Dokumen Umum

(1)

TB Anak

Juknis

1

Juknis Manajemen TB Anak

PETUNJUK TEKNIS

MANAJEMEN TB ANAK

614.542 Ind P

DIREKTORAT JENDERAL PENGENDALIAN PENYAKIT DAN PENYEHATAN LINGKUNGAN

KEMENTERIAN KESEHATAN REPUBLIK INDONESIA 2013


(2)

(3)

614.542 Ind P

DIREKTORAT JENDERAL PENGENDALIAN PENYAKIT DAN PENYEHATAN LINGKUNGAN

KEMENTERIAN KESEHATAN REPUBLIK INDONESIA 2013

PETUNJUK TEKNIS

MANAJEMEN TB ANAK


(4)

Katalog Dalam Terbitan. Kementerian Kesehatan RI Indonesia. Kementerian Kesehatan RI. Direktorat Jenderal Pengendalian Penyakit dan

Penyehatan Lingkungan

Petunjuk Teknis Manajemen TB Anak.__ Jakarta : Kementerian Kesehatan RI. 2013

ISBN 978-602-235-3436-9

1. Judul

I. TUBERCULOSIS – PREVENTION AND CONTROL

II. CHILD HEALTH SERICES III. COMMUNICABLE DISEASE 614.542

Ind P


(5)

TB Anak

Juknis

i

Juknis Manajemen TB Anak

KATA PENGANTAR

Tuberkulosis (TB) pada anak merupakan masalah khusus yang berbeda dengan TB pada orang dewasa. Perkembangan penyakit TB pada anak saat ini sangat pesat. Sekurang-kurangnya 500.000 anak di dunia menderita TB setiap tahun. Di Indonesia proporsi kasus TB Anak di antara semua kasus TB

yang ternotifikasi dalam program TB berada dalam batas normal yaitu 8-11

%, tetapi apabila dilihat pada tingkat provinsi sampai fasilitas pelayanan kesehatan menunjukkan variasi proporsi yang cukup lebar yaitu 1,8 – 15,9%. Untuk menangani permasalahan TB anak telah diterbitkan berbagai panduan tingkat global. TB pada anak saat ini merupakan salah satu komponen penting dalam pengendalian TB, dengan pendekatan pada kelompok risiko tinggi, salah satunya adalah anak mengingat TB merupakan salah satu penyebab utama kematian pada anak dan bayi di negara endemis TB.

Penatalaksanaan kasus TB pada anak merupakan upaya komprehensif, yang menggabungkan aspek klinis, program serta upaya kesehatan masyarakat. Salah satu upaya yang dilakukan adalah dengan penyusunan buku Panduan Manajemen dan Tatalaksana TB Anak yang diharapkan dapat menjembatani ketiga aspek tersebut.

Buku panduan ini dimaksudkan untuk menjadi pegangan seluruh Fasilitas Pelayanan Kesehatan baik Puskesmas, Balai Kesehatan Paru Masyarakat, Balai Besar Kesehatan Paru Masyarakat, Balai Pengobatan Penyakit Paru-Paru sampai Rumah Sakit untuk mempermudah petugas di Fasilitas Pelayanan Kesehatan dalam melakukan tatalaksana TB pada anak.


(6)

TB Anak

Juknis

Akhirnya kami sampaikan penghargaan dan terima kasih kepada tim penyusun dan narasumber serta berbagai pihak yang telah berkontribusi dalam penyusunan petunjuk teknisg ini. Semoga buku ini dapat bermanfaat bagi semua pihak terkait, khususnya dalam upaya meningkatkan derajat kesehatan masyarakat.

Jakarta, Nopember 2013 Direktur Jenderal PP & PL

Prof. dr. Tjandra Yoga Aditama


(7)

TB Anak

Juknis

iii

Juknis Manajemen TB Anak

KATA SAMBUTAN

Ketua Kelompok Kerja Nasional Tuberkulosis Anak

Assalamu’alaikum wr.wb

Tuberkulosis anak mempunyai permasalahan khusus yang berbeda dengan TB paru orang dewasa. Masalah yang dihadapi pada TB anak adalah masalah diagnosis, pengobatan dan pencegahan. Gejala dan tanda TB anak sering tidak

khas, sehingga perlu ketelitian dalam anamnesis dan pemeriksaan fisik.

Populasi basil TB paru anak sangat sedikit (paucibacillary) sehingga

sulit mendapatkan basil TB untuk konfirmasi diagnosis TB. Mendiagnosis TB

pada anak membutuhkan anamnesis dan analisis yang teliti, adanya kontak

dengan TB dewasa aktif, pemeriksaan fisik dan penunjang lainnya seperti uji

kulit tuberkulin dan foto rontgen. Dengan menganalisis hasil pemeriksaan yang teliti dapat dihindari overdiagnosis atau underdiagnosis TB anak. Dosis obat anti Tuberkulosis pada anak relatif lebih tinggi daripada dewasa karena perbedaan farmakokinetik dan farmakodinamik.

Dengan diagnosis yang tepat dan pengobatan dengan dosis yang tepat maka akan meningkatkan kualitas hidup anak dan tumbuh kembang anak yang optimal sesuai dengan potensi genetiknya.

Buku petunjuk teknis ini diharapkan dapat dipakai di berbagai tingkat fasilitas pelayanan kesehatan dan dapat membantu dalam diagnosis TB anak dan pengobatannya. Buku ini dapat digunakan oleh mahasiswa kedokteran, dokter umum dan dokter spesialis.


(8)

TB Anak

Juknis

Kami sampaikan terima kasih dan penghargaan kepada semua pihak yang telah membantu terbitnya buku ini.

Wassalamu’alaikum wr.wb

Jakarta, Nopember 2013 Ketua Kelompok Kerja Nasional Tuberkulosis Anak (Pokja TB Anak)


(9)

TB Anak

Juknis

v

Juknis Manajemen TB Anak

DAFTAR KONTRIBUTOR

Pengarah

Prof .Dr. Tjandra Yoga Aditama Dr . Slamet, MHP

Penanggung jawab

Drg. Dyah Erti Mustikawati, MPH

Editor

Dr. Triya Novita Dinihari Dr. Retno Kusuma Dewi

Kontributor

Dr. Nastiti Noenoeng Rahajoe, SpA(K) : Pokja TB Anak, UKK Respirologi, IDAI Dr .Darmawan B Setyanto , SpA(K) : Pokja TB Anak, UKK Respirologi, IDAI Dr. Nastiti Kaswandani, SpA(K) : Pokja TB Anak, UKK Respirologi, IDAI Dr Rina Triasih, SpA(K) : Pokja TB Anak, UKK Respirologi, IDAI Dr. Wahyuni Indawati, SpA : Pokja TB Anak, UKK Respirologi, IDAI Dr. Landia Setiawati, SpA(K) : Pokja TB Anak, UKK Respirologi, IDAI Dr. Finny Fitry Yani, SpA(K) : Pokja TB Anak, UKK Respirologi, IDAI

Dr. M Syarofil Anam, SpA : Pokja TB Anak, UKK Respirologi, IDAI Dr. Retno Asih Setyoningrum, SpA(K) : Pokja TB Anak, UKK Respirologi, IDAI Dr. Ery Olivianto, SpA : UKK Respirologi, IDAI

Dr. Fifi Sofiah, SpA : UKK Respirologi, IDAI Dr. Tjatur KS, SpA : UKK Respirologi, IDAI Dr. Ida Bagus Subanada, SpA(K) : UKK Respirologi, IDAI Dr. Khairiyadi, SpA : UKK Respirologi, IDAI Dr Bob Wahyudin , SpA : UKK Respirologi, IDAI Dr. Dewi Kartika : UKK Respirologi, IDAI Dr. Retno Kusuma Dewi : Ditjen PP dan PL, Subdit TB Dr. Triya Novita Dinihari : Ditjen PP dan PL, Subdit TB Dr. Vanda Siagian : Ditjen PP dan PL, Subdit TB Dr. Setya Budiono : Pengelola Program TB Prov Jatim


(10)

TB Anak

Juknis

Dr. Anastasia Tri Yuli Susanti : Pengelola Program TB Prov Jateng Dr. Fify Mulyani : Pengelola Program TB Prov DKI Jakarta Anita Nur Fajri, SKM, MKes : Pengelola Program TB Prov Jabar Eneng Nuraini, SKM : Pengelola Program TB Prov Banten

Dr. Hari Basuki : Master Trainer TB

Dr. HD Djamal : Master Trainer TB

Dr. Setiawan Jati Laksono : WHO

Dr Maria Regina Loprang : WHO


(11)

TB Anak

Juknis

vii

Juknis Manajemen TB Anak

DAFTAR ISI

KATA PENGANTAR ... i

KATA SAMBUTAN ... iii

DAFTAR KONTRIBUTOR ... v

DAFTAR ISI ... vii

BAB I PENDAHULUAN ... 1

A. Epidemiologi ... 1

B. Patogenesis ... 2

BAB II DIAGNOSIS TB PADA ANAK ... 7

A. Penemuan Pasien TB Anak ... 7

B. Pemeriksaan Penunjang untuk Diagnosis TB anak ... 8

C . Diagnosis TB pada anak dengan Sistem Skoring ... 11

D . Tuberkulosis Anak Dalam Keadaan Khusus ... 16

E . Klasifikasi dan Definisi Kasus TB anak ... 24

BAB III PENGOBATAN TB ANAK ... 27

A. Paduan OAT Anak ... 27

B. Pemantauan dan Hasil Pengobatan TB Anak ... 31

BAB IV MANAJEMEN TUBERKULOSIS PERINATAL ... 34

BAB V MANAJEMEN TB HIV PADA ANAK ... 39

BAB VI MANAJEMEN TB RESISTEN OBAT PADA ANAK ... 44

A. Definisi ... 44

B. Diagnosis TB MDR pada anak ... 44

C. Prinsip penatalaksanaan TB MDR pada anak ... 45

D. Alur Tata Laksana Anak yang diobati TB MDR dan HIV .. 48

BAB VII PENCEGAHAN TUBERKULOSIS PADA ANAK ... 49

A. Vaksinasi BCG pada Anak ... 49

B. Skrining dan Manajemen Kontak ... 50


(12)

TB Anak

Juknis

BAB VIII PENCATATAN, PELAPORAN DAN INDIKATOR TB ANAK ... 54

BAB IX PERAN, TUGAS POKOK DAN FUNGSI FASILITAS PELAYANAN KESEHATAN DALAM TATALAKSANA TB ANAK ... 66

BAB X PENCEGAHAN DAN PENGENDALIAN INFEKSI TB ... 71

BAB XI DAFTAR PUSTAKA ... 74

Lampiran 1. Pelaksanaan Uji Tuberkulin ... 75

Lampiran 2 Pengambilan Sampel pada Anak ... 80


(13)

TB Anak

Juknis

1

Juknis Manajemen TB Anak

BAB I

PENDAHULUAN

A. Epidemiologi

Epidemiologi Tuberkulosis adalah rangkaian gambaran informasi yang menjelaskan beberapa hal terkait orang, tempat, waktu dan lingkungan. Secara sistematis dan informatif menguraikan sejarah penyakit tuberkulosis, prevalens tuberkulosis, kondisi infeksi tuberkulosis dan cara/ risiko penularan serta upaya pencegahannya.

Tuberkulosis adalah penyakit menular langsung yang disebabkan oleh kuman TB (Mycobacterium tuberculosis). Sebagian besar kuman TB menyerang paru, tetapi dapat juga mengenai organ tubuh lainnya. TB Anak adalah penyakit TB yang terjadi pada anak usia 0-14 tahun.

Cara Penularan:

• Sumber penularan adalah pasien TB paru BTA positif, baik dewasa maupun anak.

• Anak yang terkena TB tidak selalu menularkan pada orang di sekitarnya, kecuali anak tersebut BTA positif atau menderita adult type TB.

• Faktor risiko penularan TB pada anak tergantung dari tingkat penularan, lama pajanan, daya tahan pada anak. Pasien TB dengan BTA positif memberikan kemungkinan risiko penularan lebih besar daripada pasien TB dengan BTA negatif.

• Pasien TB dengan BTA negatif masih memiliki kemungkinan menularkan penyakit TB. Tingkat penularan pasien TB BTA positif adalah 65%, pasien TB BTA negatif dengan hasil kultur positif adalah 26% sedangkan pasien TB dengan hasil kultur negatif dan foto Toraks positif adalah 17%.

Besaran masalah TB Anak

• Tuberkulosis anak merupakan faktor

penting di negara-negara berkembang karena jumlah anak berusia kurang dari

15 tahun adalah 40−50% dari jumlah

seluruh populasi (Gambar ).

Jumlah populasi berdasarkan usia


(14)

TB Anak

Juknis

• Sekurang-kurangnya 500.000 anak menderita TB setiap tahun • 200 anak di dunia meninggal setiap hari akibat TB, 70.000 anak

meninggal setiap tahun akibat TB

• Beban kasus TB anak di dunia tidak diketahui karena kurangnya

alat diagnostik yang “child-friendly” dan tidak adekuatnya sistem pencatatan dan pelaporan kasus TB anak.

• Diperkirakan banyak anak menderita TB tidak mendapatkan

penatalaksanaan yang tepat dan benar sesuai dengan ketentuan strategi DOTS. Kondisi ini akan memberikan peningkatan dampak negatif pada morbiditas dan mortalitas anak.

• Data TB anak di Indonesia menunjukkan proporsi kasus TB Anak

di antara semua kasus TB pada tahun 2010 adalah 9,4%, kemudian menjadi 8,5% pada tahun 2011 dan 8,2% pada tahun 2012. Apabila dilihat data per provinsi, menunjukkan variasi proporsi dari 1,8% sampai 15,9%. Hal ini menunjukan kualitas diagnosis TB anak masih sangat bervariasi pada level provinsi. Kasus TB Anak dikelompokkan dalam kelompok umur 0-4 tahun dan 5-14 tahun, dengan jumlah kasus pada kelompok umur 5-14 tahun yang lebih tinggi dari kelompok umur 0-4 tahun. Kasus BTA positif pada TB anak tahun 2010 adalah 5,4% dari semua kasus TB anak, sedangkan tahun 2011 naik menjadi 6,3% dan tahun 2012 menjadi 6%.

B. Patogenesis

Paru merupakan port d’entree lebih dari 98% kasus infeksi TB. Kuman TB dalam percik renik (droplet nuclei) yang ukurannya sangat kecil (<5 µm), akan terhirup dan dapat mencapai alveolus.. Pada sebagian kasus, kuman TB dapat dihancurkan seluruhnya oleh

mekanisme imunologis nonspesifik, sehingga tidak terjadi respons imunologis spesifik. Akan tetapi, pada sebagian kasus lainnya, tidak

seluruhnya dapat dihancurkan. Pada individu yang tidak dapat menghancurkan seluruh kuman, makrofag alveolus akan memfagosit kuman TB yang sebagian besar dihancurkan. Akan tetapi, sebagian kecil kuman TB yang tidak dapat dihancurkan akan terus berkembang biak di dalam makrofag, dan akhirnya menyebabkan lisis makrofag. Selanjutnya, kuman TB membentuk lesi di tempat tersebut, yang dinamakan fokus primer Ghon.


(15)

TB Anak

Juknis

3

Juknis Manajemen TB Anak

Dari fokus primer Ghon, kuman TB menyebar melalui saluran limfe menuju kelenjar limfe regional, yaitu kelenjar limfe yang mempunyai saluran limfe ke lokasi fokus primer. Penyebaran ini menyebabkan

terjadinya inflamasi di saluran limfe (limfangitis) dan di kelenjar limfe (limfadenitis) yang terkena. Jika fokus primer terletak di lobus bawah atau tengah, kelenjar limfe yang akan terlibat adalah kelenjar limfe parahilus (perihiler), sedangkan jika fokus primer terletak di apeks paru, yang akan terlibat adalah kelenjar paratrakeal. Gabungan antara fokus primer, limfangitis, dan limfadenitis dinamakan kompleks primer (primary complex).

Waktu yang diperlukan sejak masuknya kuman TB hingga terbentuknya kompleks primer secara lengkap disebut sebagai masa inkubasi. Hal ini berbeda dengan pengertian masa inkubasi pada proses infeksi lain, yaitu waktu yang diperlukan sejak masuknya kuman hingga timbulnya gejala

penyakit. Masa inkubasi TB bervariasi selama 2−12 minggu, biasanya berlangsung selama 4−8 minggu. Selama masa inkubasi tersebut, kuman

berkembang biak hingga mencapai jumlah 103–104, yaitu jumlah yang cukup untuk merangsang respons imunitas selular

Pada saat terbentuknya kompleks primer, TB primer dinyatakan telah terjadi. Setelah terjadi kompleks primer, imunitas selular tubuh terhadap TB terbentuk, yang dapat diketahui dengan adanya hipersensitivitas terhadap tuberkuloprotein, yaitu uji tuberkulin positif. Selama masa inkubasi, uji tuberkulin masih negatif. Pada sebagian besar individu dengan sistem imun yang berfungsi baik, pada saat sistem imun selular berkembang, proliferasi kuman TB terhenti. Akan tetapi, sejumlah kecil kuman TB dapat tetap hidup dalam granuloma. Bila imunitas selular telah terbentuk, kuman TB baru yang masuk ke dalam alveoli akan segera dimusnahkan oleh imunitas

selular spesifik (cellular mediated immunity, CMI).

Setelah imunitas selular terbentuk, fokus primer di jaringan paru

biasanya akan mengalami resolusi secara sempurna membentuk fibrosis atau kalsifikasi setelah terjadi nekrosis perkijuan dan enkapsulasi. Kelenjar limfe regional juga akan mengalami fibrosis dan enkapsulasi, tetapi

penyembuhannya biasanya tidak sesempurna fokus primer di jaringan paru. Kuman TB dapat tetap hidup dan menetap selama bertahun-tahun dalam kelenjar ini, tetapi tidak menimbulkan gejala sakit TB.


(16)

TB Anak

Juknis

Kompleks primer dapat juga mengalami komplikasi akibat fokus di paru atau di kelenjar limfe regional. Fokus primer di paru dapat membesar dan menyebabkan pneumonitis atau pleuritis fokal. Jika terjadi nekrosis perkijuan yang berat, bagian tengah lesi akan mencair dan keluar melalui bronkus sehingga meninggalkan rongga di jaringan paru (kavitas).

Kelenjar limfe hilus atau paratrakeal yang mulanya berukuran

normal pada awal infeksi, akan membesar karena reaksi inflamasi yang

berlanjut, sehingga bronkus dapat terganggu. Obstruksi parsial pada

bronkus akibat tekanan eksternal menimbulkan hiperinflasi di segmen

distal paru melalui mekanisme ventil (ball-valve mechanism). Obstruksi

total dapat menyebabkan atelektasis. Kelenjar yang mengalami inflamasi

dan nekrosis perkijuan dapat merusak dan menimbulkan erosi dinding

bronkus, sehingga menyebabkan TB endobronkial atau membentuk fistula.

Massa kiju dapat menimbulkan obstruksi komplit pada bronkus sehingga menyebabkan gabungan pneumonitis dan atelektasis, yang sering disebut sebagai lesi segmental kolaps-konsolidasi.

Selama masa inkubasi, sebelum terbentuknya imunitas selular, dapat terjadi penyebaran limfogen dan hematogen. Pada penyebaran limfogen, kuman menyebar ke kelenjar limfe regional membentuk kompleks primer, atau berlanjut menyebar secara limfohematogen. Dapat juga terjadi penyebaran hematogen langsung, yaitu kuman masuk ke dalam sirkulasi darah dan menyebar ke seluruh tubuh. Adanya penyebaran hematogen inilah yang menyebabkan TB disebut sebagai penyakit sistemik.

Penyebaran hematogen yang paling sering terjadi adalah dalam bentuk penyebaran hematogenik tersamar (occult hematogenic spread). Melalui cara ini, kuman TB menyebar secara sporadik dan sedikit demi sedikit sehingga tidak menimbulkan gejala klinis. Kuman TB kemudian akan mencapai berbagai organ di seluruh tubuh, bersarang di organ yang mempunyai vaskularisasi baik, paling sering di apeks paru, limpa, dan

kelenjar limfe superfisialis. Selain itu, dapat juga bersarang di organ lain

seperti otak, hati, tulang, ginjal, dan lain-lain. Pada umumnya, kuman di sarang tersebut tetap hidup, tetapi tidak aktif (tenang), demikian pula dengan proses patologiknya. Sarang di apeks paru disebut dengan fokus Simon, yang di kemudian hari dapat mengalami reaktivasi dan terjadi TB apeks paru saat dewasa.


(17)

TB Anak

Juknis

5

Juknis Manajemen TB Anak

Bentuk penyebaran hematogen yang lain adalah penyebaran hematogenik generalisata akut (acute generalized hematogenic spread). Pada bentuk ini, sejumlah besar kuman TB masuk dan beredar di dalam darah menuju ke seluruh tubuh. Hal ini dapat menyebabkan timbulnya manifestasi klinis penyakit TB secara akut, yang disebut TB diseminata.

Tuberkulosis diseminata ini timbul dalam waktu 2−6 bulan setelah terjadi

infeksi. Timbulnya penyakit bergantung pada jumlah dan virulensi kuman TB yang beredar serta frekuensi berulangnya penyebaran. Tuberkulosis diseminata terjadi karena tidak adekuatnya sistem imun pejamu (host) dalam mengatasi infeksi TB, misalnya pada anak bawah lima tahun (balita) terutama di bawah dua tahun.

Bentuk penyebaran yang jarang terjadi adalah protracted hematogenic spread. Bentuk penyebaran ini terjadi bila suatu fokus perkijuan di dinding vaskuler pecah dan menyebar ke seluruh tubuh, sehingga sejumlah besar kuman TB akan masuk dan beredar di dalam darah. Secara klinis, sakit TB akibat penyebaran tipe ini tidak dapat dibedakan dengan acute generalized hematogenic spread


(18)

TB Anak

Juknis

*1)

*4)

*Catatan:

1. Penyebaran hematogen umumnya terjadi secara sporadik (occult hematogenic spread). Kuman TB kemudian membuat fokus koloni di berbagai organ dengan vaskularisasi yang baik. Fokus ini berpotensi mengalami reaktivasi di kemudian hari.

2. Kompleks primer terdiri dari fokus primer (1), limfangitis (2), dan limfadenitis regional (3).

3. TB primer adalah kompleks primer dan komplikasinya.

4. TB pasca primer terjadi dengan mekanisme reaktivasi fokus lama TB (endogen) atau reinfeksi (infeksi sekunder) oleh kuman TB dari luar (eksogen), ini disebut TB tipe dewasa (adult type TB)


(19)

TB Anak

Juknis

7

Juknis Manajemen TB Anak

BAB II

DIAGNOSIS TB PADA ANAK

A. Penemuan Pasien TB Anak

Pasien TB anak dapat ditemukan dengan cara melakukan pemeriksaan pada : 1. Anak yang kontak erat dengan pasien TB menular.

Yang dimaksud dengan kontak erat adalah anak yang tinggal serumah atau sering bertemu dengan pasien TB menular. Pasien TB menular adalah terutama pasien TB yang hasil pemeriksaan sputumnya BTA positif dan umumnya terjadi pada pasien TB dewasa. Pemeriksaan kontak erat ini akan diuraikan secara lebih rinci dalam pembahasan

pada bab profilaksis TB pada anak.

2. Anak yang mempunyai tanda dan gejala klinis yang sesuai dengan TB anak.

Tuberkulosis merupakan penyakit infeksi sistemik dan organ yang paling sering terkena adalah paru. Gejala klinis penyakit ini dapat berupa gejala sistemik/umum atau sesuai organ terkait. Perlu ditekankan bahwa gejala klinis TB pada anak tidak khas, karena gejala serupa juga dapat disebabkan oleh berbagai penyakit selain TB.

Gejala sistemik/umum TB anak adalah sebagai berikut:

1. Berat badan turun tanpa sebab yang jelas atau berat badan tidak naik dengan adekuat atau tidak naik dalam 1 bulan setelah diberikan upaya perbaikan gizi yang baik.

2. Demam lama (≥2 minggu) dan/atau berulang tanpa sebab yang jelas

(bukan demam tifoid, infeksi saluran kemih, malaria, dan lain-lain). Demam umumnya tidak tinggi. Keringat malam saja bukan merupakan

gejala spesifik TB pada anak apabila tidak disertai dengan gejala-gejala

sistemik/umum lain.

3. Batuk lama ≥3 minggu, batuk bersifat non-remitting (tidak pernah reda atau intensitas semakin lama semakin parah) dan sebab lain batuk telah dapat disingkirkan.

4. Nafsu makan tidak ada (anoreksia) atau berkurang, disertai gagal tumbuh (failure to thrive).

5. Lesu atau malaise, anak kurang aktif bermain.

6. Diare persisten/menetap (>2 minggu) yang tidak sembuh dengan pengobatan baku diare.


(20)

TB Anak

Juknis

Gejala klinis spesifik terkait organ

Gejala klinis pada organ yang terkena TB, tergantung jenis organ yang terkena, misalnya kelenjar limfe, susunan saraf pusat (SSP), tulang, dan kulit, adalah sebagai berikut:

1. Tuberkulosis kelenjar (terbanyak di daerah leher atau regio colli):

Pembesaran KGB multipel (>1 KGB), diameter ≥1 cm, konsistensi

kenyal, tidak nyeri, dan kadang saling melekat atau konfluens. 2. Tuberkulosis otak dan selaput otak:

• Meningitis TB: Gejala-gejala meningitis dengan seringkali disertai gejala akibat keterlibatan saraf-saraf otak yang terkena.

• Tuberkuloma otak: Gejala-gejala adanya lesi desak ruang. 3. Tuberkulosis sistem skeletal:

• Tulang belakang (spondilitis): Penonjolan tulang belakang (gibbus). • Tulang panggul (koksitis): Pincang, gangguan berjalan, atau tanda

peradangan di daerah panggul.

• Tulang lutut (gonitis): Pincang dan/atau bengkak pada lutut tanpa sebab yang jelas.

• Tulang kaki dan tangan (spina ventosa/daktilitis). 4. Skrofuloderma:

Ditandai adanya ulkus disertai dengan jembatan kulit antar tepi ulkus (skin bridge).

5. Tuberkulosis mata:

• Konjungtivitis fliktenularis (conjunctivitis phlyctenularis). • Tuberkel koroid (hanya terlihat dengan funduskopi).

6. Tuberkulosis organ-organ lainnya, misalnya peritonitis TB, TB ginjal dicurigai bila ditemukan gejala gangguan pada organ-organ tersebut tanpa sebab yang jelas dan disertai kecurigaan adanya infeksi TB.

B. Pemeriksaan Penunjang untuk Diagnosis TB anak

TB merupakan salah satu penyakit menular dengan angka kejadian yang cukup tinggi di Indonesia. Diagnosis pasti TB seperti lazimnya penyakit menular yang lain adalah dengan menemukan kuman penyebab TB yaitu kuman Mycobacterium tuberculosis pada pemeriksaan sputum, bilas lambung, cairan serebrospinal, cairan pleura ataupun biopsi jaringan.

Diagnosis pasti TB ditegakkan berdasarkan pemeriksaan mikrobiologi yang terdiri dari beberapa cara, yaitu pemeriksaan mikroskopis apusan


(21)

TB Anak

Juknis

9

Juknis Manajemen TB Anak

langsung atau biopsi jaringan untuk menemukan BTA dan pemeriksaan biakan kuman TB. Pada anak dengan gejala TB, dianjurkan untuk melakukan pemeriksaan mikrobiologi. Pemeriksaan serologi yang sering digunakan tidak direkomendasikan oleh WHO untuk digunakan sebagai sarana diagnostik TB dan Direktur Jenderal BUK Kemenkes telah menerbitkan Surat Edaran pada bulan Februari 2013 tentang larangan penggunaan metode serologi untuk penegakan diagnosis TB. Pemeriksaan mikrobiologik sulit dilakukan pada anak karena sulitnya mendapatkan spesimen. Spesimen dapat berupa sputum, induksi sputum atau pemeriksaan bilas lambung selama 3 hari berturut-turut, apabila fasilitas tersedia. Pemeriksaan penunjang lain yang dapat dilakukan adalah pemeriksaan histopatologi (PA/Patologi Anatomi) yang dapat memberikan gambaran yang khas. Pemeriksaan PA akan menunjukkan gambaran granuloma dengan nekrosis perkijuan di tengahnya dan dapat pula ditemukan gambaran sel datia langhans dan atau kuman TB.

Perkembangan Terkini Diagnosis TB

Saat ini beberapa teknologi baru telah didukung oleh WHO untuk meningkatkan ketepatan diagnosis TB anak, diantaranya pemeriksaan biakan dengan metode cepat yaitu penggunaan metode cair, molekular (LPA=Line Probe Assay) dan NAAT=Nucleic Acid Amplification Test) (misalnya Xpert MTB/RIF). Metode ini masih terbatas digunakan di semua negara karena membutuhkan biaya mahal dan persyaratan laboratorium tertentu.

WHO mendukung Xpert MTB/RIF pada tahun 2010 dan telah mengeluarkan rekomendasi pada tahun 2011 untuk menggunakan Xpert MTB/RIF. Update rekomendasi WHO tahun 2013 menyatakan pemeriksaan Xpert MTB/RIF dapat digunakan untuk mendiagnosis TB MDR pada anak, dan dapat digunakan untuk mendiagnosis TB pada anak ada beberapa kondisi tertentu yaitu tersedianya teknologi ini. Saat ini data tentang penggunaan Xpert MTB/RIF masih terbatas yaitu menunjukkan hasil yang lebih baik dari pemeriksaan mikrokopis, tetapi sensitivitasnya masih lebih rendah dari pemeriksaan biakan dan diagnosis klinis, selain itu hasil Xpert MTB/RIF yang negatif tidak selalu menunjukkan anak tidak sakit TB. Cara Mendapatkan sampel pada Anak

1. Berdahak

Pada anak lebih dari 5 tahun dengan gejala TB paru, dianjurkan untuk melakukan pemeriksaan dahak mikroskopis, terutama bagi anak yang


(22)

TB Anak

Juknis

mampu mengeluarkan dahak. Kemungkinan mendapatkan hasil positif lebih tinggi pada anak >5 tahun.

2. Bilas lambung

Bilas lambung dengan NGT (Naso Gastric Tube) dapat dilakukan pada anak yang tidak dapat mengeluarkan dahak. Dianjurkan spesimen dikumpulkan selama 3 hari berturut-turut pada pagi hari.

3. Induksi Sputum

Induksi sputum relatif aman dan efektif untuk dikerjakan pada anak semua umur, dengan hasil yang lebih baik dari aspirasi lambung, terutama apabila menggunakan lebih dari 1 sampel. Metode ini bisa dikerjakan secara rawat jalan, tetapi diperlukan pelatihan dan peralatan yang memadai untuk melaksanakan metode ini.

Secara lebih lengkap metode ini dijelaskan pada lampiran.

Berbagai penelitian menunjukkan organ yang paling sering berperan sebagai tempat masuknya kuman TB adalah paru karena penularan TB sebagai akibat terhirupnya kuman M.tuberculosis melalui saluran nafas (inhalasi). Atas dasar hal tersebut maka baku emas cara pemeriksaan untuk menegakkan diagnosis TB adalah dengan cara menemukan kuman dalam sputum. Namun upaya untuk menemukan kuman penyebab TB pada anak melalui pemeriksaan sputum sulit dilakukan oleh karena sedikitnya jumlah kuman dan sulitnya pengambilan spesimen sputum.

Guna mengatasi kesulitan menemukan kuman penyebab TB anak dapat dilakukan penegakan diagnosis TB anak dengan memadukan gejala klinis dan pemeriksaan penunjang lain yang sesuai. Adanya riwayat kontak erat dengan pasien TB menular merupakan salah satu informasi penting untuk mengetahui adanya sumber penularan. Selanjutnya, perlu dibuktikan apakah anak telah tertular oleh kuman TB dengan melakukan uji tuberkulin.

Uji tuberkulin yang positif menandakan adanya reaksi hipersensitifitas

terhadap antigen (tuberkuloprotein) yang diberikan. Hal ini secara tidak langsung menandakan bahwa pernah ada kuman yang masuk ke dalam tubuh anak atau anak sudah tertular. Anak yang tertular (hasil uji tuberkulin positif) belum tentu menderita TB oleh karena tubuh pasien memiliki daya tahan tubuh atau imunitas yang cukup untuk melawan kuman TB. Bila daya tahan tubuh anak cukup baik maka pasien tersebut secara klinis akan tampak sehat dan keadaan ini yang disebut sebagai infeksi TB laten. Namun apabila daya tahan tubuh anak lemah dan tidak mampu mengendalikan kuman, maka anak akan menjadi menderita TB serta menunjukkan gejala


(23)

TB Anak

Juknis

11

Juknis Manajemen TB Anak

klinis maupun radiologis. Gejala klinis dan radiologis TB anak sangat tidak

spesifik, karena gambarannya dapat menyerupai gejala akibat penyakit

lain. Oleh karena itulah diperlukan ketelitian dalam menilai gejala klinis pada pasien maupun hasil foto toraks.

Pemeriksaan penunjang utama untuk membantu menegakkan diagnosis TB pada anak adalah membuktikan adanya infeksi yaitu dengan melakukan uji tuberkulin/mantoux test. Tuberkulin yang tersedia di Indonesia saat ini adalah PPD RT-23 2 TU dari Staten Serum Institute Denmark produksi dari Biofarma. Namun uji tuberkulin belum tersedia di semua fasilitas pelayanan kesehatan. Cara melaksanakan uji tuberkulin terdapat pada lampiran.

Pemeriksaan penunjang lain yang cukup penting adalah pemeriksaan foto toraks. Namun gambaran foto toraks pada TB tidak khas karena juga dapat dijumpai pada penyakit lain. Dengan demikian pemeriksaan foto toraks saja tidak dapat digunakan untuk mendiagnosis TB, kecuali gambaran TB milier. Secara umum, gambaran radiologis yang menunjang TB adalah sebagai berikut:

a. Pembesaran kelenjar hilus atau paratrakeal dengan/tanpa infiltrat

(visualisasinya selain dengan foto toraks AP, harus disertai foto toraks lateral)

b. Konsolidasi segmental/lobar c. Efusi pleura

d. Milier e. Atelektasis f. Kavitas

g. Kalsifikasi dengan infiltrat

h. Tuberkuloma

C . Diagnosis TB pada anak dengan Sistem Skoring

Dalam menegakkan diagnosis TB anak, semua prosedur diagnostik dapat dikerjakan, namun apabila dijumpai keterbatasan sarana diagnostik yang tersedia, dapat menggunakan suatu pendekatan lain yang dikenal sebagai sistem skoring. Sistem skoring tersebut dikembangkan diuji coba melalui tiga tahap penelitian oleh para ahli yang IDAI, Kemenkes dan didukung oleh WHO dan disepakati sebagai salah satu cara untuk mempermudah penegakan diagnosis TB anak terutama di fasilitas


(24)

TB Anak

Juknis

pelayanan kesehatan dasar. Sistem skoring ini membantu tenaga kesehatan agar tidak terlewat dalam mengumpulkan data klinis maupun pemeriksaan penunjang sederhana sehingga diharapkan dapat mengurangi terjadinya underdiagnosis maupun overdiagnosis TB.

Penilaian/pembobotan pada sistem skoring dengan ketentuan sebagai berikut:

• Parameter uji tuberkulin dan kontak erat dengan pasien TB menular mempunyai nilai tertinggi yaitu 3.

• Uji tuberkulin bukan merupakan uji penentu utama untuk menegakkan diagnosis TB pada anak dengan menggunakan sistem skoring.

• Pasien dengan jumlah skor ≥6 harus ditatalaksana sebagai pasien TB

dan mendapat OAT.

Setelah dinyatakan sebagai pasien TB anak dan diberikan pengobatan OAT (Obat Anti Tuberkulosis) harus dilakukan pemantauan hasil pengobatan secara cermat terhadap respon klinis pasien. Apabila respon klinis terhadap pengobatan baik, maka OAT dapat dilanjutkan sedangkan apabila didapatkan respons klinis tidak baik maka sebaiknya pasien segera dirujuk ke fasilitas pelayanan kesehatan rujukan untuk dilakukan pemeriksaan lebih lanjut.


(25)

TB Anak

Juknis

13

Juknis Manajemen TB Anak

Sistem skoring (scoring system) gejala dan pemeriksaan penunjang TB di fasyankes

Parameter 0 1 2 3 Skor

Kontak TB Tidak jelas

- Laporan keluarga, BTA (-) / BTA tidak jelas/ tidak tahu

BTA (+)

Uji tuberkulin (Mantoux)

Negatif - - Positif (≥10 mm

atau ≥5 mm pada imunokompromais) Berat Badan/

Keadaan Gizi

- BB/TB<90% atau BB/U<80%

Klinis gizi buruk atau BB/TB<70% atau BB/U<60% -Demam yang tidak diketahui penyebabnya

- ≥2 minggu -

-Batuk kronik - ≥3 minggu -

-Pembesaran kelenjar limfe kolli, aksila, inguinal

- ≥1 cm, lebih dari 1 KGB, tidak nyeri

-

-Pembengkakan tulang/sendi panggul, lutut, falang

- Ada pembengkakan -

-Foto toraks Normal/ kelainan tidak jelas Gambaran sugestif (mendukung) TB - -Skor Total

Gambar Alur diagnosis dan tatalaksana TB Anak di Puskesmas

Skor >6Beri OAT


(26)

TB Anak

Juknis

Jika ditemukan salah satu keadaan di bawah ini, pasien dirujuk ke fasilitas pelayanan kesehatan rujukan:

1. Foto toraks menunjukan gambaran efusi pleura atau milier atau kavitas 2. Gibbus, koksitis

3. Tanda bahaya:

 Kejang, kaku kuduk  Penurunan kesadaran

 Kegawatan lain, misalnya sesak napas Catatan:

Parameter Sistem Skoring:

 Kontak dengan pasien pasien TB BTA positif diberi skor 3 bila ada bukti tertulis hasil laboratorium BTA dari sumber penularan yang bisa diperoleh dari TB 01 atau dari hasil laboratorium.

 Penentuan status gizi:

— Berat badan dan panjang/ tinggi badan dinilai saat pasien datang (moment opname).

— Dilakukan dengan parameter BB/TB atau BB/U. Penentuan status gizi untuk anak usia <5 tahun merujuk pada buku KIA Kemenkes, sedangkan untuk anak usia >5 tahun merujuk pada kurva CDC 2000 (lihat lampiran).

— Bila BB kurang, diberikan upaya perbaikan gizi dan dievaluasi selama 1 bulan.

 Demam (≥2 minggu) dan batuk (≥3 minggu) yang tidak membaik

setelah diberikan pengobatan sesuai baku terapi di puskesmas

 Gambaran foto toraks menunjukkan gambaran mendukung TB berupa:

pembesaran kelenjar hilus atau paratrakeal dengan/tanpa infiltrat, atelektasis, konsolidasi segmental/lobar, milier, kalsifikasi dengan infiltrat, tuberkuloma.

Penegakan Diagnosis

 Diagnosis dengan sistem skoring ditegakkan oleh dokter. Apabila di fasilitas pelayanan kesehatan tersebut tidak tersedia tenaga dokter, pelimpahan wewenang terbatas dapat diberikan pada petugas kesehatan terlatih strategi DOTS untuk menegakkan diagnosis dan tatalaksana TB anak mengacu pada Pedoman Nasional.


(27)

TB Anak

Juknis

15

Juknis Manajemen TB Anak

 Anak dengan skor 6 yang diperoleh dari kontak dengan pasien BTA positif dan hasil uji tuberkulin positif, tetapi TANPA gejala klinis, maka

dilakukan observasi atau diberi INH profilaksis tergantung dari umur

anak tersebutFoto toraks bukan merupakan alat diagnostik utama pada TB anak

 Pasien usia balita yang mendapat skor 5, dengan gejala klinis yang meragukan, maka pasien tersebut dirujuk ke RS untuk evaluasi lebih lanjut

 Anak dengan skor 5 yang terdiri dari kontak BTA positif dan 2 gejala klinis lain, pada fasyankes yang tidak tersedia uji tuberkulin, maka dapat didiagnosis, diterapi dan dipantau sebagai TB anak. Pemantauan dilakukan selama 2 bulan terapi awal, apabila terdapat perbaikan klinis, maka terapi OAT dilanjutkan sampai selesai.

 Semua bayi dengan reaksi cepat (<2 minggu) saat imunisasi BCG dicurigai telah terinfeksi TB dan harus dievaluasi dengan sistem skoring TB anak

 Jika dijumpai skrofuloderma pasien dapat langsung didiagnosis TB  Untuk daerah dengan fasilitas pelayanan kesehatan dasar yang terbatas

(uji tuberkulin dan atau foto toraks belum tersedia) maka evaluasi dengan sistem skoring tetap dilakukan, dan dapat didiagnosis TB

dengan syarat skor ≥ 6 dari total skor 13.

 Pada anak yang pada evaluasi bulan ke-2 tidak menunjukkan perbaikan klinis sebaiknya diperiksa lebih lanjut adanya kemungkinan faktor penyebab lain misalnya kesalahan diagnosis, adanya penyakit penyerta, gizi buruk, TB MDR maupun masalah dengan kepatuhan berobat dari pasien. Apabila fasilitas tidak memungkinkan, pasien dirujuk ke RS. Yang dimaksud dengan perbaikan klinis adalah perbaikan gejala awal yang ditemukan pada anak tersebut pada saat diagnosis.


(28)

TB Anak

Juknis


(29)

TB Anak

Juknis

17

Juknis Manajemen TB Anak D . Tuberkulosis Anak Dalam Keadaan Khusus

Sebagian besar kasus TB anak adalah kasus TB paru dengan lesi minimal dengan gejala klinis yang ringan, tidak mengancam kehidupan ataupun menimbulkan kecacatan. Pada beberapa kasus, dapat muncul gejala klinis yang berat seperti TB meningitis, TB milier, dll.

Tingkat layanan primer dengan fasilitas terbatas, mungkin tidak mampu melakukan diagnosis dan tatalaksana pasien TB dengan gejala klinis yang berat. Dokter dan petugas layanan primer harus mampu mengenali gejala awal TB dengan gejala klinis yang berat dan mengetahui waktu yang tepat untuk merujuk. Sehubungan dengan itu, akan diuraikan secara ringkas, hal- hal yang penting untuk pengenalan dan tatalaksana awal kasus TB dengan gejala klinis yang berat pada anak. Pelayanan kesehatan sekunder wajib mencatat kasus TB dengan gejala klinis yang berat ini sesuai dengan Program Nasional Pengendalian TB

1. TB dengan konfirmasi bakteriologis

Pada anak kuman TB sangat sulit ditemukan disamping karena sulitnya mendapatkan spesimen pemeriksaan, TB anak bersifat paucibacillary (kuman sedikit). Sehingga tidak ditemukannya kuman TB pada pemeriksaan dahak tidak menyingkirkan diagnosis TB anak.

TB dengan konfirmasi bakteriologis terdiri dari hasil positif baik dengan

pemeriksaan BTA, biakan maupun tes cepat.

TB anak yang sudah mengalami perjalanan penyakit post primer, dapat ditemukan hasil BTA positif pada pemeriksaan dahak, sama dengan pada dewasa. Hal ini biasa terjadi pada anak usia remaja awal. Anak dengan BTA positif ini memiliki potensi untuk menularkan kuman M tuberculosis kepada orang lain di sekitarnya. Oleh karena itu pada anak terutama dengan gejala utama batuk dan dapat mengeluarkan dahak sangat dianjurkan untuk dilakukan pemeriksaan dahak mikroskopis. Selain itu apabila memungkinkan, spesimen untuk pemeriksaan laboratorium dapat diperoleh melalui aspirasi dahak, bilasan lambung atau induksi sputum,

Berdasarkan data Program TB Kementerian Kesehatan pada tahun 2011, prosentase kasus TB BTA positif pada anak 0-14 tahun adalah 6,3 % dari seluruh kasus TB anak, angka ini meningkat dari tahun 2010 yaitu sebesar 5,3%.


(30)

TB Anak

Juknis

2. Tuberkulosis Meningitis

Tuberkulosis meningitis, merupakan salah satu bentuk TB pada Sistem Saraf Pusat yang sering ditemukan pada anak, dan merupakan TB dengan gejala klinis berat yang dapat mengancam nyawa, atau meninggalkan gejala sisa pada anak.

Anak biasanya datang dengan keluhan awal demam lama, sakit kepala, diikuti kejang berulang dan kesadaran menurun khususnya jika terdapat bukti bahwa anak telah kontak dengan pasien TB dewasa BTA positif. Apabila ditemukan gejala-gejala tersebut, harus segera dirujuk ke fasilitas pelayanan kesehatan rujukan. Pada keadaan ini, diagnosis dengan sistem skoring tidak direkomendasikan.

Di rumah sakit rujukan, akan dilakukan anamnesis, pemeriksaan

fisik dan dilengkapi dengan uji tuberkulin, laboratorium darah serta

pengambilan cairan serebrospinal untuk dianalisis. Apabila didapatkan tanda peningkatan tekanan intrakranial seperti muntah-muntah dan edema papil, perlu dilakukan pemeriksaan CT Scan kepala atau MRI, untuk mencari kemungkinan komplikasi seperti hidrosefalus. Apabila keadaan anak dengan TB meningitis sudah melewati masa kritis, maka pemberian OAT dapat dilanjutkan dan dipantau di fasilitas pelayanan kesehatan primer.

3. TB Milier

Tuberkulosis milier termasuk salah satu bentuk TB dengan gejala klinis berat dan merupakan 3—7% dari seluruh kasus TB, dengan angka kematian yang tinggi (dapat mencapai 25% pada bayi). TB milier terjadi oleh karena adanya penyebaran secara hematogen dan diseminata, bisa ke seluruh organ, tetapi gambaran milier hanya dapat dilihat secara kasat mata pada foto torak. Terjadinya TB milier dipengaruhi oleh 3 faktor, yaitu

1. kuman M. tuberculosis (jumlah dan virulensi),

2. status imunologis pasien (nonspesifik dan spesifik), seperti infeksi

HIV, malnutrisi, infeksi campak, pertusis, diabetes melitus, gagal ginjal, keganasan, dan penggunaan kortikosteroid jangka lama 3. faktor lingkungan (kurangnya paparan sinar matahari, perumahan

yang padat, polusi udara, merokok, penggunaan alkohol, obat bius, serta sosioekonomi).


(31)

TB Anak

Juknis

19

Juknis Manajemen TB Anak

Gejala dan tanda awal TB milier sama dengan TB lainnya, dapat disertai sesak nafas, ronki dan mengi. Dalam keadaan lanjut bisa juga terjadi hipoksia, pneumotoraks, dan atau pneumomediastinum, sampai gangguan fungsi organ, serta syok.

Lesi milier dapat terlihat pada foto toraks dalam waktu 2—3 minggu setelah penyebaran kuman secara hematogen. Gambarannya sangat khas, yaitu berupa tuberkel halus (millii) yang tersebar merata di seluruh lapangan paru, dengan bentuk yang khas dan ukuran yang hampir seragam (1—3 mm).

Jika dokter dan petugas di fasyankes primer menemukan kasus dengan klinis diduga TB milier, maka wajib dirujuk ke RS rujukan. Diagnosis ditegakkan melalui rewayat kontak dengan pasien TB BTA positif, gejala klinis dan radiologis yang khas. Selain itu perlu dilakukan pemeriksaan pungsi lumbal walaupun belum timbul kejang atau penurunan kesadaran. Dengan pengobatan yang tepat, perbaikan TB milier biasanya berjalan lambat. Respon keberhasilan terapi antara lain adalah menghilangnya demam setelah 2—3 minggu pengobatan, peningkatan nafsu makan, perbaikan kualitas hidup sehari-hari, dan peningkatan berat badan. Gambaran milier pada foto toraks berangsur-angsur menghilang dalam 5—10 minggu, tetapi mungkin juga belum ada perbaikan sampai beberapa bulan. Pasien yang sudah dipulangkan dari RS dapat melanjutkan pengobatan di fasyankes primer.

4. Tuberkulosis Tulang/ Sendi

Tuberkulosis tulang atau sendi merupakan suatu bentuk infeksi TB ekstrapulmonal yang mengenai tulang atau sendi. Insidens TB sendi berkisar 1—7% dari seluruh TB. Tulang yang sering terkena adalah: tulang belakang (spondilitis TB), sendi panggul (koksitis), dan sendi lutut (gonitis).

Gejala dan tanda spesifik spesifik berupa bengkak, kaku, kemerahan,

dan nyeri pada pergerakan dan sering ditemukan setelah trauma. Bisa ditemukan gibbus yaitu benjolan pada tulang belakang yang umumnya seperti abses tetapi tidak menunjukkan tanda-tanda peradangan. Warna benjolan sama dengan sekitarnya, tidak nyeri tekan, dan menimbulkan abses dingin. Kelainan neurologis terjadi pada keadaan spondilitis yang lanjut, membutuhkan operasi bedah sebagai tatalaksananya


(32)

TB Anak

Juknis

Kelainan pada sendi panggul dapat dicurigai jika pasien berjalan pincang dan kesulitan berdiri. Pada pemeriksaan terdapat pembengkakan di daerah lutut, anak sulit berdiri dan berjalan, dan kadang-kadang

ditemukan atrofi otot paha dan betis.

Pemeriksaan penunjang yang diperlukan adalah foto radiologi, CT scan dan MRI. Prognosis TB tulang atau sendi sangat bergantung pada derajat kerusakan sendi atau tulangnya. Pada kelainan minimal umumnya dapat kembali normal, tetapi pada kelainan yang sudah lanjut dapat menimbulkan sekuele (cacat) sehingga mengganggu mobilitas pasien. 5. Tuberkulosis Kelenjar

Infeksi TB pada kelenjar limfe superfisial, yang disebut dengan skrofula,

merupakan bentuk TB ekstrapulmonal pada anak yang paling sering terjadi, dan terbanyak pada kelenjar limfe leher. Kebanyakan kasus timbul 6—9 bulan setelah infeksi awal M. tuberculosis, tetapi beberapa kasus dapat timbul bertahun-tahun kemudian. Lokasi pembesaran kelenjar limfe yang sering adalah di servikal anterior, submandibula, supraklavikula, kelenjar limfe inguinal, epitroklear, atau daerah aksila. Kelenjar limfe biasanya membesar perlahan-lahan pada stadium awal penyakit. Pembesaran kelenjar limfe bersifat kenyal, tidak keras, discrete,

dan tidak nyeri. Pada perabaan, kelenjar sering terfiksasi pada jaringan

di bawah atau di atasnya. Limfadenitis ini paling sering terjadi unilateral, tetapi infeksi bilateral dapat terjadi karena pembuluh limfatik di daerah dada dan leher-bawah saling bersilangan. Uji tuberkulin biasanya menunjukkan hasil positif, Gambaran foto toraks terlihat normal.

Diagnosis definitif memerlukan pemeriksaan histologis dan

bakteriologis yang diperoleh melalui biopsi, yang dapat dilakukan di fasilitas rujukan.

6. Tuberkulosis Pleura

Efusi pleura adalah penumpukan abnormal cairan dalam rongga pleura. Salah satu etiologi yang perlu dipikirkan bila menjumpai kasus efusi pleura di Indonesia adalah TB. Efusi pleura TB bisa ditemukan dalam 2 bentuk, yaitu (1) cairan serosa, bentuk ini yang paling banyak dijumpai ; (2) empiema TB, yang merupakan efusi pleura TB primer yang gagal mengalami resolusi dan berlanjut ke proses supuratif kronik.


(33)

TB Anak

Juknis

21

Juknis Manajemen TB Anak

nonproduktif (94%), nyeri dada (78%), biasanya unilateral (95%). Pasien juga sering datang dalam keadaan sesak nafas yang hebat. Pemeriksaan foto toraks dijumpai kelainan parenkim paru. Efusi pleura hampir selalu terjadi di sisi yang sama dengan kelainan parenkim parunya. Untuk

diagnosis definitif dan terapi, pasien ini harus segera dirujuk.

Penunjang diagnostik yang dilakukan di fasilitas rujukan adalah analisis cairan pleura, jaringan pleura dan biakan TB dari cairan pleura. Drainase cairan pleura dapat dilakukan jika cairan sangat banyak. Penebalan pleura sebagai sisa penyakit dapat terjadi pada 50% kasus. 7. Tuberkulosis Kulit

Skrofuloderma merupakan manifestasi TB kulit yang paling khas dan paling sering dijumpai pada anak. Skrofuloderma terjadi akibat penjalaran perkontinuitatum dari kelenjar limfe yang terkena TB. Manifestasi klinis skrofuloderma sama dengan gejala umum TB anak. Skrofuloderma biasanya ditemukan di leher dan wajah, dan di tempat yang mempunyai kelompok kelenjar limfe, misalnya di daerah parotis, submandibula, supraklavikula, dan daerah lateral leher. Selain itu, skrofuloderma dapat timbul di ekstremitas atau trunkus tubuh, yang disebabkan oleh TB tulang dan sendi.

Lesi awal skrofuloderma berupa nodul subkutan atau infiltrat

subkutan dalam yang keras (firm), berwarna merah kebiruan, dan

tidak menimbulkan keluhan (asimtomatik). Infiltrat kemudian meluas/

membesar dan menjadi padat kenyal (matted and doughy). Selanjutnya

mengalami pencairan, fluktuatif, lalu pecah (terbuka ke permukaan

kulit), membentuk ulkus berbentuk linear atau serpiginosa, dasar yang bergranulasi dan tidak beraturan, dengan tepi bergaung (inverted),

berwarna kebiruan, disertai fistula dan nodul granulomatosa yang

sedikit lebih keras. Kemudian terbentuk jaringan parut/sikatriks

berupa pita/benang fibrosa padat, yang membentuk jembatan di

antara ulkus-ulkus atau daerah kulit yang normal. Pada pemeriksaan,

didapatkan berbagai bentuk lesi, yaitu plak dengan fibrosis padat, sinus yang mengeluarkan cairan, serta massa yang fluktuatif.

Diagnosis definitif adalah biopsi aspirasi jarum halus/ BAJAH/ fine

needle aspiration biopsy=FNAB,) ataupun secara biopsi terbuka (open biopsy). Pada pemeriksaan tersebut dicari adanya M. tuberculosis dengan cara biakan dan pemeriksaan histopatologis jaringan. Hasil PA


(34)

TB Anak

Juknis

dapat berupa granuloma dengan nekrotik di bagian tengahnya, terdapat sel datia Langhans, sel epiteloid, limfosit, serta BTA.

Tatalaksana pasien dengan TB kulit adalah dengan OAT dan tatalaksana lokal/topikal dengan kompres atau higiene yang baik.

8. Tuberkulosis Abdomen

TB abdomen mencakup lesi granulomatosa yang bisa ditemukan di peritoneum (TB peritonitis), usus, omentum, mesenterium, dan hepar. M tuberculosis sampai ke organ tersebut secara hematogen ataupun penjalaran langsung. Peritonitis TB merupakan bentuk TB anak yang jarang dijumpai, yaitu sekitar 1—5% dari kasus TB anak. Umumnya terjadi pada dewasa dengan perbandingan perempuan lebih sering dari laki-laki (2:1).

Pada peritonium terbentuk tuberkel dengan massa perkijuan yang

dapat membentuk satu kesatuan (konfluen). Pada perkembangan

selanjutnya, omentum dapat menggumpal di daerah epigastrium dan melekat pada organ-organ abdomen, sehingga pada akhirnya dapat menyebabkan obstruksi usus. Di lain pihak, kelenjar limfe yang terinfeksi dapat membesar, menyebabkan penekanan pada vena porta dengan akibat pelebaran vena dinding abdomen dan asites.

Umumnya, selain gejala khusus peritonitis TB, dapat timbul gejala klinis umum TB anak. Tanda yang dapat terlihat adalah ditemukannya massa intraabdomen dan adanya asites. Kadang-kadang ditemukan fenomena papan catur, yaitu pada perabaan abdomen didapatkan adanya massa yang diselingi perabaan lunak, kadang-kadang didapat pada obstruksi usus dan asites.

Tuberkulosis hati jarang ditemukan, hasil penyebaran hematogen melalui vena porta atau jalur limfatik, yaitu rupturnya kelenjar limfe porta hepatik yang membawa M. tuberculosis ke hati. Lesi TB di hati dapat berupa granuloma milier kecil (tuberkel). Granuloma dimulai dengan proliferasi fokal sel Kupffer yang membentuk nodul kecil sebagai reaksi terhadap adanya M. tuberculosis dalam sinusoid hati. Makrofag dan basil membentuk tuberkel yang mengandung sel-sel epiteloid, sel datia Langhans (makrofag yang bersatu), dan limfosit T.

Diagnosis pasti TB abdomen dilaksanakan di fasyankes rujukan. Beberapa pemeriksaan lanjutan yang akan dilakukan adalah foto polos abdomen, analisis cairan asites dan biopsi peritoneum. Pada keadaan


(35)

TB Anak

Juknis

23

Juknis Manajemen TB Anak

obstruksi usus karena perlengketan perlu dilakukan tindakan operasi. 9. Tuberkulosis Mata

Tuberkulosis pada mata umumnya mengenai konjungtiva dan kornea,

sehingga sering disebut sebagai keratokonjungtivitis fliktenularis (KF). Keratokonjungtivitis fliktenularis adalah penyakit pada konjungtiva dan kornea yang ditandai oleh terbentuknya satu atau lebih nodul inflamasi yang disebut flikten pada daerah limbus, disertai hiperemis di sekitarnya.

Umumnya ditemukan pada anak usia 3—15 tahun dengan faktor risiko berupa kemiskinan, kepadatan penduduk, sanitasi buruk, dan malnutrisi. Manifestasi klinis KF dapat berupa iritasi, nyeri, lakrimasi, fotofobia, dan dapat mengeluarkan sekret mata, disertai gejala umum TB.

Untuk menyingkirkan penyebab stafilokokus, perlu dilakukan usap

konjungtiva.

Pemeriksaan penunjang yang diperlukan adalah untuk mencari penyebabnya seperti uji tuberkulin, pemeriksaan radiologis, dan pemeriksaan feses. Komplikasi yang mungkin timbul adalah ulkus fasikuler, parut kornea, dan perforasi kornea. Penggunaan kortikosteroid topikal mempunyai efek yang baik tetapi dapat menyebabkan glaukoma dan katarak.

10. Tuberkulosis Ginjal

Tuberkulosis ginjal pada anak jarang karena masa inkubasinya bertahun-tahun. TB ginjal merupakan hasil penyebaran hematogen. Fokus perkijuan kecil berkembang di parenkim ginjal dan melepaskan kuman TB ke dalam tubulus. Massa yang besar akan terbentuk dekat

dengan korteks ginjal, yang mengeluarkan kuman melalui fistula ke

dalam pelvis ginjal. Infeksi kemudian menyebar secara lokal ke ureter, prostat, atau epididimis.

Tuberkulosis ginjal seringkali secara klinis tenang pada fase awal, hanya ditandai piuria yang steril dan hematuria mikroskopis. Disuria, nyeri pinggang atau nyeri abdomen dan hematuria makroskopis dapat terjadi sesuai dengan berkembangnya penyakit.

Superinfeksi dengan kuman lain, yang sering kali menyebabkan gejala yang lebih akut, dapat memperlambat diagnosis TB sebagai penyakit dasarnya. Hidronefrosis atau striktur ureter dapat memperberat


(36)

TB Anak

Juknis

penyakitnya. BTA dalam urine dapat ditemukan. Pielografi intravena

(PIV) sering menunjukkan massa lesi, dilatasi ureter-proksimal, filling defect kecil yang multipel, dan hidronefrosis jika ada striktur ureter. Sebagian besar penyakit terjadi unilateral. Pemeriksaan pencitraan lain yang dapat digunakan adalah USG dan CT scan.

Pengobatan TB ginjal bersifat holistik, yaitu selain pemberian OAT juga dilakukan penanganan terhadap kelainan ginjal yang terjadi. Apabila diperlukan tindakan bedah, dapat dilakukan setelah pemberian OAT selama 4—6 minggu.

11. Tuberkulosis Jantung

Tuberkulosis yang lebih umum terjadi pada jantung adalah perikarditis TB, tetapi hanya 0,5—4% dari TB anak. Perikarditis TB biasanya terjadi akibat invasi kuman secara langsung atau drainase limfatik dari kelenjar limfe subkarinal.

Gejalanya tidak khas, yaitu demam subfebris, lesu, dan BB turun. Nyeri dada jarang timbul pada anak. Dapat ditemukan friction rub dan suara jantung melemah dengan pulsus paradoksus. Terdapat cairan

perikardium yang khas, yaitu serofibrinosa atau hemoragik. Basil

Tahan Asam jarang ditemukan pada cairan perikardium, tetapi kultur dapat positif pada 30—70% kasus. Hasil kultur positif dari biopsi perikardium yang tinggi dan adanya granuloma sering menyokong diagnosis TB jantung. Selain OAT diberikan juga kortikosteroid. Perikardiotomi parsial atau komplit dapat diperlukan jika terjadi penyempitan perikard.

E . Klasifikasi dan Definisi Kasus TB anak

Beberapa istilah dalam definisi kasus TB anak:

• Terduga pasien TB anak: setiap anak dengan gejala atau tanda mengarah ke TB Anak

Pasien TB anak berdasarkan hasil konfirmasi bakteriologis: adalah pasien TB anak yang hasil pemeriksaan sediaan biologinya positif dengan pemeriksaan mikroskopis langsung atau biakan atau diagnostik cepat yang direkomendasi oleh Kemenkes RI. Pasien TB paru BTA positif masuk dalam kelompok ini.


(37)

TB Anak

Juknis

25

Juknis Manajemen TB Anak

Pasien TB anak berdasarkan diagnosis klinis: pasien TB anak yang TB yang tidak memenuhi kriteria bakteriologis dan mendapat pengobatan TB berdasarkan kelainan radiologi dan histopatologi sesuai gambaran TB. Termasuk dalam kelompok pasien ini adalah Pasien TB Paru BTA negatif, Pasien TB dengan BTA tidak diperiksa dan Pasien TB Ekstra Paru.

Penentuan klasifikasi dan tipe kasus TB pada anak tergantung dari hal

berikut:

Lokasi atau organ tubuh yang terkena:

a. Tuberkulosis Paru. Tuberkulosis paru adalah tuberkulosis yang menyerang jaringan (parenkim) paru, tidak termasuk pleura (selaput paru) dan kelenjar pada hilus.

b. Tuberkulosis Ekstra Paru. Tuberkulosis yang menyerang organ tubuh lain selain paru, misalnya pleura, selaput otak, selaput jantung (pericardium), kelenjar lymfe, tulang, persendian, kulit, usus, ginjal, saluran kencing, alat kelamin, dan lain-lain. Anak dengan gejala hanya pembesaran kelenjar tidak selalu menderita TB Ekstra Paru.

Pasien TB paru dengan atau tanpa TB ekstra paru diklasifikasikan

sebagai TB paru

Riwayat pengobatan sebelumnya: a. Baru

Kasus TB anak yang belum pernah mendapat pengobatan dengan OAT atau sudah pernah menelan OAT kurang dari satu bulan ( 28

dosis) dengan hasil pemeriksaan bakteriologis sesuai definisi di

atas, lokasi penyakit bisa paru atau ekstra paru. b. Pengobatan ulang

Kasus TB Anak yang pernah mendapat pengobatan dengan OAT lebih dari 1 bulan ( 28 dosis) dengan hasil pemeriksaan

bakteriologis sesuai definisi di atas, lokasi penyakit bisa paru atau

ekstra paru. Berdasarkan hasil pengobatan sebelumnya, anak dapat

diklasifikasikan sebagai kambuh, gagal atau pasien yang diobati

kembali setelah putus berobat (lost to follow-up). • Berat dan ringannya penyakit

a. TB ringan: tidak berisiko menimbulkan kecacatan berat atau kematian, misalnya TB primer tanpa komplikasi, TB kulit, TB kelenjar dll


(38)

TB Anak

Juknis

b. TB berat: TB pada anak yang berisiko menimbulkan kecacatan berat atau kematian, misalnya TB meningitis, TB milier, TB tulang dan sendi, TB abdomen, termasuk TB hepar, TB usus, TB paru BTA positif, TB resisten obat, TB HIV.

Status HIV

Pemeriksaan HIV direkomendasikan pada semua anak suspek TB pada daerah endemis HIV atau risiko tinggi terinfeksi HIV. Berdasarkan

pemeriksaan HIV, TB pada anak diklasifikasikan sebagai:

a. HIV positif b. HIV negatif

c. HIV tidak diketahui

d. HIV expose/ curiga HIV. Anak dengan orang tua penderita HIV

diklasifikasikan sebagai HIV expose, sampai terbukti HIV negatif. Apabila hasil pemeriksaan HIV menunjukkan hasil negatif pada anak usia < 18 bulan, maka status HIV perlu diperiksa ulang setelah usia > 18 bulan.

Resistensi Obat

Pengelompokan pasien TB berdasarkan hasil uji kepekaan M. tuberculosis terhadap OAT terdiri dari:

a. Monoresistance adalah M. tuberculosis yang resistan terhadap salah satu jenis OAT lini pertama.

b. Polydrug Resistance adalah M. tuberculosis yang resistan terhadap lebih dari satu jenis OAT lini pertama selain Isoniazid (H) dan Rifampisin (R) secara bersamaan.

c. Multi Drug Resistance (MDR) adalah M. tuberculosis yang resistan terhadap Isoniazid (H) dan Rifampisin (R) dengan atau tanpa OAT lini pertama lainnya.

d. Extensive Drug Resistance (XDR) adalah MDR disertai dengan

resistan terhadap salah satu OAT golongan fluorokuinolon dan

minimal salah satu dari OAT lini kedua jenis suntikan yaitu Kanamisin, Kapreomisin dan Amikasin.

e. Rifampicin Resistance adalah M. tuberculosis yang resistan terhadap Rifampisin dengan atau tanpa resistansi terhadap OAT lain yang dideteksi menggunakan metode pemeriksaan yang sesuai, pemeriksaan konvensional atau pemeriksaan cepat. Termasuk dalam kelompok ini adalah setiap resistansi terhadap rifampisin dalam bentuk Monoresistance, Polydrug Resistance, MDR dan XDR.


(39)

TB Anak

Juknis

27

Juknis Manajemen TB Anak

BAB III

PENGOBATAN TB ANAK

Tatalaksana medikamentosa TB Anak terdiri dari terapi (pengobatan)

dan profilaksis (pencegahan). Terapi TB diberikan pada anak yang sakit TB, sedangkan profilaksis TB diberikan pada anak yang kontak TB (profilaksis primer) atau anak yang terinfeksi TB tanpa sakit TB (profilaksis sekunder).

Beberapa hal penting dalam tatalaksana TB Anak adalah:

• Obat TB diberikan dalam paduan obat tidak boleh diberikan sebagai monoterapi.

• Pemberian gizi yang adekuat.

• Mencari penyakit penyerta, jika ada ditatalaksana secara bersamaan. A. Paduan OAT Anak

Prinsip pengobatan TB anak:

• OAT diberikan dalam bentuk kombinasi minimal 3 macam obat untuk mencegah terjadinya resistensi obat dan untuk membunuh kuman intraseluler dan ekstraseluler

• Waktu pengobatan TB pada anak 6-12 bulan. pemberian obat jangka panjang selain untuk membunuh kuman juga untuk mengurangi kemungkinan terjadinya kekambuhan

• Pengobatan TB pada anak dibagi dalam 2 tahap:

o Tahap intensif, selama 2 bulan pertama. Pada tahap intensif, diberikan minimal 3 macam obat, tergantung hasil pemeriksaan bakteriologis dan berat ringannya penyakit.

o Tahap Lanjutan, selama 4-10 bulan selanjutnya, tergantung hasil pemeriksaan bakteriologis dan berat ringannya penyakit.

Selama tahap intensif dan lanjutan, OAT pada anak diberikan setiap hari untuk mengurangi ketidakteraturan minum obat yang lebih sering terjadi jika obat tidak diminum setiap hari.

• Pada TB anak dengan gejala klinis yang berat, baik pulmonal maupun ekstrapulmonal seperti TB milier, meningitis TB, TB tulang, dan lain-lain dirujuk ke fasilitas pelayanan kesehatan rujukan.

• Pada kasus TB tertentu yaitu TB milier, efusi pleura TB, perikarditis TB, TB endobronkial, meningitis TB, dan peritonitis TB, diberikan


(40)

TB Anak

Juknis

kortikosteroid (prednison) dengan dosis 1-2 mg/kg BB/hari, dibagi dalam 3 dosis. Dosis maksimal prednisone adalah 60mg/hari. Lama pemberian kortikosteroid adalah 2-4 minggu dengan dosis penuh dilanjutkan tappering off dalam jangka waktu yang sama. Tujuan

pemberian steroid ini untuk mengurangi proses inflamasi dan mencegah

terjadi perlekatan jaringan.

• Paduan OAT untuk anak yang digunakan oleh Program Nasional Pengendalian Tuberkulosis di Indonesia adalah:

o Kategori Anak dengan 3 macam obat: 2HRZ/4HR

o Kategori Anak dengan 4 macam obat: 2HRZE(S)/4-10HR

• Paduan OAT Kategori Anak diberikan dalam bentuk paket berupa obat Kombinasi Dosis Tetap (OAT-KDT). Tablet OAT KDT ini terdiri dari kombinasi 2 atau 3 jenis obat dalam satu tablet. Dosisnya disesuaikan dengan berat badan pasien. Paduan ini dikemas dalam satu paket untuk satu pasien.

• OAT untuk anak juga harus disediakan dalam bentuk OAT kombipak untuk digunakan dalam pengobatan pasien yang mengalami efek samping OAT KDT.

Skema Panduan OAT Anak

Catatan : Mengacu kepada upaya Program Nasional Pengendalian TB, setelah pemberian pengobatan selama 6 bulan, dapat dilaporkan sebagai pasien dengan hasil akhir : Pengobatan Lengkap.


(41)

TB Anak

Juknis

29

Juknis Manajemen TB Anak

Tabel . Obat antituberkulosis (OAT) yang biasa dipakai dan dosisnya

Nama Obat

Dosis harian (mg/kgBB/

hari)

Dosis maksimal (mg /hari)

Efek samping Isoniazid (H) 10 (7-15) 300 Hepatitis, neuritis perifer,

hipersensitivitis

Rifampisin (R) 15 (10-20) 600 Gangguan gastrointestinal, reaksi kulit, hepatitis,

trombositopenia, peningkatan enzim hati, cairan tubuh berwarna oranye kemerahan Pirazinamid (Z) 35 (30-40) - Toksisitas hepar, artralgia,

gangguan gastrointestinal Etambutol (E) 20 (15–25) - Neuritis optik, ketajaman

mata berkurang, buta warna merah hijau, hipersensitivitas, gastrointestinal


(42)

TB Anak

Juknis

• Paduan OAT Kategori Anak dan peruntukannya secara lebih lengkap sesuai dengan tabel tabel berikut ini:

Jenis Fase

intensif

Fase

lanjutan Prednison Lama

TB Ringan 2HRZ 4HR - 6 bulan

Efusi pleura TB 2 mgg dosis penuh-

kemudian tappering off

TB BTA positif 2HRZE 4HR - TB paru dengan

tanda-tanda kerusakan luas:

2HRZ+E atau S

7-10HR 4 mgg dosis penuh- kemudian tappering off

9-12 bulan TB milier

TB + destroyed lung

Meningitis TB 10HR 4 mgg dosis penuh-

kemudian tappering off

12 bulan

Peritonitis TB 2 mgg dosis penuh-

kemudian tappering off

Perikarditis TB 2 mgg dosis penuh-

kemudian tappering off

Skeletal TB -

Kombinasi dosis tetap OAT KDT (FDC=Fixed Dose Combination)

Untuk mempermudah pemberian OAT sehingga meningkatkan keteraturan minum obat, paduan OAT disediakan dalam bentuk paket KDT/ FDC. Satu paket dibuat untuk satu pasien untuk satu masa pengobatan. Paket KDT untuk anak berisi obat fase intensif, yaitu rifampisin (R) 75mg, INH (H) 50 mg, dan pirazinamid (Z) 150 mg, serta obat fase lanjutan, yaitu R 75 mg dan H 50 mg dalam satu paket. Dosis yang dianjurkan dapat dilihat pada tabel berikut.

Tabel . Dosis kombinasi pada TB anak Berat badan (kg) 2 bulan RHZ (75/50/150) 4 bulan (RH (75/50) 5-7 1 tablet 1 tablet

8-11 2 tablet 2 tablet 12-16 3 tablet 3 tablet 17-22 4 tablet 4 tablet 23-30 5 tablet 5 tablet BB > 30 kg diberikan 6 tablet atau menggunakan KDT dewasa


(43)

TB Anak

Juknis

31

Juknis Manajemen TB Anak

Keterangan:

R: Rifampisin; H: Isoniasid; Z: Pirazinamid

• Bayi di bawah 5 kg pemberian OAT secara terpisah, tidak dalam bentuk kombinasi dosis tetap, dan sebaiknya dirujuk ke RS rujukan

• Apabila ada kenaikan BB maka dosis/jumlah tablet yang diberikan, menyesuaikan berat badan saat itu

• Untuk anak obesitas, dosis KDT menggunakan Berat Badan ideal (sesuai umur). Tabel Berat Badan berdasarkan umur dapat dilihat di lampiran • OAT KDT harus diberikan secara utuh (tidak boleh dibelah, dan tidak

boleh digerus)

• Obat dapat diberikan dengan cara ditelan utuh, dikunyah/dikulum (chewable), atau dimasukkan air dalam sendok (dispersable).

• Obat diberikan pada saat perut kosong, atau paling cepat 1 jam setelah makan

• Apabila OAT lepas diberikan dalam bentuk puyer, maka semua obat tidak boleh digerus bersama dan dicampur dalam satu puyer

B. Pemantauan dan Hasil Pengobatan TB Anak Pemantauan pengobatan pasien TB Anak

Pada fase intensif pasien TB anak kontrol tiap minggu, untuk melihat kepatuhan, toleransi dan kemungkinan adanya efek samping obat. Pada fase lanjutan pasien kontrol tiap bulan. Setelah diberi OAT selama 2 bulan, respon pengobatan pasien harus dievaluasi. Respon pengobatan dikatakan baik apabila gejala klinis berkurang, nafsu makan meningkat, berat badan meningkat, demam menghilang, dan batuk berkurang. Apabila respon pengobatan baik maka pemberian OAT dilanjutkan sampai dengan 6 bulan. Sedangkan apabila respon pengobatan kurang atau tidak baik maka pengobatan TB tetap dilanjutkan tetapi pasien harus dirujuk ke sarana yang lebih lengkap. Sistem skoring hanya digunakan untuk diagnosis, bukan untuk menilai hasil pengobatan.

Setelah pemberian obat selama 6 bulan, OAT dapat dihentikan dengan melakukan evaluasi baik klinis maupun pemeriksaan penunjang lain seperti foto toraks. Pemeriksaan tuberkulin tidak dapat digunakan sebagai pemeriksaan untuk pemantauan pengobatan, karena uji tuberkulin yang positif masih akan memberikan hasil yang positif. Meskipun gambaran radiologis tidak menunjukkan perubahan yang berarti, tetapi apabila


(44)

TB Anak

Juknis

dijumpai perbaikan klinis yang nyata, maka pengobatan dapat dihentikan dan pasien dinyatakan selesai.

Pada pasien TB anak yang pada awal pengobatan hasil pemeriksaan dahaknya BTA positif, pemantauan pengobatan dilakukan dengan melakukan pemeriksaan dahak ulang sesuai dengan alur pemantauan pengobatan pasien TB BTA pos.

Efek Samping pengobatan TB Anak

Pasien dengan keluhan neuritis perifer (misalnya: kesemutan) dan asupan piridoksin (vitamin B6) dari bahan makanan tidak tercukupi, maka dapat diberikan vitamin B6 10 mg tiap 100 mg INH.

Untuk pencegahan neuritis perifer, apabila tersedia piridoksin 10 mg/ hari direkomendasikan diberikan pada

• bayi yang mendapat ASI eksklusif, • pasien gizi buruk,

• anak dengan HIV positif.

Penanganan efek samping lain dari OAT pada anak mengacu pada buku Pedoman Nasional Pengendalian TB.

Tatalaksana pasien yang berobat tidak teratur

Ketidakpatuhan minum OAT pada pasien TB merupakan penyebab kegagalan terapi.

• Jika anak tidak minum obat >2 minggu di fase intensif atau > 2 bulan di fase lanjutan DAN menunjukkan gejala TB, beri pengobatan kembali mulai dari awal.

• Jika anak tidak minum obat <2 minggu di fase intensif atau <2 bulan di fase lanjutan DAN menunjukkan gejala TB, lanjutkan sisa pengobatan sampai selesai.

Pada pasien dengan pengobatan yang tidak teratur akan meningkatkan risiko terjadinya TB kebal obat.

Pengobatan ulang TB anak

Anak yang pernah mendapat pengobatan TB, apabila datang kembali dengan keluhan gejala TB, perlu dievaluasi apakah anak tersebut


(45)

benar-TB Anak

Juknis

33

Juknis Manajemen TB Anak

benar menderita TB. Evaluasi dapat dilakukan dengan cara pemeriksaan dahak atau sistem skoring. Evaluasi dengan sistem skoring harus lebih cermat dan dilakukan di fasilitas rujukan. Apabila hasil pemeriksaan

dahak menunjukkan hasil positif, maka anak diklasifikasikan sebagai kasus

Kambuh. Pada pasien TB anak yang pernah mendapat pengobatan TB, tidak dianjurkan untuk dilakukan uji tuberkulin ulang.


(46)

TB Anak

Juknis

BAB IV

MANAJEMEN TUBERKULOSIS PERINATAL

Pengelolaan neonatus dari ibu sakit TB

Kehamilan akan meningkatan risiko berkembangnya TB aktif pada wanita yang sebelumnya terinfeksi, terutama pada trimester terakhir atau pada periode awal pasca-natal. Kejadian TB pada ibu hamil meningkat secara bermakna, sejak awal epidemi HIV. Sekitar 2% dari ibu hamil yang terinfeksi HIV didiagnosis dengan TB, dan TB merupakan penyebab utama kematian ibu di daerah endemik TB HIV. Peningkatan risiko untuk bayi yang baru lahir dari ibu dengan TB dan TB/ HIV meliputi :

• infeksi dan penyakit TB

• transmisi HIV dari ibu-ke-bayi

• lahir prematur dan berat badan lahir rendah • kematian peri-natal dan neonatus

• menjadi yatim piatu

Pengelolaan TB pada kehamilan

TB sering tidak terdiagnosis pada ibu sebelum neonatusnya dicurigai atau terbukti TB. Manifestasi klinis TB pada kehamilan hampir sama bila dibandingkan dengan wanita yang tidak hamil dengan bentuk paling umum yaitu TB paru. TB diseminata terjadi pada 5-10% dari wanita hamil yang menderita TB, dan ini adalah risiko utama untuk terjadinya perinatal TB.

Oleh karena itu, semua wanita hamil di daerah endemik TB/HIV harus ditapis untuk gejala TB. Sama pentingnya untuk wanita hamil yang diduga TB harus dites HIV. Jika TB didiagnosis, terapi harus dimulai segera untuk mencegah penularan danmencegah kematian. Ibu hamil yang terinfeksi HIV dengan TB diobati dengan ART sesuai pedoman WHO. Ko-infeksi dengan TB merupakan indikasi tambahan untuk dimulai ART. Waktu yang optimal untuk memberikan ART tergantung pada jumlah CD4, toleransi terhadap pengobatan TB dan faktor klinis lainnya. Intervensi untuk mencegah penularan HIV dari ibu-ke-bayi disesuaikan dengan pedoman WHO.


(47)

TB Anak

Juknis

35

Juknis Manajemen TB Anak TB neonatal

Ada 2 istilah pada TB neonatal yang harus dibedakan yaitu :

• TB kongenital : terjadi ketika neonatus tertular M tuberculosis saat dalam rahim melalui penyebaran hematogen lewat vena umbilikal, atau saat persalinan melalui aspirasi atau meminum cairan amnion atau sekresi cervicovaginal yang terkontaminasi M tuberculosis. Gejala TB kongenital biasanya muncul pada minggu pertama kehidupan dan mortalitas TB kongenital tinggi.

• TB neonatal/TB perinatal : adalah ketika neonatus terinfeksi setelah lahir dengan terpapar pada kasus TB BTA (+), yaitu biasanya ibu atau kontak dekat lain. Penularan pascanatal terjadi secara droplet dengan patogenesis yang sama seperti TB pada anak.

Seringkali sulit membedakan antara TB kongenital dan TB neonatal/perinatal. Neonatus yang terpapar TB dapat bergejala ataupun tidak. Gejala TB pada neonatus mulai muncul minggu ke 2-3 setelah kelahiran. Gejala dan tanda

tidak spesifik, diagnosis sering terlambat oleh karena awalnya diduga sepsis.

Gejala awal seperti letargi, sulit minum, berat badan lahir rendah dan kesulitan pertambahan berat badan. Tanda klinis lain meliputi distres pernapasan, pneumonia yang sulit sembuh, hepatosplenomegali, limfadenopati, distensi abdomen dengan asites, atau gambaran sepsis neonatal dengan TB diseminata. Diagnosis TB harus dipertimbangkan sebagai diagnosis banding pada infeksi kronis neonatal yang berespon buruk terhadap terapi antimikroba, infeksi kongenital, dan pneumoni atipikal. Petunjuk yang paling utama dalam diagnosis TB pada neonatus yaitu riwayat ibu terinfeksi TB atau HIV. Poin utama pada riwayat ibu meliputi pneumonia yang sulit membaik, kontak dengan kasus indeks TB , dan riwayat pengobatan TB dalam 1 tahun terakhir.

Pemeriksaan penunjang yang diperlukan pada TB kongenital adalah pemeriksaan M. tuberculosis melalui darah vena umbilikus dan plasenta. Pada plasenta sebaiknya diperiksa gambaran histopatologis dengan kemungkinan adanya granuloma kaseosa dan BTA, bila perlu dilakukan kuretase endometrium untuk mencari endometritis TB.

Manajemen neonatus asimptomatik yang terpapar terhadap ibu dengan TB Setelah kelahiran, neonatus yang lahir dari ibu dengan suspek atau terbukti TB, harus dipastikan apakah sakit TB atau tidak. Penting untuk menentukan


(48)

TB Anak

Juknis

tingkat infeksi ibu dan susceptibility terhadap obat TB melalui pemeriksaan BTA dan biakan/ uji kepekaan. Tidak perlu memisahkan neonatus dari ibu jika ibu tidak memiliki MDR TB dan pemberian ASI dapat dilanjutkan. Imunisasi BCG sebaiknya tidak diberikan dahulu, sampai status TB neonatus tersebut diketahui. Imunisasi BCG juga sebaiknya tidak diberikan pada neonatus atau

bayi yang sudah dikonfirmasi terinfeksi HIV.

Jika neonatus tersebut tidak memiliki gejala (asimtomatik), dan ibunya terbukti TB yang sensitif dengan OAT, maka neonatus diberikan terapi pencegahan dengan isoniazid (10mg/kg) selama 6 bulan. Neonatus harus dipantau secara rutin setiap bulan, dan dievaluasi kemungkinan adanya gejala TB untuk memastikan TB aktif tidak berkembang.

Pada akhir bulan ke 6, bila bayi tetap asimptomatik, pengobatan dengan INH distop dan dilakukan uji tuberkulin. Jika uji tuberkulin negatif dan tidak terinfeksi HIV, maka dapat diberikan BCG 2 minggu setelahnya, Akan tetapi jika uji tuberkulin positif, harus dievaluasi untuk kemungkinan sakit TB.

Jika ibu terbukti tidak terinfeksi dan sakit TB, bayi harus diskrining TB. Jika tidak ada bukti infeksi TB, maka bayi harus dipantau secara teratur untuk memastikan penyakit TB aktif tidak berkembang.

Jika diagnosis sakit TB sudah dikonfirmasi atau bayi menunjukkan tanda

klinis sugestif TB, pengobatan harus dimulai oleh dokter spesialis anak. Imunisasi BCG diberikan 2 minggu setelah terapi jika bayi tidak terinfeksi HIV. Jika terinfeksi HIV, BCG tidak diberikan.

Neonatus yang lahir dari ibu yang MDR atau XDR-TB harus dirujuk ke ahli untuk menangani masalah ini. Kontrol infeksi diperlukan untuk mengurangi kemungkinan transmisi dari ibu ke anak yaitu dengan menggunakan masker. Tatalaksana neonatus dengan sakit TB

Neonatus sakit TB harus dirawat di ruang perinatologi atau NICU di fasilitas rujukan. Pengobatan TB kongenital dan TB neonatal sama, dan harus dilaksanakan oleh dokter yang berpengalaman dalam manajemen TB anak. Harus dilakukan investigasi lengkap dari ibu dan neonatus. Foto toraks dan pengambilan spesimen dari lokasi yang memungkinkan harus diambil, untuk membuktikan diagnosis TB pada neonatus. Pemberian OAT harus dimulai pada

bayi yang kita curigai TB sambil menunggu konfirmasi bakteriologis karena


(49)

TB Anak

Juknis

37

Juknis Manajemen TB Anak Respon baik terhadap terapi dapat dilihat dari nafsu makan yang meningkat, pertambahan berat badan dan perbaikan radiologis. Menyusui bayi tetap dilakukan oleh karena risiko penularan M tuberculosis melalui ASI dapat diabaikan. Demikian juga tentang OAT yang dikonsumsi ibu, hanya dieksresikan dalam jumlah kecil, dan tidak terbukti dapat menginduksi resistensi obat. Bayi tidak boleh dipisahkan dari ibu, oleh karena menyusui dapat diandalkan menjadi salah satu faktor yang dapat meningkatkan kelangsungan hidup neonatus dengan TB.


(50)

TB Anak

Juknis

*Catatan

1) Diagnosis TB pada ibu dibuktikan secara klinis, radiologis dan mikrobiologis. Bila ibu terdiagnosis TB aktif maka diobati dengan OAT. Apabila memungkinkan, bayi tetap disusui langsung, tetapi ibu harus memakai masker untuk mencegah penularan TB pada bayinya. Pada ibu yang sangat infeksius (BTA positif), bayi dipisahkan sampao terjadi konversi BTA sputum atau ibu tidak infeksius lagi, tetapi tetap diberikan ASI yang dipompa. Pemeriksaan ulangan BTA pada ibu yang memberikan ASI dilakukan 2 minggu setelah pengobatan. Dosis obat TB yang ditelan ibu mencapai ASI dalam jumlah maksimal 25% dosis terapeutik bayi.

2) Lakukan pemeriksaan plasenta (PA, makroskopik & mikroskopik), dan darah v.umbilikalis (Mikrobiologi=BTA & biakan TB).

3) Klinis:

• Prematuritas, berat lahir rendah, distres pernapasan,

hepato-splenomegali, demam, letargi, toleransi minum buruk, gagal tumbuh, distensi abdomen.

• Bila klinis sesuai sepsis bakterialis dapat diberikan terapi kombinasi.

4) Pemeriksaan penunjang :

• Foto rontgen toraks dan bilas lambung

• Bila pada evaluasi klinis terdapat limfadenopati, lesi kulit atau ear discharge, lakukan pemeriksaan mikrobiologis dan/atau PA

• Bila selama perjalanan klinis terdapat hepatomegali, lakukan

pemeriksaan USG abdomen, jika ditemukan lesi di hati, lanjutkan dengan biopsi hati

5) Imunisasi BCG sebaiknya tidak diberikan dahulu. Setelah ibu dinyatakan tidak infeksius lagi, maka dilakukan uji tuberkulin. Jika hasilnya negatif, isoniazid dihentikan dan diberikan BCG pada bayi.


(51)

TB Anak

Juknis

39

Juknis Manajemen TB Anak

BAB V

MANAJEMEN TB HIV PADA ANAK

Meningkatnya prevalens HIV membawa dampak peningkatan risiko paparan, progresivitas penyakit TB dan meningkatkan morbiditas dan mortalitas akibat TB serta masalah TB lainnya, misalnya TB diseminata (milier), TB Ekstra Paru, serta TB MDR. Fenomena ini dapat diamati pada daerah sub sahara di Afrika yang mempunyai angka pasien HIV dan koinfeksi TB cukup tinggi. Demikian pula dengan Indonesia, kecenderungan peningkatan pengidap HIV positif, terutama dengan meningkatnya penggunaan narkoba, akan meningkatkan insiden TB dengan masalah-masalah tertentu yang terjadi pada pengidap HIV positif. Seperti halnya pada dewasa, pada awal infeksi HIV saat imunitas masih baik tanda dan gejala TB tidak berbeda dengan anak tanpa HIV.

Tuberkulosis merupakan infeksi oportunistik yang paling sering ditemukan pada anak terinfeksi HIV dan menyebabkan peningkatan angka kesakitan dan kematian pada kelompok tersebut. Besarnya angka kejadian TB pada anak terinfeksi HIV sampai saat ini sulit diperoleh secara akurat. Meningkatnya jumlah kasus TB pada anak terinfeksi HIV disebabkan tingginya transmisi Mycobacterium tuberculosis dan kerentanan anak (CD 4 kurang dari 15%, umur di bawah 5 tahun). Meningkatnya kasus HIV pada orang dewasa telah berdampak terhadap peningkatan jumlah anak yang terinfeksi HIV pada umur yang rentan sehingga anak tersebut sangat mudah terkena TB terutama TB berat (milier dan meningitis)

Infeksi HIV menyebabkan imunokompromais pada anak sehingga diagnosis dan tatalaksana TB pada anak menjadi lebih sulit karena faktor berikut :

1. Beberapa penyakit yang erat kaitannya dengan HIV, termasuk TB, banyak mempunyai kemiripan gejala.

2. Interpretasi uji tuberkulin kurang dapat dipercaya. Anak dengan kondisi imunokompromais mungkin menunjukkan hasil negatif meskipun sebenarnya telah terinfeksi TB.

3. Anak yang kontak dengan orangtua pengidap HIV dengan BTA sputum positif mempunyai kemungkinan terinfeksi TB maupun HIV. Jika hal ini terjadi, dapat tejadi kesulitan dalam tatalaksana dan mempertahankan keteraturan pengobatan.


(52)

TB Anak

Juknis

Tanpa konfirmasi bakteriologis, diagnosis TB anak terutama berdasarkan

4 hal, yaitu : 1) kontak dengan pasien TB dewasa terutama yang BTA positif; 2) uji tuberkulin positif (>5 mm pada anak terinfeksi HIV); 3) gambaran sugestif TB secara klinis (misalnya Gibbus) dan 4 ) gambaran sugestif TB pada foto toraks 5) Respons terhadap OAT.

Kementerian Kesehatan Indonesia telah mengeluarkan Permenkes 21 th 2013, semua pasien TB wajib ditawarkan untuk tes HIV melalui pendekatan TIPK ( Tes atas Inisiasi Petugas Kesehatan)

World Health Organization merekomendasikan dilakukan pemeriksaan HIV pada suspek TB maupun sakit TB. Kecurigaan adanya HIV pada penderita, terutama:

a. Gejala-gejala yang menunjukkan HIV masih mungkin, yaitu infeksi

berulang (≥3 episode infeksi bakteri yang sangat berat (seperti

pneumonia, meningitis, sepsis dan sellulitis) pada 12 bulan terakhir), bercak putih di mulut (thrush), parotitis kronik, limfadenopati generalisata, hepatomegali tanpa penyebab yang jelas, demam yang menetap dan/atau berulang, disfungsi neurologis, herpes zoster (shingles), dermatitis HIV, penyakit paru supuratif yang kronik (chronic suppurative lung disease).

b. Gejala yang umum ditemukan pada anak dengan infeksi HIV, tetapi juga lazim ditemukan pada anak sakit yang bukan infeksi HIV, yaitu: otitis media kronik, diare persisten, gizi kurang atau gizi buruk.

c. Gejala atau kondisi yang sangat spesifik untuk anak dengan infeksi HIV,

yaitu: PCP (Pneumocystis carinii pneumonia), kandidiasis esofagus, LIP (lymphoid interstitial pneumonitis) atau Sarkoma Kaposi.

Skema permintaan HIV ini dinamakan Provider Initiated Testing and Counseling /PITC atau Konseling dan Tes HIV atas Inisiatif Petugas Kesehatan/ KTIPK tanpa melihat faktor risiko perilaku.

Mengingat adanya kondisi imunokompromais, cut-off point uji tuberkulin pada pasien HIV diturunkan menjadi 5 mm, sehingga hasil indurasi 5 mm saja pada uji tuberkulin sudah dikategorikan positif. Tuberkulosis paru pada bayi dapat bermanifestasi secara akut. Oleh karena itu, jika ibu mengidap HIV dan TB, adanya TB paru harus dipikirkan pada bayi yang tidak memberikan respons terhadap antibiotik standar. TB paru sulit dibedakan dengan LIP yang sering terjadi pada pasien dengan HIV berusia >2 tahun. Gejala khas LIP antara


(53)

TB Anak

Juknis

41

Juknis Manajemen TB Anak lain limfadenopati generalis dan simetris, pembesaran kelenjar parotis, dan jari tabuh.

Pengobatan TB HIV pada Anak

Tujuan pemberian OAT adalah mengobati pasien dengan efek samping minimal, mencegah transmisi kuman dan mencegah resistensi obat. Saat ini, paduan obat TB pada anak yang terinfeksi HIV yang telah disepakati WHO (2011) adalah INH, Rifampisin, PZA dan Etambutol selama fase intensif 2 bulan pertama dilanjutkan dengan minimal 4 bulan pemberian INH dan Rifampisin selama fase lanjutan. Pada TB milier dan meningitis TB diberikan INH, Rifampisin, PZA, Etambutol dan Streptomisin selama fase intensif selanjutnya INH dan Rifampisin selama 10 bulan fase lanjutan.

Tambahan terapi yang direkomendasikan untuk pasien anak HIV dan TB termasuk cotrimoxazole preventive therapy (CPT), antiretroviral therapy (ART) dan suplementasi piridoksin dengan dosis 10 mg/hari serta pemberian nutrisi.

Kategori diagnostik TB pada penderita HIV Fase awal Fase lanjutan TB ringan, TB paru BTA negatif, Limfadenitis TB 2RHZE RH (4-7 bulan)

TB tulang 2RHZE RH (10 bulan)

TB milier, TB meningitis 2RHZES RH (10 bulan)

Pasien TB anak yang terinfeksi HIV mempunyai kecenderungan relaps yang lebih besar dibanding anak yang tidak terinfeksi. Untuk mengatasi hal ini maka pengobatan TB anak terinfeksi HIV diberikan lebih lama yaitu 9 bulan sedangkan pada TB milier, meningitis TB dan TB tulang selama 12 bulan. Mortalitas TB pada anak terinfeksi HIV lebih besar dibanding anak yang tidak terinfeksi karena tingginya ko-infeksi oleh patogen lain, absorpsi dan penetrasi OAT terhadap organ yang terkena pada anak terinfeksi HIV jelek, misdiagnosis, kepatuhan kurang, malnutrisi berat dan imunosupresi berat.

Tatalaksana TB pada anak dengan HIV yang sedang atau akan mendapatkan pengobatan antiretroviral harus dilakukan lebih hati-hati dan memperhatikan interaksi antara obat. Interaksi antara obat TB dan antiretroviral dapat menyebabkan pengobatan HIV ataupun TB menjadi tidak efektif, serta bertambahnya risiko toksisitas.

Rifampisin misalnya, obat ini berinteraksi dengan obat penghambat enzim reverse transkriptase nonnukleosida (non-nucleoside reverse transcriptase inhibitor, NNRTI) dan pengambat enzim protease (protease inhibitors: PI).


(1)

TB Anak

Juknis

93

Juknis Manajemen TB Anak


(2)

(3)

TB Anak

Juknis

95

Juknis Manajemen TB Anak

Lampiran Tabel Berat Badan Menurut Umur (Sampai Usia 3 Tahun 5 Bulan)

Usia >80% <80% <60% Usia >80% <80% <60%

Bulan Kg Kg Kg Bulan Kg Kg Kg

0 3.3 2.6 2 0 3.2 2.6 1.9

1 4.3 3.4 2.6 1 4 3.2 2.4

2 5.2 4.2 3.1 2 4.7 3.8 2.8

3 6 4.8 3.6 3 5.4 4.3 3.2

4 6.7 5.4 4 4 6 4.8 3.6

5 7.3 5.8 4.4 5 6.7 5.4 4

6 7.8 6.2 4.7 6 7.2 5.8 4.3

7 8.3 6.6 5 7 7.7 6.2 4.6

8 8.8 7 5.3 8 8.2 6.6 4.9

9 9.2 7.4 5.5 9 8.6 6.9 5.2

10 9.5 7.6 5.7 10 8.9 7.1 5.3 11 9.9 7.9 5.9 11 9.2 7.4 5.5 12 10.2 8.2 6.1 12 9.5 7.6 5.7 13 10.4 8.3 6.2 13 9.8 7.8 5.9

14 10.7 8.6 6.4 14 10 8 6

15 10.9 8.7 6.5 15 10.2 8.2 6.1 16 11.1 8.9 6.7 16 10.4 8.3 6.2 17 11.3 9 6.8 17 10.6 8.5 6.4 18 11.5 9.2 6.9 18 10.8 8.6 6.5

19 11.7 9.4 7 19 11 8.8 6.6

20 11.8 9.4 7.1 20 11.2 9 6.7 21 12 9.6 7.2 21 11.4 9.1 6.8 22 12.2 9.8 7.3 22 11.5 9.2 6.9 23 12.4 9.9 7.4 23 11.7 9.4 7 24 12.6 10.1 7.6 24 11.9 9.5 7.1 25 12.8 10.2 7.7 25 12.1 9.7 7.3 26 13 10.4 7.8 26 12.3 9.8 7.4 27 13.1 10.5 7.9 27 12.4 9.9 7.4 28 13.3 10.6 8 28 12.6 10.1 7.6 29 13.5 10.8 8.1 29 12.8 10.2 7.7 30 13.7 11 8.2 30 12.9 10.3 7.7 31 13.8 11 8.3 31 13.1 10.5 7.9 32 14 11.2 8.4 32 13.3 10.6 8 33 14.2 11.4 8.5 33 13.4 10.7 8 34 14.4 11.5 8.6 34 13.6 10.9 8.2 35 14.5 11.6 8.7 35 13.8 11 8.3 36 14.7 11.8 8.8 36 13.9 11.1 8.3 37 14.8 11.8 8.9 37 14.3 11.4 8.6

38 15 12 9 38 14.4 11.5 8.6

39 15.2 12.2 9.1 39 14.6 11.7 8.8 40 15.3 12.2 9.2 40 14.8 11.8 8.9 41 15.5 12.4 9.3 41 14.9 11.9 8.9


(4)

TB Anak

Juknis

Lampiran Tabel Berat Badan Menurut Umur (Usia 3 Tahun 5 Bulan — 15 Tahun)

LAKI-LAKI (usia 3.5 —15 tahun) PEREMPUAN (usia 3.5 —15 tahun)

Usia >80% <80% <60% Usia >80% <80% <60%

Tahun Kg Kg Kg Tahun Kg Kg Kg

3.5 15.7 12.6 9.4 3.5 15.1 12.1 9.1

4 16.7 13.4 10 4 16 12.8 9.6

4.5 17.7 14.2 10.6 4.5 16.8 13.4 10.1

5 18.7 15 11.2 5 17.7 14.2 10.6

5.5 19.7 15.8 11.8 5.5 18.6 14.9 11.2

6 20.7 16.6 12.4 6 19.5 15.6 11.7

6.5 21.7 17.4 13 6.5 20.6 16.5 12.6

7 22.9 18.3 13.7 7 21.8 17.4 13.1

7.5 24 19.2 14.4 7.5 23.3 18.6 14

8 25.3 20.2 15.2 8 24.8 19.8 14.9

8.5 26.7 21.4 16 8.5 26.6 21.3 16

9 28.1 22.5 16.9 9 28.5 22.8 17.1

9.5 29.7 23.8 17.8 9.5 30.5 24.4 18.3

10 31.4 25.1 18.8 10 32.5 26 19.5

10.5 33.3 26.6 20 10.5 34.7 27.8 20.8

11 35.3 28.2 21.2 11 37 29.6 22.2

11.5 37.5 30 22.5 11.5 39.2 31.4 23.5

12 39.8 31.8 23.9 12 41.5 33.2 24.9

12.5 42.7 34.2 25.6 12.5 43.8 35 26.3

13 45.5 36.4 27.3 13 45.1 36.1 27.1

13.5 48 38.4 28.8 13.5 47.8 38.2 28.7

14 51 40.8 30.6 14 49.2 39.4 29.5

14.5 53.8 43 32.3 14.5 50.8 40.6 30.5


(5)

TB Anak

Juknis

97

Juknis Manajemen TB Anak


(6)

TB Anak

Juknis