BIOGRAFI PAHLAWAN DAN NASIONAL .docx

TUGAS PPKN
“ KLIPING
Tentang BIOGRAFI PAHLAWAN “

DISUSUN OLEH :
KELOMPOK 3
1. ALVINA NUR AZIZAH

(04)

2. ARISKA JUITANINGRUM

(06)

3. ASIH DWI P.

(07)

4. MIRA WATI

(24)


5. SALSA PRISTI S

(32)

KELAS : VIII F

SMP N 1 JEPON
TAHUN PELAJARAN 2017/2018
1. Biografi Sultan Hasanuddin

Nama : Sultan Hasanuddin
Lahir : Makassar, 12 Januari 1631
Wafat : Makassar, 12 Juni 1670
Ibu : I Sabbe To’mo Lakuntu
Ayah : Sultan Malikussaid
Pasangan: I Bate Daeng Tommi (m. 1654), I Mami Daeng Sangnging (m. 1645), I Daeng Talele
Anak: Karaeng Galesong, Sultan Amir Hamzah, Sultan Muhammad Ali
Keluarga Dan Masa Kecil Sultan Hasanuddin
Sultan Hasannudin merupakan anak kedua dari pasangan Sultan Malikussaid yang merupakan

raja Gowa ke-15 dan juga I Sabbe To’mo Lakuntu yang merupakan putri bangsawan Laikang.
Sultan Hasanudin lahir di Makassar, Sulawesi Selatan pada tanggal 12 januari 1631 dan wafat
pada 12 Juni 1670 di Makassar, Sulawesi Selatan. Nama lahir Sultan Hasanuddin adalah I
Mallombasi Muhammad Bakir Daeng Mattawang Karaeng Bonto Mangepe. Sultan Hasanuddin
memiliki saudara perempuan bernama I Patimang Daeng Nisaking Karaeng Bonto Je’ne.
Sejak kecil Sultan Hasanuddin telah memperlihatkan jiwa kepemimpinan, selain itu Ia juga
memiliki kecerdasan dan kerajinan dalam belajar yang sangat menonjol dibanding dengan
saudaranya yang lain, serta pandai bergaul dengan banyak orang tidak hanya di lingkungan
istana tetapi juga dengan orang asing yang mendatangi Makassar untuk berdagang.
Pendidikan yang dijalaninya di Pusat Pendidikan dan Pengajaran Islam di Masjid Bontoala
membuatnya menjadi pemuda yang beragama, memiliki semangat juang, jujur, dan rendah hati.
Wafatnya Sultan Alauddin (Kakek Sultan Hasanuddin) Dan Pengangkatan Ayahnya
Sebagai Raja Gowa
Saat Hasanuddin berumur 8 tahun, sang kakek yaitu Sultan Alauddin yang merupakan raja Gowa
ke-14 wafat setelah memerintah kerajaan Gowa selama 46 tahun. Setelah kakeknya meninggal
sang ayah Sultan Malikussaid menggantikan sebagai raja yang dilantik pada 15 Juni 1639.
Selama kepemimpinan ayahnya, Sultan Hasanuddin yang masih remaja sering diajak untuk
menghadiri perundingan penting. Hal ini dilakukan sang ayah agar Hassanudin belajar tentang
ilmu pemerintahan, diplomasi dan juga strategi perang. Setelah pandai pada bidang tersebut,
Hasanuddin pernah beberapa kali diutus untuk mewakili sang ayah mengunjungi kerajaan

nusantara terutama daerah dalam gabungan pengawalan kerajaan Gowa. Saat hendak memasuki
usia 21 tahun, Hassanudin dipercaya untuk menjabat urusan pertahanan Gowa dan membantu
ayahnya mengatur pertahanan untuk melawan Belanda.
Diangkat sebagai Raja Gowa-16
November 1653, pada usia 22 tahun, I Mallombasi Muhammad Bakir Daeng Mattawang
Karaeng Bonto Mangepe diangkat menjadi Raja Gowa dengan gelar Sultan Hasanuddin
Tumenanga Ri Balla Pangkana. Pengangkatan tersebut merupakan pesan dari sang ayah sebelum

wafat dan karena sifat yang tegas, berani serta memiliki kemampuan dan pengetahuan yang luas
pesan tersebut disetujui mangkubumi kerajaan yaitu Karaeng Pattingaloang.
Melawan VOC
Sultan Hasanuddin memerintah kerajaan saat Belanda hendak menguasai rempah-rempah dan
memonopoli hasil perdagangan wilayah timur Indonesia, Belanda melarang orang Makassar
berdagang dengan musuh belanda seperti Portugis atau yang lainnya. Keinginan Belanda yang
ingin melakukan monopoli perdagangan melalui VOC ditolak keras oleh Raja Gowa yaitu Sultan
Hasanuddin. Sultan Hasanuddin masih berpendirian sama seperti kakek dan ayahnya bahwa
tuhan menciptakan bumi dan lautan untuk dimiliki dan dipakai bersama-sama.
Karena menentang usaha monopoli yang hendak dilakukan VOC dan juga Kerajaan Gowa
merupakan kerajaan terbesar yang menguasai jalur perdagangan, VOC berusaha mengahncurkan
Kerajaan Gowa.

Perang Melawan Belanda Dan Sultan Hasanuddin Turun Tahta
Pada tahun 1666, Belanda dibawah kepemimpinan Laksamana Cornelis Speelman berusaha
menguasai kerajaan-kerajaan kecil yang ada di bagian timur Indonesia. Namun usaha mereka
untuk menguasai kerajaan Gowa belum berhasi karena Raja Gowa yaitu Sultan Hasanuddin
berusaha menggabungkan kekuatan kerajaan kecil di bagian timur Indonesia untuk melawan
Belanda. Peperangan yang terjadi antara kedua belah pihak selalu diakhiri dengan perjanjian
perdamaian dan gencatan senjata namun VOC selalu melanggar dan hal tersebut merugikan
Kerajaan Gowa. Belanda terus menambah pasukan selama peperangan sehingga Kerajaan Gowa
semakin lemah dan terdesak, lalu dengan pertimbangan pada 18 November 1667 Sultan
Hasanuddin bersedia menandatangani Perjanjian Bungaya. Rakyat dan Kerajaan Gowa yang
merasa sangat dirugikan dengan adanya perjanjian tersebut, pada 12 April1668 akhirnya perang
kembali pecah. Sultan Hasanuddin memberi perlawanan sengit. Namun karena pasukan Belanda
yang dibantu dengan tentara luar, pada 24 Juni 1969 mereka berhasil menerobos Benteng
Sombaopu yang merupakan benteng terkuat kerajaan Gowa.
Belanda terus melancarkan usahanya memecah belah Kerajaan Gowa, usaha yang dilakukan
oleh mereka berhasil dengan beberapa pembesar kerajaan yang menyerah seperti Karaeng Tallo
dan Karaeng Lengkese. Namun tidak dengan Sultan Hasanuddin yang telah bersumpah tidak
akan pernah sudi bekerja sama dengan Belanda. Pada 29 Juni 1969, Sultan Hasanuddin turun
tahta dan kemudian digantikan oleh putranya yang bernama I Mappasomba Daeng Nguraga yang
bergelar Sultan Amir Hamzah.

Sultan Hasanuddin Wafat
Pada 12 Juni 1670, pada usia 39 tahun Sultan Hasanuddin wafat. Kemudian beliau dimakamkan
di suatu bukit di pemakaman Raja-raja Gowa di dalam benteng Kale Gowa di Kampung
Tamalate.
Penghargaan Sultan Hassanudin
Berdasarkan Surat Keputusan Presiden No. 087/TK/1973, pada 6 November 1973 atas jasajasanya, Sultan Hasanuddin diberi gelar sebagai pahlawan nasional.

2. Biografi Pangeran Diponegoro

Nama Lengkap: Bendoro Raden Mas Ontowiryo
Tempat Lahir : Yogyakarta
Tanggal Lahir : 11 November 1785
Warga Negara : Indonesia
Wafat : 8 Januari 1855 di Sulawesi
Ayah : Hamengkubuwana III
Ibu : R.A. Mangkarawati
Gelar : Pahlawan Nasional
Biografi Pangeran Diponegoro
Pangeran Diponegoro adalah tokoh sentral di dalam Perang Diponegoro. Lalu, seperti apa
sosok tokoh Pahlawan Nasional yang satu ini? Kita akan membahasnya untuk anda. Diponegoro

lahir pada 11 November 1785 di Jogja. Setelah melakukan perjuangan sekian lama, ia
menghembuskan nafas terakhirnya pada 8 Januari 1855 di Sulawesi. Saat itu ia sudah menginjak
usia 69 tahun. Diponegoro adalah putra dari tokoh yang disegani bernama Hamengkubuwana III.
Ia adalah seorang raja dari Mataram. Sang ibu bernama R.A. Mangkarawati, ia berdarah Pacitan.
Saat dilahirkan, Diponegoro memiliki nama Bendoro Raden Mas Ontowiryo. Sang Ayah sempat
punya niat untuk mengangkatnya sebagai raja. Hanya saja waktu itu ia sadar bahwa ia hanya
putra dari seorang selir, sehingga menolak keinginan dari ayahnya tersebut. Sepanjang hidupnya,
Diponegoro pernah mempersuntingnya banyak istri, diantaranya adalah Raden Ayu
Ratnaningrum, Bendara Raden Ayu Antawirya, dan Raden Ayu Ratnaningsih.
Kehidupannya lebih banyak dihabiskan untuk mendalami agama. Ia juga dikenal sangat
merakyat dan banyak tinggal di Tegalrejo. Ada satu momen dimana ia melakukan
pemberontakan terhadap keraton dan ini bermula saat keraton berada di bawah pemerintahan
Hamengkubuwana V (1822). Ia saat itu bertindak sebagai anggota perwalian. Ia tidak menyukai
prosedur perwalian tersebut. Diponegoro adalah sosok pejuang luar biasa. Ia tidak suka dengan
Belanda sejak mereka berani memasang patok di tanah miliknya yang berlokasi di Tegalrejo. Itu
tidak lain adalah karena Belanda dinilai semena-mena terhadap masyarakat.
Mereka juga suka membebani pajak kepada rakyat. Ia pun menunjukkan ketidaksukaannya
secara terbuka dan sikap ini ternyata banyak mendapat dukungan dari masyarakat. Sang paman
Pangeran Mangkubumi kemudian memintanya pindah dari Tegalrejo untuk memikirkan strategi
melawan kaum kafir. Ia menamai perjuangan tersebut sebagai Perang Sabil. Semangat tersebut

tidak hanya menyulut semangat orang-orang terdekatnya saja, namun mleluas hingga ke Kedu
dan Pacitan. Bahkan tokoh agama penting seperti Kyai Maja juga turut serta di dalam
perjuangan tersebut.

Perang tersebut menyebabkan kerugian di pihak kolonial. Mereka kehilangan banyak prajurit,
bahkan mencapai 15.000 orang. Karena dinilai membahayakan, mereka pun membuat
sayembara dengan hadiah 50.000 Gulden supaya orang tertarik ikut serta dalam perburuan
tersebut. Diponegoro baru berhasil ditangkap di tahun 1830.
Beberapa minggu setelah ditangkap, 28 Maret 1830, ia bertemu dengan Jenderal de Kock di
Magelang. Sang jenderal meminta supaya Diponegoro tidak melakukan aksi serangan lagi. Ia
pun menolaknya, sehingga berdampak pada pengasingan dirinya ke Ungaran, kemudian
Semarang, dan terakhir Batavia. Tidak berhenti disini, ia kembali dipindahkan beberapa kali dari
satu tempat ke tempat lainnya, bahkan sampai ke Manado.
Kutipan Pangeran Diponegoro
"Gusti Allah menilai ketulusan perjuangan manusia, bukan hasil akhirnya. Kalaupun harus
menjumpai kematian, itu artinya mati syahid di jalan Tuhan,"
Hidup dan mati ada dalam genggaman Illahi. Takdir adalah kepastian, tapi hidup harus tetap
berjalan. Proses kehidupan adalah hakikat, sementara hasil akhir hanyalah syariat. Gusti Allah
akan menilai ketulusan perjuangan manusia, bukan hasil akhirnya. Kalaupun harus menjumpai
kematian, itu artinya mati syahid di jalan Tuhan.

Den Siro Poro Satrio Nagari Mataram
Nagarining Jawi Dodot Iro
Sumimpin Watak Wantune Sayyidina Nagli
Sumimpin Kawicaksanane Sayidina Kasan
Sumimpin Kekendelane Sayidina Kusen
Den seksenono..Hing Wanci Suro
Londo bakal den siro sirnake soko tanah Jowo
Krana sinurung Pangribawaning poro Satrianing Muhammad yoiku
Ngali, Kasan, Kusen
Siro podho lumaksanane yudho kairing Takbir lan Sholawat
Yen Siro gugur ing bantala..Cinondro guguring sakabate Sayidina Kusen
Ing Nainawa...
Terjemahannya :
Wahai ksatria negeri Mataram,
negeri di Jawa tempat aku pegang teguh,
bersama sifat kepemimpinan Sayidina Ali yg tegas,
bersama sifat sayidina Hasan yang bijak,
bersama sifat kepemimpinan sayidina Husein yang gagah berani,
Wahai saksikanlah.
Tunggulah nnti di bulan Muharam,

Belanda akan kita lenyapkan di tanah jawa,
Dengan kewibawaan ksatria Muhammad yaitu Ali Hasan dan Husein,
Kita semua akan berperang dengan Takbir dan Sholawat,
jika kita gugur di medan perang,
itu adalah tanda laksana gugurnya sahabat Husein di Nainawa

3. Biografi Sultan Ageng Tirtoyoso

Nama: Sultan Ageng Tirtayasa
Lahir: Banten, 1631
Meninggal: Jakarta, 1695
Memerintah: 1651–1683
Orang Tua:
Ratu Martakusuma (Ibu)
Abdul Ma’ali Ahmad (Ayah)
Anak:
Sultan Abu Nashar Abdulqahar (Haji dari Banten)
Pangeran Purbaya
Tubagus Abdul
Tubagus Rajaputra

Tubagus Husaen
Tubagus Ingayudadipura
Raden Mandaraka
Raden Saleh
Raden Rum
Raden Sugiri
Raden Muhammad
Tubagus Rajasuta
Raden Muhsin
Arya Abdulalim
Tubagus Muhammad Athif
Tubagus Wetan
Tubagus Kulon
Raden Mesir

Biografi Sultan Ageng Tirtayasa
Sultan Ageng Tirtayasa merupakan putra dari Sultan Abu al-Ma’ali Ahmad yaitu Sultan Banten
periode 1640-1650 dan Ratu Martakusuma. Sultan Ageng Tirtayasa lahir di Kesultanan Banten
pada tahun 1631.
Nama kecil Sultan Ageng Tirtayasa adalah Abdul Fatah atau Abu al-Fath Abdulfattah. Sejak

kecil sebelum diberi gelar Sultan Ageng Tirtayasa, Abdul Fatah diberi gelar Pangeran Surya.
Saat ayahnya yaitu Sultan Abu al-Ma’ali Ahmad wafat, Sultan Ageng Tirtayasa diangkat sebagai
Sultan Muda dengan gelar Pangeran Dipati. Abdul Fatah atau pangeran Dipati merupakan
pewaris tahta kesultanan Banten. Tapi saat ayahnya wafat, Beliau belum menjadi sultan karena

kesultanan Banten saat itu kembali dipimpin oleh kakeknya yaitu Sultan Abul Mufakhir
Mahmud Abdul Qadir.

Menjadi Sultan dan Kesultanan Banten Mengalami Kejayaan
Pada tahun 1651, kakeknya Sultan Abul Mufakhir Mahmud Abdul Qadir wafat. Abdul Fatah
atau pangeran Dipati lalu naik tahta sebagai Sultan Banten ke 6 dengan nama Sultan Abul Fath
Abdul Fattah atau Sultan Ageng Tirtayasa. Sewaktu naik tahta menjadi Sultan Banten, beliau
masih sangat muda yaitu pada usia 20 tahun.
Sultanb Ageng Tirtayasa sangat menaruh perhatian terhadap perkembangan agama Islam di
daerahnya. Ia mendatangkan banyak guru agama dari Arab, Aceh dan daerah lain untuk
membina mental para pasukan Kesultanan Banten. Sultan Ageng Tirtayasa juga dikenal sebagai
ahli strategi dalam perang.
Di bawah kepemimpinan Sultan Ageng Tirtayasa, kesultanan Banten mencapai puncak kejayaan
dan kemegahannya. Ia memajukan sistem pertanian dan irigasi baik dan berhasil menyusun
armada perangnya. Selain itu, kesultanan Banten juga menjadi memiliki hubungan diplomatik
yang kuat antara kesultanan Banten dengan kerajaan lainnya di Indonesia seperti Makassar,
Cirebon, Indrapura dan Bangka.
Sultan Ageng Tirtayasa juga menjalin hubungan baik dibidang perdagangan, pelayaran dan juga
diplomatik dengan negara-negara Eropa seperti Inggris, Turki, Denmark dan Perancis.
Hubungan tersebut membuat pelabuhan Banten sangat ramai dikunjungi para pedagang dari
Persia, Arab, India, china, melayu serta philipina.
Sultan Ageng Tirtayasa sempat membantu Trunojoyo dalam pemberontakan di Mataram. Beliau
bahkan membebaskan Pangeran Martawijaya dan Pangeran Kartawijaya yang saat itu ditahan di
Mataram karena hubungan baiknya dengan Cirebon.
Pada masa pemerintahan Sultan Ageng Tirtayasa, konflik antara Kesultanan Banten dan Belanda
semakin meruncing. Hal tersebut disebabkan karena ikut campurnya Belanda dalam internal
kesultanan Banten yang saat itu sedang melakukan pemisahan pemerintahan. Belanda melalui
politik adu dombanya (Devide et Impera) menghasut Sultan Haji (Abu Nasr Abdul Kahar)
melawan Pangeran Arya Purbaya yang merupakan saudaranya sendiri.
Sultan Haji mengira bahwa pembagian tugas pemerintahan oleh Sultan Ageng Tirtayasa
kepadanya dan saudaranya tersebut merupakan upaya menyingkirkan dirinya dari pewaris tahta
kesultanan Banten dan diberikan kepada adiknya, Pangeran Arya Purbaya. Sultan Haji yang
didukung oleh VOC Belanda lalu berusaha menyingkirkan Sultan Ageng Tirtayasa.
Akhirnya, perang keluarga pun pecah. Pasukan Sultan Ageng Tirtayasa saat itu mengepung
pasukan Sultan Haji di daerah Sorosowan (Banten). Namun pasukan pimpinan Kapten Tack dan
Saint-Martin yang dikirim Belanda datang membantu Sultan Haji.

Wafatnya Sultan Ageng Tirtayasa
Perang antar keluarga yang berlarut-larut membuat Kesultanan Banten melemah. Akhirnya pada
tahun 1683, Sultan Ageng Tirtayasa ditangkap dan dibawa ke Batavia dan dipenjara. Pada tahun
1692, Sultan Ageng Tirtayasa akhirnya wafat. Sultan Ageng Tirtayasa dimakamkan di
Kompleks Pemakaman raja-raja Banten di Provinsi Banten.

Menjadi Pahlawan Nasional Indonesia
Pada tanggal 1 agustus 1970, melalui SK Presiden Republik Indonesia No. 045/TK/Tahun 1970
Pemerintah Indonesia memberikan gelar Pahlawan Nasional kepada Sultan Ageng Tirtayasa.
Selain itu, untuk menghargai jasanya, nama Sultan Ageng Tirtayasa diabadikan sebagai nama
salah satu universitas di Banten bernama Universitas Sultan Ageng Tirtayasa.

4. Biografi Iman Bonjol
Tuanku Imam Bonjol adalah salah satu pemimpin dan pejuang yang berjuang melawan
Belanda dalam peperangan yang dikenal dengan nama Perang Padri. Perang ini merupakan
peperangan yang terjadi akibat pertentangan dalam masalah agama sebelum berubah menjadi
peperangan melawan penjajahan. Selain menjadi seorang pejuang, Imam Bonjol juga
merupakan seorang ulama yang memiliki cita-cita untuk membersihkan praktek Islam dan
mencerdaskan rakyat nusantara dalam wawasan Islam. Ia menuntut ilmu agama di Aceh
pada tahun 1800-1802, dia mendapat gelar Malin basa.

Biodata Tuanku Imam Bonjol
1. Nama : Muhamad Shahab
2. Tanggal Lahir : 1772, Bonjol, Sumatera Barat, Indonesia
3. Meninggal : 6 November 1864, Minahasa
4. Kebangsaan : Minangkabau
5. Agama : Islam
6. Orang tua : Bayanuddin (ayah), Hamatun (ibu)
Biografi Tuanku Imam Bonjol
Tuanku Imam Bonjol lahir di Bonjol pada tahun 1772, nama aslinya adalah Muhammad Shahab.
Ia lahir dari pasangan Bayanuddin dan Hamatun. Ayahnya adalah seorang alim ulama dari
Sungai Rimbang, Suliki. Imam Bonjol belajar agama di Aceh pada tahun 1800-1802, dia
mendapat gelar Malin Basa.
Sebagai ulama dan pemimpin masyarakat setempat, Tuanku Imam Bonjol memperoleh beberapa
gelar, antara lain yaitu Peto Syarif, Malin Basa, dan Tuanku Imam. Tuanku nan Renceh dari
Kamang, Agam sebagai salah seorang pemimpin dari Harimau nan Salapan yang menunjuknya
sebagai Imam (pemimpin) bagi kaum Padri di Bonjol. Ia sendiri akhirnya lebih dikenal
masyarakat dengan sebutan Tuanku Imam Bonjol.
Perjuangan
Pertentangan kaum Adat dengan kaum Paderi atau kaum agama turut melibatkan Tuanku Imam
Bonjol. Kaum paderi berusaha membersihkan ajaran agama islam yang telah banyak
diselewengkan agar dikembalikan kepada ajaran agama islam yang murni.
Pada awalnya timbulnya peperangan ini didasari keinginan dikalangan pemimpin ulama di
kerajaan Pagaruyung untuk menerapkan dan menjalankan syariat Islam sesuai dengan Ahlus
Sunnah wal Jamaah yang berpegang teguh pada Al-Qur'an dan sunnah-sunnah Rasullullah
shalallahu 'alaihi wasallam. Kemudian pemimpin ulama yang tergabung dalam Harimau nan
Salapan meminta Tuanku Lintau untuk mengajak Yang Dipertuan Pagaruyung beserta Kaum
Adat untuk meninggalkan beberapa kebiasaan yang tidak sesuai dengan Islam.
Dalam beberapa perundingan tidak ada kata sepakat antara Kaum Padri dengan Kaum Adat.
Seiring itu dibeberapa nagari dalam kerajaan Pagaruyung bergejolak, dan sampai akhirnya Kaum

Padri dibawah pimpinan Tuanku Pasaman menyerang Pagaruyung pada tahun 1815, dan pecah
pertempuran di Koto Tangah dekat Batu Sangkar. Sultan Arifin Muningsyah terpaksa melarikan
diri dari ibukota kerajaan ke Lubukjambi.
Pada 21 Februari 1821, kaum Adat secara resmi bekerja sama dengan pemerintah HindiaBelanda berperang melawan kaum Padri dalam perjanjian yang ditandatangani di Padang,
sebagai kompensasi Belanda mendapat hak akses dan penguasaan atas wilayah darek
(pedalaman Minangkabau). Perjanjian itu dihadiri juga oleh sisa keluarga dinasti kerajaan
Pagaruyung di bawah pimpinan Sultan Tangkal Alam Bagagar yang sudah berada di Padang
waktu itu. Perlawanan yang dilakukan oleh pasukan padri cukup tangguh sehingga sangat
menyulitkan Belanda untuk mengalahkannya. Oleh sebab itu Belanda melalui Gubernur Jendral
Johannes van den Bosch mengajak pemimpin Kaum Padri yang waktu itu telah dipimpin oleh
Tuanku Imam Bonjol untuk berdamai dengan maklumat Perjanjian Masang pada tahun 1824.
Tetapi kemudian perjanjian ini dilanggar sendiri oleh Belanda dengan menyerang nagari Pandai
Sikek. Pada tahun 1833 perang berubah menjadi perang antara kaum Adat dan kaum Paderi
melawan Belanda, kedua pihak bahu-membahu melawan Belanda, Pihak-pihak yang semula
bertentangan akhirnya bersatu melawan Belanda. Diujung penyesalan muncul kesadaran,
mengundang Belanda dalam konflik justru menyengsarakan masyarakat Minangkabau itu
sendiri. Bersatunya kaum Adat dan kaum Padri ini dimulai dengan adanya kompromi yang
dikenal dengan nama Plakat Puncak Pato di Tabek Patah yang mewujudkan konsensus Adat
basandi Syarak (Adat berdasarkan agama).
Penyerangan dan pengepungan benteng kaum Padri di Bonjol oleh Belanda dari segala jurusan
selama sekitar enam bulan (16 Maret-17 Agustus 1837) yang dipimpin oleh jenderal dan para
perwira Belanda, tetapi dengan tentara yang sebagian besar adalah bangsa pribumi yang terdiri
dari berbagai suku, seperti Jawa, Madura, Bugis, dan Ambon.
3 kali Belanda mengganti komandan perangnya untuk merebut Bonjol, yaitu sebuah negeri kecil
dengan benteng dari tanah liat yang di sekitarnya dikelilingi oleh parit-parit. Barulah pada
tanggal 16 Agustus 1837, Benteng Bonjol dapat dikuasai setelah sekian lama dikepung.
Pada bulan Oktober 1837, Tuanku Imam Bonjol diundang ke Palupuh untuk berunding. Tiba di
tempat tersebut dia langsung ditangkap dan dibuang ke Cianjur, Jawa Barat. Kemudian
dipindahkan ke Ambon dan akhirnya ke Lotak, Minahasa, dekat Manado. Di tempat terakhir itu
ia meninggal dunia pada tanggal 8 November 1864. Tuanku Imam Bonjol dimakamkan di
tempat tersebut.
Penghargaan
Perjuangan yang telah dilakukan oleh Tuanku Imam Bonjol dapat menjadi apresiasi akan
kepahlawanannya dalam menentang penjajahan, sebagai penghargaan dari pemerintah Indonesia,
Tuanku Imam Bonjol diangkat sebagai Pahlawan Nasional Indonesia sejak tanggal 6 November
1973.

5. Biografi Patimura

Nama lengkap : Thomas Matulessy
Julukan : Pattimura
Lahir : Hualoy, Seram selatan, Maluku 8 Juni 1783
Wafat : Ambon, Maluku 16 Desember 1817
Orang tua : Frans Matulesi (Ayah) Fransina Silahoi (Ibu)

Biografi Lengkap Pattimura
Berdasarkan buku biografi Pattimura versi pemerintah yang pertama kali terbit, M.Sapija
menuliskan “Bahwa pahlawan Pattimura tergolong turunan bangsawan dan berasal dari Nusa Ina
(Seram). Ayahnya yang bernama Antoni Mattulessy adalah anak dari Kasimiliali Pattimura
Mattulessy. Yang terakhir ini adalah putra raja Sahulau. Sahulau merupakan nama orang di
negeri yang terletak dalam sebuah teluk di Seram Selatan”.
Namun berbeda dengan pendapat dengan sejarawan Mansyur Suryanegara. Dia mengatakan
dalam bukunya yang berjudul Api Sejarah bahwa Ahmad Lussy (dalam bahasa Maluku “Mat
Lussy”), lahir di lahir di Hualoy, Seram Selatan (bukan Saparua seperti yang dikenal dalam
sejarah versi pemerintah). Dia adalah bangsawan dari kerajaan Islam Sahulau, yang saat itu
diperintah Sultan Abdurrahman. Raja ini dikenal pula dengan sebutan Sultan Kasimillah (Kazim
Allah/Asisten Allah).
Gelar Kapitan
Berdasarkan sejarah yang dituliskan M.Sapija, gelar kapitan yang dimiliki oleh Pattimura berasal
dari pemberian Belanda. Padahal tidak.
Menurut sejarawan Mansyur Suryanegara atas saran dari Abdul Gafur (leluhur bangsa
Indonesia). Dilihat dari sudut sejarah dan antropologi adalah homo religosa (makhluk agamis).
Keyakinan mereka terhadap suatu kekuatan di luar jangkauan akal pikiran mereka yang akhirnya
menimbulkan tafsiran yang sulit dicerna rasio modern. Karena itulah tingkah laku sosialnya
dikendalikan oleh kekuatan-kekuatan alam yang mereka takuti.
Jiwa mereka bersatu dengan kekuatan-kekuatan alam, kesaktian-kesaktian khusus dimiliki
seseorang. Kesaktian tersebut kemudian diterima sebagai suatu peristiwa yang suci dan mulia.
Bila kekuatan tersebut melekat pada seseorang maka akan menjadi lambang kekuatan untuknya.
Pattimura merupakan pemimpin yang dianggap memiliki kharisma. Sifat tersebut melekat dan
berproses turun temurun. Meskipun kemudian mereka sudah memeluk agama, namun secara
genealogis/silsilah/keturunan adalah turunan pemimpin atau kapitan. Dari sinilah sebenarnya
sebutan “kapitan” yang melekat pada diri Pattimura itu bermula.
Perjuangan Pattimura
Sebelum melakukan perlawanan terhadap VOC, Pattimura pernah berkarier dalam dunia militer
sebagai mantan sersan militer Inggris. Hingga pada tahun 1816, terjadi perpindahan kekuasaan
dari kolonialisme Inggris ke tangan Belanda. Kedatangan Belanda sangat di tentang oleh

Belanda, karena sebelum Inggris darang ke daratan Ambon. Belanda pernah menguasai daratan
Ambon selama kurang lebih 2 Abad.
Selama kurun waktu 2 abad hubungan kemasyarakatan, politik dan ekonomi sangat buruk.
Datangnya Belanda kali ini membawa aturan baru seperti monopoli politik, pemindahan
penduduk, pajak atas tanah, dan mengabaikan Traktat london.
Akibatnya, Rakyat Maluku melakukan perlawanan angkat senjata untuk melawan Belanda di
bawah pimpinan Pattimura. Pattimura diangkat menjadi pemimpin perjuangan melawan Belanda
oleh Patih, ketua adat, dan para kapitan lainnya karena sifat kemimpinan dan ksatria yang ada
pada diri Pattimura.
Karena perjuangan yang ia lakukan, Pattimura berhasil menggalang kekuatan dengan mengajak
kerajaan ternate, Tidore, dan beberapa Raja di Jawa dan di Bali untuk membantu rakyat Maluku
memerangi Belanda. Dengan kekuatan besar ini, Belanda sampai mengerahkan kekuatannya
dibawah pipiman Laksamana Buykes, yang merupakan komisaris Jenderal Belanda.
Pejuangan Kapitan Pattimura dalam melawan Belanda yaitu untuk memperebutkan Benten
Duurstede, pertempuran di pantai Waisisil dan jasirah Hatawano. Ouw-Ullath, Jasirah Hitu di
pulau Ambon dan Seram Selatan.
Perang Pattimura dihentikan dengan adanya politik adu domba, tipu muslihat dan bumi hangus
oleh Belanda. Pattimura bersama para tokoh pejuang lain yang bersamanya akhirnya dapat
ditangkap. Pattimura ditangkap oleh pemerintah Kolonial Belanda disebuah Rumah di daerah
Siri Sori Pattimura kemudian di adili di Pengadilan Kolonial Belanda dengan tuduhan melawan
pemerintah Belanda.
Hukuman Dan Kematian Pattimura
Pattimura kemudian dijatuhi hukuman gantung, sebelum eksekusinya di tiang gantungan,
Belanda ternyata terus membujuk Pattimura agar dapat bekerja sama dengan pemerintah
kolonial Belanda, namun Pattimura menolaknya.
Pattimura kemudian mengakhiri pengabdiannya di tiang gantungan pada tanggal 16 Desember
1817 di depan Benteng Victoria di Kota Ambon. Untuk jasa dan pengorbanannya itu, Kapitan
Pattimura dikukuhkan sebagai “Pahlawan Perjuangan Kemerdekaan” oleh pemerintah Republik
Indonesia.

6. Biografi Sultan Agung Hanyakrakusuma

Sultan Agung Adi Prabu Hanyokrokusumo

Sultan Agung Adi Prabu Hanyokrokusumo,
lahir: Kutagede, Kesultanan Mataram, 1593
wafat: Kerta (Plered, Bantul), Kesultanan Mataram, 1645)
adalah Sultan ke-tiga Kesultanan Mataram yang memerintah pada tahun 1613-1645. Di bawah
kepemimpinannya, Mataram berkembang menjadi kerajaan terbesar di Jawa dan Nusantara pada
saat itu.
Atas jasa-jasanya sebagai pejuang dan budayawan, Sultan Agung telah ditetapkan menjadi
pahlawan nasional Indonesia berdasarkan S.K. Presiden No. 106/TK/1975 tanggal 3 November
1975.
Gelar yang Dipakai
Pada awal pemerintahannya, Raden Mas Rangsang bergelar "Panembahan Hanyakrakusuma"
atau "Prabu Pandita Hanyakrakusuma". Kemudian setelah menaklukkan Madura tahun 1624, ia
mengganti gelarnya menjadi "Susuhunan Agung Hanyakrakusuma", atau disingkat "Sunan
Agung Hanyakrakusuma".
Setelah

1640-an

beliau

menggunakan

gelar

"Sultan

Agung

Senapati-ing-Ngalaga

Abdurrahman". Pada tahun 1641 Sunan Agung mendapatkan gelar bernuansa Arab. Gelar
tersebut adalah "Sultan Abdullah Muhammad Maulana Mataram", yang diperolehnya dari
pemimpin Ka'bah di Makkah,Untuk mudahnya, nama yang dipakai dalam artikel ini adalah
nama yang paling lazim dan populer, yaitu "Sultan Agung".
Awal pemerintahan
Raden Mas Rangsang naik takhta pada tahun 1613 dalam usia 20 tahun menggantikan kakaknya,
Adipati Martapura, yang hanya menjadi Sultan Mataram selama satu hari. Sebenarnya secara
teknis Raden Mas Rangsang adalah Sultan ke-empat Kesultanan Mataram, namun secara umum
dianggap sebagai Sultan ke-tiga karena kakaknya yang menderita tuna grahita diangkat hanya
sebagai pemenuhan janji ayahnya, Panembahan Hanyakrawati kepada istrinya, Ratu Tulungayu.

Setelah pengangkatannya menjadi sultan, dua tahun kemudian, patih senior Ki Juru Martani
wafat karena usia tua, dan kedudukannya digantikan oleh Tumenggung Singaranu.
Ibu kota Mataram saat itu masih berada di Kota Gede. Pada tahun 1614 dibangun istana baru di
desa Kerta yang kelak mulai ditempati pada tahun 1622.
Saingan besar Mataram saat itu tetap Surabaya dan Banten. Pada tahun 1614 Sultan Agung
mengirim pasukan menaklukkan sekutu Surabaya, yaitu Lumajang. Dalam perang di Sungai
Andaka, Tumenggung Surantani dari Mataram tewas oleh Panji Pulangjiwa menantu Rangga
Tohjiwa bupati Malang. Lalu Panji Pulangjiwa sendiri mati terjebak perangkap yang dipasang
Tumenggung Alap-Alap.
Pada tahun 1615 Sultan Agung memimpin langsung penaklukan Wirasaba ibukota Majapahit
(sekarang Mojoagung, Jombang). Pihak Surabaya mencoba membalas. Adipati Pajang juga
berniat mengkhianati Mataram namun masih ragu-ragu untuk mengirim pasukan membantu
Surabaya. Akibatnya, pasukan Surabaya dapat dihancurkan pihak Mataram pada Januari 1616 di
desa Siwalan.
Kemenangan Sultan Agung berlanjut di Lasem dan Pasuruan tahun 1616. Kemudian pada tahun
1617 Pajang memberontak tapi dapat ditumpas. Adipati dan panglimanya (bernama Ki
Tambakbaya) melarikan diri ke Surabaya.
Wafatnya Sultan Agung
Pintu Masuk ke makam Sultan Agung di Pemakaman Imogiri di Imogiri, Kabupaten Bantul,
Provinsi Daerah Istimewa Yogyakarta, Indonesia (foto tahun 1890).
Menjelang tahun 1645 Sultan Agung merasa ajalnya sudah dekat. Ia pun membangun Astana
Imogiri sebagai pusat pemakaman keluarga raja-raja Kesultanan Mataram mulai dari dirinya. Ia
juga menuliskan serat Sastra Gending sebagai tuntunan hidup trah Mataram.
Sesuai dengan wasiatnya, Sultan Agung yang meninggal dunia tahun 1645 digantikan oleh
putranya yang bernama Raden Mas Sayidin sebagai raja Mataram selanjutnya, bergelar
Amangkurat I.

7. Biografi Pangeran Antasari

Pangeran Antasari merupakan seorang Pahlawan Nasional Indonesia. Pangeran Antasari adalah
putra dari pasangan Gusti Hadijah binti Sultan Sulaiman dan Pangeran Masohut (Mas’ud) bin
Pangeran Amir yang lahir pada tahun 1797 atau 1809 di Kayu Tangi, Banjar, Kabupaten Banjar,
Kalimantan Selatan. Pangeran Antasari meninggal dunia pada 11 Oktober 1862 (53 Tahun) di
Bayan Begok, Kabupaten Barito Utara, Kalimantan Tengah.
Pada 14 Maret 1862, didepan kepala suku dayak dan dan Adipati penguasa wilayah dusun Atas,
Kapuas dan Kahayan yakni Tumenggung Surapati/ Tumenggung Yang Pati Jaya Raja, Pangeran
Antasari ditunjuk sebagai pimpinan tertinggi Kesultanan Banjar atau menjadi Sultan Banjar
dengan gelar Panembahan Amiruddin Khalifatul Mukminin.
Pada tanggal 23 Maret 1968, berdasarkan SK No. 06/TK/1968 oleh pemerintah Republik
Indonesia, Pangeran Antasari diberi gelar Pahlawan Nasional dan Kemerdekaan.

Profil Singkat Pangeran Antasari
Nama : Pangeran Antasari
Lahir : Kayu Tangi, Banjar, Kabupaten Banjar, Kalimantan Selatan , 1797 atau 1809
Meninggal : Bayan Begok, Kabupaten Barito Utara, Kalimantan Tengah, 11 Oktober 1862
Ibu: Gusti Khadijah binti Sultan Sulaiman
Ayah : Pangeran Masohut (Mas’ud) bin Pangeran Amir

Pangeran Antasari Pewaris Kerajaan Banjar
Pangeran Antasari adalah putra dari Pangeran Masohut (Mas’ud) bin Pangeran Amir dan Gusti
Khadijah binti Sultan Sulaiman. Semasa muda Pangeran Antasari bernama Gusti Inu Kartapati.
Pangeran Antasari memiliki seorang adik perempuan bernama Ratu Antasari atau Ratu Sultan
Abdul Rahman yang meninggal dahulu setelah melahirkan anaknya yang bernama Rakhmatillah
yang merupakan pewaris kesultanan banjar, dan saat masih bayi anaknya pun meninggal.
Pangeran Antasari tidak hanya sebagai pemimpin Suku Banjar, namun juga pemimpin Suku
kutai, Maanyan, Bakumpai, Siang, Murung, Ngaju, Sihong, Pasir dan beberapa suku lain yang
ada di wilayah dan pedalaman atau sepanjang Sungai Barito, baik beragama Islam maupun
Kaharingan.
Setelah pengasingan Sultan Hidayatullah ke Cianjur oleh Belanda, perjuangan rakyat banjar
diteruskan oleh Pangeran Antasari. Pada 14 Maret 1862, untuk menguatkan posisi Pangeran
Antasari sebagai pemimpin perjuangan untuk melawan penjajah di kawasan bagian utara Banjar,
di depan rakyat, pejuang, bangsawan, panglima dayak serta alim ulama Banjar, Pangeran
Antasari ditunjuk sebagai Petinggi kesultanan Banjar atau menjadi Sultan Banjar dengan gelar
Panembah Amiruddin Khalifatul Mukminin. Penguatan posisi tersebut dimulai dengan
seruan
“Hidup untuk Allah dan Mati untuk Allah!”.

Perjuangan Pangeran Antasari Melawan Belanda
Pada 25 April 1859, Pangeran Antasari bersama 300 prajuritnya menyerang pertambangan batu
bara milik Belanda yang ada di Pengaron dengan dimulainya penyerangan tersebut Perang

Banjar pun pecah. Peperangan demi peperangan terus terjadi di seluruh wilayah Kerajaan
Banjar. Pangeran Antasari yang dibantu para panglima dan pengikut setianya menyerang pospos milik Belanda yang ada di Martapura, Riam Kanan, Hulu Sungai, Tabalong, Tanah Laut,
Sepanjang sungai Barito hingga Puruk Cahu.
Peperangan yang terjadi antara pasukan Pangeran Antasari dengan Belanda semakin sengit.
Belanda yang dibantu oleh pasukan Batavia dan juga persenjataan canggih, berhasil mendesak
Pangeran Antasari dan pasukannya dan Pangeran Antasari akhirnya memindahkan benteng
pertahanannya ke Muara Taweh.
Belanda terus membujuk Pangeran Antasari agar menyerah, namun Pangeran Antasari tetap
teguh pada pendiriannya. Pihak Belanda pernah menawarkan hadiah imbalan sebesar 10.000
gulden bagi siapapun yang dapat menangkap lalu membunuh Pangeran Antasari, namun tidak
ada yang mau menerima tawaran tersebut.

Meninggalnya Pangeran Antasari
Setelah lama berjuang, pada 11 Oktober 1862 di kampung Bayan Begok, Sampirang Pangeran
Antasari wafat ditengah pasukannya di Usia sekitar 75 tahun tanpa menyerah, tertangkap
ataupun tertipu oleh Belanda. Pangeran Antasari meninggal akibat penyakit paru-paru dan juga
cacar yang dideritanya setelah perang dibawah kaki Bukit Begantung, Tundukan. Sepeninggalan
Pangeran Antasari, perjuangan di teruskan oleh putranya yang bernama Muhammad Seman.
Pada tanggal 11 november 1958 atas keinginan Banjar dan juga persetujuan keluarga, setelah
terkubur selama sekitar 91 tahun di daerah Hulu sungai Barito, kerangka Pangeran antasari
dipindah makamkan ke Taman Makam Perang Banjar yang ada di Kelurahan Surgi Mufti,
Banjarasin. Bagian tubuh Pangeran Antasari yang masih utuh dan dipindah makamkan adalah
tulang tengkorak, tempurung lutut dan juga beberapa helai rambut.

Penghargaan Untuk Pangeran Antasari
Pada tanggal 23 Maret 1968, berdasarkan SK No. 06/TK/1968 oleh pemerintah Republik
Indonesia, Pangeran Antasari diberi gelar Pahlawan Nasional dan Kemerdekaan. Untuk
mengenang jasa beliau, nama beliau di abadikan pada Korem 101/Antasari dan juga nama beliau
dipakai sebagai nama julukan Kalimantan Selatan yaitu Bumi Antasari.

8. I Gusti Ngurahrai

Nama : I Gusti Ngurah Rai
Lahir : Petang, Kabupaten Badung, Bali, Hindia Belanda | 30 Januari 1917
Meninggal : Marga, Tabanan, Bali | 20 November 1946 (umur 29)
Makam : Taman Makam Pahlawan Margarana Bali
Agama : Hindu
Zodiac : Aquarius
Warga Negara : Indonesia
Biografi I Gusti Ngurah Rai
I Gusti Ngurah Rai, adalah pahlawan nasional dari daerah Bali. Terkenal dengan gagasan
perangnya yakni Puputan Margarana yang berarti perang secara habis-habisan di daerah
Margarana (Kecamatan di pelosok Kabupaten Tabanan, Bali). Memiliki darah pejuang dengan
tanah kelahiran Badung, Bali pada 30 Januari 1917. Ia merupakan anak camat yang bernama I
Gusti Ngurah Palung. Hal ini pula yang menjadikan ia berkesempatan untuk bersekolah formal
di Holands Inlandse School (HIS). Untuk mengenal lebih mendalam, mari kita ulas bersama
biografi I Gusti Ngurah Rai.
Biografi I Gusti Ngurah Rai diawali dengan perjalanan pendidikannya di masa kecil. I Gusti
Ngurah Rai memilih untuk mengawali pendidikan formalnya di Holands Inlandse School di
Bali. Setelah tamat dari HIS ia melanjutkan ke MULO (setingkat Sekolah Lanjutan Tingkat
Pertama) di Malang. Selanjutnya ia memperdalam ilmu kemiliterannya di Prayodha Bali,
Gianyar dilanjutkan pendidikan di Corps Opleiding Voor Reserve Officieren (CORO) di
Magelang dan pendidikan Arteri Malang. Berkat pendidikan militer yang banyak serta
kecerdasan yang ia miliki, ia sempat menjadi intel sekutu di daerah Bali dan Lombok.
Biografi I Gusti Ngurah Rai berlanjut pada masa perjuangan melawan penjajah colonial. Setelah
pemerintahan Indonesia merdeka, I Gusti Ngurah Rai membentuk Tentara Keamanan Rakyat
(TKR) Sunda Kecil dan di Bali dan memiliki pasukan bernama Ciung Wanara. Pasukan ini
dibentuk untuk membela tanah air guna melawan penjajah di daerah Bali. Sebagai seorang
Komandan TKR di Sunda Kecil dan, ia merasa perlu untuk melakukan konsolidasi ke
Yogyakarta yang menjadi markas TKR pusat. Sampai di Yogyakarta I GUsti Ngurah Rai
dilantik menjadi komandan Resimen Sunda Kecil berpangkat Letnan Kolonel. Sekembalinya
dari Yogyakarta dengan persenjataan, I Gusti Ngurai Rai mendapati Bali telah dikuasai oleh
Belanda dengan mempengaruhi raja-raja Bali.
Biografi I Gusti Ngurah Rai berlanjut dengan meletusnya perang di Bali. Setelah kepulangannya
dari Yogyakarta Ia mendapati pasukan Belanda dengan 2000 pasukan dan persenjataan lengkap
dan pesawat terbang siap untuk menyerang I Gusti Ngurah Rai dengan pasukan kecilnya.
Bersama dengan pasukan Ciung Wanaranya, I Ngurah Rai berhasil memukul mundur pasukan
Belanda pada saat itu pada tanggal 18 November 1946. Namun hal ini justru membuat pihak
Belanda menyiapkan bala tentara yang lebih banyak dari Pulau Jawa, Madura dan Lombok
untuk membalas kekalahannya. Pertahanan I Gusti Ngurah Rai berhasil dipukul mundur dan

hingga akhirnya tersisa pertahanan Ciung Wanara terakhir di desa Margarana. Kekuatan terakhir
ini pun dipukul mundur lantaran seluruhnya pasukannya jatuh ke dasar jurang. Hal ini pulalah
yang diabadikan dengan istilah puputan Margarana (perang habis-habisan di daerah Margarana)
pada tanggal 20 November 1946.
Berkat usaha yang gigih memperjuangkan Bali untuk masuk menjadi kekuasaan Indonesia
(sesuai kesepakatan Linggarjati hanya Sumatra, Jawa, dan Madura yang masuk kekuasaan
Indonesia) Ngurah Rai mendapat gelar Bintang Mahaputra dan dan kenaikan pangkat menjadi
Brigjen TNI (Anumerta). Ia meninggal pada usia 29 tahun dan memperoleh gelar pahlawan
nasional berdasarkan SK Presiden RI No. 63/TK/1975 tanggal 9 Agustus 1975. Namanya pun
diabadikan menjadi nama Bandara di kota Bali.
Pendidikan I Gusti Ngurah Rai






HIS, Denpasar
MULO, Malang
Prayodha Bali, Gianyar, Bali
Corps Opleiding Voor Reserve Officieren (CORO), Magelang
Pendidikan Artileri, Malang

Karir I Gusti Ngurah Rai
 Brigjen TNI (anumerta)
 Letnan Kolonel
 Letnan II
Penghargaan I Gusti Ngurah Rai
 Bintang Mahaputra
 Pahlawan Nasional berdasarkan SK Presiden RI no 63/TK/1975 tanggal 9 Agustus 1975

9. I Gusti ketut Jelantik

Biografi I Gusti ketut Jelantik
Pertengahan abad 19, Belanda berusaha mewujudkan wilayah kekuasaannya di seluruh
nusantara. Untuk itu, Belanda berupaya menguasai seluruh wilayah Bali. Pada tahun 1843,
Belanda telah mampu memengaruhi beberapa raja di Bali untuk bekerja sama dengannya,
termasuk meminta penghapusan Hukum Tawan Karang. Saat itu, Raja Buleleng pun terpaksa
menandatangani kesepakatan tersebut.
Satu tahun kemudian, sebuah kapal Belanda terdampar di pantai wilayah Buleleng. Belanda
memaksa raja mengembalikannya serta meminta pengakuan raja atas kekuasaan Belanda. I Gusti
Ketut Jelantik sebagai patih kerajaan (diangkat tahun 1828) sangat marah. I Gusti Ketut Jelantik
pun menyatakan tidak akan pernah mengakui kekuasaan Belanda selama masih hidup. Pada
tahun 1845, kembali sebuah kapal terdampar di wilayah Buleleng. Penolakan tegas I Gusti Ketut
Jelantik untuk mengembalikan kapal tersebut karena sikap Belanda yang tidak menghargai
Kerajaan Buleleng memicu perang. Memang, Belanda sebenarnya mempermasalahkan kapal
yang terdampar ini hanya sebagai dalih untuk melakukan serangan. Tepat pada Juni 1846,
Belanda mengerahkan pasukan besar untuk menyerang Buleleng. Di akhir Juni, benteng
Kerajaan Buleleng jatuh ke tangan Belanda. Raja dan Patih Jelantik kemudian mundur ke daerah
Jagaraga untuk menyusun pertahanan. Permintaan Belanda untuk menyerah tidak diabaikan.
Pada tahun 1848, pasukan Belanda menyerang Jagaraga dipimpin Jenderal Van der Wijk. Dua
kali serangan Belanda dapat digagalkan oleh pasukan Buleleng yang dibantu pasukan dan
kerajaan lain di Bali. Akhirnya, pada tahun 1849 Belanda mengerahkan kembali pasukan besar
yang dipimpin Jenderal Michels. Berbekal pemahaman mengenai kondisi Jagaraga dan
pertempuran sebelumnya, Belanda berhasil memenangi pertempuran. I Gusti Ketut Jelantik
mundur ke Pegunungan Batur Kintamani. I Gusti Ketut Jelantik kemudian menuju Perbukitan
Bale Pundak. Belanda yang terus mengejar kembali menyerang sisa pasukan I Gusti Ketut
Jelantik yang melawan hingga beliau gugur dalam pertempuran.
 Tempat/Tgl. Lahir : Bali, Tidak diketahui
 Tempat/Tgl. Wafat : Bali, April 1849
 SK Presiden : Keppres No. 077/TK/1993, Tgl. 14 September 1993
 Gelar : Pahlawan Nasional
Tawan Karang (taban karang) merupakan hukum adat yang berlaku di Bali pada masa silam dan
sudah dikenal sejak abad 10 M. Hukum ini membolehkan raja atau masyarakat wilayah pesisir
untuk menyita kapal seisinya yang terdampar di wilayahnya. Tujuan hukum ini adalah menjaga
wilayah kekuasaan dari masuknya musuh asing.

10. Sisingamangaraja

Sisingamangaraja XII adalah pejuang gigih yang lahir di Bakara, Tapanuli pada 18 Februari
1845. Selama hidup, ia habiskan waktunya untuk memperjuangkan wilayahnya dari
penjajahan Pemerintah Kolonial Hindia Belanda. Ia meninggal di Dairi pada 17 Juni 1907
dan mendapat gelar pahlawan nasional Indonesia pada tanggal 9 November, melalui Keppres
No. 590 Tahun 1961. Kiprahnya Sisingamangaraja XII bermula pada tahun 1867 saat ia naik
tahta menggantikan ayahnya. Ia menjadi Tapanuli yang gigih melawan kompeni. Kala itu
Belanda mulai masuk ke Tapanuli dan Sisingamangaraja XII mengumpulkan para penguasa
lokal untuk melawan. Lobi Belanda selama beberapa tahun untuk masuk ke wilayah
Tapanuli selalu gagal, hingga puncaknya terjadi perang pada 19 Februari 1878 antara tentara
kolonial versus pasukan Sisingamangaraja XII di pos pasukan Belanda di Bahal Batu, dekat
Tarutung. Pasukan Sisingamangaraja mengalami kekalahan dan mundur, sementara itu
tentara Belanda terus merengsek mengejar sembari membakar tiap desa yang dilaluinya.
Pertempuran kembali terjadi di Balige, Sisingamangaraja XII terkena tembakan di bagian
atas lengan. Ia kembali harus mundur dan menetapkan taktik gerilya untuk melawan
Belanda. Taktik berpindah tempat ini berhasil membuat tentara Belanda kewalahan hingga
pada 1989 Belanda mengetahui pasukan Sisingamangaraja XII menyingkir ke Lintong.
Pasukan Sisingamangaraja XII kembali dibombardir dengan alat modern, sehingga harus
mundur dan bertahan di Dairi.
Mulai saat itu Belanda berhasil menguasai Tapanuli dan selama bertahun-tahun tidak ada
pertempuran. Namun, sebenarnya Sisingamangaraja XII tetap berjuang dengan menjalin
banyak sekutu dan mengobarkan semangat anti penjajah sampai ke Aceh. Karena inilah,
pada masa ini banyak perlawanan-perlawanan dari penguasa lokal terhadap Belanda. Sampai
akhirnya Belanda tahu bahwa bahwa perlawanan raja-raja lokal tersebut akibat dari pengaruh
Sisingamangaraja XII.
Belanda pun menawarkan “perdamaian” dengan penobatan Sisingamangaraja sebagai Sultan
Batak, namun Sisingamangaraja XII menolak. Kemudian Pemerintah Hindia Belanda
mengirim pasukan Marsose di bawah komando Hans Christoffel ke Tapanuli. Dairi dikepung
hampir selama tiga tahun, sampai akhirnya pada 17 Juni 1907, terjadi pertempuran hebat
yang menewaskan Sisingamangaraja XII. Lalu pengikut beserta kerabatny ditawan, tahun ini
menandai rampungnya perlawanan Sisingamangaraja XII terhadap Belanda.

11. Wahidin Sudirohusodo
Dr. Wahidin Soedirohoesodo (lahir di Mlati, Sleman,
Yogyakarta, 7 Januari 1852 – meninggal di Yogyakarta,
26 Mei 1917 pada umur 65 tahun, EYD: Wahidin
Sudirohusodo) adalah salah seorang pahlawan nasional
Indonesia. Namanya selalu dikaitkan dengan Budi Utomo
karena walaupun ia bukan pendiri organisasi kebangkitan
nasional itu, dialah penggagas berdirinya organisasi yang
didirikan para pelajar School tot Opleiding van Inlandsche
Artsen Jakarta itu.
Wahidin Sudirohusodo sering berkeliling kota-kota besar
di Jawa mengunjungi tokoh-tokoh masyarakat sambil
memberikan gagasannya tentang “dana pelajar” untuk
membantu pemuda-pemuda cerdas yang tidak dapat
melanjutkan sekolahnya. Akan tetapi, gagasan ini kurang
mendapat tanggapan.
Selama hidupnya, Sudirohusodo yang diketahui merupakan keturunan Bugis-Makassar ini
sangat senang bergaul dengan rakyat biasa. Sehinggga tak heran bila dia disukai banyak
orang. Dari pergaulannya inilah, Sudirohusodo akhirnya sedikit banyak mengerti penderitaan
rakyat akibat penjajahan Belanda.
Menurutnya, salah satu cara untuk membebaskan diri dari penjajahan, rakyat harus cerdas.
Untuk itu, rakyat harus diberi kesempatan mengikuti pendidikan di sekolah-sekolah. Sebagai
salah satu cara yang bisa dilakukannya untuk sedikit membantu meringankan penderitaan
adalah dengan memanfaatkan profesinya sebagai dokter, selama mengobati rakyat,
Sudirohusodo sama sekali tidak memungut bayaran.
Selain sering bergaul dengan rakyat, dokter yang terkenal pula pandai menabuh gamelan dan
mencintai seni suara, ini juga sering mengunjungi tokoh-tokoh masyarakat di beberapa kota
di Jawa. Para tokoh itu kemudian diajaknya untuk menyisihkan sedikit uang mereka yang
nantinya digunakan untuk menolong pemuda-pemuda yang cerdas, tetapi tidak mampu
melanjutkan sekolahnya. Namun sayangnya, ajakan Sudirohusodo ini kurang mendapat
sambutan.
Perjuangan Sudirohusodo tidak sampai disitu saja. Di Jakarta, Sudirohusodo mencoba
mengunjungi para pelajar STOVIA dan menjelaskan detail gagasannya. Saat itu,
Sudirohusodo menganjurkan agar para pelajar itu mendirikan organisasi yang bertujuan
memajukan pendidikan dan meninggikan martabat bangsa. Ternyata gagasan Sudirohusodo
ini mendapat sambutan baik dari para pelajar STOVIA itu. Mereka juga sependapat dan
menyadari bagaimana buruknya nasib rakyat Indonesia pada waktu itu.
Pada tanggal 20 Mei 1908, Sutomo dan kawan-kawannya mendirikan sebuah organisasi yang
diberi nama Budi Utomo. Inilah organisasi modern pertama yang lahir di Indonesia. Karena
itu, tanggal lahir Budi Utomo, 20 Mei, diperingati sebagai Hari Kebangkitan Nasional.
Wahidin Sudirohusodo sendiri wafat pada tanggal 26 Mei 1917. Jasadnya kemudian
dimakamkan di desa Mlati, Yogyakarta.
Nama Lengkap : Wahidin Soedirohoesodo
Alias : No Alias
Profesi : Pahlawan Nasional
Tempat Lahir : Mlati, Sleman, Yogyakarta
Tanggal Lahir : Rabu, 7 Januari 1852
Warga Negara : Indonesia
Pendidikan Sekolah Dasar di Yogyakarta, Europeesche Lagere School di
Yogyakarta, Sekolah Dokter Jawa di Jakarta

12. Sutomo

Sutomo atau lebih dikenal sebagal Bung Tomo dilahirkan di Kampung Blauran, Surabaya, pada
3 Oktober 1920. Ayahnya bernama Kartawan Tjiptowidjojo, Sutomo adalah sosok yang aktif
berorganisasi sejak remaja. Bergabung dalam Kepanduan Bangsa Indonesia (KBI), beliau
tercatat sebagai salah satu dari tiga orang pandu kelas I di seluruh Indonesia saat itu.
Pada masa mudanya, Bung Tomo yang memiliki minat pada dunia jurnalisme tercatat sebagai
wartawan lepas pada Harian Soeara Oemoem di Surabaya 1937. Setahun kemudian, ia menjadi
Redaktur Mingguan Pembela Rakyat serta menjadi wartawan dan penulis pojok harian
berbahasa Jawa, Ekspres, di Surabaya pada tahun 1939.
Pada masa pendudukan Jepang, Sutomo bekerja di kantor berita tentara pendudukan Jepang,
Domei, bagian Bahasa Indonesia untük seluruh Jawa Timur di Surabaya (1942-1945). Saat
Proklamasi Kemerdekaan 17 Agustus 1945 dikumandangkan, beliau memberitakannya dalam
bahasa Jawa bersama wartawan senior Romo Bintarti untuk menghindari sensor Jepang.
Selanjutnya, beliau menjadi Pemimpin Redaksi Kantor Berita Antara di Surabaya.
Ketika meletus pertempuran di Surabaya, 10 November 1945, Bung Tomo tampil sebagai orator
ulung di depan corong radio, membakar semangat rakyat untuk berjuang melawan tentara
Inggris dan NICA-Belanda. Sejarah mencatat bahwa perlawanan rakyat Indonesia di Surabaya
yang terdiri atas berbagai suku bangsa sangat dahsyat. Tidak ada rasa takut menghadapi tentara
Inggris yang bersenjata lengkap. Tanggal 10 November pun kemudian kita kenang sebagai
Hari Pahlawan.
Setelah kemerdekaan Indonesia, Bung Tomo pernah aktif dalam politik pada tahun 1950-an.
Namun pada awal tahun 1970-an, ia berbeda pendapat dengan pemerintahan Orde Baru. Pada 11
April 1978 ditahan oleh pemerintah selama satu tahun karena kritik-kritiknya yang pedas.
Sutomo meninggal di Mekkah, ketika sedang menunaikan ibadah haji. Jenazah Bung Tomo
dibawa kembali ke Indonesia dan dimakamkan di TPU Ngagel, Surabaya. Bung Tomo,
pahlawan pengobar semangat Juang arek-arek Surabaya ini mendapat gelar pahlawan secara
resmi dan pemerintah pada tahun 2008.
 Tempat/Tgl. Lahir : Surabaya, 3 Oktober 1920
 Tempat/Tgl. Wafat : Mekah,7 Oktober 1981
 SK Presiden : Keppres No. 41/TK/2008, Tgl. 6 November 2008
 Gelar : Pahlawan Nasional
“Selama banteng-banteng Indonesia masih mempoenjai darah merah jang dapat membikin
setjarik kain poetih mendjadi merah & putih, maka selama itoe tidak akan kita maoe menjerah
kepada siapapoen djuga!”
– Bung Tomo –
Pertempuran Surabaya merupakan salah satu perang terberat yang pernah dihadapi Inggris seusai
PD II. Bahkan, seorang jenderal Inggris tewas di Surabaya.

13. Dr. Cipto Mangunkusuma

Cipto Mangunkusumo dilahirkan di Desa Pecagakan, Jepara. Ia adalah putera tertua dan
Mangunkusumo, seorang priyayi rendahan dalam struktur masyarakat Jawa yang bekerja sebagai
guru. Meskipun demikian, Mangunkusumo berhasil menyekolahkan anak-anaknya pada jenjang
yang tinggi. Ketika menempuh pendidikan di STOVIA, Cipto dinilai sebagai pribadi yang jujur,
berpikiran tajam, dan rajin. Para guru menjuluki Cipto sebagai “een begaald leerling” atau murid
yang berbakat. Cipto juga dengan tegas memperlihatkan sikapnya. Ia membuat tulisan-tulisan
pedas mengkritik Belanda di harian De locomotive dan Bataviaasch Nieuwsblad sejak tahun
1907. Setelah lulus dari STOVIA, beliau bekerja sebagai dokter pemerintah kolonial Belanda
yang ditugaskan di Demak. Sikapnya yang tetap kritis melalui berbagai tulisan membuatnya
kehilangan pekerjaan.
Cipto menyambut baik kehadiran Budi Utomo sebagai bentuk kesadaran pribumi akan dirinya.
Namun, Cipto menginginkan Budi Utomo sebagai organisasi politik yang harus bergerak secara
demokratis dan terbuka bagi semua rakyat Indonesia. Hal ini menimbulkan perbedaan antara
dirinya dan pengurus BU lainnya. Cipto lalu mengundurkan diri dan membuka praktek dokter di
Solo, ia pun mendirikan R.A. Kartini Klub yang bertujuan memperbaiki nasib rakyat.
Ia kemudian bertemu Douwes Dekker dan bersama Suwardi Suryaningrat mereka mendirikan
Indische Partij pada tahun 1912. Cipto selanjutnya pindah ke Bandung dan aktif menulis di
harian De Express. Me