PERLINDUNGAN HUKUM TERHADAP PASIEN AKIBAT MALPRACTICE Ikhsan Yusda PP Dosen Jurusan Teknologi Informasi Politeknik Negeri Padang ikhsan_yusdayahoo.com ABSTRAK - PERLINDUNGAN HUKUM TERHADAP PASIEN AKIBAT MALPRACTICE - Politeknik Negeri Padang

PERLINDUNGAN HUKUM TERHADAP PASIEN AKIBAT MALPRACTICE

  Ikhsan Yusda PP Dosen Jurusan Teknologi Informasi Politeknik Negeri Padang ikhsan_yusda@yahoo.com

  

ABSTRAK

  Timbulnya malpractice bermula pada hubungan pasien-dokter. Hubungan inilah yang memberikan dasar terdapatnya hak dan kewajiban antara kedua belah pihak. Dalam transaksi terapeutik dokter harus menggunakan kepandaiannya maupun keilmuan yang dimilikinya dalam melakukan perawatan seorang pasien dan kewajiban pasien untuk membayar honorarium dan sebagainya. Adanya kelalaian dokter akibat hubungan yang telah terjadi dapat menyebabkan kerugian pasien. Perubahan nilai-nilai yang terjadi dalam masyarakat akan mengakibatkan benturan-benturan kepentingan yang tidak jarang menyebabkan seseorang akan bertindak menyimpang dari norma-norma yang telah ada sebelumnya. Kode Etika Kedokteran adalah perwujudan nilai-nilai moral yang berlaku bagi profesi kedokteran yang sampai kini berusaha mempertahankan kemuliaan dan kehormatan profesi kedokteran. Transaksi antara dokter dan pasien menimbulkan hak dan kewajiban yang timbal balik, dan apabila hak dan kewajiban itu tidak dipenuhi oleh salahsatu pihak yang sudah bersepakat mengadakan transaksi itu, maka wajarlah apabila pihak yang merasa dirugikan melakukan tuntutan gugatan. Sehingga akhir-akhir ini banyak timbul permasalahan yang menjurus pada tuduhan malpractice kepada profesi dokter. Sebagai pemakai terakhir dari jasa, maka pasien merupakan konsumen yang memakai jasa pelayanan kesehatan. Oleh karena konsumen menyangkut semua individu, maka konsumen mempunyai hak yang mendapat perlindungan hukum, baik itu Hak-hak Asasi Manusia maupun Masyarakat Ekonomi Eropa telah menemukan adanya hak-hak dasar konsumen itu.

  Kata kunci: Dokter-Pasien, Transaksi Terapeutik, Malpractice, Perlindungan Hukum.

  

ABSTRACT

The emergence of malpractice began in patient-physician relationship. These relationships

that provide the presence of basic rights and obligations between the parties. In the

transaction therapeutic doctors should use its intelligence and science in the treatment of a

patient and the patient's obligation to pay the fee and so on. Doctor's negligence that has

occurred as a result of a relationship can cause harm patients. Changes in values that

occurred in the community will lead to conflicts of interest that does not cause a person will

act rarely deviate from the norms that have been there before. Code of Medical Ethics is the

embodiment of moral values that apply to the medical profession, which until now tried to

keep the glory and honor of the medical profession. Transactions between doctor and patient

rights and obligations are reciprocal, and if the rights and obligations are not met by one of

the main parties have agreed to hold the deal, it was natural if the party who feels aggrieved

perform action lawsuit. So lately many problems arise that lead to allegations of malpractice

to the medical profession. As end users of the service, so patients are consumers who use

  

health services. Because of consumer concerns all individuals, then the consumer has the

right to legal protection, both Human Rights and the European Economic Community has

discovered the existence of the basic rights of the consumer .

  Keywords: Doctor-Patient, Therapeutic Transactions, Malpractice, Legal Protection.

  PENDAHULUAN Akhir-akhir ini kalangan dokter sibuk membicarakan masalah Kode Etik Kedokteran.

  Misalnya saja, bulan Desember 1978 telah diadakan Simposium Kode Etik Kedokteran Indonesia dengan tema Penilaian Kembali Pelaksanaan Kode Etik Kedokteran Indonesia. Fakultas Kedokteran Airlangga pun pada bulan April 1981 mengadakan Panel Diskusi Peranan Pendidikan Kedokteran dalam Menegakkan Kode Etik Kedokteran Indonesia dan Pemantapan Citra Dokter di dalam Masyarakat. Bahkan baru-baru ini telah diadakan Panel Diskusi Aspek Hukum dalam Profesi Kedokteran di Bandung.

  Adanya berbagai macam diskusi tersebut memberi petunjuk pada kita, bahwa sebenarnya kalangan dokter sendiri merasakan adanya pelayanan dokter yang kurang ataupun tidak sesuai dengan maksud dari Kode Etik tersebut. Di samping itu dokter saat ini memang sedang disoroti oleh masyarakat lewat media massa, baik itu media TV maupun beberapa surat kabar harian yang terbit di ibu kota. Pada umumnya, keluhan masyarakat berupa pelayanan kesehatan yang mengakibatkan kerugian pasien atau dapat menimbulkan penderitaan lebih lanjut. Misalnya, akibat tindakan dokter yang kurang tepat menyebabkan seorang pasien meninggal dunia.

  Kita kini memang hidup dalam suatu masa transisi, karena terjadi perubahan besar dalam susunan masyarakat yang mempengaruhi sendi-sendi kehidupan kita dan karena terjadinya perubahan besar lain yang lebih mendalam sifatnya, yaitu pergeseran nilai-nilai budaya yang mempengaruhi alam pikiran, mentalitet serta jiwa kita. (saya kursipkan). (Kuncaraningrat.1975:17). Ini adalah akibat pembangunan yang sekarang sedang kita lakukan, di mana masa pembangunan merupakan masa ketimpangan-ketimpangan. (Soemardjan. 1976).

  Perubahan nilai-nilai yang terjadi dalam masyarakat akan mengakibatkan benturan- benturan kepentingan yang tidak jarang menyebabkan seseorang akan bertindak menyimpang dari norma-norma yang telah ada sebelumnya. Kode Etika Kedokteran adalah perwujudan nilai-nilai moral yang berlaku bagi profesi kedokteran yang sampai kini berusaha mempertahankan kemuliaan dan kehormatan profesi kedokteran. Oleh karena Kode Etik tersebut mengandung makna yang sangat berkait erat dengan:

  1. Perilaku yang berisikan hak dan kewajiban berdasarkan perasaan moral, dan 2. Perilaku yang sesuai untuk mendukung sntar profesi. (Koeswadji, 1981:3).

  Terjadinya hubungan kepercayaan antara 2 (dua) insan, yaitu; sang pengobat dan penderita, dalam zaman modern sekarang ini disebut transaksi terapeutik antara dokter dan pasien. Adapun yang dimaksudkan dengan ”transaksi terapeutik” adalah transaksi untuk menentukan-mencari terapi yang paling tepat bagi pasien dan dokter. (Koeswadji, 1981:4). Transaksi antara dokter dan pasien menimbulkan hak dan kewajiban yang timbal balik, dan apabila hak dan kewajiban itu tidak dipenuhi oleh salah satu pihak yang sudah bersepakat mengadakan transaksi itu, maka wajarlah apabila pihak yang merasa dirugikan melakukan tuntutan gugatan. Sehingga akhir-akhir ini banyak timbul permasalahan yang menjurus pada tuduhan malpractice kepada profesi dokter.

  Sebagai pemakai terakhir dari jasa, maka pasien merupakan konsumen yang memakai jasa pelayanan kesehatan. Oleh karena konsumen menyangkut semua individu, maka konsumen mempunyai hak yang mendapat perlindungan hukum, baik itu Hak-hak Asasi Manusia maupun Masyarakat Ekonomi Eropa telah menemukan adanya hak-hak dasar konsumen itu.

  Berdasarkan beberapa pokok uraian di atas, maka penelaahan malpractice dalam artikel ini penulis kaitkan dengan transaksi antara dokter-pasien berdasarkan hubungan keperdataan yang dijamin oleh Hak Asasi Manusia.

  Masalah yang timbul dari penelaahan tersebut adalah: sampai seberapa jauh perlindungan hukum terhadap pasien akibat malpractice? Dari sini timbul beberapa persoalan, yaitu:

  1. Adakah hak-hak pasein yang mendapat perlindungan hukum?

  2. Faktor-faktor apakah yang menghambat terealisirnya hak-hak pasien itu?

  3. Usaha-usaha apakah yang dapat dilakukan untuk mengurangi timbulnya malpractice?

TINJAUAN PUSTAKA

1. Pengertian Malpractice

  Malpractice adalah suatu tindakan yang kurang hati-hati dari seseorang dalam

  menjalankan profesinya. Ukuran dari tingkah laku yang kurang hati-hati itu tidak kita temui dalam hukum melainkan terletak pada ketentuan seorang hakim atau juri. (Hayt, 1964: 328-329). Istilah malpractice mempunyai konotasi yang luas dan biasanya dipakai untuk bad practice; suatu ketika disebut dengan malapraxis, dalam hal perawatan seorang pasien. Dalam Legal Aspects of Medical Records hal. 329 kita dapat membaca rumusan malpractice sebagai:

  1. the failure of a physician or surgeon in the treatment of patient to possess and employ that reasonable degree of learning skill, and experience which ordinarily is possessed by others of his profession; or

  2. his failure to exercise reasonable and ordinary care and diligence in the exertion of his skill and the application of his knowledge; or 3. his failure to exert his best judgment as to the treatment of the case entrusted to him; or 4. his failure to bestow such reasonable and ordinary care skill, and diligence as physician and surgeens in the same neigborhood in the same general of practice orninary have and exercise in like cases. Dari tulisan di atas dapat disimpulkan bahwa timbulnya malpractice bermula pada hubungan pasien-dokter. Hubungan inilah yang memberikan dasar terdapatnya hak dan kewajiban antara kedua belah pihak. Dalam transaksi terapeutik dokter harus menggunakan kepandaiannya maupun keilmuan yang dimilikinya dalam melakukan perawatan seorang pasien dan kewajiban pasien untuk membayar honorarium dan sebagainya. Adanya kelalaian dokter akibat hubungan yang telah terjadi dapat menyebabkan kerugian pasien.

  Black’s Law Dictionary memerinci persyaratan untuk timbulnya suatu medical

  malpractice ke dalam 4 hal, yaitu:

  1. the existence of a physician’s duty to the plaintiff, usually based upon the existence of the physician patient relationship; 2. the applicable standard of care and its violation;

  3. A consensable injury;

  4. A causal connection between the violation of the standard of care and the harm complained.

  Persyaratan itupun memberi gambaran kepada kita bahwa malpractice bisa terjadi bila ada hubungan dokter-pasien. Timbulnya malpractice harus didahului oleh hubungan dokter-pasien yang masing-masing pihak dibebani hak-hak maupun kewajiban. Oleh karena hubungan dokter-pasien dalam transaksi terapeutik itu bertumpu pada 2 (dua) macam hak asasi, yaitu;

  1. hak untuk menentukan nasih sendiri; dan 2. hak atas informasi. (Koeswadji, 1981: 17).

  Maka pengertian malpractice yang dibahas dalam atikel ini sangat terkait dengan hak- hak pasien yang tidak dipenuhi oleh seorang dokter. Sudah barang tentu persyaratan untuk timbulnya malpractice sebagaimana telah diuraikan di atas, tetap akan disinggung sepanjang ada relevansi dengan masalah pokoknya.

2. Hubungan Dokter dan Pasien

  Transaksi antara dokter-pasien secara umum diatur dalam pasal 1320 Kitab UU Hukum Perdata. Suatu transaksi atau perjanjian dapat dikatakan sah bila memenuhi syarat-syarat:

  1. sepakat dari mereka yang mengikatkan dirinya; 2. kecakapan untuk membuat suatu perikatan; 3. suatu hal tertentu; dan 4. karena suatu sebab yang halal.

  Transaksi terapeutik antara dokter-pasien pun harus memenuhi syarat-syarat tersebut di atas, dan bila transaksi telah terjadi maka kedua belah pihak dibebani hak dan kewajiban yang dilindungi dan dijamin oleh Hak Asasi Manusia sebagai hak-hak dasar yang bersifat universal.

  Pada asasnya hubungan dokter-pasien dalam transaksi terapeutik itu bertumpu pada 2 (dua) macam hak asasi, yaitu; 1. hak untuk menentukan nasib sendiri (”the right to selfdetermination”); dan 2. hak atas informasi (”the right to be informed”). (Koeswadji, 1981:5).

  Adanya 2 (dua) hak tersebut membawa konsekuensi bagi seorang dokter dalam menjalankan profesinya untuk mengkomunikasikan setiap tindakan terapeutik itu kepada pasiennya. Tentunya dokterlah yang dapat menseleksi apa yang harus dikomunikasikan dan bagaimana caranya untuk mengkomunikasikannya. Informasi dokter itu sangat diperlukan oleh seorang pasien, sehingga dia dapat memilih ataupun menentukan nasib dirinya, perawatan apakah yang dia kehendaki.

  Pada tahun 1914 oleh seorang Justice Cardozo di Schloem-dorff v. Society of the New York Hospital menyatakan bahwa:

  ”Every human being of adult years and sound mind has a right to determine what shall he does with his own body, a surgeon who performs an operation without his

patient’s consent, commits an assault for which he is liable in damages”. (Florence: 8).

  Pernyataan yang hampir serupa dikemukakan pula oleh seorang hakim Natenson V. Kline:

  A man is a master o his own body. He may expressly prohibit the performance of lifesaving surgery or other medical treatment. A doctor may well believe that an operation or other form of treatment is desirable or necessary, but the law does not permit him to substitute his own judgement for that of the patient by any form of article or deception”. (Florence: 8).

  Dari 2 (dua) pernyataan hakim tersebut di atas, dalam hubungn dokter-pasien, maka masalah informasi yang berkaitan dengan perawatan, diagnosa maupun porgnosa memberi beban kepada dokter untuk bertindak hati-hati dan seksama dalam menanggapi kepercayaan yang dilimpahkan oleh pasien kepadanya. Ini berarti, kalau dokter telah memenuhi ketentuannya yang telah tercantum dalam Kode Etik Kedokteran Indonesia yang bertolak pada pasien, maka sagala kemungkinan yang terjadi terhadap setiap tindakan terapeutik itu harus dikomunikasikan pada pasien. Komunikasi itu sangat penting bagi seorang pasien untuk mengambil keputusan apakah yang akan dia kehendaki. Tentunya keputusan itu juga harus disepakati oleh dokternya.

  Jadi hak pasien itu perlu mendapat perhatian dalam transaksi tersebut. Hal ini disebabkan oleh sifat transaksi terapeutik itu adalah memberikan bantuan pertolongan (”hulpver-leningscontract”), di mana di satu pihak yaitu pasien telah menyerahkan dirinya dengan kepercayaan bahwa dokterlah dengan bekal ilmu dan keterampilannya yang dimilikinya akan dapat menolong dirinya. (Koeswadji, 1981:7). Dokter mempunyai kewajiban untuk bertindak hati-hati dan teliti dalam melayani kepercayaan pasien yang telah diberikan padanya. Sifat transaksi yang sedemikian itu membawa konsekuensi dalam beban pembuktiannya. Bagaimanakah seandainya tindakan dokter karena kurang hati- hatinya bisa menyebabkan cacat tubuh atau matinya seseorang? Dengan perkataan lain timbul permasalahan malpractice itu.

3. Kode Etik sebagai Pedoman Tingkah Laku Dokter

  Kode Etik Kedokteran harus diartikan sebagai pedoman tingkah laku bagi pelaksana profesi medis. Etika dalam kaitannya dengan filsafat dapat diartikan dalam 2 (dua) hal, yaitu:

  1. syarat-syarat yang diperlukan untuk memberikan batasan bagi apa yang disebut sebagai perbuatan yang benar, baik dan 2. apa yang disebut sebagai summum bonum, yaitu; batasan untuk sesuatu yang dikatakan baik dan benar. (Koswadji. 1981: 3).

  Etika dalam kaitannya dengan profesi tidak lain daripada suatu konsensus, suatu kesepakatan bersama diantara pendapat para ahli dalam menentukan hal-hal yang berhubungan dengan standar profesional. Dalam artinya yang demikian, maka etika sangat erat berkait dengan:

  1. perilaku yang berisikan hak dan kewajiban berdasarkan perasaan moral, dan 2. perilaku yang sesuai untuk mendukung standar profesi. Sehingga etika dapat disebut sebagai filsafat tentang tindakan manusia.

  Untuk dapat melaksanakan nilai-nilai yang terkandung dalam Kode Etik Kedokteran Indonesia (KODEKI) tersebut maka pengemban/pelaksana profesi harus menghayati serta mengamalkan isinya itu. Masalah kepatuhan atau ketaatan menyangkut masalah pengetahuan, pengakuan dan penghargaan terhadap isi KODEKI. Salah satu faktor yang mempengaruhi ketaatan seorang pengemban profesi ditentukan oleh jangka waktu penanaman nilai-nilai KODEKI, yaitu panjang atau pendeknya jangka waktu dalam usaha- usaha menanamkan itu dilakukan dan diharapkan memberi hasil. (Soekanto, 1976:45).

  Oleh karena ketaatan pada KODEKI dikontrol atas dan oleh dirinya sendiri.

  Kedokteran disebut sebagai suatu profesi, yaitu; suatu pekerjaan yang bersifat memberikan pelayanan dan yang mengandung 2 (dua) unsur, yaitu:

  1. Menerapkan seperangkat pengetahuan yang tersusun secara sistematis terhadap problema-problema tertentu.

  2. Probleman-problema tersebut mempunyai relevansi yang besar dalam hubungannya dengan nilai-nilai yang dipandang pokok dalam masyarakat. (Rahardjo. 1978: 144).

  Kode etik sebagai kode profesi merupakan faktor yang sangat penting dalam rangka pendekatan kepada pasien dan bersifat normatif. Norma-norma etik medis memang tidak dapat dipisahkan dari nilai-nilai yang dipandang pokok dalam masyarakat secara keseluruhan. Timbullah interaksi yang dinamis antara norma etik kedokteran dan norma etik masyarakat sehingga dokter sebagai pengemban profesi diharapkan dapat mencerminkan nilai yang dianut oleh dunia profesi kedokteran sebagai nilai pandangan hidupnya.

  Usaha untuk menanamkan norma etik medis merupakan suatu proses yang panjang. Proses pendidikan yang demikian itu hendaknya dilihat sebagai suatu proses sosialisasi, tidak hanya mengenai keterampilan teknik yang dibutuhkan, melainkan juga memapankan komitmen kepada nilai-nilai serta norma-norma yang mempunyai kedudukan sentral bagi tugas-tugas profesionalnya. (Rahardjo, 1978:149).

  HASIL DAN PEMBAHASAN Faktor-faktor Sosial yang Mempengaruhi Seorang Dokter Melakukan Malpractice

  Malpractice Commission melaporkan bahwa pada tahun 1970 di Amerika telah tercatat tuntutan yang menyangkut soal malpractice sebanyak 12.000 peristiwa. Claim ini bisa diselesaikan sebelum pemeriksaan di pengadilan sejumlah 90 % di mana 65 % nya diselesaikan tanpa didahului oleh tuntutan hukum (King I:28).

  Di Indonesia, masalah yang menyangkut malpractice ini belum bisa diketahui jumlahnya. Hanya akhir-akhir ini masyarakat banyak melakukan sorotan di berbagai media khususnya surat-surat kabar harian yang menyangkut masalah pelaksanaan profesi, tentunya menjurus pada adanya malpractice.

  Bagian Anestesi RS dr. Kariadi Fakultas Kedokteran UNDIP telah melakukan penelitian pendahuluan tentang kematian pada 7348 penderita yang berhubungan dengan tindakan anestesi umum secara retrospektif di Bagian Bedah Rumah Sakit dr Kariadi Semarang, selama periode 1978-1979. Hal yang sangat menarik dari laporan itu adalah disebutkannya kemungkinan adanya beberapa faktor yang menimbulkan kematian tersebut: 1. status fisik penderita.

  2. macam dan sifat operasi. 3. peranan kemampuan ahli bedah dan anestesi. 4. sarana-sarana lain yang menunjang lancarnya pembedahan/anestesi dan pengelolaan penderita pasca bedah. (Bulletin, 1981:12).

  Sangat disayangkan bahwa dalam laporan itu tidak disebutkan secara terperinci berapa persen penderita yang meninggal akibat status fisik penderita, berapa penderita yang meninggal akibat peranan kemampuan ahli bedah dan anestesi dan berapa persen yang meninggal akibat faktor lain. Tetapi yang jelas meninggalnya penderita akibat faktor-faktor tersebut dapat menunjukkan adanya malpractice.

  Dokter dalam melaksanakan profesinya tidak dapat terlepas dari lingkungan disik yang melingkupinya. Sebagai anggota masyarakat maka dokter pun selalu berinteraksi dengan anggota masyarakat lainnya. Interaksi adalah akibat dari proses komunikasi adalah alat dari interaksi dan alat proses sosial.

  Setiap proses sosial selalu melibatkan masalah sistem nilai-nilai yang dapat dikelompokkan dalam: 1. welfare values dan 2. deference values.

  Adapun welfare values adalah nilai-nilai yang dianggap penting oleh dan untuk kehidupan manusia agar supaya ia dapat hidup dengan layak, mempunyai pendapatan yang mencukupi keperluan sehari-hari, nilai tentang kesehatan badaniah termasuk didalamnya perasaan aman dalam memperoleh atau melanjutkan pekerjaannya, agar supaya kehidupannya tetap terjamin. Sedangkan deference values adalah kelompok nilai yang lebih tinggi, nilai- nilai moral yaitu apa yang dianggap baik, buruk, tidak jujur dan seterusnya. (Susanto, 1977:41). Keterlibatan nilai-nilai tersebut dalam interaksi sosial sangat menentukan tingkah laku/tindakan apa yang akan diambil oleh seseorang yang notabene dia adalah pengemban profesi medis. Baik itu welfare values maupun deference values merupakan kekuatan- kekuatan yang cenderung mempengaruhi tingkah laku seorang. Tingkah laku-tingkah laku yang melanggar tiap norma apakah itu norma hukum, norma kebiasaan, biasanya dirumuskan sebagai penyimpangan.

  Teori penyimpangan mengajarkan bahwa para pemegang peran (disini profesi medis) itu dapat mempunyai motivasi, baik yang berkehendak untuk menyesuaikan diri dengan norma (dalam hal ini menyangkut norma etik) maupun yang berkehendak untuk tidak menyesuaikan diri dengan keharusan norma (motivasi untuk konform, dan motivasi untuk non konform).

  Tingkah laku yang tidak konform itu dapat saja timbul bersama-sama dengan motivasi untuk berkonform, dan sebaliknya, tingkah laku yang bersesuaian dengan bunyi norma dapat pula timbul bersama-sama dengan motivasi yang berkehendak untuk tidak konform. Ketidaksesuaian tingkah laku dapat saja terjadi sekalipun si pemegang peran telah berkehendak sungguh-sungguh untuk menyesuaikan diri. Hal ini dapat terjadi pada perkara- perkara di mana dia tidak sadar akan normanya atau di mana norma-norma yang menjadi pedoman perilakunya bersifat tidak serasi dengan tujuan-tujuan yang ditetapkan untuk posisi si pemegang peran itu.

  Hukum Memberi Perlindungan Terhadap Hak-hak Pasien

  Hak atas penghidupan, kemerdekaan, keselamatan dapat kita jumpai dalam Universal Declaration of Human Rights. Demikian pula Presiden J.F. Kennedy telah menemukan 4 (empat) hak dasar, yaitu: 1. hak memperoleh keamanan.

  2. Hak memilih.

  3. Hak mendapat informasi, dan 4. Hak untuk didengar.

  Dalam pada itu Masyarakat Ekonomi Eropa juga telah mensekapakati 5 (lima) hak dasar konsumen sebagai berikut:

  1. Hak perlindungan kesehatan dan keamanan.

  2. Hak perlindungan kepentingan ekonomi.

  3. Hak mendapat ganti rugi.

  4. Hak atas penerangan, dan 5. Hak untuk didengar. (Badrulzaman, 1981: 23).

  Hak-hak dasar ini adalah merupakan hak-hak yang bersifat universal. Bila demikian maka timbul pertanyaan apakah hak-hak dasar yang bersifat universal itu diterima di Indonesia. Apakah hak-hak dasar itu mendapat tempat di dalam Pancasila dan UUD 1945.

  Di dalam UUD 1945 dapat kita jumpai pasal yang mengatur mengenai hak-hak warga negara. Pasal yang menjamin hak-hak warga negara itu telah diatur dalam pasal 27 ayat 2 dan pasal 28 UUD kita maupun penjelasannya. Pasal 27 ayat 2: ”Tiap-tiap warga negara berhak atas pekerjaan dan penghidupan yang layak bagi kemanusiaan”. Penjelasan pasal ini menyatakan bahwa ketentuan ini mengenai hak-hak warga negara. Ini dapat meliputi hak apa saja dari warga negara yang secara universal sudah diakui. Misalnya saja, hak atas penghidupan yang layak bagi kemanusiaan, maka hak tersebut melihat manusia secara utuh. Hal ini tidak saja untuk mengejar kemajuan lahiriah atau kepuasan batiniah melainkan keselarasan, keserasian dan keseimbangan antara keduanya. Demikian pula pasal 28 berbunyi: ”Kemerdekaan berserikat dan berkumpul, mengeluarkan pikiran dengan lisan dan tulisan dan sebagainya ditetapkan dengan undang-undang”. Penjelasannya menentukan bahwa memuat hasrat bangsa Indonesia untuk membangun negara yangb ersifat demokrasi dan yang hendak menyelenggarakan pikiran dengan lisan dan tulisan dalam rangka tercapainya keadilan sosial dan perikemanusiaan. Ia mengandung makna, bahwa seseorang mempunyai hak untuk menentukan nasib sendiri yang dicerminkan dengan mengeluarkan apa yang dikehendaki, baik itu berbentuk tulisan maupun lisan. Untuk dapat mengeluarkan isi pikirannya mengenai apa yang dikehendaki, tentunya telah didahului oleh adanya informasi yang diketahuinya. Adanya informasi ini penting baginya, agar ia dapat ikut berpartisipasi dalam membangun negaranya. Jadi secara implisit hak untuk mendapat informasi maupun hak untuk menentukan nasib dirinya dasar hukumnya ada dalam pasal 27 ayat 2 dan pasal 28 UUD 1945.

  Selanjutnya Tap MPR No. II/MPR/1978 menegaskan bahwa setiap manusia mempunyai hak dan kewajiban asasi yang sama. Sangat diharapkan agar hak dan kewajiban itu dipenuhi oleh masing-masing orang. Penggunaan hak dan kewajiban asasi itu harus seimbang, selaras dan serasi sehingga tercipta saling mencintai sesama manusia. Begitu pula tentunya hak an kewajiban dokter-pasien, hendaknya dipatuhi, sehingga tercapai hasil yang diharapkan oleh masing-masing pihak.

  Sekalipun pengaturan secara tegas tentang hak-hak pasien tidak dijumpai tetapi melalui undang-undang yang telah ada maupun Tap MPR, adanya hak-hak dasar pasien dapat disimpulkan dan perlu mendapatkan perlindungan. Persoalannya sekarang, dapatkah hak-hak dasar itu dilaksanakan atau dengan perkataan lain bagaimanakah perwujudan dari hak-hak dasar yang telah mendapat tempat dalam perundang-undangan kita.

  Hukum dalam Pelaksanaannya Transaksi terapeutik antara dokter dan pasien adalah bersifat pemberian bantuan pertolongan.

  Seorang pasien mempunyai harapan bahwa dokterlah satu-satunya yang dapat menolong dirinya. Dokter harus bertindak hati-hati dalam melakukan tindakan terapeutik dalam menanggapi kepercayaan itu. Oleh karena pasien mempunyai hak yang dilindungi oleh hukum yaitu; hak atas informasi dan hak untuk menentukan nasib sendiri, maka hal ini memberi kewajiban pada dokter untuk mengkomunikasikan padanya selengkap-lengkapnya. Pada umumnya informasi yang diberikan oleh dokter bersifat lisan walaupun ada kalanya tertulis. Informasi ini sangat penting bagi seorang pasien untuk dapat memberi persetujuan ataupun menolak suatu perawatan yang akan diberikan oleh dokter yang bersangkutan. Pasien berdasarkan hak untuk menentukan nasib sendiri mungkin saja menolak dilanjutkannya perawatan atau pindah pada dokter lain.

  Apabila tindakan dokter yang telah dilakukannya itu tanpa seizin pasien, sedangkan resiko dari tindakan itu dapat menyebabkan cacat, maka pasien dapat menggugat dokter berdasarkan wanprestasi dan onrechtmatig daad yang diatur dalam pasal 1843 s/d 1889 KUHPerdata dan pasal 1365, 1366 KUHPerdata. Demikian pula seandainya seorang dokter memberikan informasi yang tidak benar, mungkin pasien itu dalam rangka penelitian suatu obat baru, misalnya dan ini off the record atau untuk eksperimen lainnya, maka tindakan dokter tanpa persetujuan pasien itu pun dapat dikenakan pasal penipuan atau perbuatan curang. Masalahnya sekarang bagaimana seorang pasien dapat membuktikan bahwa dokter telah melakukan tindakan malpractice tersebut.

  Untuk membuktikan adanya malpractice, pada umumnya timbul kesulitan, terutama untuk mengetahui apakah kerugian yang diderita pasien ada hubungan langsung atau tidak dengan tindakan dokter. Misalnya, di sebuah Rumah Sakit Semarang pernah dilakukan operasi terhadap seorang korban penganiayaan. Oleh operator dilakukan penjahitan pada jaringan hipar yang robek. Sayang operator ceroboh, yang dijahit hipar pada bagian sentral saja, sedang bagian dorsal yang juga harus dijahit sama sekali tidak dilakukan penjahitan. Akibatnya korban mengalami pendarahan dan akhirnya meninggal dunia. (Santoso, 1981).

  Di sini kematian dan kecerobohan ada hubungan langsung. Lain halnya dengan kasus berikutnya, yaitu; seorang penderita yang menjalani operasi ketalar sebagai biusnya. Sehabis operasi semua berjalan baik dan normal. Namun, pada suatu ketika penderita itu dioperasi lagi dengan memakai ketalar sebagai obat biusnya. Pada saat penderita masih ditangani oleh dokter ahli bius, tiba-tiba meninggal dunia. Di sini sulit dibuktikan adanya tindakan keliru/ceroboh dari dokter yang melakukannya. Sehingga contoh hubungan langsung tadi sulit dibuktikan. (Santoso, 1981).

  Di samping pasien tidak dapat menunjukkan sebab terjadinya malpractice, seorang dokter yang telah melakukan perawatan sesuai dengan prinsip-prinsip keahlian yang telah diperolehnya, tidak akan menyatakan, bahwa apa yang ia lakukan adalah untuk mendapatkan hasil yang tidak dikehendaki.

  Kadang-kadang dokter dalam memberikan pertolongan terhadap penderita dibantu oleh tim dokter atau sejumlah para medis. Tindakan dokter yang mengakibatkan kerugian penderita, tidak dapat dituduh telah melakukan malpractice. Hal ini terjadi apabila tindakan dokter dilakukan di rumah sakit yang bukan milik pribadi, kecuali bila operasi dilakukan pada klinik-klinik maupun praktek-praktek pribadi. Selain dari itu faktor-faktor lain, yaitu; tersedianya fasilitas di rumah sakit, sangat menentukan berhasil tidaknya tindakan dokter yang telah dilakukan itu. Misalnya, waktu diadakan operasi listrik mati, sehingga dokter tidak dapat melakukan operasi dengan baik. Atau akibat listrik mati maka alat pembantu pernafasan pasien yang sepenuhnya tergantung pada listrik berhenti sehingga pasien mati seketika.

  Sekalipun dokter yang melakukan malpractice tidak dapat lolos dari hukum pidana maupun pasal-pasal hukum perdata, namun timbul beberapa hambatan-hambatan. Seandainya dalam membuktikan adanya malpractice perlu diajukan seorang saksi ahli, maka yang dapat menjadi saksi itu pun dari kalangan medis sendiri. Di sini seorang saksi adalah seorang yang wajib menyimpan rahasia pekerjaannya, maka sebagai saksi dapat menggunakan hak tolaknya berdasarkan pasal 146 dan pasal 277 HIR. Menurut pendapat Ko Tjay Sing, seorang saksi dapat diperingatkan bahwa ia adalah wajib menyimpan rahasia pekerjaan, yang seharusnya menggunakan hak tolaknya, tetapi kalau ia tetap bersedia memberikan kesaksian, maka hakim wajib mendengarnya. Oleh karena hak tolak menurut pasal-pasal itu adalah hak bukan merupakan kewajiban. (Sing, 1978:78-79).

  Bila seorang pasien mengajukan gugatan perdata untuk menuntut ganti-rugi karena merasa dirugikan, yang menurut pendapatnya terjadi malpractice, maka dokter tidak akan membiarkan nama dan kehormatannya dinodai. Menurut Hazewinkel-Suringa, tidak dapat diharapkan dari para wajib menyimpan rahasia bahwa mereka membiarkan saja kalau mereka dihina, dimalukan atau hendak dirugikan materiil. Terutama para dokter yang dihadapkan pada kesulitan-kesulitan demikian itu. (Sing. 1978:70).

  Pendapat kedua menurut Langemeyer, bahwa tidak dengan sendirinya seorang dokter bebas untuk membuka rahasia pekerjaannya kalau ia digugat pasiennya. Dalam hal demikian seorang dokter lebih dulu harus berusaha membela dirinya tanpa membuka rahasianya. Baru kalau pembelaan itu ternyata tidak cukup, ia dapat membuka rahasianya dengan memberitahukan bahwa berhubung dengan rahasia pekerjaannya, ia tidak lebih dulu mengajukan fakta-fakta yang ia wajib rahasiakan. (Sing, 1978:70). Dapat disimpulkan bahwa hal yang telah disebut diatas, wajib penyimpan rahasia pekerjaan, dalam hal ini dokter, berhak membuka rahasia, kalau perlu untuk membela dirinya, tetapi mereka harus membatasi diri untuk tidak mengungkapkan fakta-fakta yang tidak perlu bagi pembelaan dirinya. (Sing, 1978:70).

  Seorang dokter yang melakukan perbuatan karena daya paksa untuk membela dirinya, telah diatur dalam pasal 48 maupun pasal 49 KUHPidana. Walaupun dalam pembelaannya dokter harus membatasi diri, tetapi membawa kemungkinan kepentingan ataupun hak pasien dirugikan karenanya. Oleh karenanya dalam mewujudkan hak-hak pasien, maka sistem peradilan kita perlu dibenahi.

  Usaha-usaha untuk Mengurangi Terjadinya Malpractice

  Penyebab terjadinya malpractice adalah tindakan dokter yang kurang hati-hati dalam merawat pasien yang menyebabkan kerugian pasien. Di samping itu seorang dokter yang melakukan perawatan tanpa persetujuan pasien, sedangkan hasil perawatan itu mengakibatkan cacat atau matinya, maka dokter dapat dikenai pasal-pasal KUHPerdata. Terjadinya malpractice dapat melibatkan tidak hanya satu dokter, mungkin juga tim dokter atau tenaga para medis lainnya. Bahkan faktor-faktor lain dapat pula menentukan berhasil tidaknya tindakan seorang dokter. Oleh karena itu perlu dilakukan usaha-usaha untuk mengurangi terjadinya malpractice, yaitu:

  1. Penanaman nilai-nilai moral yang terkandung dalam KODEKI sebaiknya dilakukan sedini mungkin.

  2. Pemberian izin praktek dokter harus diperketat, misalnya; dokter spesialis tidak boleh praktek sebagai dokter umum.

  3. Perlu dilakukan peninjauan secara berkala terhadap izin praktek.

  4. Peningkatan pengetahuan maupun keterampilan dokter perlu dilakukan melalui diskusi- diskusi maupun sarana yang lain.

  5. Dokter harus memenuhi hak-hak pasien sebagaimana telah dijelaskan di muka.

  6. Dokter yang melanggar KODEKI harus dikenai sanksi yang tegas, misalnya; pencabutan sementara izin prakteknya.

  Adapun kegagalan perawatan yang diakibatkan oleh faktor-faktor lain, misalnya; fasilitas rumah sakit yang tidak memenuhi syarat sebagai rumah sakit yang tidak memenuhi syarat sebagai rumah sakit maka perlu diadakan pengontrolan terhadap keadaan rumah sakit maupun peninjauan kembali tujuan dari pendirian rumah sakit. Di samping itu perlu dibuat suatu persyaratan yang ketat untuk dapat mendirikan sebuah rumah sakit, sehingga unsur untuk mencari keuntungan semata-mata dapat dihindari. Misalnya, baru-baru ini terjadi protes dari perawat Rumah Sakit Sumber Waras yang menuntut kenaikan gaji. Rumah Sakit yang melanggat atau tidak memenuhi persyaratan yang telah ditentukan oleh Pemerintah harus ditindak tegas.

  KESIMPULAN DAN SARAN Kesimpulan

  1. Transaksi dokter-pasien timbul karena adanya kepercayaan dari pasien bahwa dokter satu- satunya manusia yang dapat memberikan pertolongan. Di dalam transaksi itu masing- masing pihak dibebani hak-hak dan kewajiban yang harus dipenuhinya.

  2. Informasi perlu diberikan oleh seorang dokter kepada pasien dengan selengkapnya.

  Informasi yang berdasarkan fakta yang bohong baik itu dengan alasan untuk kepentingan pasien atau untuk eksperimen, dapat dikenai hukuman pidana tentang penipuan atau perbuatan curang.

  3. Perawatan pasien oleh seorang dokter dapat dilakukan setelah ada persetujuan dari pasien.

  Hak pasien yang dilanggar sehingga menimbulkan kerugian, dokter dapat dikenai tuduhan melakukan malpractice.

  4. Timbulnya kerugian yang diderita pasien disebabkan oleh faktor-faktor lain, maka dokter tidak dapat dituntut telah melakukan malpractice.

  5. Sekalipun hak-hak pasien sebagai hak dasar yang bersifat universal itu secara implisit tercantum dalam perundang-undangan kita, namun pelaksanaan dari perwujudan hak-hak dasar tersebut masih sulit.

  6. Perlu adanya usaha yang sungguh-sungguh dalam mengurangi terjadinya malpractice.

DAFTAR PUSTAKA

  Alibasah, Partomo M. 1979. Masalah Profesi Kesehatan. Hukum No 6 tahun ke lima. Jakarta: Yayasan Penelitian dan Pengembangan Hukum (Law Centre).

  Badrulzaman, Mariam Darus. 1981. Perlindungan Terhadap Konsumen Dilihat dari Sudut Perjanjian Baku. Hukum dan Keadilan. No 17 Th ke IX. Jakarta: Januari-Februari. Florence, David W. Informing Patients-The Need : The Law; The Dilema. Mineapolis: Minnessota (USA). Hayt and Hayt. 1964. Legal Aspects of Medical Records. Illionis: Physicians, Record Company Berwyn Karyadi, M. Komisaris Besar Polisi: Reglemen Indonesia yang dibaharui. S 1941 No 44.

  Bogor: Politeia King, Josephine Y. A Commentary On The Report of The Malpractice Commissions. New York (USA) : Haspstra University, Hempstead.

  Koeswadji, Hermien Hadiati. (1981). Pembahasan pada diskusi ’’Panel Diskusi Peranan

  

Pendidikan Kedokeran dalam Menegakkan Kode Etik Kedokteran Indonesia dan

Pemantapan Citra Dokter di dalam Masyarakat . Surabaya: Fakultas Hukum Unair.

  Kuntjaraningrat. (1975). Pergeseran Nilai-nilai Budaya dalam Masa Transisi. Simposium

  Kesadaran Hukum Masyarakat dalam Masa Transisi . Jakarta: BPHN, Binacipta Moeljatno. (1979). Kitab Undang-Undang Hukum Pidana. (terjemahan). Cet XI.

  Permadi. (1980). Sikap Masyarakat terhadap Masalah Pelindungan Konsumen. Hukum dan Keadilan . No 16 tahun ke VIII. November-Desember. Rahardjo, Satjipto. (1978). Kode Etik Kedokteran Ditinjau dari Segi Hukum. Kertas Kerja pada Simposium Kode Etik Kedokteran Indonesia. Semarang: 2-3 Desember. Santoso, Bambang Prameng, Sofwan Dahlan. (1981). Malpractice, ceramah klinik. Semarang: Fakultas Kedokteran Undip. 4 April. Seidman, Robert B. (1972). ’’Law and Development’’: A General Model, Law and Society Review . No 2t, hlm 311-339 alih bahasa Satjipto Rahardjo. Sianturi, R. (1980). Perlindungan Konsumen Dilihat dari Sudut Peraturan Perundang- undangan. Hukum dan Keadilan. No 16 tahun VIII. November-Desember. Sing, Ko Tjay. 1978. Rahasia Pekerjaan Dokter dan Advokat. Jakarta: Gramedia. Soekanto, Soerjono. 1976. Kegunaan Sosiologi Hukum bagi Kalangan Hukum. Bandung: cet I. Alumni. Soemardjan, Selo. 1976. ”Ketimpangan-ketimpangan dalam Pembangunan Pengalaman di Indonesia” , dalam Yuwono Sudarsono ed. Pembangunan Politik dan Perubahan Politik. Jakarta: Gramedia. Subekti, R dan Tjitrosudibio. 1961. Kitab Undang-Undang Hukum Perdata (terjemahan).

  Jakarta: Pradnya Paramita. Susanto, S. Astrid. 1977. Pengantar Sosiologi dan Perubahan Sosial. Bandung: cet I.

  Binacipta. Bahan-bahan Panel Diskusi Aspek Hukum dalam Profesi Kedokteran. Bandung: Mei 1981. Kode Etik. (1978). Simposium Kode Etik Kedokteran Indonesia. Tema: Penelitian Kembali Pelaksanaan Kode Etik Kedokteran Indonesia. Semarang: 2-3 Desember Buletin Ikatan Dokter Indonesia cabang Semarang. 1981. Volume VI. No 1. Mei 1981.

  Black’s Law Dictionary. St Paul, Minn. 5th ed. (1979). hlm 864.

  

Undang-Undang Dasar . Pedoman Penghayatan dan Pengamalan Pancasila (Ketetapan MPR

  No II/MPR/1978). Garis-garis Besar Haluan Negara (Ketetapan MPR No IV/MPR/1978).

  

EFEKTIVITAS PELAKSANAAN PELAYANAN PENGADUAN MASYARAKAT

BERBASIS E-GOVERNMENT

STUDI : PELAKSANAAN PELAYANAN PENGADUAN MASYARAKAT DI UNIT

PELAYANAN INFORMASI DAN KELUHAN (UPIK)

KOTA YOGYAKARTA

  1 Gerry Katon Mahendra

  Ilmu Pemerintahan Universitas Muhammadiyah Lampung, Jl. Teuku Umar No. 14 Kota Bandar Lampung gerrykatonvw@gmail.com

  

ABSTRAK

  Pelayanan pengaduan masyarakat saat ini sudah menjadi bagian dari upaya perbaikan pelayanan publik di Indonesia. Pemerintah, pusat maupun di daerah sudah selayaknya memberikan perhatian khusus terhadap peningkatan kualitas pelayanan pengaduan masyarakat. Perhatian pemerintah dapat diwujudkan salah satunya dengan terus berinovasi menciptakan pelayanan pengaduan masyarakat yang tidak hanya mudah diakses oleh masyarakat, namun juga dapat diterima dan ditanggapi secara responsif dan efektif oleh pemerintah daerah serta menghasilkan output yang bermanfaat bagi masyarakat dan pemerintah. Pemerintah Kota Yogyakarta berinovasi dengan menyediakan pelayanan pengaduan masyarakat yang berbasis teknologi informasi dan komunikasi (e-government). Inovasi yang dilakukan oleh pemerintah Kota Yogyakarta adalah dengan menyediakan Unit Pelayanan Informasi dan Keluhan (UPIK). Penelitian menggunakan metode kualitatif. Studi kasus dalam penelitian ini adalah Unit Pelayanan Informasi dan Keluhan (UPIK) Kota Yogyakarta yang menjadi salah satu hasil inovasi dalam hal pelayanan pengaduan masyarakat. Penelitian ini bertujuan untuk melihat menjelaskan efektivitas proses penanganan pengaduan masyarakat yang berbasis elektronik. Hasil dari penelitian ini adalah bahwa kegiatan UPIK sudah berjalan efektif dibuktikan dengan tingginya persentase penangan aduan. Temuan dalam penelitian ini adalah UPIK belum sepenuhnya diketahui oleh masyarakat dan juga masih terdapat beberapa SKPD yang belum responsif menanggapi aduan masyarakat yang dikelola oleh UPIK.

  

Kata Kunci : Pelayanan Pengaduan Masyarakat,UPIK, Inovasi, Teknologi Informasi dan

Komunikasi, E-Government

  PENDAHULUAN

  Tuntutan masyarakat mengenai peningkatan kualitas dalam pelayanan publik hingga saat ini belum sepenuhnya dapat dipenuhi oleh pemerintah. Secara umum, banyak faktor yang mempengaruhi kualitas pelayanan publik antara lain faktor internal penyedia layanan, seperti sistem dan prosedur pelayanan yang berbelit-belit, sikap diskriminatif, budaya tidak mau melayani, banyaknya pungutan liar dan penempatan sumber daya aparatur yang tidak berdasarkan pada kompetensi. Selain masalah yang timbul di lingkungan internal penyedia layanan, permasalahan pelayanan publik juga dapat terjadi di lingkungan eksternal atau pihak penerima layanan (masyarakat). Fakta menyebutkan bahwa Indonesia saat ini masih berada

  1

  pada urutan 109 dari 180 negara pada rangking pelayanan publik Kualitas pelayanan publik yang belum maksimal hampir terjadi pada seluruh sektor, termasuk pada pelayanan pengaduan masyarakat. Sistem penanganan pengaduan masyarakat yang disediakan oleh penyelenggara layanan dinilai masih sangat buruk. Penyelenggara pelayanan publik, terkesan masih setengah hati dalam mengakomodasi pengaduan masyarakat sehingga menimbulkan kesan formalitas dan apatis hingga akhirnya berdampak buruk pada kualitas pelayanan publik secara keseluruhan.

  Upaya pemerintah yang masih terkesan kurang serius menangani pelayanan pengaduan masyarakat tentu saja bertentangan dengan amanat Undang-Undang. Jika didasarkan pada Undang-Undang Nomor 25 Tahun 2009 pasal 18, menyebutkan bahwa masyarakat berhak untuk mendapatkan tanggapan pengaduan, berhak mengadukan pelaksana layanan yang tidak memberikan layanan sesuai dengan SOP yang tersedia dan berhak mengadukan pelaksana layanan kepada penyelenggara / ombudsman apabila pelaksana tidak menjalankan kewajibannya dengan benar.

  Selanjutnya dalam pasal 21 dan pasal 35 disebutkan bahwa penyelenggara pelayanan berkewajiban menyediakan sarana pengaduan masyarakat dan masyarakat wajib mengawasinya.

  Undang-Undang tersebut sudah secara jelas menyatakan bahwa masyarakat berhak mendapatkan pelayanan pengaduan dan pemerintah wajib menyediakan akses pengaduan bagi masyarakat.

  Dengan adanya aturan guna memaksimalkan sarana pengelolaan pengaduan masyarakat, seharusnya pemerintah khususnya di daerah sudah mampu memberikan kesempatan, ruang dan fasilitas yang luas kepada masyarakat untuk ikut serta dalam memberikan keluhan, saran dan kritik guna membangun pelayanan publik yang aspiratif dan berkualitas.

  Namun ternyata, fakta empiris yang terdapat di lapangan memperlihatkan bahwa kondisi penanganan pengaduan atau manajemen pengaduan masih banyak yang dilakukan secara konvensional (penyediaan kotak saran), sehingga belum berjalan secara optimal dan dianggap hanya sekedar formalitas belaka. Pemerintah daerah belum menyadari bahwa 1 dengan tersedianya ruang yang cukup untuk menyampaikan saran dan keluhan diharapkan

  www.ombudsman.go.id . Pelaynana Publik di Indonesia Masih Jelek. 2015 nantinya tercipta pemerintahan yang aspiratif dan pelayanan publik yang diberikan pemerintah mampu sesuai dengan keinginan masyarakat. Kontrol masyarakat melalui sarana penyampaian kritik dan saran yang jelas dan dikelola secara profesional oleh aparatur pemerintah juga dapat menghindarkan pemerintah dari sikap arogan dan otoriter.

  Prioritas tersebut saat ini sangat ditunjang dengan perkembangan teknologi dan informasi yang digunakan oleh pemerintah atau e-government. Di Indonesia sendiri, penerapan e-government sudah mulai diterapkan dengan dukungan Intruksi Presiden Republik Indonesia Nomor : 3 tahun 2003 Tentang Kebijakan Dan Strategi Nasional Pengembangan E-Government. Dengan menerapkan teknologi dalam pengelolaan pengaduan masyarakat yang berbasis e-government, diharapkan dapat menciptakan pelayanan pengaduan masyarakat yang lebih efektif, mudah dijangkau oleh masyarakat, informatif, dan terintegrasi dengan Satuan Kerja Perangkat Daerah (SKPD) lain sehingga pada akhirnya dapat tercipta pemerintahan yang aspiratif dan peningkatan kualitas pelayanan publik secara merata.

  Sebagai bentuk komitmen Kota Yogyakarta untuk terus berinovasi dengan basis e-

  

government dan komitmen untuk menciptakan pemerintahan yang aspiratif adalah dengan

  mendirikan Unit Pelayanan Informasi dan Keluhan atau yang lebih dikenal dengan sebutan UPIK. Dengan didirikannya UPIK segala bentuk pengaduan yang berisi keluhan, masukan, dan kritikan warga bisa disampaikan langsung melalui e-mail, website, telepon, SMS atau datang langsung ke sekretariat UPIK Kota Yogyakarta.

  Sebagaimana disebutkan dalam laporan Menpan tahun 2014 mengenai inovasi pelayanan publik, pembentukan UPIK didasari berbagai permasalahan, diantaranya : Warga tidak bisa menyampaikan informasi dan keluhan setiap waktu; Masyarakat masih mengalami kesulitan dalam menyampaikan informasi, keluhan, pertanyaan dan saran kepada pemerintah daerah; Kurangnya respon SKPD dalam menangani keluhan masyarakat; Masyarakat kesulitan mengawasi kinerja aparatur pemerintah Kota Yogyakarta.

  Pembentukan UPIK juga dilandasi tiga persoalan, yaitu: 1) Tidak semua warga masyarakat mengetahui saluran pengaduan yang dapat dipergunakan secara mudah, 2) Adanya hambatan waktu bertemu antara rakyat dengan pejabat atau penguasa, dan 3) Adanya

  2

  rasa takut dan sungkan untuk mengadukan keluhan diantara masyarakat

2 Wahyudi Kumorotomo. Pengembangan E-Government untuk Peningkatan Transparansi Pelayanan Publik.

  Konferensi Adminstrasi Negara. 2008

  UPIK yang diinisiasi oleh Herry Zudianto (mantan Walikota Yogyakarta) melalui Keputusan Walikota Yogyakarta No.86 tahun 2003 dan ditetapkan pada tanggal 14 November 2003 telah dikukuhkan kembali pada Peraturan Walikota Yogyakarta no 77 tahun 2009 tentang UPIK, dan KEPWAL Kota Yogyakarta No 16 / KEP / 2014 tentang pembentukan Tim pengelolaan UPIK. Masyarakat ternyata merespon positif keberadaan UPIK dan juga memanfaatkannya untuk melakukan pengaduan. Daftar pengaduan masyarakat melalui UPIK dapat dilihat pada tabel di bawah ini :

  

Tabel 1

Daftar Aduan yang Diterima UPIK Tahun 2015

No Jenis Media Keluhan Pertanyaan Informasi Saran Jumlah

  1 SMS 184 1378 1919 554 4035

  2 Website

  34

  48

  44 21 147

  3 Email

  1