BAB II TINJAUAN PUSTAKA A. Tuberculosis - SITI NURHIKMAH BAB II

  disebabkan oleh kuman Mycobacterium tuberculosis, kuman tersebut sebagian besar menyerang paru, tetapi dapat juga mengenai organ tubuh lainnya melalui sistem peredaran darah. Penularan penyakit ini adalah dari sumber penderita TB paru BTA Positif yang disebarkan pada waktu batuk atau bersin yang menyebabkan keudara dalam bentuk droplet yang mengandung kuman, kemudian terhirup kedalam saluran pernapasan biasanya masuk kedalam tubuh manusia melalui udara ke pernapasan dalam paru

  • –paru (Maryun, 2007).

  Kuman ini berbentuk batang, mempunyai sifat khusus yaitu tahan terhadap asam pada pewarnaan. Oleh karena itu disebut pula sebagai Basil tahan Asam(BTA). Kuman TBC cepat mati dengan sinar matahari langsung, tetapi dapat hidup beberapa jam di tempat yang gelap dan lembab. Dalam jaringan tubuh kuman ini dapat dormant, tertidur lama selama beberapa hari (Putra, 2011).

  Penularan biasanya melalui udara, yaitu secara inhalasi “droplet

  nucleus

  “ yang mengandung basil TB. Droplet dengan ukuran 1 – 5 mikron yang dapat melewati atau menembus sistem mukosilier saluran nafas kemudian mencapai dan bersarang di bronkiolus dan alveolus. Beberapa

  10 penelitian menyebutkan 25 % - 50 % angka terjadinya infeksi pada kontak tertutup. Karena di dalam tubuh pejamu belum ada kekebalan awal, hal ini memungkinkan basil TB tersebut berkembang biak dan menyebar melalui saluran limfe dan aliran darah (Fatimah, 2008).

  Sebagian besar orang yang terinfeksi mycobacterium tuberculosis (80%-90%) belum tentu menjadi sakit tuberculosis. Untuk sementara waktu kuman yang masuk dalam tubuh bisa berada dalam keadaan dormant (tidur) dan keberadaan kuman dormant tersebut dapat diketahui hanya dengan test tuberkulin.

  Mereka yang menjadi sakit disebut sebagai ”penderita tuberkulosis”, biasanya dalam waktu paling cepat 3-6 bulan setelah terinfeksi. Mereka yang tidak menjadi sakit tetap mempunyai resiko untuk menderita tuberkulosis sepanjang sisa hidupnya (Musadad, 2006).

  Infeksi yang alami, setelah sekitar 4

  • – 8 minggu tubuh melakukan mekanisme pertahanan secara cepat. Pada sebagian anak-anak atau orang dewasa mempunyai pertahanan alami terhadap infeksi primer sehingga secara perlahan dapat sembuh. Tetapi kompleks primer ini dapat lebih progresif dan membesar yang pada akhirnya akan muncul menjadi penyakit tuberkulosis setelah 12 bulan. Kurang lebih 10 % individu yang terkena infeksi TB akan menderita penyakit TB dalam beberapa bulan atau beberapa tahun setelah infeksi. Kemungkinan menjadi sakit terutama pada balita, pubertas dan akil balig dan keadaan-keadaan yang menyebabkan turunnya imunitas seperti infeksi HIV, penggunaan obat-obat imunosupresan yang lama, diabetes melitus dan silikosis (Fatimah, 2008).
Penyebab utama meningkatnya masalah TB antara lain adalah : (a) Kemiskinan pada berbagai kelompok masyarakat, seperti pada negara yang sedang berkembang. (b) Kegagalan TB selama ini. Hal ini diakibatkan oleh tidak memadainya komitmen politik dan pendanaan, tidak memadainya organisasi pelayanan TB ( kurang terakses oleh masyarakat, penemuan kasus/diagnosis yang tidak standar, obat tidak terjamin penyediaannya, tidak dilakukan pemantauan, pencatatan dan pelaporan yang standar, dan sebagainya), tidak memadainya tatalaksana kasus (diagnosis dan panduan obat yang tidak standar, gagal menyembuhkan kasus yang di diagnosis), salah persepsi terhadap manfaat dan efektifitas BCG, infrastruktur kesehatan yang buruk pada negara-negara yang mengalami krisis ekonomi atau pergolakan masyarakat. (c) Perubahan demografi karena meningkatnya penduduk dunia dan perubahan struktur umur kependudukan. (d) Dampak pandemik HIV (Manalu, 2010).

  Bagi anak yang telah terkena TBC, pengobatan yang dijalani sama saja dengan orang dewasa yakni menjalani pengobatan paket selama enam bulan. Namun, tuberkulosis pada anak tidak cukup semata ditangani dengan pengobatan, tetapi perbaikan lingkungan serta peningkatan gizi sangat penting untuk memperkuat daya tahan tubuh anak. Imunisasi BCG (antituberkulosis) tidak menjamin anak bebas dari penyakit tersebut. Kuman penyebab TBC yakni Mycobacterium tuberculosis ditularkan melalui percikan dahak. Jika terkena kuman terus-menerus dari orang-orang dewasa di dekatnya, terutama orangtua, maka anak tetap terkena. Di antara sesama anak kecil sendiri sangat kecil kemungkinan menularkan (Anonimous, 2014).

  1. Tuberkulosis Paru Berdasarkan hasil pemeriksaan dahak, TB Paru dibagi dalam :

  a. Tuberkulosis Paru BTA positif Sekurang-kurangnya 2 dari 3 spesimen dahak SPS hasilnya

  BTA positif. 1 spesimen dahak SPS hasilnya BTA positif dan foto rontgen dada menunjukkan gambaran tuberkulosis aktif.

  b. Tuberkulosis Paru BTA negatif Pemeriksaan 3 spesimen dahak SPS hasilnya BTA negatif dan foto rontgen dada menunjukkan gambaran tuberkulosis aktif. TB

  Paru BTA Negatif Rontgen Positif dibagi berdasarkan tingkat keparahan penyakitnya, yaitu bentuk berat dan ringan. Bentuk berat bila gambaran foto rontgen dada memperlihatkan gambaran kerusakan paru yang luas (misalnya proses “far advanced” atau milier; dan atau keadaan umum penderita buruk).

  2. Tuberkulosis Ekstra Paru Tuberkulosis yang menyerang organ tubuh lain selain paru, misalnya pleura, selaput otak, selaput jantung (pericardium), kelenjar lymfe, tulang, persendian, kulit, usus, ginjal, saluran kencing, alat kelamin, dan lain-lain. TB ekstra paru dibagi berdasarkan pada tingkat keparahan penyakitnya yaitu : a. TB Ekstra Paru Ringan Misalnya : TB kelenjar limphe, pleuritis eksudativa unilateral, tulang (kecuali tulang belakang) sendi, dan kelenjar adrenal.

  b. TB Ekstra Paru Berat Misalnya : meningitis, milier, perikarditis, perionitis, pleuritis eksudativa duplex, TB tulang belakang, TB usus, TB saluran kencing dan alat kelamin.

  3. Gejala TB Terdapat 2 gejala TB paru yaitu : gejala umum dan gejala khusus (Manulu, 2010).

  a. Gejala Umum 1) Gejala umum secara klinis mempunyai gejala sbb :

  a) batuk selama lebih dari 3 minggu,

  b) demam,

  c) berat badan menurun tanpa sebab,

  d) berkeringat pada waktu malam,

  e) mudah capai, f) hilangnya nafsu makan. b. Gejala Khusus 2) Sedangkan gejala khusus dapat digambarkan sbb :

  a) tergantung dari organ tubuh mana yang terkena, bila terjadi sumbatan sebagian bronkus (saluran yang menuju ke paru- paru) akibat penekanan kelenjar getah bening yang membesar, b) akan menimbulkan suara "mengi", suara nafas melemah yang disertai sesak, kalau ada cairan dirongga pleura (pembungkus paru-paru), dapat disertai dengan keluhan sakit dada,

  c) bila mengenai tulang, maka akan terjadi gejala seperti infeksi tulang yang pada suatu saat dapat membentuk saluran dan bermuara pada kulit di atasnya, pada muara ini akan keluar cairan nanah, d) pada anak-anak dapat mengenai otak (lapisan pembungkus otak dan disebut sebagai menginitis/radang selaput otak), gejala adalah demam tinggi, adanya penurunan kesadaran dan kejang-kejang.

  Disamping itu, masih banyak faktor yang mempengaruhi pemberantasan TB paru antara lain sikap petugas kesehatan dalam menangani pasien, ketersediaan obat dan faktor penderitanya sendiri.

  4. Penyebab TB Penyebab utama penyakit TB adalah

  

kecil yang non-motil. Berbagai

  karakter klinis unik patogen ini disebabkan oleh tingginya kandungan etiap 16

  • –20 jam. Kecepatan pembelahan ini termasuk lambat bila dibandingkan dengan jenis bakteri lain yang umumnya membelah setiap kurang dari satu jam. Mikobakteria memiliki lapisan ganda organisme tertentu, namun M.

  tuberculosis bisa dikultur

  Dengan menggunakan pewarnaan peneliti dapat mengidentifikasi MTB melalui mikroskop (dengan pencahayaan) biasa. (Dahak juga disebut "sputum"). MTB mempertahankan warna meskipun sudah diberi perlakukan larutan asam, sehingga dapat digolongkan sebagai (BTA).

  Dua jenis teknik pewarnaan asam yang paling umum yaitu: teknik yang akan memberi warna merah terang pada bakteri BTA bila diletakkan pada latar biru, dan teknik

  5. Faktor-faktor Resiko Ada beberapa faktor yang menjadi penyebab mengapa orang lebih rentan terhadap infeksi TB. Di tingkat global, faktor resiko paling penting adalah yang angka HIV-nya tinggi.

  Tuberkulosis terkait erat dengan kepadatan penduduk yang berlebihan sertaKeterkaitan ini menjadikan TB sebagai salah satu utama. Orang-orang yang memiliki resiko tinggi terinfeksi TB antara lain: orang yang menyuntik obat terlarang, penghuni dan karyawan tempat-tempat berkumpulnya orang-orang rentan (misalnya, penjara dan tempat penampungan gelandangan), orang-orang miskin yang tidak memiliki akses perawatan kesehatan yang memadai, minoritas suku yang beresiko tinggi, dan para pekerja kesehatan yang melayani orang-orang tersebut.

  Penyakit paru-paru kronis adalah faktor resiko penting lainnya. memiliki resiko dua kali lebih besar terkena TB dibandingkan yang tidak merokok. Adanya penyakit tertentu juga dapat meningkatkan resiko berkembangnya Tuberkulosis, antara lain (resikonya tiga kali lipat). Obat-obatan tertentu, sepert (antibodi monoklonal anti-

  αTNF) juga merupakan faktor resiko yang semakin penting, terutama di kawasan Meskipun juga bisa berpengaruh, namun para peneliti belum menjelaskan sampai sejauh mana peranannya.

  6. Penularan Ketika seseorang yang mengidap TB paru aktif batuk, bersin, bicara, menyanyi, atau meludah, mereka sedang menyemprotkan titis- titis Bersin dapat melepaskan partikel kecil-kecil hingga 40,000 titis. Tiap titis bisa menularkan penyakit Tuberkulosis karena dosis infeksius penyakit ini sangat rendah. (Seseorang yang menghirup kurang dari 10 bakteri saja bisa langsung terinfeksi).

  Orang-orang yang melakukan kontak dalam waktu lama, dalam frekuensi sering, atau selalu berdekatan dengan penderita TB, beresiko tinggi ikut terinfeksi, dengan perkiraan angka infeksi sekitar 22%. Seseorang dengan Tuberkulosis aktif dan tidak mendapatkan perawatan dapat menginfeksi 10-15 (atau lebih) orang lain setiap tahun. Biasanya, hanya mereka yang menderita TB aktif yang dapat menularkan penyakit ini.

  Orang-orang dengan infeksi laten diyakini tidak menularkan penyakitnya. Kemungkinan penyakit ini menular dari satu orang ke orang lain tergantung pada beberapa faktor. Faktor-faktor tersebut antara lain jumlah titis infeksius yang disemprotkan oleh pembawa, efektifitas ventilasi lingkungan tempat tinggal, jangka waktu paparan, tingkat . tuberculosis, dan tingkat kekebalan tubuh orang yang tidak terinfeksi. Untuk mencegah penyebaran berlapis dari satu orang ke orang lainnya, pisahkan orang-orang dengan TB aktif ("nyata") dan masukkan mereka dalam rejimen obat anti-TB. Setelah kira-kira dua minggu perawatan efektif, orang-orang dengan infeksi aktif yang biasanya sudah tidak menularkan penyakitnya ke orang lain.

  Bila ternyata kemudian ada yang terinfeksi, biasanya perlu waktu tiga sampai empat minggu hingga orang yang baru terinfeksi itu menjadi cukup infeksius untuk menularkan penyakit tersebut ke orang lain.

  Penularan penyakit TBC melalui dahak penderita yang mengandung basil tuberkulosis paru tersebut. Pada waktu penderita batuk, butir-butir air ludah beterbangan di udara yang mengandung basil TBC dan terhisap oleh orang yang sehat dan masuk ke dalam paru yang kemudian menyebabkan penyakit tuberkulosis paru. Kejadian kasus tuberkulosis paru ini paling banyak terjadi pada kelompok masyarakat dengan sosial ekonomi lemah (Manalu, 2010).

  7. Penanganan Pengobatan TB menggunakan untuk membunuh bakterinya. Pengobatan TB yang efektif ternyata sulit karena struktur dan komposisi kimia dinding sel mikobakteri yang tidak biasa. Dinding sel menahan obat masuk sehingga menyebabkan antibiotik tidak efektif.

  Dua jenis antibiotik yang umum digunakan adalah dan pengobatan dapat berlangsung berbulan-bulan.

  Pengobatan TB laten biasanya menggunakan antibiotik tunggal. Penyakit TB aktif sebaiknya diobati dengan kombinasi beberapa antibiotik untuk menurunkan resiko berkembangnya bakteri yang Pasien dengan infeksi laten juga diobati untuk mencegah munculnya TB aktif di kehidupan selanjutnya. WHO merekomendasikan

  

atau terapi pengawasan langsung, dimana

seorang pengawas kesehatan mengawasi penderita meminum obatnya.

  Tujuannya adalah untuk mengurangi jumlah penderita yang tidak meminum obat antibiotiknya dengan benar. Bukti yang mendukung terapi pengawasan langsung secara independen kurang baik. Namun, metode dengan cara mengingatkan penderita bahwa pengobatan itu penting ternyata efektif.

  Upaya penanggulangan penyakit TB sudah dilakukan melalui berbagai program kesehatan di tingkat Puskesmas, berupa pengembangan strategi penanggulangan TB yang dikenal sebagai strategi DOTS (directly observed treatment, Short course = pengawasan langsung menelan obat jangka pendek), yang telah terbukti dapat menekan penularan, juga mencegah perkembangannya MDR (multi

  

drugs resistance = kekebalan ganda terhadap obat)-TB, tetapi hasilnya

  masih dirasakan belum sesuai dengan yang diharapkan. Oleh karena itu diharapkan adanya perhatian dari pihak-pihak terkait dalam upaya meningkatkan keterlibatan peran pelayanan penanganan TB paru selanjutnya (Manalu, 2010).

  8. Patogenesis TB primer Setelah pencegahan penularan TB bovin melalui pasteurisasi susu diterapkan, infeksi TB enterogenik di negara maju hampir tidak ada dan infeksi TB primer biasanya melalui saluran pernafasan. Infeksi terjadi akibat inhalasi droplet (2

  • –10μm) yang mengandung basil (1– 4μm). Droplet tersebut akan dibawa oleh silia ke bronkiolus terminalis dan alveoli. Inokulasi terjadi pada area dengan ventilasi yang paling banyak, biasanya pada segmen anterior lobus superior, lobus medius, lingula, dan segmen basal dari lobus inferior. Makrofag alveolar akan menangkap basil. Basil TB tersebut akan bereplikasi di dalam makrofag alveolar. Makrofag alveolar akan berinteraksi dengan limfosit T dan menyebabkan differensiasi makrofag menjadi histiosit epiteloid.

  Histiosit epiteloid dan limfosit akan beragregasi membentuk granuloma. Pada granuloma, limfosit T CD4 akan mensekresi sitokin seperti interferon-

  γ yang akan mengaktivasi makrofag untuk membunuh basil TB di dalamnya. Limfosit T CD 8 (limfosit T sitotoksik) juga dapat langsung membunuh sel yang terinfeksi. Meskipun demikian, basil TB tidak selalu tereliminasi dari granuloma, namun basil tersebut dapat menjadi dorman. Granuloma juga dapat mengalami nekrosis di bagian tengahnya.

B. Karakteristik Individu

  1. Jenis kelamin Dari catatan statistik meski tidak selamanya konsisten, mayoritas penderita tuberkulosis paru adalah wanita. Hal ini masih memerlukan penyelidikan dan penelitian lebih lanjut, baik pada tingkat behavioural, tingkat kejiwaan, sistem pertahanan tubuh, maupun tingkat molekuler.

  Untuk sementara, diduga jenis kelamin wanita merupakan faktor risiko yang masih memerlukan evidence pada masing-masing wilayah, sebagai dasar pengendalian atau dasar manajemen (Fatimah, 2008).

  Laki-laki memiliki mobilitas yang lebih tinggi dibandingkan perempuan sehingga memungkinkan untuk terpapar bakteri penyebab TB paru lebih besar, selain itu kebiasaan laki-laki mengkonsumsi rokok, minum alkohol dan keluar malam hari dapat menurunkan sistem kekebalan tubuh (Dhewi, 2011).

  Prevalensi Tuberkulosis di Indonesia pada laki-laki dua kali lebih besar dibandingkan perempuan. Laki-laki lebih banyak menderita tuberkulosis paru dibandingkan perempuan karena perempuan sedikit yang memiliki kebiasaan merokok. Merokok dapat menyebabkan fungsi silia disaluran pernapasan terganggu sehingga meningkatkan risiko terinfeksi tuberculosis (Utami, 2014).

  Di Eropa dan Amerika Utara insiden tertinggi TB Paru biasanya mengenai usia dewasa muda. Angka pada pria selalu cukup tinggi pada semua usia tetapi angka pada wanita cenderung menurun tajam sesudah melampaui usia subur. Wanita sering mendapat TB Paru sesudah bersalin. Sementara di Afrika dan India tampaknya menunjukkan pola yang sedikit berbeda. Prevalensi TB Paru tampaknya meningkat seiring dengan peningkatan usia pada jenis kelamin. Pada wanita prevalensi menyeluruh lebih rendah dan peningkatan seiring dengan usia adalah kurang tajam di bandingkan dengan pria. Pada wanita prevalensi maksimum pada usia 40-50 tahun dan kemudian berkurang. Pada pria prevalensi terus meningkat sampai sekurang-kurangnya mencapai 60 tahun (Putra, 2011).

  Penderita TB-paru cenderung lebih tinggi pada laki-laki dibandingkan perempuan. Menurut Hiswani yang dikutip dari Manalu (2010), sedikitnya dalam periode setahun ada sekitar 1 juta perempuan yang meninggal akibat TB paru, dapat disimpulkan bahwa pada kaum perempuan lebih banyak terjadi kematian yang disebabkan oleh TB-paru dibandingkan dengan akibat proses kehamilan dan persalinan. Pada jenis kelamin laki-laki penyakit ini lebih tinggi karena merokok tembakau dan minum alkohol sehingga dapat menurunkan sistem pertahanan tubuh, sehingga lebih mudah terpapar dengan agent penyebab TB-paru.

  2. Umur Variabel umur berperan dalam kejadian penyakit tuberkulosis paru. Risiko untuk mendapatkan tuberkulosis paru dapat dikatakan seperti halnya kurva normal terbalik, yakni tinggi ketika awalnya, menurun karena diatas 2 tahun hingga dewasa memliki daya tahan terhadap tuberkulosis paru dengan baik. Puncaknya tentu dewasa muda dan menurun kembali ketika seseorang atau kelompok menjelang usia tua (Fatimah, 2008).

  Widoyono (2011) menyatakan bahwa penyakit TB menyerang semua golongan usia dan jenis kelamin. Menurut Pajankar dalam Utami (2014), konversi BTA menurun pada usia>40 tahun dikarenakan subjek menderita penyakit diabetes melitus dan kurangnya pengawasan minum obat.

  Sampai pada usia pubertas antara anak laki-laki dan perempuan tidak ada perbedaan kejadian TB Paru. Namun setelah melewati usia pubertas hingga dewasa terdapat perbedaan yang beragam di berbagai negara. Penyakit TB sebagian besar (± 75%) menyerang kelompok usia produktif, kelompok ekonomi dan tingkat pendidikan yang rendah. Hal tersebut juga ditemukan pada penelitian kasus kontak TB yang dilakukan oleh Wibowo dkk (dalam Putra, 2011) di RSUP Manado yang menunjukkan bahwa dari 15 orang penderita, 14 orang (93,33%) berusia produktif (19-55 tahun) dan hanya 1 orang (6,67%)berusia 56 tahun. Rentang usiaTB pada kasus kontak adalah 28-46 tahun pada laki-laki dan 20-56 tahun pada perempuan.

  Penyakit TB paru paling sering ditemukan pada usia muda atau usia produktif 15-50 tahun. Dengan terjadinya transisi demografi saat ini menyebabkan usia harapan hidup lansia menjadi lebih tinggi. Pada usia lanjut lebih dari 55 tahun sistem imunologis seseorang menurun, sehingga sangat rentan terhadap berbagai penyakit, termasuk penyakit TB-paru (Manalu, 2010).

  3. Kondisi sosial ekonomi WHO menyebutkan 90% penderita tuberkulosis paru di dunia menyerang kelompok dengan sosial ekonomi lemah atau miskin

  (Fatimah, 2008). Dhewi (2011) menyatakan karena penghasilan yang kurang, seseorang akan lebih mengutamakan kebutuhan primer daripada pemeliharaan kesehatan.

  Menurut Karyadi (dalam Putra, 2011) dari SEAMEO- TROPMEND pusat kajian gizi regional Universitas Indonesia dari hasil penelitiannya menyatakan bahwa ekonomi lemah atau miskin mempengaruhi seseorang mendapatkan penyakit TB Paru. Hal ini disebabkan daya tahan tubuh yang rendah, begitu juga kebutuhan akan rumah yang layak huni tidak di dapatkan, ditambah dengan penghuni yang ramai dan sesak. Keadaan ini akan mempermudah penularan penyakit terutama penyakit saluran pernafasan seperti penyakit TB Paru.

  Faktor sosial ekonomi sanga terat dengan keadaan rumah, kepadatan hunian, lingkungan perumahan, lingkungan dan sanitasi tempat kerja yang buruk dapat memudahkan penularan TBC. Pendapatan keluarga sangat erat juga dengan penularan TBC, karena pendapatan yang kecil membuat orang tidak dapat dengan layak memenuhi syarat- syarat kesehatan (Manalu, 2010).

  4. Tingkat pendidikan Faktor-faktor dominan yang mempengaruhi perilaku positif adalah tingkat pendidikan. Sedangkan menurut Green (dalam Pertiwi dkk, 2012), menyatakan bahwa faktor-faktor yang berpengaruh dalam menentukan perilaku kesehatan individu dan kelompok adalah faktor pendidikan.

  Tingkat pendidikan yang relatif rendah menyebabkan keterbatasan informasi yang didapatkan (Maksalmina, 2013). Termasuk informasi tentang penyakit TB paru.

C. Lingkungan

  Lingkungan adalah segala sesuatu yang ada di luar diri host (pejamu) baik benda mati, benda hidup, nyata atau abstrak, seperti suasana yang terbentuk akibat interaksi semua elemen-elemen termasuk host yang lain. Faktor lingkungan memegang peranan penting dalam penularan, terutama lingkungan rumah yang tidak memenuhi syarat. Lingkungan rumah merupakan salah satu faktor yang memberikan pengaruh besar terhadap status kesehatan penghuninya. Adapun syarat-syarat yang dipenuhi oleh rumah sehat secara fisiologis yang berpengaruh terhadap kejadian tuberkulosis paru antara lain (Azwar, 2003):

  1. Kepadatan Penghuni Rumah Ukuran luas ruangan suatu rumah erat kaitannya dengan kejadian tuberkulosis paru. Disamping itu Asosiasi Pencegahan Tuberkulosis Paru

  Bradbury mendapat kesimpulan secara statistik bahwa kejadian tuberkulosis paru paling besar diakibatkan oleh keadaan rumah yang tidak memenuhi syarat pada luas ruangannya. Semakin padat penghuni rumah akan semakin cepat pula udara di dalam rumah tersebut mengalami pencemaran. Karena jumlah penghuni yang semakin banyak akan berpengaruh terhadap kadar oksigen dalam ruangan tersebut, begitu juga kadar uap air dan suhu udaranya. Dengan meningkatnya kadar CO2 di udara dalam rumah, maka akan memberi kesempatan tumbuh dan berkembang biak lebih bagi Mycobacterium tuberculosis. Dengan demikian akan semakin banyak kuman yang terhisap oleh penghuni rumah melalui saluran pernafasan (Smith dan Moss dalam Fatimah, 2008). Luas kamar tidur minimal 8 m2 dan dianjurkan tidak untuk lebih dari 2 orang tidur (Keman, 2005).

  Kepadatan hunian (in house overcrowding) diketahui akan meningkatkan resiko dan tingkat keparahan penyakit berbasis lingkungan. Persyaratan kepadatan hunian untuk seluruh rumah biasanya

  2

  dinyatakan dengan m /orang. Luas minimum per orang sangat relatif, tergantung dari kualitas bangunan dan fasilitas yang tersedia. Untuk

  2

  rumah sederhana minimum 10 m /orang, sehingga untuk satu keluarga yang mempunyai 5 orang anggota keluarga dibutuhkan luas rumah

  2

  minimum 50m , sementara untuk kamar tidur diperlukan luas lantai

  2

  minimum 3m /orang. Dalam hubungan dengan penularan TB Paru, maka kepadatan hunian dapat menyebabkan infeksi silang ( Cross infektion ).

  Adanya penderita TB paru dalam rumah dengan kepadatan cukup tinggi, maka penularan penyakit melalui udara ataupun “droplet” akan lebih cepat terjadi (Putra, 2011).

  Dari hasil penelitian yang dilakukan Umboh dkk (2012) kelompok masyarakat yang memiliki kepadatan hunian < 10m² (tidak memenuhi syarat) kemungkinan menderita penyakit TB paru sebesar 10 kali dibandingkan kelompok masyarakat yang memiliki kepadatan huniannnya ≥ 10m² (memenuhi syarat). Hal ini saling berhubungan karena apabila terdapat anggota keluarga yang menderita penyakit pernapasan terkhusus TB Paru dapat menyebabkan penularan penyakit ke anggota keluarga yang lain.

  2. Kelembaban Rumah Kelembaban udara dalam rumah minimal 40%

  • – 70 % dan suhu ruangan yang ideal antara 180C
  • – 300C. Bila kondisi suhu ruangan tidak optimal, misalnya terlalu panas akan berdampak pada cepat lelahnya saat bekerja dan tidak cocoknya untuk istirahat. Sebaliknya, bila kondisinya terlalu dingin akan tidak menyenangkan dan pada orang-orang tertentu dapat menimbulkan alergi. Hal ini perlu diperhatikan karena kelembaban dalam rumah akan mempermudah berkembangbiaknya mikroorganisme antara lain bakteri spiroket, ricketsia dan virus. Mikroorganisme tersebut dapat masuk ke dalam tubuh melalui udara, selain itu kelembaban yang tinggi dapat menyebabkan membran mukosa hidung menjadi kering seingga kurang efektif dalam menghadang mikroorganisme.
Kelembaban udara yang meningkat merupakan media yang baik untuk bakteri-bakteri termasuk bakteri tuberkulosis (Azwar, 2003).

  Rumah yang sehat harus memiliki langit-langit untuk menahan dan menyerap panas terik matahari, minimum 2,4 m dari lantai, bisa dari bahan papan, anyaman bambu, tripleks atau gipsum. Atap rumah yang berfungsi sebagai penahan panas sinar matahari serta melindungi masuknya debu, angin dan air hujan (Keman, 2005).

  Kelembaban udara dalam ruangan untuk memperoleh kenyamanan, dimana kelembaban yang optimum berkisar 60% dengan temperatur kamar 22°

  • – 30°C. Kuman TB Paru akan cepat mati bila terkena sinar matahari langsung, tetapi dapat bertahan hidup selama beberapa jam di tempat yang gelap dan lembab (Putra, 2011).

  Hasil penelitian yang telah dilakukan Umboh dkk (2012) menyatakan adanya hubungan yang bermakna antara kelembaban udara dengan kejadian penyakit TB Paru dimana kelompok masyarakat yang memiliki kelembaban udara >70% (tidak memenuhi syarat) kemungkinan menderita penyakit TB paru sebesar 3 kali dibandingkan kelompok masyarakat yang memiliki kelembaban udaranya 40% - 70% (memenuhi syarat). Hal ini sangat memiliki hubungan dikarenakan kelembaban udara merupakan salah satu faktor yang menyebabkan pertumbuhan bakteri-bakteri penyakit terkhusus bakteri tuberkulosis dapat tumbuh dan berkembang biak dengan baik.

  3. Ventilasi Jendela dan lubang ventilasi selain sebagai tempat keluar masuknya udara juga sebagai lubang pencahayaan dari luar, menjaga aliran udara di dalam rumah tersebut tetap segar. Menurut indikator pengawasan rumah, luas ventilasi yang memenuhi syarat kesehatan adalah ≥ 10% luas lantai rumah dan luas ventilasi yang tidak memenuhi syarat kesehatan adalah < 10%luas lantai rumah. Luas ventilasi rumah yang < 10% dari luas lantai (tidak memenuhi syarat kesehatan) akan mengakibatkan berkurangnya konsentrasi oksigen dan bertambahnya konsentrasi karbondioksida yang bersifat racun bagi penghuninya (Fatimah, 2008).

  Di samping itu tidak cukupnya ventilasi akan menyebabkan peningkatan kelembaban ruangan karena terjadinya proses penguapan cairan dari kulit dan penyerapan. Kelembaban ruangan yang tinggi akan menjadi media yang baik untuk tumbuh dan berkembangbiaknya bakteri- bakteri patogen termasuk kuman tuberkulosis (Azwar, 2003).

  Rumah juga harus memiliki ventilasi yang baik karena kurangnya udara segar yang masuk karena gangguan ventilasi udara dan kurangnya perawatan sistem peralatan ventilasi, dapat berdampak pada kesehatan penghuninya (Keman, 2005).

  Ventilasi adalah suatu usaha untuk memelihara kondisi

  

atmosphere yang menyenangkan dan menyehatkan bagi manusia. Untuk

  mendapatkan ventilasi atau penghawaan yang baik bagi suatu rumah atau ruangan, maka ada beberapa syarat yang harus dipenuhi yaitu (Putra, 2011): a. Luas lubang ventilasi tetap, minimum 5% dari luas lantai ruangan.

  Sedangkan luas lubang ventilasi insidental (dapat dibuka dan di tutup) minimum 5% dari luas lantai. Hingga jumlah keduanya 10% dari luas lantai ruangan.

  b. Udara yang masuk harus udara yang bersih, tidak di cemari oleh asap

  • – dari sampah atau dari pabrik, knalpot kendaraan, debu dan lain lain.

  c. Aliran udara tidak menyebabkan penghuninya masuk angin. Untuk itu tidak menempatkan tempat tidur persis pada aliran udara, misalnya didepan jendela atau pintu.

  Berdasarkan hasil penelitian Umboh dkk (2012) menyatakan bahwa terdapat hubungan yang bermakna antara kondisi ventilasi dengan kejadian penyakit TB paru dimana kelompok masyarakat yang memiliki kondisi ventilasi < 10% kemungkinan menderita penyakit TB paru sebesar 36 kali dibandingkan yang memiliki kondisi ventilasinya ≥ 10%. Hal ini terjadi dimana kondisi ventilasi yang tidak memenuhi syarat kurang atau tidak melakukan pertukaran udara dalam ruangan yang akan menyebabkan bakteri-bakteri penyakit terkhusus bakteri tuberculosis dapat berkembang biak.

  4. Pencahayaan Sinar Matahari Cahaya matahari selain berguna untuk menerangi ruang juga mempunyai daya untuk membunuh bakteri. Sinar matahari dapat dimanfaatkan untuk pencegahan penyakit tuberkulosis paru, dengan mengusahakan masuknya sinar matahari pagi ke dalam rumah. Cahaya matahari masuk ke dalam rumah melalui jendela atau genteng kaca. Diutamakan sinar matahari pagi mengandung sinar ultraviolet yang dapat mematikan kuman (Fatimah, 2008).

  Rumah yang sehat harus memiliki jendela dan pintu yang berfungsi sebagai ventilasi dan masuknya sinar matahari dengan luas minimum 10% luas lantai (Keman, 2005).

  Penyakit TB paru ditularkan melalui penyebaran airborne

  

droplet infection dengan sumber infeksi adalah orang dengan penyakit

  TB paru yang batuk. Transmisi umumnya terjadi diruangan, dimana

  

droplet nuclei dapat tinggal dalam udara dalam waktu yang lama. Sinar

  matahari dapat langsung secara cepat membunuh bakteri, tetapi mereka dapat bertahan hidup dalam kegelapan dalam beberapa jam (Musadad, 2006).

  Pencahayaan dalam rumah sangat berkaitan erat dengan tingkat kelembaban didalam rumah. Pencahyaan yang kurang akan menyebaban kelembaban yang tinggi di dalam rumah dan sangat berpotensi sebagai tempat berkembang biaknya kuman TBC. Pencahayaan langsung dan tidak langsung atau buatan harus menerangi seluruh ruangan dan mempunyai intensitas minimal 60 lux dan tidak menyilaukan (Putra, 2011).

  Berdasarkan hasil penelitian yang telah dilakukan Umboh dkk (2012) menyatakan bahwa terdapat hubungan antara pencahayaan alami rumah dengan kejadian penyakit TB paru. Dimana kelompok masyarakat yang memiliki pencahayaan alami rumah < 60 Lux (tidak memenuhi syarat) kemungkinan menderita penyakit TB paru sebesar 9 kali dibandingkan kelompok masyarakat yang memiliki pencahayaan alami rumah ≥ 60 Lux (memenuhi syarat). Hal ini saling berhubungan karena pencahayaan alami yang kurang memenuhi syarat dapat menyebabkan bakteri-bakteri penyakit terkhusus bakteri tuberkulosis dapat berkembang biak. Pencahayaan alamiah rumah merupakan hal yang penting dan menunjang terhadap kesehatan, untuk itu bagi rumah yang pencahayaan alamiah rumah masih kurang atau belum memenuhi syarat kesehatan. Sebaiknya dilakukan dengan cara mengganti sebagian genteng rumah dengan genteng kaca atau asbes plastik serta penambahan lubang ventilasi alamiah rumah sebagai jalan masuknya cahaya matahari. Selain itu, lokasi penempatan jendela rumah pun harus diperhatikan dan diusahakan agar sinar matahari lama menyinari lantai (bukan menyinari dinding). Maka sebaiknya jendela itu harus di tengah- tengah tinggi dinding.

  5. Lantai rumah Komponen yang harus dipenuhi rumah sehat memiliki lantai kedap air dan tidak lembab. Jenis lantai tanah memiliki peran terhadap proses kejadian Tuberkulosis paru, melalui kelembaban dalam ruangan. Lantai tanah cenderung menimbulkan kelembaban, pada musim panas lantai menjadi kering sehingga dapat menimbulkan debu yang berbahaya bagi penghuninya (Fatimah, 2008).

  Rumah yang sehat harus memiliki lantai kedap air dan tidak lembab, tinggi minimum 10 cm dari pekarangan dan 25 cm dari badan jalan, bahan kedap air, untuk rumah panggung dapat terbuat dari papan atau anyaman bambu (Keman, 2005).

  Jenis lantai yang baik adalah kedap air dan mudah dibersihkan, jenis lantai rumah yang ada di Indonesia bermacam

  • –macam tergantung kondisi daerah dan tingkat ekonomi masyarakat, mulai dari jenis lantai tanah, papan, plesetan semen sampai kepada pasangan lantai keramik. Dari beberapa jenis lantai diatas, maka jenis lantai tanah jelas tidak baik dari segi kesehatan, mengingat lantai tanah ini lembab dan menjadi tempat yang baik untuk berkembang biaknya kuman TB Paru (Putra, 2011).

  6. Dinding Dinding berfungsi sebagai pelindung, baik dari gangguan hujan maupun angin serta melindungi dari pengaruh panas dan debu dari luar serta menjaga kerahasiaan (privacy) penghuninya. Beberapa bahan pembuat dinding adalah dari kayu, bambu, pasangan batu bata atau batu dan sebagainya. Tetapi dari beberapa bahan tersebut yang paling baik adalah pasangan batu bata atau tembok (permanen) yang tidak mudah terbakar dan kedap air sehingga mudah dibersihkan (Fatimah, 2008).

  Rumah yang sehat harus memiliki dinding rumah kedap air yang berfungsi untuk mendukung atau menyangga atap, menahan angin dan air hujan, melindungi dari panas dan debu dari luar, serta menjaga kerahasiaan ( privacy) penghuninya (Keman, 2005).

  Jenis dinding pada rumah akan berpengaruh terhadap kelembaban dan mata rantai penularan tuberkulosis paru. Hasil penelitian Fatimah (2008) menyimpulkan bahwa seseorang yang bertempat tinggal dengan jenis dinding yang tidak permanen/semi permanen yang terbuat dari papan tidak kedap air dan anyaman bambu serta sebagian tembok yang tidak diplester mempunyai risiko 2,692 kali untuk menderita TB paru dibanding orang yang bertempat tinggal dengan jenis dinding yang permanen atau memenuhi syarat.

  Jenis dinding rumah yang ada di Indonesia mulai dari anyaman bambu, papan/kayu, pasangan bata sampai beton bertulang. Dinding dari anyaman bambu dan papan/kayu masih dapat ditembus udara jadi dapat memperbaiki perhawaan tetapi sulit untuk dapat menjamin kebersihannya dari debu yang menempel padanya. Apabila terdapat penghuni yang menderita sakit pernafasan maka kuman pathogen mungkin juga ada dalam debu yang menempel pada dinding. Oleh karena itu, rumah sebaiknya memakai dinding yang permanen dari bahan yang mudah dibersihkan (Soesanto dkk, 2000).

D. Kerangka Teori Penelitian

  Karakteristik individu: Jenis kelamin Umur Tingkat pendidikan

  Lingkungan: Kepadatan hunian

  Kejadian Tuberkulosis

  Jenis lantai rumah Paru

  Jenis dinding rumah Faktor lain:

  Riwayat kontak dengan penderita TB Status gizi

  Sumber : Fatimah (2008), Pertiwi dkk (2012)

Gambar 2.1 Kerangka Teori

E. Kerangka Konsep Penelitian

  Karakteristik Individu Tuberculosis

  Lingkungan

Gambar 2.2 Kerangka Konsep Penelitian F.

   Hipotesis Penelitian

  Hipotesis penelitian dalam penelitian ini adalah terdapat hubungan karakteristik individu dan lingkungan dengan kejadian tuberculosis.