TSUNAMI Fenomena atau Bencana Alam
TSUNAMI : Fenomena atau Bencana Alam?1
“ ….the devastation is tremendous,
and we can’t describe it adequetly……
Capt. Kendall Card – USS Abraham Lincoln”
Tsunami (dibaca: tsoo-NAH-mee) adalah gelombang transien yang disebabkan oleh
gempa tektonik ataupun oleh letusan gunung berapi. Tsunami adalah asal kata dari bahasa
Jepang dimana artinya gelombang yang sering terjadi di daerah-daerah pelabuhan di pantai
Jepang (Tsu = Pelabuhan dan Nami = gelombang) dan bukan apa yang sering diartikan oleh
kebanyakan orang sebagai “tidal waves” (Vasily Titov, 2004). Tsunami memiliki perioda
gelombang di antara 10 sampai dengan 60 menit. Bila penyebab Tsunami adalah letusan
gunung berapi (seperti yang terjadi di gunung Krakatau) maka gangguannya terjadi pada
permukaan, dan apabila penyebabnya adalah gempa tektonik (Aceh dan Nias) maka
gangguannya terjadi pada dasar laut. Gangguan pada dasar laut inilah yang sering terjadi
Tsunami, Indonesia sendiri adalah merupakan alur dari kagiatan tektonik, yang mana
dokumentasi terjadi Tsunami sendiri masih langka dan sangat jarang terekam oleh para
peneliti, contoh seperti terjadi sekarang ini di Aceh dan Sumatera Utara. Terlululantahkan
oleh goncangan Gempa berskala 8,5 pada skala Richter (8.9 moment magnitude), lebih tepat
lagi terjadi di pulau Sumatera pada Minggu pagi 26 Desember 2004 jam 06:58:50 AM
sungguh dasyat memang Asia Tenggara dan Asia Selatan terguncang oleh gempa ini, sampai
goncangan ini terasa di Somalia, Afrika Timur yang jaraknya 6000 Kilometer dari Epicenter
Gempa!!. Apakah kita pernah berpikir kehancuran gempa ini samadengan kekuatan tenaga
yang dilepaskan oleh 32 megaton peledak trinitrotoluena atau TNT?. Sampai saat ini belum
ada teknologi yang “sophisticated” mampu memprediksi gempa yang terjadi.
Akan tetapi, banyak teori yang bercerita dan menguraikan terjadinya Tsunami yang
diakibatkan oleh gempa, ironi memang kajian teoritis mengenai Tsunami sudah banyak yang
dilakukan dan di Jepang sudah bukan bahan yang baru lagi. Mengapa Tsunami bisa terjadi?
Gempa adalah awal sehingga terjadi Tsunami dimana adanya perpindahan energi gempa ke
fluida (cairan bergerak), di dalam fluida, energi ini diubah menjadi gerakan fluida berupa
gelombang. Gelombang yang terbentuk ini tergantung dari besarnya energi gempa, sehingga
dengan penurunan beberapa pendekatan numeris bisa diketahui energi Tsunami yang terjadi.
Pendekatan yang sering digunakan adalah dengan skala Imamura (m), dimana dengan
mengetahui besar m (imamura scale) maka kita bisa mengetahui tinggi gelombang yang
terjadi serta luasan daya hancur yang diakibatkannya.
Adalah Fluida apabila kita
menganggap fluida itu ideal maka dia akan bersifat inviscid, tidak berotasi dan tidak mampu
mampat.
Untuk itu, berlakulah apa yang disebut aliran potensial sehingga dapat
didefinisikan sebagai kecepatan potensial. Asumsi umum menyebutkan bahwa gempa yang
kurang dari 6 skala ritcher tidak akan menimbulkan kerusakan berarti akibat Tsunami. Perlu
juga diketahui bahwa epicenter terhadap pantai juga menentukan terhadap tinggi gelombang
Tsunami. Besarnya energi Tsunami diperkirakan 10% dari energi gempa. Analisa numerik
mengacu pada contoh sebagai berikut; bila diketahui M = 7.0 m (magnitude) maka m
(imamura) = 1.83 dan T (period) = 13.8 menit; maka dari tabel imamura diperkirakan tinggi
gelombang yang terjadi adalah 3 meter di pusat gempa dan akan menjalar menuju perairan
yang lebih dangkal.
1
J.Ch. Kumaat. Staf Pengajar Universitas Negeri Manado
dan Postgraduate Student in Universitâ Politecnicâ delle Marche Ancona Italia
e-mail: joyke2000@yahoo.com; christian.diver@gmail.com.
Sumber: http://geof.bmg.go.id/Tsunami.jsp
Asumsi awal ini tentunya belumlah valid karena perlu diperhitunkan lagi dengan energi
terjadinya gempa yang dikonversikan dengan energi Tsunami yang terbentuk serta menjalar
untuk mencapai pantai. Tidak mudah memang, akan tetapi ini perlu kita perjelas bahwa dari
berbagai macam kejadian, tanda-tanda fenomena alam yang berubah secara tiba-tiba patut
kita waspadai, dimana tanda utama akan terjadinya Tsunami adalah gempa yang besar serta
air tiba-tiba surut secara tidak normal.
Gelombang Tsunami secara significant menyebabkan beberapa pulau besar atau kecil akan
mengalami kerusakan parah, akibat besarnya gempa dan gelombang Tsunami yang terjadi.
Perbandingannya dapat digambarkan bahwa, Tsunami yang terjadi tidaklah seperti
gelombang yang dibangkitkan oleh angin (wind generated waves), yang sering dan setiap
waktu menghantam wilayah pesisir secara periodik, dimana gelombang ini mempunyai tinggi,
panjang dan perioda bervariasi setiap waktunya. Angin yang membangkitkan gelombang dari
daerah lepas pantai (swell), akan menuju pantai dan apabila diikuti oleh badai (storm) maka
gelombang akan membesar dan menggulung mengikuti model topografi dasar laut serta
kecepatan angin yang menghembuskanya, biasanya kecepatan gelombang bervariasi antara
10 detik sampai dengan gelombang panjang 150 menit. Seperti juga proses terjadinya
Tsunami mempunyai panjang gelombang tetapi panjangnya akan mencapai sekitar 100 km
dan memiliki kecepatan gelombang antara 200 m/det sampai dengan 700 km/jam, seperti
pernah terjadi di Samudera Pacifik pada kedalaman 4000 m (Wikipedia Encylopedia,
2004). Selanjutnya oleh Global Security, 2004 membagi beberapa model matematis
hubungan antara kecepatan jalar gelombang (wave celerity) dan tinggi Tsunami yang terjadi
pada beberapa kedalaman laut. Deskripsinya dapat dilihat pada gambar di bawah ini:
Sumber: http://www.globalsecurity.org/eye/andaman-pix2.htm.
Gambar di atas merupakan uraian dari beberapa teori yang mencoba memodelkan bagaimana
pembentukan gelombang Tsunami menuju pantai. Ada dua teori yang mendukung bahwa
kejadian di atas yaitu :
Transformasi akibat perubahan Lebar dan kedalaman suatu perairan (h/ho dan
b/bo), bila Tsunami melintasi alur yang sempit seperti selat, sungai, ataupun teluk
yang panjang, amplitudo Tsunami akan mengalami perubahan, seperti energi
gelombang (wave energy) akan membesar akibat bathimetri lahan dan gelombang
pecah (wave breaking) akan meninggi di daerah pantai.
Run-Up (H/R dan R/H), adalah akumulasi energi yang terjadi pada dinding miring
yang mengakibatkan pembesaran tinggi gelombang. Run-Up ini terjadi saat
gelombang mencapai pantai. Tinggi gelombang tergantung dari model kemiringan
lahan (topografi), tinggi gelombang (H) dan panjang gelombang (L).
Penjabaran dari dua teori tersebut ini adalah umum digunakan di dalam bidang rekayasa
pantai untuk menduga dinamika air laut . Mekanisme kerja gelombang Tsunami dapat
dimodelkan dengan pendekatan numeris untuk meramalkan terjadinya gelombang di daerah
bahaya Tsunami. Oleh karena itu, data-data tentang pasang surut dan topografi pantai sangat
penting di dalam mengevaluasi keadaan pesisir disamping dukungan data tentang besaran
kekuatan gempa yang terjadi.
Lengan Sulawesi Utara dari peta yang dikeluarkan oleh BMG adalah merupakan daerah yang
rawan terjadinya gempa tektonik, alur ini terbentuk disepanjang Laut Sulawesi serta sebagian
lagi berada di Teluk Tomini. Kondisi umum perairan Sulawesi Utara merupakan laut dalam
dengan topografi lahan yang berbukit-bukit adalah merupakan daerah hasil dari proses
geologis yang panjang. Lebih khusus lagi Teluk Manado adalah bagian dari wilayah pesisir
bagian utara dari Sulawesi Utara, kegiatan perekonomian yang maju pesat diiringi dengan
banyaknya kegiatan pembangunan infrastruktur di sepanjang pesisir Teluk Manado, seperti
berkembangnya kota modern pantai di kawasan-kawasan reklamasi Teluk Manado, serta
dimanfaatkan sebagai ruang publik untuk wisata pantai, transportasi laut serta daerah
penangkapan ikan bagi nelayan lokal. Fenomena yang biasa kita lihat, kegiatan sehari-hari
dari masyarakat pesisir sangat tentu dengan banyaknya fasilitas publik ini kita
digampangkan/dimanjakan, akan tetapi kita sebagai masyarakat makin minim mendapatkan
open akses untuk masyarakat kota, pantai manado sudah banyak dipakai untuk kepentingan
perorangan, properti ekologis yang adalah merupakan pelindung pantai alamiah hampir tidak
ada lagi banyak yang telah dialihfungsikan, yang fungsi sebenarnya adalah penahan laju erosi
serta sebagai penahan gelombang badai yang paling efektif. Hutan bakau (mangrove) dan
Terumbu Karang (coral reefs) adalah merupakan dua ekosistem pantai yang mendukung
keterlindungan pantai dari serangan Badai atau bisa efektif meredam hantaman dari
gelombang Tsunami. Dilain pihak, pemerintah dan swasta telah banyak membuat pemecah
gelombang buatan di sepanjang pesisir Teluk Manado, dengan perhitungan bahwa bisa
meredam laju erosi pantai dengan memakai skala-skala rekayasa pantai. Adapun pelindungpelindung pantai yang berada di sepanjang Teluk Manado dirancang sedemikian rupa sebagai
peredam gelombang badai, gelombang ini biasa terjadi apabila di laut lepas terjadi badai
(storm) besar, sehingga pembentukan gelombang ini lebih dominan adalah hasil gesekan
angin terhadap permukaan air laut. Untuk kasus terjadinya gelombang Tsunami, yang adalah
merupakan akibat dari gempa tektonik berbeda dengan gelombang yang dibangkitkan oleh
angin, gelombang Tsunami biasanya mempuyai kecepatan yang sangat tinggi sampai ratusan
meter per jam dan panjang gelombang bervariasi mengikuti pola topografi dasar laut,
biasanya panjang gelombangnya menjadi pendek apabila sudah dekat dengan daerah pantai
dan tinggi gelombang akan membesar. Basis data hasil pencatatan gelombang di Teluk
Manado sangatlah minim, biasanya data mengenai gelombang di analisis berdasarkan
prediksi dari kecepatan Angin (data olahan BMG) kemudian di konversi menjadi tinggi dan
perioda gelombang. Minimnya alat pendeteksian gelombang laut sangatlah memprihatinkan
apalagi lembaga-lembaga riset kelautan yang meneliti sifat fisis air laut masih belum ada di
Sulawesi Utara, apalagi alat pendeteksi Gelombang Tsunami yang harganya mencapai 18
milliar rupiah per buah dan tentu sangat mahal. Teknologi pendeteksian Tsunami sebenarnya
sudah ada yang dikembangkan oleh Pacific Marine Environmental Laboratory
(PMEL) yang berpusat di Hawaii, mengembangkan teknologi pendeteksian dini terjadinya
Tsunami yang disebut DART (Deep – ocean Assesment and Reporting of Tsunamis),
alat ini bekerja secara terus-menerus (real time) malaporkan anomali perubahan dari air laut.
Alat ini di letakkan di samudera Pacific yang fungsinya mengontrol semua fenomena fisis
serta keanehan dari laut , seperti gempa dan penjalaran gelombang yang terbentuk.
Sumber: Data Network Deep – ocean Assesment and Reporting of Tsunamis (DART).
F.I. Gonzalez et al NOAA / Pacific Marine Environmental Laboratory (2003)
Alat ini sudah diujicobakan dengan simulasi super-komputer oleh Pacific Disaster Center
(PDC) dan Maui High Performance Computing Center (MHPCC) yang dapat
meramalkan dan memodelkan propagasi Tsunami dari waktu ke waktu. Uji coba sudah
dilakukan dengan melakukan pengukuran lapangan berupa maximum wave run-up di pulau
Okushiri, Jepang pada saat terjadi gelombang Tsunami Hokaido – Nansei – Oki. Kita
(Sulawesi Utara) beruntung sebenarnya dari posisi geografis berada dibibir Pacific yang mana
penelitian-penelitian tentang Tsunami sudah maju dan penyiapan peralatan yang lengkap.
Jepang dan Amerika Serikat merasa bertanggung jawab di dalam pengembangan berbagai
research tentang Tsunami hal ini diimplementasikan dengan dibuatnya sekitar 11 stasiun
pengamatan Tsunami di samudera Pacifik (Amerika Serikat 7 buah dan Jepang 4 buah).
Dilain pihak, Indonesia adalah wilayah yang rawan Tsunami termasuk Sulawesi Utara belum
ada alat pendeteksi Tsunami dan ini sungguh riskan memang, Thailand saja yang sebagian
wilayahnya sudah terpasang alat pendeteksi ini masih bisa kecolongan dengan adanya
Tsunami di Samudera Hindia. Yang terpenting disini adalah membangun jaringan (network)
dengan pusat-pusat penelitian yang sudah ada seperti Pacific Tsunami Warning Center
yang berada di Hawaii atau dengan memanfaatkan peralatan yang dimiliki oleh BMG.
Sistem Peringatan Dini (SPD) atau Early Warning System (EWS) Tsunami, adalah
alternatif di dalam meminimalisasi keadaan yang sangat berbahaya pada saat terjadinya
gempa dan gelombang Tsunami. Belum adanya teknologi yang dapat menahan serangan
gelombang Tsunami, jelas, perlindungan secara fisik terhadap Tsunami hampir tidak
mungkin untuk dilakukan karena akan memerlukan biaya sangat besar. Menarik disimak apa
yang dikatakan oleh DR. Hamzah Latief, peneliti Tsunami dari ITB Bandung (ITB News, 3
Januari 2005) bahwa, di dalam membangun sistem peringatan dini kita membutuhkan
triliunan rupiah, contohnya Jepang dengan teknologinya membangun sistem ini di perairan
mereka di dalam mendeteksi keberadaan Tsunami, Indonesia masih sangat riskan di dalam
membangun teknologi ini, akan tetapi hal yang terpenting adalah pengetahuan dan kesadaran
masyarakat tentang Tsunami.
Cara yang efektif adalah dengan melatih penduduk dalam menghadapi Tsunami dan
menghindarkan pembangunan konstruksi di daerah yang sering diserang Tsunami. Cara-cara
yang dianjurkan untuk menghadapi Tsunami adalah :
1. relokasi daerah pemukiman
2. membuat jalan atau llintasan untuk melarikan diri dari Tsunami
3. melakukan latihan pengungsian
4. menanami daerah pantai dengan tanaman (bakau/mangrove) yang secara efektif
dapat menyerap energi gelombang
5. membiarkan lapangan terbuka untuk menyerap energi Tsunami
6. membuat dike ataupun breakwater di daerah yang memungkinkan
7. membuat suatu sistem peringatan dini (early warning sistem)
Ini merupakan langkah-langkah praktis dalam meminimalisasi gelombang Tsunami yang
terjadi tentu bukan hal yang mudah karena pada umumnya di dalam penerapan tahapan ini
haruslah di sokong oleh perencanaan sistematis di dalam perencanaan kota. Akan menjadi
sulit memang dikarenakan hampir semua kota pesisir di Indonesia lebih khusus lagi di
Sulawesi Utara belum mempunyai platform kota dalam menghadapi gelombang Tsunami,
dan ini jelas bahwa kita masih terkonsentrasi di dalam menata ruang publik untuk
kepentingan bisnis semata dan belum memperhatikan aspek-aspek yang berhubungan
dengan keselamatan ruang publik tersebut apalagi nyawa manusia.
“ ….the devastation is tremendous,
and we can’t describe it adequetly……
Capt. Kendall Card – USS Abraham Lincoln”
Tsunami (dibaca: tsoo-NAH-mee) adalah gelombang transien yang disebabkan oleh
gempa tektonik ataupun oleh letusan gunung berapi. Tsunami adalah asal kata dari bahasa
Jepang dimana artinya gelombang yang sering terjadi di daerah-daerah pelabuhan di pantai
Jepang (Tsu = Pelabuhan dan Nami = gelombang) dan bukan apa yang sering diartikan oleh
kebanyakan orang sebagai “tidal waves” (Vasily Titov, 2004). Tsunami memiliki perioda
gelombang di antara 10 sampai dengan 60 menit. Bila penyebab Tsunami adalah letusan
gunung berapi (seperti yang terjadi di gunung Krakatau) maka gangguannya terjadi pada
permukaan, dan apabila penyebabnya adalah gempa tektonik (Aceh dan Nias) maka
gangguannya terjadi pada dasar laut. Gangguan pada dasar laut inilah yang sering terjadi
Tsunami, Indonesia sendiri adalah merupakan alur dari kagiatan tektonik, yang mana
dokumentasi terjadi Tsunami sendiri masih langka dan sangat jarang terekam oleh para
peneliti, contoh seperti terjadi sekarang ini di Aceh dan Sumatera Utara. Terlululantahkan
oleh goncangan Gempa berskala 8,5 pada skala Richter (8.9 moment magnitude), lebih tepat
lagi terjadi di pulau Sumatera pada Minggu pagi 26 Desember 2004 jam 06:58:50 AM
sungguh dasyat memang Asia Tenggara dan Asia Selatan terguncang oleh gempa ini, sampai
goncangan ini terasa di Somalia, Afrika Timur yang jaraknya 6000 Kilometer dari Epicenter
Gempa!!. Apakah kita pernah berpikir kehancuran gempa ini samadengan kekuatan tenaga
yang dilepaskan oleh 32 megaton peledak trinitrotoluena atau TNT?. Sampai saat ini belum
ada teknologi yang “sophisticated” mampu memprediksi gempa yang terjadi.
Akan tetapi, banyak teori yang bercerita dan menguraikan terjadinya Tsunami yang
diakibatkan oleh gempa, ironi memang kajian teoritis mengenai Tsunami sudah banyak yang
dilakukan dan di Jepang sudah bukan bahan yang baru lagi. Mengapa Tsunami bisa terjadi?
Gempa adalah awal sehingga terjadi Tsunami dimana adanya perpindahan energi gempa ke
fluida (cairan bergerak), di dalam fluida, energi ini diubah menjadi gerakan fluida berupa
gelombang. Gelombang yang terbentuk ini tergantung dari besarnya energi gempa, sehingga
dengan penurunan beberapa pendekatan numeris bisa diketahui energi Tsunami yang terjadi.
Pendekatan yang sering digunakan adalah dengan skala Imamura (m), dimana dengan
mengetahui besar m (imamura scale) maka kita bisa mengetahui tinggi gelombang yang
terjadi serta luasan daya hancur yang diakibatkannya.
Adalah Fluida apabila kita
menganggap fluida itu ideal maka dia akan bersifat inviscid, tidak berotasi dan tidak mampu
mampat.
Untuk itu, berlakulah apa yang disebut aliran potensial sehingga dapat
didefinisikan sebagai kecepatan potensial. Asumsi umum menyebutkan bahwa gempa yang
kurang dari 6 skala ritcher tidak akan menimbulkan kerusakan berarti akibat Tsunami. Perlu
juga diketahui bahwa epicenter terhadap pantai juga menentukan terhadap tinggi gelombang
Tsunami. Besarnya energi Tsunami diperkirakan 10% dari energi gempa. Analisa numerik
mengacu pada contoh sebagai berikut; bila diketahui M = 7.0 m (magnitude) maka m
(imamura) = 1.83 dan T (period) = 13.8 menit; maka dari tabel imamura diperkirakan tinggi
gelombang yang terjadi adalah 3 meter di pusat gempa dan akan menjalar menuju perairan
yang lebih dangkal.
1
J.Ch. Kumaat. Staf Pengajar Universitas Negeri Manado
dan Postgraduate Student in Universitâ Politecnicâ delle Marche Ancona Italia
e-mail: joyke2000@yahoo.com; christian.diver@gmail.com.
Sumber: http://geof.bmg.go.id/Tsunami.jsp
Asumsi awal ini tentunya belumlah valid karena perlu diperhitunkan lagi dengan energi
terjadinya gempa yang dikonversikan dengan energi Tsunami yang terbentuk serta menjalar
untuk mencapai pantai. Tidak mudah memang, akan tetapi ini perlu kita perjelas bahwa dari
berbagai macam kejadian, tanda-tanda fenomena alam yang berubah secara tiba-tiba patut
kita waspadai, dimana tanda utama akan terjadinya Tsunami adalah gempa yang besar serta
air tiba-tiba surut secara tidak normal.
Gelombang Tsunami secara significant menyebabkan beberapa pulau besar atau kecil akan
mengalami kerusakan parah, akibat besarnya gempa dan gelombang Tsunami yang terjadi.
Perbandingannya dapat digambarkan bahwa, Tsunami yang terjadi tidaklah seperti
gelombang yang dibangkitkan oleh angin (wind generated waves), yang sering dan setiap
waktu menghantam wilayah pesisir secara periodik, dimana gelombang ini mempunyai tinggi,
panjang dan perioda bervariasi setiap waktunya. Angin yang membangkitkan gelombang dari
daerah lepas pantai (swell), akan menuju pantai dan apabila diikuti oleh badai (storm) maka
gelombang akan membesar dan menggulung mengikuti model topografi dasar laut serta
kecepatan angin yang menghembuskanya, biasanya kecepatan gelombang bervariasi antara
10 detik sampai dengan gelombang panjang 150 menit. Seperti juga proses terjadinya
Tsunami mempunyai panjang gelombang tetapi panjangnya akan mencapai sekitar 100 km
dan memiliki kecepatan gelombang antara 200 m/det sampai dengan 700 km/jam, seperti
pernah terjadi di Samudera Pacifik pada kedalaman 4000 m (Wikipedia Encylopedia,
2004). Selanjutnya oleh Global Security, 2004 membagi beberapa model matematis
hubungan antara kecepatan jalar gelombang (wave celerity) dan tinggi Tsunami yang terjadi
pada beberapa kedalaman laut. Deskripsinya dapat dilihat pada gambar di bawah ini:
Sumber: http://www.globalsecurity.org/eye/andaman-pix2.htm.
Gambar di atas merupakan uraian dari beberapa teori yang mencoba memodelkan bagaimana
pembentukan gelombang Tsunami menuju pantai. Ada dua teori yang mendukung bahwa
kejadian di atas yaitu :
Transformasi akibat perubahan Lebar dan kedalaman suatu perairan (h/ho dan
b/bo), bila Tsunami melintasi alur yang sempit seperti selat, sungai, ataupun teluk
yang panjang, amplitudo Tsunami akan mengalami perubahan, seperti energi
gelombang (wave energy) akan membesar akibat bathimetri lahan dan gelombang
pecah (wave breaking) akan meninggi di daerah pantai.
Run-Up (H/R dan R/H), adalah akumulasi energi yang terjadi pada dinding miring
yang mengakibatkan pembesaran tinggi gelombang. Run-Up ini terjadi saat
gelombang mencapai pantai. Tinggi gelombang tergantung dari model kemiringan
lahan (topografi), tinggi gelombang (H) dan panjang gelombang (L).
Penjabaran dari dua teori tersebut ini adalah umum digunakan di dalam bidang rekayasa
pantai untuk menduga dinamika air laut . Mekanisme kerja gelombang Tsunami dapat
dimodelkan dengan pendekatan numeris untuk meramalkan terjadinya gelombang di daerah
bahaya Tsunami. Oleh karena itu, data-data tentang pasang surut dan topografi pantai sangat
penting di dalam mengevaluasi keadaan pesisir disamping dukungan data tentang besaran
kekuatan gempa yang terjadi.
Lengan Sulawesi Utara dari peta yang dikeluarkan oleh BMG adalah merupakan daerah yang
rawan terjadinya gempa tektonik, alur ini terbentuk disepanjang Laut Sulawesi serta sebagian
lagi berada di Teluk Tomini. Kondisi umum perairan Sulawesi Utara merupakan laut dalam
dengan topografi lahan yang berbukit-bukit adalah merupakan daerah hasil dari proses
geologis yang panjang. Lebih khusus lagi Teluk Manado adalah bagian dari wilayah pesisir
bagian utara dari Sulawesi Utara, kegiatan perekonomian yang maju pesat diiringi dengan
banyaknya kegiatan pembangunan infrastruktur di sepanjang pesisir Teluk Manado, seperti
berkembangnya kota modern pantai di kawasan-kawasan reklamasi Teluk Manado, serta
dimanfaatkan sebagai ruang publik untuk wisata pantai, transportasi laut serta daerah
penangkapan ikan bagi nelayan lokal. Fenomena yang biasa kita lihat, kegiatan sehari-hari
dari masyarakat pesisir sangat tentu dengan banyaknya fasilitas publik ini kita
digampangkan/dimanjakan, akan tetapi kita sebagai masyarakat makin minim mendapatkan
open akses untuk masyarakat kota, pantai manado sudah banyak dipakai untuk kepentingan
perorangan, properti ekologis yang adalah merupakan pelindung pantai alamiah hampir tidak
ada lagi banyak yang telah dialihfungsikan, yang fungsi sebenarnya adalah penahan laju erosi
serta sebagai penahan gelombang badai yang paling efektif. Hutan bakau (mangrove) dan
Terumbu Karang (coral reefs) adalah merupakan dua ekosistem pantai yang mendukung
keterlindungan pantai dari serangan Badai atau bisa efektif meredam hantaman dari
gelombang Tsunami. Dilain pihak, pemerintah dan swasta telah banyak membuat pemecah
gelombang buatan di sepanjang pesisir Teluk Manado, dengan perhitungan bahwa bisa
meredam laju erosi pantai dengan memakai skala-skala rekayasa pantai. Adapun pelindungpelindung pantai yang berada di sepanjang Teluk Manado dirancang sedemikian rupa sebagai
peredam gelombang badai, gelombang ini biasa terjadi apabila di laut lepas terjadi badai
(storm) besar, sehingga pembentukan gelombang ini lebih dominan adalah hasil gesekan
angin terhadap permukaan air laut. Untuk kasus terjadinya gelombang Tsunami, yang adalah
merupakan akibat dari gempa tektonik berbeda dengan gelombang yang dibangkitkan oleh
angin, gelombang Tsunami biasanya mempuyai kecepatan yang sangat tinggi sampai ratusan
meter per jam dan panjang gelombang bervariasi mengikuti pola topografi dasar laut,
biasanya panjang gelombangnya menjadi pendek apabila sudah dekat dengan daerah pantai
dan tinggi gelombang akan membesar. Basis data hasil pencatatan gelombang di Teluk
Manado sangatlah minim, biasanya data mengenai gelombang di analisis berdasarkan
prediksi dari kecepatan Angin (data olahan BMG) kemudian di konversi menjadi tinggi dan
perioda gelombang. Minimnya alat pendeteksian gelombang laut sangatlah memprihatinkan
apalagi lembaga-lembaga riset kelautan yang meneliti sifat fisis air laut masih belum ada di
Sulawesi Utara, apalagi alat pendeteksi Gelombang Tsunami yang harganya mencapai 18
milliar rupiah per buah dan tentu sangat mahal. Teknologi pendeteksian Tsunami sebenarnya
sudah ada yang dikembangkan oleh Pacific Marine Environmental Laboratory
(PMEL) yang berpusat di Hawaii, mengembangkan teknologi pendeteksian dini terjadinya
Tsunami yang disebut DART (Deep – ocean Assesment and Reporting of Tsunamis),
alat ini bekerja secara terus-menerus (real time) malaporkan anomali perubahan dari air laut.
Alat ini di letakkan di samudera Pacific yang fungsinya mengontrol semua fenomena fisis
serta keanehan dari laut , seperti gempa dan penjalaran gelombang yang terbentuk.
Sumber: Data Network Deep – ocean Assesment and Reporting of Tsunamis (DART).
F.I. Gonzalez et al NOAA / Pacific Marine Environmental Laboratory (2003)
Alat ini sudah diujicobakan dengan simulasi super-komputer oleh Pacific Disaster Center
(PDC) dan Maui High Performance Computing Center (MHPCC) yang dapat
meramalkan dan memodelkan propagasi Tsunami dari waktu ke waktu. Uji coba sudah
dilakukan dengan melakukan pengukuran lapangan berupa maximum wave run-up di pulau
Okushiri, Jepang pada saat terjadi gelombang Tsunami Hokaido – Nansei – Oki. Kita
(Sulawesi Utara) beruntung sebenarnya dari posisi geografis berada dibibir Pacific yang mana
penelitian-penelitian tentang Tsunami sudah maju dan penyiapan peralatan yang lengkap.
Jepang dan Amerika Serikat merasa bertanggung jawab di dalam pengembangan berbagai
research tentang Tsunami hal ini diimplementasikan dengan dibuatnya sekitar 11 stasiun
pengamatan Tsunami di samudera Pacifik (Amerika Serikat 7 buah dan Jepang 4 buah).
Dilain pihak, Indonesia adalah wilayah yang rawan Tsunami termasuk Sulawesi Utara belum
ada alat pendeteksi Tsunami dan ini sungguh riskan memang, Thailand saja yang sebagian
wilayahnya sudah terpasang alat pendeteksi ini masih bisa kecolongan dengan adanya
Tsunami di Samudera Hindia. Yang terpenting disini adalah membangun jaringan (network)
dengan pusat-pusat penelitian yang sudah ada seperti Pacific Tsunami Warning Center
yang berada di Hawaii atau dengan memanfaatkan peralatan yang dimiliki oleh BMG.
Sistem Peringatan Dini (SPD) atau Early Warning System (EWS) Tsunami, adalah
alternatif di dalam meminimalisasi keadaan yang sangat berbahaya pada saat terjadinya
gempa dan gelombang Tsunami. Belum adanya teknologi yang dapat menahan serangan
gelombang Tsunami, jelas, perlindungan secara fisik terhadap Tsunami hampir tidak
mungkin untuk dilakukan karena akan memerlukan biaya sangat besar. Menarik disimak apa
yang dikatakan oleh DR. Hamzah Latief, peneliti Tsunami dari ITB Bandung (ITB News, 3
Januari 2005) bahwa, di dalam membangun sistem peringatan dini kita membutuhkan
triliunan rupiah, contohnya Jepang dengan teknologinya membangun sistem ini di perairan
mereka di dalam mendeteksi keberadaan Tsunami, Indonesia masih sangat riskan di dalam
membangun teknologi ini, akan tetapi hal yang terpenting adalah pengetahuan dan kesadaran
masyarakat tentang Tsunami.
Cara yang efektif adalah dengan melatih penduduk dalam menghadapi Tsunami dan
menghindarkan pembangunan konstruksi di daerah yang sering diserang Tsunami. Cara-cara
yang dianjurkan untuk menghadapi Tsunami adalah :
1. relokasi daerah pemukiman
2. membuat jalan atau llintasan untuk melarikan diri dari Tsunami
3. melakukan latihan pengungsian
4. menanami daerah pantai dengan tanaman (bakau/mangrove) yang secara efektif
dapat menyerap energi gelombang
5. membiarkan lapangan terbuka untuk menyerap energi Tsunami
6. membuat dike ataupun breakwater di daerah yang memungkinkan
7. membuat suatu sistem peringatan dini (early warning sistem)
Ini merupakan langkah-langkah praktis dalam meminimalisasi gelombang Tsunami yang
terjadi tentu bukan hal yang mudah karena pada umumnya di dalam penerapan tahapan ini
haruslah di sokong oleh perencanaan sistematis di dalam perencanaan kota. Akan menjadi
sulit memang dikarenakan hampir semua kota pesisir di Indonesia lebih khusus lagi di
Sulawesi Utara belum mempunyai platform kota dalam menghadapi gelombang Tsunami,
dan ini jelas bahwa kita masih terkonsentrasi di dalam menata ruang publik untuk
kepentingan bisnis semata dan belum memperhatikan aspek-aspek yang berhubungan
dengan keselamatan ruang publik tersebut apalagi nyawa manusia.