Persebaran dan Pengaruh Etnis Tionghoa d

Persebaran dan Pengaruh Etnis Tionghoa di Indonesia
Artikel
diajukan untuk memenuhi UTS Take Home mata kuliah Studi Masyarakat Indonesia
yang diampu oleh
Dosen:
Dr. H. Didin Saripudin, S.Pd., M. Pd
Dr. Syarif Moeis

oleh
Masyithoh Nurul Haq
1407264

DEPARTEMEN PENDIDIKAN SEJARAH
FAKULTAS PENDIDIKAN ILMU PENGETAHUAN SOSIAL
UNIVERSITAS PENDIDIKAN INDONESIA
BANDUNG
2015

Persebaran Etnis Tionghoa di Indonesia
Awal datang dan Persebaran
Sejak zaman Romawi kontak dagang antara Eropa bagian selatan, Timur Tengah, dan

Cina telah berlangsung. Produk yang diperdagangkannya pun tergolong mewah yaitu seperti
sutra, kain, perkakas logam, dan keramik yang dibawa dari Cina lewat dataran tinggi yang
dikenal dengan nama jalur sutra (silk road) ke Timur Tengah. (Pijlketel dalam Sutjiatiningsih,
1997, hlm. 8)
Dengan ditemukannya jalur sutera laut dan ditambah penambahan rute pelayaran baru
antara Cina dan Nusantara (Nanghai dalam istilah sebelumnya bagi Cina) menunjukkan
sudah adanya hubungan antar keduanya, yang juga menunjukkan bahwa telah ada bangsa
Cina yang meninjakkan kaki ke Nusantara entah itu sekedar berdagang atau sampai tinggal
dan membuat komunitas di berbagai wilayah di Nusantara. Yang jelas untuk sementara kita
dapat simpulkan bahwa dalam periode di atas, di daerah pesisir pulau-pulau di Nusantara
yang menjadi tempat persebaran jalur dagang Cina-Nusantara itu tersebar pula bangsa-bangsa
Cina yang berhubungan dengan pribumi sekitar.
Tapi kemudian Cina menghadapi kesulitan untuk tetap mendapatkan barang-barang
dagang yang diinginkan dari barat lewat jalur darat ini, sehingga Cina mulai tertarik pada
wilayah Nanhai (tanah di laut selatan), julukan yang diberikan Cina pada wilayah Asia
Tenggara. Dari sini lambat laut jalur darat menurun dan kemudian banyak orang Cina beralih
ke jalur laut. Sehingga jalur laut menjadi jalur sutra kedua. Akhirnya, India kemudian muncul
sebagai pasar untuk sutra Cina. (Guy dalam Sutjiatiningsih, 1977, hlm. 8)
Penemuan jalur sutra lewat laut terebut mengakibatkan munculnya satu demi satu
bandar-bandar baru di wilayah Nanhai, termasuk diantaranya Nusantara (Sutjiatiningsih,

1986, hlm. 9). Perkembangan navigasi juga membuka jalur perdagangan dari Selat Malaka ke
sebelah barat Laut Jawa dan kemudian ke Cina utara (Sutjiatiningsih, 1986, hlm. 13)
Pada periode Mongol, mulai pertengahan abad ke-13, ada kebijakan dagang Dinasti Song
Kubilai Khan yang mengadakan penyeragaman pajak dan mengundang pedagang datang ke
1

Cina, pada saat itu terjadi penambahan rute pelayaran baru jalan dagang ke Nanghai menjadi
dua, yaitu barat dan timur. Rute barat sama saja, sedangkan yang bertambah adalah rute timur,
yaitu dari Cina ke Filipina, pantai utara Kalimantan, Sulawesi, Maluku, dan Timor.
(Sutjiatiningsih, 1986, hlm. 14)
Berbagai sumber Cina yang dihimpun oleh Groeneveldt (dalam Sutjiatiningsih, 1986,
hlm. 4) memberikan suatu simpulan bahwa Cina sudah mengenal sejumlah daerah Nusantara.
Salah satu daerah yang mereka kenal pada masa Dinasti Ming, misalnya, adalah Sun la, yang
dianggap lafal Cina dari kata Sunda. Dan di salah satu daerah di Sunda, Banten misalnya,
pernah ditemukan adanya keramik Cina dari kurun yang cukup tua, spesifik di daerah Banten
Girang dinyatakan bahwa di sana dianggap sebagai pusat pemerintahan daerah Banten
sebelum Islam dan ditemukan di daerah tersebut, yaitu pada tahun 1989, sebuah keramik dari
masa Dinasti Han. Banyak juga keramik Cina dari masa Dinasti Tang, Song, dan Ming,
bahkan ditemukan juga sejumlah mata uang kepeng Cina di daerah Carita, Pandeglang.
Berbagai pelukisan keadaan kota-kota bandar di Nusantara (termasuk Banten) dan

kegiatannya dapat memperlihatkan adanya ciri atau unsur heteroginitas masyarakat di
dalamnya, di mana dikatakan ketika Belanda datang ke Banten tahun 1596 di kota tersebut
telah ada tiga pasar sehari-hari tempat mereka menjual barang. Pertama, pasar yang
dilukiskan pada sebuah alun-alun di sebelah timur kota, terlihat di sana banyak pedagang dari
berbagai bangsa, seperti Portugis, Arab, Turki, Cina, Gujarat, dll. Dan yang kedua, Pabean
yang menjual segala kebutuhan, dan yang ketiga, pasar di Pacinan. (Rouffaer dan Ijzerman
dalam Sutjiatiningsih, 1986, hlm. 11).
Sehingga wajar jika pada abad ke-15, ketika Laksamana Cheng Ho sebagai utusan dari
Dinasti Ming datang ke Nusantara, ia menemukan telah banyak para pendatang asal Cina
(Tiongkok) -yang saat itu juga telah banyak yang muslim- di Nusantara, mereka menetap
secara tersebar di Palembang, Gresik, dan Pulau Jawa secara umum, tapi tidak terkonsentrasi
dalam satu wilayah (Zarkhoviche, 2015, hlm. 157), baru setelah itu Cheng Ho mulai
mengorganisir mereka menjadi satu komunitas Cina Muslim yang ia jaga kepentingannya
dari para perompak yang biasa mengganggu kehidupan dagang pemukim-pemukim Cina itu

2

sebelumnya, hal ini dapat dimengerti mengingat status Cheng Ho yang juga dikatakan
sebagai seorang muslim.
Migran etnis Tionghoa kemudian membentuk sebuah kelompok etnisitas yang mendiami

sebuah komplek yang biasa disebut Pecinan, hal ini juga dibantu oleh peran Cheng Ho tadi,
sekitar tahun 1412 sudah ada komunitas Cina yang bermukim di daerah Gedong Batu atau
Simongan dan di tepi sungai Semarang. Daerah Gedong Batu menjadi pilihan sebagai tempat
bermukin komunitas Cina karena daerah tersebut merupakan daerah yang paling baik dan
sangat strategis. Daerah Simongan ini berupa teluk yang terletak di antara muara kali
Semarang dan Bandar Semarang. Letaknya yang strategis ini menjadi kunci utama dari
bandar Semarang. Selain itu ada juga komunitas-komunitas Cina lain yang menempati
wilayah seperti di Surabaya, Aceh, dan Palembang, komunitas-komunitas tersebut termasuk
yang banyak terpengaruh oleh peran sosok Cheng Ho yang sebelumnya telah disinggung
(Zarkhoviche, 2015, hlm. 178-196).
Sekilas mari bahas sebentar tentang Pemukiman Orang Cina (Pecinan), jika hendak
diidentifikasi menurut pola MacAndrews (1983, hlm. 5) kemungkinan pemukiman Cina di
Nusantara (Indonesia hari ini) masuk ke tipe 1 pada awalnya karena ia terbentuk dari sebuah
migrasi swakarya tanpa campur tangan sama sekali dari pemerintah, sedangkan pada
perkembangan selanjutnya, seperti nanti pada zaman kolonial Belanda (1905-1940),
pemukiman Cina di Nusantara sudah bisa masuk tipe 2 di mana pemukiman itu adalah hasil
migrasi swakarya yang ditunjang oleh instansi-instansi pemerintah, tunjangan bisa berupa
bantuan di bidang perekonomian, dsb, karena kita tahu saat itu pemerintah koloni Belanda
dengan sengaja mengundang orang-orang Cina datang ke Nusantara untuk menjadi
pekerja-pekerja di pertimahan, khususnya di daerah Bangka-Belitong.

Kembali pada periode Dinasti Ming, pada perkembangan selanjutnya, ada kasus
penyeludupan yang membuat ada perbaikan sistem dagang upeti, sehingga perdagangan
hanya terjadi pada masa pengiriman upeti berlangsung. Hal ini ternyata berimplikasi pada
hubungan komunitas Cina di Nusantara dengan komunitas Cina di negara asalnya yang
sedikit terputus. Kondisi ini berlangsung hingga memasuki abad ke-16 dengan ditandai
masuknya orang Eropa dan berdirinya VOC di pulau Jawa. (Sutjiatiningsih, 1986, hlm. 14)
3

Pada abad ke-16 dan ke-17 terjadi eksodus besar-besaran orang Tionghoa ke selatan,
yaitu ke wilayah Asia Tenggara termasuk Nusantara. Kejadian itu disebabkan adanya perang
saudara dan kemarau berkepanjangan di sana. Pada saat bersamaan, VOC berkuasa di
Batavia. Untuk memperlancar pembangunan, mereka memerlukan banyak tenaga kerja.
Karena itu mereka mengambil tenaga kerja asal Tiongkok yang dinilai ulet dan rajin
(Tersedia:
https://www.facebook.com/notes/tionghoa-indonesia/-akulturasi-dan-percampuran-budaya-ti
onghoa-di-indonesia-/10150349005540238)
Sehingga disimpulkan bahwa di daerah-daerah pesisir utara pulau Jawa ini mulai tumbuh
menjadi kota sekitar abad ke-11-12, yang diasumsikan masyarakat ketika saat itu sudah
dalam wilayah pemukiman yang melakukan kegiatan kerajinan, dari pakaian sampai tembikar,
peleburan besi dan perunggu, perhiasan emas, dan manik-manik (Sutjiatiningsih, 1986, hlm.

10). Hubungan antarkelompok masyarakat mejemuk di Indonesia khususnya menyangkut
hubungan etnis Jawa dan Cina ini berlangsung sampai abad ke-15, dan terus berlanjut sampai
abad-abad berikutnya.
Hubungan ini jangan dianggap selalu mulus, melainkan juga diwarnai benih-benih
pertentangan, karena harus disadari bahwa hubungan ini adalah pertemuan dua budaya, etnis,
bahasa, dan aspek lainnya yang berbeda. Sehingga wajar jika ada gesekan-gesekan dan
pertentangan yang terjadi.
Pertentangan berlangsung hingga pemerintahan kolonial Belanda di Indonesia yang
menggolongkan masyarakat Indonesia ke dalam golongan-golongan, ada golongan orang
Eropa, orang Timur Asing, dan golongan orang pribumi. Di dalam penggolongan tersebut
membuat status orang Cina berada di atas pribumi. Selain adanya segregasi dalam hubungan
mereka (orang Jawa dan Cina di pulau Jawa) aspek persaingan dagang pun turut
mewarnainya, terutama pada komunitas mereka yang berada di pesisir utara pulau Jawa,
gejala tersebut dapat dilihat secara jelas pada pertengahan awal abad ke-20, yaitu sekitar
tahun 1900-1942. (Handoyo, 2015, hlm.76)
Perkembangan

4

Di Indonesia proporsi orang Cina jauh lebih kecil dibanding Malaysia, kira-kira hanya

3% dari jumlah penduduk seluruhnya. Di Indonesia orang-orang Cina adalah minoritas.
Mereka terbagi menjadi tiga kategori yang berbeda, yaitu yang berkewarganegaraan Republik
Rakyat Cina (RRC), Warga Negara Indonesia keturunan Cina, dan Cina yang tak
berwarganegara. Dua kategori masyarakat Cina yang pertama mungkin lebih banyak ditemui
dibanding yang ketiga. Dua kategori masyarakat Cina yang pertama itu dekat dan bisa
disamakan dengan apa yang disebut Cina Totok (Cina yang baru bermigrasi) dan Cina
Peranakan. Dan dari semua jumlah masyarakat Cina yang minoritas itu proporsi Cina
Peranakan didapat lebih banyak dari pada Cina Totok. Seperti pada tahun 1930, hasil
penelitian ditemukan bahwa 63% penduduk Cina di Indonesia lahir di Indonesia (Naderlands
Indies). Juga, Cina Peranakan sendiri bisa dikatakan merupakan bagian otonom dari
masyarakat Cina yang ada. (Giap, 1986, hlm. 8-9)
Ternyata jika ditinjau lebih lanjut dari hubungan sosial bahkan dalam status hukum dan
politik, terdapat perbedaan yang cukup berarti dari kedua kelompok mayarakat Cina di atas,
di mana WNI turunan Cina walaupun belum sepenuhnya terhindar dari diskriminasi tapi
posisi mereka tetap lebih aman di Indonesia daripada mereka yang masih berwarganagara
Cina. Misalnya, dalam PP No. 10 tahun 1959 tentang larangan berdagang eceran, aturan
tersebut pada dasarnya ternyata tidak berlaku bagi Cina Peranakan yang berwarganegara
Indonesia. (Giap, 1986, hlm. 9)
Kemudian juga terlihat ada kecenderungan hubungan yang kurang baik antara Cina
Peranakan dan Cina Totok, di mana bagi Cina Peranakan di Indonesia, membuat hubungan

yang dekat dengan Cina Totok mungkin akan sangat merugikan, karena Cina Totok adalah
warga nagara Asing (Giap, 1986, hlm. 9). Hal ini dapat dimengerti karena pembatasan
masyarakat asli Indonesia sendiri yang tidak begitu respect terhadap warga Cina. Tapi
keadaan ini dapat diantisipasi dengan sikap paradoks pemerintah Indonesia itu sendiri,
khususnya pada zaman Soeharto, di mana ada sikap intimidatif pemerintah kepada
orang-orang Cina dengan dimunculkan stigma atau citra negatif bahwa mereka identik
dengan komunis (PKI) tapi juga secara aktif mereka mempromosikan adanya pembauran
warga negara Indonesia turunan Cina dengan perubahan nama mereka ke nama Indonesia.
(Giap, 1986, hlm. 9)
5

Ditambah, Cina menjadi penetrasi dalam perdagangan pedagang-pedangan lokal pribumi,
terutama bagi kelas pengusaha batik dan industri rokok pribumi di Indonesia. Yang kemudian
hal tersebut memunculkan kompetisi ekonomi antar keduanya yang telah menjurus pada
kericuhan komunal seperti yang telah terjadi pada masa kolonial -yang sebelumnya telah
sedikit disinggung (The dalam Giap, 1986, hlm. 9). Setelah kemerdekaan usaha pedagang
Indonesia kelas menengah untuk menjadi tuan di bidang ekonomi di rumah mereka sendiri
semakin didukung oleh penduduk Indonesia. Hal ini seiring dengan munculnya sikap
cemburu dan tak senang kepada orang-orang Cina dan harta milik mereka yang menciptakan
tegangan laten hingga dapat dengan mudah menyalurkan sikap permusuhan pada mereka.

(Giap, 1986, hlm. 9-10)
Pengaruh Etnis Cina di Indonesia
Pengaruh
Bila seseorang telah terenkulturasi dalam sebuah budaya memasuki budaya lain yang
berbeda maka akan ada proses adaptasi dan akulturasi (Reuby, 2010, hlm. 24). Begitu juga
yang dialami bangsa atau masyarakat Cina di Indonesia.
Adaptasi adalah suatu perilaku individu yang sadar, aktif, dan kreatif memilih dan
memutuskan apa yang ingin dilaksanakan sebagai suatu penyesuaian, jadi ia bukan suatu
proses yang terjadi secara kebetulan dan tak disadari. Adaptasi juga terjadi lewat proses
identifikasi dan internalisasi pada lambang-lambang masyarakat pribumi yang signifikan.
(Reuby, 2010, hlm. 25)
Sedangkan pengertian akulturasi sendiri yaitu,
The process through which an individual is sosialized into a new culture while
retaining many aspects of a previous culture. (Rogers dan Steinatt dalam Reuby, 2010,
hlm. 25)
Akulturasi Cina-Jawa berlangsung bersamaan dengan aktifitas dagang, beberapa faktor
juga mendukung terjadinya akulturasi budaya dalam masyarakat Indonesia, diantaranya

6


terdapat kesamaan tradisi. Dalam perayaan atau hari besar keagamaan, misalnya, dalam
masyarakat Jawa membuat bentuk sesajen, slametan, ruwatan dengan makanan jajan pasar,
seperti apem, wajik, jadah, serabi dan lain-lain. Begitu pun masyarakat Tionghoa yang
mengadakan slametan di Klenteng, juga membuat makanan seperti nasi tumpeng lengkap
dengan lauk pauknya, opor ayam, enten-enten, ketan, nasi dengan ikan laut, bubur merah dan
bubur putih.
Orang-orang Cina itu, apakah masih jenis Totok atau sudah Peranakan, mereka punya
potensi dan jiwa ekonomi yang besar terutama pada bidang perdagangan, di mana jiwa
ekonomi-dagang ini sudah terlihat sejak kedatangan awal mereka ke Nusantara, dan tentu
saja hal ini cukup punya pengaruh besar bagi bangsa lokal Nusantara, apalagi jika melihat
pengaruh pada segi budaya juga, segi ekomoni saja sudah sangat berpengaruh, di mana kita
bisa lihat mereka pernah mempengaruhi bangsa lokal Nusantara ini untuk bergerak agar bisa
menguasai perekonomian di ‘rumah’ mereka sendiri. Walaupun dalam perkeberkembangan
setelahnya, karena beberapa alasan, pengaruh ini semakin mengendur dan betul-betul terbatas
di persoalan ekomoni saja, sementara pengaruh lainnya, bisa dikatakan, hanya sisa-sisa saja.
Di sini dapat diberikan sedikit alasan mengapa, power ekomoni-dagang sangat besar di
diri orang-orang Cina itu. Ternyata, di Cina sendiri, di pedesaannya ada pembentukan
koperasi-koperasi pedesaan yang kecil tapi kuat, yang pada umumnya dikenal dengan tim-tim
produksi yang punya kemandirian yang besar dalam bidang ekonomi, di sana juga ada
mobilisasi tenaga kerja untuk proyek-proyek investasi publik setempat (McCawley, 1982,

hlm. 21). Setiap orang Cina pun di dalam angkatan kerja perekonomian kolektif di daerah
perdesaan-perdesaan tersebut harus jadi anggota salah satu tim produksi dan keadaan ini
dibuat menjadi sebuah kewajiban (McCawley, 1982, hlm. 26).
Fenomena pengaruh ekomoni Cina, salah satunya dapat dilihat di Mojokuto, seperti
penelitian yang dilakukan Geertz (1977, hlm. 31-55) bahwa orang Cina di sana merupakan
pemilik toko dan memegang kekuasaan yang sepenuhnya, salah satu bahan yang dijualkan
adalah kain. Mereka ternyata telah lama berperan di dalam ekonomi tradisional sebagai unsur
yang paling berkembang, bahkan menjadi saingan kaum pariah yang ada di sana. Di sebelah
utara alun-alun Mojokuto sendiri adalah daerah dagang yang dikuasai orang-orang Cina
7

padahal waktu itu sudah menjelang akhir zaman malaise. Juga di Serawak, orang Cina
terkenal sebagai penjual atau pedagang karet (Geertz, 1977, hlm. 38).
Kelanjutan
Sebagaimana yang juga telah dijelaskan, bahwa hubungan Indonesia (dulu dengan istilah
Nusantara) dengan suku bangsa Tionghoa (Cina) sudah ratusan tahun lalu terjalin. Hingga
kini, hubungan tersebut juga masih erat terjalin dengan melewati pasang surut yang panjang.
Seiring berjalannya waktu, maka lahirlah hasil-hasil budaya, pengetahuan, pola pikir dan
kepercayaan yang saling memengaruhi kebudayaan bangsa Indonesia secara signifikan saat
ini. Masyarakat di Indonesia kini mengadopsi banyak hal dari bangsa Tionghoa yang datang
ke Nusantara, baik dari teknologi, gaya bangunan, kuliner, bahasa, budaya dan seni.
(Tersedia:
http://life.viva.co.id/news/read/596335-menilik-akulturasi-budaya-tionghoa-dalam-seni-indon
esia)
Ungkapan yang selaras dengan pernyataan di atas adalah apa yang dibenarkan oleh
Gubernur DIY, Sri Sultan Hamengkubuwono, pada acara pembukaan Pekan Budaya
Tionghoa di Yogyakarta pada 2012, demikian ugkapannya sebagai refleksi keberadaan dan
pengaruh budaya Tionghoa di Indonesia hingga periode abad 21 ini,
"Kebudayaan Tionghoa merupakan kebudayaan subkultur dari kebudayaan
Indonesia. Mereka sudah berakulturasi dengan budaya asli sehingga menjadi kesatuan
yang tak terpisahkan,"
Sultan menjelaskan budaya Tionghoa banyak memiliki kesamaan budaya khususnya
budaya Jawa. Dia mencontohkan, tradisi Imlek atau tahun baru China juga dilakukan di Jawa
dengan tradisi saat merayakan Idul Fitri. Atau tradisi angpau juga sama dengan tradisi
membagi rejeki saat lebaran. Bahkan, kata Sultan, justru etnis Tionghoa banyak memberikan
pengetahuan kepada bangsa Indonesia seperti berdagang, bercocok tanam, pertukangan, serta
industri-industri kecil lainnya. "Masyarakat Tionghoa juga menjadi pioner masuknya agama
Islam di Indonesia. Di sinilah banyak akulturasi budaya yang muncul," tandasnya.

8

(http://nationalgeographic.co.id/berita/2012/02/ditingkatkan-akulturasi-seni-budaya-indonesi
a-china)
Akan tetapi, jika digali lebih dalam, dalam rentang waktu yang begitu lama, kebudayaan
Tionghoa ternyata telah tenggelam dan mulai tergerus arus globalisasi, anak-anak muda
Tionghoa kurang menyukai dan melestarikan adat-istiadat mereka sehingga perlahan-lahan
adat-istiadat asli Tionghoa bergeser.
Akibatnya ada bauran-bauran budaya lokal yang mempengaruhi bergesernya budaya Asli
Tionghoa seperti contohnya warga Tionghoa di Jawa, sewaktu perayaan Imlek mayoritas
warga Tionghoa di Jakarta dan sekitarnya berbondong-bondong membeli ikan Bandeng.
Contoh lain di Singkawang Kalimantan, budaya Tionghoa berbaur dengan budaya Dayak,
Melayu, dan kultur lokal lain yang menghasilkan suatu kebudayaan Tionghoa baru yang
hanya ada di Indonesia dan bisa dijadikan warisan kebudayaan. Begitu juga contoh lainnya
pada permainan barongsai, yang seharusnya ada di upacara atau hari-hari besar kini mulai
bergeser manfaatnya menjadi penyambut tamu kehormatan dan pesta-pesta yang dianggap
penting.

(Tersedia:

http://www.slideshare.net/hansisiahaan/akulturasi-budaya-tionghoa-di-indonesia-slide-ppt)
Sehingga wajar, jika masyarakat Tionghoa Indonesia mulai tidak mengenal lagi yang
mana budaya asli mereka karena ada bauran-bauran budaya yang terjadi akibat perkawinan,
perpindahan keyakinan, penyesuaian diri individu penganut budaya atau proses assimilasi
budaya dengan budaya lokal setempat, dan juga dipengaruhi oleh berubahnya pola mindset
para penganut budaya Tionghoa yang lebih maju untuk mengikutu arus globalisasi akibatnya
secara

perlahan-lahan

kebudayaan

asli

masyarakat

tionghoa

bergeser.

(Tersedia:

http://www.slideshare.net/hansisiahaan/akulturasi-budaya-tionghoa-di-indonesia-slide-ppt)
Namum bukan berarti kita boleh betul-betul tidak harus tahu sisa pengaruh budaya
Tiongkok yang ada hingga kini, karena walau bagaimanapun, budaya Tiongkok punya andil
besar bagi budaya di Indonesia yang ada hari ini, sebut saja, dalam kosa kata kita sehari-hari
banyak istilah Tiongkok yang sudah dianggap punyanya orang Betawi seperti cepek (seratus),
engkong (kakek), gua (saya), lu (kamu), cabo ( istri / pelacur), centeng (penjaga malam), toko

9

(tempat bertransaksi), sekoteng (minuman sejenis wedang jahe), cincau (minuman ringan dari
sari daun), cokek ( jenis tarian ) dan bakiak (sandal dari kayu). Sejak lama rupanya
orang-orang Betawi dan Tionghoa sudah bersosialisasi, baik sebagai sahabat, relasi bisnis
maupun

hubungan

pembantu-majikan.

(Tersedia:

https://www.facebook.com/notes/tionghoa-indonesia/-akulturasi-dan-percampuran-budaya-ti
onghoa-di-indonesia-/10150349005540238)
Busana tradisional Betawi juga berakulturasi dengan busana orang-orang Tionghoa. Baju
koko atau tikim berasal dari dialek Tionghoa tuikim. Begitu pula dengan kebaya encim
karena dalam dialek Hokkian encim adalah bibi / tante. Aksesori sanggul sering kali berujud
burung hong, yang merupakan hewan mitologi dalam kebudayaan Tiongkok.
Bidang lain yang mendapat pengaruh Tiongkok adalah kesenian, terlihat jelas pada
gambang kromong, cokek, dan lenong. Petasan dan kembang api yang tadinya dibakar
menjelang Tahun Baru Imlek, menjadi pelengkap setiap hajatan masyarakat Betawi. Di
bidang arsitektur, pengaruh Tionghoa juga cukup kuat. Bagian depan rumah Betawi diberi
hiasan pembatas berupa langkan. Lalu agar tampak indah dan tidak kusam, pintu dan jendela
harus dicat (chat). Istilah ubin, lonceng, pangkeng (kamar tidur), kongkow, teh, kuaci, tapang
(bermakna balai-balai), langseng, anglo, topo, kemoceng, dan pengki, juga berasal dari dialek
Hokkian.

(Tersedia:

https://www.facebook.com/notes/tionghoa-indonesia/-akulturasi-dan-percampuran-budaya-ti
onghoa-di-indonesia-/10150349005540238)

10

Sumber:
Ad3. (2011). Akulturasi dan Pencampuran Budaya Tionghoa di Indonesia [online]. Diakses
dari:
https://www.facebook.com/notes/tionghoa-indonesia/-akulturasi-dan-percampuran-buda
ya-tionghoa-di-indonesia-/10150349005540238. [03 November 2015].
Astuti, Lutfi Dwi Puji dan Linda Hasibuan. (2015). Menilik Akulturasi Budaya Tionghoa
dalam

Seni

Indonesia

[online].

Diakses

dari:

http://life.viva.co.id/news/read/596335-menilik-akulturasi-budaya-tionghoa-dalam-seni-i
ndonesia. [03 November 2015].
Geertz, Clifford. (1977). Penjaja dan Raja, Perubahan Sosial dan Modernisasi Ekonomi di
Dua Kota Indonesia. Jakarta: Gramedia.
Giap, The Siauw. (1986). Cina Muslim di Indonesia. Jakarta: Yayasan Ukhuwah Islamiyah.
Handoyo, Eko, dkk. (2015). Studi Masyarakat Indonesia. Yogjakarta: Ombak.
MacAndrews, Colin dan Rahardjo. (1983). Pemukiman di Asia Tenggara dan Transmigrasi
di Indonesia Suatu Perbandingan. Yogyakarta: Gajah Mada University Press.
McCawley, Peter. (1982). Dualisme Pedesaan di Indonesia dan Cina Teknologi Baru
Pranata dan Kesejahteraan. _______: Yayasan Ilmu-Ilmu Sosial.
Pramesti, Olivia Lewi. (2012). Ditingkatkan, Akulturasi Seni Budaya Indonesia-China
[online].

Diakses

dari:

http://nationalgeographic.co.id/berita/2012/02/ditingkatkan-akulturasi-seni-budaya-indon
esia-china. [03 November 2015].
Reuby, Mahyuzar M. (2010). Memahami Komunikasi Antarbudaya. Bandung: UNPAD
PRESS.

11

Siahaan, Hans Imanuel Prawira, dkk. (tanpa tahun). Akulturasi Budaya Tionghoa di
Indonesia

[online].

Diakses

dari:

http://www.slideshare.net/hansisiahaan/akulturasi-budaya-tionghoa-di-indonesia-slide-p
pt. [03 November 2015]
Sutjiatiningsih, Sri, dkk. (1997). Banten Kota Pelabuhan Jalan Sutra Kumpulan Makalah
Diskusi. Jakarta: Depdikbud.
Universitas Pendidikan Indonesia. (2014). Pedoman Penulisan Karya Ilmiah Universitas
Pendidikan

Indonesia

Tahun

2014

[online].

Diakses

dari

http://www.academia.edu/9805012/Pedoman_Penulisan_Karya_Ilmiah_Universitas_Pen
didikan_Indonesia_Tahun_2014. [1 Maret 2015]
Zarkhoviche, Baha. (2015). Laksamana Cheng Ho Panglima Islam Penakluk Dunia.
Yogyakarta: Araska Publisher.

12