HIPERTIROIDISME PADA PENDERITA GESTATIONAL TROPHOBLASTIC DISEASE (MOLA HIDATIDOSA).

Laporan Kasus

HIPERTIROIDISME PADA PENDERITA GESTATIONAL
TROPHOBLASTIC DISEASE (MOLA HIDATIDOSA)

I Gusti Ngurah Arika Fermiawan, I Made Pande Dwipayana, Program Pendidikan
Dokter Spesialis Ilmu Penyakit Dalam FK Unud/ RSUP Sanglah Denpasar

Pendahuluan
Insiden gestational trophoblastic disease (GTD) cukup luas dan tergantung pada
usia maternal, riwayat kehamilan tropoblastik sebelumnya dan faktor diet. Insiden
GTD di Amerika dan Eropa diperkirakan 1 per 1000 kehamilan, Inggris sekitar
1,5 per 1000 kelahiran, Jepang memiliki insiden dua kali lebih tinggi dan Cina
mungkin tujuh kali lebih tinggi, sedangkan di Indonesia 10 dari 1000 kehamilan
(1-4). Peningkatan insiden GTD ditemukan pada usia maternal lanjut. Studi
menunjukkan kemungkinan GTD terjadi pada wanita berusia lebih dari 40 tahun.
Riwayat sebelumnya mengalami GTD merupakan faktor resiko yang kuat.
Kehamilan mola hidatidosa merupakan salah satu bentuk kehamilan GTD. Pasien
dengan riwayat mola hidatidosa sebelumnya diperkirakan memiliki resiko 10 kali
untuk dapat kembali berulang (1,2).
Aktivitas tiroid selama kehamilan trimester pertama ditemukan meningkat,

dikarenakan stimulasi reseptor tyroid stimulating hormone (TSH) oleh Human
chorionic gonadotropin (hCG) (5). hCG merupakan hormon glikoprotein yang

secara struktural memiliki kemiripan dengan TSH (5,6). Ketika level hCG sangat
tinggi, terutama pada pasien dengan GTD atau tumor tropoblastik baik itu mola
hidatidosa ataupun choriocarcinoma , maka level serum TSH akan menjadi sangat
rendah (< 0.5 µIU/mL) yang akan menyebabkan peningkatan sekresi T4 dan T3.
Mola hidatidosa ini akan mensekresikan hCG dalam jumlah yang besar sebanding
dengan massa dari tumor itu sendiri (6). Hal ini akan memicu keadaan
hipertiroidisme pada pasien yang menderita tumor tropoblastik. Prevalensi
hipertiroidisme selama kehamilan mola ditemukan sekitar 7% (3). The New

1

2

England Trophoblastic Disease Centre memperkirakan 20% wanita dengan mola

komplit mengalami hipertiroidisme (2,7).
Berikut ini dilaporkan sebuah kasus perempuan dewasa dengan

hipertiroidisme pada kehamilan gestational trophoblastic disease mola hidatidosa.
Kasus ini diangkat karena selain termasuk kasus yang jarang juga untuk
mempelajari deteksi dini serta penatalaksanaan yang tepat pada kasus seperti ini.

Kasus
Seorang perempuan 43 tahun Suku Flores datang ke Poliklinik Obstetri
Ginekologi RSUP Sanglah pada tanggal 13 Oktober 2015 dengan keluhan utama
muncul benjolan di perut bawah sejak dua minggu yang lalu. Bersamaan dengan
munculnya benjolan di perut bawah penderita juga mengeluh muncul flek merah
kehitaman pervaginam. Penderita sempat mengira dirinya sedang hamil dengan
benjolan di perut bawah tersebut yang disertai keluhan mual dan muntah.
Dikatakan keluhan mual dan muntah sekitar ± 2-3 kali sehari. Riwayat abortus
disangkal. Riwayat haid satu bulan yang lalu dikatakan siklus tidak teratur, lama
haid 3-4 hari. Penderita menggunakan alat kontrasepsi berupa pil KB namun
diminum tidak teratur. Penderita sudah memiliki tiga orang anak lahir normal.
Selain keluhan diatas semenjak kehamilan ini, penderita juga merasakan
jantungnya sering berdebar sejak satu bulan yang lalu. Kedua tangan penderita
juga dikatakan sering gemetar. Riwayat penurunan berat badan disangkal
penderita. Penderita mengatakan tidak pernah mengalami keluhan seperti ini saat
hamil sebelumnya. Riwayat penyakit gondok, hipertensi, kencing manis, alergi,

penyakit jantung, penyakit ginjal, kanker disangkal penderita. Riwayat penyakit
yang sama pada keluarga disangkal.
Pada pemeriksaan fisik didapatkan keadaan umum penderita sakit sedang,
kesadaran compos mentis, dengan status gizi cukup (berat badan 52 kg, tinggi
badan 150 cm, indeks massa tubuh 23,1 kg/m2), tekanan darah 150/90 mmHg,
denyut nadi 110 kali/menit reguler isi cukup, laju napas 18 kali/menit reguler,
temperatur aksila 36,4 0C, dengan visual analog scale (VAS) 0. Pada pemeriksaan
mata ditemukan konjungtiva palpebra kedua mata pucat, tidak ditemukan tandatanda ikterus. Pada pemeriksaan leher JVP PR±0 cmH2O, tidak ditemukan

3

pembesaran kelenjar getah bening di leher, tidak ditemukan nodul atau
pembesaran pada area tiroid, tidak ditemukan bruit. Pada pemeriksaan dada,
pemeriksaan fisik paru dan jantung ditemukan dalam batas normal. Pada
pemeriksaan fisik abdomen tidak didapatkan distensi, bising usus dalam batas
normal, hepar dan lien tidak teraba, tidak ditemukan ballotement, perkusi
didapatkan suara timpani. Ekstrimitas ditemukan dalam batas normal.
Pada pemeriksaan ginekologi ditemukan tinggi fundus uteri 2 jari diatas
pusat. Tidak ditemukan denyut jantung janin. Tidak ditemukan ballotement. Pada
inspeksi vulva vagina ditemukan porsio licin, ostium tertutup, tidak ditemukan

fluksus dan fluor. Pada pemeriksaan vaginal toucher tidak ditemukan nyeri
goyang porsio, corpus uteri antefleksi, pada adneksa, parametrium, cavum
douglas tidak ditemukan kelainan.

Dari hasil pemeriksaan laboratorium awal tanggal 13 Oktober 2015
didapatkan WBC 7,10 x 103/µL, RBC 3,17 x 106/µL, HGB 8,2 g/dL, MCV 79,4
fL, MCH 25,9 pg, MCHC 32,6 g/dL, HCT 25,2 %, PLT 68 x 103/µL, SGOT 50,9
U/L, SGPT 45,2 U/L, Albumin 2,73 g/dL, GDS 96 mg/dL, BUN 21 mg/dL,
Kreatinin Serum 1,01 mg/dL, Natrium 134 mmol/L, Kalium 4,66 mmol/L, βhCG# > 225.000,00 mIU/mL (Nilai normal level β-hCG minggu pertama sampai
ketiga usia kehamilan berkisar 10 mIU/mL – 1000 mIU/mL; bulan kedua sampai
ketiga usia kehamilan 30.000 mIU/mL – 100.000 mIU/mL; dan pada trimester
kedua sampai ketiga, mulai menurun dan stabil antara 5000 mIU/mL sampai
30.000 mIU/mL). Pada pemeriksaan urinalisis ditemukan Spesific gravity 1,015.
pH 5, Leukosit 100 (++), Nitrite negatif, Protein urine 150 (+++), Glukosa urine
normal, Keton negatif, Urobilinogen 4 (++), Bilirubin urine 1 (+), Erytrosit 250
(5+), Colour brown, sedimen leukosit 3-5, eritrosit 8-10, silinder granula ++.
Dari hasil USG Obstetri Ginekologi didapatkan blast terisi sedikit, dengan
uterus ukuran 18,8 x 9,74 cm, tampak gambaran vesikel multipel intrauterine
dengan gambaran snow storm appearance, tak tampak kista pada adneksa, tak
tampak cairan bebas. Berdasarkan hasil anamnesis, pemeriksaan fisik serta

pemeriksaan penunjang yang telah dilakukan, oleh sejawat Obstetri dan
Ginekologi disimpulkan penderita menderita Mola Hidatidosa resiko tinggi
disertai anemia ringan hipokromik mikrositer, hipertensi dan trombositopenia.

4

Gambar 1. USG Ginekologi penderita menunjukkan gambaran snow storm appearance

Penderita akan direncanakan tindakan suction curretage namun karena
mengalami kelainan pada hasil pemeriksaan laboratorium darah lengkap serta
pada tekanan darah maka penderita dikonsulkan ke poliklinik penyakit dalam
pada tanggal 13 Oktober 2015 untuk mendapatkan penanganan di bidang penyakit
dalam. Dari bidang penyakit dalam disimpulkan pasien dengan anemia ringan
hipokromik mikrositer karena dicurigai anemia defisiensi besi dengan diagnosis
banding anemia karena penyakit kronik disertai trombositopenia dicurigai karena
reaktif, hipertensi stage II, hipoalbuminemia curiga karena inflamasi kronik.
Penderita mendapatkan terapi awal berupa tranfusi PRC sampai dengan Hb 10
gr/dL sesuai sejawat obgyn, tablet besi 3 x 200 mg per oral, vitamin C 3 x 100 mg
per oral, captopril 2 x 25 mg per oral. Penderira direncanakan pemeriksaan
hapusan darah tepi, serum iron (SI), TIBC, feritin, rontgen dada di ruangan.

Hari pertama perawatan di ruangan Cempaka Ginekologi (15 Oktober
2015) tekanan darah penderita didapatkan 180/100 mmHg dan penderita
mengeluh batuk-batuk kering sehingga terapi anti hipertensi captopril diganti
dengan ramipril 1 x 5 mg dan ditambahkan amlodipin 1 x 5 mg. Penderita masih
mengeluhkan flek pervaginam. Dari sejawat kebidanan penderita mendapatkan
terapi tranfusi PRC sampai dengan Hb 10 mg/dL, sulfas ferosus 3 x 200 mg per
oral, vitamin c 3 x 100 mg per oral, ondansentron 3 x 1 ampul.
Penderita masih mengeluhkan dada terasa berdebar, perasaan gugup yang
muncul tiba-tiba, tangan gemetar, sering merasa letih tanpa sebab yang jelas,
badan dirasakan lebih ringan dibandingkan dengan sebelum sakit, sering
berkeringat dan terasa lebih nyaman jika menggunakan kipas angin atau ditempat
yang sejuk. Telapak tangan penderita dikatakan terasa lebih hangat dari biasanya
semenjak perutnya membesar dan terkadang basah karena berkeringat, nafsu
makan penderita pun dikatakan lebih tinggi dibandingkan dengan biasanya.
Karena dicurigai mengarah ke gejala hipertiroidisme maka dari keluhan dan hasil

5

pemeriksaan fisik dihitung indeks Wayne pada penderita dan didapatkan hasil 22,
yang menandakan pasien dicurigai mengalami hipertiroidisme. Sehingga

direncanakan untuk dilakukan pemeriksaan fungsi tiroid, TSH dan FT4.
Hari kedua perawatan (16 Oktober 2015) hasil pemeriksaan fungsi tiroid
didapatkan TSH < 0.005 µIU/mL (normal: 0,5-5,5 µIU/mL), FT4 2,67 ng/dL
(normal: 0,7-2,0 ng/dL) menunjukkan penderita mengalami tanda hipertiroidisme.
Hasil pemeriksaan serum iron (SI) 83,8 µg/dL (normal: 40–155 µg/dL); TIBC 271
µg/dL (normal: 240-450 µg/dL); ferritin 97,35 ng/mL (normal: 11-307 ng/mL)
masih dalam batas normal sehingga anemia akibat defisiensi besi dapat
disingkirkan. Hasil pemeriksaan hapusan darah tepi didapatkan gambaran eritrosit
hipokromik mikrositer, leukosit kesan normal tidak ditemukan sel muda,
trombosit jumlah menurun sehingga disimpulkan gambaran bisitopenia. Hasil
rontgen dada didapatkan dalam batas normal. Sehingga penderita didiagnosis
dengan mola hidatidosa disertai hipertiroidisme curiga diakibatkan oleh β-hCG,
anemia hipokromik mikrositer curiga akibat penyakit kronik dan flek pervaginam,
trombositopenia curiga akibat reaktif, hipoalbuminemia curiga akibat inflamasi
kronik, hipertensi stage II. Dari penyakit dalam menambahkan terapi PTU 2 x 100
mg per oral, propanolol 1 x 10 mg per oral, dan terapi antihipertensi dilanjutkan
sedangkan pemberian tablet besi dan vitamin c dihentikan. Penderita direncanakan
untuk dilakukan pemeriksaan USG regio colli dan dikonsulkan ke divisi endokrin
ilmu penyakit dalam.


Gambar 2. Foto rontgen dada penderita pada hari pertama MRS (15/10/2015)

Hari ketiga perawatan (17 Oktober 2015) dari divisi endokrin ilmu
penyakit dalam menyarankan terapi hipertiroidisme berupa PTU ditingkatkan
menjadi 3 x 100 mg per oral, propanolol 3 x 10 mg per oral dan pemberian lugol 4
tetes setiap 6 jam, namun persedian lugol di depo obat kosong maka pemberian

6

ditunda. Hari keempat perawatan (18 Oktober 2015) pasien telah melakukan USG
regio colli dengan hasil tidak ditemukan kelainan pada regio colli. Penderita
mendapatkan tranfusi PRC sampai dengan target Hb 10 gr/dL sampai hari
kedelapan perawatan sebelum dilakukan tindakan kuretase. Sedangkan untuk
terapi farmakologi lainnya dilanjutkan.

Gambar 3. Foto USG Colli (18/10/2015)

Hari ke sembilan perawatan (23 Oktober 2015) penderita direncanakan
untuk dilakukan tindakan evakuasi mola di ruang operasi oleh sejawat kandungan
karena dirasa penderita telah optimal untuk dilakukan tindakan. Setelah tindakan

evakuasi mola penderita dikirim kembali ke ruangan cempaka ginekologi untuk
evaluasi pasca tindakan. Hari kesepuluh perawatan (24 Oktober 2015), satu hari
setelah evakuasi mola, penderita direncanakan untuk dilakukan pemeriksaan
fungsi tiroid ulang, dengan hasil TSH < 0,005 µIU/mL dan FT4 2,72 ng/dL.
Untuk terapi hipertiroidisme dan antihipertensi dilanjutkan. Hari keduabelas
perawatan (26 Oktober 2015) penderita direncanakan untuk pulang dan kontrol
kembali ke poliklinik kandungan dan endokrin interna.

Gambar 4. Jaringan hasil kuretase.

Tanggal 27 Oktober 2015 penderita kontrol ke poliklinik kandungan dan
penyakit dalam dengan membawa hasil pemeriksaan laboratorium. WBC 12,50 x
103/µL, RBC 3,20 x 106/µL, HGB 8,8 g/dL, MCV 83,6 fL, MCH 27,6 pg, MCHC

7

33,0 g/dL, HCT 26,7%, PLT 50 x 103/µL, Albumin 2,91 g/dL, SGOT 36 U/L,
SGPT 34 U/L, BUN 20,8 mg/dL, SC 0,80 mg/dL, Na 135 mmol/L, K 3,1 mmol/L,
GDS 90 mg/dL, B-hCG# 74.867,51 mIU/mL. Penderita datang kontrol dengan
membawa hasil pemeriksaan patologi anatomi uterus didapatkan hasil mola

hidatidosa tipe parsial. Keluhan yang sebelumnya saat rawat inap seperti berdebar,
tremor, keringat berlebih sudah dirasakan berkurang. Terapi hipertensi dan
hipertiroid dilanjutkan.

Gambar 5. Hasil histopatologi mola-endometrium

Pemeriksaan ulangan β-hCG# (19 November 2015) didapatkan 3374,0
mIU/mL. Hasil pemeriksaan fungsi tiroid (5 Desember 2015) didapatkan TSH
1,44 µIU/mL, FT4 0,748 ng/dL. Kontrol selanjutnya ke poliklinik endokrin
interna (23 Desember 2015) tidak ada keluhan dari penderita serta membawa hasil
pemeriksaan fungsi tiroid (21 Desember 2015) TSH 1,59 µIU/mL, FT4 1,01
ng/dL. Terapi PTU diturunkan menjadi 1x10 mg per oral, terapi hipertensi
dilanjutkan.

Pembahasan
A. Gestational trophoblastic disease (GTD)
Gestational trophoblastic disease (GTD) muncul dari proliferasi jaringan fetal

dan dapat menjadi metastasis, terdiri dari empat bentuk klinikopatologi, mola
hidatidosa (partial hydatidiform mole/PHM dan complete hydatidoform

mole/CHM), mola invasif, koriokarsinoma, dan placental site trophoblastic tumor

(PSTT) (1,2,8,9-11). Mola hidatidosa merupakan kehamilan abnormal yang
dikarakteristikkan dengan berbagai derajat proliferasi tropoblastik (baik
sitotropoblas dan sinsitiotropoblas) dan pembengkakan vesikular vili plasenta
berkaitan dengan ketidakberadaan atau abnormalitas embrio/fetus (11).

8

CHM muncul dari fertilisasi pada ovum yang kosong. Sperma haploid
paternal kemudian menduplikasikan kromosomnya sendiri. Fenomena ini disebut
dengan androgenesis, dengan pola kromosom menjadi 46 XX. Pada CHM tidak
ada jaringan embrionik yang muncul (1). Plasenta mengalami edema sekunder
sampai terbentuk villi korionik hidropik yang membesar dan pada sebagian besar
kasus, tidak ditemukan fetus, cord dan membran amnion (2,10,11). PHM
merupakan bentuk GTD yang jarang terjadi, menghasilkan konseptus triploid.
Pada tipe mola hidatiforme ini, dapat teridentifikasi struktur abnormal fetus atau
embrio. Pola kromosom tersering adalah 69 XXX, 69 XXY, dan 69 XYY, semua
jenis tersebut berasal dari paternal (1,2,10).
Tabel 1. Klasifikasi gestational trophoblastic disease (GTD) (1,2,9).
Kehamilan Mola
- Mola komplit
- Mola parsial

Neoplasma tropoblastik gestasional
- Histologically benign
- Invasive mole
- Placental-site tumor
- Choriocarcinoma
- Metastatic neoplasm

Tanda yang paling mudah untuk dilihat adalah ketidaksesuaian ukuran
uterus dan usia kehamilan. Pada GTD uterus membesar lebih cepat dibandingkan
dengan kehamilan intrauterin normal (1,2,8,10,11). Gejala klinis tersering dari
GTD biasanya perdarahan pervaginam, yang terjadi pada sekitar 97% pasien.
Perdarahan simptomatis bervariasi antar pasien mulai dari hanya berupa flek
sampai perdarahan masif dan dari bersifat intermiten sampai terus-menerus (1).
Pada pasien ditemukan keluhan berupa perut yang membesar dengan cepat dalam
dua minggu disertai flek pervaginam.
Hiperemesis gravidarum dapat juga digunakan sebagai penanda namun hal
ini dapat membingungkan dengan hiperemesis pada kehamilan normal. Gejala dan
tanda

biasanya

terjadi

terlambat

pada

trimester

pertama

dan

sering

membingungkan dengan gejala normal kehamilan sehingga biasanya diabaikan.
Gejala patognomonik GTD adalah preeklamsia. Pregnancy-induced hypertension
(PIH), preeklamsia jarang terlihat sebelum usia kehamilan 24 minggu. Beberapa
pasien dengan PIH terdeteksi pada trimester pertama atau pada awal trimester
kedua harus dicurigai menderita GTD (1,2,10,11). Pada penderita tidak ditemukan

9

keluhan mual muntah yang hebat namun didapatkan tekanan darah pasien yang
tinggi dibandingkan dengan sebelum kehamilannya saat ini. Pasien sebelumnya
tidak memiliki riwayat hipertensi.
Pemeriksaan ultrasound dapat membantu dalam menegakkan diagnosis
GTD. Pemeriksaan ini dapat dilakukan secara transabdominal, namun
pemeriksaan ultrasound melalui transvaginal lebih akurat dalam mendiagnosis
kehamilan molar. Pemeriksaan ini noninvasif, mudah dan terpercaya (1,8).
Karakteristik “snow pattern” dapat terlihat pada GTD dengan menggunakan
pencitraan ultrasound. Pola ini dsebabkan oleh echo multipel yang dibentuk pada
pertemuan antara villi molar dan jaringan disekitar, biasanya tanpa disertai fetus
(1,2,11). Pada pemeriksaan ultrasound Obstetri Ginekologi tanggal 13 Oktober
2015 didapatkan gambaran snow pattern.
Setiap

GTD

menghasilkan

kuantitas

β-hCG

(Human

Chorionic

Gonadotropin) yang berbeda dengan progresitas konsentrasi dari mola hidatidosa

(paling sedikit) sampai PSTT (paling banyak) (8). Tidak ditemukan perbedaan
antara kehamilan normal dengan GTD pada stadium awal dari perkembangan
penyakit ini. Sebagian besar gejala dan tanda akan mucul pada akhir trimester
pertama dan selama trimester kedua (1).
Klinisi mungkin akan terkecoh dengan kehamilan multipel yang juga
menghasilkan β-hCG yang tinggi pada awal kehamilan. Untuk itu tidak
disarankan membuat diagnosis hanya menggunakan pemeriksaan β-hCG. Hasil
terbaik akan diperoleh melalui kombinasi pemeriksaan level β-hCG dan
ultrasound. Misalnya diagnosis GTD didukung kuat jika level β-hCG melebihi
80.000 mIU/mL dan pencitraan ultrasound menunjukkan material echogenik
intrauterine dan tidak ada denyut jantung bayi. Setelah diagnosis kehamilan molar

tegak maka harus segera dilakukan terminasi (1). Pada pasien saat pertama kali
kontrol ke poliklinik obstetri ginekologi didapatkan hasil β-hCG# >225.000
mIU/mL (normal < 5 mIU/mL).
Penanganannya berupa dilatation and suction evacuation uterus yang
diikuti dengan kuretase atau histerektomi (1,6). Untuk mengurangi resiko
perdarahan, pemberian oksitosin harus dimulai pada awal prosedur atau setelah
sejumlah jaringan disingkirkan. Vesikel mola hidatidiform hasil evakuasi

10

berbentuk seperti “grape-like clusters”. Semua jaringan tersebut harus dikirim ke
bagian patologi anatomi untuk evaluasi dan konfirmasi diagnosis (1,11). Pada
pasien setelah dilakukan prosedur dilatasi dan kuretase, didapatkan jaringan
berbentuk seperti anggur (Gambar 4) dan hasil pemeriksaan sitologi patologi
anatomi jaringan hasil kuretase didapatkan gambaran mola hidatidosa cenderung
tipe parsial.

B. Hubungan GTD dan Hipertiroid
Karakteristik penting GTD kehamilan molar adalah kemampuannya untuk
memproduksi Human Chorionic Gonadotropin (hCG) (1,2). Level serum β-hCG
merupakan penanda yang lebih spesifik dan sensitif terhadap tumor tropoblastik
(11,12,13). Nilai normal level β-hCG minggu pertama sampai ketiga usia
kehamilan berkisar 10 mIU/mL – 1000 mIU/mL; bulan kedua sampai ketiga usia
kehamilan 30.000 mIU/mL – 100.000 mIU/mL; dan pada trimester kedua sampai
ketiga, mulai menurun dan stabil antara 5000 mIU/mL sampai 30.000 mIU/mL
(1). Besarnya level puncak bergantung pada massa plasenta. Level puncak akan
menjadi lebih tinggi dan berlangsung lama jika terdapat multipel fetus (6). Pada
kehamilan molar, nilai kuantitatif β-hCG tinggi untuk usia kehamilan, 50% pasien
dengan mola komplit memiliki level hCG > 100.000 mIU/mL. Sedangkan mola
parsial hanya 100.000
mIU/mL (11). Pada usia kehamilan 8-14 minggu perubahan serum hCG dan TSH
merupakan cerminan terbalik satu sama lain, dimana memiliki korelasi negatif
yang signifikan diantara TSH individu (titik nadir) dan level puncak hCG
(Gambar 6) (2).

11

Gambar 6. Pola perubahan TSH dan hCG sesuai dengan usia kehamilan normal. (2).

Pada 10% GTD, dapat ditemukan hipertiroidisme. Hipertiroidisme (yang
didefinisikan sebagai supresi TSH dengan peningkatan FT3 atau FT4) umumnya
terjadi pada penyakit tropoblastik dibandingkan dengan kehamilan normal (4,14).
Hal ini dipercaya disebabkan oleh produksi hCG oleh jaringan molar. Manifestasi
hipertiroidisme akan menghilang setelah dilakukan evakuasi mola (1,12,13). hCG
merupakan glikoprotein yang tersusun dari sub unit α dan hormon spesifik sub
unit β. Subunit α memiliki kemiripan dengan yang ditemukan hormon pituitari,
tyroid stimulating hormone (TSH), luteinizing hormone (LH) dan follicle
stimulating hormone (FSH). Subunit hCG keseluruhannya memiliki target satu

atau lebih reseptor G-protein coupled seven transmembrane dan memiliki derajat
homologi pada domain transmembrannya. Reseptor LH/hCG memiliki 45%
homologi dengan reseptor TSH (2,4,5,6,15).
Hipertiroidisme tropoblastik terjadi sebagai akibat dari stimulasi kelenjar
tiroid oleh hCG dan variasinya dimana sebagian terdesialasi pada bagian cterminal dari sub unit β. Desialasi parsial pada subunit β dari hCG berkaitan
dengan peningkatan aktivitas tirotropik in vitro (5,7,8). Pada level selular, hCG
dipercaya menigkatkan pelapasan cAMP pada tiroid, sehingga terjadi respon
degranulasi, dan sekresi tiroksin (5). Beberapa data mengindikasikan hCG
merupakan tirotropin lemah pada manusia (2). Jika dibandingkan, waktu paruh

12

plasma LH kira-kira 1 jam sedangkan hCG sekitar 24 jam karena tingginya
muatan asam sialik yang mencegah pengambilan dan degradasi oleh hati. hCG
komplit disintesis terutama di syncytiotropoblast. Sejumlah kecil subunit α dan β
juga disekresikan (6).
hCG dapat menyebabkan hipertiroid melalui reaksi silang dengan reseptor
TSH. Bentuk hipertiroidisme berkaitan dengan neoplasma tropoblast seperti mola
hidatiform, choriocarcinoma , karsinoma sel embrional, teratokarsinoma dan
karsinoma testikular (15). Hiperfungsi tiroid pada kehamilan molar berkaitan
dengan berlebihnya produksi hCG, yang memiliki aktifitas stimulasi tiroid
intrinsik yang bersifat lemah dan tirotropin molar, yang berbeda dari hCG dimana
memiliki ukuran molekul yang lebih besar dan durasi aksi yang lebih panjang
(12).
Analogi struktur antara hCG dan TSH dapat menyebabkan reaktivitas
silang terhadap reseptornya. Hal ini ditunjukkan dengan homologi molekul hCG
dan TSH begitupula dengan reseptornya, memungkinkan untuk terjadi reaktivitas
silang antara reseptor hCG dan TSH (8,13). Subunit β bebas muncul pada
kehamilan normal dan jumlah rata-rata kurang dari 4% total β-hCG dari jumlah
puncak hCG (level puncak total hCG 100.000 IU/L setelah 60-80 hari). Status
hipertiroid dapat memiliki rentangan dari peningkatan hormon tiroid asimptomatis
sampai dengan thyroid storm (12). Glinoer memperkirakan bahwa setiap
peningkatan 10.000 mU/mL pada serum hCG, FT4 akan meningkat 0,1 ng/dL dan
TSH berkurang 0,1 mIU/mL. Variasi molekular hCG pada kehamilan mola
meningkatkan potensi tirotropik. Pada sebuah jurnal, disebutkan pula hCG
memiliki potensi sekitar 1/10000 kali TSH manusia selama kehamilan normal
(13). Pada penderita didapatkan level serum TSH < 0.005 µIU/mL (normal: 0,55,5 µIU/mL), FT4 2,67 ng/dL (normal: 0,7-2,0 ng/dL) saat kadar serum β -hCG#
> 225.000,00 mIU/mL (Nilai normal level β-hCG minggu pertama sampai ketiga
usia kehamilan berkisar 10 mIU/mL – 1000 mIU/mL; bulan kedua sampai ketiga
usia kehamilan 30.000 mIU/mL – 100.000 mIU/mL; dan pada trimester kedua
sampai ketiga, mulai menurun dan stabil antara 5000 mIU/mL sampai 30.000
mIU/mL)

13

Level sirkulasi hCG yang tinggi dengan kemampuan aktivitas seperti TSH
pada trimester pertama mungkin akan menyebabkan penurunan yang rendah pada
TSH dan peningkatan konsentrasi FT4. Braunstein dan Hersman melaporkan
bahwa terdapat hubungan terbalik antara TSH dan hCG pada minggu ke 10-12
kehamilan, waktu puncak level hCG. Harada menunjukkan peningkatan FT4 dan
FT3 berkaitan dengan puncak hCG. Level TSH serum terutama antara minggu ke
7 dan 12 kehamilan jatuh pada titik nadir dan muncul sebagai bayangan cerminan
dari nilai puncak hCG. Studi kasus menunjukkan level serum hCG > 100.000
mIU/L biasanya menimbulkan gejala tiroksikosis (2,4). Hal ini berkaitan dengan
kesatuan klinis yang dikenal sebagai transient non autoimune hypertyroidism in
early pregnancy dimana hCG menjadi mediator utama pada hipertiroidisme (2).

Pasien dengan hipertiroid yang diakibatkan oleh tropoblas tidak ditandai
dengan gambaran khas yang berkaitan dengan penyakit grave (penyakit optalmik,
miksedem pretibial, dan acropachy) karena penyakit ini biasanya dalam durasi
yang pendek (8). Gejala klinis yang muncul pada hipertiroidisme akibat
tropoblastik diantaranya rasa lemah, penurunan berat badan, kelemahan otot,
keringat berlebih, rasa tegang atau gugup, intoleransi panas, takikardi, tremor,
palpitasi, sulit tidur, hipertensi, dan pembesaran minimal dari kelenjar tiroid
(2,7,14). Pada pasien didapatkan gejala dan tanda yang mengarah ke
hipertiroidisme berupa dada terasa berdebar, perasaan gugup yang muncul tibatiba, tangan gemetar, sering merasa letih tanpa sebab yang jelas, badan dirasakan
lebih ringan dibandingkan dengan sebelum sakit, sering berkeringat dan terasa
lebih nyaman jika menggunakan kipas angin atau ditempat yang sejuk. Telapak
tangan penderita dikatakan terasa lebih hangat dari biasanya semenjak perutnya
membesar dan terkadang basah karena berkeringat, nafsu makan penderita pun
dikatakan lebih tinggi dibandingkan dengan biasanya. Namun tanpa disertai tanda
hipertiroidisme khas seperti penyakit optalmik, mixedeme pretibia, dan
acropachy. Dari hasil penghitungan indeks Wayne pada penderita dan didapatkan

hasil 22, yang menandakan pasien dicurigai mengalami hipertiroidisme.

14

C. Penanganan Hipertiroid pada GTD
Hipertiroidisme klinis akibat penyakit tropoblastik ditangani dengan evakuasi dan
kuretase suction jaringan molar. Direkomendasikan untuk menggunakan infus
oksitosin saat awal prosedur operasi dan dilanjutkan beberapa jam setelah operasi
untuk mempertahankan kontraktilitas uterus (11). Tujuan dari pengobatan
hipertiroid adalah mencegah pelepasan T4 dan menghambat konversi menjadi T3,
menghambat aksi perifer dari hormon tiroid dan mengatasi faktor pencetus. Obat
yang digunakan untuk menangani kondisi ini adalah penghambat sintesis hormon
tiroid, seperti propylthiouracil dan metimazole, penghambat pelepasan hormon
tiroid, seperti iodine lugol atau litium. Penting untuk tidak memberikan terapi
iodine sampai satu jam setelah pemberian PTU, karena iodine akan menyebabkan
refleks pelepasan hormon tiroid. Efek perifer akibat hormon tiroid dapat
dihentikan dengan mengurangi laju konversi T4 menjadi T3 aktif. Pemberian PTU,
labetolol, dan glukokortiroid dapat mempengaruhi koversi ini. Efek perifer
hormon tiroid dapat dikurangi dengan pemberian penghambat-β, misalnya
propanolol

dan

esmolol

(2,7-10,12,14,15).

Pasien

dengan

bukti

klinis

hipertiroidisme, seperti takikardi, kulit hangat, dan tremor harus ditangani dengan
β-adrenergik bloker sebelum operasi dilatasi dan evakuasi karena tindakan
anestesi dapat memicu thyroid strom (1,2,10). Setelah terbukti menderita
hipertiroidisme berdasarkan klinis dan hasil pemeriksaan laboratorium maka
penderita diberikan terapi berupa PTU 3 x 100 mg per oral, propanolol 3 x 10 mg
per oral dan pemberian lugol 4 tetes setiap 6 jam, namun persedian lugol di depo
obat kosong maka pemberian ditunda.

D. Pemantauan Setelah Tindakan
Pemantauan setelah evakuasi mola hidatidosa penting untuk mendeteksi
kelanjutan tropoblastik (mola invasif atau koriokarsinoma). Untuk selanjutnya
pasien diikuti dengan memantau level β-hCG setiap 1-2 minggu dengan target
level kuantitatif β-hCG mencapai nilai normal. Setelah mencapai nilai level
kuantitatif β-hCG normal tiga kali maka untuk selanjutnya perlu dilakukan
pemeriksaan level kuantitatif β-hCG setiap 1-2 bulan dari 6 bulan sampai setahun
karena bisa menjadi insiden penyakit malignansi (1,3,11).

15

Insiden malignansi atau mola invasif sekitar 15%. Perkembangan penyakit
persisten setelah evakuasi mola komplit meningkat dengan bukti penanda
pertumbuhan tropoblastik seperti level hCG pre-evakuasi > 100.000 mIU/mL,
pertumbuhan uterine yang berlebih (ukuran >20 minggu), dan kista lutein teka
diameter > 6 cm. Pasien dengan ≥ 1 dari tanda tersebut memiliki 40% insiden
postmolar GTN dibandingkan dengan 4% pada pasien tanpa gejala tersebut
(1,3,11).
Jika terbukti terjadi keganasan GTD pada pasien maka modalitas terapi
selanjutnya berupa kemoterapi kombinasi menggunakan etoposide, methotrexate
dosis tinggi, actinomycin D, cyclophosphamide dan vincristine. Dikatakan tingkat
penyembuhannya 80-90% pada pasien dengan GTD resiko tinggi metastase (12).

Ringkasan
Telah

dilaporkan

seorang

perempuan

43

tahun,

Suku

Flores

dengan

hipertiroidisme yang diakibatkan oleh gestational trophoblastic disease mola
hidatidosa. Diagnosis ini dibuat berdasarkan anamnesis, riwayat, gejala dan tanda
klinis penderita serta hasil pemeriksaan penunjang. Kasus ini menarik untuk
diangkat karena selain termasuk kejadian yang jarang, penting untuk melakukan
deteksi dini dengan pemeriksaan fungsi tiroid pada pasien dengan penyakit
kehamilan tropoblastik serta penatalaksanaan yang tepat dan pemantauan fungsi
tiroid secara berkala untuk mencegah terjadinya komplikasi dapat diakibatkan
oleh hipertiroidisme.

Daftar Pustaka
1.

Hubbard JL, Hosmer SB. Hydatidiform mole. JAOA 1997;97(5):296-298.

2.

Kurdi MS. Trophoblastic Hyperthyroidism and Its Perioperative Concerns.
In: Tyroid Disorders-Focus on Hypertyroidism. India. Intech. 2014;9:243268.

3.

Hindumathi M, Saritha, Tejeswani, Ramamani. Hydati-form Mole with
Hyperthyroidism. Indian Journal of Mednodent and Allied Sciences.
2015;3(1):50-51.

4.

Walkington L, Webster J, Hancock BW, Everard J, Coleman RE.
Hyperthyroidism and human chorionic gonadotrophin production in

16

gestational trophoblastic disease. British Journal of Cancer 2011;104:1665–
1669.
5.

Ogueh O, Hawkins AP, Abbas A, Carter GD, Nicolaides KH, Johnson MR.
Maternal thyroid function in multifetal pregnancies before and after fetal
reduction. Journal of Endocrinology 2000;164:7-11.

6.

Hershman JM. Physiological and pathological aspects of the effect of human
chorionic gonadotropin on the thyroid. Best Practice & Research Clinical
Endocrinology & Metabolism 2004;18(2): 249–265.

7.

Padmanabhan LD, Mhaskar R, Mhaskar A, Vallikad E. Trophoblastic
Hyperthyroidism. JAPI 2003;51:1011-1013.

8.

Moskovitz JB, Bond MC. Molar Pregnancy-Induced Thyroid Storm. The
Journal of Emergency Medicine 2010;38(5):e71–e76.

9.

Kofinas JD, Kruczek A, Sample J, Eglinton GS. Thyroid Storm-Induced
Multi-Organ Failure In The Setting Of Gestational Trophoblastic Disease.
The Journal of Emergency Medicine 2015;48(1):35–38.

10. Almeida CED, Curi EF, Almeida CRD, Vieira DF. Thyrotoxic Crisis
Associated with Gestational Trophoblastic Disease. Rev Bras Anestesiol
2011;61(5):604-609.
11. Lurain JR. Gestational trophoblastic disease I: epidemiology, pathology,
clinical presentation and diagnosis of gestational trophoblastic disease, and
management of hydatidiform mole. Am J Obstet Gynecol 2010;531-539.
12. Khanna P, Kumar A, Dehran M. Gestational trophoblastic disease with
hyperthyroidism: Anesthetic management. J Obstet Anaesth Crit Care
2012;2:31-3.
13. Bhat S, Maletkovic J. A Hydatidiform Mole Can Cause Severe Gestational
Hyperthyroidism. Clin Thyroidol 2013;25:298–300.
14. Kushtagi P, Adiga P. Thyroid Disorders in Pregnancy. Indian Journal of
Clinical Practice 2009;20(6):475-514.
15. Meister LHF, Hauck PR, Graf H, Carvalho GA. Hyperthyroidism Due to
Secretion of Human Chorionic Gonadotropin in a Patient With Metastatic
Choriocarcinoma. Arq Bras Endocrinol Metab 2005;49(2):319-322.