BAB II KAJIAN TEORI A. Perkembangan Anak - WILDAN RESTU BAB II

BAB II KAJIAN TEORI A. Perkembangan Anak

  1. Kriteria Perkembangan Usia SD Masa usia sekolah dasar sering disebut sebagai masa intelektual atau masa keserasian bersekolah. Pada umur 6 atau 7 tahun biasanya anak telah matang untuk masuk sekolah dasar. Pada masa keserasian sekolah relatif, anak lebih mudah dididik daripada masa sebelum dan sesudahnya. Masa ini diperinci menjadi dua fase yaitu:

  a. Masa kelas rendah sekolah dasar, kira-kira 6 atau 7 sampai umur 9 atau 10 tahun. Beberapa sifat anak pada masa ini antara lain: 1) Adanya hubungan positif yang tinggi antara keadaan jasmani dan prestasi. 2) Sikap tunduk pada peraturan permainan yang tradisional. 3) Ada kecenderungan memuji diri sendiri. 4) Suka membandingkan dirinya dengan anak yang lain. 5) Apabila tidak dapat menyelesaikan suatu soal, maka soal itu dianggap tidak penting. 6) Pada masa terutama usia 6 sampai 8 tahun anak menghendaki nilai (angka rapor) yang baik, tanpa mengingat prestasinya memang pantas diberi nilai baik atau tidak.

  b. Masa kelas tinggi sekolah dasar , kira-kira umu 9 atau 10 sampai umur 12 atau 13 tahun. Beberapa sifat khas anak pada masa ini adalah:

  1) Adanya minat terhadap kehidupan praktis sehari-hari yang konkret, hal ini menimbulkan adanya kecenderungan untuk membandingkan pekerjaan yang praktis. 2) Amat realistik, ingin mengetahui, ingin belajar. 3) Adanya minat pada mata pelajaran khusus dan bakat-bakat khusus.

  6

  4) Pada umur 11 tahun anak mulai membutuhkan guru atau orang dewasa lainnya untuk menyelesaikan tugas dan memenuhi keinginannya. 5) Pada masa ini anak memandang nilai rapor sebagai ukuran yang tepat (sebaik-baiknya) mengenai prstasi sekolah. 6) Anak pada usia ini gemar membentuk kelompok sebaya biasanya untuk dapat bermain bersama-sama.

  Masa keserasian bersekolah ini diakhiri dengan suatu masa yang biasanya disebut poeral. Berdasarkan para ahli, sifat khas anak masa

  poeral ini dapat diringkas dalam dua hal, yaitu:

  a. Ditujukan untuk berkuasa: sikap, tingkah laku, dan perbuatan anak poeral ditujukan untuk berkuasa pada yang diidam- idamkannya.

  b. Ekstraversi: berorientasi keluar dirinya; misalkan untuk mencari teman sebaya untuk memenuhi kebutuhan fisiknya.

  Pada masa in ialah sikap anak terhadap otoritas (kekuasaan), khusunya otoritas orang tua dan guru sebagai suatu yang wajar. Justru karena hal tersebut, anak-anak mengharapkan adanya pihak orang tua dan guru serta pemegang otoritas orang dewasa yang lain (Yusuf, 2010: 24-26).

  Berdasarkan kutipan di atas peneliti menyimpulkan bahwa perkembangan anak di sekolah dasar sering disebut juga sebagai masa keserasian bersekolah. Ada dua fase dalam masa tersebut yaitu sejak masa di kelas rendah tepatnya pada umur sekitar 6-7 tahun, dan di kelas tinggi tepatnya pada umur sekitar 12-13 tahun. mulai dari adanya hubungan positif yang tinggi antara jasmani dan prestasi, cenderung memuji diri sendiri dan membandingkan dengan orang lain sampai pada fase pada saat anak membutuhkan guru untuk dapat membimbingnya menjadi lebih baik.

  2. Perkembangan Bahasa

  a. Fungsi Bahasa Penggunaan atau fungsi bahasa anak, menurut William Stern dalam buku Ahmadi, (2005: 96) membagi menjadi lima tahap:

  1) Prastadium (umur 0;6-1;0), meraba atau keluar suara yang belum berarti, serta tunggal, terutama huruf bibir. 2) Masa pertama (umur 1;0-1;6), penguasaan kata yang belum lengkap. 3) Masa kedua (umur 1;6-2;0), adalah masa nama, maksudnya kedua mulai menyadari segala sesuatu itu punya nama. 4) Masa ketiga (umur 2;0-2;6), adalah stadium fleksi

  (flexio = menafsirkan) yakni anak mulai dapat menggunakan kata yang dapat ditafsirkan atau kata yang sudah diubah. 5) Masa anak keempat (umur 2;6- ke atas) = stadium anak kalimat, maksudnya anak dapat merangkaikan pokok kalimat dengan penjelasannya berupa anak kalimat. Berdasarkan dari kutipan di atas peneliti menyimpulkan bahwa perkembangan bahasa anaka itu berawal dari meraba atau bahasa yang belum berarti yaitu pada umur sekitar 0;6 sampai 1;0 tahun kemudian bahasa tersebut terus berkembang menjadi kata yang belum lengkap, kemudian menggunakan kata yang sudah diubah oleh orang di sekitarnya, sampai pada masa yang keempat yaitu sekitar umur 2;6 ke atas anak mulai mengenal kalimat dengan merangkai pokok kalimat dan penjelasan dari kalimat pokok yang dirangkainya.

B. Perilaku Anak

  1. Jenis Perilaku

  a. Perilaku Refleksif Perilaku pada manusia dibedakan antara perilaku refleksif dan

  non-refleksif. Perilaku refleksif merupakan perilaku yang terjadi atas

  reaksi secara spontan terhadap stimulus mengenai organisme, misalnya reaksi kedip mata bila kena sinar, gerak lutut yang terkena sentuhan palu, menarik jari jika terkena api dan sebagainya. Reaksi atau perilaku refleksif adalah perilaku yang terjadi dengan sendirinya, secara otomatis. Stimulus yang diterima oleh individu tidak sampai ke pusat susunan syaraf atau otak, sebagai pusat kesadaran, sebagai pusat pengendali dari manusia.

  b. Perilaku Non-Refleksif Berbeda dengan perilaku non-refleksif, perilaku non-refleksif dikendalikan atau diatur oleh pusat kesadaran yaitu otak. Kaitannya dengan stimulus setelah diterima oleh reseptor kemudian diteruskan oleh otak sebagai pusat syaraf, pusat kesadaran, kemudian terjadi respons melalui afektor. Proses yang terjadi dalam otak atau pusat kesadaran ini yang disebut proses psikologis. Perilaku atau aktivitas atas dasar psikologis inilah yang disebut aktivitas psikologis atau psikologis (Branca dalam Walgito, 2010: 13).

  c. Perilaku Agresif Pengertian perilaku agresif menurut Myers, Murray, dan

  Berkowitz dalam (Faizal, 2013)

  (http://faizalnizbah.blogspot.co.id/2013/06/pengertian-dan-bentuk- perilaku.html) mengemukakan bahwa perilaku agresif adalah perilaku fisik atau lisan yang sengaja dengan maksud untuk menyakiti atau merugikan orang lain.Agresif adalah kebutuhan untuk menyerang, memperkosa atau melukai orang lain, untuk meremehkan, merugikan, mengganggu, membahayakan, merusak, menjahati, mengejek, mencemoohkan, atau menuduh secara jahat, menghukum berat, atau melakukan tindakan sadistis lainnya. Agresif merupakan bentuk perilaku yang dimaksud untuk menyakiti seseorang baik secara fisik maupun mental.

  Berdasarkan kutipan di atas peneliti menyimpulkan bahwa perilaku agresif adalah perilaku yang dilakukan oleh siswa baik secara fisik maupun lisan untuk menyakiti maupun merugikan siswa yang lainnya karena dapat mempengaruhi mental siswa yang diperlakukan secara agresif. Peneliti akan fokus pada perilaku agresif secara lisan atau verbal karena dalam penelitian ini peneliti akan fokus pada perilaku berbicara kasar yang dilakukan oleh siswa di SDN Ajibarang Kulon baik itu di dalam sekolah maupundi luar sekolah.

  2. Pembentukan Perilaku

  a. Cara pembentukan perilaku dengan kondisioning atau kebiasaan Pembentukan perilaku dapat dilakukan dengan cara kondisioning atau pembiasaan, dengan membiasakan berperilaku seperti yang diharapkan, akhirnya akan terbentuklah perilaku. Misalnya anak dibiasakan untuk bangun pagi atau menggosok gigi sebelum tidur, mengucapkan terima kasih bila diberi sesuatu oleh orang lain, membiasakan diri untuk tidak datang terlambat ke sekolah dan sebagainya. Cara ini didasarkan atas teori belajar kondisioning yang dikemukakan oleh Pavlov, Thorndike, dan Skinner. Walaupun antara Pavlov, Thorndike, dan Skinner terdapat pendapat yang tidak seratus persen sama, namun para ahli tersebut mempunyai dasar pandangan yang tidak jauh berbeda satu dengan yang lain. Kondisioning Pavlov dikenal dengan kondisioning klasik, sedangkan kondisioning Thorndike dan Skinner dikenal dengan kondisioning operan, walaupun demikian ada yang menyebut kondisioning Thorndike dengan kondisioning instrumental, kondisioning Skinner dengan kondisioning operan. Seperti telah dijelaskan di atas bahwa dasar pandangan ini untuk pembentukan perilaku didasarkan dengan kondisioning atau kebiasaan.

  b. Pembentukan perilaku dengan pengertian (insight) Pembentukan perilaku juga dapat dilakukan dengan pengertian atau insight. Misal datang ke sekolah jangan sampai terlambat karena dapat mengganggu teman-teman yang lain, bila naik motor harus pakai helm karena helm berguna untuk keamanan diri, dan sebagainya. Cara ini berdasarkan atas teori belajar kognitif, yaitu belajar dengan disertakan adanya pengertian. Thorndike dalam eksperimennya dalam belajar yang dipentingkan adalah soal latihan, maka dalam eksperimen Kohler dalam belajar yang penting adalah pengertian atau insight. Kohler adalah salah satu orang tokoh dalam psikologi Gestalt dan termasuk dalam aliran kognitif (lih.

  Hergenhahn dalam Walgito, 2010: 15).

  c. Pembentukan perilaku dengan menggunakan model Pembentukan perilaku juga dapat dilakukan dengan cara yang lain yaitu dengan menggunakan model atau contoh. Orang yang mengatakan bahwa orang tua sebagai contoh anak-anaknya, pemimpin sebagai panutan yang dipimpinnya, hal tersebut menunjukkan pembentukkan perilaku dengan menggunakan model. Pemimpin dijadikan model atau contoh yang dipimpinnya. Cara ini didasarkan atas teori belajar sosial (social learning theory) atau

  

observational learning theory yang dikemukakan oleh Bandura

dalam (Walgito, 2010: 15).

  Berdasarkan kutipan di atas peneliti dapat menyimpulkan bahwa dalam pembentukkan perilaku dapat dilakukan dengan pembiasaan pada anak dalam melakukan kegiatan dengan diberikan suatu arahan atau pengertian, maupun dengan mencontoh perilaku dari orang tuanya, gurunya, dan yang dilihat dilingkungan tempat tinggalnya. Pembentukkan perilaku tersebut dapat diberikan terlebih dahulu dalam lingkungan keluarga sejak dini sehingga pada saat anak masuk ke lingkungan sekolah dan masyarakat anak sudah mempunyai bekal awal dari lingkungan keluarga.

  3. Teori Perilaku Ahmadi, (2005: 20-22) menjelaskan ada beberapa teori yang mempengaruhi perilaku pada anak teori tersebut antara lain adalah: a. Teori Empirisme

  Tokoh teori ini adalah Francis Bacon dan John Lock, mengungkapkan bahwa pada dasarnya anak lahir ke dunia perkembangannya ditentukan oleh adanya pengaruh dari luar, termasuk pendidikan dan pengajaran. Penjelasan tersebut menganggap bahwa anak lahir dalam kondisi kosong, putih bersih seperti meja lilin (tabularasa), maka pengalaman (empiris) anaklah yang bakal menentukan corak dan bentuk perkembangan jiwa anak.

  b. Teori Nativisme Tokoh utamanya adalah Shopenhauer, mengemukakan bahwa anak lahir telah dilengkapi pembawaan bakat alami (kodrat) dan pembawaan (nativus = pembawaan) inilah yang akan menentukan wujud kepribadian seorang anak. Pengaruh lain dari luar tidak akan mampu mengubah pembawaan anak, dengan demikian maka pendidikan bagi anak akan sia-sia dan tidak perlu dihiraukan lagi.

  c. Teori Konvergensi Konvergensi (converge = memusatkan pada satu titik bertemu) tokoh teori ini adalah Williams Stern dibantu isterinya

  Clara Stern, mengungkapkan bahwa perkembangan jiwa anak lebih banyak ditentukan oleh dua faktor yang saling menopang yakni faktor bakat dan faktor lingkungan, keduanya tidak dapat dipisahkan seolah-olah memadu bertemu pada satu titik. Pemahamannya bahwa kepribadian anak akan terbentuk dengan baik apabila dibina oleh suatu pendidikan (pengalaman) yang baik serta ditopang oleh bakat yang merupakan pembawaan lahir.

  Berdasarkan kutipan di atas peneliti menyimpulkan bahwa, perilaku atau kepribadian seorang anak itu dipengaruhi dari pembawaan lahir (kodrat) dan juga dipengaruhi oleh lingkungan di sekitarnya. Kepribadian yang dibawa dari lahir itu berdasarkan dari perilaku dari keluarganya ataupun orang tuannya sehingga anak mencontoh yang dilakukan oleh orang tuanya. Pengaruh dari lingkungan juga sangat membantu anak dalam membentuk suatu perilakunya sehingga yang dilihat anak di luar keluarga itu dapat mempengaruhi perilakunya, selain itu bakat yang dimilikinya juga dapat mempengaruhi perilakunya.

  4. Perilaku menurut Al-Ghazali Ahli-ahli psikologi membedakan dua macam perilaku:

  a. Perilaku intelektual yang tinggi, maksudnya adalah sejumlah perbuatan yang dikerjakan seseorang yang berhubungan dengan kehidupan jiwa dan intelektual. Ciri-ciri utamanya adalah berusaha mencapai suatu tujuan tertentu. b. Perilaku mekanistis atau refleksif, maksudnya adalah respons- respons yang timbul pada manusia secara mekanistis dan tetap, seperti kedipan mata sebab kena cahaya, dan gerakan-gerakan yang dilihat pada anak-anak seperti menggerakkan kedua tangan dan kaki terus-menerus tanpa aturan. (Langgulung, 2003: 268).

  Menurut Al-Ghazali, dalam Langgulung, (2003: 268-269), sesuai dengan kerangka pemikirannya tentang manusia, memandang perilaku dari segi suatu yang mempunyai tujuan agama dan kemanusiaan. Sejalan dengan semangat Islam yang memandang kepada manusia seabagai suatu pribadi yang utuh yang aktivitasnya menggabungkan antara ibadat murni atau ibadat formal dan aktivitas keduniaan atau ibadat informal, jika perbuatan yang dilakukan oleh manusia berasas pada yang masuk akal dari segi kepentingan individu dan masyarakat dan kemuliaan manusia.

  Ringkasan pendapat Al-Ghazali tentang perilaku sebagai berikut:

  a. Perilaku mempunyai penggerak (motivasi), pendorong, tujuan, dan objektif-objektif.

  b. Motivasi bersifat dari dalam yang muncul dari diri anak sendiri, tetapi dirangsang dengan rangsangan-rangsangan luar, atau dengan rangsangan-rangsangan dalam yang berhubungan dengan kebutuhan- kebutuhan jasmani dan kecenderungan-kecenderungan alamiah, seperti rasa lapar, cinta, dan takut kepada Allah.

  c. Menghadapi motivasi-motivasi anak mendapati dirinya terdorong untuk mengerjakan sesuatu. d. Perilaku mengandung rasa kebutuhan dengan perasaan tertentu dan kesadaran akal terhadap suasana, semua disertai oleh aktivitas yang tidak terpisah dari rasa, perasaan, dan kesadaran terhadap suasana tersebut.

  e. Kehidupan psikologis adalah suatu perbuatan dinamis yang berlaku interaksi terus-menerus antara tujuan atau motivasi dan tingkahlaku.

  f. Perilaku itu bersifat individual yang berbeda menurut perbedaan faktor-faktor keturunan dan perolehan atau proses belajar, jadi aktivitas atau sifat-sifat jia tidak terpisah dari proses belajar, begitupun bentuknya tidaklah serupa, sebab kalu serupa tentulah tidak ada perbedaan antara yang satu dengan yang lainnya.

  g. Tampaknya perilaku anak menurut Al-Ghazali ada dua tingkatannya.

  Pada tingkat yang pertama anak berdekatan dengan semua makhluk hidup, sedangkan pada tingkat yang kedua anak mencapai cita-cita idealnya dan mendekat kepada makna-makna ketuhanan dan perilaku malaikat. Tingkat pertama dikuasai oleh motivasi-motivasi kegopohan, sedangkan tingkat kedua dikuasai oleh kemauan dan akal.

  Dapat dikatakan bahwa Al-Ghazali mendapat faedah dari dasar pokok teori-teori yang dikemukakan oleh orang-orang terdahulu tentang aktivitas jiwa, tetapi Al-Ghazali telah mengadakan perubahan-perubahan penting disebabkan oleh pengalamannya yang khusus, kajiannya tentang perilaku anak, dan ketepatannya dalam menganalisa jiwa anak dengan motivasi, emosi, dan hubungannya dengan lingkungan.

  Berdasarkan kutipan di atas peneliti menyimpulkan bahwa perilaku anak itu beradasarkan motivasi yang diberikan untuk mendorong rangsangan anak melakukan sesuatu agar menjadi suatu kebiasaan baik yang dilakukan secara terus menerus dengan proses belajar untuk mencapai cita-cita dalam hidupnya dan mengenal tentang ketuhanan.Motivasi yang diberikan dalam hidupnya tentunya harus motivasi yang positif sehingga motivasi tersebut juga dapat berpengaruh pada perilaku anak.

  5. Ciri-ciri Anak yang Baik Al-Ghazali dalam Iqbal, (2013: 214) ciri-ciri akhlak yang baik adalah iman, sedangkan akhlak yang buruk adalah kemunafikan. Adapun ciri-ciri yang mencerminkan akhlak yang baik antara lain: a. Mencintai saudaranya seperti mencintai dirinya sendiri.

  b. Memuliakan tamu dan menghormati tetangga.

  c. Menjaga lidah kecuali berkata-kata yang baik atau diam.

  d. Merasa senang mengerjakan perbuatan yang baik dan sedih mengerjakan perbuatan yang buruk.

  e. Menjaga aib saudaranya.

  f. Hemat, jujur, dan tidak berzina.

  g. Memohon kepada Allah supaya dijadikan pemimpin bagi orang-orang yang bertaqwa. Berdasarkan kutipan di atas peneliti menyimpulkan bahwa anak yang baik itu memiliki beberapa ciri-ciri diantaranya ciri-ciri tersebut adalah harus senantiasa menjaga lidah agar perkataan yang keluar dari mulutnya itu tidak menyakiti perasaan orang lain. Menjaga lidah juga selain diajarkan di sekolah juga diajarkan di dalam Agama karena di dalam Agama khususnya Islam itu lebih baik diam daripada harus mengeluarkan kata-kata yang tidak bermanfaat apalagi kata-kata tersebut menyakiti perasaan orang lain.

  6. Perilaku Anak dalam Al- Qur‟an dan Sunnah

  Al- Qur‟an menggalakkan perilaku yang baik, akhlak yang baik, dan perbuatan yang baik. Hadist Nabi Muhammad SAW bersabda: “Aku hanya diutus untuk menyempur nakan akhlak yang mulia”. Uraian Ayat- ayat dan Hadist-hadist yang menunjukkan akhlak yang mulia:

  a. Penyantun dan kasih sayang, dinyatakan dalam Surah-surah al- A‟raf: 199; al-Hijr: 85; Fussilat: 34-35; Al Imran: 134.

  Hadist-hadist yang menyebutkannya: Dari Aisyah r.a. Sabda Rasulullah SAW: “Allah itu penyayang, suka kepada kasih sayang dalam segala urusan”. (H.R. al-Bukhari dan Muslim). Juga dari Aisyah r.a. Sabda Rasulullah SAW: “Allah Maha penyayang dan suka pada kesayangan, dan Ia memberi dengan kesayangan apa yang tidak diberi-Nya dengan keganasan dan apa yang tidak diberi-Nya dengan yang lain- lain”. (H.R. Muslim).

  b. Menjaga lidah, dinyatakan dalam Surah-surah, al- Syu‟ara: 84; al- Rum: 22; al-Bala: 8-10; al-Fath: 11; al-Nahl: 62; al:-Nur: 24.

  Hadist yang menjelaskan diantaranya: Dari Abu Hurairah r.a. Rasulullah bersabda: “Barangsiapa beriman kepada Allah dan hari Akhirat, maka hendaklah ia mengatakan yang baik atau diam”. (H.R. al-Bukhari dan Muslim).

  Dari Abu Musa r.a. katanya: “Aku berkata kepada Rasulullah SAW: Orang-orang Islam manakah yang lebih mulia? Sabda beliau:

  “Orang-orang ang selamat orang Islam dari lidah dan tangannya”. (H.R. al-Bukhari dan Muslim).

  Dari „Uqbah bin „Amir r.a. katanya: aku berkata wahai Rasulullah apakah keselamatan (najat) itu? Beliau bersabda: “Tahan lidahmu, tinggal di rumahmu, dan menangis lah atas kesalahanmu”.

  (H.R al-Turmuzi). Juga sabda beliau: “Kebanyakan kesalahan manusia berasal dari lidahnya”.

  (H.R. al-Tabrani dan al=Baihaqi).

  Semua uraian mengenai perilaku dalam Al- Qur‟an dan Hadist di atas dapat diambil kesimpulan bahwa yang dimaksud perilaku adalah tindakan atau perbuatan yang digerakkan oleh kerangka moral (akhlak) tertentu. Dengan kata lain pandangan Al-

  Qur‟an dan Hadist terhadap perilaku (behavior) adalah perilaku yang telah diberi persyaratan (conditioned) nilai-nilai tertentu, bukan perilaku tingkat rendah yang ditentukan oleh pengaruh lingkungan(S- R) saja, telah dididik dan dibudayakan dengan nilai-nilai. (Langgulung, 2003: 269- 275).

  Berdasarkan kutipan di atas peneliti menyimpulkan bahwa perilaku anak telah dididik dan dibudayakan dalam ajaran agama Islam melaui Al-

  Qur‟an dan Hadist yang diantaranya mengajarkan tentang akhlak yang baik, kasih sayang, dan senantiasa untuk selalu menjaga lidah atau perkataan. Orang tua juga diharapkan dapat membantu anaknya dalam memahami dan memaknai isi dalam Al- Qur‟an dan Hadist sehingga anak mempunyai akhlak yang diharapkan tentunya.

C. Peran Lembaga Pendidikan

  Pengaruh yang diberikan terhadap perkembangan siswa, lingkungan ada yang sengaja diadakan (usaha sadar) ada yang tidak usaha sadar dari orang dewasa yang normatif disebut pendidikan, sedang yang lain disebut pengaruh. Lingkungan yang dengan sengaja diciptakan untuk mempengaruhi siswa ada tiga, yaitu: lingkungan keluarga, lingkungan sekolah, dan lingkungan masyarakat. Ketiga lingkungan ini disebut lembaga pendidikan atau satuan pendidikan (Ihsan, 2010: 16).

  1. Lembaga Pendidikan Keluarga Keluarga adalah lingkungan pertama bagi siswa, dilingkungan keluarga pertama-tama siswa mendapatkan pengaruh sadar. Keluarga juga merupakan lembaga pendidikan tertua, yang bersifat informal dan kodrati. Tugas keluarga adalah meletakkan dasar-dasar bagi perkembangan siswa, agar siswa dapat berkembang secara baik. Keluarga sebagai lingkungan pendidikan yang pertama sangat penting dalam membentuk pola kepribadian siswa, karena di dalam keluarga, siswa pertama kali berkenalan dengan nilai dan norma.

  Pendidikan keluarga memberikan pengetahuan dan keterampilan dasar, agama, dan kepercayaan, nilai moral, norma sosial dan pandangan hidup yang diperlukan siswa untuk dapat berperan dalam keluarga dan masyarakat.Keluarga adalah lembaga pendidikan yang bersifat kodrati, karena antar orang tua sebagai pendidik dan siswa sebagai terdidik terdapat hubungan darah (Ihsan, 2010: 16-18). Fungsi lembaga pendidikan keluarga, yaitu:

  a. Pengalaman pertama bagi siswa pengalaman ini merupakan faktor yang sangat penting bagi perkembangannya, khususnya dalam perkembangan pribadinya.

  b. Pendidikan di lingkungan keluarga dapat menjamin kehidupan emosional siswa untuk tumbuh dan berkembang.

  Kehidupan emosional sangat penting dalam pembentukan pribadi siswa. Hubungan emosional yang kurang dan berlebihan akan banyak merugikan perkembangan siswa.

  c. Keluarga akan membentuk pendidikan moral. Keteladanan orang tua dalam bertutur kata dan berperilaku sehari-hari akan menjadi wahana pendidikan moral bagi siswa di dalam keluarga, guna membentuk siswa susila.

  d. Keluarga akan menumbuhkan sikap tolong-menolong, tenggang rasa sehingga tumbuhlah kehidupan keluarga yang damai dan sejahtera guna membentuk sikap sosial.

  e. Keluarga merupakan lembaga yang berperan meletakkan dasar-dasar pendidikan agama guna membentuk sebagai makhluk yang religius.

  f. Keluarga dalam konteks membangun siswa sebagai makhluk individu diarahkan agar dapat mengembangkan dan menolong dirinya sendiri. Pendapat lain mengenai pendidikan dalam lingkungan keluarga juga dikemukakan oleh (Hasbullah, 2008: 34) bahwa keluarga merupakan lembaga pendidikan tertua, bersifat informal, yang pertama dan utama dialami oleh siswa serta lembaga pendidikan yang bersifat kodrati orang tua bertanggung jawab memelihara, merawat, melindungi dan mendidik siswa agar tumbuh dan berkembangan dengan baik. Fungsi pendidikan keluarganya sebagai berikut: a. Pengalaman pertama pada masa kanak-kanak;

  b. Menjamin kehidupan emosional siswa;

  c. Menanamkan dasar pendidikan moral;

  d. Memberikan dasar pendidikan sosial; e. Meletakkan dasar-dasar pendidikan agama bagi siswa. Berdasarkan dari pendapat tersebut peneliti dapat menyimpulkan bahwa lingkungan keluarga adalah lembaga pendidikan pertama yang bersifat informal guna membentuk kepribadian pada siswa sejak dini. Lingkungan keluarga sangat berpengaruh dalam pembentukan karakter anaknya. Orang tua tentunya harus dapat memberikan contoh yang baik terhadap anaknya sehingga anak akan menirukan contoh yang diberikan oleh orang tuanya.

  2. Lembaga Pendidikan Sekolah Ihsan, (2010: 20) mengatakan bahwa akibat dari perkembangan ilmu dan teknologi dan terbatasnya orang tua dalam perkembangan ilmu dan teknologi, orang tua tidak mampu lagi mendidik anaknya, untuk menjalan kan tugas tersebut diperlukan orang lain yang lebih ahli. Guru- guru dalam lembaga pendidikan formal adalah orang dewasa yang mendapat kepercayaan dari pemerintah untuk menjalankan tugas-tugas tersebut.

  Tugas sekolah sangat penting dalam menyiapkan siswa untuk kehidupan masyarakat. Sekolah bukan semata-mata sebagai konsumen, tetapi juga sebagai produsen dan pemberi jasa yang sangat erat hubungannya dengan pembangunan. Pembangunan tidak mungkin berhasil dengan baik tanpa didukung oleh tersedianya tenaga kerja yang memadai sebagai produk pendidikan, maka sekolah perlu dirancang dan dikelola dengan baik.

  Khususnya yang akan dibahas oleh peneliti yaitu pada pendidikan sekolah dasar. Pendidikan dasar adalah pendidikan yang akan memberikan pengetahuan, keterampilan, menumbuhkan sikap dasar yang diperlukan dalam masyarakat, serta mempersiapkan siswa untuk mengikuti pendidikan menengah. Pendidikan dasar pada prinsipnya merupakan pendidikan yang memberikan bekal dasar bagi perkembangan kehidupan, baik untuk pribadi maupun masyarakat. Pendidikan dasar dapat berupa pendidikan sekolah ataupun luar sekolah, yang dapat berupa pendidikan biasa ataupun pendidikan luar biasa (Ihsan, 2010: 22).

  Sekolah bertanggung jawab atas pendidikan siswanya selama siswa diserahkan ke sekolah, karena itu sebagai sumbangan sekolah sebagai lembaga terhadap pendidikan, diantaranya adalah sebagai berikut: a. Sekolah membantu orang tua mengerjakan kebiasaan- kebiasaan yang baik serta menanamkan budi pekerti yang baik.

  b. Sekolah memberikan pendidikan untuk kehidupan di dalam masyarakat yang sukar atau tidak dapat diberikan di rumah.

  c. Sekolah melatih siswa memperoleh kecakapan seperti membaca, menulis berhitung, menggambar serta ilmu-ilmu lain yang sifatnya mengembangkan kecerdasan dan pengetahuan.

  d. Sekolah memberikan pelajaran etika, keagamaan, estetika, membedakan benar atau salah, dan sebagainya (Hasbullah, 2008: 34-35). Berdasarkan kutipan di atas peneliti menyimpulkan bahwa lingkungan sekolah merupakan lingkungan yang berperan membantu membentuk perilaku anak setelah pembentukkan perilaku tersebut dilakukan di dalam lingkungan keluarga. Lingkungan sekolah harus mampu memberikan bekal pada anak untuk berkehidupan bermasyarakat tentunya memberikan bekal tambahan bagi anak yang belum bisa didapatkan di dalam keluarganya. Lingkungan sekolah juga harus berperan sebagai pengawas bagi anak yang sedang berkembang di luar lingkungan keluarganya.

  3. Lembaga Pendidikan Masyarakat Masyarakat adalah salah satu lingkungan pendidikan yang besar pengaruhnya terhadap perkembangan pribadi siswa. Masyarakat mempunyai peranan yang penting dalam mencapai tujuan pendidikan nasional. Peran yang telah disumbangkan dalam rangka tujuan pendidikan nasional yaitu berupa ikut membantu menyelenggarakan pendidikan (dengan membuka lembaga pendidikan swasta), membantu pengadaan tenaga biaya, prasarana dan sarana, menyediakan lapangan kerja, biaya, membantu pengembangan profesi baik secara langsung maupun secara tidak langsung. Sistem pendidikan nasional masyarakat ini disebut Pendidikan Kemasyarakatan (Ihsan, 2010: 32-33).

  Berbeda dengan jalur pendidikan di keluarga dan pendidikan di sekolah, pendidikan kemasyarakatan tidak selalu dimaksudkan sebagai pengantar untuk memasuki lapangan kerja, namun melalui jalur pendidikan kemasyarakatan dapat diperoleh kemampuan dan keahlian yang dapat dijadikan persyaratan memasuki lapangan kerja atau tidak terikat dengan formalitas akademik secara ketat, sekalipun kesempatan untuk memperoleh efek akademik tetap terbuka.

  Pendapat lain dari (Hasbullah, 2008: 36) menyatakan bahwa, lingkungan organisasi pemuda sebagai lembaga pendidikan yang bersifat informal (luar sekolah), organisasi pemuda mempunyai corak ragam bermacam-macam, tetapi secara garis besar dapat dibedakan antara organisasi pemuda yang diusahakan oleh pemerintah dan organisasi pemuda yang diusahakan oleh badan swasta. Peran organisasi pemuda ini utamanya adalah dalam upaya pengembangan sosialisasi kehidupan pemuda, melalui organisasi pemuda berkembanglah semacam kesadaran sosial, kecakapan-kecakapan di dalam pergaulan sesama kawan (social

  skill ) dan sikap yang tepat dalam membina hubungan dengan sesama siswa (social attitude).

  Berdasarkan kutipan di atas peneliti menyimpulkan bahwa pendidikan di lingkungan masyarakat mengajarkan siswa banyak ilmu baik dalam bidang pengetahuan, kepribadian, maupun cara bergaul dengan sesama siswa dengan baik. Peneliti juga dapat menyimpulkan dari keseluruhan lembaga pendidikan yang ada bahwa dalam membentuk suatu budi pekerti ataupun perilaku siswa itu tidak hanya dilakukan di salah satu lembaga pendidikan saja tetapi baik itu di keluarga, di sekolah, maupun di masyarakat itu sangat berpengaruh dan berperan penting guna mengembangkan kemampuan siswa baik secara pengetahuan maupun secara kepribadian.

D. Penelitian yang Relevan

  Penelitian ini relevan dengan beberapa penelitian terdahulu yang sudah pernah dilakukan antara lain sebagai berikut:

  1. Aeni, Nurul (2011) tentang Diffrence Of Emotional Intelligence And

  Aggression Behavior Between Children Who Have Migrant Worker Mother And Children Who Live With Their Mother (Study in Primary Schools in Gabus Sub Regency, Pati Regency, Central Java) , dalam

  jurnal ini menjelaskan bahwa anak yang ditinggal oleh ibunya menjadi tenaga kerja wanita (TKW) di luar negeri cenderung memiliki kecerdasan emosi yang lebih rendah dibandingkan dengan anak yang tinggal dengan ibunya, selain itu anak yang ditinggal ibunya menjadi TKW juga lebih agresif. Perilaku agresi yang ditunjukkan oleh anak yang ditinggal oleh ibunya adalah berkelahi, membantah orang tua, merenut mainan temannya, serta berkata-kata kotor. Peran ibu sangat penting terhadap pengendalian emosi anak, anak yang mendapatkan pendampingan maksimal pada masa kanak-kanak dapat mengembangkan kecerdasan emosi secara optimal sehingga menghalangi anak melakukan perilaku agresi.

  2. Hartini, Lili (2009) tentang Agresi Anak yang Tinggal dalam Keluarga dengan Kekerasan Rumah Tangga, dalam jurnal ini menjelaskan bahwa anak dapat melakukan perilaku agresi baik itu secara verbal, misalnya dengan berbicara kasar pada adiknya maupun temannya, selain itu juga anak melakukan perilaku agresi secara fisik dengan memukul teman bermainnya jika anak tersebut sedang merasa emosi. Faktor yang membuat anak tersebut melakukan perilaku agresi verbal maupun secara fisik itu dikarenakan anak sering merasakan kekerasan di dalam keluarganya baik itu dengan kontak fisik dengan orang tuanya maupun dengan cara dimarahi dengan bahasa yang kasar sehingga anak tersebut terbiasa dan mengikuti perilaku tersebut dalam kehidupan sehari-harinya.

  Anak yang melakukan perilaku agresi tersebut juga merasa senang dikarenakan dengan melakukan agresi tersebut adik dan temannya menjadi tunduk dan takut kepadanya.

  3. Fatwa Tentama Pustaka (2012) tentang Aggressive Child Behavior:

  

Assessment and Interventions , dalam artikel ini juga menjelaskan betapa

  pentingnya pendidikan dalam lingkungan keluarga maupun lingkungan masyrakat sekitar. Seorang anak akan berperilaku agresif seperti berkata kasar, memukul, meludah ataupun perilaku agresi lainnya itu dikarenakan seorang anak tinggal di dalam lingkungan keluarga maupun lingkungan masyarakat yang perilakunya dominan dengan kekerasan sehingga anak akan meniru perilaku tersebut di dalam kehidupan sehari- harinya untuk bergaul dengan kelompok teman sebayanya. Lingkungan keluarga dan lingkungan masyarakat itu faktor yang sangat penting dalam mengajarkan perilaku pada anak yang sedang dalam proses tumbuh kembang di dalam kehidupannya.

E. Kerangka Pikir

  Siswa merupakan subjek dalam kegiatan belajar mengajar, dalam kegiatan tersebut diharapkan siswa dapat berperilaku sesuai dengan aturan- aturan yang telah ditetapkan yang pada akhirnya hal tersebut memberikan dukungan terhadap pencapaian tujuan pendidikan pada umunya dan tujuan KBM pada khususnya. Pada kenyataannya, tidak semua siswa berperilaku normal. Seringkali dijumpai siswa-siswa yang berperilaku menyimpang, salah satunya adalah perilaku agresif, perilaku agresif baik secara verbal maupun fisik. Perilaku agresif dapat memberikan dampak negatif, salah satunya adalah menghambat kegiatan belajar mengajar. Berbagai faktor menjadi penyebab sehingga siswa berperilaku agresif. Siswa yang berperilaku agresif tidak dapat didiamkan begitu saja, akan tetapi perlu mendapatkan perhatian khusus, sehingga dampak dari perilaku agresif dapat diminimalisir.

  Bagan kerangka berpikir dapat digambarkan sebagai berikut: SISWA BERBICARA KASAR FAKTOR PENYEBAB UPAYA YANG DILAKUKAN