Agama dan Konflik Sosial tinjauan

AGAMA DAN KONFLIK SOSIAL
Hasbullah
UIN Sultan Syarif Kasim Riau
hasbullah@uin-suska.ac.id

Abstrak:
Agama adalah sebuah realitas sosial yang tidak dapat dielakkan oleh
siapapun, baik dalam masyarakat tradisional maupun modern. Dimensi
pluralitas yang dipunyai agama adalah sesuatu yang sifatnya neutral
values, artinya ia mempunyai potensi konstruktif sekaligus destruktif dalam
kehidupan umat manusia. Mengingat pluralitas agama merupakan
keniscayaan sosiologis, maka perlu ditingkatkan kedewasaan dalam
menerima perbedaan dan memperluas wawasan paham keagamaan, agar
perbedaan yang ada bukannya menambah potensi konflik melainkan
menjadikan pluralitas sebagai aset budaya dan politik. Kerusuhan dan
peristiwa kekerasan massal yang terjadi di berbagai daerah di Indonesia
belakangan ini merupakan suatu fenomena yang amat memilukan dalam
konteks hidup beragama dan bernegara. Bukan hanya dari banyaknya
korban jiwa yang jatuh, tapi lebih-lebih lagi banyak pranata agama,
pranata sosial yang menjadi amukan massa. Hal ini terlihat jelas dari
peristiwa Ambon, Maluku, Ketapang, Aceh, Mataram, dan sederetan

peristiwa lainnya yang banyak mengorbankan jiwa manusia. Dalam
peristiwa ini telah terjadi dehumanisasi, harga diri dan hak-hak asasi
manusia sudah tidak dipandang lagi.
Kata kunci: Agama, Konflik Sosial, dan Ekonomi.

Pendahuluan
Sebagai sistem kepercayaan dan sistem peribadatan, agama berperan
penting dalam menciptakan tatanan kehidupan yang berkeadilan dan beradab bagi
seluruh umat manusia di dunia. Dalam perjalanan umat manusia, agama-agama
menjadi sumber motivasi dan inspirasi yang tak pernah kering, bahkan ia akan
terus berkembang seiring dengan perkembangan peradaban manusia. Namun,
sayangnya agama-agama seringkali dipahami secara sempit dan eksklusif oleh
penganutnya, disertai perasaan curiga yang berlebihan terhadap penganut agama
lain. Akibatnya, sepanjang sejarah, dunia mencatat terjadinya berbagai macam
konflik, khususnya antara kaum muslimin dan kaum kristen, yang bahkan hingga
kini terus membayang-bayangi kita. Konflik ini telah mengakibatkan bukan saja

1

2


kehancuran fisik dan kematian dalam jumlah yang sangat besar, tetapi yang lebih
berbahaya ialah telah mengancam peradaban umat manusia.
Sesungguhnya, semua agama menganjurkan kepada umatnya untuk
mengasihi sesama makhluk hidup dan bersikap positif terhadap alam. Harmoni
kehidupan di dunia yang satu ini merupakan inti pesan agama-agama, khususnya
agama

langit

(samawi).

Semua

umat

beragama

memiliki


kewajiban

mengimplementasikan ajaran dasar agama-agama itu di dalam kehidupan seharihari (Victor I Tanja, 1998: XIX – XX).
Berawal dari kerusuhan-kerusuhan sosial yang merebak akhir-akhir ini,
dimana nuansa keagamaan cukup mencolok mewarnai rentetan peristiwa tersebut
(seperti kasus Ambon, Maluku), menimbulkan pertanyaan sekitar kedudukan
agama sebagai potensi masyarakat yang mengemban nilai-nilai kemanusiaan yang
tidak destrukrtif. Pertanyaan tersebut semakin mendesak karena untuk konteks
masyarakat Indonesia, bisa diasumsikan bahwa agama merupakan sebuah
kekuatan dalam kehidupan politik yang tidak bisa diabaikan. Bahkan bisa
diasumsikan bahwa agama merupakan kekuatan politik yang amat riil melebihi
kekuatan

dari

kelompok-kelompok

suku,

ideologi


maupun

kedaerahan

(Sumartana, 1997: 23).
Agama adalah sebuah realitas sosial yang tidak dapat dielakkan oleh
siapapun, baik dalam masyarakat tradisional maupun modern. Dimensi pluralitas
yang dipunyai agama adalah sesuatu yang sifatnya neutral values, artinya ia
mempunyai potensi konstruktif sekaligus destruktif dalam kehidupan

umat

manusia.
Mengingat pluralitas agama merupakan keniscayaan sosiologis, maka
perlu ditingkatkan kedewasaan dalam menerima perbedaan dan memperluas
wawasan paham keagamaan, agar perbedaan yang ada bukannya menambah
potensi konflik melainkan menjadikan pluralitas sebagai aset budaya dan politik
(Nurcholish Madjid dalam Ahmad Baso, 1999: 23-24). Dalam pembangunan
bidang politik, mestinya tokoh-tokoh agama berdiri paling depan dalam

memperjuangkan demokrasi dan hak-hak asasi manusia, karena mereka paling
sadar akan hakikat kemanusiaan dan paling siap menerima perbedaan. Sayangnya,

3

kadangkala

agama,

baik

tokoh

dan

lembaganya,

terperangkap

pada


kecenderungan sikap eksklusif sehingga akhirnya mereka bukannya sebagai
problem solver, tetapi sebagai problem maker.

Konflik Sosial
Konflik sosial terjadi antara dua kelompok atau lebih, yang terwujud
dalam bentuk konflik fisik antara mereka yang tergolong sebagai anggota-anggota
dari kelompok-kelompok yang berlawanan. Dalam konflik sosial, jatidiri dari
orang perorang dalam konflik tersebut diganti oleh jatidiri golongan atau
kelompok. Dengan kata lain, dalam konflik sosial, yang terjadi bukanlah konflik
antara orang perorang dengan jatidiri masing-masing, melainkan antara orang
perorang yang mewakili jatidiri dari golongan atau kelompoknya (Suparlan,1999:
14-15).
Atribut-atribut yang menunjukkan ciri-ciri jatidiri orang perorang tersebut
berasal dari stereotip yang berlaku dalam kehidupan antargolongan yang terwakili
oleh kelompok-kelompok konflik. Dalam konflik sosial, tidak lagi ada tindakan
memilah-milah dan menyeleksi siapa-siapa pihak lawan yang harus dihancurkan.
Sasarannya adalah keseluruhan kelompok yang tergolong dalam golongan yang
menjadi musuh atau lawannya, sehingga penghancuran atas diri dan harta milik
orang perorang dari pihak lawan, dilihatnya sama dengan penghancuran kelompok

pihak lawan.
Kerusuhan dan peristiwa kekerasan massal yang terjadi di berbagai daerah
di Indonesia belakangan ini merupakan suatu fenomena yang amat memilukan
dalam konteks hidup beragama dan bernegara. Bukan hanya dari banyaknya
korban jiwa yang jatuh, tapi lebih-lebih lagi banyak pranata agama, pranata sosial
yang menjadi amukan massa. Hal ini terlihat jelas dari peristiwa Ambon, Maluku,
Ketapang, Aceh, Mataram, dan sederetan peristiwa lainnya yang banyak
mengorbankan jiwa manusia. Dalam peristiwa ini telah terjadi dehumanisasi,
harga diri dan hak-hak asasi manusia sudah tidak dipandang lagi.
Indonesia mengaku dan diakui sebagai bangsa majemuk, multi ras, etnis,
agama dan kebudayaan. Kemajemukan itu ditunjukkan dengan keharmonisan dan

4

sinergi diantara berbagai ragam perbedaan. Sungguhpun perbedaan-perbedaan
dalam kehidupan bangsa yang majemuk ini sudah ada sejak dahulu, namun
belakangan ini dipakai orang untuk menyulut konflik. Seakan-akan maraknya
konflik disebabkan bangsa ini terlalu majemuk.
Konflik


dalam

bentuk

kerusuhan

dan

kekerasan

antargolongan

membuktikan bahwa kemajemukan itu terus terabaikan, dan tinggal di bibir saja.
Bangsa ini sangat membutuhkan pengertian yang komprehensif mengenai
kemajemukan agar bisa menciptakan kelola-kelola konflik yang sesuai dengan
setting kemajemukan yang ada. Sayangnya, pemahaman-pemahaman yang sudah
ada mengenai hubungan antar sukubangsa, agama dan golongan belum
dimanfaatkan untuk menciptakan mekanisme pengatur kehidupan yang harmonis
dalam perbedaan (AAI, 1999: 3).
Konsep SARA yang digunakan kaum politisi dan birokrasi sungguhpun

diangkat dari wujud kemajemukan bangsa Indonesia, akan tetapi sangat
mengutamakan pendekatan “kekuasaan” dan “politik”. Akibatnya masalahmasalah kemajemukan cenderung hanya dilihat sebagai penghasil konflik yang
dianggap mengancam status quo legitimasi kekuasaan. Para politisi dan birokrat
enggan

melihat

kemajemukan dari

segi kebudayaan,

karena dianggap

mengangkat-angkat masalah “perbedaan”, akibatnya “perbedaan” yang memang
melekat dalam kehidupan bangsa ini terpendam dan diselimuti dengan doktrinasidoktrinasi “ketunggalan” dan “kemanunggalan”. Lebih bersifat cauvinisme lagi
ketika ide-ide persatuan dianggap ideal adalah “sukubangsa tunggal” (Nugroho,
1999: 124-127).
Konflik-konflik sosial yang terjadi dalam masyarakat manapun di dunia ini
– termasuk yang terjadi di berbagai daerah di Indonesia – dimulai oleh perebutan
sumber-sumber daya atau sumber-sumber rezeki. Bila perebutan yang terjadi

berjalan sesuai dengan aturan main yang mereka anggap adil, maka tidak akan
terjadi konflik sosial di antara mereka.
Kerusuhan sosial sebagai konflik antar sukubangsa, agama, yang terwujud
dalam saling penghancuran oleh satu kelompok terhadap kelompok lainnya, juga
terwujud sebagai kegiatan “perang” penaklukan yang

bertujuan menguasai

5

wilayah-wilayah untuk diakui sebagai wilayahnya, yaitu untuk menciptakan
kebudayaan dominan dalam wilayah yang dikuasainya. Hal ini terjadi dalam
kerusuhan Aceh, Sambas dan Ambon (Suparlan, 1999: 16-20).
Dalam kerusuhan Ambon, konflik yang semula terjadi antara orang-orang
Bugis, Buton, dan Makasar (BBM) yang beragama Islam disatu pihak, dengan
orang-orang Ambon di kota Ambon yang beragama Kristen di pihak lain, telah
bergeser menjadi konflik antara sesama orang Ambon, yaitu orang Ambon yang
beragama Islam dengan yang beragama Kristen. Akibatnya, kerusuhan yang saat
ini terjadi di Ambon adalah kerusuhan sosial antara orang-orang Ambon Kristen
lawan Islam (Suparlan, 1998: 17).


Peranan Agama dalam Bidang Sosial
Peranan sosial agama harus dilihat terutama sebagai sesuatu yang
mempersatukan. Dalam pengertian harfiahnya, agama menciptakan suatu ikatan
bersama, baik diantara anggota-anggota beberapa masyarakat maupun dalam
kewajiban-kewajiban sosial yang membantu mempersatukan mereka. Karena
nilai-nilai yang mendasari sistem-sistem kewajiban sosial didukung bersama oleh
kelompok-kelompok keagamaan, maka agama menjamin adanya persetujuan
bersama dalam masyarakat. Agama juga cenderung melestarikan nilai-nilai sosial.
Faktor yang menunjukkan bahwa nilai-nilai keagamaan itu sakral berarti bahwa
nilai-nilai keagamaan tidak mudah diubah karena adanya perubahan-perubahan
dalam konsepsi-konsepsi kegunaan dan kesenangan duniawi.
Melalui kegiatan-kegiatan sosial

yang dilakukan oleh kelompok

keagamaan, juga ditanamkan semacam keterikatan dan solidaritas sosial dan
kemasyarakatan yang terpusat pada simbol-simbol utama dan suci dari agama
yang dianut (Suparlan dalam Robertson, 1998: XII). Simbol-simbol untuk realitas
yang ditawarkan oleh suatu agama sebagai suatu sistem budaya menghasilkan
motivasi yang menembus dan bertahan lama sehingga menyebabkan orang untuk
bertindak. Simbol-simbol ini tidak hanya memiliki sifat umum dan batasan ideal,
tetapi juga bersifat spesifik. Justru disinilah letak signifikansi agama, dalam
kapasitas untuk melayani, baik individu atau kelompok, sebagai sumber konsepsi

6

tentang dunia yang umum namun bersifat distinktif. Konsep-konsep agama
menyebar di luar konteks itu untuk memberikan suatu kerangka kerja ide-ide
umum yang berakaitan dengan berbagai pengalaman – intelektual, emosional,
moral – dapat diberi bentuk yang berarti (Geertz, 1973: 123).
Meskipun agama mempunyai peranan di dalam masyarakat sebagai
kekuatan yang mempersatukan, mengikat dan melestarikan, namun ia juga
mempunyai fungsi lain. Memang agama mempersatukan kelompok pemeluknya
sendiri begitu kuatnya sehingga apabila ia tidak dianut oleh seluruh atau sebagian
besar anggota masyarakat, ia bisa menjadi kekuatan yang mencerai beraikan,
memecah belah dan bahkan mengahancurkan. Di samping itu agama tidak selalu
memainkan peranan yang bersifat memelihara dan menstabilkan. Khususnya pada
saat terjadi perubahan besar di bidang sosial dan ekonomi, agama sering
memainkan peranan yang bersifat kreatif, inovatif dan bahkan bersifat
revolusioner (Nottingham, 1992: 42-43). Weber juga melihat bahwa agama
potensi untuk menciptakan gerakan dan merubah tatanan sosial (Hargrove, 1979:
137).
Para ahli teori fungsional telah menekankan sumbangan yang diberikan
oleh agama demi kesinambungan masyarakat, khususnya yang tidak sengaja oleh
pelaku manusia yang terlibat. Fungsi laten yang positif hanya menunjukkan salah
satu pengaruh agama terhadap masyarakat. Para sarjana lainnya – para ahli sejarah
dan filosof sosial – misalnya, menunjukkan bahwa agama sering mempunyai efek
negatif terhadap kesejahteraan masyarakat dan individu, isu-isu keagamaan
menjadi salah satu masalah penyebab perang, keyakinan agama sering
menimbulkan sikap tidak toleran, loyalitas agama hanya menyatukan beberapa
orang tertentu dan memisahkan yang lainnya (O’dea, 1990: 139).
Pembagian komunitas manusia ke dalam “in” group dan “out” group bisa
membantu perkembangan perasaan berkelompok, agama berfungsi memotivasi
tingkah laku terhadap integrasi personal dan masyarakat. Kerjasama, saling
membagi, dan mau mengutamakan orang lain, dapat selalu dihubungkan dengan
kesadaran beridentitas yang diberikan oleh tradisi-tradisi agama. Pada waktu yang
sama, perasaan berkelompok dapat mendorong tingkah laku yang membedakan

7

umat manusia dengan membuat garis pemisah antara kelompok-kelompok itu.
Pembedaan antara mereka yang disebut “dalam” dan “luar” merupakan bagian
dari pembedaan peran agama dalam kesadaran manusia. Dalam situasi konflik,
pembedaan-pembedan seperti itu dipertajam, terkadang muncul saling tuduh
antara kelompok yang satu dengan lainnya sebagai “kejam” (Kelsay, 1997: 7-8).

Eksklusivisme Keagamaan dan Konflik Sosial di Ambon
Dilihat dari proses sejarah dan struktur masalahnya, konflik sosial di
Ambon berakar dari persoalan pertikaian antar etnis. Pertikaian yang dibungkus
rapi oleh faktor etnisitas, yaitu perasaan bersama dan senasib sepenanggungan
dalam suatu kelompok etnis yang melahirkan kesadaran etnis (ethnic
consciousness) dan kesetiakawanan etnis (ethnically based solidarity). Padahal,
kesadaran dan kesetiakawanan etnis itu merupakan reaksi spontan terhadap
kondisi keterpurukan dan keterpinggiran, atau kemarginalan para anggota
kelompok etnis setempat. Hal itu terjadi tidak saja melalui dominasi dan
eksploitasi berlebihan terhadap sumber daya alam yang membuat mereka menjadi
penonton, tetapi juga melalui penggusuran, pemerasan dan pengambilalihan
kepemilikan dan alat-alat produksi dengan cara intimidasi oleh sekumpulan
anggota kelompok etnis pendatang (Alqadrie, 1999).
Secara antropo-sosiologis, etnis yang proses pembentukannya didasarkan
atas persamaan bahasa, agama, wilayah kediaman, kebangsaan, dan bentuk fisik
(Horton & Hunt, 1999: 61), mempunyai posisi fundamental dalam kehidupan
manusia – baik dalam kapasitasnya sebagai makhluk pribadi maupun sebagai
makhluk sosial – yakni sebagai pembentuk kesadaran primordial dan pembentuk
identitas. Oleh karena itu sangat jarang, bahkan mustahil seseorang melakukan
pengingkaran terhadap etniknya, meskipun telah melakukan amalgamasi dan
asimilasi dengan kelompok etnik lainnya.
Sejarah Ambon mencatat bahwa kehadiran kolonialisme Belanda dan
Portugis di Maluku, serta perubahan posisi mereka dari pedagang yang ingin
membeli rempah-rempah menjadi pemonopoli dan penguasa (tidak saja rempahrempah tetapi juga seluruh komoditi yang ada di Maluku), telah merusak tatanan

8

masyarakat yang sudah ada. Untuk memperlancar proses penguasaan ini, kedua
dedengkot kolonialisme itu tidak saja menggunakan kekuatan senjata dan politik
adu domba, tetapi juga memasukkan nilai-nilai budaya, termasuk agama
(Alqadrie,1999: 42).
Sejak itu, masyarakat Maluku (khususnya Ambon) terbagi menjadi dua
komunitas, yaitu Islam dan Kristen, walaupun dalam satu kelompok etnis yang
sama. Kedua komunitas ini terus bersaing dan bertarung bagi eksistensi masingmasing sejak hampir tiga abad yang lalu.
Sejarah pertarungan itu seakan-akan berulang kembali antara komunitas
Ambon yang Kristen dengan yang Islam dan anggota kelompok etnis BBM
(Bugis, Buton, Makasar) yang hampir seluruhnya beragama Islam. Padahal,
pertarungan itu lebih merupakan kelanjutan dari monopoli rempah-rempah,
khususnya cengkeh, yang sebelumnya berada di tangan kolonialisme Belanda dan
kemudian berganti ke tangan pemerintah Orde Baru sejak tahun 1970. Alasan
yang dikemukakan pemerintah Orde Baru adalah untuk memenuhi kebutuhan
permintaan akan cengkeh bagi industri rokok di Jawa. Monopoli semacam ini,
berdasarkan pengamatan M. Yusuf kalla yang dikutip oleh Usman Pelly
(Republika, 6 Januari 1999).
Kondisi di kota Ambon menjadi lebih mencekam, dan kerusuhan etnis
memang lebih kompleks. Konflik Ambon, yang merupakan ledakan dari
kompetisi antar kelompok kepentingan yang dilestarikan dan dikendalikan oleh
Pemerintah Orde baru agar ia tidak sampai timbul di permukaan dan mereka terus
dapat dinikmatinya, telah dibungkus dengan sentimen agama. Hal itu dilakukan
agar konflik itu memiliki daya pembenar, dengan mudah dapat menggerakkan
massa dan dilestarikan.
Kekerasan dan kerusuhan antaretnik yang terjadi di Ambon, bukannya
semata-mata digerakkan oleh sikap superioritas seperti praktik holocoust yang
dilakukan oleh Nazi terhadap orang-orang Yahudi. Tapi didorang oleh perlawanan
sosial dari kelompok etnik yang mengalami proses marginalisasi setelah
terjadinya perubahan sosial, yang di samping berjalan cepat dan penetratif, juga
berjalan secara timpang, yakni perubahan sosial lebih “berpihak “ kepada orang
luar (Republika, 31 Maret 1999).

9

Dalam konteks tindak kekerasan dan kerusuhan di Ambon, yang dimaksud
dengan perubahan sosial itu adalah terjadinya perubahan dan transisi dominasi
dan hegemoni politik serta pergeseran-pergeseran ekonomi, setelah terjadinya
gelombang migrasi yang meningkat begitu cepat dalam dua dasawarsa belakangan
ke Ambon. Arus migrasi tersebut menurut analisis Azyumardi Azra (Tempo, 12
Maret 1999), mengakibatkan terjadinya perebutan sumber-sumber ekonomi dan
lapangan kerja antara kaum pendatang yang memiliki etos kerja tinggi dengan
penduduk asli. Ternyata dengan etos kerja itu, para pendatang mendesak dan
memarginalisasikan penduduk asli.
Berdasarkan sistem nilai budaya, sebenarnya tragedi Ambon dapat
dihindari dan tidak perlu terjadi, karena masyarakat Ambon telah biasa menata
kehidupan mereka selama berabad-abad dalam tradisi kemajemukan. Dan
dikenalnya idion pela gandong yaitu saudara berdasarkan ikatan sedarah atau
saudara kandung bisa menjembatani perbedaan yang ada (Suparlan, 1999: 10).
Dengan demikian, konflik sosial di Ambon tidak disebabkan oleh faktor tradisi
dan budaya.
Hubungan sosial segi tiga antara komunitas itu, yaitu komunitas Ambon
yang beragama Islam, yang beragama Kristen dan kelompok etnis BBM. Dalam
hubungan segi tiga tersebut, ada batas-batas sosial di antara mereka. Ada batas
yang dapat dijembatani, dan ada pula yang tidak. Antara etnis BBM dengan
komunitas Ambon yang beragama Kristen, ada batas sosial yang tidak dapat
dijembatani. Begitu lebarnya batas sosial ini untuk diseberangi sehingga apapun
yang “berbau” BBM, walaupun kebanyakan komunitas Buton telah beberapa
generasi hidup di pedesaan, tetap diperlakukan sebagai lawan. Sebaliknya, antara
BBM dengan komunitas Ambon Islam, batas-batas sosial itu kelihatan ada, tetapi
terbatas pada etnisitas. Batas-batas sosial di antara keduanya masih dapat
dijembatani.
Besarnya jumlah migrasi yang datang ke Ambon, yang pada umumnya
berlatar belakang keagamaan yang berbeda dengan penduduk asli, yaitu kaum
muslim yang belakangan disebut-sebut sedang mengalami proses mobilisasi
hampir

pada

semua

sektor

kehidupan.

Dengan

situasi

yang

kurang

10

menguntungkan bagi kelompok etnik asli, maka akan muncul suatu sikap dan
perilaku ingroup yang berpengaruh destruktif terhadap outgroup.
Keterlibatan agama dalam tindak kekerasan dan kerusuhan, dapat diduga
karena terjadi distorsi dalam proses interaksionisme simbolik antaretnik di
Indonesia, terutama yang berkaitan dengan dunia simbolik masing-masing etnik
seperti agama. Adalah hal yang alami, jika suatu kelompok etnik tetap membawabawa dunia simboliknya meskipun sudah mengalami semacam diaspora. Dalam
hal agama misalnya, mereka – atas dorongan mempertahankan dunia simboliknya
– membangun suatu komunitas dan lembaga keagamaan seperti tempat ibadah dan
organisasi keagamaan.
Meskipun hal tersebut secara antopo-sosiologis merupakan hal yang alami,
namun tak pelak dapat menjadi ancaman terhadap kelangsungan komunitas
keagamaan yang dimiliki oleh etnis asli. Respons dari kelompok yang merasa
terancam, pertama-tama masih terkesan laten seperti perasaan curiga. Namun
sewaktu-waktu apabila ada pemicu lainnya, seperti isu kesenjangan ekonomi,
ditambah lagi adanya provokator, perasaan curiga itu akan berkembang dalam
bentuk perlawanan sosial yang bradikal yang didorong oleh sikap willingness to
fight and die for ingroup. Apalagi, perlawanan itu kemudian dicarikan legitimasi
pada agama, yakni sebagai perjuangan mempertahankan agama dari ancaman
kelompok agama lain, maka akan semakin memperuncing, memperdalam dan
memperluas pertentangan antar etnik.
Berlarut-larutnya pertikaian masa yang bernuansa SARA di Ambon,
Maluku yang dampaknya menjalar ke Mataram (NTB) merupakan persoalan
sangat serius bagi masyarakat Indonesia. Tidak terkendalinya pertikaian dan
kerusuhan massal seperti itu menjadi bukti konflik SARA telah menjadi masalah
besar yang dapat mengancam masa depan kehidupan berbangsa. Konflik
bernuansa agama ini memang bersifat “laten” yang setiap saat dapat muncul dan
meledak di masyarakat. Skenario konflik agama ini biasanya dimunculkan karena
kuatnya berbagai kepentingan politik yang sedang berbenturan di tengah
masyarakat. Memang setiap kali terjadi konflik antarumat beragama, kita sulit
sekali untuk menentukan akar penyebabnya. Biasanya lebih sering berakar bukan

11

pada aspek teologis melainkan aspek non-teologis (Kompas, 18 Januari 2000). Hal
ini membenarkan adanya anggapan bahwa konflik sosial yang murni disebabkan
oleh agama itu hampir tidak pernah ada (Smith, 1985: 188).
Bila mengikuti “teori” tiga lapis agama dari Masdar F. Mas’udi – yang
membagi agama pada tiga lapis, yaitu; agama sebagai kesadaran azali yang
Ilahiyat, agama sebagai konsep atau doktrin, dan agama sebagai aktualisasi dan
pelembagaan – maka konflik selalu terjadi pada lapisan ketiga, baik yang
melibatkan antarkelompok dalam suatu komunitas agama maupun dengan pihak
luar (Republika, 9 Januari 1999).
Tindak kekerasan yang mengatasnamakan agama sebenarnya hanya
menjadikan agama sebagai alat legitimasi dan justifikasi terhadap kepentingan
tertentu. Dengan menjadikan kekuatan agama sebagai alat justifikasi, diharapkan
berbagai ambisi dan kepentingan politik tertentu dapat lebih mudah diwujudkan.
Posisi agama dalam konteks ini hanyalah dijadikan “tameng” dan dikorbankan
keagungannya demi memenuhi berbagai ambisi kepentingan tertentu yang
sebenarnya tidak terkait dengan kepentingan agama. Umat beragama selama ini
sering terjebak dan bertindak agresif karena termakan berbagai provokasi yang
berusaha membenturkan sentimen antarumat beragama. Skenario dimunculkan
konflik agama ini adalah untuk menciptakan konflik bersifat massal dan
berdimensi horizontal. Hal ini sangat mungkin mengingat masyarakat Indonesia
berkarekter religius yang memiliki kepekaan dan sentimen tinggi terhadap
eksintensi agama yang dipeluknya (Suara Pembaharuan, 30 Januari 2000).
Menurut Sosiolog Jerman, Max Weber, struktur dan tindakan suatu
kelompok sosial berasal dari komitmennya pada sistem kepercayaan tertentu,
yang juga menjadi asal tujuan, standar perilaku dan legitimasi kekuasaan. Meski
teori ini sampai kini masih menimbulkan pro-kontra, namun tak dapat dibantah
bahwa agama merupakan salah satu faktor yang sedikit banyaknya memiliki andil
dalam pembentuk hal ini,disamping faktor-faktor lain seperti politik dan ekonomi.
Salah satu hal yang merupakan manifestasi dari fungsi ini adalah bahwa agama
bisa terafiliasi menjadi faktor integratif bagi pemeluknya, dan sekaligus faktor

12

disintegratif antarpemeluk agama yang berbeda terutama jika agama dipahami
secara absolut dan eksklusif (Kompas, 25 Februari 2000).
Dari analisis yang berkembang, ada kesan faktor non-agama seperti
politik, ekonomi, etnis, dan lain sebagainya, cenderung ditempatkan sebagai
sumber pemicu terjadinya konflik realistik antara kelompok agama yang satu
dengan kelompok agama yang lain. Sementara agama, dinilai hanya dimanfaatkan
untuk kepentingan konflik yang acapkali berkembang secara radikal menjadi zero
sum

game

(pertarungan

habis-habisan),

seperti

penghancuran

terhadap

infrastruktur yang dibangun dengan susah payah oleh pemeluk agama.
Memang merupakan suatu hal yang ironis, agama yang mengandung
ajaran yang begitu luhur itu, menunjukkan kenyataan distorsif dalam kehidupan
sosial masyarakat, seperti yang ditunjukkan dengan adanya konflik antaragama.
Selama ini dalam pemikiran common sense, pluralitas agama dianggap sebagai
faktor determinan munculnya konflik antaragama. Padahal, kalau dicermati lebih
jauh, munculnya konflik antaragama banyak disebabkan oleh faktor non-agama
yang dilegitimisir dengan agama (Tobroni, 1994: 26). Contoh yang barangkali
masih aktual adalah konflik agama di Ambon yang bermula dari konflik
antaretnis.
Dalam peristiwa Ambon, telah terjadi pergeseran aktor konflik – yang
semula antara kelompok etnis Bugis-Buton-Makasar (BBM) dengan Ambon
kristen menjadi antara Ambon Islam dengan Ambon Kristen – tetapi dari segi
sosio-historis, peristiwa kerusuhan di Ambon ini seakan menampilkan kembali
pertarungan klasik dari dua komunitas agama (Ambon Islam dan Kristen) yang
telah dimulai sejak masa kolonial di abad ke-17 sampai18 yang lalu (Pelly, 1999:
29).
Ambon mungkin bisa dijadikan contoh yang baik dari apa yang disebut
dengan kebangkitan etno-religius, yang kini juga menjadi salah satu mainsteam
kebangkitan agama secara global. Kebangkitan etno-religius ini, menurut Hidayat
dan Nafis dicirikan oleh pertautan simbiotik antara emosi keagamaan dengan
dengan semangat primordialisme kesukuan ataupun lebih luas lagi kebangsaan.
Memperhatikan unsur yang menggerakkan kebangkitan agama jenis ini, sangat

13

dimungkinkan munculnya sikap emosional dan eksklusif, yang bisa mengarah
pada tindak kekerasan terhadap kelompok yang lain (Republika, 31 Maret 1999).
Kasus konflik sosial di Ambon yang kemudian meluas menjadi kasus
Maluku merupakan contoh konkret bagi fungsi potensial agama ini. Memang
kasus Maluku ini dipengaruhi oleh berbagai faktor yang sangat kompleks,
terutama faktor ekonomi dan politik. Namun jelas, bahwa agama menjadi satu
faktor yang cukup dominan juga. Kenyataan ini mendorong kita untuk melihat
bagaimana umat beragama memposisikan dan menginterpretasikan ajaran agama
mereka masing-masing, terutama dalam konteks kehidupan masyarakat bangsa
yang plural.
Kesimpulan
Berbagai kerusuhan yang terjadi belakangan ini yang mengarah kepada
disintegrasi bangsa, merupakan pengalaman pahit bagi bangsa Indonesia.
Kerusuhan yang bernuansa etnis dan agama ini muncul karena terjadinya berbagai
kesenjangan sosial selama masa pemerintahan Orde Baru. Jika konflik sosial ini
tidak ditangani secara serius dan hati-hati oleh pemerintah, dikhawatirkan
keutuhan dan ketahanan bangsa ini akan terganggu.
Agama juga sering dituduh sebagai penyebab terjadinya berbagai konflik,
seperti kasus Situbondo, Tasikmalaya, Rengas dengklok dan akhir-akhir ini kasus
Ambon dan Maluku. Hal ini dikarenakan agama pada satu sisi mempunyai fungsi
integratif, namun pada sisi lain juga mempunyai fungsi disintegratif. Satu hal yang
sering diperdebatkan oleh para ilmuwan sosial, adalah benarkah agama sebagai
pemicu utama dalam berbagai konflik atau agama hanya alat legitimasi dan
justifikasi agar bisa mengerahkan massa demi kepentingan-kepentingan tertentu.
Dari berbagai kasus yang terjadi di Indonesia, harus diakui pluralitas
agama memang bisa menciptakan konflik. Namun, yang sering ditemukan konflik
sosial yang terjadi lebih banyak disebabkan oleh faktor non-agama, seperti
ekonomi dan politik. Agama hanya dijadikan “tameng” untuk mencapai tujuan
dan kepentingan golongan tertentu. Karena dengan membangkitkan isu agama,
pengerahan massa lebih mudah dilakukan, mengingat bangsa Indonesia yang
berkarakter religius dan mempunyai sentimen yang tinggi terhadap agama.

14

Daftar Kepustakaan
Alqadrie, Syarif Ibrahim. (1999). Konflik Etnis di Ambon dan Sambas: Suatu
Tinjauan Sosiologis. Journal Antropologi Indonesia, 58.
Baso, Ahmad. (1999). Civil Society Versus Masyarakat Madani. Bandung:
Pustaka Hidayah.
Geertz, Clifford. (1973). The Interpretation of Cultures. New York: Basic Book.
Hargrove, Barbara. (1979). The Sociology of Religion; Classical and
Contemporary Approaches. Illinois: Harlan Davidson.
Horton, Paul B. & Chester L. Hunt. (1999). Sosiologi (terjemahan). Jilid I.
Jakarta: Erlangga.
Kelsay, John & Sumner B. Twiss. (1997). Religion and Human Rights (Judul
terjemahan Agama dan Hak Asasi Manusia). Jakarta: Interfidei
Nottingham, Elizabeth K. (1992). Religion and Society (Judul terjemahan Agama
dan Masyarakat). Jakarta: Rajawali Press.
Nugroho, Heru. (1999). Konstruksi SARA, Kemajemukan dan Demokrasi. Jurnal
UNISIA, 40.
O’dea, Thomas F. (1990). The Sociology of Religion (Judul terjemahan Sosiologi
Agama). Jakarta: Rajawali Press.
Pelly, Usman. (1999). Akar Kerusuhan Etnis di Indonesia. Journal Antropologi
Indonesia, 58.
Robertson, Roland (ed.). (1988). Sociology of Religion (Judul terjemahan Agama
dalam Interpretasi Sosiologis). Jakarta: Rajawali Press.
Sumartana, Th.. (1999). Demokrasi dalam Kehidupan Beragama. Jurnal UNISIA,
34.
Suparlan, Parsudi. (1999). Kemajemukan, Hipotesis Kebudayaan Dominan dan
Kesukubangsaan. Journal Antropologi Indonesia, 58.
Suparlan, Parsudi. (1999). Konflik Sosial dan Alternatif Pemecahannya. Journal
Antropologi Indonesia, 59.
Suparlan, Parsudi, dkk., Kerusuhan Ambon dan rekomendasi Penanganannya.
Laporan Hasil Penelitian Tim Ahli UI dan PTIK. Jakarta: Polri.
18

15

Smith, Donald Eugene. (1985). Religion and Political Development, An Analytic
Study (terjemahan). Jakarta: Rajawali Press.
Smith, Bardwell L. (ed.). (1976). Religion and Social Conflict in South Asia.
Leiden: E.J. Brill.
Tanja, I Victor. (1998). Pluralisme Agama dan Problema Sosial. Jakarta: Cides.
Tobroni & Syamsul Arifin. (1994). Islam Pluralisme
Yogyakarta: SI. Press.

Budaya dan Politik.

Wilson, Bryan. (1983). Religion in Sociological Perspective. New York: Oxford
University Press.
Zeitlin, Irving M. (1998). Rethinking Sociology; A Critique of Contemporary
Theory (terjemahan). Yoyakarta: Gadjah Mada University Press.
Republika, 9 Januari 1999
Republika, 31 Maret 1999
Media Indonesia, 29 Januari 1999
Wacana Antropologi, Vol-2, NO. 4, 1999
Kompas, 18 januari 2000
Kompas, 25 Februari 2000
Suara Pembaharuan, 30 Januari 2000
Suara Pembaharuan, 20 Februari 2000