PERLINDUNGAN HUKUM PASIEN TERHADAP PENYELENGGARA PRAKTIK PENGOBATAN TRADISIONAL

(1)

TRADITIONAL TREATMENT OPERATOR By

RISSA AFNI MARTINOUVA

Regulation of traditional medicine as the health law. Devices health law intended to provide legal certainty and the protection of society as a patient. The problem of this research is to use what kind of agreement between patients and providers of traditional medicine, what are the rights and obligations of both parties and whether the regulation of traditional medicine has been to protect patients and providers of traditional medicine.

This research was carried out normative juridical approach. This study was conducted to analyze the type of traditional treatment agreements, rights and obligations and regulations that protect the patient and the provider of traditional medicine. Research on the legal protection of patients by reviewing Minister of Health Number1076/MENKES/SK/VII/2003 on Traditional Medicine Organizer (Number Kepmenkes. 1076/MENKES/SK/VII/2003), Law Number 36 of 2009 on Health (Law Number 36 of 2009) and Law Number 8 of 1999 on Consumer Protection (Law Number 8 of 1999). The data used are secondary data. Data was collected through literature and regulatory legislation. The data were analyzed qualitatively.

Agreements are qualified traditional medicine in the relief agreements / contracts for specific services as provided for in Article 1601 of the Civil Code. Rights and obligations as well as rights of patients as consumers of traditional medicine provider not listed on Kepmenkes Number 1076/MENKES/SK/VII/2003 and Law 36 of 2009 but can be constructed as defined Section 4, 5 and 6 of Law Number 8 of 1999. Regulations to protect traditional medicine by providing administrative measures and criminal sanctions in the form of supervision. To the traditional healers in order to adhere to Kepmenkes Number 1076/MENKES/SK/VII/2003 and Law 36 of 2009 as a guide to action treatment under the law. The patient should be aware of traditional medicine has been flown to license and registration of traditional medicine.


(2)

PENYELENGGARA PRAKTIK PENGOBATAN TRADISIONAL

Oleh

RISSA AFNI MARTINOUVA

Peraturan pengobatan tradisional sebagai perangkat hukum kesehatan. Perangkat hukum kesehatan dimaksudkan agar memberikan kepastian hukum dan perlindungan bagi masyarakat selaku pasien. Permasalahan penelitian ini adalah jenis perjanjian apa yang digunakan antara pasien dan penyelenggara pengobatan tradisional, apa yang menjadi hak dan kewajiban kedua belah pihak dan apakah peraturan pengobatan tradisional telah melindungi pasien dan penyelenggara pengobatan tradisional.

Penelitian ini dilakukan secara normatif dengan pendekatan yuridis normatif. Penelitian ini dilakukan untuk menganalisis jenis perjanjian pengobatan tradisional, hak dan kewajiban dan peraturan yang melindungi antara pasien dan penyelenggara pengobatan tradisional. Penelitian mengenai perlindungan hukum pasien dengan mengkaji Keputusan Menteri Kesehatan No. 1076/MENKES/SK/VII/2003 tentang Penyelenggara Pengobatan Tradisional (Kepmenkes No. 1076/MENKES/SK/VII/2003), Undang-Undang No. 36 Tahun 2009 tentang Kesehatan (UU No. 36 Tahun 2009) dan Undang-Undang No. 8 Tahun 1999 tentang Perlindungan Konsumen (UU No. 8 Tahun 1999). Data yang digunakan adalah data sekunder. Pengumpulan data dilakukan dengan studi pustaka dan peraturan undang-undang. Analisis data dilakukan secara kualitatif. Perjanjian pengobatan tradisional dikualifikasikan dalam perjanjian pemberian pertolongan/perjanjian pemberian jasa-jasa tertentu sebagaimana yang diatur dalam Pasal 1601 KUHPerdata. Hak dan kewajiban pasien sebagai konsumen serta hak penyelenggara pengobatan tradisional tidak tercantum pada Kepmenkes No. 1076/MENKES/SK/VII/2003 dan UU No. 36 Tahun 2009 namun dapat dikonstruksikan seperti yang dirumuskan Pasal 4, 5 dan 6 UU No. 8 Tahun 1999. Peraturan pengobatan tradisional melindungi dengan cara memberikan tindakan administratif berupa pengawasan dan sanksi pidana. Kepada pihak pengobat tradisional agar patuh terhadap Kepmenkes No. 1076/MENKES/SK/VII/2003 dan UU No. 36 Tahun 2009 sebagai tuntunan terhadap tindakan pengobatannya secara hukum. Kepada pasien hendaknya mengetahui pengobatan tradisional yang didatangi telah memiliki izin dan pendaftaran pengobatan tradisional.


(3)

Oleh

R i ssa A f n i M a r t i n ou v a

Tesis

Sebagai Sebagai Salah Satu Syarat untuk Memperoleh Derajat Magister Hukum

Pada

Jurusan Sub Program Hukum Perdata Bisnis Program Pascasarjana Megister Hukum

Universitas Lampung

MAGISTER HUKUM

PROGRAM PASCASARJANA FAKULTAS HUKUM UNIVERSITAS LAMPUNG

BANDAR LAMPUNG 2014


(4)

(5)

(6)

Penulis dilahirkan di Tanjung Karang pada tanggal 27 Juni 1987 dari pasangan orang tua Damia Afriwan, BBA. dan Darnila, sebagai putri pertama dari dua bersaudara.

Riwayat pendidikan penulis dimulai dari pendidikan TK Persit Bandar Lampung 1993, Sekolah Dasar Negeri (SDN) 2 Kedamaian Sukarame Bandar Lampung lulus 1999, Sekolah Menengah Pertama Negeri (SMPN) 22 Bandar Lampung lulus Tahun 2002, Sekolah Menengah Atas Negeri (SMAN) 1 Menggala 2005, Menyelesaikan Kuliah Sarjana Hukum di Universitas Lampung Lulus Tahun 2009 dan kemudian melanjutkan Kuliah di Magister Hukum pada Tahun 2012 Lulus pada Tahun 2014.

Penulis pernah aktif sebagai anggota Pusat Studi Bantuan Hukum (PSBH), pengurus UKMF Forum Silahturahim Studi Islam (FOSSI) FH Unila, mengikuti pendidikan praktik Peradilan Tata Usaha Negara (PTUN), mengikuti Praktik Kerja Lapangan Hukum di PT. Bank Lampung Pusat, penulis juga alumni Perguruan Tinggi DCC Bandar Lampung Diploma 3 (D3) Program Studi Komputer Akuntansi Jurusan Pendidikan lulus Tahun 2009 dan sempat menjadi peserta perlombaan Musabaqoh Tilawatil Qur’an (MTQ) hingga tingkat Nasional. Riwayat karir penulis sebagai Dosen sekaligus Ka. Prodi Fakultas Hukum Universitas Megou Pak di Tulang Bawang dan Sebagai Asisten bid. Sumber Daya Manusia (SDM) di Panwaslu Kabupaten Tulang Bawang hingga sekarang.

Penulis banyak terinspirasi dari setiap tahap kehidupan yang dilalui, tantangan merupakan tahapan pematangan pribadi, tetap bersemangat berikan yang terbaik pada kesempatan hidup yang diberikan Allah SWT dalam menggapai ridho-Nya.


(7)

MOTO

Sesungguhnya pendengaran, pengelihatan dan hati, semuanya itu akan diminta pertanggungan jawabnya (Al Israa', 17: 36)

Engkau janganlah sekali-kali meremehkan kebaikan sedikit pun, kendati engkau hanya bertemu saudaramu dengan wajah ceria

(Rosulullah SAW, HR Muslim)

Berikan yang terbaik, pada tiap kesempatan hidup. Gapailah dunia dan akhirat dengan ilmu, kejarlah dengan penuh kesungguhan, ibadah, sabar dan semangat.


(8)

Halaman I. PENDAHULUAN

A. Latar Belakang ... 1

B. Rumusan Masalah dan Ruang Lingkup ... 9

C. Tujuan Penelitian ... 10

D. Kegunaan Penelitian ... 10

1. Secara Teoritis ... 10

2. Secara Praktis ... 11

E. Kerangka Teoritis, Kerangka Konseptual dan Kerangka Pikir ... 11

1. Kerangka Teoritis ... 11

a. Teori Hukum Perjanjian ... 12

b. Teori Hukum Perlindungan Konsumen ... 16

2. Kerangka Konseptual ... 18

a. Pengobatan tradisional ... 18

b. Perlindungan Hukum Pasien ... 19

c. Pengobat dan Obat Tradisional ... 19

3. Kerangka Pikir... 20

II. TINJAUAN PUSTAKA A. Pengobatan Tradisional ... 22

B. Pengaturan Pengobatan Tradisional ... 25

C. Klasifikasi dan Jenis Pengobatan Tradisional ... 29

D. Eksistensi Pengobatan Tradisional ... 35

E. Perlindungan Pasien ... 40

III. METODE PENELITIAN A. Jenis Penelitian ... 47

B. Pendekatan Masalah ... 47

C. Data dan Sumber Data ... 48

D. Metode Pengumpulan Data ... 50

E. Pengolahan Data ... 51


(9)

VI. HASIL PENELITIAN DAN PEMBAHASAN

A. Jenis Perjanjian Antara Pasien dan Penyelenggara

Pengobatan Tradisional ... 53 B. Hak dan Kewajiban Pasien dan Penyelenggara Pengobatan

Tradisional dalam Kegiatan Pengobatan Tradisional ... 66 C. Peraturan yang Mengatur Pengobatan Tradisional dan

Perlindungan Hukum bagi Pasien dan Penyelenggara

Pengobatan Tradisional ... 79 V. KESIMPULAN DAN SARAN

A. Kesimpulan ... 89 B. Saran ... 90 DAFTAR PUSTAKA


(10)

A. Latar Belakang

Kesehatan merupakan hak asasi manusia. Kesehatan pada umumnya melekat pada diri manusia. Kesehatan adalah modal utama bagi seseorang untuk melakukan segala aktifitas. Seseorang tidak dimungkinkan melakukan aktifitas jika dalam keadaan yang tidak sehat. Salah satu cara yang paling umum ditempuh oleh seorang yang sakit/tidak sehat adalah menjalani pengobatan baik secara medis (konvensional) maupun secara tradisional (nonkonvensional). Medis memiliki makna yang berhubungan dengan kedokteran, sedangkan medik memiliki makna tentang keperawatan, perawat dan juru rawat.1 Pengobatan medis ditangani tenaga medis yang dapat dipertanggungjawabkan dan telah diakui oleh ilmu pengetahuan di bidang kedokteran, sedangkan pengobatan tradisional (nonkonvensional) merupakan pengobatan yang bersifat turun-temurun dan diakui oleh kalangan masyarakat.

Masyarakat sekarang mempercayai bahwa kesembuhan bukan hanya diperoleh melalui pengobatan medis namun dapat juga disembuhkan melalui pengobatan tradisional. Pengobatan tradisional pada umumnya banyak diminati oleh masyarakat. Seorang yang menderita suatu penyakit awal mulanya mendapatkan

1

Departemen Pendidikan dan Kebudayaan, Kamus Besar Bahasa Indonesia Edisi Terbaru, Cetakan ke-6, Jakarta: PT Media Pustaka Poenix, 2012, hlm. 572.


(11)

informasi dari iklan, teman, tetetangga dan sumber lainnya, bahwa sakit yang dideritanya dapat dipulihkan melalui pengobatan tradisional. Masyarakat yang tertarik pada informasi tersebut akan datang dan berobat pada penyelenggara pengobatan tradisional. Pengobatan tradisional yang bertujuan mewujudkan kesembuhan bagi seseorang sering dikenal dengan alternatif pengobatan di luar cara medis.

Pengobatan tradisional sebagai alternatif pengobatan di luar cara medis hanya dapat dilakukan oleh pengobat/orang yang ahli di bidangnya. Menurut rumusan Pasal 1 Angka 16 Undang-Undang No. 36 Tahun 2009 tentang Kesehatan (UU No. 36 Tahun 2009 tentang Kesehatan) yang dimaksud dengan pengobatan tradisional adalah pengobatan dan/atau perawatan dengan cara dan obat yang mengacu pada pengalaman dan keterampilan turun temurun secara empiris yang dapat dipertanggungjawabkan dan diterapkan sesuai dengan norma yang berlaku di masyarakat. Selanjutnya World Health Organization (WHO) pada tahun 2000 telah menetapkan bahwa pengobatan tradisional adalah jumlah total pengetahuan, keterampilan, dan praktik-praktik yang berdasarkan pada teori-teori, keyakinan, dan pengalaman masyarakat yang mempunyai adat budaya yang berbeda, baik dijelaskan atau tidak, digunakan dalam pemeliharaan kesehatan serta dalam pencegahan, diagnosa, perbaikan atau pengobatan penyakit secara fisik dan juga mental.2

2

Viky Pemuda Indra Sakti, Perlindungan Hukum Pengobatan Tradisional-Metodelogi, Fakultas Hukum Universitas Indonesia (FHUI): Jakarta, 2009, hlm. 11.


(12)

Pemerintah melalui Pasal 1 Ayat (1) Keputusan Menteri Kesehatan (Kepmenkes) No. 1076/MENKES/SK/VII/2003 tentang Penyelenggaraan Pengobatan Tradisional mengartikan pengobatan tradisional adalah pengobatan dan/atau perawatan dengan cara, obat dan pengobatnya yang mengacu kepada pengalaman, keterampilan turun temurun, dan/atau pendidikan/pelatihan, dan diterapkan sesuai dengan norma yang berlaku dalam masyarakat.

Berdasarkan ketiga rumusan tersebut dapat disimpulkan bahwa pengobatan tradisional pada prinsipnya merupakan penyedia jasa penyembuhan, perawatan melalui keterampilan, pengalaman dan pengetahuan dengan metode yang sudah turun temurun dilakukan serta dipercaya mampu membantu dalam menyembuhkan suatu penyakit yang diderita seseorang. Seseorang yang mampu membantu penyembuhan tersebut melaksanakannya baik melalui keterampilan maupun dengan ramuan obat.

Jenis pembagian metode pengobatan tradisional juga diatur dalam Pasal 59 Ayat (1) UU No. 36 Tahun 2009 tentang Kesehatan yaitu berdasarkan cara pengobatan pelayanan kesehatan tradisional yang terbagi menjadi dua, yaitu 1. pelayanan kesehatan tradisional yang menggunakan keterampilan; 2. pelayanan kesehatan tradisional yang menggunakan ramuan. Jenis penyembuhan tersebut mengarahkan bahwa penyembuhan tidak hanya melalui keterampilan dan terapi penyembuhan namun dapat melalui ramuan berupa obat-obatan tradisional. Praktik pengobatan tersebut dapat juga dilakukan bersamaan dengan cara setelah pengobatan melalui


(13)

keterampilan dilanjutkan dengan diberikannya ramuan berupa obat tradisional yang akan membantu dalam pemulihan suatu penyakit yang diderita seseorang.

Selanjutnya dalam praktik pengobatan tradisional terdapat dua pihak di dalamnya yaitu pengobat tradisional dan orang yang meminta pertolongan/bantuan pengobatan yang dalam istilah kedokteran disebut sebagai pasien. Pasal 1 Ayat (3) Kepmenkes No. 1076//MENKES/SK/VII/2003 tentang Penyelenggaraan Pengobatan Tradisional mengartikan pengobat adalah orang yang melakukan pengobatan tradisional (alternatif), sedangkan mengenai definisi pasien tidak disebutkan dalam Permenkes tersebut. Istilah pasien secara jelas disebutkan dalam Pasal 1 Angka 10 Undang-Undang No. 29 Tahun 2004 tentang Praktik Kedokteran ( UU No. 29 Tahun 2004 tentang Praktik Kedokteran) bahwa pasien adalah setiap orang yang melakukan konsultasi masalah kesehatannya untuk memperoleh pelayanan kesehatan yang diperlukan baik secara langsung maupun tidak langsung kepada dokter atau dokter gigi. Lebih lanjut Pasal 1 Angka 4 Undang-Undang No. 44 Tahun 2009 tentang Rumah Sakit (UU No. 44 Tahun 2009 tentang Rumah Sakit) bahwa yang dimaksud Pasien adalah setiap orang yang melakukan konsultasi masalah kesehatannya untuk memperoleh pelayanan kesehatan yang diperlukan, baik secara langsung maupun tidak langsung di Rumah Sakit.

Definisi pasien menurut perumusan di atas selalu berhubungan dengan rumah sakit,dokter dan dokter gigi, sedangkan pasien dalam konteks praktik pengobatan tradisional tidak terkait dengan dokter, dokter gigi dan rumah sakit. Namun orang


(14)

yang meminta penyembuhan pada penyelenggara pengobatan tradisional/alternatif sering disebut sebagai pasien.

Pasien yang datang ke pengobatan tradisional secara hukum telah mengadakan penawaran. Selanjutnya pengobat yang menerima keluhan pasien dapat dikonstruksikan sebagai penerimaan. Terjadinya penawaran dan penerimaan tersebut menandakan telah terjadi suatu perundingan dan cara-cara pengobatan tradisional/alternatif. Dalam perundingan tersebut dikemukakan berbagai hal antara lain tentang cara-cara kegiatan yang dilakukan, lama pengobatan, akibat pengobatan, jenis-jenis penyakit yang diobati dan lain sebagainya. Apabila terjadi kesepakatan maka antara pengobat dan pasien telah terjadi suatu perjanjian. Perjanjian ini yang dinamakan sebagai perjanjian penyembuhan (perjanjian terapeutik).

Perjanjian terapeutik atau sering disebut dengan transaksi terapeutik adalah: “hubungan antara dokter dengan pasien dalam pelayanan medik secara profesional didasarkan kompetensi yang sesuai dengan keahlian dan keterampilan tertentu di bidang kedokteran”.3 Perjanjian tersebut adalah perjanjian penyembuhan yang berhubungan dengan dokter namun hal tersebut juga berlaku bagi tenaga pengobat tradisional sebagai tenaga penyelenggara kesehatan.

Penawaran yang dilakukan oleh pihak pengobat memberikan motivasi kepada masyarakat untuk mencoba mengkonsultasikan dan berobat kepada pihak

3

Veronica Komalawati, Peranan Informed Consent Dalam Transaksi Terapeutik (Persetujuan Dalam Hubungan Dokter dan Pasien); Suatu Tinjauan Yuridis, Citra Adtya Bhakti: Bandung, 2002, hlm. 14.


(15)

penyelenggara pengobatan tradisional. Konsultasi dan pengobatan yang dilakukan membuktikan bahwa telah terjadi perjanjian penyembuhan. Perjanjian penyembuhan yang dilakukan adalah perjanjian dengan cara tradisional.

Pesetujuan pada perjanjian penyembuhan tersebut, mengakibatkan lahirlah sebuah perikatan antara pelaku pengobatan tradisional dan pasien. Oleh karena itu kedua belah pihak harus melakukan ketentuan-ketentuan yang telah disepakati bersama. Apabila dikaitkan dengan Undang-Undang No. 8 Tahun 1999 tentang Perlindungan Konsumen (UU No. 8 Tahun 1999 tentang Perlindungan Konsumen) maka pasien dapat dikategorikan sebagai konsumen yang mendapatkan jasa pengobatan disediakan oleh penyelenggara pengobatan tradisional/alternatif.

Pasal 1 Angka 2 dan 3 UU No. 8 Tahun 1999 tentang Perlindungan Konsumen merumuskan arti konsumen adalah setiap orang pemakai barang dan/atau jasa yang tersedia dalam masyarakat, baik bagi kepentingan diri sendiri, keluarga, orang lain maupun makhluk hidup lain dan tidak untuk diperdagangkan. Pelaku usaha adalah setiap orang perseorangan atau badan usaha, baik yang berbentuk badan hukum maupun bukan badan hukum yang didirikan dan berkedudukan atau melakukan kegiatan dalam wilayah hukum negara Republik Indonesia, baik sendiri maupun bersama-sama melalui perjanjian menyelenggarakan kegiatan usaha dalam berbagai bidang ekonomi. UU No. 8 Tahun 1999 tentang Perlindungan Konsumen dapat diterapkan dalam hubungan antara pasien dan pelaku pengobatan tradisional.


(16)

Kelemahan pasien sebagai konsumen kesehatan yaitu pasien sering berada dalam posisi yang tidak menguntungkan. Peraturan tentang hak pasien di Indonesia belum berjalan dengan maksimal, tidak jarang pasien yang dirugikan tanpa kesalahan pada pihaknya dalam berhubungan dengan penyedia pelayanan kesehatan. Pasien hampir dapat dikatakan “tidak mampu” menuntut ganti rugi dan atau menegakkan hak-haknya.4 Pengobatan tradisional merupakan penyedia jasa bagi masyarakat. Praktik pengobatan tradisional diharapkan selain menyembuhkan dan memulihkan sakit bagi konsumennya juga harus menjamin kepastian hukum, bahwa usaha yang dijalankannya menggunakan standar usaha pengobatan yang layak dan dapat diterima oleh masyarakat.

Menurut Pasal 15 Kepmenkes No. 1076//MENKES/SK/VII/2003 tentang Penyelenggaraan Pengobatan Tradisional, Pengobatan tradisional harus memberikan informasi yang jelas dan tepat kepada pasien tentang tindakan pengobatan yang dilakukannya. Informasi yang diberikan secara lisan yang mencakup keuntungan dan kerugian dari tindakan pengobatan yang dilakukan. Semua tindakan pengobatan tradisional yang akan dilakukan terhadap pasien harus mendapat persetujuan pasien atau keluarganya. Persetujuan dapat diberikan secara tertulis maupun lisan. Setiap tindakan pengobatan tradisional yang mengandung resiko tinggi bagi pasien harus dengan persetujuan tertulis yang ditandatangani oleh yang berhak memberikan persetujuan. Petunjuk aturan hukum tersebut menentukan tindakan-tindakan kesepakatan yang harus dilakukan pihak

4


(17)

pengobatan tradisional sebagai penyelenggara pelayanan kesehatan terhadap pasien sebelum melakukan praktik pengobatan.

Praktik pengobatan tradisional selain dapat meningkatkan status pasien, dimungkinkan akan menimbulkan keadaan buruk bagi pasiennya. Pengobat dalam melakukan penyembuhan dengan metode tusuk jarum dapat saja terjadi kesalahan sehingga menambah kondisi buruk terhadap pasien. Sebagai contoh pada kasus pengobatan akupuntur di Kabupaten Lumajang:

Warga Desa Condro bernama Mawan Triadmojo di Pasirian meninggal dunia dan dibawa ke instalasi kamar mayat Rumah Sakit Haryoto di Lumajang untuk menjalani otopsi. Mawan meninggal dalam keadaan tak wajar saat menjalani terapi tusuk jarum yang dilakukan Masduki, warga Pulau Tempe, Kecamatan Pasirian. Mawan diberi pengobatan akupuntur yaitu dengan diterapi tusuk jarum di bagian dada, kemudian disetrum simulator sebanyak dua kali berdurasi 30 (tiga puluh) menit dan 10 (sepuluh) menit. Menurut Ayah Mawan bernama Didik, anaknya itu menderita asma dan sudah menjalani pemeriksaan ke puskesmas setempat. Namun karena tak kunjung sembuh, Mawan dibawa ke rumah praktik akupuntur. Keluarga Mawan telah melaporkan kepada polisi setempat atas kejadian tersebut. Polisi langsung menangkap Masduki sebagai pelaku pengobatan tradisional akupuntur. Barang bukti berupa simulator dan satu pak jarum telah diamankan polisi. Barang bukti tersebut merupakan alat yang diduga digunakan untuk mengobati Mawan hingga meninggal dunia. Polisi masih menunggu hasil visum sebelum menetapkan status Masduki dalam kasus ini5.

Kejadian tersebut menunjukkan bahwa diperlukan ketentuan mengenai hak dan kewajiban terhadap kedua belah pihak antara pasien dan pelaku usaha pengobatan tradisional. Hak dan kewajiban terhadap kedua belah pihak sebaiknya juga sudah ditentukan sebelum praktik pengobatan akan dilakukan. Pihak pengobatan tradisional juga seharusnya memberikan informasi mengenai petunjuk dan

5

Seorang Pria Tewas Karena Akupuntur, www.google.com/berita indosiar/indosiar.com/, diakses tanggal 14 Maret 2014.


(18)

prosedur yang harus dilakukan pasien dan tindakan-tindakan yang akan diterimanya.

Melihat kondisi di atas apakah perjanjian yang dihasilkan antara pengobat tradisional dan pasien sudah cukup melindungi terhadap kepentingan mereka? Selain itu apakah hak dan kewajiban para pihak dalam perjanjian penyembuhan sudah cukup memadai? Perlu dipertanyakan karena peraturan yang mengatur tentang Penyelenggaraan Pengobatan Tradisional dalam Kepmenkes No. 1076//MENKES/SK/VII/2003 tentang Penyelenggaraan Pengobatan Tradisional tidak mengatur secara jelas mengenai hak dan kewajiban para pihak dan tidak mengatur berbagai akibat hukum adanya pengobatan tradisional. Berdasarkan uraian tersebut penulis tertarik untuk meneliti dan menuangannya dalam sebuah tesis dengan judul “Perlindungan Hukum Pasien terhadap Penyelenggara Praktik Pengobatan Tradisional”

B. Rumusan Masalah dan Ruang Lingkup

Berdasarkan latar belakang di atas, maka menjadi masalah dalam penulisan ini apakah perjanjian pengobatan tradisional dan peraturan perundang-udangan sudah cukup memadai. Adapun rumusan masalahnya adalah:

1. Jenis perjanjian apa yang digunakan antara pasien dan penyelenggara pengobatan tradisional?

2. Apa yang menjadi hak dan kewajiban para pihak dalam kegiatan pengobatan tradisional?


(19)

3. Apakah peraturan yang mengatur pengobatan tradisional telah melindungi kedua belah pihak?

Lingkup penelitian ini adalah bidang ilmu hukum perdata khususnya hukum bisnis, hukum kesehatan dan hukum perlindungan konsumen dengan kajian perlindungan hukum pasien terhadap penyelenggara praktik pengobatan tradisional.

C. Tujuan Penelitian

Penelitian ini bertujuan:

1. Untuk menganalisis tentang jenis perjanjian apa yang digunakan antara pasien dan penyelenggara pengobatan tradisional.

2. Untuk menganalisis hak dan kewajiban para pihak dalam kegiatan pengobatan tradisional.

3. Untuk menganalisis peraturan yang mengatur pengobatan tradisional telah melindungi kedua belah pihak.

D. Kegunaan Penelitian

Kegunaan penelitian ini dibagi menjadi dua yaitu: 1. Secara Teoritis

Hasil penelitian ini diharapkan dapat menjadi sumbangan pengembangan Ilmu Hukum Perdata yang berguna sebagai peningkatan kompetensi dan wawasan setelah mengikuti perkuliahan pada Program Pasca Sarjana. Penelitian ini diharapkan juga dapat meningkatkan kemampuan menyerap dan menguasai


(20)

teori-teori bidang ilmu hukum khususnya teori-teori perlindungan konsumen dan teori-teori hukum perjanjian.

2. Secara Praktis

Penelitian ini diharapkan dapat menjadi masukkan dan referensi dalam menyelesaikan permasalahan hak pasien khususnya perlindungan pasien dari praktik pengobatan tradisional sehingga penelitian ini juga bermanfaat:

1. sebagai penelitian lanjutan pengembangan ilmu hukum perdata khususnya dalam aspek perlindungan hukum pasien, perlindungan konsumen;

2. sebagai bahan untuk melakukan penyuluhan hukum dengan memberikan sumbangan pengetahuan, pemahaman dan kepastian hukum kepada masyarakat terhadap pemulihan kesehatan melalui sarana pengobatan tradisional yang tersedia sehingga tidak menimbulkan masalah;

3. bagi profesional hukum, misalnya pengacara dapat memberikan manfaat yang berguna dalam bidang hukum perlindungan pasien.

E. Kerangka Teoritis, Kerangka Konseptual dan Kerangka Pikir

1. Kerangka Teoritis

Teori adalah serangkaian proposisi atau keterangan yang saling berhubungan dan tersusun dalam suatu sistem deduksi yang mengemukakan penjelasan atas suatu gejala. Sementara itu pada suatu penelitian, teori memiliki fungsi sebagai pemberi arahan kepada peneliti dalam melakukan penelitian. Untuk mengkaji suatu permasalahan hukum secara lebih mendalam diperlukan teori-teori yang berupa serangkaian asumsi, konsep, definisi dan proposisi untuk menerangkan suatu


(21)

fenomena sosial secara sistematis dengan cara merumuskan hubungan antar konsep.6 Teori yang digunakan dalam penelitian ini:

a. Teori Hukum Perjanjian

Perjanjian didefinisikan sebagai hubungan hukum antara dua pihak atau lebih berdasarkan kata sepakat untuk menimbulkan akibat hukum.7 Tenaga pengobat tradisional melakukan praktik penyembuhan terhadap pasien didukung dengan perjanjian dalam lingkup kesehatan. Perjanjian dalam lingkup kesehatan masyarakat dituntut telah memiliki dasar keahlian mengobati secara tradisional melalui pengalaman, keterampilan turun temurun, dan/atau pendidikan/pelatihan, dan diterapkan sesuai dengan norma yang berlaku dalam masyarakat. Adanya perjanjian akan menimbulkan hak dan kewajiban antara pihak-pihak yang harus dipenuhi berdasarkan yang diperjanjikan. Pemenuhan kewajiban bertentangan dengan wanprestasi yang tidak boleh dilakukan pihak-pihak yang melakukan perjanjian. Wanprestasi artinya tidak memenuhi kewajiban yang telah disepakati dalam perikatan.8 Para pihak yang melakukan perjanjian dilarang wanprestasi atas hal-hal yang telah diperjanjikan.

Perjanjian yang diakukan oleh pengobat tradisional terhadap pasiennya disebut sebagai perjanjian pengobatan tradisional yang tujuannya melakukan penyembuhan. Perjanjian penyembuhan dalam istilah kesehatan dikenal dengan

6

Burhan Ashsofa, Metode Penelitian Hukum, Jakarta: Rineka Cipta, 2004, hlm.19. 7

Sudikno Mertokusumo, Mengenal Hukum; Suatu Pengantar, Yogyakarta: Liberty, 1999. hlm 110.

8

Abdulkadir Muhammad, Hukum Perdata Indonesia, Bandung: Citra Aditya Bakti, 2010, hlm. 241


(22)

perjanjian terepeutik. Perjanjian terapeutik atau sering disebut dengan transaksi terapeutik adalah “hubungan antara dokter dengan pasien dalam pelayanan medik secara profesional didasarkan kompetensi yang sesuai dengan keahlian dan keterampilan tertentu di bidang kedokteran”. Perjanjian tersebut adalah perjanjian penyembuhan yang berhubungan dengan dokter namun hal tersebut juga berlaku bagi tenaga pengobat tradisional sebagai tenaga penyelenggara kesehatan.

Terjemahan Pasal 1313 Bugerlijk Weebook (BW) dalam Bahasa Indonesia merujuk pada hasil terjemahan Subekti dan Tirtosudibio pada Kitab Undang-Undang Hukum Perdata (KUHPerdata), memberikan rumusan tentang kontrak atau perjanjian adalah “Suatu perjanjian adalah suatu perbuatan dengan mana satu orang atau lebih mengikatkan dirinya terhadap satu orang lain atau lebih. Subekti9 memberikan definisi “perjanjian” adalah suatu peristiwa di mana seorang berjanji pada seorang lain atau di mana dua orang itu saling berjanji untuk melaksanakan suatu hal.

Peraturan atau ketentuan yang digunakan sebagai acuan dalam perjanjian jasa menurut Pasal 1601 KUHPerdata. Salah satu perjanjiannya adalah perjanjian yang dibuat antara profesional dan klien, meliputi klausula-klausula yang telah disepakati untuk dilakukan atau dikerjakan oleh profesional. Perjanjian tersebut seperti informed concent yang mengatur perjanjian antara dokter dan pasien.10 Perjanjian antara profesional dan klien dapat dibedakan menjadi Perjanjian mendeskripsikan adanya interaksi dan transaksi para pihak. Hal tersebut

9

Subekti, Hukum Perjanjian, Cet. XVI , Jakarta: Intermasa, 1996, hlm. 1. 10

Wahyu Sasongko, Ketentuan-Ketentuan Pokok Hukum Perlindungan Konsumen, Bandar Lampung: Penerbit Universitas Lampung, 2007, hlm.107.


(23)

menandakan bila tidak ada perjanjian maka tidak ada hubungan hukum antara kedua belah pihak. Kedua belah pihak yang mengadakan hubungan hukum melalui perjanjian akan lebih mudah mengakui hak dan kewajiban serta meminta pertanggungjawaban secara hukum terutama bagi pasien terhadap penyelenggara pengobatan tradisional.

Perjanjian pengobatan tradisional menggunakan asas konsensual. Asas konsensual mempunyai arti bahwa perjanjian itu terjadi saat tercapainya kata sepakat (konsensus) antara pihak-pihak mengenai pokok perjanjian.11 Kata sepakat pada asas konsensual yang dimaksud terjadinya persetujuan atas hal-hal yang diperjanjikan antara pasien dan pihak pengobat tradisional. Para pihak bebas untuk menuangkan kesepakatan mereka dalam bentuk apapun. Jadi perjanjian pengobatan tradisional boleh dituangkan dalam bentuk tertulis atau secara lisan.

Syarat sahnya suatu perjanjian diterapkan Pasal 1320 KUHPerdata yang menyebutkan bahwa untuk sahnya suatu perjanjian harus memenuhi 4 (empat) unsur, yaitu:

1. sepakat mereka yang mengikatkan dirinya; 2. kecakapan untuk membuat suatu perikatan; 3. suatu hal tertentu; dan

4. suatu sebab yang halal.

Perjanjian dirumuskan juga dalam Pasal 1338 KUHPerdata yang menyatakan bahwa semua perjanjian yang dibuat secara sah berlaku sebagai undang-undang

11


(24)

bagi mereka yang membuatnya. Sedangkan ketentuan mengenai syarat sahnya perjanjian di atur dalam Pasal 1320 KUHPerdata. Pasal 1321 KHUPerdata yang berbunyi: tiada sepakat yang sah apabila sepakat itu diberikan karena kekhilafan, atau diperolehnya dengan paksaan atau penipuan. Tanggung jawab muncul karena adanya hubungan antar pihak yang dituangkan dalam perjanjian.

Perjanjian penyembuhan dalam lingkup pengobatan tradisional yang berjalan saat ini didukung dengan syarat sahnya perjanjian. Pasien datang menawarkan diri untuk disembuhkan oleh pengobat tradisional. Pihak pelaku pengobat tradisional menerima tawaran pasien tersebut. Pasien dan pelaku pengobat tradisional telah mengikatkan dirinya dengan sepakat untuk mengikatkan dirinya dalam perjanjian penyembuhan. Syarat sah yang selanjutnya pasien dan pelaku pengobat tradisional harus cakap untuk membuat suatu perikatan, dalam hal ini dewasa atau didampingi oleh orang tua/wali dan tidak gila. Perjanjian penyembuhan ini juga harus memenuhi suatu hal tertentu berupa bentuk adanya hal yang diperjanjikan dan suatu sebab yang halal mengartikan bahwa yang diperjanjikan tidak melanggar aturan perundang-undangan yang berlaku. Perjanjian pengobatan tradisional didukung pula dengan adanya teori penawaran dan penerimaan.

Titik temu penawaran dan penerimaan secara timbal balik menciptakan kesepakatan sebagai perjanjian yang mengikat pihak-pihak.12 Penawaran dan penerimaan jika disetujui kedua belah pihak maka dilanjutkan dengan perjanjian pengobatan tradisional demi terpenuhinya tanggung jawab serta hak dan

12

Abdulkadir Muhammad, Hukum Asuransi Indonesia, Edisi Revisi, Bandung: Citra Aditya Bakti, 2006, hlm. 55.


(25)

kewajiban para pihak. Teori hukum perjanjian tersebut sangat berkaitan bagi pemecahan permasalahan perlindungan pasien terhadap penyelenggaraan pengobatan tradisional.

b. Teori Hukum Perlindungan Konsumen

Asas perlindungan hukum selanjutnya dapat dikaitkan dengan konsep perlindungan konsumen berdasarkan ketentuan Pasal 1 Angka 1 UU No. 8 Tahun 1999 tentang Perlindungan Konsumen, dinyatakan, Perlindungan konsumen adalah segala upaya yang menjamin adanya kepastian hukum untuk memberikan perlindungan kepada konsumen. Rumusan di atas merupakan upaya pembentuk peraturan untuk melindungi konsumen dari tindakan sewenang-wenang para pelaku usaha. Menurut Yusuf Shofie Undang-Undang Perlindungan Konsumen di Indonesia mengelompokan norma-norma perlindungan konsumen ke dalam 2 (dua) kelompok, yaitu:

1. perbuatan yang dilarang bagi pelaku usaha;dan 2. ketentuan tentang pencantuman klausula baku.13

Perbuatan yang dilarang bagi pelaku usaha merupakan batasan untuk membentuk dan melindungi konsumen. Klausula menjadi dasar kesepakatan kedua belah pihak antara pasien dan pengobat tradisional sebagai pelaku usaha. Kesepakatan antara pengobat tradisional dan pasien tidak seperti konsumen dan pelaku usaha pada umumnya. Konsep kesepakatan kedua belah pihak merupakan kesepakatan

13

Yusuf Shofie. Perlindungan Konsumen dan Instrumen-Instrumen Hukumnya, Bandung: PT Citra Aditya, 2003, hlm. 26.


(26)

di bidang kesehatan dengan adanya rasa kemanusiaan dari tenaga pengobat untuk melakukan penyembuhan kepada pasien.

Terbitnya Undang-Undang Perlindungan Konsumen menunjukkan bahwa keberadaan hukum perlindungan konsumen dalam tata hukum nasional tidak diragukan lagi. Kedudukan hukum perlindungan konsumen diakui sebagai cabang hukum tersendiri dari hukum ekonomi, karena konsumen adalah subjek dalam aktifitas perekonomian. Oleh karena itu, prilaku konsumen menjadi objek studi tidak hanya bagi ilmu ekonomi melainkan juga ilmu hukum.14 Perlindungan konsumen di bidang kesehatan tidak hanya meliputi lingkup hukum ekonomi namun memberikan adanya perlindungan hukum terhadap pasien yang menjadi konsumen tenaga pengobat tradisional. Pasien dan tenaga pengobat tradisional harus terpenuhi hak-haknya dan menjalankan kewajiban sesuai dengan yang telah disepakati.

Perlindungan konsumen merupakan masalah kepentingan manusia, oleh karenanya menjadi harapan bagi semua bangsa di dunia untuk dapat mewujudkannya. Mewujudkan perlindungan konsumen adalah mewujudkan hubungan berbagai dimensi yang satu sama lain mempunyai keterkaitan dan saling ketergantungan antara konsumen, pengusaha, dan Pemerintah.15 Perlindungan konsumen dalam konteks pengobatan tradisional mempunyai keterkaitan di antaranya terhadap pasien sebagai kosumen, tenaga pengobat tradisional dan Pemerintah.

14

Wahyu Sasongko, Op. Cit., hlm. 29. 15


(27)

Janus Sidabalok mengemukakan ada empat alasan pokok mengapa konsumen perlu dilindungi, yaitu sebagai berikut:

1. melindungi konsumen sama artinya dengan melindungi seluruh bangsa sebagaimana diamanatkan oleh tujuan pembangunan nasional menurut UUD 1945;

2. melindungi konsumen perlu untuk menghindarkan konsumen dari dampak negatif penggunaan teknologi;

3. melindungi konsumen perlu untuk melahirkan manusia-manusia yang sehat rohani dan jasmani sebagai pelaku-pelaku pembangunan, yang berarti juga untuk menjaga kesinambungan pambangunan nasional; 4. melindungi konsumen perlu untuk menjamin sumber dana pembangunan

yang bersumber dari masyarakat konsumen.16

Perlindungan konsumen memberikan tuntutan agar hak-hak sebagai konsumen dapat jelas diaplikasikan pada praktiknya. Praktik pengobatan tradisional dapat memperjelas hak dan kewajiban dari pasien. Hubungan hukum melalui hak dan kewajiban masing-masing pihak akan memberikan kepastian hukum terutama bagi pasien melalui pertanggungjawaban sesuai dengan yang diperjanjikan dan disepakati. Kesepakatan yang diawali sebelum dilakukannya penyembuhan/pengobatan merupakan bentuk perlindungan hukum yang diberikan terhadap pasien.

2. Kerangka Konseptual a. Pengobatan tradisional

Pengobatan tradisional berdasarkan Kepmenkes No. 1076/MENKES/SK/VII/2003 tentang Penyelenggaraan Pengobatan Tradisional adalah pengobatan dan/atau perawatan dengan cara, obat dan pengobatnya yang mengacu kepada pengalaman,

16

Janus Sidabalok. Hukum Perlindungan Konsumen di Indonesia, Bandung: PT Citra Aditya Bakti, 2006, hlm. 6.


(28)

keterampilan turun temurun, dan/atau pendidikan/pelatihan, dan diterapkan sesuai dengan norma yang berlaku dalam masyarakat.

b. Perlindungan Hukum Pasien

Istilah pasien secara jelas disebutkan dalam Pasal 1 Angka 10 UU No. 29 Tahun 2004 tentang Praktik Kedokteran bahwa pasien adalah setiap orang yang melakukan konsultasi masalah kesehatannya untuk memperoleh pelayanan kesehatan yang diperlukan baik secara langsung maupun tidak langsung kepada dokter atau dokter gigi.

Pengertian perlindungan pasien dalam Pasal 56 Ayat (1) UU No. 36 Tahun 2009 tentang Kesehatan diartikan bahwa setiap orang berhak menerima atau menolak sebagian atau seluruh tindakan pertolongan yang akan diberikan kepadanya setelah menerima dan memahami informasi mengenai tindakan tersebut secara lengkap.

c. Pengobat dan Obat Tradisional

Pemerintah melalui Pasal 1 Ayat (1) Kepmenkes No. 1076/MENKES/SK/VII/2003 tentang Penyelenggaraan Pengobatan Tradisional menyebutkan bahwa yang dimaksud dengan pengobatan tradisional adalah pengobatan dan/atau perawatan dengan cara, obat dan pengobatnya yang mengacu kepada pengalaman, keterampilan turun temurun, dan/atau pendidikan/pelatihan, dan diterapkan sesuai dengan norma yang berlaku dalam masyarakat. Obat tradisional dirumuskan pada Pasal 1 Ayat (2) Kepmenkes No.


(29)

1076//MENKES/SK/VII/2003 tentang Penyelenggaraan Pengobatan Tradisional merumuskan bahwa obat tradisional adalah bahan atau ramuan bahan yang berupa bahan tumbuhan, bahan hewan, bahan mineral, sediaan sarian (galenik) atau campuran bahan tersebut yang secara turun temurun telah digunakan untuk pengobatan berdasarkan pengalaman.

Pasal 1 Ayat (3) Kepmenkes No. 1076//MENKES/SK/VII/2003 tentang Penyelenggaraan Pengobatan Tradisional mengartikan pengobat adalah orang yang melakukan pengobatan tradisional (alternatif). Pasal 18 Ayat (1) Kepmenkes No. 1076//MENKES/SK/VII/2003 tentang Penyelenggaraan Pengobatan Tradisional merumuskan pengobat tradisional dapat memberikan obat tradisional yang di produksi oleh industri obat tradisional (pabrikan) yang sudah terdaftar serta memiliki nomor pendaftaran dan obat tradisional racikan.


(30)

Pasien datang ke pengobatan tradisional secara hukum telah mengadakan penawaran dengan meminta bantuan pertolongan/bantuan pengobatan. Selanjutnya pengobat yang menerima keluhan pasien dikonstruksikan sebagai menerima permintaan tersebut. Terjadi kesepakatan dengan cara-cara pengobatan tradisional/alternatif. Apabila terjadi kesepakatan maka di antara pengobat dan pasien telah terjadi suatu perjanjian dan dilanjutkan dengan pengobatan. Pelaksanaan perjanjian pengobatan tradisional antara pasien dan pengobat tradisional juga melindungi penyelenggaraan pengobatan tradisional. Peraturan Kepmenkes No. 1076/MENKES/SK/VII/2003 tentang Penyelenggara Pengobatan Tradisional dan UU No. 36 Tahun 2009 tentang Kesehatan.

Pasien harus mengetahui apakah pihak pengobat tradisional yang didatangi telah memiliki Surat Terdaftar Pengobat Tradisional (STPT) atau Surat Izin Pengobatan Tradisional (SIPT) agar pelaksanaannya dapat dipertanggungjawabkan sesuai aturan hukum yang melindungi. Upaya tersebut untuk melindungi penyelenggaraan pengobatan tradisional terutama terhadap pasien dan pengobat tradisional serta memperjelas pertanggungjawaban kedua belah pihak secara hukum.


(31)

A. Pengobatan Tradisional

Sarana pengobatan umumnya ditempuh oleh seorang yang sakit/tidak sehat dengan menjalani pengobatan baik secara medis (konvensional) maupun secara tradisional (nonkonvensional). Medis memiliki makna yang berhubungan dengan kedokteran. Pengobatan medis ditangani tenaga medis yang dapat dipertanggungjawabkan dan telah diakui oleh ilmu pengetahuan di bidang kedokteran, sedangkan pengobatan tradisional (nonkonvensional) merupakan pengobatan yang bersifat turun-temurun dan diakui oleh kalangan masyarakat.

Pengobatan tradisional pada umumnya banyak diminati oleh masyarakat. Seorang yang menderita suatu penyakit awal mulanya mendapatkan informasi baik dari iklan, teman, tetetangga dan sumber lainnya, bahwa sakit yang dideritanya dapat dipulihkan melalui pengobatan tradisional. Masyarakat yang tertarik pada informasi tersebut akan datang menawarkan diri untuk disembuhkan oleh penyelenggara pengobatan tradisional. Masyarakat berminat dengan pengobatan tradisional karena tidak semua lapisan masyarakat dapat menerima pengobatan secara medis yang pada umumnya menggunakan obat-obatan melalui proses kimia. Pengobatan tradisional yang bertujuan mewujudkan kesembuhan bagi seseorang sering dikenal dengan alternatif pengobatan di luar cara medis.


(32)

Pelayanan kesehatan tradisional didasarkan pada pengalaman dan keterampilan yang didapat secara turun menurun. Pengobatan tradisional dalam perkembangannya terbagi dua yaitu: ada yang bersifat tradisional irasional dan tradisional rasional. Pengobatan tradisional rasional yang dimaksud adalah pengobatan tradisional yang dapat diteliti secara ilmiah.17

Pengobatan tradisional sebagai salah satu pengobatan di luar ilmu kedokteran dan atau ilmu keperawatan, yang banyak dimanfaatkan oleh masyarakat dalam mengatasi masalah kesehatan. Pengobatan di luar ilmu kedokteran diupayakan ada karena setiap orang yang berhak hidup sejahtera. Hak hidup sejahtera tersebut jelas diatur dalam rumusan UUD 1945 Pasal 28 Ayat (1) yaitu Setiap orang berhak hidup sejahtera lahir dan batin, bertempat tinggal, dan mendapatkan lingkungan hidup yang baik dan sehat serta berhak memperoleh pelayanan kesehatan. Menurut Pasal 5 Ayat (2) dan (3) UU No. 36 Tahun 2009 tentang Kesehatan menyatakan bahwa setiap orang mempunyai hak dalam memperoleh pelayanan kesehatan yang aman, bermutu, terjangkau dan setiap orang juga berhak secara mandiri dan bertanggungjawab menentukan sendiri pelayanan kesehatan yang diperlukan dirinnya.

Pelayanan kesehatan diupayakan juga sesuai dengan perumusan menurut Pasal 46 UU No. 36 Tahun 2009 tentang Kesehatan bahwa untuk mendapatkan derajat kesehatan yang setinggi-tingginya sesuai yang diharapkan dilakukan upaya kesehatan yang terpadu dan menyeluruh baik melalui upaya kesehatan

17

Soerjono Soekanto dan Herkutanto, Pengantar Hukum Kesehatan, Bandung: Remaja Karya, 1987, hlm. 114.


(33)

perseorangan maupun upaya kesehatan masyarakat. Upaya kesehatan dilakukan dalam bentuk kegiatan pelayanan kesehatan melalui 4 (empat) pendekatan yaitu: promotif, preventif, kuratif, dan rehabiliatif. Penyelengggaraan upaya kesehatan dilakukan dengan berbagai macam cara, mulai dari pelayanan kesehatan yang bersifat tradisional sampai yang bersifat modern dengan berbagai teknologi yang canggih.

Pelayanan kesehatan tradisional merupakan salah satu bentuk pelayanan kesehatan yang sudah berkembang sejak dulu di Indonesia bahkan sebelum keberadaan pengobatan modern. Pemerintah menerbitkan berbagai peraturan untuk berupaya melindungi warga negara dan sekaligus memberikan rasa aman. Perlindungan dan rasa aman tersebut juga diberikan bagi pemberi pelayanan kesehatan.

Pengobatan tradisional sebagai salah satu pengobatan di luar ilmu kedokteran juga dirumuskan pada Pasal 12 Ayat (1) dan (2) Kepmenkes No. 1076//MENKES/SK/VII/2003 tentang Penyelenggaraan Pengobatan Tradisional bahwa pengobatan tradisional merupakan salah satu upaya pengobatan dan /atau perawatan cara lain di luar ilmu kedokteran dan/atau ilmu keperawatan. Pengobatan tradisional sebagaimana dimaksud pada Ayat (1) dilakukan sebagai upaya peningkatan kesehatan, pencegahan penyakit, penyembuhan penyakit, dan/atau pemulihan kesehatan.

Berdasarkan rumusan di atas dapat disimpulkan bahwa pengobatan tradisional merupakan sarana penyembuhan yang mendukung pemerintah dalam upaya


(34)

memberikan pelayanan kesehatan terhadap masyarakat. Pengobatan tradisional pada prinsipnya merupakan salah satu upaya pengobatan dan/atau perawatan cara lain di luar ilmu kedokteran. Metode pengobatan tradisional meskipun di luar ilmu kedokteran namun tetap dipercaya dan diminati oleh masyarakat, hal ini karena tidak semua lapisan masyarakat dapat menerima pengobatan secara medis yang pada umumnya menggunakan obat-obatan melalui proses kimia. Pemerintah menerbitkan aturan melalui Kepmenkes No. 1076//MENKES/SK/VII/2003 tentang Penyelenggaraan Pengobatan Tradisional. Peraturan tersebut dibentuk oleh Pemerintah, hal ini membuktikan bahwa pengobatan tradisional mendukung peningkatan derajat kesehatan masyarakat.

B. Pengaturan Pengobatan Tradisional

Pemerintah menerbitkan Kepmenkes No. 1076//MENKES/SK/VII/2003 tentang Penyelenggaraan Pengobatan Tradisional tentang Penyelenggaraan Pengobatan Tradisional tentang Penyelenggaraan Pengobatan Tradisional. Peraturan pengobatan tradisional tersebut dibentuk sebagai upaya mendukung peningkatan derajat kesehatan masyarakat selain medis. Pasal 1 Ayat (1) Kepmenkes No. 1076//MENKES/SK/VII/2003 tentang Penyelenggaraan Pengobatan Tradisional menyebutkan bahwa yang dimaksud dengan pengobatan tradisional adalah pengobatan dan/atau perawatan dengan cara, obat dan pengobatnya yang mengacu kepada pengalaman, keterampilan turun temurun, dan/atau pendidikan/pelatihan, dan diterapkan sesuai dengan norma yang berlaku dalam masyarakat.


(35)

Tujuan pengaturan penyelenggaraan pengobatan tradisional dirumuskan pada Pasal 2 Ayat (1), (2) dan (3) Kepmenkes No. 1076//MENKES/SK/VII/2003 tentang Penyelenggaraan Pengobatan Tradisional, bahwa tujuannya (1) membina upaya pengobatan tradisional; (2) memberikan perlindungan kepada masyarakat; (3) menginventarisasi jumlah pengobat tradisional, jenis dan cara pengobatannya. Pengaturan pada Kepmenkes tersebut secara tegas mengatur dan melindungi penyelenggara pengobatan tradisional dan masyarakat selaku pasien.

Pemerintah perupaya mewujudkan derajat kesehatan yang optimal bagi setiap orang. Pemerintah juga harus secara terus menerus memberikan perhatian bagi penyelenggaraan pembangunan nasional yang berwawasan kesehatan. Penyelenggaraan pembangunan nasional tentunya harus didukung dengan jaminan atas pemeliharaan kesehatan dan ditingkatkannya profesionalisme. Kegiatan-kegiatan tersebut sudah tentu memerlukan perangkat hukum kesehatan yang memadai. Perangkat hukum kesehatan dimaksudkan agar kepastian hukum dan perlindungan yang menyeluruh baik bagi penyelenggara kesehatan maupun masyarakat penerima pelayanan kesehatan.

Pengaturan pengobatan tradisional juga ditunjang dan dirumuskan oleh WHO

pada tahun 2000 telah menetapkan bahwa pengobatan tradisional adalah jumlah total pengetahuan, keterampilan, dan praktik-praktik yang berdasarkan pada teori-teori, keyakinan, dan pengalaman masyarakat yang mempunyai adat budaya yang berbeda, baik dijelaskan atau tidak, digunakan dalam pemeliharaan kesehatan


(36)

serta dalam pencegahan, diagnosa, perbaikan atau pengobatan penyakit secara fisik dan juga mental.

Pengobatan tradisional sebagai alternatif pengobatan di luar cara medis hanya dapat dilakukan oleh pengobat/orang yang ahli di bidangnya. Menurut rumusan Pasal 1 Angka 16 UU No. 36 Tahun 2009 tentang Kesehatan yang dimaksud dengan pengobatan tradisional adalah pengobatan dan/atau perawatan dengan cara dan obat yang mengacu pada pengalaman dan keterampilan turun temurun secara empiris yang dapat dipertanggungjawabkan dan diterapkan sesuai dengan norma yang berlaku di masyarakat.

Keberadaan pelayanan kesehatan tradisional yang dilakukan oleh pengobat tradisional yang telah diakui oleh undang-undang sebagai salah satu bentuk pelayanan ataupun pengobatan. Potensi pengobatan tradisional dalam meningkatkan pemerataan pelayanan kesehatan ternyata juga menimbulkan dampak negatif yang selanjutnya dapat memberikan ekses buruk pada masyarakat. Dampak negatif tersebut misalnya pengobatan-pengobatan yang tidak mengindahkan norma-norma kesehatan atau promosi pengobatan tradisional yang berlebihan.18 Pelaksanaan tersebut bertentangan dengan peraturan seperti yang tertuang dalam Pasal 77 UU No.29 Tahun 2004, ditegaskan bahwa bertindak seolah-olah sebagai dokter adalah pelanggaran. Tindakan seseorang dilarang bertindak seolah-olah seperti dokter karena dikhawatirkan akan menimbulkan tindakan berlebihan dan tidak dapat dipertanggungjawabkan akibat penyembuhan

18

Dyah Pratitasari, Boleh Pengobatan Alternatif Asal, Kompasiana,


(37)

Pengawasan serta pengaturan sangat dibutuhkan terhadap berbagai upaya pengobatan tradisional sehingga dapat memberikan manfaat yang optimal untuk kesehatan dan kesejahteraan masyarakat.

Bentuk pengaturan pengobatan tradisional diterbitkan dalam Kepmenkes No. 1076//MENKES/SK/VII/2003 tentang Penyelenggaraan Pengobatan Tradisional. Tujuan diterbitkan Kepmenkes tersebut untuk membina upaya pengobatan tradisional; memberikan perlindungan kepada masyarakat; dan menginventarisasi jumlah pengobat tradisional, jenis dan cara pengobatannya. Pengakuan terhadap pengaturan pengobatan tradisional juga diperkuat dengan adanya rumusan dari

WHO pada Tahun 2000 yang mendefinisikan pengobatan tradisional, selain itu diperkuat juga dengan adanya rumusan Pasal 1 Angka 16 UU No. 36 Tahun 2009 tentang Kesehatan. Pengobatan tradisional dalam penyelenggaraannya jelas dilindungi beberapa peraturan. Pengaturan pengobatan tradisional sebagai perangkat hukum kesehatan. Perangkat hukum kesehatan dimaksudkan agar memberikan kepastian hukum dan perlindungan baik bagi penyelenggara pengobatan tradisional maupun masyarakat penerima pelayanan kesehatan serta dapat dipertanggungjwabkan secara hukum.

Para ahli dalam bidang kesehatan melaksanakan profesi berdasarkan suatu pekerjaan yang mengandung resiko. Tugas para ahli dalam bidang kesehatan jika telah dilaksanakan dengan benar menurut tolok ukur profesional (standar profesi), maka yang bersangkutan harus mendapat perlindungan hukum.19 Tanggung jawab

19


(38)

hukum dokter dan tenaga kesehatan didasarkan atas kode etik profesi untuk dipatuhi dan dilaksanakan oleh para pendukungnya mengandung 3 (tiga) tujuan, yaitu: pertama, suatu kode etik profesi memudahkan dalam pengambian keputusan secara efisien; kedua, secara individual para pengemban profesi itu seringkali membutuhkan arahan untuk mengarahkan prilaku profesionalnya; dan ketiga, etik profesi menciptakan suatu pola prilaku yang diharapkan oleh para pelanggannya secara profesional.20

Peraturan yang ada saat ini tidak megatur secara jelas tanggung jawab, hak dan kewajiban dari pelaku pengobat tradisional itu sendiri. Peraturan yang ada juga tidak mengatur bagaimana hak dan kewajiban konsumen sebagai pasien dalam menjalani penyembuhan pada sarana pengobatan tradisional. Tenaga pengobat tradisional harus melakukan tindakan darurat apa?, bila terjadi keadaan buruk/penyakit yang semakin parah terhadap pasien. Pengaturan untuk pengobatan tradisional serta pasien sebagai konsunen dalam konteks pengobatan tradisional harus jelas penempatan hak, kewajiban, tindakan serta tanggung jawab kedua pihak.

C.Klasifikasi dan Jenis Pengobatan Tradisional

Pemerintah menganggap perlu mengkasifikasikan jenis-jenis penyelenggaraan pengobatan tradisional. Klasifikasi dan jenis-jenis pengobatan tradisional disesuaikan dengan para penyeleggara yang membuka praktik pengobatan

20

Hermien Hadiati Koeswadji, Hukum Untuk Perumahsakitan, Bandung: Citra Aditya Bhakti. 2002, hlm. 37.


(39)

tradisional dan telah dikenal oleh masyarakat. Klasifikasi dan jenis-jenis pengobatan tradisional tersebut tercantum dalam Pasal 3 Ayat (1) Kepmenkes No. 1076//MENKES/SK/VII/2003 tentang Penyelenggaraan Pengobatan Tradisional menyatakan bahwa pengobat tradisional diklasifikasikan dalam jenis ketrampilan, ramuan, pendekatan agama dan supranatural. Pasal 3 Ayat (2) Kepmenkes No. 1076//MENKES/SK/VII/2003 tentang Penyelenggaraan Pengobatan Tradisional merumuskan Klasifikasi dan jenis sebagaimana dimaksud pada Ayat (1) meliputi: a. Pengobat tradisional ketrampilan terdiri dari pengobat tradisional pijat urut, patah tulang, sunat, dukun bayi, refleksi, akupresuris, akupunkturis, chiropractor dan pengobat tradisional lainnya yang metodenya sejenis.

b. Pengobat tradisional ramuan terdiri dari pengobat tradisional ramuan Indonesia (Jamu), gurah, tabib, shinshe, homoeopathy, aromatherapist dan pengobat tradisional lainnya yang metodenya sejenis.

c. Pengobat tradisional pendekatan agama terdiri dari pengobat tradisional dengan pendekatan agama Islam, Kristen, Katolik, Hindu, atau Budha.

d. Pengobat tradisional supranatural terdiri dari pengobat tradisional tenaga dalam (prana), paranormal, reiky master, qigong, dukun kebatinan dan pengobat tradisional lainnya yang metodenya sejenis.

Pasal 3 Ayat (3) Kepmenkes No. 1076//MENKES/SK/VII/2003 tentang Penyelenggaraan Pengobatan Tradisional menyatakan, definisi operasional klasifikasi pengobat tradisional sebagaimana dimaksud pada Ayat (2) sebagaimana terlampir pada Lampiran. Klasifikasi dan jenis pengobat tradisional dikenal dengan istilah battra.


(40)

a. Battra ketrampilan adalah seseorang yang melakukan pengobatan dan/atau perawatan tradisional berdasarkan keterampilan fisik dengan menggunakan anggota gerak dan/atau alat bantu lain:

1) Battra Pijat Urut adalah seseorang yang melakukan pelayanan pengobatan dan/atau perawatan dengan cara mengurut/memijat bagian atau seluruh tubuh. Tujuannya untuk penyegaran relaksasi otot hilangkan capai, juga untuk mengatasi gangguan kesehatan atau menyembuhkan suatu keluhan atau penyakit. Pemijatan ini dapat dilakukan dengan menggunakan jari tangan, telapan tangan, siku, lutut, tumit, atau dibantu alat tertentu antara lain pijat yang dilakukan oleh dukun/tukang pijat, pijat tunanetra.

2) Battra Patah Tulang adalah seseorang yang memberikan pelayanan pengobatan dan/atau perawatan patah tulang dengan cara tradisional. Disebut Dukun Potong (Madura), Sangkal Putung (Jawa), Sandro Pauru (Sulawesi Selatan).

3) Battra Sunat adalah seseorang yang memberikan pelayanan sunat (sirkumsisi) secara tradisional. Battra sunat menggunakan istilah berbeda seperti: Bong Supit (Yogya), Bengkong (Jawa Barat). Asal keterampilan umumnya diperoleh secara turun temurun.

4) Battra Dukun Bayi adalah seseorang yang memberikan pertolongan persalinan ibu sekaligus memberikan perawatan kepada bayi dan ibu sesudah melahirkan selama 40 hari. Jawa Barat disebut Paraji, dukun


(41)

Rembi (Madura), Balian Manak (Bali), Sandro Pammana (Sulawesi Selatan), Sandro Bersalin (Sulawesi Tengah), Suhu Batui di Aceh. 5) Battra Pijat Refleksi adalah seseorang yang melakukan pelayanan

pengobatan dengan cara pijat dengan jari tangan atau alat bantu lainnya pada zona‐zona refleksi terutama pada telapak kaki dan/atau tangan. 6) Akupresuris adalah seseorang yang melakukan pelayanan pengobatan

dengan pemijatan pada titik‐titik akupunktur dengan menggunakan ujung jari dan/atau alat bantu lainnya kecuali jarum.

7) Akupunkturis adalah seseorang yang melakukan pelayanan pengobatan dengan perangsangan pada titik‐titik akupunktur dengan cara menusukkan jarum dan sarana lain seperti elektro akupunktur.

8) Chiropractor adalah seseorang yang melakukan pengobatan kiropraksi (Chiropractie) dengan cara teknik khusus untuk gangguan otot dan persendian.

9) Battra lainnya yang metodenya sejenis.

b. Battra Ramuan adalah seseorang yang melakukan pengobatan dan/atau perawatan tradisional dengan menggunakan obat/ramuan tradisional yang berasal dari tanaman (flora), fauna, bahan mineral, air, dan bahan alam lain, antara lain:

1) Battra Ramuan Indonesia (Jamu) adalah seseorang yang memberikan pelayanan pengobatan dan/atau perawatan dengan menggunakan ramuan obat dari tumbuh-tumbuhan, hewan, mineral, dll, baik diramu sendiri, maupun obat jadi tradisional Indonesia.


(42)

2) Battra Gurah adalah seseorang yang memberikan pelayanan pengobatan dengan cara memberikan ramuan tetesan hidung, yang berasal dari larutan kulit pohon sengguguh dengan tujuan mengobati gangguan saluran pernafasan atas seperti pilek, sinusitis.

3) Shinshe adalah seseorang yang memberikan pelayanan pengobatan dan/atau perawatan dengan menggunakan ramuan obat‐obatan tradisional Cina. Falsafah yang mendasari cara pengobatan ini adalah ajaran “Tao (Taoisme)” di mana dasar pemikirannya adalah adanya keseimbangan antara unsur Yin dan unsur Yang.

4) Tabib adalah seseorang yang memberikan pelayanan pengobatan dengan ramuan obat tradisional yang berasal dari bahan alamiah yang biasanya dilakukan oleh orang‐orang India atau Pakistan.

5) Homoeopath adalah seseorang yang memiliki cara pengobatan dengan menggunakan obat/ramuan dengan dosis minimal (kecil) tetapi mempunyai potensi penyembuhan tinggi, dengan menggunakan pendekatan holistik berdasarkan keseimbangan antara fisik, mental, jiwa, dan emosi penderita.

6) Aromatherapist adalah seseorang yang memberikan perawatan dengan menggunakan rangsangan aroma yang dihasilkan oleh sari minyak murni (essential oils) yang didapat dari sari tumbuh‐tumbuhan (ekstraksi dari bungan, buah, daun, biji, kulit, batang/ranting akar, getah) untuk menyeimbangkan fisik, pikiran dan perasaan.


(43)

c. Pendekatan Agama adalah seseorang yang melakukan pengobatan dan/atau perawatan tradisional dan/atau perawatan tradisional dengan menggunakan pendekatan agama Islam, Kristen, Katolik, Hindu, atau Budha.

d. Battra Supranatural adalah seseorang yang melakukan pengobatan dan/atau perawatan tradisional dengan menggunakan tenaga dalam, meditasi, olah pernapasan, indera keenam, (pewaskita), kebatinan, antara lain:

1) Tenaga Dalam (Prana) adalah seseorang yang memberikan pelayanan pengobatan dengan menggunakan kekuatan tenaga dalam (bio energi, inner power) antara lain Satria Nusantara, Merpati Putih, Sinlamba, Padma Bakti, Kalimasada, Anugrah Agung, Yoga, Sinar Putih, Sinar Pedrak, Bakti Nusantara, Wahyu Sejati, dan sebagainya.

2) Battra Paranormal adalah seseorang yang memberikan pelayanan pengobatan dengan menggunakan kemampuan indera keenam (pewaskita).

3) Reiky Master (Tibet, Jepang) adalah seseorang yang memberikan pelayanan pengobatan dengan menyalurkan, memberikan energi (tenaga dalam) baik langsung maupun tidak langsung (jarak jauh) kepada penderita dengan konsep dari Jepang.

4) Qigong (Cina) adalah seseorang yang memberikan pelayanan pengobatan dengan cara menyalurkan energi tenaga dalam yang berdasarkan konsep pengobatan tradisional Cina.


(44)

5) Battra Kebatinan adalah seseorang yang memberikan pelayanan pengobatan dengan menggunakan kebatinan untuk menyembuhkan penyakit.

6) Battra lainnya yang metodenya sejenis.21

Pemerintah menganggap perlu mengkasifikasikan jenis-jenis penyelenggaraan pengobatan tradisional. Klasifikasi jenis pengobatan tradisional yang diuraikan berdasarkan praktik dan metode pengobatannya belum semuanya dicantumkan dalam Pasal 3 Kepmenkes No. 1076//MENKES/SK/VII/2003 tentang Penyelenggaraan Pengobatan Tradisional. Menurut pandangan penulis terdapat beberapa pengobatan tradisional yang belum masuk dalam klasifikasi yang ditentukan Kepmenkes No. 1076//MENKES/SK/VII/2003 tentang Penyelenggaraan Pengobatan Tradisional, yaitu: bekam (mengeluarkan darah kotor manusia dari bagian kulit tertentu dengan alat tusuk jarum dan penghisap) dan metode pengobatan tradisional melalui setrum/ATGF8 (pijat dengan setrum daya rendah).

D. Eksistensi Pengobatan Tradisional

Eksistensi penyelenggara pengobatan tradisional yang diberi kesempatan seluas-luasnya oleh pemerintah untuk bertanggungjawab dalam mengembangkan, meningkatkan dan menggunakan pelayanan kesehatan tradisional. Eksistensi pengobatan tradisional sudah diakui secara hukum melalui beberapa peraturan dan

21

Lampiran Kepmenkes No. 1076//MENKES/SK/VII/2003 tentang Penyelenggaraan Pengobatan Tradisional, Klasifikasi dan Jenis Pengobat Tradisional.


(45)

undang-undang di antaranya UU No. 36 Tahun 2009 tentang Kesehatan, secara khusus diatur dalam Kepmenkes No. 1076//MENKES/SK/VII/2003 tentang Penyelenggaraan Pengobatan Tradisional dan Peraturan Menteri Kesehatan (Permenkes) No. 1109/MENKES/PER/IX/2007 tentang Penyelenggaraan Pengobatan Komplementer Alternatif di Fasilitas Pelayanan Kesehatan.

Pasal 1 Angka 9 UU No. 36 Tahun 2009 tentang Kesehatan merumuskan obat tradisional adalah bahan atau ramuan bahan yang berupa bahan tumbuhan, bahan hewan, bahan mineral, sediaan sarian (galenik), atau campuran dari bahan tersebut yang secara turun temurun telah digunakan untuk pengobatan, dan dapat diterapkan sesuai dengan norma yang berlaku di masyarakat.

Pemerintah memberikan dukungan terhadap eksistensi ketersediaan sumber daya manusia di bidang kesehatan yang tercantum pada Pasal 16 UU No. 36 Tahun 2009 tentang Kesehatan pemerintah bertanggungjawab atas ketersediaan sumber daya di bidang kesehatan yang adil dan merata bagi seluruh masyarakat untuk memperoleh derajat kesehatan yang setinggi-tingginya.

Eksistensi pengobatan tradisional diwujudkan juga dengan diaturnya cara pengobatan, pelayanan kesehatan tradisional mengatur dalam Pasal 59 Ayat (1) UU No. 36 Tahun 2009 tentang Kesehatan, berdasarkan cara pengobatannya pelayanan kesehatan tradisional terbagi menjadi: a. pelayanan kesehatan tradisional yang menggunakan keterampilan; dan b. pelayanan kesehatan tradisional yang menggunakan ramuan. Pengawasan pelayanan kesehatan pengobatan tradisional diatur pada Pasal 59 Ayat (2) dan (3) UU No. 36 Tahun


(46)

2009 tentang Kesehatan, bahwa pelayanan kesehatan tradisional sebagaimana dimaksud pada Ayat (1) dibina dan diawasi oleh Pemerintah agar dapat dipertanggungjawabkan manfaat dan keamanannya serta tidak bertentangan dengan norma agama; dan ketentuan lebih lanjut mengenai tata cara dan jenis pelayanan kesehatan tradisional sebagaimana dimaksud pada Ayat (1) diatur dengan Peraturan Pemerintah.

Penyelenggara pengobatan tradisional memiliki tanggung jawab terhadap eksistensinya. Eksistensi adanya penyelenggara pengobatan tradisional harus mengikuti pelayanan standar kesehatan seperti pada Pasal 60 Ayat (1) dan (2) UU No. 36 Tahun 2009 tentang Kesehatan: (1) setiap orang yang melakukan pelayanan kesehatan tradisional yang menggunakan alat dan teknologi harus mendapat izin dari lembaga kesehatan yang berwenang; dan (2) Penggunaan alat dan teknologi sebagaimana dimaksud pada Ayat (1) harus dapat dipertanggungjawabkan manfaat dan keamanannya serta tidak bertentangan dengan norma agama dan kebudayaan masyarakat.

Pemeritah mengatur dan mengawasi penyelenggaraan pengobatan tradisional, hal ini tertuang pada Pasal 61 Ayat (1) dan (2) UU No. 36 Tahun 2009 tentang Kesehatan, masyarakat diberi kesempatan yang seluas-luasnya untuk mengembangkan, meningkatkan dan menggunakan pelayanan kesehatan tradisional yang dapat dipertanggungjawabkan manfaat dan keamanannya; pemerintah mengatur dan mengawasi pelayanan kesehatan tradisional


(47)

sebagaimana dimaksud pada Ayat (1) dengan didasarkan pada keamanan, kepentingan, dan perlindungan masyarakat.

Masyarakat memiliki kehendak untuk memilih fasilitas kesehatan guna penyembuhan dari sakit yang dideritanya. Fasilitas kesehatan ada yang menggunakan metode medis dan non medis. Medis memiliki makna yang berhubungan dengan kedokteran. Pengobatan medis ditangani tenaga medis yang dapat dipertanggungjawabkan dan telah diakui oleh ilmu pengetahuan di bidang kedokteran, sedangkan non medis berupa pengobatan tradisional merupakan pengobatan yang bersifat turun-temurun dan diakui oleh kalangan masyarakat.

Eksistensi pengobatan penyembuhan alternatif selain medis juga diatur pada Pasal 1 Ayat (1) dan (2) Permenkes No. 1109/MENKES/PER/IX/2007 tentang Penyelenggaraan Pengobatan Komplementer Alternatif di Fasilitas Pelayanan Kesehatan, bahwa pengobatan komplementer-alternatif adalah pengobatan non konvensional yang ditujukan untuk meningkatkan derajat kesehatan masyarakat meliputi upaya promotif, prevetif, kuratif dan rehabilitatif yang diperoleh melalui pendidikan struktur dan kualitas, keamanan dan efektifitas yang tinggi yang berdasarkan ilmu pengetahuan biomedik yang belum diterima dalam kedokteran konvensional; dan Ilmu pengetahuan biomedik adalah ilmu yang meliputi anatomi biokimia, hitologi, biologi sel dan molekuler, fisiologi, mikrobiologi imunologi yang dijadikan dasar ilmu kedokteran klinik.

Pengaturan mengenai tenaga dan fasilitas pengobatan komplementer-alternatif ini juga tertuang dalam Pasal 10 Ayat (1) dan (2) Permenkes No.


(48)

1109/MENKES/PER/IX/2007 tentang Penyelenggaraan Pengobatan Komplementer Alternatif di Fasilitas Pelayanan Kesehatan, bahwa tenaga pengobatan komplementer-alternatif hanya dapat melaksanakan pengobatan komplementer-alternatif di fasilitas pelayanan kesehatan yang dapat digunakan untuk melaksanakan sinergi pelayanan pengobatan komplementer-alternatif; dan fasilitas pelayanan kesehatan sebagaimana yang dimaksud Ayat (1) meliputi: a. rumah sakit pendidikan; rumah sakit non pendidikan; rumah sakit khusus; rumah sakit swasta; rumah sakit perorangan; rumah sakit berkelompok; dan puskesmas.

Pengobatan alternatif selain medis telah diatur dalam peraturan. Hal ini membuktikan bahwa eksistensi pengobatan tradisional alternatif selain medis diakui oleh Pemerintah. Eksistensi pengobatan tradisional diawasi dan diatur untuk dilaksanakan sesuai dengan penyelenggaraannya. Pengobatan tradisional yang diminati oleh masyarakat perlu ada pengaturan secara khusus mengenai hak dan kewajiban kepada para pihak yaitu pengobatan tradisional dan masyarakat selaku pasien. Eksistensi pengobatan tradisional selain medis diwujudkan dalam bentuk peraturan Kepmenkes No. 1076//MENKES/SK/VII/2003 tentang Penyelenggaraan Pengobatan Tradisional. Pengobatan alternatif selain medis yang pelayanannya tetap dilakukan di rumah sakit oleh tenaga medis diatur dalam Permenkes No. 1109/MENKES/PER/IX/2007 tentang Penyelenggaraan Pengobatan Komplementer Alternatif di Fasilitas Pelayanan Kesehatan. Peraturan tersebut sama-sama penyelenggara pengobatan alternatif di luar medis yang diakui secara hukum oleh Pemerintah. Oleh karena itu eksistensi pengobatan tradisional di Indonesia menurut peraturan pada prinsipnya dibagi menjadi dua kelompok


(49)

besar. Pertama pengobatan tradisional/alternatif yang dilakukan bukan oleh tenaga medis dan bukan di Rumah Sakit. Kedua pengobatan tradisional/alternatif yang dilakukan oleh tenaga medis dan di Rumah Sakit.

E.Perlindungan Pasien

Pasien memiliki pengertian orang sakit (yang dirawat dokter); penderita (sakit); yang memperoleh pelayanan tinggal atau dirawat pada suatu unit pelayanan kesehatan tertentu.22 Pasien sebagai penerima pelayanan kesehatan. Undang-undang kesehatan tidak begitu jelas menerangkan apa yang dimaksud dengan pasien.

Pelayanan kesehatan terhadap pasien diatur pada Pasal 32 Ayat (1) UU No. 36 Tahun 2009 tentang Kesehatan, dalam keadaan darurat fasilitas pelayanan kesehatan, baik pemerintah maupun swasta, wajib memberikan pelayanan kesehatan bagi penyelamatan nyawa pasien dan pencegahan kecacatan terlebih dahulu; Ayat (2) dalam keadaan darurat, fasilitas pelayanan kesehatan, baik pemerintah maupun swasta dilarang menolak pasien dan/atau meminta uang muka.

Mengutamakan keselamatan terhadap pasien diatur pada Pasal 53 Ayat (1) dan (3) UU No. 36 Tahun 2009 tentang Kesehatan. Pelayanan kesehatan perseorangan ditujukan untuk menyembuhkan penyakit dan memulihkan kesehatan perseorangan dan keluarga dan Pelaksanaan pelayanan kesehatan sebagaimana

22

Departemen Pendidikan dan Kebudayaan, Kamus Besar Bahasa Indonesia, Jakarta: PT. Media Pustaka Indonesia Phoenix, 2012, hlm. 162.


(50)

dimaksud pada Ayat (1) harus mendahulukan pertolongan keselamatan nyawa pasien dibanding kepentingan lainnya. Pasal 56 Ayat (1) UU No. 36 Tahun 2009 tentang Kesehatan, diatur pula mengenai perlindungan pasien bahwa, setiap orang berhak menerima atau menolak sebagian atau seluruh tindakan pertolongan yang akan diberikan kepadanya. Pasien menolak atau menerima setelah menerima dan memahami informasi mengenai tindakan tersebut secara lengkap.

Pasal 83 Ayat (1) dan (2) UU No. 36 Tahun 2009 tentang Kesehatan menyatakan, setiap orang yang memberikan pelayanan kesehatan pada bencana harus ditujukan untuk penyelamatan nyawa, pencegahan kecacatan lebih lanjut, dan kepentingan terbaik bagi pasien dan Ayat (2) Pemerintah menjamin perlindungan hukum bagi setiap orang sebagaimana dimaksud pada Ayat (1) sesuai dengan kemampuan yang dimiliki.

Bentuk perlindungan hukum pasien khususnya dalam lingkup pengobatan tradisional ditetapkan oleh Pemerintah dalam Kepmenkes No. 1076//MENKES/SK/VII/2003 tentang Penyelenggaraan Pengobatan Tradisional. Peraturan tersebut dibentuk oleh Pemerintah membuktikan bahwa pengobatan tradisional mendukung peningkatan derajat kesehatan masyarakat. Tujuan pengaturan penyelenggaraan pengobatan tradisional dirumuskan pada Pasal 2 Ayat (1), (2) dan (3) Kepmenkes No. 1076//MENKES/SK/VII/2003 tentang Penyelenggaraan Pengobatan Tradisional, bahwa tujuannya (1) membina upaya pengobatan tradisional; (2) memberikan perlindungan kepada masyarakat; (3) menginventarisasi jumlah pengobat tradisional, jenis dan cara pengobatannya.


(51)

Peraturan pada Kepmenkes tersebut secara tegas mengatur penyelenggara pengobatan tradisional dan memberikan perlindungan kepada masyarakat selaku pasien pengobatan tradisional.

Menurut Pasal 15 Kepmenkes No. 1076/MENKES/SK/VII/2003 tentang Penyelenggaraan Pengobatan Tradisional, pengobatan tradisional harus memberikan informasi yang jelas dan tepat kepada pasien tentang tindakan pengobatan yang dilakukannya. Informasi yang diberikan secara lisan yang mencakup keuntungan dan kerugian dari tindakan pengobatan yang dilakukan. Semua tindakan pengobatan tradisional yang akan dilakukan terhadap pasien harus mendapat persetujuan pasien dan atau keluarganya. Persetujuan dapat diberikan secara tertulis maupun lisan. Setiap tindakan pengobatan tradisional yang mengandung resiko tinggi bagi pasien harus dengan persetujuan tertulis yang ditandatangani oleh yang berhak memberikan persetujuan. Peraturan tersebut merupakan upaya Pemerintah untuk melindungi pasien. Pemerintah mengatur tindakan pihak pengobat tradisional kepada pasien agar tidak dirugikan dalam mendapatkan informasi dan tidakkan yang semestinya.

Pasal 16 Ayat (1) Kepmenkes No. 1076//MENKES/SK/VII/2003 tentang Penyelenggaraan Pengobatan Tradisional menyatakan bahwa pengobat tradisional hanya dapat menggunakan peralatan yang aman bagi kesehatan dan sesuai dengan metode/keilmuannya; Ayat (2) pengobat tradisional dilarang menggunakan peralatan kedokteran dan penunjang, diagnostik kedokteran. Pasal 19 Kepmenkes No. 1076//MENKES/SK/VII/2003 tentang Penyelenggaraan Pengobatan


(52)

Tradisional menyatakan bahwa pengobat tradisional dalam memberikan pelayanan wajib membuat catatan status pasien. Peraturan tersebut menegaskan perbedaan penggunaan peralatan antara metode tradisional dan kedokteran sesuai dengan keilmuannya. Peralatan yang digunakan berbeda agar keduanya melakukan kegiatan yang sesuai pada tempat dan keilmuannya yang melindungi pasien. Pasien juga dilindungi dengan dibuatkan catatan statusnya saat berobat

Pasal 18 Ayat (1) Kepmenkes No. 1076//MENKES/SK/VII/2003 tentang Penyelenggaraan Pengobatan Tradisional merumuskan pengobat tradisional dapat memberikan obat tradisional yang diproduksi oleh industri obat tradisional (pabrikan) yang sudah terdaftar serta memiliki nomor pendaftaran dan obat tradisional racikan. Peraturan ini melindungi pasien dalam hal obat/ramuan yang mendampingi penyembuhan harus telah terdaftar dan memiliki nomor pendaftaran.

Peraturan-peraturan di atas merupakan kewajiban dari pengobat sebagai syarat menyelenggarakan pengobatan tradisional. Syarat menyelenggarakan pengobatan tradisional juga dilindungi oleh peran pengawasan dari pemerintah yang dilakukan oleh Kepala Dinas Kabupaten/Kota dengan mengawasi dan menertibkan penyelenggaraannya. Perlindungan hukum yang diberikan berupa tindakan administratif yang di rumuskan Pasal 33 Ayat (1) dalam rangka pengawasan, Kepala Dinas Kesehatan Kabupaten/Kota dapat melakukan tindakan administratif terhadap pengobat tradisional yang melaksanakan kegiatan yang tidak sesuai dengan


(53)

ketentuan dalam Keputusan ini dan Ayat (2) tindakan administratif sebagaimana dimaksud pada ayat (1), berupa :

a. teguran lisan b. teguran tertulis;

c. pencabutan STPT atau SIPT ; d. penghentian sementara kegiatan;

e. larangan melakukan pekerjaan sebagai pengobat tradisional.

Pemerintah mengatur tanggung jawab yang harus disediakan oleh penyedia layanan kesehatan baik perorangan atau masyarakat. Peraturan pelayanan kesehatan mengutamakan pasien tersebut dilindungi juga dengan adanya peraturan sanksi pada Pasal 35 Kepmenkes No. 1076//MENKES/SK/VII/2003 tentang Penyelenggaraan Pengobatan Tradisional merumuskan bahwa, dengan tidak mengurangi ketentuan pidana sebagaimana ditetapkan dalam Kitab Undang-undang Hukum Pidana (KUHP), Undang-Undang-undang Nomor 8 Tahun 1999 tentang Perlindungan Konsumen, pelanggaran terhadap ketentuan dalam keputusan ini dapat dikenakan ketentuan pidana sesuai dengan ketentuan dalam UU No. 23 Tahun 1992 tentang Kesehatan yang sekarang telah di perbaharui dengan adanya UU No. 36 Tahun 2009 tentang Kesehatan.

Ketentuan pidana tersebut dirumuskan pada Pasal 190 Ayat (1) UU No. 36 Tahun 2009 tentang Kesehatan. Pimpinan fasilitas pelayanan kesehatan dan/atau tenaga kesehatan yang melakukan praktik atau pekerjaan pada fasilitas pelayanan kesehatan yang dengan sengaja tidak memberikan pertolongan pertama terhadap pasien yang dalam keadaan gawat darurat sebagaimana dimaksud dalam Pasal 32


(54)

Ayat (2) atau Pasal 85 Ayat (2) dipidana dengan pidana penjara paling lama 2 (dua) tahun dan denda paling banyak Rp. 200.000.000,00 (dua ratus juta rupiah). Ayat (2) dalam hal perbuatan sebagaimana dimaksud pada Ayat (1) mengakibatkan terjadinya kecacatan atau kematian, pimpinan fasilitas pelayanan kesehatan dan/atau tenaga kesehatan tersebut dipidana dengan pidana penjara paling lama 10 (sepuluh) tahun dan denda paling banyak Rp. 1.000.000.000,00 (satu miliar rupiah).

Pemerintah melalui Kementerian Kesehatan mempunyai tugas untuk membuat ataupun melaksanakan program pembinaan terhadap pelayanan kesehatan tradisional. Program pembinaan tersebut bertujuan agar pelayanan kesehatan tradisional dapat diselenggarakan dengan penuh tanggung jawab terhadap manfaat, keamanan dan juga mutu pelayanannya. Pelayanan kesehatan tradisional yang sudah terbukti bermanfaat juga dapat diterapkan di banyak unit pelayanan kesehatan seperti rumah sakit dan puskesmas sehingga masyarakat terlindungi dalam memilih jenis pelayanan kesehatan tradisional yang sesuai dengan kebutuhannya yang dipercaya menyembukan sakit yang dideritanya. Penyembuhan sebaiknya diiringi dengan perjanjian terlebih dahulu untuk melindungi para pihak terutama terhadap pasien.

Pelayanan kesehatan berhubungan erat dengan kesembuhan pasien yang berobat. Penyembuhan dan pengobatan adalah kedua terminologi yang tidak sama tetapi juga tidak berbeda sama sekali. Penyembuhan adalah upaya yang dilakukan oleh seseorang terhadap orang yang sedang sakit (pasien) agar sembuh, sedangkan


(55)

pengobatan adalah upaya yang dilakukan oleh seseorang untuk mengobati orang yang sakit (pasien) agar sembuh. Terminologi tersebut menegaskan penyembuhan mempunyai pengertian yang lebih luas dibandingkan dengan pengobatan. Penyembuhan dapat dilakukan dengan beberapa cara, dan salah satu caranya adalah memberikan obat kepada pasien (pengobatan). Cara lain agar orang sakit menjadi sembuh, kecuali memberikan obat adalah mengatur makanan (diet), memijat dan mengurut, fisioterapi, berolahraga, memberikan mantera-mantera atau cara-cara tradisional yang lain.23 Hubungan hukum antara pasien dan pengobat tradisional hendaknya diatur dalam undang-undang tersendiri.

Peraturan yang dibentuk tersebut akan memberikan perlindungan pasien dari pelayanan kesehatan yang diselenggarakan oleh pengobat tradisional. Pasien akan memiliki hak mendapatkan pelayanan yang sebaik-baiknya. Peraturan tersebut juga sebaiknya memberikan rumusan tindakan-tindakan darurat yang harus dilakukan oleh pelaku pengobat tradisional bila terjadi keadaan buruk/penyakit yang semakin parah terhadap pasien. Peraturan diharapkan juga mengatur tanggung jawab, hak dan kewajiban dari pengobat tradisional itu sendiri menjadi lebih jelas kepada pasien begitupun sebaliknya.

23


(1)

V. KESIMPULAN DAN SARAN

A.Kesimpulan

Berdasarkan hasil penelitian yang dilakukan penulis dalam pembahasan, dapat diambil kesimpulan bahwa:

1. Perjanjian pengobatan tradisional tersebut dapat digolongkan sebagai perjanjian untuk memberikan pertolongan atau lebih tepat sebagai perjanjian pemberian jasa-jasa tertentu sebagaimana yang diatur dalam Pasal 1601 KUHPerdata. Perjanjian jasa-jasa tertentu dibuktikan bahwa pengobatan tradisional diberikan oleh pengobat dengan memberikan pelayanan jasa terhadap pasien. Persyaratan sahnya perjanjian disesuaikan dengan ketentuan Pasal 1320 KUHPerdata. Karakteristik perjanjian tersebut tidak menjanjikan akan mendapatkan kesembuhan secara utuh namun proses pengobatan dengan baik kepada pasien dianggap telah memenuhi perjanjian. Aturan atau dasar hukum hubungan langsung melalui perjanjian antara pengobat tradisional dan pasien tersebut telah menunjukkan adanya kepastian hukum dan keadilan.

1. Kewajiban pihak penyelenggara pengobatan tradisional telah dirumuskan pada Kepmenkes No. 1076//MENKES/SK/VII/2003 tentang Penyelenggaraan Pengobatan Tradisional. Pihak pengobat tradisional


(2)

90

berkewajiban mengikuti aturan pemerintah dan memberikan pelayanan terbaik kepada pihak pasien. Hak dan kewajiban pasien serta hak penyelenggara pengobatan tradisional tidak tercantum pada Kepmenkes No. 1076//MENKES/SK/VII/2003 tentang Penyelenggaraan Pengobatan Tradisional dan UU No. 36 Tahun 2009 tentang Kesehatan namun dapat dikonstruksikan seperti yang dirumuskan pada Pasal 4, 5 dan 6 UU No. 8 Tahun 1999 tentang Perlindungan Konsumen.

2. Peraturan pengobatan tradisional melindungi dengan cara memberikan tindakan administratif berupa pegawasan dari pemerintah dan sanksi pidana. Tindakan administratif dan sanksi pidana tersebut dirumuskan pada Pasal 33 Ayat (1) dan Pasal 35 Kepmenkes No. 1076//MENKES/SK/VII/2003 tentang Penyelenggaraan Pengobatan Tradisional. Ketentuan pidana tersebut dirumuskan pada Pasal 190 Ayat (1) UU No. 36 Tahun 2009 tentang Kesehatan. Pelaksanaan perjanjian pengobatan tradisional juga melindungi penyelenggaraan pengobatan tradisional.

B. Saran

1. Kepada pasien dan peyelenggara pengobatan tradisional hendaknya dapat melaksanakan perjanjian pengobatan tradisional terlebih dahulu sebelum dilakukan praktik pengobatan tradisional. Kepada pihak pemerintah sebaiknya mengatur secara tersendiri kepatuhan dalam melaksanakan perjanjian-perjanjian dan ancaman akibat tidak mematuhi perjanjian tersebut serta persyaratan perjanjian secara kesehatan. Pasien dan pengobatan


(3)

91

tradisional akan terlindungi dengan mengadakan perjanjian pengobatan tradisional serta memudahkan dalam meminta pertanggungjawaban secara hukum atas tindakan dan hal-hal yang diperjanjikan.

2. Kepada pihak pemerintah diharapkan mengatur tanggung jawab, hak dan kewajiban dari pengobat tradisional agar menjadi lebih jelas kepada pasien begitupun sebaliknya. Kepada pihak pengobat tradisional dan pasien agar menjalankan tindakan pengobatan sesuai dengan aturan hukum yang melindungi hak dan kewajiban kedua belah pihak sebagai tuntunan agar dapat dipertanggungjawabkan secara hukum.

3. Kepada pihak pemerintah hendaknya dapat lebih melakukan pengawasan terhadap pengobatan tradisional yang tidak memiliki Surat Terdaftar Pengobat Tradisional (STPT) atau Surat Izin Pengobatan Tradisional (SIPT) agar tertib dalam menyelenggarakan pengobatan tradisional sesuai aturan hukum. Kepada pasien hendaknya lebih waspada terhadap fasilitas kesehatan tradisional untuk mengobati dan meningkatkan status kesehatannya. Fasilitas tersebut hendaknya telah teruji mengobati serta peralatan dan metode yang digunakan sesuai dengan keahlian dan tidak membahayakan. Upaya tersebut untuk melindungi pasien pengobatan tradisional dan penyelenggara pengobatan tradisional serta memperjelas pertanggungjawaban kedua belah pihak secara hukum.


(4)

DAFTAR PUSTAKA

A. Buku

Ashsofa, Burhan, 2004. Metode Penelitian Hukum, Rineka Cipta, Jakarta. Azar , Saifudin, 2001. Metode Penelitian, Pustaka Pelajar Offst, Yogyakarta.

Badrulzaman, Mariam Darus, 2001. Kompilasi Hukum Perikatan, PT. Citra Aditya Bakti, Bandung.

Ibrahim, Johnny, 2006. Teori dan Metodelogi Penelitian Hukum Normatif, Bayumedia, Surabaya.

Koeswadji, Hermien Hadiati, 2002. Hukum Untuk Perumahsakitan, PT. Citra Aditya Bhakti, Bandung.

Komalawati, Veronica, 2002. Peranan Invomed Consent Dalam Transaksi Terapeutik (Persetujuan Dalam Hubungan Dokter dan Pasien) Suatu Tinjauan Yuridis, Citra Adtya Bhakti, Bandung.

Mertokusumo, Sudikno, 1999. Mengenal Hukum; Suatu Pengantar, Liberty, Yogyakarta.

Muhammad, Abdulkadir. 2004. Metode Penelitian Hukum. PT Citra Aditya Bakti, Bandung.

---, 2006. Hukum Asuransi Indonesia. PT Citra Aditya Bakti, Bandung. ---, 2010. Hukum Perdata Indonesia, PT Citra Aditya Bakti, Bandung. Nasution, A.Z , 1995. Konsumen dan Hukum, Pustaka Sinar Harapan. Jakarta. Notoatmodjo, Soekidjo, 2010. Etika & Hukum Kesehatan, PT. Rineka Cipta, Jakarta. Rahman, Hasanuddin, 2003. Contract Drafting, PT Citra Aditya Bhakti, Bandung. Rajagukguk, Erman, dkk, 2003. Hukum Perlindungan Konsumen, Mandar Maju,


(5)

Sasongko, Wahyu, 2007. Ketentuan-Ketentuan Pokok Hukum Perlindungan Konsumen, Penerbit Universitas Lampung, Bandar Lampung.

Shofie, Yusuf, 2003. Perlindungan Konsumen dan Instrumen-Instrumen Hukumnya, PT Citra Aditya, Bandung.

Sidabalok, Janus, 2006. Hukum Perlindungan Konsumen di Indonesia, PT Citra Aditya Bakti, Bandung.

Soekanto, Soerjono dan Herkutanto, 1987. Pengantar Hukum Kesehatan Remaja Karya, Bandung.

Subekti, 1985. Aneka Perjanjian, Alumni, Bandung.

---, 1996. Hukum Perjanjian, Cet. XVI , Intermasa, Jakarta.

Waluyo, Bambang, 1996. Penelitian Hukum Dalam Praktek, Cetakan Kedua, Penerbit Sinar Grafika, Jakarta.

Yulianti, 2005. Kajian Yuridis Perlindungan Hukum Bagi Pasien Dalam Undang-Undang RI No. 29 Tahun 2004 Tentang Praktik Kedokteran Berkaitan dengan Malpraktik, Fakultas Hukum Universitas Brawijaya, Malang.

B. Peraturan Perundang-Undangan

Undang-Undang Dasar 1945

Kitab Undang - Undang Hukum Perdata

Undang-Undang Nomor 36 Tahun 2009 Tentang Kesehatan

Undang-Undang Nomor 8 Tahun 1999 Tentang Perlidungan Konsumen; dan

Keputusan Menteri Kesehatan Nomor 1076/MENKES/SK/VII/2003 Tentang Penyelenggaraan Pengobatan Tradisional

Peraturan Menteri Kesehatan Nomor 1109/MENKES/PER/IX/2007 tentang Penyelenggaraan Pengobatan Komplementer Alternatif di Fasilitas Pelayanan Kesehatan.

Lampiran Kepmenkes No. 1076//MENKES/SK/VII/2003 tentang Penyelenggaraan Pengobatan Tradisional, Klasifikasi dan Jenis Pengobat Tradisional.


(6)

C. Kamus

Departemen Pendidikan dan Kebudayaan, 2012. Kamus Besar Bahasa Indonesia, PT. Media Pustaka Indonesia Phoenix, Jakarta.

D. Web Site

Pengobatan Tradisional, http://www.google.com, diakses tanggal 28 Januari 2014 Dyah Pratitasari, Boleh Pengobatan Alternatif Asal, Kompasiana, 11 November, 2013,http://kesehatan.kompasiana.com/alternatif/2013/11/11/boleh-pengobatan-tradisional-asal-609683.html

Seorang Pria Tewas Karena Akupuntur, www.google.com/berita indosiar/indosiar.com/, diakses tanggal 14 Maret 2014.