5 BAB II TINJAUAN PUSTAKA 2.1 Ekstrak Daun Sirih 2.1.1 Klasifikasi Daun sirih (Piper betle L.)
BAB II TINJAUAN PUSTAKA
2.1 Ekstrak Daun Sirih
2.1.1 Klasifikasi Daun sirih (Piper betle L.)
Menurut Crounquist (1981), klasifikasi sirih (Piper betle L.) adalah sebagai berikut : Divisi : Magnoliophyta Kelas : Magnoliopsida Subkelas : Magnoliidae Ordo : Piperales Famili : Piperaceae Genus : Piper Spesies :Piper betle L.
2.1.2 Deskripsi Daun sirih (Piper betle L.)
Tanaman sirih termasuk ke dalam famili Piperaceae sehingga merupakan tanaman merambat yang mencapai ketinggian kurang lebih 15 meter. Batang beruas yang kemudian akan tumbuh akar, batang berwarna coklat kehijauan, bentuk bulat. Daun berbentuk jantung dengan tulang daun melengkung,bagian atasnya meruncing. Daun sirih bila disobek akan sedikit berlendir,daun berasa pahit getar. Daun sirih memiliki panjang kira-kira 5-8 cm dan lebar sekitar 2-5 cm. Bunganya majemuk berbentuk bulir terdapat dalam spika yang padat dan berdaging. Bulir jantan memiliki dua benang sari yang pendek, sedangkan bulir betina memiliki putik 3 sampai 5 terpisah yang berwarna putih atau hijau kekuningan. Bunga bentuknya kecil terdapat brakea namun tidak terdapat periantium. Buah nya merupakan buah buni berbentuk bulat berwarna hijau keabuan ( Amrulloh, 2008).
Gambar 2.1 Daun sirih2.1.3 Kandungan Daun Sirih (Piper betle L.)
Daun sirih mengandung minyak atsiri yang terdiri dari chaficol paralyphenol atau betlephenol. Daun sirih mengandung zat
- – zat yaitu atsiri yang terdiri dari fenol dan sebagian besar chavicol. Chavicol memiliki daya antiseptik lima kali daripada fenol biasa. Daun sirih mengandung antiseptik berupa senyawa senyawa fenolik seperti eugenol, chavicol 7,2
- – 16,7 %, alilpyrolcatekol, dan chavibetol
- – 6,2% (Kusdarwati, 2013). Daun sirih juga mengandung kadinen 2,4-15,8%, estragol, terpenoid, sesquiterpen, fenil propane, tanin, diastase, pati dan gula (Achmad dan Suryana, 2009).
Tanin merupakan senyawa anti jamur yang menghambat kerja enzim selulosa dan hemiselulosa (Kusuma, 2004). Menurut Moelijanto dan Mulyono (2003) tanin dapat menghambat fosforilasi oksidatif oleh mitokondria sehingga sistem transpor elektron terhambat, tanin juga mampu membentuk ion kompleks dengan ion metal sehingga pertumbuhan mikroorganisme terhambat. Senyawa fenil propanoid dan tanin yang terkandung didalam ekstrak daun sirih dapat mematikan bagi jamur Candida albicans (Reveny, 2011).
Kandungan minyak atsiri pada daun sirih berkisar 0,9-1,2 % yang memiliki kegunaan sebagai antiseptik dan anti mikroba. Minyak atsiri daun sirih mengandung eugenol, seskuiterpen, pati, diastase, gula, zat samak, dan chavicol yang memiliki daya mematikan kuman, antioksida, dan fungisida (Achmad dan Suryana, 2009).
2.1.4 Manfaat Daun Sirih ( Piper betle L. )
Daun sirih sudah dikenal oleh orang Indonesia sebagai tanaman obat yang berkhasiat dan telah teruji secara klinis khasiat daunnya. Secara tradisional tanaman daun sirih dipakai untuk mengatasi bau badan dan mulut, sariawan, mimisan. Membuat suara nyaring dan mengobati keputihan pada wanita karena daun ini mengandung zat antiseptik yang mampu membunuh kuman. Kandungan fenol pada daun sirih lebih efektif dibandingkan dengan fenol biasa (Amrulloh, 2008).
Tanaman sirih memiliki aktifitas terhadap bakteri dan jamur karena daun sirih mengandung minyak atsiri dengan komponen fenol yang mempunyai daya antiseptik kuat dan memiliki potensi terhadap kuman (Reveny, 2011). Daun sirih dimanfaatkan sebagai pembasmi jamur Phytopthora palmipora penyebab penyakit busuk pangkal batang yang menyerang tanaman lada (Pudjiastuti, 1994). Ekstrak daun sirih bermanfaat sebagai pembasmi jamur Fusarium oxysporum Schlecht penyakit layu fusarium pada tanaman tomat,kentang, cabai dan jamur Rhizoctonia
solani Khun penyebab penyakit rebah semai pada tanaman padi, kacang hijau,dan jeruk (Utami, 2000).
2.1.5 Metabolit sekunder
Menurut Taiz dan Zeiger (2002), metabolit sekunder merupakan senyawa kimia tumbuhan sebagai penawar racun produk metabolit primer. Metabolit sekunder dikelompokan menjadi tiga yaitu terpen, fenol, dan senyawa yang mengandung nitrogen. Senyawa yang terkandung didalam ekstrak daun sirih merupakan salah satu metabolit sekunder.
Senyawa fenol merupakan senyawa-senyawa yang dihasilkan tanaman yang memiliki ciri yaitu cincin aromatik yang mengandung satu atau dua gugus hidroksil. Golongan terbesar senyawa fenolik dalam tumbuhan selain fenol sederhana, fenilpropanoid, dan kuinonfenolik adalah flafonoid dan tanin (Harborne, 1987). Fenol merupakan senyawa yang dapat menghambat absorpsi ion K+ pada akar dan berhubungan erat dengan terhambatnya aktivitas ATPase pada membran plasma, menghambat pertumbuhan dan reproduksi organisme terhambat (Utami, 2000).
Senyawa tanin adalah senyawa polifenol yang terdapat dalam tumbuhan berpembuluh yang dapat menimbulkan rasa sepat. Tanin mempunyai kemampuan menghambat pertumbuhan tumor, bakteri, dan jamur serta mempunyai aktivitas antioksidan (Robinson, 1995). Tanin merupakan anti jamur dengan menghambat kerja enzim selulosa, hemiselulosa. Jika dekomposisi selulosa dan hemiselulosa terhambat maka dinding sel tidak sempurna yang berakibat pertumbuhan mikroorganisme terhambat. Tanin terhidrolisis pada tumbuhan berkeping dua dan terkondensasi pada tumbuhan paku-pakuan, angiospermae, dan gymnospermae (Harborne, 1987).
Senyawa terpenoid umumnya merupakan senyawa metabolit sekunder yang tidak larut dalam air. Terpen adalah gabungan lima unit karbon (isoprena) yang disintesis dari Asetil-CoA. Selain sebagai pelindung tanaman dari gangguan herbivora atau serangga pengganggu, senyawa terpen terlibat dalam pertumbuhan serta perkembangan tanaman (Taiz & Zeiger, 2002).
Senyawa metabolit sekunder dapat menghambat kerja enzim tertentu. Kemampuan patogen untuk melakukan penetrasi terhadap sel inang disebabkan oleh adanya enzim pektolitik yang dihasilkan oleh patogen. Dengan adanya senyawa metabolit sekunder pada inang maka penetrasi patogen dapat dihambat (Utami, 2000).
2.1.6 Ekstraksi Daun Sirih
Ekstraksi merupakan kegiatan pembuatan ekstrak dengan cara memisahkan kandungan kimia bahan yang dapat larut dari bahan yang tidak dapat larut dalam pelarut yang sesuai. Metode yang biasa digunakan untuk ekstraksi ada dua cara, dengan cara panas yaitu refluks, soxlet, digesti, infus, dan dengan cara dingin yaitu maserasi dan perkolasi (Anonim, 1986).
Maserasi merupakan suatu proses ekstraksi menggunakan pelarut dengan beberapa kali pengocokan atau pengadukan pada temperatur ruang. Maserasi termasuk prinsip metode ekstraksi dengan pencapaian konsentrasi pada keseimbangan. Maserasi dilakukan dengan cara maserasi kinetik dan remaserasi.
Maserasi kinetik adalah teknik ekstraksi pengadukan secara terus-menerus sedangkan remaserasi adalah teknik pengulangan penambahan pelarut setelah dilakukan penyaringan maserat pertama seterusnya (Anonim, 1986).
2.1.7 Metode aktivitas antifungi
Uji aktivitas dilakukan untuk menguji aktivitas suatu senyawa antimikroba. Metode yang sering digunakan untuk melakukan aktivitas antifungi adalah metode difusi dengan menggunakan kertas cakram atau sering disebut Disc
diffusion test. Larutan yang akan diuji akan berdifusi melalui media tumbuh PDA
yang telah diinokulasi jamur yang akan diteliti.Terbentuknya daerah bening atau zona bening menandakan adanya penghambatan pertumbuhan mikroorganisme yang dilakukan larutan uji pada media agar (Anonim, 2011).
2.1.8 Uji Kandungan Kimia Ekstrak
Uji kandungan kimia tumbuhan (uji fitokimia) dilakukan untuk mengetahui keberadaan senyawa aktif dalam bahan uji. Bahan uji tumbuhan dapat berupa akar, batang, daun, buah, dan biji. Bahan yang dipakai untuk menguji kandungan senyawa biasanya dalam jumlah kecil. Uji fitokimia menggunakan beberapa pereaksi antara lain pereaksi asetat anhidrat, asam sulfat, Mg, amil alkohol, HCl, FeCl
3 dan NaOH. Uji adanya terpenoid menggunakan pereaksi
asetat anhidrat dan asam sulfat. Uji flavonoid menggunakan pereaksi Mg, amil alkohol dan HCl. Uji tanin menggunakan FeCl
3 , sedang untuk kuinon menggunakan NaOH (Robinson, 1995).
2.2 Tanaman Cabai
2.2.1 Klasifikasi Cabai
Klasifikasi Cabai menurut Backer & Bakhuizen van den Brink (1963) adalah sebagai berikut : Kingdom : Plantae (Tumbuhan) Divisi : Spermatophyta (Menghasilkan biji) subdivisi : Magnoliophyta (Tumbuhan berbunga) Kelas : Magnoliopsida (berkeping dua / dikotil) Sub Kelas : Asteridae Ordo : Solanales Famili rung-terungan) Genus Spesies : Capsicum annum L.
2.2.2 Karakteristik Cabai
Cabai dengan keunggulan-keunggulan tertentu akan menguntungkan para petani sebagai produsen dan para konsumen. Cabai tersebut umumnya mampu berproduksi lebih tinggi dibandingkan dengan cabai biasa. Jenis cabai seperti ini, baik cabai merah besar, cabai keriting, maupun cabai rawit, biasa disebut cabai hibrida. Cabai hibrida dihasilkan melalui persilangan dua induk cabai yang merupakan galur murni dan memiliki sifat-sifat unggul. Hasil persilangan tersebut menurunkan efek heterosis dan memiliki sifat-sifat yang lebih unggul dibandingkan dengan kedua induknya (Lestari, 2006).
Cabai memiliki tangkai daun panjang. Batang cabai dibedakan menjadi dua yaitu batang utama dan percabangan. Daunnya terdiri atas tangkai, tulang, dan helaian daun. Daunnya berwarna hijau, tangkai daun berkembang sebagai ibu tulang daun. Tulang daun berbentuk menyirip, bagian ujung daun meruncing dengan tepian rata. Bunga tumbuh tunggal namun kadang berkelompok pada setiap ruas. Tangkai bunga umumnya merunduk, setiap bunga umumnya memiliki lima atau enam helai mahkota bunga berwarna putih susu dan kadang-kadang ungu, dalam satu bunga memiliki alat kelamin betina dan alat kelamin jantan.
Mahkota bunga akan gugur apabila bakal buah akan terbentuk. Daging buah umumnya renyah atau kadang-kadang lunak, biji berwarna kuning jerami (Rukmana dan Oesman, 2002).
Tanaman cabai yang berkualitas adalah tanaman yang terhindar dari serangan OPT (Organisme Pengganggu Tanaman) terutama hama dan penyakit.
Hama yang banyak menyerang tanaman cabai antara lain kutu daun persik,ulat gragak, ulat buah dan lain-lain. Sedangkan penyakit pada tanaman cabai dapat disebabkan oleh bakteri, virus dan jamur misalnya penyakit antraknosa dan layu fusarium yang disebabkan oleh jamur dan mozaik yang disebabkan virus,dan penyakit layu bakteri, bercak bakteri yang disebabkan oleh bakteri (Rukmana, 2002).
2.3 Penyakit Antraknosa akibat jamur Colletotrichum capsici
2.3.1 Deskripsi jamur Colletotrichum capsici
Klasifikasi jamur Colletotrichum capsici menurut Singh (1998) dalam Rohmawati (2002) adalah : Divisi : Ascomycotina Kelas : Pyrenomycetes Ordo : Sphaeriales Familia : Polystigmataceae Genus : Colletotrichum Spesies : Colletotricum capsici
Gambar 2.2 Cabai yang terkena penyakit antraknosaColletotricum capsici merupakan kelompok jamur yang menghasilkan
misellium yang terdiri dari berbagai septa, intra dan interseluler hifa. Seta menyebar berwarna coklat gelap dan coklat muda. Seta terdiri dari berbagai macam septa. Konidiofor tidak barcabang, konidia pada ujung konidiofor. Konidia dapat berkecambah didalam air selama 4 jam. Konidia lebih cepat berkecambah pada permukaan buah yang hijau atau tua (Semangun, 1994).
Pertumbuhan awal jamur membentuk koloni misellium yang berwarna putih dengan misellium yang timbul dipermukaan, kemudian secara perlahan- lahan berubah menjadi abu-abu kehitaman dan akhirnya berbentuk aservulus ditutupi oleh warna merah muda sampai coklat muda yang sebetulnya adalah massa konidia (Nurhayati, 2011).
Colletotricum capsici dapat menyebabkan penyakit antraknosa pada
tanaman cabai atau bahasa daerahnya penyakit patek. Jamur ini telah diidentifikasikan menjadi jamur pathogen yang menyebabkan penyakit pada tanaman cabai (Rohmawati, 2002).
Jamur ini memiliki siklus hidup yaitu:
1. Pathogen tahan hidup pada biji atau sisa tanaman inang
2. Spora mengandung perekat sehingga dapat menyebar dengan adanya percikan air siraman atau air hujan dan angin.
3. Pertumbuhan cendawan berlangsung cepat pada kondisi kelembaban diatas 95% dangan temperature 32° C, dengan cuaca lembab atau berkabut yang mempercepat jamur menginfeksi tanaman ( Rukmana, 2002).
2.3.2 Gejala Serangan
Jamur Colletotrichum capsici penyebab penyakit antraknosa pada tanaman cabai ini dapat menginfeksi cabang, ranting, dan buah. Infeksi jamur ini terjadi pada tanaman yang menjelang tua. Serangan pada biji dapat menyebabkan kegagalan perkecambahan, bila kecambah yang terinfeksi dapat menyebabkan kecambah menjadi rebah (Semangun, 1994).
Awal gejala serangan jamur Colletotrichum capsici adalah pembentukan bercak coklat kehitaman lalu meluas menjadi busuk lunak. Pada tengah bercak terdapat kumpulan titik keabu- abuan yang terdiri dari kelompok seta dan konidium jamur (Semangun, 1994).
Pada tanaman dewasa yang terkena jamur ini maka menimbulkan gejala mati pucuk, kemudian menjalar pada daun bawah dan batang, menimbulkan busuk kering berwarna coklat kehitam-hitaman. Pada buah yang terinfeksi jamur
Colletotrichum capsici akan menjadi busuk berwarna seperti terkena sinar
matahari yang kemudian menyebabkan busuk basah berwarna hitam. Jamur ini menyebar dengan cepat dengan timbulnya gejala dengan cepat (Rukmana dan Oesman, 2002).
2.3.3 Faktor yang mempengaruhi dan pengendalian jamur
Penyakit antraknosa adalah penyakit yang menyerang tanaman cabai di Indonesia. Penyakit ini ada pada kondisi lembab dan suhu relatif tinggi.
Pertumbuhan jamur dipengaruhi oleh faktor-faktor lingkungan salah satunya pH.Pada pH 5 jamur ini berkembang dengan baik namun pada pH 4 dan 8 pertumbuhan jamur Colletotrichum capsici tidak maksimal. Periode inkubasi antara 5-7 hari setelah inokulasi dengan suhu optimum pertumbuhan jamur yaitu antara 24-30° C dengan relatif tinggi yaitu 80-95 % (Nurhayati, 2011).
Penyebaran jamur dimulai dari jamur merusak buah kemudian masuk kedalam ruang biji dan menginfeksi biji. Jamur mempertahankan diri dalam sisa- sisa tanaman sakit, kemudian konidium disebarkan oleh angin (Semangun, 1994).
Pengendalian penyakit antraknosa yang disebabkan oleh jamur
Colletotrichum capsici pada teknologi modern dilakukan dengan menanam bibit
yang sehat dengan merendam bibit dalam air hangat dalam larutan fungisida sistemik Anvil 5 EC Konsentrasi 0,05-0,1 %, untuk mengurangi infeksi maka tanaman yang terinfeksi dicabut dan bila infeksi pada tahapan pengendalian maka dilakukan menyemprotkan fungisida sistemik Anvil 5 EC, Score 250 EC atau Baycor 300 EC (Rukmana dan Oesman, 2002).
Berbagai penelitian yang telah dilakukan oleh para ahli menyatakan bahwa fungisida dengan bahan kimia dapat merusak lingkungan dan kandungan gizi pada media yang diujikan, oleh karena itu dilakukan penelitian pemberantasan jamur dengan fungisida nabati menggunakan berbagai ekstrak jenis tumbuhan yang memiliki peranan yang sangat potensial sebagai sumber fungisida nabati salah satunya adalah ekstrak daun sirih. Hasil penelitian bahwa cairan perasan daun sirih berpengaruh terhadap pertumbuhan koloni dan pembentukan klamidiospora. (Nurhayati, 2011).
2.4 Penelitian Terdahulu yang Relevan
Penelitian Utami (2000), menjelaskan bahwa daun sirih bisa dimanfaatkan sebagai fungisida untuk jamur Fusarium oxysporum Schlecht dan jamur
Rhizoctonia solani Khun. Jamur Fusarium oxysporum Schlecht adalah jamur
penyebab penyakit layu fusarium pada tanaman tomat, kentang, cabai. Jamur
Rhizoctonia solani Khun penyebab penyakit rebah semai pada tanaman padi,
kacang hijau, dan jeruk. Hasil penelitian menunjukkan bahwa konsentrasi ekstrak daun sirih 25 % dapat menghambat pertumbuhan jamur.
Penelitian Pudjiastuti (1994) menyatakan bahwa sirih bisa dimanfaatkan sebagai fungisida pembasmi jamur Phytopthora palmifora penyakit busuk pangkal batang yang menyerang tanaman lada. Penelitian ini menghasilkan bahwa semakin tinggi konsentrasi ekstrak yang diuji maka makin tinggi pula daya hambat pertumbuhan spora cendawan Phytopthora palmifora. Daya hambat tertinggi ditemukan pada konsentrasi 20% dan menunjukan perbedaan nyata.
Penelitian Amrulloh (2008) tentang pengaruh daun sirih terhadap jamur
Fusarium oxysporum menghasilkan bahwa daun sirih dapat menghambat
pertumbuhan mukroorganisme uji yaitu jamur Fusarium oxysporum diuji dengan uji anova hasil memiliki perbedaan yang nyata, kemudian dilanjutkan dengan uji BNT menunjukan bahwa pemberian konsentrasi daun sirih 20 % sudah dapat menghambat pertumbuhan jamur. Semakin besar konsentrasi maka pertumbuhan jamur menjadi semakin terhambat.
Penelitian Achmad dan suryana (2009), menjelaskan bahwa daun sirih dapat dimanfaatkan sebagai fungisida untuk jamur Rhizoctonia sp karena daun sirih memiliki aktifitas anti fungal. Hasil penelitian menunjukan bahwa konsentrasi ekstrak daun sirih 30 % dapat menghambat pertumbuhan jamur.
Penelitian Nurhayati (2011) tentang pertumbuhan Colletotrichum capsici pada berbagai media yang mengandung ekstrak tanaman menghasilkan bahwa pemberian ekstrak daun sirih memberikan hasil yang terbaik dalam menekan pertumbuhan diameter koloni jamur Colletotrichum capsici dibandingkan dengan media uji lainnya.
Penelitian Reveny (2011) menyatakan bahwa daya antimikroba dan fraksi daun sirih mampu menghambat jamur Candida albicans dengan konsentrasi ekstrak metanol daun sirih 50% walaupun hasil daya antimikroba yang diperoleh lebih rendah dibandingkan dengan pengujian terhadap barbagai bakteri.
Penelitian Kusdarwati dkk. (2013) menyatakan bahwa sirih dapat digunakan sebagai fungisida pembasmi jamur Saprolegnia sp. yaitu jamur yang menyebabkan penyakit saprolegniasis yang menyerang ikan. Penelitian ini menghasilkan bahwa semakin sedikit konsentrasi ekstrak yang diuji maka makin rendah kemampuan hambat terhadap jamur. Daya hambat tertinggi ditemukan pada konsentrasi 50% dan menunjukan perbedaan nyata.