HUBUNGAN MELASMA DENGAN TINGKAT KUALITAS HIDUP PADA WANITA Hubungan Melasma Dengan Tingkat Kualitas Hidup Pada Wanita.

HUBUNGAN MELASMA DENGAN TINGKAT KUALITAS
HIDUP PADA WANITA

NASKAH PUBLIKASI
Untuk memenuhi sebagian persyaratan
Mencapai derajat Sarjana Kedokteran

Diajukan Oleh :
Reza Nur Said
J500120114

FAKULTAS KEDOKTERAN
UNIVERSITAS MUHAMMADIYAH SURAKARTA
2016

 

 

ABSTRAK
HUBUNGAN ANTARA MELASMA DENGAN TINGKAT KUALITAS

HIDUP PADA WANITA
Reza Nur Said1, Ratih Pramuningtyas2, Devi Usdiana R2, 2016
Fakultas Kedokteran, Universitas Muhammadiyah Surakarta
Latar Belakang: Melasma adalah hiperpigmentasi, umumnya simetris berupa
makula yang tidak merata berwarna coklat muda sampai coklat tua, mengenai area
dengan predileksi pipi, dahi, daerah atas bibir, hidung, dan dagu. Melasma secara
psikologis berpotensi menggangu penampilan dan mengakibatkan rasa rendah diri
yang dapat menurunkan produktivitas, harga diri, dan fungsi sosial bagi
penderitanya
Tujuan: Untuk mengetahui hubungan antara melasma dengan tingkat kualitas
hidup pada wanita.
Metode: Desain penelitian yang digunakan adalah metode observasional dengan
rancangan penelitian cross sectional. Besar sampel yang digunakan adalah 50
wanita dengan umur 30-44 tahun yang menderita melasma dan tidak melasma di
Desa Turirejo, Kecamatan Jepon, Blora. Pengambilan sampel menggunakan
teknik purposive sampling. Hubungan melasma dengan tingkat kualitas hidup ini
dianalisis menggunakan Chi-Square dengan menggunakan program SPSS versi
17.0.
Hasil penelitian:Tingkat kualitas hidup pada penderita melasma 16% buruk, 36%
rendah, 24% sedang, 24% baik. Hasil uji statistik didapatkan nilai p= 0,000,

sehingga dapat disimpulkan bahwa terdapat hubungan yang bermakna antara
melasma dengan tingkat kualitas hidup.
Kesimpulan: Terdapat hubungan antara melasma dengan tingkat kualitas hidup
pada wanita dengan tingkat kualitas hidup terbanyak adalah kualitas hidup rendah
sebesar 36%.

Kata kunci: Melasma, Tingkat Kualitas Hidup, Wanita

 

 

 

ABSTRACT
THE CORRELATION BETWEEN MELASMA WITH THE LEVELOF
QUALITYOF LIFE IN WOMEN
Reza Nur Said1, Ratih Pramuningtyas2, Devi Usdiana R2
Faculty of Medicine, Muhammadiyah University of Surakarta


Background: Melasma is hyperpigmentation, generally symmetrical, macular
form uneven light brown to dark brown, and most frequently noticed on sunexposed areas of the face, especially the cheeks, forehead, upper lip, nose, and
chin. Psychologically, melasma potentially interfere appearance of someone and
lead to low self-esteem that can reduce productivity, self-esteem, and social
functioning for the patients.
Objective:To determine the correlationbetweenmelasmawith the level ofquality of
lifein women.
Methods: This study used observational method with cross sectional study design.
Sample size of this study was 50 womenaged30-44yearswho suffer
frommelasmaand who didn’tsuffer frommelasmainTurirejoVillage, District Jepon,
Blora. Sampling technique used purposive sampling. Datawere analyzedwithChisquare using SPSS programversion 17.0.
Result: The level of quality of life in patients with melasma 16% poor, 36% low,
24% moderate, 24% good. Statistical test result p value = 0.000, so it can be
concluded that there is a significant corellation between melasma with the level of
quality of life.
Conclusion: There is a corellation between melasma with the level of quality of
life in women with the highest levels of quality of life is lowquality of lifewith a
percentage of36%.

Keywords: Melasma, Level of Quality of Life, Women

 
 
 
 

 

 

 

Pendahuluan
Melasma adalah hipermelanosis yang tidak merata terutama pada muka,
berwarna coklat muda sampai coklat tua,berkembang lambat, dan umumnya
simetrik (Soepardiman, 2010). Kejadian melasma dapat mengenai semua ras akan
tetapi paling sering mengenai individu berkulit gelap (tipe kulit Fitzpatrick IV, V,
VI), yaitu pada penduduk yang tinggal di daerah tropis dengan radiasi sinar ultra
violet (UV) yang tinggi (Sachdeva, 2006). Adapun faktor-faktor lain yang
mempengaruhi timbulnya melasma yaitu paparan sinar ultra violet (UV),
perubahan hormonal selama kehamilan, obat-obatan fototoksik, bahan kimia dan

penggunaan kosmetik (Tzouveka, 2014). Melasma umumnya lebih banyak pada
wanita dan penduduk yang tinggal di daerah tropis (Soepardiman, 2010).
Penelitian di Amerika Serikat, Sanchez mengatakan melasma fasial
menempati urutan ke 5 (8,2%) dari jumlah 1000 kunjungan ras Latin di kliniknya.
Insiden melasma di Hispanik/Latin sebesar 80% terutama pada wanita hamil di
Meksiko (Taylor, 2008). Kunjungan pasien melasma pada klinik spesialis kulit di
Asia Timur Selatan diperkirakan sekitar 0,25-4% (Djauhari, 2012). Penderita
melasma di Indonesia diperkirakan sekitar 0,2-4% dari penderita penyakit kulit
(Soepardiman, 1997, citEkarini, 2002). Berdasarkan data di poliklinik departemen
Ilmu Kesehatan Kulit dan Kelamin (IKKK) RS. DR. Cipto Mangunkusumo
(RSCM) tahun 2004 didapatkan prevalensi melasma sebanyak 2,39% dan
insidensi 2,49%, dari data tersebut menunjukkan adanya peningkatan insidensi
0,1% dalam setahun (Febrianti et al., 2005).
Melasma atau yang dikenal dengan istilah flek, secara medis merupakan
masalah kesehatan dan secara estetika dapat mengganggu kecantikan. Meskipun
tidak membahayakan, flek menimbulkan dampak negatif yang signifikan pada
kualitas hidup penderitanya di mana secara psikologis berpotensi menggangu
penampilan dan mengakibatkan rasa rendah diri yang dapat menurunkan
produktivitas, harga diri, dan fungsi sosial bagi penderitanya (Hamed, 2004).
Menurut penelitian sebelumnya yang dilakukan Hadiyati (2013) tentang

Kualitas Hidup pada Pasien Melasma di RSUD Dr. H. Moeloek Lampung
didapatkan adanya hubungan antara melasma dengan kualitas hidup pada

 

 

 

penderita melasma. Sedangkan menurut penelitian Rahmawati (2011) tentang
Hubungan antara Melasma dengan Tingkat Kualitas Hidup didapatkan bahwa
tidak terdapat hubungan yang signifikan antara melasma dengan kualitas hidup
pada penderita melasma.Tujuan yang ingin dicapai dalam penelitian ini
adalahuntuk mengetahui hubungan antara melasma dengan tingkat kualitas hidup
pada wanita.

Metode
Penelitian ini merupakan penelitian observasional analitik dengan
pendekatan studi cross sectional. Penelitian dilaksanakan di desa Turirejo,
Kecamatan Jepon, Blora. Subjek dalam penelitian ini adalah ibu-ibu

Pemberdayaan Kesejahteraan Keluarga (PKK) di desa Turirejo. Besar sampel
sebanyak 50. Teknik pengambilan sampel yang digunakan dalam penelitian ini
dengan cara

purposif sampling yaitu skema pencuplikan di mana peneliti

mengambil subjek dari populasi sumber sebagai sampel untuk diteliti yang sesuai
dengan kriteria peneliti (Sastroasmoro, 2011). Kriteria inklusi: wanita, berusia 3044 tahun, bersedia menandatangani lembar persetujuan keikutsertaan dalam
penelitian. Kriteria eksklusi: wanita yang sedang hamil, menderita penyakit
kronik lainnya seperti kanker, diabetes melitus, jantung koroner. Identifikasi
variabel terdiri dari variabel bebas melasma (skala nominal) dan variabel terikat
kualitas hidup (skala ordinal). Instrumen penelitian antara lain lembar persetujuan
keikutsertaan dalam penelitian, kuesioner Dermatology Life Quality Index
(DLQI), alat tulis, kamera digital sony 14 megapiksel.

 

 

 


Hasil
Karakteristik pekerjaan subjek dengan melasma dan tidak melasma
dijelaskan pada Tabel 1. Mayoritas sebagian besar penderita melasma adalah
petani dengan persentase 48%. Sedangkan yang tidak melasma dengan jumlah
terbanyak yaitu ibu rumah tangga dengan persentase 44%.
Tabel 1.Distribusi Subjek Sesuai Pekerjaan
Pekerjaan

Melasma
N
Persentase
8
32 %
12
48 %

Tidak Melasma
N
Persentase

9
36 %
5
20 %

PNS
Petani
Ibu Rumah
5
20 %
Tangga
Total
25
100 %
Sumber : data primer, 2015

11

44 %


25

100 %

Karakteristik usia subjek dengan melasma dan tidak melasma dijelaskan
pada Tabel 2. Sebagian besar penderita melasma berusia antara 41-44 tahun
dengan persentase 64%. Sedangkan yang tidak melasma dengan persentase 40%
yaitu berusia 30-35 tahun dan 41-44 tahun.
Tabel 2. Distribusi Subjek Sesuai Usia
Melasma
N
Persentase
30-35
4
16 %
36-40
5
20 %
41-44
16

64 %
Total
25
100 %
Sumber : data primer, 2015
Umur

Tidak Melasma
N
Persentase
10
40 %
5
20 %
10
40 %
25
100 %

 

 

 

76 %
buruk
rendah

36%
24% 24%
16%

12%
4%

sedang
8%
baik

Melasma

Tidak melasma

Gambar 1. Perbandingan Kualitas Hidup Melasma dan Tidak Melasma

Gambar 1 menjelaskan perbandingan kualitas hidup penderita melasma
dan tidak melasma. Data tersebut menunjukkan bahwa untuk sampel penderita
melasma memiliki tingkat kualitas hidup terbanyak adalah kualitas hidup rendah
36%, sedangkan pada sampel yang tidak melasma memiliki tingkat kualitas hidup
terbanyak adalah kualitas hidup baik 76%. Analisis data dengan uji Chi
Squarenilai p = 0,000.

Pembahasan
Penelitian dilakukan

pada bulan November 2015 di Desa Turirejo

Kecamatan Jepon Kabupaten Blora. Penelitian ini menggunakan metode
observasional analitik dengan pendekatan cross sectional. Jumlah sampel yang
digunakan adalah 50 orang, 25 orang melasma dan 25 orang tidak melasma yang
telah sesuai dengan kriteria restriksi. Kemudian seluruh sampel diberikan
kuesioner Dermatology Life Quality Indeks (DLQI) untuk mengetahui tingkat
kualitas hidup dan melasma didiagnosis oleh dokter umumsecara inter observer
menggunakan foto.
Tabel 1 menunjukkan bahwa mayoritas sebagian besar penderita melasma
adalah petani dengan persentase 48%, sedangkan yang tidak melasma dengan
jumlah terbanyak yaitu ibu rumah tangga dengan persentase 44%. Hasil penelitian

 

 

 

ini sejalan dengan penelitian Maeda et al. (2007), bahwa hampir 85,2% penduduk
Jepang yang mempunyai kebiasaan berladang tanpa menggunakan penutup wajah
dan anggota tubuh terjadi flek hitam di wajah, bercak yang menyebar, dan hasil
diagnosa positif melasma, hal ini terjadi karena mereka secara permanen terpapar
dengan sinar matahari mulai pagi sampai menjelang sore. Umumnya petani mulai
bekerja jam 5.30 sampai jam 17.00 sore sehingga frekuensi mereka terpapar sinar
matahari sangat tinggi sehingga sangat beresiko terhadap terjadinya melasma.
Dalam penelitian ini sebagian besar penderita melasma berusia antara 4144 tahun dengan persentase 64%, sedangkan yang tidak melasma dengan
persentase 40% yaitu berusia 30-35 tahun dan 41-44 tahun (Tabel 2). Penelitian
sebelumnya yang dilakukan oleh Rikyanto (2003) di Poli Kulit RSUD Kota
Yogyakarta selama 3 tahun, kelompok usia kasus melasma terbanyak pada usia
31-40 tahun, sedangkan penelitian yang dilakukan Hadiyati (2013) di RSUD H.
Abdul Moeloek Lampung, angka kejadian melasma tertinggi yaitu kelompok usia
32-47 tahun. Sesuai dengan kepustakaan, insiden terbanyak pada usia 30–44
tahun(Soepardiman, 2010).
Berdasarkan analisis nilai kappa didapatkan nilaikappa= 0,880 dan p value
>0,000 yang mempunyai arti nilai tingkat reliabilitas sangat kuat. Hal ini sesuai
dengan kepustakaan dimana nilai kappa 0,81-0,99 mempunyai arti nilai tingkat
reliabilitas sangat kuat (Viera, 2005). Berdasarkan hasil analisis data dengan
menggunakan Chi Square didapatkan nilai p = 0,000, karena nilai p < 0,05 maka
dapat disimpulkan terdapat hubungan antara melasma terhadap tingkat kualitas
hidup pada wanita. Gambar 1 menunjukkan bahwa sampel penderita melasma
memiliki tingkat kualitas hidup terbanyak adalah kualitas hidup rendah 36%,
sedangkan pada sampel yang tidak melasma memiliki tingkat kualitas hidup
terbanyak adalah kualitas hidup baik 76%. Hasil ini sesuai dengan kepustakaan
yang menyatakan bahwa melasma memberi dampak pada psikologis pasien yang
menderita melasma. Melasma berpotensi mengganggu penampilan, dan
mengakibatkan rasa rendah diri yang dapat menurunkan produktivitas, harga diri,
dan fungsi sosial bagi penderitanya (Hamed, 2004). Menurut penelitian Sari
(2010), perasaan rendah diri bisa berupa rasa malu, takut, ataupun minder

 

 

 

dikarenakan orang tersebut merasa memiliki kekurangan secara fisik, sosial dan
psikis.

Kesimpulan
Berdasarkan hasil dan pembahasan dapat diambil kesimpulan bahwa
terdapat hubungan antara melasma dengan tingkat kualitas hidup pada wanita.

Daftar Pustaka
Djauhari T., 2012. Hubungan antara Kadar Tembaga Darah dan Penggunaan Jenis
Kontrasepsi Oral pada Pasien Melasma. Program Pascasarjana Universitas
Airlangga. Disertasi.
Febrianti T, Sudharmono A, Rata I, Bernadette I., 2005. Epidemiologi Melasma di
Poliklinik Departemen Ilmu Kesehatan Kulit dan Kelamin RS. DR. Cipto
Mangunkusumo tahun 2004.
Hadiyati P.U., Sibero H.T., Apriliana E. 2013. Kualitas Hidup pada Pasien
Melasma di RSUD Dr. H. Abdul Moeloek Lampung. Skripsi, Universitas
Lampung
Hamed, S.H. 2004. Efficacy and Mechanism of Action of A New Tyrosinase
Inhibitory Agent. Cincinnati, USA, University of Cincinnati. PhD Thesis.
Maeda Kazuhisa dan Tomita Yasushi, 2007. Mechanism of the Inhibitory Effect
of Tranexamic Acid on Melanogenesis in Cultured Human Melanocytes in
the Presence of Keratinocyte-conditioned Medium, Journal of Health
Science, Japan
Rahmawati N. 2011. Hubungan antara Melasma dengan Tingkat Kualitas Hidup.
Skripsi. Universitas Sebelas Maret Surakarta
Rikyanto. 2004. Profil kasus melasma pelanggan klinik kosmetik di RSUD kota
Yogyakarta.Perdoski

[Internet].

Tersedia

di:

www.perdoski.or.id/index.php/public/information/mdvidetail-content/87

 

 

 

Sachdeva S. 2006. Comparative efficacy of 10-20% trichloroacetic acid and 3570% glycolic acidpeel in 60 cases of melasma, freckles, lentigines and
postinflammatoryhyperpigmentation. J Pak Assoc Dermatol. 16:74-78.
Sari N. 2010. Mengatasi Rendah Diri Melalui Konseling Kelompok dengan
Menggunakan Pendekatan Client Centered Siswa Kelas XI SMA Kristen 1
Salatiga Tahun Pelajaran 2009/2010. Skripsi. Salatiga. Universitas kristen
Satya Wacana
Sastroasmoro, S., Ismael, S. 2011. Dasar – Dasar Metodologi Penelitian Klinis
edisi 4. Jakarta: Sagung Seto
Soepardiman L, Ruswan SA., 1997. Epidemiology of melasma in asian countries.
Pigmentary disorders from global perspective, dalam : Ekarini D., 2002. Uji
Banding Efektivitas Pengelupasan Kimiawi Amino Fruit Acids dengan
Asam Glikolat Pada Penderita Melasma Wanita. SMF Ilmu Penyakit Kulit
dan Kelamin Universitas Diponegoro. Laporan Penelitian
Soepardiman, L. 2010. Kelainan Pigmentasi. Dalam: Djuanda, A., Hamzah, M.,
Aisah, S. (eds). Ilmu Penyakit Kulit dan KelaminEdisi Kelima. Jakarta:
Balai Pustaka FKUI, pp: 271-4.
Taylor, A., Pawaskar, M., Taylor, S.L., Balkrishnan, R., Feldman, S.R. 2008.
Prevalence of pigmentary disorders and their impact on quality of life: a
prospective cohort study. J Cosmet Dermatol. 7(3): 164-8.
Tzouveka, Eleni. 2014. Epidemiology and Risk Factors of Melasma. Journal of
Pigmentary Disorders.
Viera,

J.

A.,

M.D.

Joanne,

M.,

Garrett.

2005.

Understanding

Interobserver Agreement: The Kappa Statistic. Family Medicine
Journal. 37 (5): 360-363.