Politik dalam Pengangkatan Pahlawan Nasional.

POLITIK DALAM PENGANGKATAN PAHLAWAN NASIONAL
Oleh GPB Suka Arjawa
Seperti juga penganugrahan hadiah Nobel Perdamaian, pemberian gelar Paahlawan
nasional kepada Dr. Soekarno dan Dr. Muhammad Hatta, mengandung isyarat-isyarat
politis. Dalam hal Nobel Perdamaian, pendapat internasional sering terbelah opininya
karena sering kali jatuh kepada pihak-pihak yang cenderung dekat dengan kebijakan
Barat. Keberhasilan Yasser Arafat dan Yitzak Shamir meraih nobel perdamaian karena
mereka berani melakukan perjanjian perdamaian antara Palestina dengan Israel. Negaranegara Barat sangat berkepentingan dengan perdamaian dua bangsa ini. Barat dikecam
habis oleh komunitas internasional karena mendukung berdirinya negara Israel tahun
1948. Itu pula yang terjadi dengan Menachen Begin dan Anwar Sadat (Israel-Mesir) yang
dulu sepakat berdamai demi mendapatkan Gurun Sinai. Bahkan penganugrahan Nobel
Perdamaian kepada Ramos Horta dan Uskup Bello, sempat juga diwarnai kontroversi.
Gelar pahlawan nasional kepada Dwi Tunggal Sukarno-Hatta pun demikian. Dua tokoh
ini sudah jelas menjadi pelopor pergerakan nasional Indonesia. Mereka bukan saja
pemikir tetapi juga penggerak perlawanan secara nasional kepada penjajah, memberikan
inspirasi semangat kepada seluruh masyarakat di Nusantara meraih kemerdekaan. Bahwa
kemudian Nusantara itu (Indonesia) mampu meraih kemerdekaan, tidak bisa dilepaskan
dari peran kedua tokoh ini. Mereka adalah pemikir dan penggerak. Soekarno juga bisa
disebut sebagai pihak yang memformulasi, menggagas dan kemudian melahirkan
Pancasila, kumpulan nilai-nilai yang menerobos berbagai sekat suku di Indonesia. Hatta
adalah pemikir yang melahirkan sikap dan tindakan keintelektualan Indonesia, tidak

hanya di bidang politik, juga pada bidang ekonomi. Perhimpunan Indonesia yang
didirikannya di Belanda adalah sebuah sikap berani yang bersandarkan intelektualitas.
Akan tetapi, politik dan kekuasaan mempunyai kekuatan dan kepentingannya sendiri.
Dengan segala instrumen yang dimiliki, politik selalu berupaya mengambil keuntungan
agar rakyat mempercayai keputusan yang dibuat. Dari sinilah ada rekayasa sejarah,
rekayasa pelajaran, buku dan sebagainya yang menguntungkan kebijakan politik tersebut.
Dan dengan cara seperti itu, kekuasaan selalu bisa dipegang. Kekuasaan pada akhirnya
kemudian melindungi politik nasional atas nama apapun, entah stabilitas, entah
mengusung pemegang kekuasaan atau demi kemajuan ekonomi.
Sejarah sudah mencatat bahwa konsepsi Orde Baru dan Orde Lama merupakan rekayasa
politik bertujuan membenarkan salah satu pihak (oposisi biner), yang dalam hal ini
adalah Orde Baru. Dalam konsepsi zero zum konflik, salah satu pihak merupakan
pemenang mutlak (mati) dibanding dengan yang lain. Dan dalam hal Orde Baru, seorang
pemenang itu harus menang telak, bulat utuh dan tidak boleh bulat telor. Orde Baru
adalah pemenang dari Orde Lama dan itu sering kali diulang-ulang dalam sejarah (juga
dalam pertunjukan film). Tidak ada pahlawan lain kecuali pada pihak yang menang. Dari
sisi inilah kemudian muncul ”legitimasi” mengapa Ir. Soekarno dan Muhammad Hatta
tidak pernah menjadi pahlawan di jaman Orde Baru. Dari situ pula bisa ”dipahami”
mengapa seorang proklamator, yang justru merupakan penggagas pendiri bangsa itu tidak


mendapat gelar pahlawan nasional. Baik Soekarno maupun Hatta, berada di pihak Orde
Lama, dan orde ini adalah pihak yang kalah dihadapkan kepada Orde Baru. Kalaupun
pada masa Orde Baru banyak yang menuntut agar Soekarno-Hatta diresmikan sebagai
pahlawan nasional, secara politik itu tidak dimungkinkan. Mereka berdua bisa dihargai
dan diakui jasanya, tetapi tidak dalam konteks pahlawan nasional. Karena itulah,
pemberian nama Bandara Internasional dirasa sudah cukup untuk mengingatkan perannya
dalama perjalanan bangsa. Maka, munculah kemudian nama Soekarno-Hatta itu pada
bandara internasional terbesar di Indonesia dan terletak di Ibu Kota Negara.
Dengan demikian, pemberian gelar pahlawan nasional kepada Dwi Tunggal, SoekarnoHatta beberapa waktu lalu, merupakan hasil dari pergulatan pilitik dimana Orde Baru
yang merupakan tandingan dari Orde Lama, telah juga mengalami kekalahan,
ditumbangkan oleh Orde Reformasi. Tetapi mengapa kemudian pemberian gelar
pahlawan ini kelihatan terlambat, bahkan tidak diberikan disaat putri sanga proklamator
menjadi presiden di Indonesia?
Yang pertama, sekali lagi masalah perdebatan politik. Jika memang Orde Baru telah
ditumbangkan oleh Orde Reformasi maka seharusnya Soekarno-Hatta segera diangkat
menjadi pahlawan nasional. Mungkin pada pemerintahan Habibie, Gus Dur atau
pemerintahan Megawati Sukarnoputri. Akan tetapi harus diingat, pada saat ini pentolanpentolan Orde Baru masih cukup kuat dan secara politik, kekuatan reformasi dengan
kekuatan Orde Baru masih berimbang. Ini terlihat dari komposisi suara Paartai Golkar
dengan kekuatan reeformis di parlemen masih berimbang. Dalam keadaan demikian,
pemberian gelar pahlawan nasional kepada Soekarno-Hatta akan memungkinkan

terjadinya ”kericuhan” pendapat yang membuat komposisi kelompok reformis akan
tertekan. Paling tidak kosentrasi membangun kekuatan politik dari kelompok reformis
terganggu. Karena itu, tidak adanya pemberian gelar kepada dua tokoh proklamator itu,
menjadi kepentingan kelompok reformis juga. Artinya mereka menyetujui hal itu demi
konsolidasi yang lebih kuat pada kelompok ini.
Harus juga dipertimbangkan bahwa pada saat-saat awal reformasi, tokoh Orde Baru,
yaitu Soeharto, masih hidup dan dinilai mempunyai pengaruh yang cukup kuat pada
anak buahnya yang masih juga duduk di parleman dan pemerintahan. Pemberian gelar
pahlawan nasional diperkirakan akan mampu menggerakkan anak buah Soeharto yang
ada di jajaran pemerintahan ini.
Kedua, adanya ”noda” pada diri Soekarno. Dan ”noda” ini juga kuat bernuansa politik.
Secara hukum ada pada TAP MPRS No. XXIII Tahun 1967 tentang pencabutan
kekuasaan pemerintahan Presiden Soekarno dan mengangakat Jenderal Soeharto sebagai
penjabat presiden Indonesia. Pencabutan mandat inilah yang dipandang sebagai ”noda”
atau cacat hukum yang ada pada diri Soekarno. Ada ketentuan bahwa seorang pahlawan
nasional itu tidak boleh memiliki sejarah cacat hukum. Inilah yang membuat berbagai
pertimbangan untuk mengangkat Soekarno (Hatta) sebagai pahlawan nasional, masih
terhambat di paruh pertama kekuasaan Orde Reformasi. Akan tetapi, kalau dilihat dari
logika sejarah politik dan berbagai pertimbangannya, amat mungkin munculnya
ketetapan MPRS itu adalah sebuah persekongkolan politik atau rekayasa politik.


Perkembangan selanjutnya, barulah tahun 2003, melalui ketetapan MPR, ketetapan
MPRS tahun 1967 itu telah dicabut. Hatta memang selalu disandingkan dengan
Soekarno sehingga kalaupun Soekarno tidak boleh mendapatkan pahlawan Nasional,
Hatta pun demikian juga.
Ketiga, kemungkinan juga lambatnya pemberian gelar pahlawan nasional kepada dua
proklamator Indonesia itu disebabkan oleh sibuknya para pejabat Indonesia di jaman
reformasi berurusan dengan politik. Mereka tidak mampu membuat sistem politik yang
mapan, baik dalam sistem nasional maupun sistem yang dipakainya sendiri di kalangan
partai. Terlalu banyak gaduh terlalu banyak kritik dan terlalu banyak waktu dan ide yang
terbuang percuma.****
Penulis, staf pengajar FISIP Universitas Udayana.