PERBANDINGAN HUKUM PERKAWINAN DIBAWAH UMUR ANTARA HUKUM ADAT MADURA DENGAN UNDANG-UNDANG NOMER 1 TAHUN 1974 TENTANG PERKAWINAN.

PERBANDINGAN HUKUM PERKAWINAN DIBAWAH UMUR
ANTARA HUKUM ADAT MADURA
DENGAN UNDANG-UNDANG NOMER 1 TAHUN 1974
TENTANG PERKAWINAN
SKRIPSI
Diajukan untuk memenuhi persyaratan Gelar Sarjana Hukum pada
Fakultas Hukum UPN “Veteran” J awa timur

Oleh :
ADRIANSYAH
NPM. 0771010144

YAYASAN KESEJ AHTERAAN PENDIDIKAN DAN
PERUMAHAN UNIVERSITAS PEMBANGUNAN NASIONAL
“VETERAN” J AWA TIMUR
FAKULTAS HUKUM
PROGRAM STUDI ILMU HUKUM
SURABAYA
2011

Hak cipta @ milik UPN "Veteran" Jatim :

Dilarang mengutip sebagian atau seluruh karya tulis ini tanpa mencantumkan dan menyebutkan sumber.

KATA PENGANTAR

Segala puji syukur kehadirat Allah SWT, yang telah melimpahkan rahmat dan
hidayaNYA sehingga penulis dapat menyelesaikan Skripsi ini. Disini peneliti
mengambil judul : ”PERBANDINGAN HUKUM PERKAWINAN DIBAWAH
UMUR ANTARA HUKUM ADAT MADURA DENGAN UU NO.1 TAHUN 1974
TENTANG PERKAWINAN”.
Penyusunan Skripsi ini disusun untuk memenuhi persyaratan sesuai kurikulum
di Fakultas Hukum Universitas Pembangunan Nasional “Veteran” Jawa Timur.
Disamping itu dapat memberikan hal-hal yang berkaitan dengan disiplin ilmu dalam
penyusunan Skripsi.
Penulisan Skripsi ini dapat terselesaikan atas bantuan, bimbingan, dan dorongan
oleh beberapa pihak. Oleh karena itu mengucapkan banyak terima kasih yang tak
terhingga kepada:
1.

Bapak Haryo Sulistiyantoro, S.H., M.M selaku Dekan Fakultas Hukum Universitas
Pembangunan Nasional “Veteran” Jawa Timur


2.

Bapak Sutrisno, S.H., M.Hum selaku Wadek I Ilmu Hukum Fakultas Hukum
Universitas Pembangunan Nasional “Veteran” Jawa Timur dan Selaku Dosen
Pembimbing Utama

3.

Bapak Drs. EC Gendut Soekarno, MS selaku Wadek II Ilmu Hukum Fakultas
Hukum Universitas Pembangunan Nasional “Veteran” Jawa Timur.

4.

Bapak Panggung Handoko S.H., M.M Selaku Dosen Pembimbing Pendamping,
yang telah membimbing dan mengarahkan peneliti dalam pembuatan skripsi
sehingga peneliti dapat menyelesaikan skripsi ini.

vi
Hak cipta @ milik UPN "Veteran" Jatim :

Dilarang mengutip sebagian atau seluruh karya tulis ini tanpa mencantumkan dan menyebutkan sumber.

5.

Ustadz Abdul Rosid Abidin, selaku Sesepuh Kabupaten Bangkalan yang telah
memberikan kesempatan kepada penulis untuk diwawancarai

6.

Bapak Fadli, Selaku Tokoh Masyarakat Kabupaten Bangkalan yang telah
memberikan kesempatan kepada penulis untuk diwawancarai

7.

Bapak Sayeki Selaku Tokoh Masyarakat Kabupaten Bangkalan yang telah
memberikan kesempatan kepada penulis untuk diwawancarai

8.

Ustadz Rifai, Selaku Tokoh Masyarakat Kabupaten Bangkalan yang telah

memberikan kesempatan kepada peneliti untuk diwawancarai

9.

Bapak dan Ibu Dosen Fakultas Hukum Universitas Pembangunan Nasional
“Veteran” Jawa Timur.

10. Staff Tata Usaha beserta seluruh karyawan Fakultas Hukum Universitas
Pembangunan Nasional “Veteran” Jawa Timur
11. Kedua orang tua tercinta, dan seluruh saudara-saudara yang telah memberikan
dukungan moral maupun material serta doa dan restunya selama ini.
12. Teman-teman seperjuangan Rakhmad, Zendy, Abu, Febrina, Kadek, Jai dan seluruh
Mahasiswa/i Fakultas Hukum Universitas Pembangunan Nasional “Veteran” Jawa
Timur.
Penulis menyadari bahwa penyusunan Skripsi ini masih jauh dari kata sempurna.
Oleh karena itu saran dan kritik yang sifatnya membangun peneliti harapkan guna
perbaikan dan penyempurnaan sehingga skripsi ini dapat memberi manfaat bagi semua
pihak.

Surabaya, 11 November 2011

Penulis

vii
Hak cipta @ milik UPN "Veteran" Jatim :
Dilarang mengutip sebagian atau seluruh karya tulis ini tanpa mencantumkan dan menyebutkan sumber.

DAFTAR ISI

HALAMAN J UDUL ..................................................................................... i
HALAMAN PERSETUJ UAN ...................................................................... ii
HALAMAN PENGESAHAN ....................................................................... iii
HALAMAN REVISI ..................................................................................... iv
HALAMAN PERNYATAAN ....................................................................... v
KATA PENGHANTAR ................................................................................ vi
DAFTAR ISI ................................................................................................. viii
DAFTAR LAMPIRAN ................................................................................. xi
ABSTRAKSI ................................................................................................. xii
BAB I

PENDAHULUAN

1.1 LATAR BELAKANG .............................................................. 1
1.2 PERUMUSAN MASALAH ..................................................... 4
1.3 TUJUAN PENELITIAN .......................................................... 4
1.4 MANFAAT PENELITIAN ...................................................... 5
1.5 KAJIAN PUSTAKA ................................................................ 5
1.5.1 Pengertian Perkawinan .................................................... 5
1.5.1.1 Pengertian Perkawinan Menurut UU No.1 Tahun
1974....................................................................... 6
1.5.1.2 Perkawinan Menurut Hukum Adat ....................... 7
1.5.1.3 Perkawinan Menurut Hukum Islam ...................... 13
1.5.1.4 Perkawinan Menurut Hukum Perdata ................... 14

viii
Hak cipta @ milik UPN "Veteran" Jatim :
Dilarang mengutip sebagian atau seluruh karya tulis ini tanpa mencantumkan dan menyebutkan sumber.

1.5.2 Perkawinan Dibawah Umur ............................................ 14
1.5.2.1 Perkawinan Dibawah Umur menurut Konsep Hukum
Perdata ................................................................. 14
1.5.2.2 Perkawinan Dibawah Umur menurut Konsep Hukum

Adat .................................................................... 16
1.5.2.3 Perkawinan Dibawah Umur menurut Konsep Undang
-Undang

R.I sekarang ....................................... 17

1.5.3 Hukum Adat ................................................................... 17
1.5.4 Adat Madrura .................................................................. 19
1.5.5 Anak Dibawah Umur ...................................................... 22
1.5.6 Undang-Undang No. 1 Tahun 1974 ................................. 22
1.6 METODE PENELITIAN..................................................... ...... 24
1.6.1 Pendekatan Masalah ....................................................... 25
1.6.2 Sumber Data ................................................................... 26
1.6.3 Metode Pengumpulan Data ............................................. 27
1.6.4 Metode Analisis Data ...................................................... 28
1.6.5 Sistematika Penulisan...................................................... 29
BAB II

PELAKSANAAN PERKAWINAN DALAM HUKUM ADAT
MADURA DAN UNDANG-UNDANG NOMOR 1 TAHUN 1974

TENTANG PERKAWINAN
2.1 Pelaksanaan Hukum Perkawinan Menurut Undang Undang Nomor
1 Tahun 1974 Tentang Perkawinan........................................... 31
2.2 Pelaksanaan Hukum Adat Madura Dalam Perkawinan Dibawah
Umur di Madura ....................................................................... 40

ix
Hak cipta @ milik UPN "Veteran" Jatim :
Dilarang mengutip sebagian atau seluruh karya tulis ini tanpa mencantumkan dan menyebutkan sumber.

2.3 Perbandingan Antara Pelaksanaan perkawinan Dibawah Umur
Dalam Hukum Adat Madura dengan Undang-Undang No. 1 Tahun
1974 tentang perkawinan .......................................................... 47
BAB III

AKIBAT HUKUM PERKAWINAN DIBAWAH UMUR
MENURUT
UNDANG UNDANG NOMOR 1 TAHUN 1974
TENTANG PERKAWINAN
3.1 Akibat Hukum Perkawinan Menurut Hukum Adat Madura ...... 52

3.2 Akibat Hukum Perkawinan Dibawah Umur Menurut UndangUndang No.1 Tahun 1974 Tentang Perkawinan ........................ 53

BAB IV PENUTUP
4.1 Kesimpulan .............................................................................. 58
4.2 Saran ........................................................................................ 59
DAFTAR PUSTAKA

x
Hak cipta @ milik UPN "Veteran" Jatim :
Dilarang mengutip sebagian atau seluruh karya tulis ini tanpa mencantumkan dan menyebutkan sumber.

UNIVERSITAS PEMBANGUNAN NASIONAL “VETERAN” J AWA
TIMUR
FAKULTAS HUKUM
Nama Mahasiswa
NPM
Tempat Tanggal Lahir
Program Studi
Judul Skripsi


:
:
:
:
:

Adriansyah
0771010144
Surabaya, 15 Juli 1987
Strata 1 ( S1 )

PERBANDINGAN HUKUM PERKAWINAN DIBAWAH UMUR ANTARA
HUKUM ADAT MADURA DENGAN UNDANG-UNDANG NOMOR 1
TAHUN 1974 TENTANG PERKAWINAN
ABSTRAKSI
Setiap manusia yang dilahirkan kedunia memiliki kecenderungan untuk
hidup bersama dengan manusia lain salah satunya dengan perkawinan. Sebelum
lahirnya Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1974 Tentang Perkawinan hukum yang
mengatur perkawinan ialah Hukum agama dan hukum adat.
Tujuan penulisan adalah merumuskan pelaksanaan perkawinan dibawah

umur menurut hukum adat Madura dan Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1974
Tentang Perkawinan dan akibat hukum perkawinan dibawah umur menurut
hukum adat Madura dan Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1974 Tentang
Perkawinan yang dikaji melalui metode pendekatan yuridis empiris.
Undang-Undang Nomor : 1 Tahun 1974 Tentang Perkawinan pasal 7 ayat
1 mengatakan perkawinan hanya diizinkan jika pihak pria sudah mencapai usia 19
tahun dan pihak wanita sudah mencapai 16 tahun. Sedangkan secara hukum adat
batas usia untuk melakukan suatu perkawinan tidak sesuai dengan UndangUndang Perkawinan. Sehingga perlu adanya suatu cara pelaksanaan perkawinan
yang sesuai menurut hukum adat serta menurut ketentuan perundang-undangan.
Setiap perkawinan yang dilakukan dimana salah satu atau keduanya masih
berusia dibawah umur berdasarkan ketentuan Undang-Undang dapat
menimbulkan suatu dampak bagi kedua belah pihak, baik dalam hubungannya
dengan mereka sendiri maupun terhadap keluarga mereka masing-masing.
Sehingga perlu adanya suatu ketentuan batas usia dalam melakukan perkawinan
agar setiap pasangan yang akan melakukan perkawinan memiliki kematangan
dalam berfikir dan kematangan jiwa dalam menghadapi masalah rumah tangga,
sehingga tidak terjadi pertengkaran yang berujung pada perceraian.
Bahwa perkawinan dibawah umur masih terjadi jika dikaitkan dengan
Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1974 Tentang perkawinan akan tetapi jika
berdasarkan hukum adat perkawinan tersebut tidak dianggap perkawinan dibawah
umur dan hal itu sah menurut adat Madura.
Kata Kunci : Hukum Adat, Pelaksanaan Perkawinan, Akibat Hukum
xii

Hak cipta @ milik UPN "Veteran" Jatim :
Dilarang mengutip sebagian atau seluruh karya tulis ini tanpa mencantumkan dan menyebutkan sumber.

BAB II
PELAKSANAAN PERKAWINAN DALAM HUKUM ADAT
MADURA DAN UNDANG-UNDANG NOMOR 1 TAHUN 1974
TENTANG PERKAWINAN

2.1 Pelaksanaan Hukum Per kawinan Menurut Undang Undang No.1
Tahun 1974 Tentang Per kawinan
Pada saat ini hukum negara yang mengatur mengenai masalah
perkawinan adalah Undang-undang Nomor 1 Tahun 1974 tentang
Perkawinan. Menurut ketentuan pasal 1 Undang-undang Nomor 1 Tahun
1974 tujuan perkawinan adalah membentuk keluarga (rumah tangga) yang
bahagia dan kekal berdasarkan Ketuhanan Yang Maha Esa”. Untuk dapat
mewujudkan tujuan tersebut, salah satu syaratnya adalah bahwa para pihak
yang akan melakukan perkawinan telah matang jiwa raganya. Oleh karena
itu di dalam Undang-undang Nomor 1 Tahun 1974 ditentukan batas umur
minimal untuk melangsungkan perkawinan.
Ketentuan mengenai batas umur minimal tersebut terdapat di dalam
Pasal 7 ayat (1) Undang-undang Nomor 1 Tahun 1974 yang mengatakan
bahwa “Perkawinan hanya diizinkan jika pihak pria sudah mencapai usia 19
tahun dan pihak wanita sudah mencapai usia 16 tahun”. Dari adanya batasan
usia ini dapat ditafsirkan bahwa Undang-undang Nomor 1 Tahun 1974 tidak
mengehendaki pelaksanaan perkawinan di bawah umur yang telah
ditentukan oleh Undang-undang Nomor 1 Tahun 1974, namun apabila hal
itu terjadi, seorang yang belum mencapai umur 21 (duapuluh satu) tahun

31
Hak cipta @ milik UPN "Veteran" Jatim :
Dilarang mengutip sebagian atau seluruh karya tulis ini tanpa mencantumkan dan menyebutkan sumber.

32

harus mendapat izin kedua orang tua sesuai dengan ketentuan pasal 6 ayat 2
Undang-undang Nomor 1 Tahun 1974,
Meskipun demikian dalam hal perkawinan di bawah umur terpaksa
dilakukan, maka Undang-undang Nomor 1 Tahun 1974 masih memberikan
kemungkinan penyimpangannya. Hal ini diatur dalam Pasal 7 ayat (2)
Undang-undang Nomor 1 Tahun 1974, yaitu dengan adanya dispensasi
kepada Pengadilan atau Pejabat lain yang ditunjuk oleh kedua orang tua
pihak pria maupun pihak wanita sebagai wali bagi yang belum mencapai
batas umur minimal tersebut .
Tata Cara Pelaksanaan Perkawinan dan Pengawasannya Pada
dasarnya kegiatan pelaksanaan perkawinan, pencatatan dan pengawasannya
dibagi dalam dua kegiatan, yang pertama yaitu kegiatan yang dilakukan di
Kantor Urusan Agama (KUA) Kecamatan, sedangkan kegiatan lainnya
dilaksanakan di Kantor Departemen Agama Kabupaten yang meliputi
kegiatan pengelolaan formulir NTCR ( Nikah, Cerai Talak Rujuk ) laporan
jumlah NTCR setiap bulan dan tri wulan juga kegiatan yang bersifat
pengawasan terhadap tugas Pegawai Pencatat Nikah atau Kepala Kantor
Urusan Agama Kecamatan.
Adapun tahapan kegiatan yang dilakukan di KUA antara lain :
Pemberitahuan kehendak nikah, pemeriksaan nikah, pengumuman kehendak
nikah, akad nikah dan pencatatannya, untuk lebih jelasnya akan diuraikan
satu persatu :

Hak cipta @ milik UPN "Veteran" Jatim :
Dilarang mengutip sebagian atau seluruh karya tulis ini tanpa mencantumkan dan menyebutkan sumber.

33

a.

Pemberitahuan Kehendak Nikah
Setiap

orang

yang

akan

melangsungkan

perkawinan

memberitahukan kehendaknya itu kepada Pegawai Pencatatan di tempat
perkawinan

yang

akan

dilangsungkan.

Pemberitahuan

tersebut

dilakukan sekurang-kurangnya 10 ( hari ) kerja sebelum perkawinan
dilangsungkan.
Pemberitahuan

Kehendak

Nikah

memuat

nama,

umur,

agama/kepercayaan, pekerjaan, tempat kediaman calon mempelai dan
apabila salah seorang atau keduanya pernah kawin, disebutkan juga
nama istrinya atau suaminya terdahulu.
Pemberitahuan kehendak nikah dapat dilakukan oleh calon
mempelai atau orang tua atau wakilnya dengan membawa surat-surat
yang diperlukan yaitu :
1. Perkawinan untuk sesama Warga Negara Indonesia
Bagi tiap warga Negara Indonesia yang akan melakukan
perkawinan ada beberapa syarat yang wajib dipenuhi antara lain :
a. Foto Copy KTP dan Kartu Keluarga (KK) untuk calon Pengantin
(catin) masing-masing 1 (satu) lembar.
b. Surat pernyataan belum pernah menikah (masih gadis/jejaka) di
atas segel/materai bernilai minimal Rp.6000,- (enam ribu rupiah)
diketahui RT, RW dan Lurah setempat.
c. Surat keterangan untuk nikah dari Kelurahan setempat yaitu
Model N1, N2, N4, baik calon Suami maupun calon Istri.
1) Surat keterangan untuk kawin dari Kepala Desa yang
mewilayahi tempat tinggal yang bersangkutan (N1)
2) Akte kelahiran atau surat keterangan asal-usul (N2)
3) Surat Persetujuan kedua calon mempelai (N. 3)
4) Surat keterangan mengenai orang tua (N4)
d. Pas photo calon Pengantin ukuran 2×3 masing-masing 4 (empat)
lembar, bagi anggota ABRI berpakaian dinas.

Hak cipta @ milik UPN "Veteran" Jatim :
Dilarang mengutip sebagian atau seluruh karya tulis ini tanpa mencantumkan dan menyebutkan sumber.

34

e. Bagi yang berstatus duda/janda harus melampirkan Surat
Talak/Akta Cerai dari Pengadilan Agama, jika Duda/Janda mati
harus ada surat kematian dan surat Model N6 dari Lurah
setempat.
f. Harus ada izin/Dispensasi dari Pengadilan Agama bagi :
1) Surat izin dan dispensasi, bagi calon mempelai yang belum
mencapai umur menurut ketentuan Undang-undang Nomor 1
tahun 1974 Pasal 6 ayat (2) s/d (6) dan Pasal 7 ayat (2).
g. Ijin Orang Tua ( Model N5 ) bagi calon Pengantin yang umurnya
kurang dari 21 tahun baik calon Pengantin laki-laki/perempuan.
h. Bagi Calon Pengantin yang tempat tinggalnya bukan di wilayah
Kec. Bangka, harus ada surat Rekomendasi Nikah dari KUA
setempat.
i. Bagi anggota TNI/POLRI dan Sipil TNI/POLRI harus ada Izin
Kawin dari Pejabat Atasan/Komandan.
j. Bagi calon Pengantin yang akan melangsungkan pernikahan ke
luar wilayah Kec. Bangka harus ada Surat Rekomendasi Nikah
dari KUA Kec. Bangka..
k. Kedua caten mendaftarkan diri ke KUA Pasar Minggu sekurangkurangnya 10 ( sepuluh ) hari kerja dari waktu melangsungkan
Pernikahan. Apabila kurang dari 10 ( sepuluh ) hari kerja, harus
melampirkan surat Dispensasi Nikah dari Camat Bangka
l. Bagi WNI keturunan, selain syarat-syarat tersebut dalam poin 1
s/d 10 harus melampirkan foto copy Akte kelahiran dan status
kewarganegaraannya ( K1 ).
m. Surat Keterangan tidak mampu dari Lurah/Kepala Desa bagi
mereka yang tidak mampu.43
b. Pemeriksaan Nikah
Setelah persyaratan perkawinan terpenuhi maka calon mempelai
selanjutnya mendaftarkan perkawinannya kepada Kantor Urusan
Agama dengan menyerahkan pemberitahuan kehendak nikah dan
syarat-syarat perkawinan kepada Pegawai Pencatat Nikah yang
kemudian disingkat menjadi ( PPN)
PPN yang menerima pemberitahuan kehendak nikah meneliti
dan memeriksa berkas –berkas yang ada apakah sudah memenuhi syarat

43

http://KUAPasarMinggu.blogspot.com, diakses Selasa, 18/10/2011, jam 10.33

Hak cipta @ milik UPN "Veteran" Jatim :
Dilarang mengutip sebagian atau seluruh karya tulis ini tanpa mencantumkan dan menyebutkan sumber.

35

atau belum, apabila masih ada kekurangan syarat maka diberitahukan
adanya kekurangan tersebut. Setelah itu dilakukan pemeriksaan
terhadap calon suami, calon istri dan wali nikahnya yang dituangkan
dalam Daftar Pemeriksaan Nikah (Model NB).
Jika calon suami/istri atau wali nikah bertempat tinggal di luar
wilayah KUA Kecamatan dan tidak dapat hadir untuk diperiksa, maka
pemeriksaannya dilakukan oleh PPN yang mewilayahi tempat
tinggalnya. Apabila setelah diadakan pemeriksaan nikah ternyata tidak
memenuhi persyaratan yang telah ditentukan baik menurut hukum
munakahat maupun menurut peraturan perundang-undangan yang
berlaku maka PPN berhak menolak pelaksanaan pernikahan dengan
cara memberikan surat penolakan beserta alasannya.
Setelah pemeriksaan dinyatakan memenuhi syarat maka calon
suami, calon istri dan wali nikahnya menandatangani Daftar
Pemeriksaan Nikah. Setelah itu yang bersangkutan membayar biaya
administrasi pencatatan nikah sesuai dengan ketentuan yang berlaku.
c.

Pengumuman Kehendak Nikah
Setelah pemeriksaan dinyatakan memenuhi syarat maka calon
mempelai yang akan melangsungkan perkawinan harus menunggu
pengumuman kehendak nika dari PPN. Setelah persyaratan dipenuhi
PPN mengumumkan kehendak nikah (model NC) pada papan
pengumuman

di

KUA

Kecamatan

tempat

pernikahan

Hak cipta @ milik UPN "Veteran" Jatim :
Dilarang mengutip sebagian atau seluruh karya tulis ini tanpa mencantumkan dan menyebutkan sumber.

akan

36

dilangsungkan dan KUA Kecamatan tempat tinggal masing-masing
calon mempelai.
PPN tidak boleh melaksanakan akad nikah sebelum lampau 10
hari kerja sejak pengumuman, kecuali seperti yang diatur dalam psl 3
ayat 3 PP No. 9 Tahun 1975 yaitu apabila terdapat alasan yang sangat
penting misalnya salah seorang calon mempelai akan segera bertugas
keluar negeri, maka dimungkinkan yang bersangkutan memohon
dispensasi kepada Camat selanjutnya Camat atas nama Walikota/Bupati
memberikan dispensasi.44
d. Pelaksanaan Akad Nikah
1. Pelaksanaan Upacara Akad Nikah :
Bagi calon mempelai yang akan menikah dapat menentukan
tempat dilangsungkannya Upacara Akad Nikah antara lain:
a) di Balai Nikah/Kantor Urusan Agama
b) di Luar Balai Nikah : rumah calon mempelai, masjid, gedung dll
2. Pemeriksaan Ulang :
Sebelum pelaksanaan upacara akad nikah PPN /Penghulu
terlebih

dahulu

memeriksa/mengadakan

pengecekan

ulang

persyaratan nikah dan administrasinya kepada kedua calon pengantin
dan walinya untuk melengkapi kolom yang belum terisi pada waktu
pemeriksaan awal di kantor atau apabila ada perubahan data dari

44

Ibid,

Hak cipta @ milik UPN "Veteran" Jatim :
Dilarang mengutip sebagian atau seluruh karya tulis ini tanpa mencantumkan dan menyebutkan sumber.

37

hasil pemeriksaan awal. Setelah itu PPN/ Penghulu menetapkan dua
orang saksi yang memenuhi syarat.
3. Akad Nikah dan Pencatatannya
Bagi calon mempelai yang akan melaksanakan Akad Nikah
dan Pencatatannya harus mengikuti beberapa ketentuan antara lain :
a) Akad nikah dilangsungkan dibawah pengawasan / dihadapan
PPN, dan setelah akad nikah dilangsungkan.
b) Kalau nikah dilangsungkan diluar Balai Nikah, nikah itu dicatat
dalam halaman 4 model NB dan ditandatangani oleh suami, isteri,
wali nikah dan saksi-saksi serta PPN yang mengawasi akad nikah.
Kemudian segera didaftar dalam Akta Nikah (Model N). Dalam
hal yang demikian itu, maka yang menandatangani dalam Akta
Nikah hanya PPN saja. Tanda tangan masing-masing yang
bersangkutan dihalaman 4 model NB.
c) Akta Nikah dibaca, dan dimana perlu diterjemahkan kedalam
bahasa daerah dihadapan yang berkepentingan dan saksi-saksi
kemudian ditandatangi oleh suami, isteri, wali nikah, saksi-saksi
dan PPN.
d) Setelah itu PPN membuatkan kutipan Akta Nikah rangkap 2 (dua)
dengan kode dan nomor porporasi yang sama.
e) Kutipan Akta Nikah (NA) diberikan kepada suami dan kepada
isteri, setelah menandatangani tanda terima (Sibir).

Hak cipta @ milik UPN "Veteran" Jatim :
Dilarang mengutip sebagian atau seluruh karya tulis ini tanpa mencantumkan dan menyebutkan sumber.

38

f) Nomor ditengah pada model NB (Daftar Pemeriksaan Nikah)
diberi nomor yang sama dengan nomor Akta Nikah.
g) Akta Nikah dan Kutipan Akta Nikah harus ditandatangani oleh
PPN.
h) Dalam

hal

Penghulu

yang

melakukan

pemeriksaan

dan

menghadiri akad nikah di luar Balai Nikah, tidak menanda
tangani Daftar pemeriksaan Nikah dan halaman terakhir daftar
tersebut ( halaman 4 model NB ).
i) PPN berkewajiban mengirimkan Akta-akta Nikah yang telah
diselesaikan kepada Pengadilan Agama Kabupaten Bangkalan,
apabila folio terakhir dari halaman Akta Nikah telah selesai
dikerjakan.
4. Persetujuan, izin dan dispensasi
Bagi masyarakat yang akan menikah harus memperhatikan
beberapa hal dalam memenuhi salah satu persyaratan dalam
perkawinan antara lain :
a) Persetujuan
1) Adanya persetujuan dari kedua calon mempelai
2) Seseorang yang belum mencapai umur 21 tahun maka harus
mendapat izin kedua orang tua
b) Izin

Hak cipta @ milik UPN "Veteran" Jatim :
Dilarang mengutip sebagian atau seluruh karya tulis ini tanpa mencantumkan dan menyebutkan sumber.

39

1) Bagi seseorang yang ingin beristri lebih dari seorang maka ia
wajib mengajukan permohonan kepada pengadilan daersah
tempat tinggalnya
2) Pemberian izin hanya diberikan kepada seseorang suami yang
akan beristri lebih dari seorang apabila :
• Istri tidak dapat menjalankan kewajibannya sebagi istri
• Istri mendapat cacat badan atau penyakit yang tidak dapat
disembuhkan
• Istri tidak dapat melahirkan ketururnan
3) Dispensasi
Bagi calon mempelai yang belum mencapai 19 tahun
untuk pria dan 16 untuk wanita maka harus meminta
dispensasi kepada pengadilan atau pejabat lain yang ditunjuk
oleh kedua orang tua pihak pria maupun wanitasetempat
5. Akad Nikah /Ijab Qobul
6. Pelaksanaan ijab qobul
Dilaksanakan sendiri oleh wali nikahnya terhadap calon
mempelai pria, namun apabila karena sesuatu hal wali nikah/calon
mempelai pria dapat mewakilkan kepada orang lain yang ditunjuk
olehnya.
7. Penandatanganan Akta Nikah
Sesaat sesudah dilangsungkannya perkawinan/ijab qobul kedua
mempelai menandatangani akta perkawinan yang telah disisipkan

Hak cipta @ milik UPN "Veteran" Jatim :
Dilarang mengutip sebagian atau seluruh karya tulis ini tanpa mencantumkan dan menyebutkan sumber.

40

oleh PPN. Akta perkawinan yang telah ditanda tangani oleh
mempelai itu kemudian ditandatangani pula oleh kedua saksi dan
pegawi PPN

yang

menghadiri perkawinan dan bagi yang

melangsungkan perkawinan menurut agama islam, ditandatangani
pula oleh wali nikah atau yang mewakilinya.
8. Pembacaan Ta’lik Nikah
9. Penandatanganan ikrar Ta’lik Nikah
10. Penyerahan maskawin/mahar
11. Penyerahan Buku Nikah/Kutipan Akta Nikah.
12. Nasihat perkawinan
13. Do’a penutup.45
2.2 Pelaksanaan Hukum Adat Madura Dalam Per kawinan Dibawah Umur
di Madura
Adanya penyebaran agama di wilayah Indonesia membuat sebagian
besar masyarakat adat di Indonesia terpengaruh terhadap ajaran-ajaran
Hukum agama dan hukum tesebut berlaku secara berdampingan dengan adat
setempat, Pengaruh Hukum agama tersebut hanya yang sifatnya nasional
hanya nampak dalam pelaksanaan ibadah dan dalam pelaksanaan hubungan
manusia dengan manusia seperti masalah hukum perkawinan. Salah satunya
ialah perkawinan yang terdapat pada adat Madura.
Pada masyarakat adat Madura sebagian besar penduduknya
beragama islam, hal ini terjadi karena adanya pengaruh penyebaran agama

45

Ibid,

Hak cipta @ milik UPN "Veteran" Jatim :
Dilarang mengutip sebagian atau seluruh karya tulis ini tanpa mencantumkan dan menyebutkan sumber.

41

yang telah masuk ke wilayah Madura. Dan hal tersebut juga berpengaruh
besar pada hukum adat yang terdapat di Madura, salah satunya ialah hukum
adat perkawinan yang terdapat di Madura Kabupaten Bangkalan yang mana
perkawinan tersebut dilaksanakan secara hukum agama dan hkum adat,
yaitu harus ada calon mempelai yang mana keduanya sudah akhir baliq,
wali nikah, saksi, Kyiai/mudin dan mahar, serta adanya ijab dan qabul. 46
Perkawinan yang terdapat pada masyarakat Madura ada dua
system, yaitu sistem eleutherogami dan sistem endogami. Sistem endogami
adalah dalam system ini orang hanya diperbolehkan kawin dengan
seseorang dari suku keluarganya sendiri atau masih memiliki hubungan
kekerabatan

47

. Sedangkan sistem eleutherogami Sedangkan sistem

eleutherogami yang mana Sistem ini tidak mengenal larangan atau
keharusan seperti halnya system endogami dan eksogami. Larangan yang
ada biasanya menyangkut masalah nasab ( keturunan dekat ) dan ( pariparan
).48
Sebagian besar masyarakat Madura pada umunya banyak yang
menganut sistem endogami namun karena pengaruh perkembangan zaman
sistem perkawinan tersebut secara berangsur-angsur mengalami perubahan
menuju kearah system eleutherogami.

Tetapi sampi saat ini masih ada

sebagian masyarakat yang masih menggunakan system perkawinan

46

Wawancara : Ustadz Abdul Rosid Abidin Kabupaten Bangkalan, Kecamatan Arus Baya, Desa
Bebeluk, Kamis, 19/05/2011 jam 15:30
47
Yulies Tiena Masriani, Penghantar Hukum Indonesia, Sinar Grafika, Jakarta, 2004, h 137
48
Ibid,

Hak cipta @ milik UPN "Veteran" Jatim :
Dilarang mengutip sebagian atau seluruh karya tulis ini tanpa mencantumkan dan menyebutkan sumber.

42

endogami terutama mereka yang tinggal di daerah pelosok atau mereka
yang memiliki tingkat pendidikan yang masih rendah. 49
Proses perkawinan yang umum dilakukan adalah dimana seorang
pria dan wanita sepakat untuk melakukan perkawinan ( ada juga sebagian
yang dijodohkan oleh orang tuanya ), biasanya diawali dengan pertunangan
yang kebanyakan dari mereka ditunangkan ketika usia masih dini.
Terkadang kedua calon yang akan menikah tidak mengetahui bahwasanya
mereka telah ditunangkan. Proses pernikahannya pun biasanya dilakukan
secara sederhana, karena mereka menganggap berasal dari orang satu.50
Adapun cara pelaksanaannya dengan adanya dua calon mempelai
yang dikumpulkan dalam suatu acara dengan adanya wali nikah, saksi,
Kyiai/mudin dan

mahar, serta adanya ijab dan qabul. Apabila dalam

perkawinan tersebut tidak dilakukan sesuai dengan hukum agama maka
perkawinan tersebut dianggap tidak sah/ tidak benar, apabila pasangan
tersebut melakukan hubungan suami istri maka pasangan tersebut akan
dianggap berbuat zina, dan akan menerima sanksi sosial oleh sesepuh dan
RT bersama warga setempat.
Perkawinan yang dilakukan pada masyarakat Adat di Madura
seluruhnya dilakukan dengan menggunakan hukum agama baik itu di kota
maupun di daerah pelosok hal tersebut seperti yang telah ditegaskan oleh
tokoh adat setempat, disamping itu hal tersebut juga sudah menjadi
49

Wawancara : Ustadz Rifai Kabupaten Bangkalan, Kecamatan Bangka, Desa Burneh Kamis,
15/09/2011 jam 13.30
50
Wawancara : Ustadz Abdul Rosid Abidin Kabupaten Bangkalan, Kecamatan Arus Baya, Desa
Bebeluk, Kamis, 19/05/2011 jam 15:30

Hak cipta @ milik UPN "Veteran" Jatim :
Dilarang mengutip sebagian atau seluruh karya tulis ini tanpa mencantumkan dan menyebutkan sumber.

43

pengetahuan umum bagi masyarakat setempat. Pelaksanaan Hukum
perkawinaan yang ada pada masyarakat Madura memang menggunakan
hukum agama namun hal tersebut tidak terlepas dari adat setempat, baik itu
di Kabupaten Bangkalan, Pamekasan, Sampang dan Sumenep, salah satu
contohnya ialah adanya prosesi pertunangan yang dilanjutkan dengan
lamaran dengan memberi peningset atau panjer dan lain-lain.
Pada saat proses pemberian peningset, ngelamar atau proses
menjelang pernikahan, maka apabila salah satu calon mempelai ingin
membatalkan maka sebelum menjelang waktu pernikahanya, maka orang
tua pihak yang akan membatalkan perkawinannya harus melakukan
musyawarah terlebih dahulu dengan orang tua pasangannya, hal tersebut
dilakukan agar tidak terjadi suatu kesalahpahaman, karena pembatalan yang
dilakukan pada saat hari pernikahan merupakan suatu penghinaan apalagi
bila calon mempelainya menikah dengan orang lain maka, hal tersebut
bukan saja merupakan sebuah penghinaan tetapi juga menginjak harga diri
masyarakat adat Madura.51
Pada mulanya perkawinan yang dilakukan oleh masyarakat Madura
hanya menggunakan hukum adat saja tanpa adanya hukum agama dimana
perkawinan tersebut dilakukan tanpa adanya batasan umur dan biasanya
dilakukan dengan perjodohan terlebih dahulu namun

setelah adanya

penyebaran agama islam, hukum adat yang terdapat dimadura mengalami

51

Wawancara : Ustadz Abdul Rosid Abidin Kabupaten Bangkalan, Kecamatan Arus Baya, Desa
Bebeluk, Kamis, 19/05/2011 jam 15:30

Hak cipta @ milik UPN "Veteran" Jatim :
Dilarang mengutip sebagian atau seluruh karya tulis ini tanpa mencantumkan dan menyebutkan sumber.

44

pergeseran yang mana hukum adat yang terdapat dimadura dan hukum
agama tersebut berlaku secara berdampingan dengan adat setempat.
Salah satunya ialah perkawinan yang terdapat pada adat Madura
Kabupaten Bangkalan yang mana perkawinan tersebut dilaksanakan secara
hukum agama dan hukum adat, yaitu harus ada calon mempelai yang mana
keduanya sudah akhir baliq, wali nikah, saksi, Kyiai/mudin dan mahar,
serta adanya ijab dan qabul. 52
Perkawinan yang dilakukan masyarakat Madura kebanyakan
dilakukan saat usia mereka belum mencapai usia yang ditentukan oleh
undang-undang untuk melangsungkan perkawinan, hal ini disebabkan
karena adanya dorongan beberapa faktor yaitu, adanya permintaan dari
orang tua, untuk menghindari hal-hal yang tidak dinginkan serta adnya
keinginan anak untuk menikah
Hukum Perkawinan Adat pada masyarakat Madura pada awalnya
menggunakan cara perjodohan yang mana perkawinan tersebut dilaksanakan
secara hukum agama serta hukum adat dan tanpa dicatat di Kantor Urusan
Agama ( KUA ) dan kebanyakan masyarakatnya melakukan perjodohan
dengan kerabat dekat/ seseorang yang masih memiliki hubungan keluarga,
namun seiring berjalannya waktu perkawinan tersebut tidak lagi dilakukan
hanya dengan kerabat dekat dan sebagian masyarakat mulai mendaftarkan
perkawinannya di KUA . 53

52

Ibid,
Wawancara : Bapak Fadli Kabupaten Bangkalan, Kecamatan Labeng, Desa Sendang Dayat,
Selasa, 25/10/2011 jam 19:30,

53

Hak cipta @ milik UPN "Veteran" Jatim :
Dilarang mengutip sebagian atau seluruh karya tulis ini tanpa mencantumkan dan menyebutkan sumber.

45

Dalam hal ini Proses perkawinan yang terdapat pada masyarakat
Adat Madura dilakukan dalam beberapa tahap :
Dalam hal ini Proses perkawinan yang terdapat pada masyarakat
Adat Madura dilakukan dalam beberapa tahap :
1. Proses pertama ialah pihak keluarga pria mengutus seseorang ke keluarga
pihak wanita ( dalam hal ini bisa orang tua atau salah satu keluarga dari
pihak pria ) untuk menanyakan ke pada si wanita, apakah ada halangan (
sudah terikat oleh sebuah pertunangan atau belum / menanyakan status
secar kiasan ) atau tidak, apabila tidak ada maka akan dilanjutkan dengan
acara Abekalan
2. Abekalan ialah proses meminang atau meminta tanpa ada jajanan. Pada
tahap ini keluarga pihak pria melakukan rundingan dengan keluarga
pihak wanita, apakah ada kata sepakat untuk bertunangan atau tidak.
Dalam tahap ini dari pihak wanita bisa menolak atau menerima,
apabila diterima saat itu juga pihak wanita sudah resmi mempunyai
ikatan bertunangan. Setelah itu pihak keluarga dari laki-laki baru
menentukan harinya melamar atau bertunangan ( tukar cincin ). Bila dari
pihak pria sudah menentukan harinya dilakukan ( Mar-lamar ) lamaran.
3. Mar-lamar (lamaran) yaitu meminang yang mengandung arti “meminta”.
Kegiatan yang dilakukan pada saat mar-lamar ada serah-tremah yaitu
keluarga pihak laki-laki menyerahkan jajanan ( makanan pasar ) kepada
keluarga pihak wanita. Jajanan yang diserahkan disebut peningset.
Peningset ini biasanya didominasi dengan tettel, bejit, olet, roti, buah-

Hak cipta @ milik UPN "Veteran" Jatim :
Dilarang mengutip sebagian atau seluruh karya tulis ini tanpa mencantumkan dan menyebutkan sumber.

46

buahan dan cincin. Setelah ada serah terima dari keluarga pihak pria
kemudian ada balasan dari keluarga pihak wanita yang disebut
(Lancengan) ,dan biasanya jajanan tersebut di dominasi dengan ikan.
4. Acara selanjutnya ialah Kabinan atau menikah yang mana dalam proses
ini Keluarga pria menentukan hari pernikahannya berdasarkan saton atau
weton dari nama pihak pria maupun wanita atau bahkan dari kedua nama
pihak pria maupun pihak wanita.
Apabila dalam penentuan hari pernikahannya berdasarkan saton
atau wetonnya tidak mendapat hari yang baik/bagus maka, Pihak
keluarga pria mencari sendiri hari baiknya dengan cara mengganti nama
calon mempelai baik dari pihak pria maupun dari pihak wanita. Dalam
hal ini penggantian nama tersebut harus ada rokaatnya ( Slametan yang
artinya bersyukur atas pemberian nama baru ).
Pada waktu akad nikah yang melakukan akad nikah hanya dari
mempelai pria saja dan biasanya dilakukan dihalaman rumah atau
dilanggar ( masjid ) dan hal itu disaksikan oleh Orang tua, masyarakat
dan kyai. Dan pada saat acara akad tersebut mas kawin pada saat itu tidak
langsung diberikan langsung kepada mempelai wanita melainkan, pada
waktu akad nikah telah usai. Pada saat akad nikah yang menentukan mas
kawin ialah keluarga pihak wanita , dan pada saat pihak pria bertemu
dengan pihak wanita. setelah itu keduanya disandingkan ke pelaminan.
Setelah serah terima maka diadakan acara Ojeng Mantoh.

Hak cipta @ milik UPN "Veteran" Jatim :
Dilarang mengutip sebagian atau seluruh karya tulis ini tanpa mencantumkan dan menyebutkan sumber.

47

5. Ojeng Mantoh merupakan Suatu acara kunjungan dari keluarga pihak
pria kekeluarga pihak wanita untuk sungkeman ke Orang tua mempelai
wanita dan juga berkenalan dengan keluarga dari mempelai wanita,
setelah itu kemudian keluarga pihak mempelai wanita berkunjung ke
keluarga pihak mempelai putra dengan istilah Amain.
6. Amain yaitu memepleai wanita berkunjung kerumah mempelai pria untuk
sungkeman ke Orang tua mempelai pria dan juga berkenalan dengan
keluarga dari mempelai putra, kemudian keluarga mempelai pria
memberikan uang kepada mempelai wanita sekedarnya, yang dalam
bahasa maduranya nyebbur mentapcap yang artinya walaupun uangnya
hanya sekedarnya.54
2.3 Perbandingan Antara Pelaksanaan per kawinan Dibawah Umur Dalam
Hukum Adat Madura Dengan Undang-Undang No. 1 Tahun 1974
tentang per kawinan

Menurut Undang-undang Nomor 1 Tahun 1974 perkawinan dan
tujuannya adalah “Ikatan lahir batin antara seorang pria dan seorang wanita
sebagai suami isteri dengan tujuan membentuk keluarga (rumah tangga) yang
bahagia dan kekal berdasarkan Ketuhanan Yang Maha Esa”. Dimana untuk
dapat mewujudkan tujuan perkawinan, salah satu syaratnya adalah bahwa
para pihak yang akan melakukan perkawinan telah masak jiwa raganya. Oleh

54

Wawancara : Ustadz Abdul Rosid Abidin Kabupaten Bangkalan, Kecamatan Arus Baya, Desa
Bebeluk, Kamis, 19/05/2011 jam 15:30

Hak cipta @ milik UPN "Veteran" Jatim :
Dilarang mengutip sebagian atau seluruh karya tulis ini tanpa mencantumkan dan menyebutkan sumber.

48

karena itu di dalam Undang-undang Nomor 1 Tahun 1974 ditentukan batas
umur minimal untuk melangsungkan perkawinan.
Ketentuan mengenai batas umur minimal tersebut terdapat di dalam
Pasal 7 ayat (1) Undang-undang Nomor 1 Tahun 1974 yang mengatakan
bahwa “Perkawinan hanya diizinkan jika pihak pria sudah mencapai usia 19
tahun dan pihak wanita sudah mencapai usia 16 tahun”. Dari adanya batasan
usia ini dapat ditafsirkan bahwa Undang-undang Nomor 1 Tahun 1974 tidak
mengehendaki pelaksanaan perkawinan di bawah umur yang telah ditentukan
oleh Undang-undang Nomor 1 Tahun 1974.
Namun Di lain pihak hukum adat tidak menentukan batasan umur
bagi orang untuk melaksanakan perkawinan. Bahkan hukum adat tidak
melarang perkawinan anak-anak yang dilaksanakan ketika anak masih berusia
kanak-kanak. Hal ini dapat terjadi karena di dalam Hukum Adat perkawinan
bukan saja merupakan persatuan kedua belah mempelai tetapi juga
merupakan persatuan dua buah keluarga kerabat. Adanya perkawinan di
bawah umur atau perkawinan kanan-kanak tidak menjadi masalah di dalam
Hukum Adat karena kedua suami isteri itu akan tetap dibimbing oleh
keluarganya, yang dalam hal ini telah menjadi dua keluarga, sehingga Hukum
Adat tidak melarang perkawinan kanak-kanak.
Demi terwujudnya tujuan perkawinan seharusnya tidak ada masalah
antara hukum adat dan hukum positif yang mana telah disebutkan dalam
pasal 2 ayat (1) bahwa Perkawinan adalah sah apabila dilakukan menurut
hukum masing-masing agama dan kepercayaannya itu. Bila dikaitkan Hukum

Hak cipta @ milik UPN "Veteran" Jatim :
Dilarang mengutip sebagian atau seluruh karya tulis ini tanpa mencantumkan dan menyebutkan sumber.

49

Positif yang berlaku di Indonesia dengan hukum adat yang ada maka jelas,
hal itu sangat bertentangan, karena berdasarkan Pasal 7 ayat (1) Undangundang Nomor 1 Tahun 1974 yang mengatakan bahwa “Perkawinan hanya
diizinkan jika pihak pria sudah mencapai usia 19 tahun dan pihak wanita
sudah mencapai usia 16 tahun”.
Dari hal tersebut ditafsirkan bahwa UU No. 1 Tahun 1974 tidak
mengehendaki pelaksanaan perkawinan di bawah umur. Pembatasan umur
minimal untuk kawin bagi warga negara pada prinsipnya dimaksudkan agar
orang yang akan menikah diharapkan sudah memiliki kematangan berpikir,
kematangan jiwa dan kekuatan fisik yang memadai. Kemungkinan keretakan
rumah tangga yang berakhir dengan perceraian dapat dihindari, karena
pasangan tersebut memiliki kesadaran dan pengertian yang lebih matang
mengenai tujuan perkawinan yang menekankan pada aspek kebahagiaan lahir
dan batin.
Meskipun demikian dalam hal perkawinan di bawah umur terpaksa
dilakukan, maka Undang-undang Nomor 1 Tahun 1974 masih memberikan
kemungkinan penyimpangannya. Hal ini diatur dalam Pasal 7 ayat (2)
Undang-undang Nomor 1 Tahun 1974, yaitu dengan adanya dispensasi dari
Pengadilan bagi yang belum mencapai batas umur minimal tersebut. Dengan
adanya penyimpangan ini diharapkan hukum adat dan Undang-undang No. 1
Tahun 1974 dapat berjalan selaras.
Berdasarkan UU Perkawinan yang berlaku, perkawinan seharusnya
dilakukan oleh pasangan yang telah mencukupi batas usia tertentu. Namun

Hak cipta @ milik UPN "Veteran" Jatim :
Dilarang mengutip sebagian atau seluruh karya tulis ini tanpa mencantumkan dan menyebutkan sumber.

50

bila kita melihat pada masyarakat Madura khususnya di Kabupaten
Bangkalan, ternyata masih banyak perkawinan yang dilakukan berdasarkan
Hukum Adat setempat, yang mana perkawinannya dilakukan di usia dini atau
dibawah umur yang ditentukan menurut UU Perkawinan. Meskipun seiring
berjalannya waktu, sedikit demi sedikit perkawinan yang dilakukan
masyarakat adat Madura mulai banyak berubah mengikuti ketentuan yang
diatur oleh UU Perkawinan, yang mana perkawinan yang dilakukan sesuai
batasan Umur yang ditentukan oleh UU untuk melakukan perkawinan.
Namun berdasarkan kenyataan yang terdapat dilapangan maka kita akan
melihat bahwa pada segolongan masyarakat tertentu ternyata pernikahan
dibawah umur tersebut masih juga dilakukan.
Dari hasil wawancara dengan petugas Pengadilan Agama Setempat,
didapatkan keterangan bahwasannya selama ini tidak pernah ada permohonan
dispensasi perkawinan yang diajukan, tidak pernah ada perkawinan dibawah
umur yang dilakukan, karena salah satu syarat bagi yang akan melakukan
perkawinan dibawah umur harus mendapat izin dispensasi dari Pengadilan
Agama setempat.55
Informasi tersebut bertolak belakang dari kenyataan yang ada, karena
Menurut pendapat Bapak Sayeki, salah satu warga di Madura mengatakan
bahwa di Madura masih ada sebagian masyarakat yang melakukan
perkawinan dibawah umur. Namun tentu saja perkawinan tersebut tidak
dicatatkan dan didaftarkan pada KUA. Minimnya pengetahuan masyarakat

55

Wawancara : Panitera Pengadilan Agama Kabupaten Bangkalan 07/07/20011 jam 11:35

Hak cipta @ milik UPN "Veteran" Jatim :
Dilarang mengutip sebagian atau seluruh karya tulis ini tanpa mencantumkan dan menyebutkan sumber.

51

tentang

Undang-Undang

Perkawinan,

faktor

biaya,

masalah

proses

pelaksanaan yang di nilai memakan waktu terlalu lama dan banyaknya
persyaratan-persyaratan yang harus dipenuhi, membuat masyarakat lebih
memilih untuk tidak mencatatkan perkawinannya ke KUA. Selain itu
masyarakat juga percaya bahwa hal yang terpenting dari perkawinannya ialah
sah menurut agama dan kepercayaannya.56
Seiring berkembangnya zaman perkawinan yang tidak dicatatkan
di Kantor Urusan Agama sedikit-demi sedikit mulai berkurang bahkan hal
tersebut hampir jarang terjadi. Namun hal ini tidak menutup kemungkinan
bahwa masih ada perkawinan yang dilakukan di usia dini/ dibawah umur.
Dari informasi yang didapat, banyak cara yang dilakukan agar permasalahan
umur tersebut tidak dijadikan hambatan dalam perkawinan. Salah satunya
adalah dengan memanipulasi data diri calon pengantin dengan menambahkan
umur atau merubah tahun kelahiran, sehingga umur yang tercatat di Kantor
Urusan Agama sesuai dengan ketentuan undang-undang perkawinan yang
berlaku.

56

Wawancara : Bapak Sayeki Kabupaten Bangkalan, Kecamatan Tanah Merah, Desa Petemon
Selasa, 25/10/2011 jam 19:30,

Hak cipta @ milik UPN "Veteran" Jatim :
Dilarang mengutip sebagian atau seluruh karya tulis ini tanpa mencantumkan dan menyebutkan sumber.

BAB III
AKIBAT HUKUM PERKAWINAN DIBAWAH UMUR MENURUT
HUKUM ADAT MADURA DAN MENURUT UNDANG-UNDANG
NOMOR 1 TAHUN 1974 TENTANG PERKAWINAN

3.1

Akibat Hukum Per kawinan Dibawah Umur Menurut Hukum Adat
Madura
Berdasarkan Hukum Adat Madura bahwa perkawinan yang
dilakukan berdasarkan Hukum Adat ( Perkawinan usia muda ) tidak
menimbulkan suatu akibat hukum namun menimbulkan suatu dampak bagi
kedua belah pihak, baik dalam hubungannya dengan mereka sendiri, anakanak, maupun terhadap keluarga mereka masing-masing.
Dampak dari perkawinan usia muda akan menimbulkan berbagai
persoalan rumah-tangga seperti pertengkaran, percekcokan, bentrokan antar
suami-istri yang dapat mengakibatkan perceraian. Tidak jarang dari mereka
yang melangsungkan perkawinan pada usia muda tidak begitu memikirkan
dampak apa saja yang akan timbul setelah mereka hidup berumah-tangga
dikemudian hari.
Mereka hanya memikirkan bagaimana caranya agar bisa segera
hidup bersama dengan pasangannya tanpa memikirkan apa yang akan terjadi
setelah hidup bersama. Selain itu juga tidak menutup kemungkinan dampak
tersebut juga akan menimbulkan pengaruh yang tidak baik bagi anakanaknya juga pada masing-masing keluarganya, seperti terganggunya

52
Hak cipta @ milik UPN "Veteran" Jatim :
Dilarang mengutip sebagian atau seluruh karya tulis ini tanpa mencantumkan dan menyebutkan sumber.

53

perkembangan mental dan kepercayaan diri anak ataupun terjadinya
pertengkaran hingga terputusnya hubungan silaturahmi antar dua keluarga.57
Kasus-kasus di atas merupakan efek negatif yang dapat timbul pada
pasangan suami-istri yang menikah pada usia muda sebagai akibat dari tidak
adanya kecocokan dan keharmonisan serta kurangnya pengertian antara
suami-istri dalam menjalankan bahtera rumah tangganya, dan memberikan
pengaruh

yang

besar

terhadap

perkembangan

anak-anaknya

serta

mempengaruhi tingkat kecerdasan dan juga rentannya gangguan-gangguan
pada fisik anak.
3.2

Akibat Hukum Per kawinan Dibawah Umur Menurut Undang-Undang
No. 1 Tahun 1974 Tentang Perkawinan
Menurut Undang-undang Nomor 1 Tahun 1974 perkawinan dan
tujuannya adalah “Ikatan lahir batin antara seorang pria dan seorang wanita
sebagai suami isteri dengan tujuan membentuk keluarga ( rumah tangga )
yang bahagia dan kekal berdasarkan Ketuhanan Yang Maha Esa”. Dimana
untuk dapat mewujudkan tujuan perkawinan, salah satu syaratnya adalah
bahwa para pihak yang akan melakukan perkawinan telah masak jiwa
raganya. Oleh karena itu di dalam Undang-undang Nomor 1 Tahun 1974
ditentukan batas umur minimal untuk melangsungkan perkawinan.
Ketentuan mengenai batas umur minimal tersebut terdapat di dalam
Pasal 7 ayat (1) Undang-undang Nomor 1 Tahun 1974 yang mengatakan
bahwa “Perkawinan hanya diizinkan jika pihak pria sudah mencapai usia 19

57

Wawancara : Ustadz Rifai Kabupaten Bangkalan, Kecamatan Bangka, Desa Burneh Kamis,
15/09/2011 jam 13.30

Hak cipta @ milik UPN "Veteran" Jatim :
Dilarang mengutip sebagian atau seluruh karya tulis ini tanpa mencantumkan dan menyebutkan sumber.

54

tahun dan pihak wanita sudah mencapai usia 16 tahun”. Dari adanya batasan
usia ini dapat ditafsirkan bahwa Undang-undang Nomor 1 Tahun 1974 tidak
mengehendaki pelaksanaan perkawinan di bawah umur yang telah
ditentukan oleh Undang-undang Nomor 1 Tahun 1974.
Dari hal tersebut ditafsirkan bahwa UU No. 1 Tahun 1974 tidak
mengehendaki pelaksanaan perkawinan di bawah umur. Pembatasan umur
minimal untuk kawin bagi warga negara pada prinsipnya dimaksudkan agar
orang yang akan menikah diharapkan sudah memiliki kematangan berpikir,
kematangan jiwa dan kekuatan fisik yang memadai. Kemungkinan
keretakan rumah tangga yang berakhir dengan perceraian dapat dihindari,
karena pasangan tersebut memiliki kesadaran dan pengertian yang lebih
matang mengenai tujuan perkawinan yang menekankan pada aspek
kebahagiaan lahir dan batin.
Meskipun demikian dalam hal perkawinan di bawah umur terpaksa
dilakukan, maka Undang-undang Nomor 1 Tahun 1974 masih memberikan
kemungkinan penyimpangannya. Hal ini diatur dalam Pasal 7 ayat (2)
Undang-undang Nomor 1 Tahun 1974, yaitu dengan adanya dispensasi dari
Pengadilan bagi yang belum mencapai batas umur minimal tersebut. Dari
adanya ketentuan tersebut dapat dipahami bahwa perkawinan dibawah umur
yang dilakukan oleh masyarakat berdasarkan ketentuan undang-undang
perkawinan tidak menimbulkan akibat hukum apapun karena perkawinan
tersebut telah sah berdasarkan ketentuan Undang-undang.

Hak cipta @ milik UPN "Veteran" Jatim :
Dilarang mengutip sebagian atau seluruh karya tulis ini tanpa mencantumkan dan menyebutkan sumber.

55

Namun bila perkawinan itu tidak di catatkan di KUA maka
perkawinan tersebut dapat menimbulkan suatu akibat hukum yang
berdasarkan hukum positif yang terdapat di Negara Indonesia bahwa
perkawinan yang tidak dilakukan berdasarkan undang-undang perkawinan
maka perkawinan tersebut dianggap tidak sah oleh Negara sesuai pasal 2
ayat ( 2 ) bahwa tiap-tiap perkawinan dicatat menurut peraturan
perundanagan yang berlaku. Dengan tidak sahnya perkawinan tersebut maka
perkawinan tersebut sudah melanggar ketentuan yang diatur dalam pasal 45
ayat (1) a PP No.9 Tahun 1975 tentang penjelasan Pelaksanaan UU No. 1
Tahun 1974 tentang perkawinan. Disamping itu dari adanya perkawinan
tersebut akan menimbulkan suatu akibat hukum yang berdampak pada istri,
anak serta harta benda yang diperoleh saat bersama :
1. Dampak terhadp Istri
• istri tidak bisa menggugat suami secara hukum apabila ditinggal oleh
suami
• istri tidak berhak atas nafkah dari suami serta warisan apabila
suaminya meninggal
• istri tidak berhak atas harta gono-gini apabila terjadi perceraian atau
suaminya telah meninggal
• istri tidak dapat menuntut haknya sebagai seorang istri karena status
istri tersebut dianggap tidak sah oleh Negara.

Hak cipta @ milik UPN "Veteran" Jatim :
Dilarang mengutip sebagian atau seluruh karya tulis ini tanpa mencantumkan dan menyebutkan sumber.

56

2. Status anak
Berdasarkan Undang-Undang No.23 Tahun 2002 Pasal 4
menjelaskan bahwa setiap anak berhak untuk hidup, tumbuh,
berkembang, dan berpartisipasi secara wajar sesuai dengan harkat dan
martabat kemanusiaan, serta mendapat perlindungan dari kekerasan dan
diskriminasi. Serta penjelasan pasal 5 bahwa setiap anak berhak atas
suatu nama sebagai identitas diri dan status kewarganegaraan.
Dari pemahaman diatas dapat kita pahami bahwa setiap anak
Anak yang dilahirkan dari hasil dari perkawinan yang sah berhak
mendapatkan hak-hak yang telah disebutkan diatas namun hal tersebut
berbeda dengan anak yang dilahirkan dari perkawinan yang tidak sah.
Anak yang dilahirkan dari pertkawinan yang tidak sah tersebut tidak
berhak atas nafkah, tunjangan hidup, harta warisan dan hak-hak lain
sebagai anak dari ayahnya karena kedudukan anak tersebut dianggap
tidak sah oleh Negara.
Sedangkan dampak lainnya ialah sulit memperoleh akte kelahiran
anak karena untuk memperoleh akte kelahiran harus mendapat surat
keterangan lahir dari bidan serta adanya surat nikah. Hal tersebut
dikarenakan karena anak yang sah adalah anak yang dilahirkan dari
perkawinan yang sah ( Pasal 42 Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1974
Tentang perkawinan ) sedangkan perkawinan yang sah adalah
perkawinan yang dilakukan menurut hukum masing-masing agama dan
kepercayaanya serta tiap-tiap perkawinan dicatatkan menurut peraturan

Hak cipta @ milik UPN "Veteran" Jatim :
Dilarang mengutip sebagian atau seluruh karya tulis ini tanpa mencantumkan dan menyebutkan sumber.

57

perundang-undangan yang berlaku ( Pasal 2 ayat (1) dan (2) UndangUndang Nomor 1 Tahun 1974 tentang perkawinan ). Dala

Dokumen yang terkait

Perkawinan Dibawah Umur Ditinjau dari Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1974 Tentang Perkawinan dan Hukum Adat Serta Kompilasi Hukum Islam

6 131 125

Persintuhan Hukum Perkawinan Adat Minangkabau Dengan Hukum Perkawinan Islam Dikaitkan Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1974 Tentang Perkawinan

2 32 140

Akibat Hukum Dari Suatu Perkawinan Yang Tidak Didaftarkan Menurut Undang-Undang Nomer 1 Tahun 1974..

0 23 5

Perkawinan Dibawah Umur Menurut Undang Undang Nomor 1 tahun 1974 tentang perkawinan (studi di Pengadilan Agama Klaten)

0 9 183

HUKUM PERKAWINAN MENURUT ADAT MENTAWAI DIHUBUNGKAN DENGAN UNDANG-UNDANG PERKAWINAN (UNDANG-UNDANG NO.1 / 1974).

0 0 9

Sanksi Adat Dalam Perkawinan Sesuku Di Minangkabau dikaitkan Dengan Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1974 Tentang Perkawinan Dan Hukum Adat Minangkabau.

0 1 1

BAB II PENGATURAN PERKAWINAN DI INDONESIA A. Pengaturan Perkawinan Sebelum Lahirnya Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1974 tentang Perkawinan - Perkawinan Dibawah Umur Ditinjau dari Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1974 Tentang Perkawinan dan Hukum Adat Serta Kompil

0 0 38

BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang - Perkawinan Dibawah Umur Ditinjau dari Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1974 Tentang Perkawinan dan Hukum Adat Serta Kompilasi Hukum Islam

0 0 12

PERKAWINAN DI BAWAH UMUR DITINJAU DARI UNDANG- UNDANG NOMOR 1 TAHUN 1974 TENTANG PERKAWINAN DAN HUKUM ADAT SERTA KOMPILASI HUKUM ISLAM SKRIPSI

0 0 13

AKIBAT HUKUM PERKAWINAN DIBAWAH UMUR DITINJAU DARI UNDANG – UNDANG NOMOR 1 TAHUN 1974 TENTANG PERKAWINAN SKRIPSI

0 0 13