Hukum Kewarisan Islam dalam Perspektif Muhammad Syahrur Studi Kritis Terhadap Bagian Ahli Waris

(1)

TESIS

Diajukan Kepada Program Pascasarjana Institut Agama Islam Negeri Raden Intan Lampung

Untuk Memenuhi Salah Satu Syarat Guna Memperoleh Gelar Magister Dalam Bidang Hukum Keluarga Islam

Oleh

M. ANWAR NAWAWI NPM: 1423010006

PROGRAM ILMU SYARI’AH

KONSENTRASI HUKUM KELUARGA ISLAM

PROGRAM PASCASARJANA (PPs)

INSTITUT AGAMA ISLAM NEGERI RADEN INTAN LAMPUNG 1438 H/2016M


(2)

TESIS

Diajukan Kepada Program Pascasarjana Institut Agama Islam Negeri Raden Intan Lampung

Untuk Memenuhi Salah Satu Syarat Guna Memperoleh Gelar Magister Dalam Bidang Hukum Keluarga Islam

Oleh

M. ANWAR NAWAWI NPM: 1423010006

PROGRAM ILMU SYARIAH

KONSENTRASI HUKUM KELUARGA ISLAM

PEMBIMBING I: Dr. Alamsyah, MA PEMBIMBING II: Dr .Bunyana Solihin, MA

PROGRAM PASCASARJANA (PPs)

INSTITUT AGAMA ISLAM NEGERI RADEN INTAN LAMPUNG

1438 H/2016 M


(3)

Penelitian ini dilatarbelakangi adanya ketidakpuasan mengenai praktik pembagian harta warisan yang berlaku di sejumlah daerah. Adanya unsur pembagian yang dianggap tidak mengedepankan nilai keadilan memicu perselisihan dalam keluarga. Sehingga perlu adanya solusi yang dapat meredamkan perselisihan tersebut. Di dalam al-Qur’an sebenarnya telah dijelaskan tentang mekanisme pembagian harta waris, setidaknya terdapat tiga ayat yang menyinggung tentang pembagian warisan. Akan tetapi banyak sekali kasus dalam pembagian harta waris yang tidak sesuai dengan ketentuan yang ada dalam al-Qur’an.

Berdasarkan fakta tersebut, ada kebutuhan untuk menggali penafsiran yang berbeda dari yang ditawarkan oleh ahli fiqih. Dalam hal ini pembahasan dalam penelitian difokuskan pada pemikiran Muh}ammad Syah{ru>r. Salah satu pemikir Islam kontemporer yang sangat kontroversial, yang biasa dikenal dengan teori limitnya.

Fokus dan pertanyaan dalam penelitian ini adalah: 1) Bagaimana metode penafsiran Muhammad Syahrur tentang ayat-ayat Waris?2) Bagaimana hukum kewarisan islam dalam perspektif Muhammad Syahrur dan relevansinya?. Penelitian ini bertujuan

pertama: mendeskripsikan metode penafsiran ayat-ayat waris Syahrur., kedua:

mendeskripsikan implikasi penafsiran Syah{ru>r terhadap ayat-ayat waris dalam al-Qur’an terhadap pempentukan hukum waris islam. Jenis penelitian Tesis ini menggunakan library research.

Temuan dari penelitian ini yaitu: Pertama, dalam menafsirkan ayat-ayat waris

Syah{ru>r menggunakan metode analisis linguistik semantik dan metaforik saintifik yang diadopsi dari ilmu-ilmu eksakta modern. Metode ini menjelaskan bagaimana Syah{ru>r menguraikan penafsiran ayat-ayat waris yang sesuai dengan perkembangan zaman. Kedua,

implikasi dari metode yang digunakan oleh Syah{ru>r menghasilkan tentang sistem pembagian waris yang berbeda dengan sistem pembagian waris secara konvensional, yakni adanya batasan maksimal dan minimal antara bagian laki-laki dan perempuan. Kemudian perempuan menjadi poros atau dasar hukum dalam pembagian harta waris, sedangkan laki-laki hanya sebagai pengikut saja. Sehingga bagian perempuan bisa lebih banyak dibanding laki-laki dalam suatu kasus tertentu. Pemikiran yang ditawarkan oleh Syah{ru>r tentang waris memang merupakan suatu produk yang bisa dibilang baru atau lebih modern dibanding dengan waris konvensional. Akan tetapi untuk mempraktikkanya dalam kehidupan masyarakat menurut penulis perlu usaha keras, karena berbeda dengan mainstream masyarakat..


(4)

Judul Tesis : HUKUM KEWARISAN ISLAM DALAM PERSPEKTIF

MUHAMMAD SYAHRUR (STUDI KRITIS TERHADAP

BAGIAN AHLI WARIS)

Nama Mahasiswa : M. ANWAR NAWAWI

NPM : 1423010006

Program Studi : Ilmu Syari’ah

Konsentrasi : Hukum Keluarga Islam

Telah diujikan dalam ujian tertutup dan disetujui untuk diujikan dalam ujian terbuka pada Program Pascasarjana IAIN Raden Intan Lampung.

Bandar Lampung, 30 Juli 2016 MENYETUJUI, Komisi Pembimbing

Pembimbing I

Dr. Alamsyah, MA

NIP. 197009011997032002

Pembimbing II

Dr .Bunyana Solihin, MA NIP. 1957070519890310011

Mengetahui,

Ketua Program Studi Ilmu Syari’ah

Dr.H. Muhammad Zaki, S.Ag, M.Ag NIP. 197012282000031002


(5)

Tesis yang berjudul HUKUM KEWARISAN ISLAM DALAM PERSPEKTIF MUHAMMAD SYAHRUR (STUDI KRITIS TERHADAP BAGIAN AHLI WARIS),

ditulis oleh M. ANWAR NAWAWI, NPM: 1423010006, telah diujikan dalam Ujian

Tertutup dan disetujui untuk diujiikan dalam Ujian Terbuka pada Program Pascasarjana IAIN Raden Intan Lampung.

TIM PENGUJI

Ketua : Prof. Dr. Idham Khalid, M.Ag

...

Sekretaris : Dr. Jayusman, M.Ag

...

Penguji I : Prof. Dr. H.M. Damrah Khair, M.A

...

Penguji II : Dr. Alamsyah, M.Ag

...

Tanggal Lulus Ujian Tertutup: 14 September 2016 Program Pascasarjana IAIN Raden Intan Lampung


(6)

Tesis yang berjudul HUKUM KEWARISAN ISLAM DALAM PERSPEKTIF MUHAMMAD SYAHRUR (STUDI KRITIS TERHADAP BAGIAN AHLI WARIS),

ditulis oleh M. ANWAR NAWAWI, NPM: 1423010006, telah diujikan dalam Ujian

Terbuka pada Program Pascasarjana IAIN Raden Intan Lampung.

TIM PENGUJI

Ketua : Prof. Dr. Idham Khalid, M.Ag

...

Sekretaris : Dr. Jayusman, M.Ag

...

Penguji I : Prof. Dr. H.M. Damrah Khair, M.A

...

Penguji II : Dr. Alamsyah, M.Ag

...

Direktur Program Pascasarjana IAIN Raden Intan Lampung

Prof. Dr. Idham Khalid, M.Ag NIP: 196010201988031005

Tanggal Lulus Ujian Terbuka: 26 Oktober 2016 Program Pascasarjana IAIN Raden Intan Lampung


(7)

JUDUL... ... i

PERNYATAAN ORISINILITAS ……….... ... iii

ABSTRAK ……….. ... iv

PERSETUJUAN PEMBIMBING ………...… ... v

HALAMAN PENGESAHAN... vi

PEDOMAN TRANSLITERASI ……….... ... .vii

KATA PENGANTAR ………... ... ix

DAFTAR ISI ………... ... xii

BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah ... 1

B. Rumusan Masalah ... 7

C. Tujuan dan Kegunaan Penelitian ... 7

D. Kerangka Pikir ... 8

E. Metode Penelitian ... 15

BAB II LANDASAN TEORI A. Sistem Kewarisan Islam ... 18

1. Sumber Hukum Waris Islam ... 18

2. Asas-asas Hukum Warisan Islam ... 25

3. Unsur-unsur Hukum Kewarisan Islam ... 28

4. Penyelesain Pembagian Harta Warisan ... 47

5. Pembagian Harta Kewarisan ... 47


(8)

3. Sistem Hukum Adat Kewarisan Parental atau Bilatertal ... 74

BAB III MUHAMMAD SYAHRUR ... 79

A. Biografi Muhammad Syahrur ... 79

B. Karya Intelektual Muhammad Syahrur ... 81

C. Prinsip Metodologis Penafsiran Muhammad Syahrur ... 84

BAB I VWARIS DALAM PERSPEKTIF MUHAMMAD SYAHRUR ... 108

A. Pewarisan ... 108

B. Metode Penafsiran Ayat-Ayat Waris ... 111

C. Ayat-ayat Waris dan Penafsirannya ... 114

D. Aplikasi Pembagian Warisanoleh Muhammad Syahrur ... 143

E. Implikasi Penafsiran Muhammad Syahrur Terhadap Ayat-Ayat Waris .. 161

BAB V PENUTUP A. Kesimpulan ... 167

B. Rekomendasi ... 168

DAFTAR PUSTAKA... ... 169 LAMPIRAN-LAMPIRAN


(9)

BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah

Ketika ada seseorang meninggal dunia, maka perhatian orang-orang (ahli waris) akan tertuju kepada harta warisan yang ditinggalkan. Masalah harta pusaka biasanya menjadi sumber sengketa dalam keluarga, terutama apabila menentukan siapa yang berhak dan siapa yang tidak berhak. Setelah itu, apabila berhak, seberapa banyak hak itu. Hal ini menimbulkan perselisihan dan akhirnya menimbulkan keretakan kekeluargaan. Orang ingin berlaku seadil-adilnya, oleh yang lain dianggap tidak adil.1

Islam mengatur ketentuan pembagian warisan secara rinci agar tidak terjadi perselisihan antara sesama ahli waris sepeninggal orang yang hartanya diwarisi. Di dalamnya ditetapkan hak kepemilikan harta bagi setiap manusia, baik laki-laki maupun perempuan. Agama Islam menghendaki prinsip keadilan sebagai salah satu sendi pembinaan masyarakat dapat ditegakkan.2

Hukum Kewarisan dalam Islam (fiqh mawaris)3mendapat perhatian yang besar

karena dalam pembagian warisan sering menimbulkan akibatakibat yang tidak menguntungkan bagi keluarga yang ditinggal mati pewarisnya. Naluriah manusia yang menyukai harta benda sebagaimana firman Alloh QS. Ali Imron, 3: 14:

1Zakiah Daradjat, et al.,

Ilmu Fiqih, Jilid 3, (Yogyakarta: Dana Bhakti Wakaf, 1995),hlm. 4.

2Ahmad Rofiq,

Fiqh Mawaris, (Jakarta: PT Raja Grafindo Persada, 1993), hlm. 4.

3

Fiqh mawaris adalah Ilmu fiqh yang mempelajari tentang siapa-siapa ahli waris yang berhak menerima warisan, siapa-siapa yang tidak berhak menerima, serta bagian-bagian tertentu yang diterimanya, dan bagaimana cara menghitungnya.


(10)







































Artinya: Dijadikan indah pada (pandangan) manusia kecintaan kepada apa-apa yang diingini, yaitu: wanita-wanita, anak-anak, harta yang banyak dari jenis emas, perak, kuda pilihan, binatang-binatang ternak dan sawah ladang. Itulah kesenangan hidup di dunia, dan di sisi Allah-lah tempat kembali yang baik (surga). (QS. Ali Imron, 3: 14)

Tidak jarang Naluriah manusia yang menyukai harta benda memotivasi seseorang menghalalkan segala cara untuk mendapatkan harta tersebut, termasuk di dalamnya terhadap harta peninggalan pewarisnya sendiri. Kenyataan demikian telah ada dalam sejarah umat manusia hingga sekarang ini.4

Al-Qur‟an menjelaskan dan merinci secara detail hukum-hukum yang berkaitan

dengan hak kewarisan, tanpa mengabaikan hak seorangpun. Bagian yang harus diterima semuanya dijelaskan sesuai kedudukan nasab terhadap pewaris, apakah ia sebagai anak, ayah, ibu, istri, suami, kakek, nenek, cucu, atau bahkan hanya sebatas saudara seayah, seibu ataupun sekandung. Oleh karena itu, al-Qur‟an merupakan acuan pertama hukum dan penentuan pembagian waris. Hanya sedikit saja dari hukum-hukum waris yang ditetapkan oleh Sunnah Nabi atau dengan ijtihad para ulama. Bahkan tidak ada dalam al-Qur‟an

seperti hukum waris. Ini adalah karena pewarisan merupakan suatu wasilah yang besar pengaruhnya dalam pemilikan harta dan memindahkannya dari seseorang kepada orang lain.5

4Ahmad Rofiq,

Hukum Islam di Indonesia, (Jakarta: PT Raja Grafindo Persada, 1998),Cet Ke-3, hlm. 356.

5Muhammad Hasbi Asy-Syidiqie,


(11)

Syari‟at Islam telah menjelaskan hak-hak yang berhubungan dengan harta peninggalan, tertib hak-hak, rukun-rukun, syarat dan sebab-sebab perpindahan harta waris, hal-hal yang menjadi penghalang mewarisi, bagian masing-masing ahli waris dan hukum-hukum yang berpautan dengan harta warisan.6

Terkait dengan ketentuan bagian masing-masing ahli waris telah diatur dalam

al-Qur‟an Surat an-Nisa‟ ayat 11, 12 dan 176. Di mana al-Qur‟an surat an-Nisa‟ ayat 11 Allah

telah menggambarkan pembagian warisan untuk anak-anak, baik anak laki-laki, anak perempuan, maupun cucu, baik cucu lakilaki maupun cucu perempuan dan bagi orang tua (abawaini), baik bapak/ibu maupun kakek/nenek. Pada ayat 12 surat an-Nisa‟, Allah

menggambarkan pembagian warisan untuk suami maupun isteri. Pada ayat itu juga

(an-Nisa‟; 12), Allah menggambarkan pembagian warisan saudara-saudara (kasus kalalah) dan

ayat 176 juga menjelaskan tentang kasus kalalah.

Di dalam Islam telah ada syari‟at yang jelas dan nyata tentang masalah warisan. Namun ada saja manusia yang membaginya sesuai dengan kehendak nafsu yang melekat pada dirinya. Hal demikian bukanlah permasalahan yang langka dalam lingkungan sekitar kita, tetapi merupakan permasalahan yang sudah menjamur dan sulit untuk dipecahkan. Dengan berbagai alasan dan kedok yang dusta, orang-orang yang seharusnya dapat bagian akhirnya tidak dapat bagian sama sekali. Mereka beranggapan bahwa hokum Allah tidaklah adil sehingga menyalahkan aturan-aturan yang telah disyari‟atkan oleh Islam. Konsekuensinya adalah rusaknya hubungan kekeluargaan dan persaudaraan diantara mereka.7

6

Ibid, hlm. 8.

7Ali bin Ahmad bin Al-Wahidi>,

As bab Nuzul al-Qur’an, al-Maktabahal-Sya>milah


(12)

Tidak jarang harta warisan menjadi pemicu terjadinya pertengkaran, perpecahan, terputusnya tali silaturrahmi, bahkan pertumpahan darah dalam sebuah keluarga. Hal ini dikarenakan kezhaliman dan ketidak adilan di dalam pembagiannya. Terkadang seseorang berwasiat bahwa sepeninggalannya seluruh hartanya diwariskan kepada salah seorang anaknya saja, atau seluruh anaknya, namun dengan porsi yang diatentukan semaunya. Atau dikuasai secara paksa oleh sebagian keluarganya sehingga sebagian keluarganya yang lain tidak mendapat bagian. Olehkarena itu perkara yang satu ini mendapat perhatian lebih di dalamIslam.

Hukum waris disyari‟atkan di dalam al-Qur‟an dengan tujuan adanya keterikatan kasih sayang, member manfaat pada sanak keluarga sehingga terhindar dari kesenjangan keluarga yang dapat menyebabkan perselisihan di antara mereka. Dalam al-Qur‟an surat al-Nisa>‟ayat 11 Allah berfirman:

















Artinya: Allah mensyari'atkan bagimu tentang (pembagian pusaka untuk) anak-anakmu. yaitu : bahagian seorang anak lelaki sama dengan bagahian dua orang anak perempuan

Dari uraian ayat di atas memberikan arti bahwa bagian laki-laki dua kali bagian perempuan dengan alasan kewajiban laki-laki lebih berat dari perempuan, seperti kewajiban membayar mas kawin dan member nafkah.8 Anak laki-laki juga bertanggungjawab atas segala pengaturan baik masalah yang khusus ataupun yang umum.

Sebab lain mengapa seorang laki-laki lebih besar bagianya daripada perempuan adalah laki-laki dibebani masalah hidup yang tidak mampu dijalankan oleh wanita. Laki-lakilah yang dapat membajak tanah dan dengan kerja keras untuk mendapatkan hasil.


(13)

Mereka juga yang mampu menjelajahi daratan untuk membiayai kehidupan keluarganya, serta menyebrangi lautan untuk perdagangan dan sebagainya.

Berbeda dengan anak perempuan yang selalu terikat dengan beberapa penghalang. Tidak ada aktifitas yang lain kecuali mengatur rumahtangga dan anak, walaupun sebagian perempuan dapat bekerja secara mandiri yang dapat membantu laki-laki dalam membantu urusan kebutuhan rumah tangga. Akan tetapi yang bertanggung jawab penuh member iuang belanja untuk urusan rumah tangga adalah suaminya, sebagai suatu ketentuan yang sesuai dengan ketentuan agama.9

Namun dalam realita kehidupan di sekitar kita pembagian harta warisan tersebuttidak sesuai denganapayang telah disyari‟atkan dalamal- Qur‟an. Misalnya dalam al-Qur‟an disebutkan bahwa anak laki-laki mendapatkan harta warisan sama dengan bagian dua orang anak perempuan.10 Akan tetapi dalam masyarakat di sekitar kita melakukan pembagian harta warisan baik anak laki-laki ataupun perempuan memiliki porsi yang sama. Pembagian yang sama tersebut terjadi karena dengan alasan menghindari adanya pemicu kesenjangan sosial, pertikaian, dan perpecahan antar keluarga.

Berangakat dariproblema di atas penulis ingin mengkaji lebih jauh bagaimana konsep utuh atau komprehensif mengenai “waris” dalam perspektif al-Qur‟an. Melalui penelitian akademis ini penulis ingin mendialokkan al-Qur‟an sebagai teks yang terbatas, dengan perkembangan problem sosial kemanusiaan yang tak terbatas. Hal ini mengingat betapapun al-Qur‟an turun di masa lalu dengan konteks dan lokalitas social budaya tertentu, tetapi ia mengadung nilai-nilai universal yang salih} likulli zama>n wa maka>n.

9ibid.


(14)

Diera kontemporer al-Qur‟an perlu ditafsirkan sesuai dengan era kontemporer yang dihadapi umat manusia.11 Pemahaman al-Qur‟an bisa saja beda jika ditangkap oleh generasi yang berbeda, dengan kata lain ajaran dan semangat al-Qur‟an bersifat universal, rasional dan sesuai dengan kebutuhan. Namun respon historis dimana tantangan zaman yang mereka hadapi sangat berbeda dan variasi, sehingga secara otomatis menimbulkan corak dan pemahamanyangberbeda.

Berangkat dari uraian yang telah dipaparkan di atas penulis tertarik untuk mengkaji lebih jauh penafsiran “waris” dalam pandangan Muhammad Syah{u>r dalam kitab tafsirnya Nah{wa Us}u>l Jadi>dah Li Fiqih Isla>mi> dan Kita>b wa al-Qur’a>n; Qira>’ah Mu’a>s}irah. Halinisudahmenjadikeharusan untuk melihat kembali

teks al-Qur‟an tentang apa sesungguhnya pesan moralyang dikandungnya, dalam konteks apa al-Qur‟an diturunkan, bagaimana ayat-ayat tersebut dihadapkan dan dikontekstualisasikan dengan realitas sosial kekinian.

Adapun alasan penulis memilih Muh}ammadS yah}ru>r sebagai objek kajian lebihd isebabkan karena pendapatnya dalam masalah ini cukup dinamis dan kontroversial. Penafsiran Syah}ru>r sangatlah kotroversial jika dibanding dengan para penafsir pada umumnya. Dan tidak jarang para ulama tafsir yang menentang pemikirannya, bahkan yang lebih ekstrem menganggap penafsiranya adalah sesat. Akan tetapi dianggap dinamis dengan permasalahan kontemporer sehingga pada akhirnya akan menghasilkan suatu penafsiran yang relevan dengan kajian “waris”yang selalu menuntut keadilan sosial.

1111Muhammad Syah}ru>r,

al-Kita>b wa al-Qur’an; Qira‟ah Mu‟asirah (Damaskus:Ahalilial-Nasyrwaal-Tawzi,1992),h. 33.


(15)

Dalam kitabnya Nah{wa Us}u>l Jadi>dah Li al-Fiqihal-Isla>mi>dan al- Kita>b wa al-Qur’a>n; Qira>’ah Mu’a>s}irah Muh}ammadS yah{ru>r memberikan warna yang

khas dan berani berbeda dalam kajian“waris” sehingga penafsiranya dapat memperkaya khazanah penafsiran al-Qur‟an khususnya yang bercorak fiqih. Berangkat dari hal tersebut penulis ingin mencoba mengupas lebih dalam terhadap pemikiran Muhammad Syah{ru>r terkait masalah “waris”dalamal-Qur‟an.

B. Rumusan Masalah

Berdasarkan latar belakang di atas, timbul beberapa pertanyaan sebagai berikut: 1. Bagaimana metode penafsiran Muhammad Syahrur tentang ayat-ayat

Waris?

2. Bagaimana hukum kewarisan islam dalam perspektif Muhammad syahrur dan relevansinya dalam pengembangan hukum waris di Indonesia?

C. Tujuan Penelitian a. Tijuan Pnelitian

Tujuan penelitian terhadap hukum kewarisan menurut pemikiran Muhammad Syahrur tentang pembagian waris adalah:

1. Untuk mengetahui dan menganalisis secara mendalam metode istinbath hukum

Muhammad Syahrur tentang Tentang Pembagian Waris?

2. Untuk mengetahui dan menganalisis secara mendalam hukum kewarisan islam

dalam perspektif Muhammad syahrur dan relevansinya dalampengembangan hukum waris di Indonesia.


(16)

1. Memperbanyak khazanah pemikiran berupa pendapat-pendapat, pemahaman atau teori dalam khazanah ilmu hukum pada umumnya dan hukum kewarisan Islam khususnya, terutama aspek-aspek hukum yang timbul dari masalah kewarisan akibat kematian pewaris yang secara normatif yang sumbernya telah ada dalam Al-Qur`an, hadits dan ijtihad para ahli yang kemudian dikaji dalam bingkai hukum kewarisan menurut pemikiran Muhammad Syahrur tentang Pembagian Waris.

2. Sebagai bahan masukan bagi pembuat kebijakan dalam rangka menjadikan Hukum Kewarisan Muhammad Syahrur sebagai rujukan, bagi para hakim, pengacara di lingkungan peradilan agama dan masyarakat muslim secara umum yang memerlukannya dengan harapan dapat mendatangkan manfa'at dan menjadi masukan dalam rangka menyelesaikan masalah-masalah kewarisan sehingga setiap orang selaku ahli waris dapat memperoleh haknya secara benar dan adil.

D. Kerangka Pikir

Istilah waris dalam Islam, disebut juga dengan fara‟id yaitu bentuk jama‟ dari

faridah yang secara harfiyah berarti bagian yang telah ditentukan. Pengertian ini erat kaitannya dengan fardu yang berarti kewajiban yang harus dilaksanakan. Artinya hukum kewarisan dalam Islam merupakan kewajiban yang harus dilaksanakan oleh setiap muslim. Ia dianggap sebagai hukum yang berlaku secara mutlak (compulsory law). Dan

hukum kewarisan Islam secara mendasar memang merupakan ekspresi langsung dari teks-teks suci yang berasal dari dalil qath’i> baik dari segi wurudnya maupun dilalahnya.


(17)

Pelaksanaan hukum kewarisan Islam di Indonesia umumnya masih merujuk pada kitab-kitab fikih mazhab Syafi‟i. Namun dalam bagian-bagian tertentu mengenai praktek hukum kewarisan Islam di Indonesia, ditemukan kontradiksi pemikiran Sunni dengan pembaharuan hukum kewarisan Islam Indonesia yang termuat dalam KHI (Kompilasi Hukum Islam). Hal ini tentunya sangat terkait dengan corak budaya dan kesukuan hukum kewarisan Islam di Indonesia yang lebih bersifat bilateral, parental dan patrilinial, bukan hanya bercorak patrilinial sebagaimana doktrin yang dipakai fikih

Syafi‟i.

Konsep kewarisan Islam secara global menurut Syahrur, patut diketahui sebelum membahas pemikiran Syahrur tentang kalalah. Hal ini dikarenakan, konsep

Syahrur ini mempunyai ciri khas tersendiri dalam pembagian harta waris.

Pewarisan menurut Syahrur adalah proses pemindahan harta yang dimiliki seseorang yang sudah meninggal kepada pihak penerima (waratsah) yang jumlah dan

ukuran bagian (nasib) yang diterimanya dalam mekanisme wasiat, atau jika tidak ada

wasiat, maka penentuan pihak penerima, jumlah dan ukuran bagiannya (hazz) ditentukan

dalam mekanisme pembagian warisan.12

Syahrur berpendapat bahwa ayat-ayat tentang waris diturunkan dan diberlakukan bagi seluruh manusia secara kolektif yang hidup di muka bumi, bukan untuk pribadi atau keluarga tertentu. Ayat-ayat waris menggambarkan aturan universal yang ditetapkan berdasarkan aturan matematis (teori himpunan/ teknik analisis/ analisis matematis) dan empat operasional ilmu hitung (penjumlahan, pengurangan, perkalian, dan pembagian).

12Muhammad Syahrur,

Nahw Usul Jadidah Li al-Fiqh al-Islami,Terj. Metodologi Fiqh Islam Kontemporer oleh Sahiron Syamsudin dan Burhanudin, , h. 334.


(18)

Pembagian warisan menurut Syahrur, termasuk dalam batas-batas hukum yang telah ditentukan oleh Allah di mana dalam firman-Nya: tilka hudud Allah yang berada di

wal ayat 13 surat an-Nisa‟ setelah Allah menetapkan dan menjelaskan batasan-batasan hukum waris pada ayat 11 dan 12. Adapun batas-batas hukum Allah dalam pembagian warisan, Syahrur mengelompokkan menjadi tiga batas-batas hukum:

a. Batas Pertama hukum waris; li adh-dhakari mithlu hazzi al-unthayayni Batasan ini

adalah batas hukum yang membatasi jatah-jatah atau bagian-bagian (huzuz) bagi

anak-anak si mayit jika mereka terdiri dari seorang laki-laki dan dua anak perempuan. Pada saat yang bersamaan ini merupakan kriteria yang dapat diterapkan pada segala kasus, di mana jumlah perempuan dua kali lipat jumlah laki-laki.

b. Batas Kedua hukum waris: fa in kunna nisa’an fawqa ithnatayni Batas hukum ini membatasi jatah warisan anak-anak jika mereka terdiri dari seorang laki-laki dan

tiga perempuan dan selebihnya (3, 4,5…dst).

c. Batas Ketiga hukum waris: wa in kanat wahidatan fa laha an-nisfu Batas hukum

ketiga ini membatasi jatah warisan anak-anak dalam kondisi ketika jumlah pihak laki-laki sama dengan jumlah pihak perempuan.13

Keberadaan walad dalam kalâlah menempati posisi yang pasti sebagai orang

yang berhak menerima harta warisan dan mempengaruhi hak orang lain dalam pembagian harta warisan. Lafaz walad dalam ayat waris lebih banyak digunakan

berkaitan dengan masalah hijab-menghijab, baik dalam hijab hirmân maupun nuqshân,

sehingga keberadaan walad adalah kalâlah atau menyebabkan saudara tidak mendapat

13


(19)

warisan. Perbedaan pendapat di kalangan ulama dalam memahami lafaz walad muncul

ketika menafsirkan surat al-Nisâ‟[4]: 176:

Adanya perbedaan pendapat tentang makna walad ini disebabkan oleh dua hal,

yaitu: (1) Lafaz walad dihubungkan dengan kalâlah. Allah secara tegas menyatakan

bahwa kalâlah adalah seseorang yang meninggal dalam keadaan tidak meninggalkan walad.

Apabila dihubungkan dengan peristiwa sabab nuzûl ayat tersebut yaitu ketika „Umar meminta penjelasan kepada Nabi tentang kalâlah yang terdapat dalam Q.s. al-Nisâ‟[4]: 12 maka hal ini menunjukkan bahwa orang sama sekali tidak mengetahui

makna kalâlah, atau mereka sudah mengetahui kalâlah tetapi apa yang telah mereka

ketahui itu salah sehingga turun ayat Alquran yang menjelaskannya. (2) Memahami

Hadis Ibn Mas‟ûd yang menjelaskan bahwa saudara perempuan menjadi asabat ketika

bersama dengan anak perempuan dan juga dalam memahami Hadis Jâbir bahwa Rasulullah Saw. memberikan hak waris kepada saudara laki-laki ketika bersama dengan anak perempuan. Mayoritas ulama Suni mengartikan walad dengan anak laki-laki

sehingga makna kalâlah adalah orang yang meninggal dalam keadaan tidak

meninggalkan anak laki-laki dan ayah. Adapun Syiah Imâmiyyah mengartikan kata walad dengan anak laki-laki dan perempuan sehingga kalâlah diartikan dengan orang

yang meninggal yang tidak meninggalkan anak laki-laki dan anak perempuan serta orang tua (ayah dan ibu).

Disamping anak laki-laki, cucu dari keturunan laki-laki juga diakui sebagai

walad.Penarikan keturunan melalui garis laki-laki dapat dilihat dalam beberapa syair


(20)

saudara perempuan atau saudara laki-laki ketika ada anak perempuan. Hadis yang menjelaskan kasus kewarisan anak perempuan Sa‟ad merupakan hadis yang sangat

populer di kalangan mayoritas ulama dan sering dikutip sebagai dalil bahwa Q.s.

al-Nisâ‟[4]: 11 dan 12 merupakan ayat kewarisan pertama yang turun secara terperinci dan

untuk menunjukkan bahwa saudara laki-laki berhak menjadi asabat ketika bersama

dengan anak perempuan. Begitu pula dengan Hadis Ibn Mas‟ûd yang memberikan hak

waris kepada saudara perempuan ketika bersama dengan anak perempuan. Dalam hadis ini saudara perempuan berhak menghabiskan sisa harta. Dalam Hadis ini terlihat bahwa anak perempuan tidak dapat menghijab saudara perempuan atau saudara laki-laki sehingga walad yang mempengaruhi kewarisan kalâlah itu adalah anak laki-laki saja.

Keberadaan anak perempuan tidak mempengaruhi kalâlah. Pemahaman seperti ini

muncul karena penggunaan kata walad untuk anak laki-laki sudah menjadi „urf di

kalangan orang Arab sehingga kalau dikatakan walad maka maksudnya adalah anak

laki-laki. Mayoritas ulama menjadikan Hadis ini sebagai penjelas dari arti kalâlah yang

terdapat dalam Q.s. al-Nisâ‟[4]: 176.

Kata “kalâlah” adalah bentuk masdar dari kata “kalla” yang secara etimologi berarti letih atau lemah. Kata kalâlah pada asalnya digunakan untuk menunjuk pada

sesuatu yang melingkarinya serta tidak berujung ke atas dan ke bawah, seperti kata “iklil” yang berarti mahkota karena ia melingkari kepala. Seseorang dapat disebut

kalâlah manakala ia tidak mempunyai keturunan dan leluhur (anak dan ayah). Kerabat

garis sisi disebut kalâlah karena berada di sekelilingnya, bukan di atas atau di bawah.14

14Ibn Manzhûr,

Lisân al-Arab, (Bayrût: Dâr al-Fikr, t.t.), Jilid XV, h. 142; Muhammad Rawwâs

Qal‟ah Jî dan Hâmid Shâdiq Qunaybî,Mu’jâm Lughah al-Fuqahâ’, (Bayrût : Dâr al-Nafs, 1998), h. 50; Muhammad Yûsuf Mûsâ, Al-Tirkah wa al-Mîrâts fî al-Islâm, (Mesir:Dâr al-Kitâb al-´Arabî, 1959), h. 201


(21)

Kemudian kata kalâlah digunakan untuk seseorang yang tidak mempunyai

ayah dan anak.15 Penggunaan istilah kalâlah bisa untuk pewaris dan ahli waris. Ada

pendapat beberapa ahli bahasa tentang pewaris yang kalâlah, yaitu: (1) Orang yang

tidak mempunyai anak dan orang tua. (2) Orang yang tidak mempunyai keluarga dan kerabat. (3) Orang yang meninggal. (4)Orang yang tidak mempunyai anak, orang tua dan saudara.16 Ahli waris yang kalâlah adalah saudara seibu dan saudara seayah.

Saudara seibu disebut dengan kalâlah ibu dan saudara seayah disebut dengan kalâlah

ayah.

Selanjutnya ia menuturkan bahwa Umar r.a pada awalnya berpendapat kalâlah

adalah orang yang punah ke bawah (jadi masih mungkin mempunyai ayah), tetapi pendapatnya ini ditinggalkan setelah dikritik oleh para sahabat lainnya, termasuk Abu bakar r.a yang mengartikan kalâlah sebagai orang yang tidak meninggalkan

keturunan (anak laki-laki) dan orang tua. Karena arti ini sesuai dengan penggunaan arti (isti’mal) yang berlaku dikalangan sahabat. Ibn Katsir mengartikan ayat (12) adalah mengatur hak kewarisan kalâlah bagi saudara seibu karena dalam ayat ini ada

tambahan min al-um (seibu) sesudah kata al-akhi yang kemudian dinasakh

bacaannya. Walaupun bacaan tersebut termasuk dalam qirâat syazzah. Artinya: Bila

seseorang meninggal dalam keadaan kalâlah, baginya ada saudara laki-laki dan saudara

perempuan (seibu).

Dengan ajaran Islam, tujuan hukum kewarisan itu akan terwujud apabila ahli waris benar-benar meyakini bahwa ajaran Islam inilah yang bisa mewujudkan kedamaian bagi mereka, ketenangan dan menghindari konflik di antara ahli waris.

15Al-Âlûsî al-Baghdâdî,

Rûh al-Ma’ânî, (T.tp: Dâr al-Fikr, t.th), h.358. 16bn al-´Arabî,


(22)

Islam dengan tegas mengharamkan perselisihan yang disebabkan harta kecuali dengan hak; oleh sebab itu Islam memberikan aturan khusus tentang pembagian warisan agar menjadi pedoman bagi setiap muslim.

Dalam penelitian ini, penulis akan berupaya menyajikan uraian mengenai hukum kewarisan menurut Muhammad Syahrur, kelebihan dan kekurangannya dengan landasannya Al-Qur`an, Hadits dan Ijma' para 'Ulama. Dengan demikian diharapkan akan memperoleh informasi yang utuh dan menyeluruh mengenai persoalan yang akan diteliti.

Dilihat dari jenisnya, penelitian ini termasuk penelitian kepustakaan (library research) yaitu kegiatan penelitian yang mengandalkan data dari bahan pustaka 17.

Dengan menela'ah bahan pustaka tertentu untuk dijadikan sumber data primer, yang memuat informasi tentang fokus penelitian. Disamping itu dilengkapi sumber data sekunder yang menunjang sumber data primer atau sumber data sekunder yang menunjang sumber data primer, pemilihan sumber data primer atau sumber data sekunder ditentukan oleh peneliti dengan merujuk kepada fokus dan tujuan penelitian yang berkenaan dengan kewarisan menurut Muhammad Syahrur.

Adapun sifat penelitian ini adalah bersifat desriptif yaitu penelitian yang bermaksud untuk membuat deskriptif mengenai situasi atau kejadian-kejadian dengan pendekatan yuridis normatif dan komparatif.

Untuk lebih jelasnya dalam memahami kerangka pikir dalam penelitian ini dapat dilihat pada gambar di bawah ini:

17 Program Pasca Sarjana IAIN Raden Intan,

Pedoman Penulisan Karya Ilmiah, Program Pasca


(23)

E. Metode Penelitian 1. Jenis penelitian

Penelitian ini menggunakan pendekatan kualitatif, yakni jenis penelitian yang temuan-temuannya tidak diperoleh melalui prosedur statistik atau bentuk hitungan lainnya.18Mengutip Bogdan dan Taylor, Lexy J. Moloeng mengatakan bahwa metodologi kualitatif adalah prosedur penelitian yang menghasilkan data deskriptif berupa kata-kata tertulis atau lisan dari orang-orang dan perilaku yang dapat diamati.19

Penelitian ini juga mendasarkan pada studi literer atas beberapa karya Muhammad Syahrur. Karenanya, penelitian ini boleh juga disebut sebagai library research. Studi literer

(library research) atas naskah tertulis tentang pemikiran Muhammad Syahrur, baik

karyanya sendiri (primer) atau hasil kajian peneliti sekarang atas tokoh tersebut.

2. Sumber Data

a. Sumber data primer

18Anselm Strauss dan Juliet Corbin,

Basics Of Qualitative Research; Grounded Theory Procedures and Techniques, Terj. Dasar-dasar Penelitian Kualitatif; Tata Langkah dan Teknikteknik Teoritisasi Data oleh Muhammad Shodiq dan Imam Muttaqien, (Yogyakarta: Pustaka Pelajar, 2003), hlm. 4.

19Lexy J. Moleong,

Metodologi Penelitian Kualitatif Edisi Revisi, (Bandung: PT Rosdakarya, 2005), Cet. XXI, hlm. 4.

Muhammad Sahrur Al-tentang waris) Qur‟an( ayat

Konsep kewarisan Muhammad syahruru


(24)

Sumber data primer yaitu sumber data utama dan paling pokok berupa buku dan tulisan karya Muhammad Syahrur. Buku karya Muhammad Syahrur yang penulis jadikan rujukan utama adalah Nahw Usul Jadidah Li al-Fiqih al-Islami; Fiqh al-Mar’ah,

diterjemahkan Sahiron Syamsuddin dan Burhanudin "Metodologi Fiqih Islam Kontemporer", terbitan eLSAQ Press, Yogyakarta, tahun 2004. Rujukan utama kedua yakni

al-Kitab wa al-Qur’an; Qira’ah Mu’ashiroh, diterjemahkan Sahiron Syamsuddin, dan

Burhanuddin “Prinsip dan Dasar Hermeneutika Al-Qur‟an Kontemporer”, terbitan eLSAQ

Press, Yogyakarta, 2007.

b. Sumber data sekunder

Data sekunder dalam penelitian ini adalah data tentang gagasan ataupun pemikiran Muhammad Syahrur yang ditulis oleh orang lain.

3. Metode Pengumpulan Data

Dalam penelitian ini, metode pengumpulan datanya dilakukan melalui penelusuran terhadap bahan-bahan pustaka yang menjadi sumber data. Sumber data tersebut berupa literatur yang berkaitan dengan substansi penelitian ini. Untuk mendapatkan data yang dibutuhkan, peneliti menggunakan metode library research atau studi kepustakaan yaitu

usaha untuk memperoleh data dengan cara mendalami, mencermati, menelaah dan mengidentifikasi pengetahuan yang ada dalam kepustakaan (sumber bacaan, buku referensi atau hasil penelitian lain.20

4. Analisis Data

Analisis data adalah proses mengorganisasikan dan mengurutkan data dalam pola, kategori, dan satuan uraian dasar sehingga dapat ditemukan tema dan dapat dirumuskan ide

20M. Iqbal Hasan,

Pokok-pokok Materi Metodologi Penelitian dan Aplikasinya, (Jakarta:Ghalia


(25)

yang disarankan oleh data.21Dalam memberikan interpretasi data yang diperoleh, penulis disini menggunakan metode sebagai berikut:

a. Metode analisis deskriptif adalah suatu metode penelitian yang dimaksud untuk membuat pencandraan (deskripsi) mengenai situasisituasi atau kejadian-kejadian.22Metode ini digunakan untuk menggambarkan konsep sebagaimana adanya agar mendapatkan gambaran yang terkandung dalam konsep tersebut. Metode ini diterapkan pada BAB III yang berupa konsep-konsep pemikiran Muhammad Syahrur tentang waris

b. Metode content analisis merupakan metode analisis ilmiah dimana

hasilnya harus menyajikan generalisasi, proses analisisnya dilakukan secara sistematis, mengarah pada pemberian sumbangan teoritiknya.23 c. Analisis ini bertumpu pada metode analisis deskriptif. Metode analisis ini

diterapkan pada BAB IV.

d. Metode Analisis Komparatif adalah metode analisis yang digunakan untuk memperoleh kesimpulan dengan menilai faktor-faktor tertentu yang berhubungan dengan situasi yang diselidiki dan membandingkan dengan faktor-faktor lain. Metode analisis ini juga diterapkan pada BAB IV guna

mengetahui perbedaan antara pemikiran Syahrur dengan para ulama‟

klasik.

21Lexy J. Moleong,

Op.cit, hlm.103

22Sumadi Suryabrata,

Metodologi Penelitian, (Jakarta: Raja Grafindo Persada, 1995),hlm.18.

23Noeng Muhajir,

Metodologi Penelitian Kualitatif, (Yogyakarta: Rake Sarasin, 1991), Cet, III, h. 77.


(26)

BAB II LANDASAN TEORI A. Sistem Hukum Kewarisan Islam

Hukum kewarisan Islam merupakan nilai-nilai agama Islam yang telah diyakini umatnya, kemudian dijadikan sistem kehidupan untuk mengatur hubungan sesama manusia, yang selanjutnya menjadi sistem hukum kewarisan. Agama Islam merupakan mayoritas agama yang dianut oleh warga negara Indonesia, maka sistem hukum kewarisan Islam menjadi salah satu sistem hukum yang berlaku di Indonesia.

Sistem hukum warisan Islam sebagai bagian dari sistem syari„at merupakan dalam aspek sistem hukum mu„amalah atau juga dalam lingkungan hukum perdata. Dalam ajaran

Islam hukum warisan ini tidak dapat dipisahkan dengan hukum Islam dan ibadah Karenanya dalam penyusunan kaidah-kaidah hukum warisan harus berdasarkan sumber-sumber hukum Islam seperti hukum-hukum Islam yang lainnya.

1. Sumber Hukum Warisan Islam

Sumber-sumber hukum warisan Islam adalah pertama al-Qur„an, kedua Sunnah Rasulullah SAW, dan yang ketiga ialah ijtihad para ahli hukum Islam. Dasar penggunaan ketiga sumber hukum warisan Islam itu pertama dalam al-Qur„an:[4] surat An-Nisa„ ayat

59:

Hai orang-orang yang beriman, taatilah Allah dan taatilah Rasul (Nya), dan ulil amri di antara kamu. Kemudian jika kamu berlainan pendapat tentang sesuatu, Maka kembalikanlah ia kepada Allah (Al-Qur‟an) dan Rasul (sunnahnya), jika kamu benar-benar


(27)

beriman kepada Allah dan hari kemudian. yang demikian itu lebih utama (bagimu) dan lebih baik akibatnya.1

Dalam ayat tersebut mewajibkan bahwa setiap manusia dalam menetapkan hukum harus berdasarkan ketetapan-ketetapan Allah SWT dan Sunnah Rasulullah SAW2, serta Uil Amri. Ulil Amri dapat dimaknakan sebagai sumber ijtihad para mujtahid.3

Berdasarkan ayat Al-Qur„an tersebut di atas, dapat dipahami bahwa sumber hukum warisan Islam terdiri dari Al-Qur„an, As-sunah dan Ijtihad.

1.1. Al-Qur’an

Al-Qur„an adalah Kalam Allah yang diturunkan yang dturunkan kepada Rasul

-Nya, Nabi Muhammad SAW. sebagai kitab suci bagi umat yang beragama Islam,

Al-Qur„an tertulis dalam mushaf berbahasa Arab, disampaikan kepada umat manusia dengan

jalan mutawatir. Bagi yang membacanya mempunyai nilai ibadah, dimulai dengan surat Al-Fatikah dan diakhiri surat An-nas.4

Menurut Abdul Wahab Khallaf ayat-ayat Al-Qur„an yang berhubungan dengan

hukum keluarga 70 ayat, hukum-hukum perdata lainnya juga 70 ayat, sedang yang mengenai hukum pidana 30 ayat, Peradilan dan Hukum Acara 30 ayat, Hukum Tata Negara 10 ayat, Hubungan Internasional 25 ayat dan Hukum Dagang serta Hukum Keuangan 10 ayat.5

1H.A. Hafizh, h.69

2Dapat dilihat dalam bukunya Amir Syarifuddin tentang Pelaksanaan Hukum Kewarisan Islam dalam Lingkungan Adat Minangkabau, dimana beliau telah mengutip ayat-ayat Al-Qur‟an sebagai sumber

hukum warisan Islam sebanyak 11 ayat, Surat An-Nisa‟ 10 ayat . Sedangkan Sunah Raullullah SAW sebanyak 11. hadist,

3 Penafsiran Ulil Amri sebagai mujitahid ini menurut Ar-Razi dalam Mafnatihul Ghaib, seperti telah dikutip oleh Munawar Chil, Ulil Amri ,(Semarang : Ramadhani, 1984) h, 20

4

Ibid

5Abdul Wahab Khlaf,

Kaidah-Kaidah Hukum Islam, Terjemahan dari Ushul al-Fiqh oleh Nur Iskandar al-Barsny, (Jakarta : Rajawali 1996), h. 124.


(28)

Said Ramadhan berpendapat bahwa Al-Qur„an bukanlah satu referensi yang

mudah bagi suatu studi hukum. Ia pada dasarnya adalah petunjuk agama, oleh sebab itu lebih merupakan ajakan kepada kepercayaan dan jiwa kemanusiaan dari pada petunjuk hukum.6 Anwar Hardjono menyetujui pendapat Said Ramadhan dengan pengertian bahwa

Al-Qur„an adalah sumber hukum, tetapi ia bukan kitab hukum atau lebih tepatnya bukan

kitab undang-undang dalam pengertian biasa.7

Al-Qur„an sebagai sumber hukum dalam bidang hukum muamalah tidak

sebagaimana dalam hukum ibadah, tetapi umumnya hanya memberikan dasar umum, dengan adanya pengaturan yang bersifat umum. Dengan harapkan hukum Al-Qur„an dapat

diterapkan dalam berbagai macam masyarakat, dan bermacam-macam kasus sepanjang masa, sehingga ia bersifat fleksibel dalam menghadapi perubahan masyarakat. Demikian pula seperti hukum kewarisan, ayat-ayat Al-Qur„an hanya menentukan ahli waris enam

orang, yaitu suami, istri, anak (laki-laki dan perempuan), ayah, ibu dan saudara, sedangkan ahli waris lain tidak diatur didalamnya, seperti kekek, nenek, cucu dan lain sebagainya.

Dalam hukum muamalahpun ada ayat-ayat yang sudah jelas dan pasti, artinya bukan bersifat dasar umum, tetapi ada juga yang belum jelas. Contoh ayat Al-Qur„an yang

sudah jelas adalah dalam surat An-Nisa„ (4) ayat 12 yaitu terjemahan dalam bahasa

Indonesia ialah ―Dan bagimu para suami ―seperdua” dari harta yang ditinggalkan

oleh istri-istrimu, jika mereka tidak mempunyai anak. Kata nisfu dalam ayat Al-Qur„an yang diterjemahkan dalam bahasa Indonesia seperdua, kata ini sudah jelas, sehingga tidak diperlukan penafsirkan.

6Said Ramadhon,

Hukum Islam Ruang Lingkup dan Kandungannya,Terjemahan dari Islamic Law its Scope and Equity, oleh Suadi Saad, (Jakarta :Gaya Media, 1986), h. 112.

7Anwar Hardjono,


(29)

Dengan demikian dalam hukum warisan bagian suami adalah seperdua (1/2) dari harta warisan yang ditinggalkan oleh iterinya. Kemudian contoh ayat Al-Qur„an yang

artinya belum jelas, atau mempunyai arti ganda, akibatnya menimbulkan penafsiran dan terjadi perbedaan pendapat di antara para ahli hukum Islam. Ayat Al-Qur„an tersebut

adalah dalam surat Al-Baqarah (1) ayat 228 yaitu yang diterjemahkan dalam bahasa

Indonesia: ― Dan wanita-wanita yang dicerai hendaklah menahan diri tiga kali

quru. Kata quru‟ dalam ayat Al-Qur„an mempunyai arti ganda, pertama dapat

diartikan ―haid”, dan kedua dapat diartikan ―suci”. Sehinggan kata quru„ kalau diartikan

haid, waktu tunggu wanita apabila diceraikan oleh suaminya tiga kali (3X) berarti 3 kali

masa berjumlah 90 hari. Kemudian kata quru„ apabila ditafsirkan suci berarti tiga kali (3x)

masa suci berjumlah 120 hari. Dalam hukum warisan ayat-ayat Al-Qur„an yang telah rinci

hanya terbatas kepada ahli waris yang hubungan dengan pewaris sangat dekat, senagaimana telah disebut di atas. Sedangkan untuk kerabat-kerabat yang lain belum diatur secara jelas. Ayat-ayat Al-Qur„an hanya menerangkan ―kerabat dekat”, lebih berhak dari yang lainnya.

Sehingga ahli waris ini dalam penafsiran kerabat dekat para ahli hukum warisan Islam terjadi perbedaan pendapat. Perbedaan itu secara garis besar ada tiga golongan, golongan pertama pendapat ahli sunni, golongan kedua pendapat syiah imamiyah dan ketiga pendapat Hazairin. Dengan adanya kekurangjelasan ayat-ayat Al-Qur„an tersebut

memberikan lapangan yang luas bagi akal manusia untuk memggali hukum berdasarkan kepada ayat-ayat Al-Qur„an dan Hadist Rasulullah SAW. Selain itu kemungkinan

munculnya faktor lain, seperti pengetahuan masyarakat dalam hal hukum kewarisan, meskipun masyarakat telah memeluk agama Islam. Demikian juga adanya faktor


(30)

Adat-istiadat dalam masyarakat, sebagaimana dalam Adat-Adat-istiadat masyarakat Indonesia, seperti hibah pada waktu pewaris masih hidup merupakan pembagian harta warisan.

Selain kedua faktor tersebut dimungkinkan masih banyak faktor lain, yang memerlukan ijtihad para ahli hukum Islam, sehingga dalam pelaksanakan hukum warisan Islam betul-betul akan menjadikan rasa keadilan kedamaian masyarakat. Kemudian dalam hubungannya dengan pendapat-pendapat para ahli hukum warisan Islam tentang pengembangan penafsiran ahli waris dalam ayat-ayat Al-Qur„an tersebut, akan dijelaskan

dalan sub bab selanjutnya.

1.2. Sunnah

Yang dimaksud dengan Sunnah disini adalah berupa perbuatan, (Sunnah filiyah), perkataan, (Sunnah qauliyah) dan diamnya Nabi Muhammad SAW (Sunnah Taqririyah), yang bisa jadi dasar hukum.8Sunnah Taqririyah terjadi apabila sahabat berbuat

atau berkata, dan Nabi membiarkan hal tersebut atau diam tidak memberikan komentar apa-apa.9

Sunnah dan Hadits sering digunakan untuk maksud yang sama, tetapi sebenarnya kedua istilah itu berbeda. Sunnah adalah sesuatu yang diucapkan atau dilakukan oleh Nabi Muhammad SAW, secara terus-menerus, dinukilkan dari masa ke masa secara mutawatir,

Nabi dan sahabatnya melaksanakannya. demikian juga tabi„in dan seterusnya dari generasi

ke generasi berikutnya sehingga menjadi pranata dalam kehidupan Muslim.10

Sedangkan hadits berkonotasi segala peristiwa yang dinisbatkan kepada Nabi Muhammad SAW, walaupun hanya sekali saja beliau mengucapkan atau mengerjakannya,

8H.A. Djazuli,

op.cit, h. 68.

9

Ibid.

10Endang Sutari,


(31)

meskipun diriwayatkan hanya satu orang.11 Ketentuan hukum dalam As-Sunnah, dalam hubungannya dengan A-Qur„an ada tiga macam. Pertama As-Sunnah membuat hukum yang sesuai dengan hukum yang ada dalam Al-Qur„an artinya As-Sunnah memperkuat hukum yang ada dalam Al-Qur„an. Kedua As-Sunnah mempunyai fungsi menjelaskan atau merinci hukum dalam Al-Qur„an. Penjelasan ini dapat berupa (1) merinci yang umum dalam Al-Qur„an, seperti perincian tata cara shalat, (2) Mengkhususkan yang umum,

seperti Sunnah yang menyatakan peninggalan Nabi tidak dapat diwarisi, dan (3) Membatasi yang mutlak, seperti batasan hukum wasiat.

Ketiga As-Sunnah membuat hukum baru yang belum ada dalam Al-Qur„an,

seperti larangan memakan binatang yang mempunyai taring, binatang yang menjijikan dan lain sebagainya.

Sunnah Nabi Muhammad SAW menjadi dasar hukum Islam kedua setelah

Al-Qur„an, dalam hukum warisan sebagaimana mempunyai tiga fungsi hubungannya dengan

Al-Qur„an, adalah pertama Sunnah sebagai penguat hukum dalam Al-Qur„an ini seperti

Sunnah Nabi Muhammad SAW dari Ibnu Abas yang diriwayatkan Buchori dan Muslim

yang maksudnya ialah ―Berikan faraa„id bagian yang telah ditentukan dalam Al-Qur„an

kepada yang berhak menerimanya dan selebihnya berikanlah kepada keluarga laki-laki yang terdekat.12

Kedua sebagai penjelasan Al-Qur„an, yaitu Sunnah Rasulullah SAW tentang

batasan wasiat hanya sepertiga dari harta warisan, Sunnah Rasulullah SAW, merupakan penjelasan ayat 180 dan 240 Surat Al-Baqarah.

11

Ibid


(32)

Dimana dalam kedua ayat tersebut tidak dijelaskan berapa harta warisan diberikan dalam wasiat tersebut Dan ketiga sebagai membentuk hukum baru, artinya belum ada hukum warisan di dalam Al-Qur„an, misalnya ketentuan hukum antara orang yang

berlainan agama, salah satunya beragama Islam, tidak saling mewarisi.13

1.3. Ijtihad

Ijtihad dari segi istilah berarti menggunakan seluruh kemampuan dengan

semaksimal mungkin untuk menetapkan hukum syara„.Orang yang berijtihad disebut

mujtahid.14 Ijtihad dapat dilakukan perorangan disebut ijtihad fardi, dan bila dilakukan

secara kolektif disebut Ijtihad jama„i.15

Dimuka telah disebutkan bahwa ijtihad merupakan sumber hukum setelah

Al-Qur„an dan As-Sunnah, dasar hukum ijtihad sebagai sumber hukum adalah hadist Mu„adz

ibnu Jabal ketikan Rasulullah SAW, mengutus ke Yaman untuk menjadi hakim di Yaman.

Raulullah SAW bertanya: ―Dengan apa kamu menghukum? Ia menjawab,

Dengan apa yang ada dalam Kitab Allah, Bertanya Rasulullah: Jika kamu tidak mendapatkannya dalam kitab Allah, Dia menjawab: Aku memutuskan dengan apa yang diputuskan Rasulullah, Rasul bertanya lagi. Jika tidak mendapatkan dalam ketetapan

Rasulullah?Berkata Mu„adz, Aku berijtihad dengan pendapatku.Rasulullah bersabda, aku

bersyukur kepada Allah yang telah menyepakati utusan dari Rasul-Nya.16

Ijtihad dalam hukum warisan sejak zaman dulu telah dilakukan oleh umat Islam,

kemudian yang menonjol adalah golongan Ahli Sunnah dan golongan Syi„ah. Kemudian di

13Ali Hasabullah, Ushul At tasrii’il Islami, (Mesir : Dar El Ma‟arif,19964), h . 35-58. 14Ahmad Azhar Basyir,

Hukum Adat Bagi Umat Islam, (Jogyakarta :Perpustakaan Fakultas Hukum

Universitas Islam Indonesia, 1990), h 14. 15

Ibid

16Hadits ini dikutip dari buku

Ilmu Ushul Fiqih Rahmad Syafi‟i, yang diterbitkan Pustaka Setia


(33)

Indonesia ijtihad hukum warisan ini dilakukan oleh Hazairin. Dan hasil dari ijtihad akan dijelaskan dalam sub bab kemudian seperti yang telah disebutkan di muka.

Perbedaan pokok diantara mereka ialah pada pemhaman terhadap kedudukan perempuan dalam sistem hukum warisan. Hal ini dikarenakan dasar analisis pengembangan hukum warisan yang diatur dalam Al-Qur„an berbeda. Menurut Ahlu sunnah berdasarkan sistem patrilinel yang menjadi budaya Arab sebelum Islam, sedangkan

Syi„ah selain tersebut adanya suatu prinsip atas dasar kepentingan perempuan,17 sehingga

kedudukan laki-laki dengan perempuan saderajat. Sedangkan Hazairin atas dasar sistem bilateral atau parental yang berprinsip kedudukan antara laki-laki dengan perempuan sama,

sehingga pandangan Syi„ah dan Hazairin hampir tidak jauh berbeda.

Di samping adanya perbedaan pandangan para ahli hukum Islam, terdapat pula kesamaan dalam usaha menggali dan merumuskan pengembangan hukum warisan Islam, yang disebut ijmak, baik berlaku secara formal atau ijmak sarih maupun secara tidak formal atau ijmak sukuti.18 Ijmak sarih menurut pandangan ahlu sunah ditempatkan kedudukan yang berssifat mengikat,19 sebagaimana Kompilasi Hukum Islam yang merupakan ijmak sarih yang berupa hasil Loka Karya para Ulama seta Cendikiawan Muslam seluruh Indonesia pada tanggal 2 sampai dengan 5 Pebruari 1988, sebelum dikeluarkannya Intruksi Presiden Nomor 1 Tahun 1991 dan Keputusan Menteri Agama Nomor 154 Tahun 1991.

2. Asas-asas hukum warisan Islam.

17Ahmad Siddik

, Hukum Waris Islam dan Perkembangannya di seluruh DuniaIslam, (Jakarta : Wijaya, 1980), h.7.

18Amir Syarifuddin,

op cit, h. 17.

19


(34)

Asas hukum warisan Islam dalam teks Al-Qur„an dan As-Sunnah tidak dijumpai, dan asas tersebut merupakan hasil ijtihad para mujtahid.atau ahli hukum Islam. Dengan demikian kemungkinan asas hukum warisan Islam itu beragam. Menurut Amir Syarifuddin asas hukum warisan Islam lima macam, yaitu (1) asas ijbari, (2) asas bilateral, (3) asas individual, (4) asas keadilan berimbang, dan (5) asas warisan semata akibat kematian.20

2.1. Asas Ijbari

Kata ijbari secara etimologi mengandung arti paksaan, artinya melakukan sesuatu diluar kehendaknya sendiri.21hukum warisan Islam berasaskan ijbari, maka pelaksanaan pembagian harta warisan itu mengandung arti paksaan tidak kehendak pewaris sebagaimana hukum warisan perdata barat.

Kemudian Amir Syarifuddin mengandung beberpa segi;22 pengertian asas ijbari itu Pertama, segi peralihan harta, artinya dengan meninggal dunianya seseorang dengan sedirinya harta warisannya beralih kepada orang lain dalam hal ini ahli warisnya. Menurut asas ini, pewaris dan ahli waris tidak diperbolehkan merencanakan peralihan harta warisan pewaris; Kedua, segi jumlah harta artinya jumlah atau bagian ahli waris dari harta peninggalan orang yang meninggal dunia (pewaris) itu sudah ditentukan oleh ketentuan-ketentuan Allah SWT, dan Sunnah Rasulullah SAW. Sehingga pewaris dan ahli waris tidak diperbolehkan menentukan jumlah bagin-bagiannya.

Ketiga, segi kepada siapa harta itu beralih, artinya orang-orang (ahli waris) yang menerima peralihan harta peninggalan pewaris itu sudah ditetapkan oleh Al-Qur„an dan As -Sunnah Rasulullah SAW, sehingga pewaris maupun ahli waris tidak diperbolehkan merubahnya. Kecuali ketentuan-ketentuan Al-Qur„an dan As-Sunah Nabi Muhammad

20Amir Syarifuddin,

op. cit, h. 18.

21

Ibid

22


(35)

SAW yang bersifat dhonni, artinya nash-nash Al-Qur„an dan As-Sunah yang belum jelas, seperti pengembangan ahli waris dari anak berlembang ke cucu terus ke bawah.

2.2. Asas Induvidual

Maksud dari pada asas ini adalah harta warisan dari pewaris yang telah diterima oleh ahli warisnya, dapat dimiliki secara individu perorangan. Jadi bagian-bagian setiap ahli waris tidak terikat dengan ahli waris lainnya, tidak seperti dalam hukum Adat ada bagian yang sifatnya tidak dapat dimiliki secara perorangan, tetapi dimiliki secara kelompok.

2.3. Asas Bilateral

Asas bilateral artinya ahli waris menerima harta warisan dari garis keturunan atau kerabat dari pihak laki-laki dan pihak perempuan, demikian sebaliknya peralihan harta peninggalan dari pihak garis keturunan pewaris laki-laki maupun perempuan.

2.4. Asas Keadilan Berimbang

Dari pihak laki-laki dan pihak perempuan menerima harta warisan secara berimbang artinya dari garis keturunan pihak laki-laki dan darl garis keturunan pihak perempuan menerima harta warisan sesuai dengan keseimbangan tanggung jawab dalam kehidupan rumah tangga. Antara laki-laki dengan perempuan keduanya mempunyai hak menerima harta warisan dari pewaris, namun tanggung jawab antara laki-laki dengan perempuan berbeda, laki-laki (public family) sebagai kepala rumah tangga bertanggung jawab nafkah keluarganya, sedangkan perempuan sebagai ibu rumah tangga (domistic family), yang mengatur rumah tangga. Dengan demikian sangat wajar kalau Al-Qur„an

menetapkan laki-laki mendapat dua bagian sedangkan perempuan satu bagian. 2.5. Asas Warisan Semata Kematian


(36)

Hukum warisan Islam hanya mengenal satu bentuk warisan karena adanya kematian, seperti dalam hukum warisan perdata barat (BW), dengan istilah ―ab intestato”,

namun dalam hukum warisan BW, selain ab intestato juga karena adanya” wasiat yang

disebut ―testament termasuk sebagai bagian dari hukum warisan.Lain halnya dangan

hukum Islam wasiat suatu lembaga hukum tersendiri, bukan sebagai bagian hukum warisan.

Menurut Amir Syarifuddin, asas ini ada hubungannya sangat erat dengan asas ijbari,23 disebabkan meskipun seorang ada kebebasan atas hartanya, tetapi setelah meninggal dunia kebebasan itu tidak ada lagi. Hal ini juga difahami bahwa harta dalam Islam mempunyai sifat amanah (titipan), artinya manusia berhak mengatur, tetapi harus sesuai dengan ketetapan-ketetapan Allah SWT, sehingga apabila seorang telah meninggal dunia tidak mempunyai hak lagi untuk mengaturnya, dan kembali kepada-Nya. Selain kelima asas tersebut “asas taawun” atau “tolong-menolong” juga merupakan asas hukum

warisan Islam.hukum asas ini akan dijelaskan dalam sub bab as-shulh.24 Ta„awun atau

tolong-menolong diantara para ahli waris, sudah menjadikan kewajiban diantara ahli waris, bagi ahli waris yang mampu berkewajiban meringankan beban atau penderitaan ahli waris yang tidak mampu, dengan menyerahkan atau menggugurkan.

Dasar hak harta warisannya, dan atau rela menerima harta warisan yang tidak sesuai dengan hak yang harus diterimanya. Dengan demikian salah satu ahli waris, dapat meringankan beban penderitaan, kesukaran ahli waris yang lain, apalagi para ahli waris itu dalam satu kekerabatan (hubungan darah).

3. Unsur-unsur Hukum Warisan Islam

23

Ibid, h. 35.


(37)

Hukum warisan Islam sama dengan hukum warisan Adat terdapat unsur-unsur yang dalam hukum Islam disebut rukun. Adapun unsur-unsur hukum warisan Islam, antara lain: Pertama, pewaris (muwaris), yaitu orang yang telah meninggal dunia dan

meninggalkan harta warisan; dan kedua,harta warisan adalah harta, baik berupa harta bergerak, tidak bergerak, dan harta yang tidak maujud, seperti hak intelektual, hak cipta dan lain-lain. Harta tersebut dapat dibagikan kepada ahli waris, setelah dikurangi biaya-biaya perawatan/pengobatan pewaris, pemakaman, pembayaran hutang, dan wasiat. Sedangkan unsur yang terakhir adalah ahli waris yaitu orang yang berhak menerima harta warisan. Pendek kata, harta warisan dapat dibagikan jika semua kewajiban muwaris telah selesai ditunaikan.

3.1. Pewaris

Pewaris ialah seorang yang telah meninggal dunia dan meninggalkan sesuatu yang dapat beralih kepada keluarganya yang masih hidup.25 Sedangkan apabila seseorang yang meninggal dunia itu tidak meninggalkan sesuatu yang dapat beralih kepada keluarganya yang masih hidup ia bukan pewaris. Dalam hukum warisan Islam, yang menjadi factor-faktor warisan adalah karena hubungan nasab, karena hubungan perkawinan dank arena

hubungan wala„ atau budak.

Kemudian dalam hukum Islam Amir Syarifuddin mengatakan bahwa pewaris

dalam kelompok pengertian ―walidani sebagaimana ketentuan Surat An-Nisa„ ayat 7 dan

33 adalah ayah, ibu, kakek nenek, anak dan cucu. Sedangkan pewaris dalam kelompok

25Amir Syarifuddin, op cit. h. 51.


(38)

pengertian ―aqrabuna, sebagaimana ditemukan dalam Surat An-Nisa„ ayat 12 dan 176

adalah suami dan istri dan saudara.26

. Kemudian pengertian menurut Al-Qur„an diperluas dengan Hadits Nabi SAW,

dengan memasukan keturunan ayah dan keturunan kakek, sehingga termasuk anak saudara dan paman serta bibi,27kemudian pewaris karena telah memerdekakan budak (wala„) yang tidak meninggalkan ahli waris.

Pada uraian sebelumnya, penulis telah dijelaskan bahwa atas dasar prinsip meninggalnya seseorang itu, berlakunya pembagian harta warisan, sehingga pewaris itu harus nyata meninggal dunia. Kemudian ada dua bentuk meninggal dunia: pertama, seseorang meninggal dunia, artinya seseorang telah nyata putusnya nyawa dari jasad yang dibuktikan dengan pancaidera atau melalui medis atau tidak hidup lagi.28

Kedua, dianggap meninggal dunia secara hukum, artinya meninggal dunia karena putusan pengadilan, artinya seseorang dianggap atau dinyatakan meninggal dunia dengan putusan hakim, kemungkinkan orang tersebut masih hidup tetapi disebabkan oleh sesuatu hal tertentu orang itu dianggap meninggal dunia, seperti dalam kasus seorang pewaris telah hilang bertahun-tahun tidak diketahui tempat tinggalnya.

Hilangnya orang ini disebabkan adanya sesuatu peristiwa, seperti adanya perang, tsunami dan lain-lain. Kemudian para ahli warisnya mengajukan ke pengadilan agar pewaris yang hilang itu diputus telah meninggal dunia, sehingga dengan putusan Pengadilan itu harta warisan pewaris dapat dibagi kepada para ahli warisnya, meskipun dimungkinkan sebenarnya seorang yang diputus sebagai pewaris itu masih hidup, dan

26Amir Syarifuddin, op cit. h. 52. 27

Ibid

28Hasan Alwi dkk,

Kamus Besar Bahasa Indonesia, Edisi ketiga, Departemen Pendidikan


(39)

berlakunya pelaksanaan pembagian harta warisan itu sejak hari dan tanggal putusan pengadilan tersebut.

Putusan Pengadilan tentang meninggal dunianya seseorang itu penting, bagi kepastian hukum warisan, karena salah satu tujuan dari pada hukum adalah untuk mencari kepastian hukum. Sedangkan apabila tidak ada putusan hakim akan menjadikan ketidak pastian kedudukan dari pada harta warisan dari pewaris itu. Apalagi dalam hukum Islam salah satu azas hukum warisan adalah asas ijbari artinya dengan kematian seseorang dengan sendirinya harta warisan itu berpindah kepada para ahli warisnya.

Kemudian perincian pewaris dalam hukum warisan Islam dapat dilihat dalam ayat-ayat Al-Qur„an dan Sunnah Rasulullah SAW, serta dikembangkan dengan ijtihad, maka dalam hal ini Amir Syarifuddin memberikan perincian pewaris menjadi 4 kelompok, yaitu :

1) Kelompok ayah dan ibu dan dikembangkan kakek dan nenek terus ke atas; 2) Kelompok anak baik anak laki-laki dan anak perempuan dan

dikembangkan kepada cucu terus ke bawah ; 3) Kelompok suami dan istri ;

4) Kelompok saudara dan paman. Kelompok ini merupakan perluasan pengertian pewaris menurut Al-Qur„an yang diperluas oleh hadist Nabi

Muhammad SAW, dengan memasukan keturunan ayah dan keturunan kakek, sehingga dapat difahami bahwa seseorang dapat menjadi pewaris itu termasuk anak saudara, dan pewaris bagi pamannya.29

3.2. Harta Warisan

29Amir Syarifuddin,


(40)

Harta adalah barang (uang dsb) yang menjadi kekayaan.30sedangkan harta warisan adalah barang atau benda yang ditinggalkan oleh orang yang meninggal dunia yang menjadi hak ahli waris, setelah dikurangi untuk kepentingan biaya perawatan jenasah, hutang-hutang dan wasiat pengertian ini antara harta peninggalan dengan harta warisan dapat dibedakan. Harta peninggalan seluruh barang atau benda yang ditinggalkan oleh seseorang telah meninggal dunia, dalam arti barang tersebut milik orang pada saat meninggal dunia, sedangkan harta warisan ialah harta yang berupa barang atau benda yang berhak diterima oleh ahli waris.31

Jenis harta kewarisan ada yang berwujud dan ada yang tak berwujud, yang

berwujud dalam istilah ekonomi disebut ―harta aktiva‖ , harta ini dalam istilah hukum

ada dua macam sifat, pertama adalah harta disebut ―”barang tak begerak” artinya

barang tersebut tidak dapat dipindahkan, dan ― harta yang berupa ―barang begerak

artinya harta itu dapat dipindahkan tempatnya, seperti mobil, peralatan rumah tangga dan lain sebagainya, namun dalam hukum perdata terdapat barang yang sefatnya dapat dipindahkan tempatnya, tetapi dikelompokan dalam barang tak bergerak, umpamanya kereta api, pesawat terbang dan kapal laut.

Harta yang berupa barang bergerak tersebut di atas, terdapat beberapa hak atas barang bergerak seperti: (a) Hak memetik hasil atau hak memakai; (b) Hak atas uang bunga yang harus dibayar selama hidup seseorang; (c) Saham-saham dari perseroan; (d) Tanda-tanda pinjaman suatu negara baik negara sendiri maupun negara asing; dan (e) Hak

30Hasan Alwi,

op cit., h.. 390.

31Fatchurahman,


(41)

menuntut ke Pengadilan tentang penyerahan barang bergerak atau pembayaran uang terhadap barang bergerak.32

Dalam hukum Islam hak kebendaan yang berbentuk hutang tidak menjadi harta warisan.33 Akan tetapi, harta yang menjadi hak ahli waris itu hanya harta peninggalan dalam keadaan bersih, artinya harta peninggalan itu setelah dikurangi hak-hak lain, seperti biaya-biaya penguburan, pajak, zakat termasuh hutang kepada orang lain. Hutang dalam hukum Islam hutang, selain terhadap orang dan badan hukum juga hutang kepada Allah SWT. Hutang kepada Allah yaitu kewajiban materi kepada Allah yang harus ditunaikan, seperti membayar zakat, nadhar dan lain sebagainya.

Mengacu kepada pengertian tersebut di atas, bahwa harta peninggalan berbeda dengan harta warisan, harta peninggalan ialah semua harta yang ditinggalkan oleh pewaris,sedangkan harta warisan hanya harta yang berhak diterima oleh ahli waris, dimana harta harta peninggalan itu setelah dikurangi atau terlepas dari tersangkutnya segala macam hak-hak oramg lain di dalamnya.

Dengan demikian, harta peninggalan itu sebelum menjadi harta warisan dan dibagi kepada ahli warisnya harus dilakukan pelbagai tindakan pemurnian agar supaya harta yang menjadi hak orang lain tidak terpakai oleh ahli waris. Sebelum dilakukan pemurnian harus dilihat dahulu harta peninggalan tersebut, apakah harta peninggalan itu harta bersama atau harta bawaan, atau mungkin kedua harta itu menyatu di dalamnya.

Selanjutnya, jika harta bersama dan harta bawaan terpisah cara membaginya mudah, masing-masing harta itu dikuranmgi hak orang lain yang melekat di dalamnya setelah itu, dapat dibagi kepada ahli warisnya. Akan tetapi, apabila antara harta bersama

32Wirjono Prodjodikoro

, op. cit, h. 195.

33Wirjono Prodjodikoro,


(42)

dan harta bawaan itu menyatu, pertama harus dipisah dahulu antara harta bersama dengan harta bawaan, kemudian harta bersama dibagi dua, satu bagian untuk pewaris dan satu bagian untuk istri atau suaminya, lalu satu bagian dari harta bersama itu dijadikan satu atau ditambah dengan harta bawaan. Kemudian setelah dijadikan satu antara harta bawaan dengan bagian dari harta bersama tersebut, kemudian dikurangi hak-hak orang lain melekat di dalamnya, setelah itu baru bagi kepada ahli warisnya.

3.3. Ahli Waris

Ahli waris adalah oarng yang mempunyai hak harta warisan yang dtinggalkan oleh seorang yang telah mening dunia. Kemudian orang yang mempunyai hak sebagai ahli waris dalam hukum Islam ada empat faktor utama,112 yaitu :

(1). Adanya perkawinan, suami ahli waris istri sebaliknya istri ahli waris suami; (2). Adanya nasab atau hubungan darah;

(3). Wala„ orang yang telah memerdekakan budak, dan tidak meninggalkan ahli

warisnya;

(4). Hubungan secara Islam, orang Islam yang meninggal dunia tidak meninggalkan ahli waris, dan harta warisannya diserahkan kepada baitul mal untuk kepentingan umat Islam.34

Di Indonesia umumnya hanya dua faktor, yaitu faktor pertama dan kedua,.untuk faktor yang ketiga di Indonesia tidak terdapat perbudakan, akibatnya ahli waris ini tidak dikenal, sedangkan faktor keempat bukan sistem hukum warisan. Selain adanya kedua bentuk hubungan dalam kedua foktor tersebut, mereka baru mempunyai hak warisan, apabila pertama dalam keadaan masih hidup pada saat pewaris menimngal dunia. Dan

34Abdullah Siddik,


(43)

kedua mereka tidak ada halangan menjadi ahli waris, umpamanya tidak tertutup (terhijab) oleh ahli waris lannya, perbedaan agama dan lain-lain.Dengan demikian dalam pembahasan selanjutnya hanya faktor perkawinan dan faktor nasab atau hubungan darah.

Kemudian ahli waris yang disebabkan adanya nasab atau hubungam darah ialah seorang yang mendapatkan hak harta warisan karena adanya hubungan darah dengan pewaris. Kemudian bila diperhatikan ahli waris ini, dapat dibedakan tiga macam, pertama ahli waris karena hubungan garis keturunan ke bawah, kedua karena hubungan garis keturunan ke atas, dan yang ketiga hubungan garis keturunan kesamping.

(1) Hubungan garis keturunan ke bawah

Yang dimaksud ahli waris dari garis keturunan ke bawah disini ialah keturunan pewaris yang terdiri dari anak, cucu, cicit dan seterusnya ke bawah, baik laki-laki maupun perempuan.

Ahli waris dalam garis keturunan ke bawah, setelah anak yang terdiri dari cucu dan cicit dari anak perempuan dikalangan para ahli hukum Islam terjadi perbedaan pendapat. Perbedaan pandangan ini disebabkan tidak diaturnya dalam ketentuan-ketentuan dalam

Al-Qur„an dan As-Sunah secara jelas, sehingga masing-masing para ahli hukum warisan Islam

berijtihad dengan menafsirkan ayat-ayat Al-Qur„an dan As-Sunah atas dasar pola prinsip pikiran yang berbeda dan budaya serta sistem kekerabatan yang berlaku pada saat itu. Sehingga terjadilah perbedaan pendapat perkembangan ahli waris dala garis keturunan ke bawah. Perbedaan pandangan ini sebagaimana telah dijelaskan dalam su bab sumber hukum warisan dalam bab ijtihad di atas.

Perbedaan pandangan dalam pengembangan ahli waris garis keturunan ke bawah


(44)

patrilineal sebagaimana budaya arab sebelum agama Islam, sedangkan Syi„ah pada prinsip

atas dasar emosional kepentingan perempuan, sedangkan Hazairin atas dasar pendekatan bilateral atau parental yang dianut mayoritas masyarakat di Indonesia, sehingga pandangan

golongan Syi„ah dan Hazairin hampir sama. Selanjutnya perbedaan pandangan tersebut

dapat diperhatikan dalam gambar 2.1 di bawah ini : Gambar 2 :1

Perbedaan ahli waris garis keturunan ke bawah antara

Ahlu Sunah dengan Syi„ah dan Hazairin

Dalam pandangan ahlu sunnah garis keturunan ke bawah dari pewaris (A) harus laki-laki tidak boleh perempuan, sehingga cicit (D) dari pewaris (A) seperti dalam gambar

Syi„ah dan Hazairin kedudukannya menurut pandangan Ahlu sunah disebut dzawil arham

tidak dapat menggantikan kedudukan ibunya (C), sedangkan pandangan Syi„ah dan azairin

cicit (D) dapat menngganti kedudukan orang tuanya, meskipun orang tuanya perempuan, tetap berkedudukan sebagai dzul qarabat.

(2). Hubungan garis keturunan ke atas.

Hubungan garis keturunan ke atas, ialah seorang yang menyebabkan adanya atau melahirkan pewaris atau orang yang telah meninggal dunia.Orang-orang tersebut adalah ayah dan ibu, kakek dan nenek, buyut laki-laki dan perempuan sampai kesepulah dalam budaya Jawa disebut simbahgalih asem‖ sebagaiman yang telah, dijelaskan tersebut di

A

B

C

A

D D

B


(45)

atas. Kemudian untuk lebih jelasnya ahli waris dalam garis keturunan ka atas ini dapat diperhatikan dalam gambar 2.2 di bawa ini :

Gambar 2. 2

Ahli Waris dalam Garis Keturunan ke Atas

(3). Hubungan garis keturunan kesamping

Garis keturunan kesamping ini ialah anak-anak berserta keturunan dari saudara pewaris baik laki-laki maupun saudara perempuan pewaris berserta keturunannya yang disebut keponakan pewaris, dan saudara ibu beserta keturunannya juga disebut keponakan pewaris. Di samping tersebut termasuk juga saudara lak-laki maupun perempuan ayah pewaris yang disebut paman dan bibi beserta keturunannya dan saudara ibu, baik laki-laki maupun perempuan beserta keturunannya, juga yang disebut bibi beserta keturunannya.

Dalam pengembangan sistem patrilineal kedudukan garis keturunan kesamping ini, menurut pandangan Ahlu Sunnah dan Syi„ah serta Hazairin berbeda satu sama lainya, seperti anak perempuan saudara dan paman serta anak saudara perempuan dan bibi Ahlu

Sunah dikelompokkan dalam dzawil arham dan untuk Syi„ah dikelompokkan dalam dzul

qarabat. Untuk lebih jelasnya akan dibahas dalam pengelompokan ahli waris dalam

D E F G

B


(46)

bahasan selanjutnya. Dan untuk melihat gambaran ahli waris dalam garis kuturunan ke samping ini dapat dilihat dalam gambar 2. 3, di bawah ini :

Gambar 2. 3

Ahli Waris dalam Garis Keturunan ke Samping

Selanjutnya ahli waris dapat dikelompokkan dalam jenis gender, yaitu laki-laki dan perempuan adalah sebagai berikut :

Kelompok ahli waris laki-laki adalah sebagai berikut : (1). Suam

(2). Anak laki-laki, (kandung dan dari suami dan istri

(3). Cucu laki-laki, baik dari anak laki-laki maupun anak perempuan terus ke bawah

(4). Ayah (5). Kakek,

(6). Saudara laki-laki (kandung, seayah dan seibu

(7). Paman sekandung dan paman seayah serta paman seibu. Kelompok ahli warisa perempuan, terdiri dari

(1). Istri

(2). Anak perempuan

D

E

B C


(47)

(3). Cucu perempuan, baik dari anak laki-laki maupun dari anak perempuan terus ke bawah

(4). Ibu (5). Nenek

(6). Saudara perempuan kandang, seayah dan seibu; (7). Bibi dari sekandunf, seayah dan seibu.

Dalam Al-Qur„an Surat An-Nisa„ ayat 11 dan ayat 12 hanya dijelaskan secara

rinci bagian-bagian ahli waris pada tingkatan pertama atas hubungan perkawinan maupun hubungan nasab atau hubungan darah juga dapat disebut ”al-furudhulmuqaddarah”,

sedangkan dalam pengembangannya tidak dijelaskan, akbatnya terjadilah perbedaan pandangan diantara para ahli hukum Islam.

Adapun ahli waris yang telah jelas di sebutkan dalam ayat-ayat Surat An-Nisa„

tersebut terdapat enam macam, yaitu :

(1). Setengan (1/2), tedirii dari anak perempuan tunggal dan suami apabila pewaris tidak mempunyai anak; (2). Seperempat (1/4), terdiri dari suami apabila pewaris mempunyai anak, dan istri apabila pewaris tidak mempunyai anak; (3). Seperdelapan (1/8), terdiri dan istri apabila pewaris tidak mempunyai anak; (4). Sepertiga (1/3), terdiri dari ayah, ibu dan saudara apabila pewaris tidak mempunyai anak ; (5). Seperenam (1/6), terdiri dari ayah, ibu dan saudara apabila pewaris mempuyai anak ; (6). Dua pertiga (2/3), terdiri dari dua atau lebih anak perempuan.

Sedangkan untuk anak laki-ki-laki, meskipun tidak diatur secara rinci dalam surat

An-Nisa„tersebut, namun dalam ayat-ayat Ak-Qur„an tersebut mengatur bahwa bagian


(1)

168

mengkaji mengenai penafsiran Syah}ru>r yang lain. Karena sebuah penafsiran itu adalah produk manusia dan tidak ada berani yang menjamin atas ke-absolutan kebenaranya.

2. Aplikasi dan realitas teori Syah}ru>r yang termaktub dalam hasil peneltian ini sepenuhnya hak pembaca. Namun setidaknya hasil penelitian ini dapat digunakan sebagai sebuah rangkaian hasil penafsiran yang digunakan untuk memperkaya penafsiran dalam dunia Islam.

3. Dalam penelitian ini, penulis menyarankan untuk lebih jeli dan teliti dalam mengambil sikap terkait hasil penemuan yang ditawarkan oleh Syah{ru>r terutama dalam masalah waris. Pemikiran yang ditawarkan oleh Syah{ru>r tentang waris memang merupakan suatu produk yang bias dibilang baru atau lebih modern disbanding dengan waris konvensional. Akan tetapi untuk mempraktikkanya dalam kehidupan masyarakat menurut penulis perlu usaha keras, karena berbeda dengan mainstream masyarakat..


(2)

DAFTAR PUSTAKA

Ahmadi, Rulam. 2005. Memahami Metodologi Penelitian Kualitaif. Malang: IKIP Malang. Ah{mad al-Jurjawi>, Ali>. 2003 Hikmah di Balik Hukum Islam. ter. Erta Mahyudin Firdaus dan

Mahmud Lukman Hakim. Jakarta: Mustakim.

Ali> al-S}abuni>,Muh}ammad. 1997. S}afwah al-Tafsi>r. Kairo: Da>r al-S}abuni>

---.1995. Pembagian Waris Menurut Islam, ter. A.M. Basalamah. Jakarta: Gema Insani Press.

Amin Summa, Muhammad. 2005. Hukum Keluarga Islam di Dunia Islam. Jakarta:PT Raja Grafindo Persada.

Arikunto, Suharsimi. 1993. Prosedur Penelitian: Suatu Pendekatan Praktek. Jakarta: Rineka Cipta.

‘Azi>z, Fais}al bin ‘Abdul. 1996. Taufi>q Rah}man fi> Durus Qur’a>n. Riyadh: Da>r al-As}imah.

Al-Baid}awi>, Na>shiruddi>n Abu> Sa’i>d ‘Abdullah. 1418. Anwa>r al-Tanzi>l wa Asraru al-Ta’wi>l, juz II. Baerut: Da>r Ih}ya>’ al-Tura>ts sl-‘Arabi>.

Al-Bujairimi>, Sulaiman bin Muh}ammad bin Umar. T.th. Tuh}fatu Habi>b ‘ala Syarh al-Khotib. Beirut: Da>r al-Fikr.

Al-Bukha>ri>, Abi> ‘Abdullah Muh}ammad bin Isma>‘i>l. 2004. Al-Ja>mi’ al-S{ah}i>h}, jilid 2. Kairo: Da>r al-H}adi>s.

Al-Damasyqi>, Abu> Fida>' Isma>'il bin Kas\i>r al-Qursyi.> 1420. Tafsi>r al-Qur'a>n al-'Adi>m, Juz II. Beirut; Da>r al-T{aibah.

Al-Dimyathi>, Usman bin Syat}a.1997. I’anah al-Thalibi>n ‘ala Hilli alfaz} Fath al-Mu’i>n, Beirut: Da>r al-Fikr.

Faisal, Sanapiah. 1990. Penelitian Kualitatif: Dasar-Dasar dan Aplikasi, (Malang: YA3. Hadi, Sutrisno. 1989. Metodologi Research. Yogyakarta: Andi Offset.


(3)

Hasan, Muhammad Tholchal. et.all. 2003. Metodologi Penelitian Kualitatif. Surabaya : Visipress.

Hasan, Ali. T.th. Hukum warisan Dalam Islam. Jakarta: Bulan Bintang.

Hazairin. 1982. Hukum Kewarisan Bilateral Menurut al-Qur’an, Jakarta: Tintamas. Husain, Sayyi>d Qut}b Ibrahi>m. 1991 Fi> z}ilal al-Qur’`a>n. Kairo: Dar al-Syurq.

Al-H}usaini>, Muh}ammad bin Muh}ammad bin Abd al-Razzaq. Taj ‘Aru>s min Jawa>hir al-Qa>mus. T.p.: Da>r al-Hida>yah.

Al-Jali>di>, Sa’id Muh}ammad. T. th. Ah}kam Mi>ra>s\ wa Washiyyah fi> Syari>’ah al-Isla>miyyah. T.tmp: Mansyu>ra>t Kulliyyah al-Dakwah al-al-Isla>miyyah.

Al-Jashsha>h, Abu> Bakar Ah}mad al-Ra>zi.> 1993. Ah}ka>m al-Qur’a>n, jilid 2. Baerut, Da>r al-Fikr. Malik, Ibnu. 2013. Metodologi Penafsiran Muh}ammad Syah{ru>r dalam Buku Kita>b wa

al-Qur’a>n Qira>’ah Mu’ashirah. Tulungagung: Skripsi tidak diterbitkan. Maruzi, Muslich. T.th. Pokok-Pokok Ilmu Waris (Asas Mawaris). Semarang: T.p Moleong, Lexy J. 2005. Metodologi Penelitian Kualitatif. Bandung: Rosda Karya.

Nashr, ‘Abdul Kari>m Muh}ammad. T.th. Tashi>l al-mawa>ri>s\ wa al-Washa>ya>; Ah}ka>m Fiqihiyyah wa Masa>’il Mah}lu>lah. Riya>dh: Maktabah al-H}aramain.

Projodikoro, Wiryono. 1983. Hukum Warisan di Indonesia. Bandung: Sumur

Al-Qusairi>, Abi> al-H{usain Muslim bin al-H{aja>j ibn Muslim. 2001. Al-Ja>mi’ al-S{ahi>h. Baerut: Da>r al-Kutub al-‘Ilmiyyah.

Al-Quswi>ni>, Abi> ‘Abdullah Muh}ammad bin Yazi>d. T.th. Sunan Ibn Ma>jah, jilid 2. Baerut: Da>r al-Kutub al-‘Ilmiyyah.


(4)

Razi, Fahrur. 2007. Wasiat dan Waris dalam al-Qur’an Perspektif Muh}ammad Syah}ru>r. Yogyakarta: UIN Yogyakarta.

Rofiq, Ahmad. 2000. Hukum Islam di Indonesia. Jakarta: PT Raja Grafindo Persada. ---. 2001. Fiqih Mawaris. Jakarta: Raja Grafindo Persada.

Samadi, Sukris. Transendensi Keadilan Hukum Waris Islam Tranformatif, Jakarta: PT. Rajawali Press.

Sugiono. 2008. Metode Penelitian Kualitatif, Kuantitatif, Dan R & D. Bandung: Alphabeta. Syamsuddin, Sahiron. 2000. Konsep Wah}yu al-Qur’a>n dalam Perspektif Muh}ammad Syah{ru>r,

Dalam Jurnal Studi Ilmu-ilmu al-Qur’a>n dan Hadis.

---. 2002. "Metode Intratekstualitas Muhammad Syah}ru>r dalam Penafsiran al-Qur’a>n" dalam Studi al-Qur-a>n Kont emporer . Yogyakarta: Tiara Wacana.

Syadzali, Munawir. 1995. Kontekstualisasi Ajaran Islam, Paramadina: Jakarta. ---. 1997. Ijtihad Kemanusiaan. Jakarta: Paramadina.

Syah}ru>r, Muh}ammad. 1990. Al-Kita>b wa al-Qur'a>n Qira>'ah Mu'a>s}irah. Damaskus: al-Aha>li>.

---. 2000. Dira>sah Isla>miyyah Mu'a>shirah f>i al-Daulah wa al-Mujtama'. Damaskus: al-Aha>li>.

--- . 1996. Al-I<man wa al-Isla>m Mand}umah al-Qiyam. Damaskus: al-Aha>li>. ---. 2000. Nah}wa Us}u>l Jadi>dah li Fiqh al -Isla>mi>. Damaskus: al-Aha>li>. ---. 2008. Tajfif Mana>bi' al-Irha>b. Damaskus: al-Aha>li>..

Al-Syahi>ri>,Ah}mad bin Syu’aib Abu ‘Abd al-Rah}man al-Nasa’i. 2000. Sunan Nasa>i> al-Kabiri>. Baerut: Da>r al-Kutub al-‘Ilmiyyah.


(5)

Tanzeh, Ahmad. 2001 Pengantar Metode Penelitian. Yogyakarta: Teras.

Tanzeh, Ahmad dan Suyitno. 2006. Dasar-Dasar Penelitian. Surabaya: eLKAF.

Al-Tirmi>z\i>, Muh}ammad bin ‘Isa> bin Su>rah. 2000. Sunan Tirmiz\i>. Baerut: Da>r Kutub al-‘Ilmiyyah.

Al-Wa>h}idi>, Ali> bin Ah}mad. 1969. Asba>b Nuzu>l al-Qur’a>n. Kairo: Da>r al-Kita>b al-Jadi>d. Yunus, Mahmud. 1990. Kamus Arab-Indonesia. Jakarta: Hidakarya Agung.

Zaenuri. T.th. Studi Tokoh Pembaharuan Pemikir Islam: Muh}ammad Syah{ru>r, Jakarta: Pasca Sarjana Fak. UI

Al-Zamah}syari>, Abu> al-Qa>sim Mah}mu>d bin ‘Umar bin Muh}ammad. 1995. Al-Kasysya>f ‘an H{aqa>’iq Ghawa>mid. Tanzi>l wa ‘uyu>n Aqa>wi>l fi> Wuju>h Ta’wi>l. Baerut: Da>r al-Kutub al-‘Ilmiyyah.

Al-Zuhaili>, Wahbah. 1997. Al-Fiqih al-Isla>m wa Adillatuh, jilid 10. Baerut: Da>r al-Fikr. Al-Bu>thi>, Muh}ammad Sai>d Ramadha>n. Nahju al-Isla>mi, Format Pdf, vol. 42 Desember 1990 Al-Ya>fi>, Na’i>m. Al-Usbu>’ al-Adabiy, Format Pdf, junal volume 247, 24 Januari 1991

Ziya>dah, Tha>riq. T}ara>fah fi al-Taqsi>m wa Ghara>bah fi al-Ta’wi>l, al-Naqid, Format Pdf, vol. 45, Maret 1992

Al-Ja>bi>, Sali>m. Al-Qira>’ah al-Mu’a>shirah li al-Duktu>r Muh}ammad Syah}ru>r Mujarrad Tanji>m; Kaz\ab al-Munajjimu>n walau S{adaqu>, juz I, cet. ke –I, Format Pdf (Damaskus: AKAD, 1991), h.16

Al-Munajjid, Ma>hir. Al-Isyka>liyat al-Manhajiyyah fi al-Kita>b wa al-Qur’a>n; Dira>sah Naqdiyyah, dalam Jurnal ‘Alam al-Fikr, Kuwait, h. 164

Mustaqim, Abdul. Epist emologi Tafsir Kontemporer (Yogyakarta: LKiS Group, 2010), h. 129.

Al-Qat}an, Manna' Khalil. Maba>his\ fi> 'Ulum al-Qur'a>n, (Kairo, Maktabah Wahbah, 2000 ), h. 185.


(6)

Mubarak, Ahmad Zaki. Pendekatan Strukt uralisme Li ngui sti k dalam Tafsir Al -Qur’an Kontemporer "ala" M. Syah}ru>r (Yogyakarta: eLSAQ Press, 2007), h. 159; bandingkan Syah}ru>r, al-Kita>b wa al-Qur'a>n..., h. 20.

Mustansyir, Rizal dan Munil, Misnal. Filsafat Ilmu (Yogyakarta: Pustaka Pelajar, 2001), h. 107

Al-'Aki, Khalid Abd al-Rah}man. Us}ul al-Tafsi>r wa Qawa’iduhu, Al-Maktabah al-Sya>milah upgrade 3.59 (Damaskus: Da>r al-Nafa>is, 1986

Al-T{ayyar, Musa'id bin Sulaiman bin Nashi>r. Syarh} Muqa>ddimah fi> Us}ul al-Tafsi>r li Ibni Taimiyyah, Al-Maktabah al-Sya>milah upgrade 3.59 (Saudi Arabia: Da>r Ibni Jauziyyah, 2006), h. 57.

Syah{atah, ‘Abdullah Mah}mud. Manhaj Ima>m Muh}ammad ‘Abduh fi> Tafsi>r Qur’a>n Kari>m, Al-Maktabah Sya>milah upgrade 3.59 (Kairo: Al-Majlis A’la> li Ri’a>yat al-Funu>n wa al-Ada>b wa al-‘Ulu>m al-Ijti’ma>’iyyah, 1963), h. 83-84

Muhammad Bin Sholeh, Panduan Praktis Hukum Waris Menurut al-Qur’an Dan Hadis, dalam http://pernikmuslim.com/hadits-al-quran/2217-panduan-praktis-hukum-waris-menurut-al-qur-an-dan-as-sunnah-yang-shahih.html


Dokumen yang terkait

Kedudukan Mamak Kepala Waris Dalam Sistem Kewarisan Minangkabau Dalam Perspektif Hukum Adat Dan Hukum Islam

1 55 142

Poligami menurut Muhammad Syahrur dalam pandangan hukum Islam

0 11 74

Ayah Sebagai Pengasuh Bagi Anak Yang Belum Mumayyiz (Analisis Putusan Perkara No. 2282/Pdt.G/2009/PA.JS)

0 5 0

TINJAUAN AHLI WARIS PENGGANTI DALAM HUKUM KEWARISAN ISLAM DAN HUKUM KEWARISAN KUH PERDATA - Diponegoro University | Institutional Repository (UNDIP-IR)

0 0 132

KEADILAN GENDER DALAM HUKUM PEMBAGIAN WARIS ISLAM PERSPEKTIF THE THEORY OF LIMIT MUHAMMAD SYAHRUR

0 0 16

BAB II KONSEP PENGGANTIAN TEMPAT AHLI WARIS AHLI WARIS PENGGANTI DALAM HUKUM KEWARISAN ISLAM A. Tinjauan Umum tentang Hukum Kewarisan Islam - Analisis Yuridis Penerapan Khi Dalam Penggantian Tempat Ahli Waris/Ahli Waris Pengganti Pada Masyarakat Kecamatan

0 0 36

BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah - Hukum Kewarisan Islam dalam Perspektif Muhammad Syahrur : Studi Kritis Terhadap Bagian Ahli Waris - Raden Intan Repository

0 0 17

BAB II LANDASAN TEORI A. Sistem Hukum Kewarisan Islam - Hukum Kewarisan Islam dalam Perspektif Muhammad Syahrur : Studi Kritis Terhadap Bagian Ahli Waris - Raden Intan Repository

0 0 61

BAB III MUHAMMAD SYAHRUR A. Biografi Muhammad Syahrur - Hukum Kewarisan Islam dalam Perspektif Muhammad Syahrur : Studi Kritis Terhadap Bagian Ahli Waris - Raden Intan Repository

0 1 29

BAB IV - Hukum Kewarisan Islam dalam Perspektif Muhammad Syahrur : Studi Kritis Terhadap Bagian Ahli Waris - Raden Intan Repository

0 0 59