: 2). Sementara itu,
”plus” merupakan penyampaian pesan melalui “manipulasi/modifikasi’ terhadap
metode debat sehingga siswa diajak belajar sambil bermain dengan berbagai
permainan (games) serta kuis. Game & kuis disertakan dalam metode debat plus 10
mulai dari teknis pembagian kelompok, kegiatan dalam debat, ataupun di tengahtengah kegiatan atau setelah kegiatan debat. Adapun untuk tema debat akan
dipilihkan tema yang terkait dengan topik materi yang dipelajari pada saat itu,
tema dari kejadian/fenomena aktual yang menantang namun tidak asing.
2.3 Landasan Teori
Sejumlah pandangan para ahli yang digunakan sebagai landasan teori
penelitian ini bersangkutan dengan: (1) berbicara dan keterampilan berbicara; (2)
faktor-faktor penunjang keefektifan berbicara; (3) pelafalan; (4) tata bahasa; (5)
kosa-kata; (6) penelitian tindakan kelas; (7) Pendekatan komunikatif
(communicative approach); (8) penilaian; (9) tes dan nontes; dan (10) metode
debat plus.
2.3.1 Berbicara dan Keterampilan Berbicara
Berbicara merupakan sebuah bentuk penyampaian informasi dengan
menggunakan kata-kata atau kalimat. Dengan kata lain, berbicara berarti
menggunakan bahasa untuk bermacam-macam tergantung dari para penuturnya.
Keterampilan berbicara adalah kemampuan mengungkapkan pendapat atau
pikiran dan perasaan kepada seseorang atau kelompok secara lisan, baik secara
berhadapan ataupun dengan jarak jauh. Harmer (1983) menyatakan bahwa
berbicara merupakan alat komunikasi yang alami antara anggota masyarakat
untuk mengungkapkan pikiran dan sebagai sebuah bentuk tingkah laku sosial.
Lebih jauh lagi Harmer (1983) menyatakan bahwa keterampilan berbicara adalah
kemampuan menyusun kalimat-kalimat karena komunikasi terjadi melalui 11
kalimat-kalimat untuk menampilkan perbedaan tingkah laku yang bervariasi dari
masyarakat yang berbeda.
Keterampilan berbicara merupakan suatu keterampilan yang kompleks dan
berkaitan dengan berbagai keterampilan mikro (Brown, 2001) seperti (1)
menghasilkan ujaran-ujaran bahasa yang bervariasi; (2) menghasilkan fonemfonem dan varian-varian alophon lisan yang berbeda dalam bahasa Inggris; (3)
menghasilkan pola-pola tekanan, kata-kata yang mendapat dan tidak mendapat
tekanan, struktur ritmis dan intonasi; (4) menghasilkan bentuk-bentuk kata dan
frasa yang diperpendek; (5) menggunakan sejumlah kata yang tepat untuk
mencapai tujuan-tujuan pragmatis; (6) menghasilkan pemberbicaraan yang fasih
dalam berbagai kecepatan yang berbeda; (7) mengamati bahasa lisan yang
dihasilkan dan menggunakan berbagai strategi yang bervariasi, yang meliputi
pemberhentian sementara, pengoreksian sendiri, pengulangan, untuk kejelasan
pesan; (8) menggunakan kelas kata (kata benda, kata kerja, dll.) sistem (tenses,
agreement dan plural), pengurutan kata, pola-pola, aturan-aturan dan bentuk
ellipsis; (9) menghasilkan pemberbicaraan yang menggunakan elemen-elemen
alami dalam frasa, stop, nafas dan kalimat yang tepat; (10) mengekspresikan
makna tertentu dalam bentuk-bentuk gramatika yang berbeda; (11) menggunakan
bentuk-bentuk kohesif dalam diskursus lisan; (12) menyelesaikan fungsi-fungsi
komunikasi dengan tepat menurut situasi, partisipan dan tujuan; (13)
menggunakan register, implikatur, aturan-aturan pragmatik dan fitur-fitur
sosiolinguistik yang tepat dalam komunikasi langsung; (14) menunjukkan
hubungan antara kejadian dan mengomunikasikan hubungan-hubungan antara ide 12
utama, ide pendukung, informasi lama, informasi baru, generalisasi dan contoh;
(15) menggunakan bahasa wajah, kinetik, bahasa tubuh dan bahasa-bahasa
nonverbal yang lainnya bersamaan dengan bahasa verbal untuk menyampaikan
makna; dan (16) mengembangkan dan menggunakan berbagai strategi berbicara,
seperti memberi tekanan pada kata kunci, parafrase, menyediakan konteks untuk
menginterpretasikan makna-makna kata, meminta pertolongan dan secara tepat
menilai seberapa baik interlokutor memahami apa yang dikatakan.
Richard (1986: 21-28) membagi fungsi berbicara menjadi tiga sebagai
berikut:
(1) Berbicara sebagai interaksi (talk as interaction)
Fungsi berbicara sebagai interaksi mengacu pada kegiatan percakapan
yang biasa dilakukan dan berhubungan dengan fungsi sosial. Fokus
utamanya adalah kepada si penutur dan bagaimana mereka
menunjukkan diri mereka kepada orang lain. Bahasa tuturannya bisa
formal ataupun berupa tuturan yang sering digunakan dalam
percakapan sehari-hari. Beberapa kemampuan yang ikut dilibatkan
dalam kegiatan berbicara sebagai sebuah interaksi, antara lain:
a) membuka dan menutup percakapan;
b) memilih topik;
c) membuat percakapan-percakapan kecil/ringan;
d) bergurau;
e) menceritakan kejadian dan pengalaman pribadi;
f) dilakukan secara bergantian;
g) adanya interupsi/menyela percakapan;
h) bereaksi terhadap satu sama lain;
i) menggunakan gaya berbicara yang sesuai.
13
(2) Berbicara sebagai transaksi (talk as transaction)
Kegiatan berbicara sebagai transaksi lebih memfokuskan kepada pesan
yang ingin disampaikan dalam kegiatan berbicara. Richard (1986: 2128). Ada dua tipe dalam kegiatan sebagai sebuah interaksi yaitu:
(a) Kegiatan yang fokus utamanya memberi dan menerima informasi,
dengan kata lain membuat orang lain mengerti dengan jelas dan
akurat terhadap pesan yang disampaikan daripada peserta tutur dan
bagaimana mereka berinteraksi dengan orang lain. Ketepatan
bukannya menjadi fokus utama selama informasi berhasil
dikomunikasikan dan dimengerti.
(b) Kedua adalah kegiatan yang fokus utamanya adalah untuk
memeroleh barang atau jasa, misalnya dalam percakapan seseorang
yang memesan makanan di restoran.
(3) Berbicara sebagai penampilan (talk as performance)
Berbicara sebagai penampilan mengacu pada kegiatan berbicara guna
menyampaikan informasi di depan umum atau peserta. Berbicara
model ini lebih kepada berbicara satu arah daripada dua arah (dialog)
dan lebih terkesan seperti bahasa tulis daripada percakapan. Richard
(1986: 21-28)
Ciri utama kegiatan berbicara sebagai penampilan adalah (a) fokus
pada pesan yang ingin disampaikan dan kepada peserta, (b) 14
mementingkan bentuk dan ketepatan ucapan, (c) bahasa yang
digunakan terkesan seperti bahasa tulis, (d) lebih sering monolog, dan
(e) struktur dan urutannya dapat diprediksikan. Dalam pembelajaran
bahasa, menurut Bygate (1995:5-6) ada dua cara mendasar yang kerap
kita lakukan yang dapat dikategorikan sebagai skill (keterampilan)
yaitu:
1) Motor-perceptive skill yang mencakup mengartikan, menghasilkan,
dan mengucapkan bunyi dan struktur bahasa secara benar.
2) Interaction skill yang mencakup membuat keputusan tentang
sebuah komunikasi misalnya ingin mengungkapkan apa,
bagaimana mengatakannya, mengembangkannya sesuai dengan
yang dimaksudkan oleh orang lain.
Belajar bahasa Inggris berarti memiliki kemampuan untuk memproduksi
ujaran grammatikal dari sebuah bahasa dan tahu bagaimana menggunakannya
dengan benar untuk dapat berkomunikasi secara efektif. (Harmer, 1983:13).
Dalam mempelajari bahasa di kelas, siswa lebih cenderung memberi perhatian
untuk menjadi lebih teliti (accuracy) akan tetapi pada dasarnya mereka juga harus
berlatih untuk menggunakan bahasa secara fasih (fluency).
Ada beberapa alasan tentang dilakukannya latihan berbicara selama
pelajaran berlangsung di kelas antara lain (Baker dan Westrup, 2003:5) antara
lain: 15
1) Kegiatan berbicara akan menguatkan pemerolehan kosakata baru, tata
bahasa, dan bahasa secara fungsional
2) Memberikan kesempatan siswa untuk menggunakan bahasa yang
dipelajarinya
3) Memberikan kesempatan kepada siswa yang lebih mahir untuk
mencoba bahasa yang telah mereka ketahui dalam situasi dan topik
yang berbeda
4) Memberikan kesempatan kepada siswa yang lebih mahir untuk
mencoba bahasa yang telah mereka ketahui dalam situasi dan topik
yang berbeda
Dengan demikian, untuk memudahkan guru dalam merancang program
pengajaran yang baik demi mencapai tujuan komunikasi, maka guru
diharuskan mengetahui fungsi bahasa yang akan dipakai siswa untuk
berinteraksi dalam sebuah komunikasi.
2.3.2 Faktor-Faktor Penunjang Keefektifan Berbicara
Seorang pembicara yang baik harus mempu memberikan kesan bahwa ia
menguasai masalah yang dibicarakan. Penguasaan topik yang baik akan
menumbuhkan keberanian dan kelancaran. Selain menguasai topik, seorang
pembicara harus berbicara (mengucapkan bunyi-bunyi bahasa) dengan jelas dan
tepat. Pengucapan bunyi bahasa yang kurang tepat dapat mengalihkan perhatian
pendengar. Ada beberapa faktor yang perlu diperhatikan seseorang untuk dapat 16
menjadi pembicara yang baik. Faktor-faktor tersebut adalah faktor verbal dan
faktor non-verbal (Arsjad dan Mukti, 1988:17).
1) Faktor Verbal
a) Ketepatan ucapan
Seorang pembicara harus membiasakan diri mengucapkan bunyi-bunyi
bahasa secara tepat. Pengucapan bunyi-bunyi bahasa yang kurang tepat dapat
mengalihkan perhatian pendengar. Hal ini akan mengganggu keefektifan
berbicara. Pengucapan bunyi-bunyi bahasa yang kurang tepat atau cacat akan
menimbulkan kebosanan, kurang menyenangkan, kurang menarik, atau setidaknya
dapat mengalihkan perhatian pendengar. Pengucapan bunyi-bunyi bahasa
dianggap cacat kalau menyimpang terlalu jauh dari ragam lisan biasa, sehingga
terlalu menarik perhatian, mengganggu komunikasi atau pemakainya (pembicara)
dianggap aneh. (Arsjad dan Mukti, 1988:19).
b) Penempatan tekanan, nada, sendi, dan durasi
Kesesuaian tekanan, nada, sendi, dan durasi merupakan daya tarik
tersendiri dalam berbicara, bahkan kadang-kadang merupakan faktor penentu.
Walaupun masalah yang dibicarakan kurang menarik, dengan penempatan
tekanan, nada, sendi, dan durasi yang sesuai akan menyebabkan masalahnya
menjadi menarik. Sebaliknya, jika penyampaiannya datar saja, hampir dapat
dipastikan akan menimbulkan kejemuan dan keefektifan tentu berkurang.
Penempatan tekanan pada kata atau suku kata yang kurang sesuai akan
mengakibatkan kejanggalan. (Arsjad dan Mukti, 1988:19) 17
Kejanggalan ini akan mengakibatkan perhatian pendengar akan beralih
pada cara berbicara pembicara, sehingga pokok pembicaraan atau pokok pesan
yang disampaikan kurang diperhatikan. Akibatnya, keefektifan komunikasi akan
terganggu.
c) Pilihan Kata (Diksi)
Pilihan kata hendaknya tepat, jelas dan bervariasi. Dalam setiap
pembicaraan pemakaian kata-kata populer tentu akan lebih efektif daripada katakata yang muluk-muluk. Kata-kata yang belum dikenal memang mengakibatkan
rasa ingin tahu, namun akan menghambat kelancaran komunikasi. (Arsjad dan
Mukti, 1988:19).
Hendaknya pembicara menyadari siapa pendengarnya, apa pokok
pembicaraannya, dan menyesuaikan pilihan katanya dengan pokok pembicaraan
dan pendengarnya. Pendengar akan lebih tertarik dan senang mendengarkan kalau
pembicara berbicara dengan jelas dalam bahasa yang dikuasainya.
d) Ketepatan sasaran pembicaraan
Hal ini menyangkut pemakaian kalimat. Pembicara yang menggunakan
kalimat efektif akan memudahkan pendengar menangkap pembicaraannya.
Seorang pembicara harus mampu menyusun kalimat efektif, kalimat yang
mengenai sasaran, sehingga mampu menimbulkan pengaruh, meninggalkan kesan
atau menimbulkan akibat. (Arsjad dan Mukti, 1988:20).
18
2) Faktor Nonverbal
a) Sikap yang wajar, tenang, dan tidak kaku
Pembicaraan yang tidak tenang, lesu dan kaku tentulah akan memberikan
kesan pertama yang kurang menarik. Dari sikap yang wajar saja sebenarnya
pembicara sudah dapat menunjukkan otoritas dan integritas dirinya. (Arsjad dan
Mukti, 1988:21). Sikap ini sangat banyak ditentukan oleh situasi, tempat dan
penguasaan materi. Penguasaan materi yang baik setidaknya akan menghilangkan
kegugupan. Namun, sikap ini memerlukan latihan. Kalau sudah terbiasa, lamakelamaan rasa gugup akan hilang dan akan timbul sikap tenang dan wajar
b) Pandangan harus diarahkan kepada lawan bicara
Pandangan pembicara hendaknya diarahkan kepada semua pendengar.
Pandangan yang hanya tertuju pada satu arah akan menyebabkan pendengar
merasa kurang diperhatikan. Banyak pembicara ketika berbicara tidak
memperhatikan pendengar, tetapi melihat ke atas, ke samping atau menunduk.
Akibatnya, perhatian pendengar berkurang. Hendaknya diusahakan supaya
pendengar merasa terlibat dan diperhatikan (Arsjad dan Mukti, 1988:21).
c) Kesediaan menghargai pendapat orang lain
Dalam menyampaikan isi pembicaraan, seorang pembicara hendaknya
memiliki sikap terbuka, dalam arti dapat menerima pendapat pihak lain, bersedia
menerima kritik, bersedia mengubah pendapatnya kalau ternyata memang keliru.
(Arsjad dan Mukti, 1988:21). Namun, tidak berarti si pembicara begitu saja 19
mengikuti pendapat orang lain dan mengubah pendapatnya. Ia juga harus mampu
mempertahankan pendapatnya dan meyakinkan orang lain. Tentu saja pendapat
itu harus mengandung argumentasi yang kuat, yang diyakini kebenarannya.
d) Gerak-gerik dan mimik yang tepat
Gerak-gerik dan mimik yang tepat dapat pula menunjang keefektifan
berbicara. Hal-hal penting selain mendapatkan tekanan, biasanya juga dibantu
dengan gerak tangan atau mimik. (Arsjad dan Mukti, 1988:21). Hal ini dapat
menghidupkan komunikasi, artinya tidak kaku. Akan tetapi, gerak-gerik yang
berlebihan akan menggangu keefektifan berbicara. Mungkin perhatian pendengar
akan terarah pada gerak-gerik dan mimik yang berlebihan ini, sehingga pesan
kurang dipahami.
e) Kenyaringan suara
Tingkat kenyaringan ini tentu disesuaikan dengan situasi, tempat, dan jumlah
pendengar. (Arsjad dan Mukti, 1988:22). Yang perlu diperhatikan adalah jangan
berteriak. Kita atur kenyaringan suara kita supaya dapat didengar oleh pendengar
dengan jelas.
f) Kelancaran
Seorang pembicara yang lancar berbicara akan memudahkan pendengar
menangkap isi pembicaraannya. (Arsjad dan Mukti, 1988:23). Seringkali
pembicara berbicara terputus-putus, bahkan antara bagian-bagian yang terputus itu 20
diselipkan bunyi-bunyi tertentu yang mengganggu penangkapan pendengar,
misalnya menyelipkan bunyi ee, oo, aa, dan sebagainya. Sebaliknya, pembicara
yang terlalu cepat berbicara juga akan menyulitkan pendengar menangkap pokok
pembicaraannya.
g) Relevansi/Penalaran
Gagasan demi gagasan haruslah berhubungan dengan logis (Arsjad dan
Mukti, 1988:24). Proses berpikir untuk sampai pada suatu kesimpulan haruslah
logis. Hal ini berarti hubungan bagian-bagian dalam kalimat, hubungan kalimat
dengan kalimat harus logis dan berhubungan dengan pokok pembicaraan.
h) Penguasaan Topik
Pembicaraan formal selalu menuntut persiapan. Tujuannya tidak lain
supaya topik yang dipilih betul-betul dikuasai. Penguasaan topik yang baik akan
menumbuhkan keberanian dan kelancaran. Jadi, penguasaan topik ini sangat
penting, bahkan merupakan faktor utama dalam berbicara (Arsjad dan Mukti,
1988:24). .
2.3.3 Pelafalan/pengucapan bahasa Inggris
Pelafalan bahasa Inggris adalah faktor yang sangat penting dalam
keberhasilan komunikasi lisan. Pelafalan yang salah dapat menyebabkan
terjadinya salah pengertian dan pada akhirnya menyebabkan gangguan
komunikasi atau communication breakdown. 21
Dalam kamus Longman Dictionary of Applied Linguistics (1985: 232),
pengucapan adalah cara mengeluarkan suara tertentu yang menekankan pada
suara yang terdengar oleh pendengarnya, dan bukan teknik mengeluarkan suara
tertentu atau yang biasa disebut artikulasi.
Bunyi dan lambang bahasa Inggris adalah salah satu dari kelompok bahasa
yang tidak sempurna karena sistem pengucapan lambang bunyinya tidak konsisten
lambang bunyi dalam alfabet yang berjumlah 26 itu dalam bahasa Inggris
mewakili lebih dari empat puluh bunyi yang berbeda. (Zubaidi, 2006: 150).
Perhatikan satu contoh cara satu lambang bunyi yang diucapkan secara berbeda:
Dane’s father who lives in a village in America, called my Dad many times.
(Widarso, 1989:31). Dalam satu kalimat tersebut terdapat sembilan lambang bunyi
yang sama, yaitu a. Namun dari satu lambang bunyi tersebut ada tujuh bunyi yang
berbeda. Bunyi yang berbeda tersebut adalah sebagai berikut: Dane [ei]; father
[a]; a [e]; village [i]; America [e] [a]; called [o:]; Dad [æ]; many [e].
Berbeda dengan bahasa Inggris, bahasa Indonesia merupakan salah satu
kelompok bahasa yang sempurna karena antara ucapan dan lambang bunyinya
konsisten (kecuali mungkin pada lambang bunyi e yang bisa dibaca [e] pada
setiap dan [é] pada kata tempe; dan pada lambang bunyi o yang bisa dibaca [o]
pada kata jodo dan [c] pada kata lombok) .
Dalam bahasa Inggris masih terdapat banyak lagi masalah
pengucapan yang serupa itu. Hal ini menjadi hambatan yang cukup besar
khususnya bagi pembelajar, apalagi bagi pembeajar pemula. Khusus untuk bunyi 22
vokal sendiri, bahasa Inggris ,mempunyai 20 bunyi yang berbeda dan
dilambangkan dalam satu lambang atau dua lambang. Berikut ini adalah daftar
bunyi baik vokal dan konsonan dalam bahasa Inggris.
Tabel 2.1 Daftar bunyi vokal bahasa Inggris
(Ladefoged, 1989: 56)
Front Central Back
Long Short Long Short Long Short
Close i: I
Mid
u: ʊ
З: ə ɔ:
Open æ ʌ a: a
Tabel 2.2 Daftar bunyi vokal dan lambang bunyi dalam bahasa Inggris
(O’Connor, 1980: 44)
Bunyi Lambang
bunyi
i: feel
I fill
e fell
ɔ: fall
u full
ɔi foil
æ cat
a cot
ʌ cut
З: curt
u: fool
ei fail
əu foal
ai fail
au foul
a: cart
Iə tier
eə tear
uə tour
ə banana 23
Konsonan bahasa Inggris memiiki 24 bunyi yang berbeda. Berikut adalah
daftar bunyi konsonan bahasa Inggris. (Ladefoged, 1989: 51) dan lambang bunyi
konsonan bahasa Inggris. (Hornby, 1974: 112 ).
Tabel 2.3 Daftar bunyi konsonan bahasa Inggris
(Ladefoged, 1989: 57)
Bilabial Labio
dental
Dental alveolar Palato
Alveolar
Palatal Velar
Nasal m
n
ŋ
Stop
pb
td
kg
Fricative
fv θð sz ∫ʒ
Central
(approximant)
w
r j
Lateral
(approximant)
l
Tabel 2.4 Daftar bunyi konsonan dan lambang bunyi dalam bahasa Inggris
(Hornby, 1974: 112)
Homofon adalah kata-kata yang
Bunyi Lambang
bunyi
p pen
b bad
t tea
d did
k cat
g got
t∫ chin
dj june
f fall
v voice
θ thin
ð then
s so
z zoo
∫ she
ʒ vision
h how
m man
n no
ŋ sing
l leg
r red
j yes
w wet 24
diucapkan sama tetapi ditulis dengan ejaan yang berbeda dan seringkali
mempunyai makna yang berbeda (Ladefoged, 1989: 130). Bagi pembelajar ini
homofon sering menimbulkan masalah karena pengucapannya sama sehingga
salah memahaminya kecuali dia mengetahui dengan baik konteks
pembicaraannya.
1) peace [pi:s] = kedamaian vs. piece [pi:s] = sepotong
2) two [tu:] = dua vs. too [tu:] = juga vs. to [tu:] = untuk; ke
Perbedaan beberapa bunyi yang mirip bagi lidah orang Indonesia umumnya
lebih fleksibel dalam meniru bunyi-bunyi bahasa asing. Mereka umumnya tidak
mengalami kesulitan untuk menirukan bunyi-bunyi tertentu, sementara orangorang bangsa lain mengalaminya. Beberapa kata dalam bahasa Inggris cenderung
juga diucapkan secara salah karena bunyi yang terdapat di dalam kata tersebut
mirip. (Zubaidi, 2006: 156).
Pembelajar sering menyepelekan perbedaan bunyi yang mirip tersebut.
Contohnya adalah bunyi [s] dan bunyi [∫]. Kata she [∫i:] (dia perempuan)
seringkali diucapkan [si] yang merupakan bunyi untuk kata see (melihat) atau sea
(laut). Bila demikian situasinya maka pembelajar tentu akan menggunakan bunyi
yang sama untuk kata berbeda dalam kalimat: She sells sea shells on the sea
shore. (Zubaidi, 2006: 156). Berikut ini adalah contoh beberapa kata dalam
bahasa Inggris yang memiliki lafaal yang mirip (tetapi berbeda), yang cenderung
akan diucapkan sama oleh pembelajar (Ladefoged, 1989: 140). 25
Lambang bunyi yang tidak diucapkan selain dari masalah-masalah
pelafalan di atas, dalam bahasa Inggris juga terdapat beberapa kata yang lambang
bunyinya tidak dilafalkan (Ladefoged, 1989:140). Seringkali pembelajar salah
dalam mengucapkan kata-kata ini karena semua lambang bunyinya diucapkan.
Beberapa contohnya adalah sebagai berikut, dimana lambang bunyi yang dicetak
tebal tidak dilafalkan.
Know = mengetahui
Knife = pisau
Write = menulis
Whole
= keseluruhan
Mnemonic = alat pembangkit
Psychology = psikologi
Science = ilmu pengetahuan
Wednesday = rabu
(Zubaidi, 2006:157)
2.3.4 Tata bahasa Inggris
Gebhard (1996: 3), seorang ahli bahasa mendefinisikan tatabahasa sebagai
suatu kumpulan sistem yang harus dipatuhi oleh pengguna bahasa sesuatu
bahasa itu, dan ia menjadi dasar untuk melahirkan asperasi bahasa yang baik
dan indah, serta menjamin kemantapan bahasa sesuatu bahasa. Menurut
Gebhard lagi, tatabahasa berfungsi dalam memisahkan bentuk-bentuk bahasa
yang gramatis, daripada yang tidak gramatis. Untuk itu dalam mempelajari
bahasa Inggris. diperlukan pemahaman terhadap kaidah-kaidah yang mengatur
penggunaan bahasa yang dalam bahasa Inggris dikenal dengan grammar.
Bagian-bagian grammar tersebut adalah:
1) Kata-kata benda tunggal dan jamak (Singular and plural nouns) 26
Perbedaan kata benda tunggal dan kata benda jamak daam kalimat
bahasa Inggris perlu diperhatikan, karena berpengaruh terhadap
penggunaan kata kerja (baik verb to be, verb to have maupun kata kerja).
Kata benda tunggal dalam kalimat harus memakai kata kerja tunggal,
sedangkan kata benda jamak harus menggunakan kata kerja jamak
(Murphy, 1985:213).
contoh:
This car is expensive (mobil ini mahal)
(car bentuk tunggal, memakai is)
These cars are expensive (mobil-mobil ini mahal)
(cars bentuk jamak, memakai are)
Pada umumnya kata benda jamak dibentuk dengan menambahkan
–s atau –es pada kata benda tungga, dengan beberapa ,perkecualian
(Murphy, 1985:213).
Cara membentuk kata benda jamak:
a) Dengan menambahkan –s pada kata benda tunggal:
Tunggal
door
school
Jamak
doors
Arti
pintu
schools sekolah
(Murphy, 1985:213)
27
b) Dengan menambahkan –es jika kata benda tunggal itu berakhir huruf –s, -
x, –z, –ch, dan –sh.
Tunggal
ass
asses
bus
bus
boxes
buzzes
bench
Arti
keledai
buses
box
buzz
Jamak
kotak
dengungan
benches bangku
brush
brushes sikat
(Murphy, 1985:213)
c) Dengan menambahkan –es jika kata benda tunggal itu berakhir huruf –o :
Tunggal
hero
negro
Jamak
heroes
Arti
pahlawan
negroes orang negro
tomato
tomatoes tomat
mango
mangoes mangga
(Murphy, 1985:213)
Akan tetapi hanya dengan menambahkan –s saja, jika kata benda tunggal
itu berakhir huruf –oo, io, -oe, atau –yo, dan beberapa kata benda
berakhiran –o yang didahului oleh sebuah konsonan (huruf mati) di bawah
ini (Murphy, 1985:213):
Tunggal
Jamak
radio
radios
photo
photos
Arti
radio
foto
dynamo dynamos dinamo
DALAM PROSES PEMBELAJARAN ‘SPEAKING’
PADA MAHASISWA ‘ENGLISH DEBATE CLUB’ STAIN BUKITTINGGI
HAYATI SYAFRI, S.S, M.Pd
STAIN SJECH M. DJAMIL DJAMBEK
BUKITTINGGI
2013
haya
DAFTAR ISI
Halaman
HALAMAN JUDUL
……………………………………….......................... i
PERSETUJUAN
……………………………….……………………............ ii
PENGESAHAN
……………………………………………………………… iii
PERNYATAAN
…………………………………………………………….. iv
MOTTO
………………………………………………………...................... v
PERSEMBAHAN
……………………………………………………….......... vi
KATA PENGANTAR
……………………………………………………… vii
DAFTAR ISI
………………………………………………………………... ix
DAFTAR LAMPIRAN
……………………………………………………… xii
DAFTAR TABEL
………………………………………………………….. xiii
DAFTAR TABEL LAMPIRAN
……………………………………………. xiv
DAFTAR GAMBAR
……………………………………………………….. xv
ABSTRAK
………………………………………………………………….. xvi
BAB I PENDAHULUAN
…………………………………………………… 1
Latar Belakang Masalah ………………………………………… 1B.
Identifikasi Masalah …………………………………………….. 5C.
Pembatasan Masalah ……………………………………………. 6D.
Perumusan Masalah …………………………………………….. 6E.
Tujuan Penelitian ……………………………………………….. 7F.
Manfaat Penelitian ……………………………………………… 7G.
Batasan Istilah…………………………………………………… 8
BAB II KAJIAN TEORI
…………………………………………………... 9A.
Deskripsi Teori ………………………………………………….. 91.
Hakikat Berbicara ……………………………………………. 9a.
Pengertian Berbicara ……………………………………… 9b.
Tujuan Berbicara …………………………………………. 10c.
Faktor Penghambat Berbicara …………………………….. 10d.
Faktor Penunjang Berbicara ………………………............ 11e.
Bentuk Kegiatan Berbicara ……………………………… 122.
Diskusi Sebagai Salah Satu Ragam Keterampilan Berbicara ... 13
t
. BAB I
PENDAHULUAN
1.1 Latar Belakang
Berbicara merupakan suatu aktivitas kehidupan manusia normal yang sangat penting.
Dengan berbicara kita dapat berkomunikasi antara sesama manusia, menyatakan pendapat,
menyampaikan maksud dan pesan, mengungkapkan perasaan dalam segala kondisi emosional
dan lain sebagainya. Kalau diamati dalam kehidupan sehari-hari, banyak didapati orang yang
berbicara. Namun tidak semua orang didalam berbicara itu memiliki kemampuan yang baik
didalam menyampaikan isi pesannya kepada orang lain sehingga dapat dimengerti sesuai
dengan keinginannya, dengan kata lain, tidak semua orang memiliki kemampuan yang baik
didalam menyelaraskan atau menyesuaikan dengan detail yang tepat antara apa yang ada
dalam pikiran atau perasaannya dengan apa yang diucapkannya sehingga orang lain
yangmendengarkannya dapat memiliki pengertian dan pemahaman yang pas dengan keinginan
sipembicara
Keterampilan berbicara merupakan keahlian yang diharapkan dapat teraplikasi dengan baik oleh
penuturnya. Keterampilan ini merupakan suatu indikator yang penting bagi keberhasilan mahasiswa
dalam belajar Bahasa Inggris. Dengan penguasaan keterampilan berbicara yang baik, mahasiswa
diharapkan dapat mengomunikasikan ide-ide mereka di areal kampus dan lingkungan masyarakat
dengan mereka yang sama-sama mengerti Bahasa Inggris maupun dengan penutur asing Bahasa Inggris.
Semakian tinggi keterampilan berbicara bahasa Inggris mereka maka akan semakin mudah dan lancarlah
mereka dalam mengexpresikan ide dan gagasan yang mereka miliki. Tentu saja akhirnya akan semakin
terasa manfaat ilmu bahasa yang mereka coba kuasai selama ini.
Berhubungan dengan pernyataan di atas, Ur (1996) menyatakan bahwa “Jika seseorang
menguasai suatu bahasa secara intuitif, ia akan mampu berbicara dalam bahasa tersebut”. Pendapat ini
jelas mengindikasikan bahwa keterampilan berbicara mengisyaratkan agar seseorang mengetahui seluk
beluk bahasa itu. Selain itu, keterampilan berbicara bisa juga digunakan sebagai suatu media untuk
belajar bahasa (Izquirdo, 1993). Dalam hal ini tentu saja keterampilan berbicara sangat terkait dengan
pelafalan bunyi, pengungkapan kosakata, gramatika bahasa, dan juga terkait dengan berbagai bentuk
keterampilan bahasa lainnya seperti mendengarkan,menulis dan membaca. Jadi keterampilan berbicara
sangat menentukan keberhasilan seseorang dalam mendalami bahasa. Selain itu keterampilan berbicara
sangat penting dalam pembelajaran bahasa sebagai bukti penguasaan mahasiswa akan materi yang
diberikan.
Dalam peradaban manusia, keterampilan berbicara selalu mengalami perkembangan dan
peningkatan. Sejarah membuktikan bila di antara liku-liku kegiatan berbicara tersebut mengalami
perkembangan, akan terbentuk kemjauan peradaban dalam bentuk kegiatan berbicara yang lebih
terorganisir. Dalam hal ini terlahirlah debat yang berawal dizaman Romawi kuno. Dalam konteks
masyarakat Indonesia, budaya debat baru muncul secara umum lewat televisi setelah terjadi reformasi di
negeri ini. Kegiatan ini menarik banyak pihak dan diminati oleh berbagai elemen masyarakat, akademisi,
tokoh pergerakan, politikus, dan lain-lain karena merupakan olah fokal yang terangkum dari ketajaman
anallitis yang mendalam akan suatu kasus dan permasalahan. Meski dunia debat dalam konteks
masyarakat kita saat ini masih belum ideal, titik ini merupakan langkah awal yang memang harus
ditempuh menuju msyarakata Indonesia yang lebih maju menuju tingkat peradaban dunia yang lebih
mulia.
Debat adalah kegiatan dalam mengadu argumentasi dari dua pihak atau lebih, baik secara
perorangan maupun berkelompok. Mereka beradu pandang dalam mendiskusikan dan
memutuskan masalah dan perbedaan. Secara formal, debat banyak dilakukan dalam lembaga
legislatif seperti dalam parlemen terutama dinegara-negara yang menggunakan system oposisi.
Selain itu debat juga diselenggarakan secara formal antar kandidat legislatif dan antar calon
presiden/wakil presiden yang umum dilakukan menjelang pemilihan umum. Mereka saling
berkompetisi untuk menampilkan kemampuan mereka untuk menampilkan yang terbaik agar
mendapat dukungan dan simpati khalayak ramai dengan tujuan terpilih dengan suara
terbanyak.
Disamping jenis debat diatas, terdapat lagi jenis debat kompetitif lainnya dalam bentuk
permainan yang biasa dilakukan di tingkat sekolah dan universitas. Dalam hal ini, debat
dilakukan sebagai pertandingan dengan aturan yang jelas dan ketat antara dua pihak yang
masing-masing mendukung dan menentang sebuah pernyataan yang dikemukakan oleh panitia.
Debat disaksikan oleh banyak penonton dan dinilai oleh satu atau beberapa orang juri yang ditunjuk
untuk menentukan pemenang dari debat tesebut. Tim yang berhasil menunjukkan pengetahuan dan
kemampuan nya sehingga dapat meyakinkan para juri adalah tim debat yang lebih baik dan yamg akan
maju sebagai pemenang. Dalam hal ini mereka adalah tim yang paling menguasai keterampilan dalam
berdebat.
Keterampilan berdebat seseorang, sangat dipengaruhi oleh dua faktor utama yaitu internal dan
eksternal. Hal ini diuangkapkan oleh Agung (2008) dengan menjelaskan bahwa maksud faktor internal
disini adalah segala potensi yang ada di dalam diri orang tersebut, baik fisik maupun non fisik faktor pisik
yang menyangkut kesempurnaan organ-organ tubuh yang digunakan didalamb erbicara misalnya, pita
suara, lidah, gigi, dan bibir, sedangkan faktor non fisik diantaranya adalah: kepribadian (kharisma),
karakter, temparamen, bakat (talenta), cara berfikir dan tingkat intelegensia. Sedangkan faktor eksternal
misalnya tingkat pendidikan, kebiasaan, dan lingkungan pergaulan. Namun demikian, kemampuan atau
keterampilan berdebat tidaklah secara otomatis dapat diperoleh atau dimiliki oleh seseorang walaupun
ia sudah memiliki dua faktor penunjang ini dengan baik. Kemampuan atau keterampilan berdebat yang
baik akan dapat dimiliki dengan jalan mengasah, mengolah serta melatih seluruh potensi yang ada
dengan melibatkan kerjasama tim. Harus ada tim dan komunitas yang solit yang akan menunjang latihan
mereka dalam berdebat.jika tidak, mereka tetap saja kehilangan media untuk berlatih
Di STAIN Sjech M. Djamil Djambek Bukittinggi baru terbentuk satu kelompok debat yang diberi
nama ‘English Debate Club’ (EDC). Klub ini terlahir dari keterbutuhan kampus STAIN akan kualitas
mahasiswa dalam keterampilan debat. Mahasiswa ini dibutuhkan agar siap untuk dikirim ke perayaan
regular lomba debat PTAIN se Indonesia yang skalanya tentu saja besar dan bergengsi. Dengan di ‘back
up’ oleh ‘English Debate Club’ (EDC) ini, diharapkan mahasiswa kita akan semakin terasah dan terpacu
untuk meningkatkan keterampilan debat mereka.
Keanggotaan dalam kelompok ini didiri dari utusan perkelas masing-masing empat orang
perangkatan sehingga diharapkan akan tercetaklah pengkaderan yang optimal. Mereka telah memiliki
jadwal latihan debat yang rutin. Tiap-tiap tim akan dipertemukan dengan tim lain dengan
memperdebatkan satu permasalahan yang telah ditetapkan oleh English Community Club (ECC) yang
berada dibawah HMPS Prodi Bahasa Inggris.
Permasalahan yang terjadi adalah ternyata mahasiswa banyak yang agak keberatan untuk
menjadi tim debat walau akhirnya mau juga karena rasa ketidakmampuan mereka disaat merasakan
debat dikelas yang pernah di tuntun oleh dosen ‘speaking’ mereka. Mereka masih mengalami kesulitan
untuk menyampaikan ide, gagasan, pikiran dan pertanyaan mereka dalam bahasa Inggris dengan
menggunakan keterampilan debat dengan baik dan benar. Selain itu masih terdapatnya kekurangtepatan
pelafalan, pemilihan kosa kata, ketatabahasaan, dan keterbiasaan dengan system debat. Hal ini
disebabkan karena debat memang bukan hanya berkomunikasi seperti biasa. Namun komunikasi yang
tingkatnya sudah ketahap yang lebih tinggi. Dalam debat mereka dituntut kritis dan paham akan kasus
yang disampaikan serta bisa mengutarakannya dengan baik. Inilah yang sering menggelitik pikiran
mereka sehingga banyak yang merasa tidak terlalu mampu untuk melakukan debat. Selain itu,
merekapun jarang melakukan debat dikelas karena sistem debat yang diberikan dosen dikelas tidak bisa
optimal mengasah kemampuan debat mereka akibat jumlah dan waktu yang terbatas. Akibatnya mereka
tidak terlalu familiar dengan pengalaman dalam berdebat dan juga tidak familiar dengan aturan debat
yang telah distandarkan dalam debat PTAIN se Indonesia sebelumnya.
Fenomena seperti ini merupakan permasalahan yang perlu segera ditemukan alternatifalternatif pemecahannya. Salah satu upaya yang dapat dijadikan alternatif pemecahan masalah tersebut
adalah dengan langsung menerapkan system British Parliamentary dalam ECD dan menjadikan aktifitas
debat rutin dengan system ini sebagai wadah untuk mengasah kemampuan ‘speaking’ mereka.
Karena kondisi diatas inilah akhirnya penulis berkeinginan untuk melakukan penelitian tindakan
kelas dengan selalu mengontrol pelaksanaan debat sambil menyempurnakan penelitian ini dengan judul
PENINGKATAN KETERAMPILAN DEBAT PLUS SISTEM BRITISH PARLIAMENTARY DALAM PROSES
PEMBELAJARAN ‘SPEAKING’ PADA MAHASISWA ‘ENGLISH DEBATE CLUB’ STAIN BUKITTINGGI.
Penggunaan kata plus dimaksudkan untuk menyampaikan pesan adanya
“manipulasi/modifikasi’ terhadap sebuah metode pembelajaran keterampilan berdebat sehingga
mahasiswa tidak bosan karena diajak belajar sambil bermain dengan permainan (games) serta kuis.
Game dan kuis dicantumkan dalam metode ini mulai dari teknik pembagian kelompok, kegiatan dalam
debat, ataupun di tengah-tengah kegiatan atau setelah kegiatan debat.
1.2 Rumusan Masalah
Berdasarkan latar belakang masalah di atas, rumusan masalah penelitian ini dapat dirangkumkan
sebagai berikut:
1) Apakah permasalahan utama yang dialami mahasiswa dalam berbicara saat berdebat dari segi
pelafalan, tata bahasa, pemilihan kosa kata dalam bahasa Inggris?
2) Bagaimanakah mekanisme penerapan metode debat plus sistem British Parlimentary dalam
peningkatan keterampilan berbicara bahasa Inggris mahasiswa EDC?
3) Bagaimanakah hasil pembelajaran keterampilan berbicara Bahasa Inggris mahasiswa setelah tindakan
(treatment) dilakukan?
1.3 Tujuan Penelitian
1.3.1 Tujuan Umum
Secara umum, penelitian ini bertujuan untuk mengetahui efektivitas kegiatan “debat plus sistem
British Parlimentary” dalam proses pembelajaran ‘speaking’ dalam meningkatkan kemampuan berbicara
Bahasa Inggris mahasiswa EDC STAIN Bukittinggi. Efektivitas dalam penelitian ini berarti bagaimana debat
plus sistem British Parlimentary dapat meningkatkan aspek-aspek kebahasaan dari kemampuan
berbicara, baik aspek verbal maupun aspek nonverbal.
1.3.2 Tujuan Khusus
Secara khusus, penelitian ini bertujuan untuk:
1) Mengetahui permasalahan utama yang dialami mahasiswa dalam berbicara saat berdebat dari segi
pelafalan, tata bahasa, pemilihan kosa kata dalam bahasa Inggris
2) Mendeskripsikan mekanisme penerapan metode debat plus sistem British Parlimentary dalam
peningkatan keterampilan berbicara bahasa Inggris mahasiswa EDC?
3) Memperoleh gambaran tentang hasil pembelajaran keterampilan berbicara bahasa Inggris setelah
tindakan (treatment) dilakukan.
1.4 Ruang Lingkup Penelitian
Penelitian ini memerlukan pembatasan pada pembahasannya agar permasalahan yang hendak diteliti
tidak terlalu luas. Adapun ruang lingkup penelitian ini dijabarkan sebagai berikut:
1) Permasalahan utama yang dialami mahasiswa dalam berbicara saat debat bahasa Inggris
dari segi pelafalan, tata bahasa dan pemilihan kosa kata bahasa Inggris;
2) Mekanisme penerapan metode debat plus sistem British Parlimentary dalam peningkatan
keterampilan berbicara bahasa Inggris mahasiswa EDC yang meliputi penilaian kemampuan berbicara
siswa dibatasi pada communication skills yang mencakup ketepatan berbahasa (accuracy), kelancaran
(fluency), pemahaman topic (comprehensibility), dan metode penyampaian argumen (methods of
delivering arguments).
3) Menganalisis hasil pembelajaran keterampilan berbicara bahasa Inggris melalui metode debat plus
sistem British Parlimentary dalam meningkatkan keterampilan berbicara mahasiswa EDC yang mencakup
peningkatan pemakaian bahasa siswa dibatasi pada kemampuan pelafalan, tata bahasa (grammar) dan
kosa kata (vocabulary).
1.5 Manfaat Penelitian
Manfaat yang diperoleh dari penelitian ini ada dua macam, yaitu manfaat akademis dan manfaat
praktis. Secara akademis, penelitian ini diharapkan dapat bermanfaat untuk pengembangan teori
pembelajaran bahasa, khususnya yang berkenaan dengan pembelajaran keterampilan berbicara pada
siswa Kelas XI IPA SMA Pariwisata Kertha Wisata sehingga dapat dijadikan sebagai referensi untuk
penelitian- penelitian lain yang serupa. Selain itu, penelitian ini juga bermanfaat untuk memperkaya
khazanah penelitian, terutama yang berupa penelitian tindakan kelas. Secara praktis, penelitian ini
diharapkan dapat bermanfaat bagi guru bahasa Inggris khususnya guru Kelas XI IPA dan bagi siswa. Bagi
guru, penelitian ini dapat dijadikan model pembelajaran berbicara yang lebih efektif sehingga dapat
memberikan alternatif teknik dalam pembelajaran pengembangan keterampilan berbicara. Bagi siswa,
manfaat yang dapat diambil dari penelitian ini adalah untuk meningkatkan motivasi dan keterampilan
berbicara di kelas.
6
BAB II
KAJIAN PUSTAKA, KONSEP, LANDASAN TEORI,
DAN MODEL PENELITIAN
Pada bab ini berturut-turut disajikan beberapa hal seperti kajian pustaka,
konsep, landasan teori, dan model penelitian.
2.1 Kajian Pustaka
Penelitian mengenai keterampilan berbahasa pada umumnya dan
keterampilan berbicara pada khususnya bukanlah hal baru dalam dunia
pendidikan. Para mahasiswa jurusan pendidikan Bahasa dan Sastra Inggris telah
banyak melakukannya. Penelitian-penelitian tersebut merupakan penelitian
tindakan kelas untuk memperbaiki pembelajaran keterampilan berbicara yang
berlangsung selama ini.
Pustaka-pustaka yang mendasari penelitian ini adalah tulisan hasil
penelitian terdahulu yang relevan dengan penelitian ini. Beberapa penelitian yang
mengangkat permasalahan pembelajaran keterampilan berbicara, antara lain,
dilakukan oleh Sumarwati (1999), Dewi (2003), dan Hubert (2008)
Sumarwati (1999) meneliti tentang peningkatan keterampilan berbicara
siswa melalui teknik bermain peran di SLTPN 8 Denpasar. Dari hasil penelitian
itu diperoleh simpulan bahwa teknik bermain peran dapat meningkatkan
keterampilan berbicara siswa. Secara kuantitatif, hasil penelitian melalui dua
siklus itu menunjukkan peningkatan sebesar 10,6% untuk aspek kebahasaan dan 7
11,6% untuk aspek nonkebahasaan. Penelitian yang dilakukan oleh Sumarwati
berbeda dengan penelitian ini karena jenis penelitian sebelumnya merupakan
penelitian secara deskriptif guna mendeskripsikan fenomena dan permasalahanpermasalahan yang terjadi di lapangan sehubungan dengan prosedur yang
diterapkan oleh guru dalam proses pengajaran speaking di SLTPN 8 Denpasar,
sedangkan penelitian ini bersifat improftif (perbaikan) yang bertujuan untuk
mendeskripsikan perbedaan hasil belajar siswa dalam pengajaran speaking
sebelum dan sesudah tindakan dilakukan.
Dewi (2003) dalam penelitiannya yang berjudul “The Success of
Communication Approach in teaching-learning process at the third levels of IEC
Denpasar 01” membahas tentang keberhasilan pendekatan komunikatif dalam
proses belajar mengajar pada level ketiga di lembaga pendidikan bahasa Inggris
IEC Denpasar 01. Penerapan pendekatan komunikatif tersebut mencakup 4
(empat) keterampilan bahasa, yaitu keterampilan mendengarkan (listening),
keterampilan berbicara (speaking), keterampilan membaca (reading), dan
keterampilan menulis (writing). Keberhasilan penerapan pendekatan komunikatif
tersebut didukung oleh peran guru dalam pemberian materi, dan peran siswa
sendiri yang memiliki kemauan yang besar dalam meningkatkan kemampuan
berbahasa Inggrisnya.
Hubert (2008) dalam penelitiannya yang berjudul ”Incorporating
Classroom Debate into University EFL Speaking Courses” membahas betapa
pentingnya debat dalam meningkatkan kemampuan berbicara di kalangan
mahasiswa Universitas Kyoto Sangyo Jepang. Studi tersebut berfokus pada 8
penerapan langkah-langkah debat formal dengan sistem “Australasian
Parliamentary Sistem”, yang mencakup peran masing-masing pembicara di kedua
tim, isi dari topik yang diperdebatkan, sehingga studi tersebut lebih menargetkan
peningkatan pemahaman (comprehensibility) daripada kelancaran (fluency) dan
ketepatan ujaran (Accuracy).
1. Hayat; Arief, Zaenal. 2005. Peningkatan Keterampilan Berbicara Siswa Kelas X-4 SMA
Negeri I Jepara melalui Diskusi dengan Pendekatan Kontekstual Fokus
Pemodelan. Skripsi. Jurusan Bahasa dan Sastra Indonesia, Fakultas
Bahasa dan Seni, Universitas Negeri Semarang. Penelitian ini merupakan penelitian yang
berbasis kelas. Dengan demikian, metode yang digunakan adalah metode Penelitian Tindakan
Kelas (PTK) yang meliputi dua siklus. Tiap-tiap siklus dilakukan secara berdaur yang terdiri atas
empat tahap, yaitu 1) perencanaan, 2) tindakan, 3) pengamatan, dan 4) refleksi. Data penelitian
diambil melalui tes dan nontes. Alat pengambilan data tes yang digunakan berupa instrumen tes
perbuatan yang berisi aspek-aspek kriteria penilaian keterampilan berbicara berupa penilaian
keterampilan berbicara melalui diskusi. Alat pengambilan data nontes yang digunakan berupa
pedoman observasi, wawancara, jurnal, dokumentasi foto, rekaman pita, rekaman video, dan
sosiometri. Selanjutnya, data dianalisis secara kuantitatif dan kualitatif.
Berdasarkan analisis data penelitian, disimpulkan bahwa melalui pendekatan
kontesktual fokus pemodelan (modeling), keterampilan berbicara siswa meningkat ebesar
sebesar 7,8%. Pada siklus I, nilai rata-rata yang diperoleh siswa sebesar 73,4%, sedangkan pada
siklus II, hasil yang dicapai sebesar 81,2%. Perilaku yang ditunjukkan siswa pun berubah setelah
diberikan tindakan. Siswa lebih antusias mengikuti pembelajaran, bekerja sama dengan baik
dalam kelompoknya, tidak gugup atau grogi dan semakin percaya diri ketika berbicara di depan
kelas.
Selanjutnya, dari hasil penelitian tersebut, saran yang dapat direkomendasikan antara lain 1)
para guru Bahasa dan Sastra Indonesia hendaknya kreatif dalam menentukan pendekatan dalam
pembelajaran keterampilan berbicara siswa agar siswa tidak merasa jenuh dengan pembelajaran
yang dihadapi, 2) para guru Bahasa dan Sastra Indonesia dapat menggunakan teknik diskusi
dengan pendekatan kontekstual fokus pemodelan untuk membelajarkan keterampilan berbicara,
3) para guru bidang studi lain dapat mengadaptasi teknik pembelajaran ini dalam membelajarkan
mata pelajaran kepada siswa, dan 4) para pakar atau praktisi bidang pendidikan bahasa dapat
melakukan penelitian serupa dengan teknik pembelajaran yang berbeda, sehingga didapatkan
berbagai alternatif teknik pembelajaran keterampilan berbicara siswa.
2. Hayat: Mudairin ROLE
PLAY:SUATUALTERNATIFPEMBELAJARANYANGEFEKTIFANMENYENANGKA
N
DALAMMENINGKATKANKETERAMPILANBERBICARASISWASLTPISLAMMAN
BAULULUMGRESIK Salah satu upaya guna meningkatkan keterampilan berbicara
siswa adalah memberikanR o l e P l a y s e b a g a i b e n t u k k e g i a t a n
p e m b e l a j a r a n b a h a s a I n g g r i s d i k e l a s . H a l i n i dimaksudkan untuk
menciptakan English atmosphere di dalam kelos. Dalam RolePlay siswa disetting pada situasi tertentu dan saling berinteraksi bersama teman-temanny
Hayat; Jafrizal UPAYAMENINGKATKANKEMAMPUANBERBICARA
BAHASAINGGRISMELALUItekNIKKWLDANPERMAINANBAHASA
http://pakguruonline.pendidikan.net
Oleh : Jafrizal *)
Abstrak.
Hasil observasi di beberapa SLTP di Bayang ditemukan bahwa banyak siswa SLTP
yang mengalami kesulitan dalam pembelajaran berbicara bahasa Inggris. Untuk ituperlu
digunakan strategi baru agar dapat meningkatkan kemampuan berbicara
mereka,yaitu dengan menggunakan teknik KWL dan permainan bahasa. Tujuan
penelitian iniadalah untuk mengetahui apakah penerapan teknik KWL dan
permainan bahasa dapatmeningkatkan kemampuan berbicara bahasa Inggris
siswa. Penelitian ini diadakan pada gugus SLTP 2 Bayang Kelas 3 semester I Tahun
Ajaran2 0 0 2 - 2 0 0 3 y a n g t e r d i r i d a n 6 s e k o l a h , w a k t u p e n e l i t i a n b e r l a n g s u n g
selama 2 bulandengan 3 siklus. Siklus I siswa melengkapi tabel kolom (K)
d a n k o l o m ( W ) d e n g a n pengalaman yang berhubungan dengan topik dan materi
yang mereka ingin ketahui.Berikutnya siswa mengemukakan hasil atau kesimpulan dari
materi yang mereka pelajarid a n d i t u l i s p a d a k o l o m ( L ) . D i s e t i a p a k h i r
pertemuan, siswa melakukan permainanbahasa sesuai dengan topik
b a h a s a n . S i k l u s I I s i s w a m e n j a w a b p e r t a n y a a n s e s u a i panduan guru peneliti.
Siklus III sebelum pembelajaran semua siswa diberi tugas belajar di rumah tentang topik bahasan
yang akan diajarkan berikutnya Hasil peneliti an menunjukkan ada peningkatan siswa yang
akti f berbicara pada sikius Is e k i t a r 1 0 % , s i k i u s I I 1 5 % d a n s i k i u s I I I s e b a n y a k
20,8%. Hal ini juga terlihat padaula ngan harian siswa,ya ng diajar den gan
m e n g g u n a k a n t e k n i k K W L d a n p e r m a i n a n bahasa lebih baik, dan persentase ketuntasan
belajar pun lebih tinggi dibanding denganyang tidak menggunakan teknik KWL. .
Hayat KEEFEKTIFAN METODE DEBAT AKTIFDALAM PEMBELAJARAN DISKUSIPADA SISWA KELAS X SMA
NEGERI 1 KUTOWINANGUN Diajukan kepada Fakultas Bahasa dan SeniUniversitas Negeri
Yogyakartauntuk Memenuhi Sebagian Persyaratanguna Memperoleh GelarSarjana Pendidikan
Penelitian ini merupakan penelitian kuantitatif, yaitu eksperimen semu(
quasi experimental
) dengan desain
control group pretest posttes desaign
.Variabel dalam penelitian ini ada dua, yaitu variabel bebas yang berupapenggunaan metode
debat aktif dan variabel terikat berupa keterampilan diskusisiswa. Populasi penelitian ini adalah
siswa kelas X SMA Negeri 1 Kutowinangunsebanyak 278 siswa. Teknik penyampelan yang
digunakan adalah
simple randomsampling
. Sampel dalam penelitian ini adalah 80 siswa. Teknik pengumpulan datadengan menggunakan
tes diskusi. Validitas instrumen yang digunakan dalampenelitian ini adalah validitas isi dengan
dikonsultasikan kepada ahlinya (
expert judgement
). Uji reliabilitas dalam penelitian ini menggunakan
Alpha Cronbrach
.Hasil penghitungan menunjukkan besarnya reliabilitas instrumen adalah 0, 946dengan p sebesar
0,000. Teknis analisis data menggunakan uji-t dan uji scheffe.Dari hasil uji statistik dapat
diperoleh nilai uji-t dan uji scheffe. Hasilpenghitungan uji-t menunjukkan bahwa skor t hitung
lebih besar dari t tabel (
t
h
:2,006 >
t
t
: 1,994) pada taraf signifikansi 5% dan db 78 dengan nilai signifikansi(2-tailed) sebesar 0,048
pada taraf signifikansi 5%. Hasil penghitungan uji scheffemenunjukkan F hitung lebih besar
daripada skor F tabel (Fh : 4,025 > Ft :3, 96)dengan db 78 dan pada taraf signifikansi 5%. Hal ini
menunjukkan bahwa (1) adaperbedaan yang signifikan antara keterampilan diskusi siswa yang
mendapatpembelajaran diskusi dengan menggunakan metode debat aktif dengan siswa
yangmendapat pembelajaran diskusi tanpa menggunakan metode debat aktif, dan
(2)pembelajaran diskusi dengan menggunakan metode debat aktif lebih efektif
3. :
2.2 Konsep
Studi yang dilakukan dalam penelitian ini terdiri dari beberapa konsep yang
memerlukan penjelasan. Konsep-konsep tersebut antara lain peningkatan,
keterampilan berbicara, pendekatan metode dan teknik pembelajaran berbicara,
dan metode debat plus.
2.2.1 Peningkatan
Peningkatan adalah suatu proses, cara, perbuatan meningkatkan (usaha,
kegiatan, dsb) (Purwadarminta, 1976: 118). Peningkatan dalam hal ini adalah
suatu proses meningkatkan kemampuan berbicara bahasa Inggris siswa.
2.2.2 Keterampilan Berbicara
Keterampilan berbicara pada hakikatnya adalah “kemampuan
mengucapkan bunyi-bunyi artikulasi atau kata-kata untuk mengekspresikan,
menyatakan serta menyampaikan pikiran, gagasan, dan perasaan” (Tarigan
1981:15).
9
2.2.3 Pendekatan, Metode, dan Teknik Pembelajaran Berbicara
Pendekatan adalah konsep dasar yang melingkupi metode dengan cakupan
teoretis tertentu. Metode merupakan jabaran dari pendekatan. Metode adalah
prosedur pembelajaran yang difokuskan ke pencapaian tujuan. Satu metode dapat
diaplikasikan melalui berbagai teknik pembelajaran. Teknik adalah cara kongkret
yang dipakai saat proses pembelajaran berlangsung, guru dapat berganti-ganti
teknik meskipun dalam koridor metode yang sama (Sugandi, 2004:15).
Pembelajaran berbicara memiliki banyak sekali teknik pembelajaran. Teknikteknik tersebut antara lain: wawancara, cerita berpasangan, pidato tanpa teks,
pidato dengan teks, mengomentari film/sinetron/cerpen/novel, debat,
membawakan acara, memimpin rapat, menerangkan obat/makanan/minuman atau
benda lainnya, bermain peran, info berantai, dan cerita berangkai (Sugandi,
2004:112-121).
2.2.4 Metode Debat Plus
Debat merupakan kegiatan bertukar pikiran antara 2 (dua) orang atau lebih
yang masing–masing berusaha memengaruhi orang lain untuk menerima usul
yang disampaikan (Simon, 2005:3). Debat dapat diartikan pula sebagai silang
pendapat tentang tema tertentu antara pihak pendukung dan pihak penyangkal
melalui dialog formal yang terorganisasi (Depdiknas, 2001: 2). Sementara itu,
”plus” merupakan penyampaian pesan melalui “manipulasi/modifikasi’ terhadap
metode debat sehingga siswa diajak belajar sambil bermain dengan berbagai
permainan (games) serta kuis. Game & kuis disertakan dalam metode debat plus 10
mulai dari teknis pembagian kelompok, kegiatan dalam debat, ataupun di tengahtengah kegiatan atau setelah kegiatan debat. Adapun untuk tema debat akan
dipilihkan tema yang terkait dengan topik materi yang dipelajari pada saat itu,
tema dari kejadian/fenomena aktual yang menantang namun tidak asing.
2.3 Landasan Teori
Sejumlah pandangan para ahli yang digunakan sebagai landasan teori
penelitian ini bersangkutan dengan: (1) berbicara dan keterampilan berbicara; (2)
faktor-faktor penunjang keefektifan berbicara; (3) pelafalan; (4) tata bahasa; (5)
kosa-kata; (6) penelitian tindakan kelas; (7) Pendekatan komunikatif
(communicative approach); (8) penilaian; (9) tes dan nontes; dan (10) metode
debat plus.
2.3.1 Berbicara dan Keterampilan Berbicara
Berbicara merupakan sebuah bentuk penyampaian informasi dengan
menggunakan kata-kata atau kalimat. Dengan kata lain, berbicara berarti
menggunakan bahasa untuk bermacam-macam tergantung dari para penuturnya.
Keterampilan berbicara adalah kemampuan mengungkapkan pendapat atau
pikiran dan perasaan kepada seseorang atau kelompok secara lisan, baik secara
berhadapan ataupun dengan jarak jauh. Harmer (1983) menyatakan bahwa
berbicara merupakan alat komunikasi yang alami antara anggota masyarakat
untuk mengungkapkan pikiran dan sebagai sebuah bentuk tingkah laku sosial.
Lebih jauh lagi Harmer (1983) menyatakan bahwa keterampilan berbicara adalah
kemampuan menyusun kalimat-kalimat karena komunikasi terjadi melalui 11
kalimat-kalimat untuk menampilkan perbedaan tingkah laku yang bervariasi dari
masyarakat yang berbeda.
Keterampilan berbicara merupakan suatu keterampilan yang kompleks dan
berkaitan dengan berbagai keterampilan mikro (Brown, 2001) seperti (1)
menghasilkan ujaran-ujaran bahasa yang bervariasi; (2) menghasilkan fonemfonem dan varian-varian alophon lisan yang berbeda dalam bahasa Inggris; (3)
menghasilkan pola-pola tekanan, kata-kata yang mendapat dan tidak mendapat
tekanan, struktur ritmis dan intonasi; (4) menghasilkan bentuk-bentuk kata dan
frasa yang diperpendek; (5) menggunakan sejumlah kata yang tepat untuk
mencapai tujuan-tujuan pragmatis; (6) menghasilkan pemberbicaraan yang fasih
dalam berbagai kecepatan yang berbeda; (7) mengamati bahasa lisan yang
dihasilkan dan menggunakan berbagai strategi yang bervariasi, yang meliputi
pemberhentian sementara, pengoreksian sendiri, pengulangan, untuk kejelasan
pesan; (8) menggunakan kelas kata (kata benda, kata kerja, dll.) sistem (tenses,
agreement dan plural), pengurutan kata, pola-pola, aturan-aturan dan bentuk
ellipsis; (9) menghasilkan pemberbicaraan yang menggunakan elemen-elemen
alami dalam frasa, stop, nafas dan kalimat yang tepat; (10) mengekspresikan
makna tertentu dalam bentuk-bentuk gramatika yang berbeda; (11) menggunakan
bentuk-bentuk kohesif dalam diskursus lisan; (12) menyelesaikan fungsi-fungsi
komunikasi dengan tepat menurut situasi, partisipan dan tujuan; (13)
menggunakan register, implikatur, aturan-aturan pragmatik dan fitur-fitur
sosiolinguistik yang tepat dalam komunikasi langsung; (14) menunjukkan
hubungan antara kejadian dan mengomunikasikan hubungan-hubungan antara ide 12
utama, ide pendukung, informasi lama, informasi baru, generalisasi dan contoh;
(15) menggunakan bahasa wajah, kinetik, bahasa tubuh dan bahasa-bahasa
nonverbal yang lainnya bersamaan dengan bahasa verbal untuk menyampaikan
makna; dan (16) mengembangkan dan menggunakan berbagai strategi berbicara,
seperti memberi tekanan pada kata kunci, parafrase, menyediakan konteks untuk
menginterpretasikan makna-makna kata, meminta pertolongan dan secara tepat
menilai seberapa baik interlokutor memahami apa yang dikatakan.
Richard (1986: 21-28) membagi fungsi berbicara menjadi tiga sebagai
berikut:
(1) Berbicara sebagai interaksi (talk as interaction)
Fungsi berbicara sebagai interaksi mengacu pada kegiatan percakapan
yang biasa dilakukan dan berhubungan dengan fungsi sosial. Fokus
utamanya adalah kepada si penutur dan bagaimana mereka
menunjukkan diri mereka kepada orang lain. Bahasa tuturannya bisa
formal ataupun berupa tuturan yang sering digunakan dalam
percakapan sehari-hari. Beberapa kemampuan yang ikut dilibatkan
dalam kegiatan berbicara sebagai sebuah interaksi, antara lain:
a) membuka dan menutup percakapan;
b) memilih topik;
c) membuat percakapan-percakapan kecil/ringan;
d) bergurau;
e) menceritakan kejadian dan pengalaman pribadi;
f) dilakukan secara bergantian;
g) adanya interupsi/menyela percakapan;
h) bereaksi terhadap satu sama lain;
i) menggunakan gaya berbicara yang sesuai.
13
(2) Berbicara sebagai transaksi (talk as transaction)
Kegiatan berbicara sebagai transaksi lebih memfokuskan kepada pesan
yang ingin disampaikan dalam kegiatan berbicara. Richard (1986: 2128). Ada dua tipe dalam kegiatan sebagai sebuah interaksi yaitu:
(a) Kegiatan yang fokus utamanya memberi dan menerima informasi,
dengan kata lain membuat orang lain mengerti dengan jelas dan
akurat terhadap pesan yang disampaikan daripada peserta tutur dan
bagaimana mereka berinteraksi dengan orang lain. Ketepatan
bukannya menjadi fokus utama selama informasi berhasil
dikomunikasikan dan dimengerti.
(b) Kedua adalah kegiatan yang fokus utamanya adalah untuk
memeroleh barang atau jasa, misalnya dalam percakapan seseorang
yang memesan makanan di restoran.
(3) Berbicara sebagai penampilan (talk as performance)
Berbicara sebagai penampilan mengacu pada kegiatan berbicara guna
menyampaikan informasi di depan umum atau peserta. Berbicara
model ini lebih kepada berbicara satu arah daripada dua arah (dialog)
dan lebih terkesan seperti bahasa tulis daripada percakapan. Richard
(1986: 21-28)
Ciri utama kegiatan berbicara sebagai penampilan adalah (a) fokus
pada pesan yang ingin disampaikan dan kepada peserta, (b) 14
mementingkan bentuk dan ketepatan ucapan, (c) bahasa yang
digunakan terkesan seperti bahasa tulis, (d) lebih sering monolog, dan
(e) struktur dan urutannya dapat diprediksikan. Dalam pembelajaran
bahasa, menurut Bygate (1995:5-6) ada dua cara mendasar yang kerap
kita lakukan yang dapat dikategorikan sebagai skill (keterampilan)
yaitu:
1) Motor-perceptive skill yang mencakup mengartikan, menghasilkan,
dan mengucapkan bunyi dan struktur bahasa secara benar.
2) Interaction skill yang mencakup membuat keputusan tentang
sebuah komunikasi misalnya ingin mengungkapkan apa,
bagaimana mengatakannya, mengembangkannya sesuai dengan
yang dimaksudkan oleh orang lain.
Belajar bahasa Inggris berarti memiliki kemampuan untuk memproduksi
ujaran grammatikal dari sebuah bahasa dan tahu bagaimana menggunakannya
dengan benar untuk dapat berkomunikasi secara efektif. (Harmer, 1983:13).
Dalam mempelajari bahasa di kelas, siswa lebih cenderung memberi perhatian
untuk menjadi lebih teliti (accuracy) akan tetapi pada dasarnya mereka juga harus
berlatih untuk menggunakan bahasa secara fasih (fluency).
Ada beberapa alasan tentang dilakukannya latihan berbicara selama
pelajaran berlangsung di kelas antara lain (Baker dan Westrup, 2003:5) antara
lain: 15
1) Kegiatan berbicara akan menguatkan pemerolehan kosakata baru, tata
bahasa, dan bahasa secara fungsional
2) Memberikan kesempatan siswa untuk menggunakan bahasa yang
dipelajarinya
3) Memberikan kesempatan kepada siswa yang lebih mahir untuk
mencoba bahasa yang telah mereka ketahui dalam situasi dan topik
yang berbeda
4) Memberikan kesempatan kepada siswa yang lebih mahir untuk
mencoba bahasa yang telah mereka ketahui dalam situasi dan topik
yang berbeda
Dengan demikian, untuk memudahkan guru dalam merancang program
pengajaran yang baik demi mencapai tujuan komunikasi, maka guru
diharuskan mengetahui fungsi bahasa yang akan dipakai siswa untuk
berinteraksi dalam sebuah komunikasi.
2.3.2 Faktor-Faktor Penunjang Keefektifan Berbicara
Seorang pembicara yang baik harus mempu memberikan kesan bahwa ia
menguasai masalah yang dibicarakan. Penguasaan topik yang baik akan
menumbuhkan keberanian dan kelancaran. Selain menguasai topik, seorang
pembicara harus berbicara (mengucapkan bunyi-bunyi bahasa) dengan jelas dan
tepat. Pengucapan bunyi bahasa yang kurang tepat dapat mengalihkan perhatian
pendengar. Ada beberapa faktor yang perlu diperhatikan seseorang untuk dapat 16
menjadi pembicara yang baik. Faktor-faktor tersebut adalah faktor verbal dan
faktor non-verbal (Arsjad dan Mukti, 1988:17).
1) Faktor Verbal
a) Ketepatan ucapan
Seorang pembicara harus membiasakan diri mengucapkan bunyi-bunyi
bahasa secara tepat. Pengucapan bunyi-bunyi bahasa yang kurang tepat dapat
mengalihkan perhatian pendengar. Hal ini akan mengganggu keefektifan
berbicara. Pengucapan bunyi-bunyi bahasa yang kurang tepat atau cacat akan
menimbulkan kebosanan, kurang menyenangkan, kurang menarik, atau setidaknya
dapat mengalihkan perhatian pendengar. Pengucapan bunyi-bunyi bahasa
dianggap cacat kalau menyimpang terlalu jauh dari ragam lisan biasa, sehingga
terlalu menarik perhatian, mengganggu komunikasi atau pemakainya (pembicara)
dianggap aneh. (Arsjad dan Mukti, 1988:19).
b) Penempatan tekanan, nada, sendi, dan durasi
Kesesuaian tekanan, nada, sendi, dan durasi merupakan daya tarik
tersendiri dalam berbicara, bahkan kadang-kadang merupakan faktor penentu.
Walaupun masalah yang dibicarakan kurang menarik, dengan penempatan
tekanan, nada, sendi, dan durasi yang sesuai akan menyebabkan masalahnya
menjadi menarik. Sebaliknya, jika penyampaiannya datar saja, hampir dapat
dipastikan akan menimbulkan kejemuan dan keefektifan tentu berkurang.
Penempatan tekanan pada kata atau suku kata yang kurang sesuai akan
mengakibatkan kejanggalan. (Arsjad dan Mukti, 1988:19) 17
Kejanggalan ini akan mengakibatkan perhatian pendengar akan beralih
pada cara berbicara pembicara, sehingga pokok pembicaraan atau pokok pesan
yang disampaikan kurang diperhatikan. Akibatnya, keefektifan komunikasi akan
terganggu.
c) Pilihan Kata (Diksi)
Pilihan kata hendaknya tepat, jelas dan bervariasi. Dalam setiap
pembicaraan pemakaian kata-kata populer tentu akan lebih efektif daripada katakata yang muluk-muluk. Kata-kata yang belum dikenal memang mengakibatkan
rasa ingin tahu, namun akan menghambat kelancaran komunikasi. (Arsjad dan
Mukti, 1988:19).
Hendaknya pembicara menyadari siapa pendengarnya, apa pokok
pembicaraannya, dan menyesuaikan pilihan katanya dengan pokok pembicaraan
dan pendengarnya. Pendengar akan lebih tertarik dan senang mendengarkan kalau
pembicara berbicara dengan jelas dalam bahasa yang dikuasainya.
d) Ketepatan sasaran pembicaraan
Hal ini menyangkut pemakaian kalimat. Pembicara yang menggunakan
kalimat efektif akan memudahkan pendengar menangkap pembicaraannya.
Seorang pembicara harus mampu menyusun kalimat efektif, kalimat yang
mengenai sasaran, sehingga mampu menimbulkan pengaruh, meninggalkan kesan
atau menimbulkan akibat. (Arsjad dan Mukti, 1988:20).
18
2) Faktor Nonverbal
a) Sikap yang wajar, tenang, dan tidak kaku
Pembicaraan yang tidak tenang, lesu dan kaku tentulah akan memberikan
kesan pertama yang kurang menarik. Dari sikap yang wajar saja sebenarnya
pembicara sudah dapat menunjukkan otoritas dan integritas dirinya. (Arsjad dan
Mukti, 1988:21). Sikap ini sangat banyak ditentukan oleh situasi, tempat dan
penguasaan materi. Penguasaan materi yang baik setidaknya akan menghilangkan
kegugupan. Namun, sikap ini memerlukan latihan. Kalau sudah terbiasa, lamakelamaan rasa gugup akan hilang dan akan timbul sikap tenang dan wajar
b) Pandangan harus diarahkan kepada lawan bicara
Pandangan pembicara hendaknya diarahkan kepada semua pendengar.
Pandangan yang hanya tertuju pada satu arah akan menyebabkan pendengar
merasa kurang diperhatikan. Banyak pembicara ketika berbicara tidak
memperhatikan pendengar, tetapi melihat ke atas, ke samping atau menunduk.
Akibatnya, perhatian pendengar berkurang. Hendaknya diusahakan supaya
pendengar merasa terlibat dan diperhatikan (Arsjad dan Mukti, 1988:21).
c) Kesediaan menghargai pendapat orang lain
Dalam menyampaikan isi pembicaraan, seorang pembicara hendaknya
memiliki sikap terbuka, dalam arti dapat menerima pendapat pihak lain, bersedia
menerima kritik, bersedia mengubah pendapatnya kalau ternyata memang keliru.
(Arsjad dan Mukti, 1988:21). Namun, tidak berarti si pembicara begitu saja 19
mengikuti pendapat orang lain dan mengubah pendapatnya. Ia juga harus mampu
mempertahankan pendapatnya dan meyakinkan orang lain. Tentu saja pendapat
itu harus mengandung argumentasi yang kuat, yang diyakini kebenarannya.
d) Gerak-gerik dan mimik yang tepat
Gerak-gerik dan mimik yang tepat dapat pula menunjang keefektifan
berbicara. Hal-hal penting selain mendapatkan tekanan, biasanya juga dibantu
dengan gerak tangan atau mimik. (Arsjad dan Mukti, 1988:21). Hal ini dapat
menghidupkan komunikasi, artinya tidak kaku. Akan tetapi, gerak-gerik yang
berlebihan akan menggangu keefektifan berbicara. Mungkin perhatian pendengar
akan terarah pada gerak-gerik dan mimik yang berlebihan ini, sehingga pesan
kurang dipahami.
e) Kenyaringan suara
Tingkat kenyaringan ini tentu disesuaikan dengan situasi, tempat, dan jumlah
pendengar. (Arsjad dan Mukti, 1988:22). Yang perlu diperhatikan adalah jangan
berteriak. Kita atur kenyaringan suara kita supaya dapat didengar oleh pendengar
dengan jelas.
f) Kelancaran
Seorang pembicara yang lancar berbicara akan memudahkan pendengar
menangkap isi pembicaraannya. (Arsjad dan Mukti, 1988:23). Seringkali
pembicara berbicara terputus-putus, bahkan antara bagian-bagian yang terputus itu 20
diselipkan bunyi-bunyi tertentu yang mengganggu penangkapan pendengar,
misalnya menyelipkan bunyi ee, oo, aa, dan sebagainya. Sebaliknya, pembicara
yang terlalu cepat berbicara juga akan menyulitkan pendengar menangkap pokok
pembicaraannya.
g) Relevansi/Penalaran
Gagasan demi gagasan haruslah berhubungan dengan logis (Arsjad dan
Mukti, 1988:24). Proses berpikir untuk sampai pada suatu kesimpulan haruslah
logis. Hal ini berarti hubungan bagian-bagian dalam kalimat, hubungan kalimat
dengan kalimat harus logis dan berhubungan dengan pokok pembicaraan.
h) Penguasaan Topik
Pembicaraan formal selalu menuntut persiapan. Tujuannya tidak lain
supaya topik yang dipilih betul-betul dikuasai. Penguasaan topik yang baik akan
menumbuhkan keberanian dan kelancaran. Jadi, penguasaan topik ini sangat
penting, bahkan merupakan faktor utama dalam berbicara (Arsjad dan Mukti,
1988:24). .
2.3.3 Pelafalan/pengucapan bahasa Inggris
Pelafalan bahasa Inggris adalah faktor yang sangat penting dalam
keberhasilan komunikasi lisan. Pelafalan yang salah dapat menyebabkan
terjadinya salah pengertian dan pada akhirnya menyebabkan gangguan
komunikasi atau communication breakdown. 21
Dalam kamus Longman Dictionary of Applied Linguistics (1985: 232),
pengucapan adalah cara mengeluarkan suara tertentu yang menekankan pada
suara yang terdengar oleh pendengarnya, dan bukan teknik mengeluarkan suara
tertentu atau yang biasa disebut artikulasi.
Bunyi dan lambang bahasa Inggris adalah salah satu dari kelompok bahasa
yang tidak sempurna karena sistem pengucapan lambang bunyinya tidak konsisten
lambang bunyi dalam alfabet yang berjumlah 26 itu dalam bahasa Inggris
mewakili lebih dari empat puluh bunyi yang berbeda. (Zubaidi, 2006: 150).
Perhatikan satu contoh cara satu lambang bunyi yang diucapkan secara berbeda:
Dane’s father who lives in a village in America, called my Dad many times.
(Widarso, 1989:31). Dalam satu kalimat tersebut terdapat sembilan lambang bunyi
yang sama, yaitu a. Namun dari satu lambang bunyi tersebut ada tujuh bunyi yang
berbeda. Bunyi yang berbeda tersebut adalah sebagai berikut: Dane [ei]; father
[a]; a [e]; village [i]; America [e] [a]; called [o:]; Dad [æ]; many [e].
Berbeda dengan bahasa Inggris, bahasa Indonesia merupakan salah satu
kelompok bahasa yang sempurna karena antara ucapan dan lambang bunyinya
konsisten (kecuali mungkin pada lambang bunyi e yang bisa dibaca [e] pada
setiap dan [é] pada kata tempe; dan pada lambang bunyi o yang bisa dibaca [o]
pada kata jodo dan [c] pada kata lombok) .
Dalam bahasa Inggris masih terdapat banyak lagi masalah
pengucapan yang serupa itu. Hal ini menjadi hambatan yang cukup besar
khususnya bagi pembelajar, apalagi bagi pembeajar pemula. Khusus untuk bunyi 22
vokal sendiri, bahasa Inggris ,mempunyai 20 bunyi yang berbeda dan
dilambangkan dalam satu lambang atau dua lambang. Berikut ini adalah daftar
bunyi baik vokal dan konsonan dalam bahasa Inggris.
Tabel 2.1 Daftar bunyi vokal bahasa Inggris
(Ladefoged, 1989: 56)
Front Central Back
Long Short Long Short Long Short
Close i: I
Mid
u: ʊ
З: ə ɔ:
Open æ ʌ a: a
Tabel 2.2 Daftar bunyi vokal dan lambang bunyi dalam bahasa Inggris
(O’Connor, 1980: 44)
Bunyi Lambang
bunyi
i: feel
I fill
e fell
ɔ: fall
u full
ɔi foil
æ cat
a cot
ʌ cut
З: curt
u: fool
ei fail
əu foal
ai fail
au foul
a: cart
Iə tier
eə tear
uə tour
ə banana 23
Konsonan bahasa Inggris memiiki 24 bunyi yang berbeda. Berikut adalah
daftar bunyi konsonan bahasa Inggris. (Ladefoged, 1989: 51) dan lambang bunyi
konsonan bahasa Inggris. (Hornby, 1974: 112 ).
Tabel 2.3 Daftar bunyi konsonan bahasa Inggris
(Ladefoged, 1989: 57)
Bilabial Labio
dental
Dental alveolar Palato
Alveolar
Palatal Velar
Nasal m
n
ŋ
Stop
pb
td
kg
Fricative
fv θð sz ∫ʒ
Central
(approximant)
w
r j
Lateral
(approximant)
l
Tabel 2.4 Daftar bunyi konsonan dan lambang bunyi dalam bahasa Inggris
(Hornby, 1974: 112)
Homofon adalah kata-kata yang
Bunyi Lambang
bunyi
p pen
b bad
t tea
d did
k cat
g got
t∫ chin
dj june
f fall
v voice
θ thin
ð then
s so
z zoo
∫ she
ʒ vision
h how
m man
n no
ŋ sing
l leg
r red
j yes
w wet 24
diucapkan sama tetapi ditulis dengan ejaan yang berbeda dan seringkali
mempunyai makna yang berbeda (Ladefoged, 1989: 130). Bagi pembelajar ini
homofon sering menimbulkan masalah karena pengucapannya sama sehingga
salah memahaminya kecuali dia mengetahui dengan baik konteks
pembicaraannya.
1) peace [pi:s] = kedamaian vs. piece [pi:s] = sepotong
2) two [tu:] = dua vs. too [tu:] = juga vs. to [tu:] = untuk; ke
Perbedaan beberapa bunyi yang mirip bagi lidah orang Indonesia umumnya
lebih fleksibel dalam meniru bunyi-bunyi bahasa asing. Mereka umumnya tidak
mengalami kesulitan untuk menirukan bunyi-bunyi tertentu, sementara orangorang bangsa lain mengalaminya. Beberapa kata dalam bahasa Inggris cenderung
juga diucapkan secara salah karena bunyi yang terdapat di dalam kata tersebut
mirip. (Zubaidi, 2006: 156).
Pembelajar sering menyepelekan perbedaan bunyi yang mirip tersebut.
Contohnya adalah bunyi [s] dan bunyi [∫]. Kata she [∫i:] (dia perempuan)
seringkali diucapkan [si] yang merupakan bunyi untuk kata see (melihat) atau sea
(laut). Bila demikian situasinya maka pembelajar tentu akan menggunakan bunyi
yang sama untuk kata berbeda dalam kalimat: She sells sea shells on the sea
shore. (Zubaidi, 2006: 156). Berikut ini adalah contoh beberapa kata dalam
bahasa Inggris yang memiliki lafaal yang mirip (tetapi berbeda), yang cenderung
akan diucapkan sama oleh pembelajar (Ladefoged, 1989: 140). 25
Lambang bunyi yang tidak diucapkan selain dari masalah-masalah
pelafalan di atas, dalam bahasa Inggris juga terdapat beberapa kata yang lambang
bunyinya tidak dilafalkan (Ladefoged, 1989:140). Seringkali pembelajar salah
dalam mengucapkan kata-kata ini karena semua lambang bunyinya diucapkan.
Beberapa contohnya adalah sebagai berikut, dimana lambang bunyi yang dicetak
tebal tidak dilafalkan.
Know = mengetahui
Knife = pisau
Write = menulis
Whole
= keseluruhan
Mnemonic = alat pembangkit
Psychology = psikologi
Science = ilmu pengetahuan
Wednesday = rabu
(Zubaidi, 2006:157)
2.3.4 Tata bahasa Inggris
Gebhard (1996: 3), seorang ahli bahasa mendefinisikan tatabahasa sebagai
suatu kumpulan sistem yang harus dipatuhi oleh pengguna bahasa sesuatu
bahasa itu, dan ia menjadi dasar untuk melahirkan asperasi bahasa yang baik
dan indah, serta menjamin kemantapan bahasa sesuatu bahasa. Menurut
Gebhard lagi, tatabahasa berfungsi dalam memisahkan bentuk-bentuk bahasa
yang gramatis, daripada yang tidak gramatis. Untuk itu dalam mempelajari
bahasa Inggris. diperlukan pemahaman terhadap kaidah-kaidah yang mengatur
penggunaan bahasa yang dalam bahasa Inggris dikenal dengan grammar.
Bagian-bagian grammar tersebut adalah:
1) Kata-kata benda tunggal dan jamak (Singular and plural nouns) 26
Perbedaan kata benda tunggal dan kata benda jamak daam kalimat
bahasa Inggris perlu diperhatikan, karena berpengaruh terhadap
penggunaan kata kerja (baik verb to be, verb to have maupun kata kerja).
Kata benda tunggal dalam kalimat harus memakai kata kerja tunggal,
sedangkan kata benda jamak harus menggunakan kata kerja jamak
(Murphy, 1985:213).
contoh:
This car is expensive (mobil ini mahal)
(car bentuk tunggal, memakai is)
These cars are expensive (mobil-mobil ini mahal)
(cars bentuk jamak, memakai are)
Pada umumnya kata benda jamak dibentuk dengan menambahkan
–s atau –es pada kata benda tungga, dengan beberapa ,perkecualian
(Murphy, 1985:213).
Cara membentuk kata benda jamak:
a) Dengan menambahkan –s pada kata benda tunggal:
Tunggal
door
school
Jamak
doors
Arti
pintu
schools sekolah
(Murphy, 1985:213)
27
b) Dengan menambahkan –es jika kata benda tunggal itu berakhir huruf –s, -
x, –z, –ch, dan –sh.
Tunggal
ass
asses
bus
bus
boxes
buzzes
bench
Arti
keledai
buses
box
buzz
Jamak
kotak
dengungan
benches bangku
brush
brushes sikat
(Murphy, 1985:213)
c) Dengan menambahkan –es jika kata benda tunggal itu berakhir huruf –o :
Tunggal
hero
negro
Jamak
heroes
Arti
pahlawan
negroes orang negro
tomato
tomatoes tomat
mango
mangoes mangga
(Murphy, 1985:213)
Akan tetapi hanya dengan menambahkan –s saja, jika kata benda tunggal
itu berakhir huruf –oo, io, -oe, atau –yo, dan beberapa kata benda
berakhiran –o yang didahului oleh sebuah konsonan (huruf mati) di bawah
ini (Murphy, 1985:213):
Tunggal
Jamak
radio
radios
photo
photos
Arti
radio
foto
dynamo dynamos dinamo