BAB II KAJIAN PUSTAKA, PENGAJUAN HIPOTESIS DAN PENELITIAN YANG RELEVAN A. Kajian Pustaka 1. Hakikat Pembelajaran Bahasa Indonesia - YULI PURWANTO BAB II

BAB II KAJIAN PUSTAKA, PENGAJUAN HIPOTESIS DAN PENELITIAN YANG RELEVAN A. Kajian Pustaka 1. Hakikat Pembelajaran Bahasa Indonesia Belajar bahasa pada hakikatnya adalah belajar komunikasi. Oleh

  karena itu, pembelajaran bahasa diarahkan untuk meningkatkan kemampuan pebelajar dalam berkomunikasi, baik lisan maupun tulis (Depdikbud, 1995).

  Hal ini relevan dengan kurikulum 2004 bahwa kompetensi pebelajar bahasa diarahkan ke dalam empat subaspek, yaitu membaca, berbicara, menyimak, dan mendengarkan.

  Sedangkan tujuan pembelajaran bahasa, menurut Basiran (1999: 15) adalah keterampilan komunikasi dalam berbagai konteks komunikasi.

  Kemampuan yang dikembangkan adalah daya tangkap makna, peran, daya tafsir, menilai, dan mengekspresikan diri dengan berbahasa. Kesemuanya itu dikelompokkan menjadi kebahasaan, pemahaman, dan penggunaan. Sementara itu, dalam kurikulum 2004 untuk SMA dan MA, disebutkan bahwa tujuan pemelajaran Bahasa dan Sastra Indonesia secara umum meliputi: a. siswa menghargai dan membanggakan Bahasa Indonesia sebagai bahasa persatuan

  (nasional) dan bahasa negara, b. siswa memahami Bahasa Indonesia dari segi bentuk, makna, dan fungsi,serta menggunakannya dengan tepat dan kreatif untuk bermacam-macam tujuan, keperluan, dan keadaan, c. siswa memiliki kemampuan menggunakan Bahasa Indonesia untuk meningkatkan kemampuan intelektual, kematangan emosional,dan kematangan sosial, d. siswa memiliki disiplin dalam berpikir dan berbahasa (berbicara dan menulis), e. siswa mampu menikmati dan memanfaatkan karya sastra untuk mengembangkan kepribadian, memperluas wawasan kehidupan, serta meningkatkan pengetahuan dan kemampuan berbahasa, dan f. siswa menghargai dan membanggakan sastra Indonesia sebagai khazanah budaya dan intelektual manusia Indonesia.

  Hal tersebut juga didukung oleh pendapat Nurhadi (2004: 4) yaitu salah satu tujuan mata pelajaran Bahasa Indonesia adalah agar peserta didik memiliki kemampuan untuk berkomunikasi secara efektif dan efisien sesuai dengan etika yang berlaku, baik secara lisan maupun tulis. Sedangkan ruang lingkup mata pelajaran Bahasa Indonesia mencakup komponen kemampuan berbahasa dan kemampuan bersastra yang meliputi aspek mendengarkan, berbicara, membaca, dan menulis.

  Untuk mencapai tujuan pembelajaran bahasa, kita harus mengetahui prinsip-prinsip belajar bahasa yang kemudian diwujudkan dalam kegiatan pembelajarannya. Prinsip-prinsip belajar bahasa dapat disarikan sebagai berikut.

  

“Pebelajar akan belajar bahasa dengan baik bila (1) diperlakukan sebagai

individu yang memiliki kebutuhan dan minat, (2) diberi kesempatan

berapstisipasi dalam penggunaan bahasa secara komunikatif dalam

berbagai macam aktivitas, (3) bila secara sengaja memfokuskan

pembelajarannya kepada bentuk, keterampilan, dan strategi untuk

mendukung proses pemerolehan bahasa, (4) bila disebarkan dalam data

sosiokultural dan pengalaman langsung dengan budaya menjadi bagian dari

bahasa sasaran, (5) jika menyadari akan peran dan hakikat bahasa dan

budaya, (6) jika diberi umpan balik yang tepat menyangkut kemajuan

mereka, dan (7) jika diberi kesempatan untuk mengatur pembelajaran

mereka sendiri (Winataputra, 2001: 60).”

  Standar kurikulum mata pelajaran Bahasa Indonesia merupakan kemampuan minimal peserta didik yang menggambarkan penguasaan pengetahuan, keterampilan berbahasa, dan sikap yang baik terhadap bahasa dan sastra Indonesia. Standar kurikulum ini merupakan dasar bagi peserta didik untuk memahami dan merespon situasi lokal, regional, nasional, dan global. Dengan standar kurikulum mata pelajaran Bahasa Indonesia ini diharapkan: a.

  Peserta didik dapat mengembangkan potensinya sesuai dengan kemampuan, kebutuhan, dan minatnya, serta dapat menumbuhkan penghargaan terhadap hasil karya kesastraan dan hasil pengetahuan bangsa sendiri. Guru dapat memusatkan perhatian kepada pengembangan kompetensi bahasa peserta didik dengan menyediakan berbagai kegiatan berbahasa dan sumber belajar.

  c.

  Guru lebih mandiri dan leluasa dalam menentukan bahan ajar kebahasaan dan kesastraan sesuai dengan kondisi lingkungan sekolah dan kemampuan peserta didiknya.

  d.

  Orang tua dan masyarakat dapat secara aktif terlibat dalam pelaksanaan program kebahasaan daan kesastraan di sekolah.

  e.

  Sekolah dapat menyusun program pendidikan tentang kebahasaan dan kesastraan sesuai dengan keadaan peserta didik dan sumber belajar yang tersedia. (Depdikbud, 1995)

  Jadi dapat disimpulkan bahwa pembelajaran bahasa Indonesia diarahkan untuk meningkatkan kemampuan peserta didik dalam berkomunikasi menggunakan bahasa Indonesia dengan baik dan benar, baik secara lisan maupun tulis, serta menumbuhkan apresiasi terhadap hasil karya kesastraan manusia Indonesia.

2. Metode Pembelajaran Bahasa Indonesia

  Menurut Richard dalam Syamsuddin, (2011: 65), metode pembelajaran dapat diartikan sebagai titik tolak atau sudut pandang kita terhadap proses pembelajaran, yang merujuk pada pandangan tentang terjadinya suatu proses yang sifatnya masih sangat umum, di dalamnya mewadahi, menginsiprasi, menguatkan, dan melatari metode pembelajaran dengan cakupan teoretis tertentu. Terdapat dua jenis metode pembelajaran, yaitu: (1) metode pembelajaran yang berorientasi atau berpusat pada siswa dan (2) metode pembelajaran yang berorientasi atau berpusat pada guru (Johnson, 1992: 17).

  Sementara itu, Kemp dalam Sanjaya (2008: 45), mengemukakan dikerjakan guru dan siswa agar tujuan pembelajaran dapat dicapai secara efektif dan efisien. Selanjutnya, dengan mengutip pemikiran Johnson (1992: 20) menyebutkan bahwa dalam strategi pembelajaran terkandung makna perencanaan. Artinya, bahwa strategi pembelajaran pada dasarnya masih bersifat konseptual tentang keputusan-keputusan yang akan diambil dalam suatu pelaksanaan pembelajaran.

  Strategi pembelajaran sifatnya masih konseptual dan untuk mengimplementasikannya digunakan berbagai metode pembelajaran tertentu.

  Dengan kata lain, strategi pembelajaran merupakan “a plan of operation

  

achieving something ” sedangkan metode adalah “a way in achieving

something ” (Johnson, 1992: 22).

  Jadi, metode pembelajaran dapat diartikan sebagai cara yang digunakan untuk mengimplementasikan rencana yang sudah disusun dalam bentuk kegiatan nyata dan praktis untuk mencapai tujuan pembelajaran. Menurut Nurgiantoro (1994: 240), terdapat beberapa metode pembelajaran bahasa Indonesia yang dapat digunakan untuk mengimplementasikan strategi pembelajaran, diantaranya: (1) ceramah; (2) demonstrasi; (3) diskusi; (4) simulasi; (5) laboratorium; (6) pengalaman lapangan; (7) brainstorming; (8) debat, (9) simposium, dan sebagainya.

  Selanjutnya metode pembelajaran dijabarkan ke dalam teknik dan gaya pembelajaran. Dengan demikian,dapat diartikan sebagai cara yang dilakukan seseorang dalam mengimplementasikan suatu metode secara spesifik. Misalkan, penggunaan metode ceramah pada kelas yang tentunya secara teknis akan berbeda dengan penggunaan metode ceramah pada kelas yang jumlah siswanya terbatas. Demikian pula, dengan penggunaan metode diskusi, perlu digunakan teknik yang berbeda pada kelas yang siswanya tergolong aktif dengan kelas yang siswanya tergolong pasif.

  Dalam hal ini, guru pun dapat berganti-ganti teknik meskipun dalam koridor metode yang sama.

  Jadi dapat disimpulkan bahwa seorang guru harus bisa memilih metode pembelajaran yang tepat karena didalamnya terdapat teknik pembelajaran yang harus disesuaikan dengan materi yang akan dipelajari dan kondisi siswa.

3. Metode Pembelajaran Simulasi a. Pengertian dan Tujuan

  Dalam Kamus Besar Bahasa Indonesia (Kridalaksana, ed., 1996 : 144), simulasi berasal dari kata simulate yang artinya berpura-pura atau berbuat seakan-akan. Menurut Joyce dan Weil dalam Winataputra (2001: 60), sebagai metode mengajar, simulasi dapat diartikan cara penyajian pengalaman belajar dengan menggunakan situasi tiruan untuk memahami tentang konsep, prinsip, atau keterampilan tertentu. Simulasi dapat digunakan sebagai metode mengajar dengan asumsi tidak semua proses pembelajaran dapat dilakukan secara langsung pada objek yang sebenarnya.

  Gladi resik merupakan salah satu contoh simulasi, yakni untuk upacara sebenarnya supaya tidak gagal dalam waktunya nanti.

  Demikian juga untuk mengembangkan pemahaman dan penghayatan terhadap suatu peristiwa, penggunaan simulasi akan sangat bermanfaat.

  Lebih lanjut, Nurgiantoro (1994: 201) mentakan bahwa metode pembelajaran simulasi bertujuan untuk: 1) melatih keterampilan tertentu baik bersifat profesional maupun bagi kehidupan sehari-hari,

  2) memperoleh pemahaman tentang suatu konsep atau prinsip, 3) melatih memecahkan masalah, 4) meningkatkan keaktifan belajar, 5) memberikan motivasi belajar kepada siswa, 6) melatih siswa untuk mengadakan kerjasama dalam situasi kelompok, 7) menumbuhkan daya kreatif siswa, dan 8) melatih siswa untuk mengembangkan sikap toleransi.

b. Kelebihan dan Kelemahan

  Menurut Joyce dan Weil dalam Winataputra (2001: 69), terdapat beberapa kelebihan dengan menggunakan simulasi sebagai metode mengajar, di antaranya adalah: 1) simulasi dapat dijadikan sebagai bekal bagi siswa dalam menghadapi situasi yang sebenarnya kelak, baik dalam kehidupan keluarga, masyarakat, maupun menghadapi dunia kerja.

  2) simulasi dapat mengembangkan kreativitas siswa, karena melalui simulasi siswa diberi kesempatan untuk memainkan peranan sesuai dengan topik yang disimulasikan.

  3) simulasi dapat memupuk keberanian dan percaya diri siswa. 4) memperkaya pengetahuan, sikap, dan keterampilan yang diperlukan dalam menghadapi berbagai situasi sosial yang problematis. 5) simulasi dapat meningkatkan gairah siswa dalam proses permbelajaran.

  Di samping memiliki kelebihan menurut Joyce dan Weil dalam Winataputra (2001: 71), simulasi juga mempunyai kelemahan, di antaranya: 1)

  Pengalaman yang diperoleh melalui simulasi tidak selalu tepat dan sesuai dengan kenyataan di lapangan. 2)

  Pengelolaan yang kurang baik, sering simulasi dijadikan sebagai alat hiburan, sehingga tujuan pembelajaran menjadi terabaikan. 3)

  Faktor psikologis seperti rasa malu dan takut sering memengaruhi siswa dalam melakukan simulasi.

c. Jenis

  Dalam pembelajaran metode simulasi terdiri dari beberapa jenis, di antaranya (Subiyakto, 1998: 68): 1) sosiodrama. Sosiodrama adalah metode pembelajaran bermain peran untuk memecahkan masalah-masalah yang berkaitan dengan fenomena sosial, permasalahan yang menyangkut hubungan antara manusia seperti masalah kenakalan remaja, narkoba, gambaran keluarga yang otoriter, dan lain sebagainya. Sosiodrama digunakan untuk memberikan pemahaman dan penghayatan akan masalah- masalah sosial serta mengembangkan kemampuan siswa untuk memecahkannya. 2) psikodrama. Psikodrama adalah metode pembelajaran dengan bermain peran yang bertitik tolak dari permasalahan-permasalahan psikologis. Psikodrama biasanya digunakan untuk terapi, yaitu agar siswa memperoleh pemahaman yang lebih baik tentang dirinya, menemukan konsep diri, menyatakan reaksi terhadap tekanan- tekanan yang dialaminya. 3) role playing. Role playing atau bermain peran adalah metodepembelajaran sebagai bagian dari simulasi yang diarahkan untuk mengkreasi peristiwa sejarah, mengkreasi peristiwa-peristiwa aktual, atau kejadian-kejadian yang mungkin muncul pada masa mendatang. Topik yang dapat diangkat untuk role playing misalnya memainkan peran sebagai juru kampanye suatu partai atau gambaran keadaan yang mungkin muncul pada abad teknologi informasi. 4) peer teaching. Peer teaching merupakan latihan mengajar yang dilakukan oleh siswa kepada teman-teman calon guru. Selain itu peer teaching merupakan kegiatan pembelajaran yang dilakukan seorang siswa kepada siswa lainnya dan salah satu siswa itu lebih memahami materi pembelajaran. 5) simulasi game. Simulasi game merupakan bermain peranan, para siswa berkompetisi untuk mencapai tujuan tertentu melalui permainan dengan mematuhi peraturan yang ditentukan.

d. Langkah-langkah Simulasi

  Menurut Joyce dalam Sukmadewi (2003: 27), dalam pelaksanaan pembelajaran di kelas dengan menggunakan metode simulasi seorang guru harus mempertimbangkan langkah-langkah sebagai berikut:.

1. Persiapan Simulasi

  a)

  Menetapkan topik atau masalah serta tujuan yang hendak dicapai oleh simulasi.

  b) Guru memberikan gambaran masalah dalam situasi yang akan disimulasikan.

  c)

  Guru menetapkan pemain yang akan terlibat dalam simulasi, peranan yang harus dimainkan oleh para pemeran, serta waktu yang disediakan.

  d) Guru memberikan kesempatan kepada siswa untuk bertanya khususnya pada siswa yang terlibat dalam pemeranan simulasi.

2. Pelaksanaan Simulasi a) Simulasi mulai dimainkan oleh kelompok pemeran.

  b) Para siswa lainnya mengikuti dengan penuh perhatian.

  c) Guru hendaknya memberikan bantuan kepada pemeran yang mendapat kesulitan.

  d)

  Simulasi hendaknya dihentikan pada saat puncak. Hal ini dimaksudkan untuk mendorong siswa berpikir dalam menyelesaikan masalah yang sedang disimulasikan.

3. Penutup

  a)

  Melakukan diskusi baik tentang jalannya simulasi maupun materi cerita yang disimulasikan.Guru harus mendorong agar siswa dapat memberikan kritik dan tanggapan terhadap proses pelaksanaan simulasi.

b) Merumuskan kesimpulan.

4. Pidato a.

  Pengertian Menurut Kamus Besar Bahasa Indonesia (Kridalaksana, ed., 1996 : 123), pidato adalah pengungkapan pikiran dalam bentuk kata-kata yang ditunjukan kepada orang banyak. Sedangkan menurut Hartika (2005: 43), pidato adalah sebuah kegiatan berbicara di depan umum atau berorasi untuk menyatakan pendapatnya, atau memberikan gambaran tentang suatu hal. Pidato biasanya dibawakan oleh seorang yang memberikan pernyataan tentang suatu hal atau peristiwa yang penting dan patut diperbincangkan. Pidato juga merupakan salah satu teori dari pelajaran bahasa indonesia. Pidato yang baik dapat memberikan suatu kesan positif bagi orang-orang yang mendengar pidato tersebut.

  b.

  Jenis Pidato Menurut Mulyono (2011: 63), pidato seseorang dapat diklasifikasikan berdasrkan tiga hal yaitu tema atau pokok isinya, cara atau teknik penyampaian kepada audien, dan tujuan penyampaiannya.

1. Jenis Pidato Berdasrkan Tema

  Berdasarkan temanya, pidato terdiri atas beberapa jenis yang jumlahnya relatif tidak terbatas. Beberapa jenis yang sering kita dengar, diantaranya adalah sebagai berikut:

  a) Pidato Wisuda, pidato yang biasanya disampaikan oleh pejabat pada suatu lembaga pendidikan dalam rangka pelantikan sekelompok lulusan.

  b) Pidato Pelantikan, pidato biasanya diucapkan oleh pimpinan lembaga dan perwakilan pejabat yang dilantik.

  Pidato Peringatan, pidato disampaikan dalam upacara memperingati suatu kejadian penting atau kejadian bersejarah.

  d) Pidato Kampanye, pidato yang isinya mempromosikan sebuah lembaga atau seseorang untuk menduduki suatu jabatan.

  e) Pidato Peresmian, pidato yang lazimnya disampaikan oleh pimpinan suatu lembaga dalam rangka meresmikan sesuatu.

  f) Pidato Ilmiah, pidato yang berisi informasi ilmu pengetahuan misalanya hasil riset dan biasanya disampaikan dalam upacara diesnatalis sebuah perguruan tinggi.

  (Mulyono, 2011: 64) 2. Jenis Pidato Berdasarkan Cara atau Teknik Penyampaian

  Menurut Keraf (1983) dalam Mulyono (2011: 65)Berdasarkan cara atau teknik penyampainya, pidato dapat dibedakan menjadi tiga jeni yaitu:

  a) Pidato Improvisasi

  Pidato improvisasi adalah pidato yang dilakukan serta merta, tanpa persiapan terlebih dahulu. Pidato ini sangat bergantung pada keterampilan yang berpidato dalam mengembangkan ide-ide secara mendadak. Kebiasaan atau keseringan seseorang dalam berpidato akan sangat berpengaruh terhadap kelayakan bahkan tehadap kebagusan pidato jenis ini. b) Pidato Pengembangan Struktur Isi

  Pidato dengan teknik ini merupakan pidato yang pilihan kata- kata, susunan kalimat, serta pengembangan paragraf-paragrafnya sepenuhnya didasari catatan kerangka isi pidato. Sebutan struktur isi pidato sama dengan kerangka isi, ikhtisar isi, atau organisasi isi piadato. Maksudnya adalah hubungan yang sistematis antara

  c) Pidato Baca Naskah

  Pidato jenis ini merupakan pidato yang disampaikan melalui teknik membaca naskah yang sudah dipersiapkan secara lengkap terlebih dahulu. Artinya, ucapan-ucapan pembuka, isi, ilustrasi, serta berbagai dimensi retorikanya termasuk bagian pentup sudah ditulis dalam naskah.

3. Jenis Pidato Berdasarkan Tujuannya

  Menurut Mulyono (2011: 67), selain berdasarkan tema dan cara penyampainya pidato juga dapat dipilih jenisnya berdasarkan tujuan pidato. Jenis pidato tersebut adalah sebagai berikut:

  a) Pidato Instruktif

  Pidato jenis ini bertujuan untuk memberitahukan sesuatu kepada pihak pendengar sehingga pendengar mengetahui serta memahami apa yang dipidatokan. b) Pidato Motivatif

  Pidato motivatif merupakan pidato yang bertujuan mendorong atau memotivasi pendengar agar bergairah, berkeinginan, berniat, atau berkomitmen untuk berbuat, bertindak, atau melakukan sesuatu.

  c) Pideato Argumentatif argummentasi-argumentasi untuk menanamkan keyakinan pendengar baik secara mental maupun secara intelektual.

  d) Pidato Persuasif

  Pidato persuasif adalah pidato yang berisi bujukan atau himbauan secara halus agar seseorang atau kelompok orang mengiakan terhadap apa yang disarankan.

  e) Pidato Rekreatif

  Pidato rekeratif adal pidato yang bertujuan menjadikan hadirin ceria, senang, atau terlarut dalam kegembiraan. Pilihan kata, ungkapan, serta ilustrasi humoristic merupakan alat utama dalam jenis pidato ini.

  f) Pidato Laporan

  Pidato laporan adalah pidato yang bertujuan melaporka usaha atau kegiatan kepada pihak tertentu dan kepada hadirin. c.

  Langkah-langkah Pidato 1.

  Persiapan Dalam mempersiapkan sebuah piadato, kita hendaknya memperhatikan empat hal pokok, yakni siapa pembicara, dengan bahasa apa, kepada siapa dan kapan. (who speaks, what language, to whom, and when)

  Pelatihan Pidato Pelatihan berpidato bias dilakuakan dengan dua cara yaitu hening mauoun nyaring. Paling sedikit langkah pelaatihan ini membina atau memupuk rasa percaya diri pada saat berpidato.

  3. Pelaksanaan Pidato Pada dasarnya pelaksanaan pidato adalah merealisasikan apa yang susdah dipersiapkan secara integral. Dalam tahapan ini berpidato juga merupakan strategi komunikasi dan pelaksanaan retorika dalam satu kesatuan pengucaoan pidat,

  4. Evaluasi Piadato Untuk mengetahui keberhasilan, sebuah pidato juga memerlukan evaluasi dengan mengajukan beberapa pertanyaan sebagai berikut: a)

  Sesuaikah isi piadato dengan tujuan yang telah direncanakan?

  b) Bagaiman respon pendengar pada saat anda berpidato?

  c) Adakah informasi penting yang terlewatkan?

5. Keterampilan Berbicara a.

  Hakikat Berbicara Menurut Tarigan dalam Nurgiantoro (1994: 189), manusia secara kualitatif sangat berbeda dengan hewan atau binatang karena manusia mempunyai kemampuan untuk menggunakan dan menginterprestasi lambang-lambang. Bahasa merupakan satu set tidak hanya memungkinkan mengkomunikasikan antar individu tetapi juga memperkenankan orang untuk berbicara pada dirinya sendiri (thought). Berbicara merupakan bahasa pokok (oral) merupakan suatu keahlian yang komplek yang melibatkan aspek-aspek atau komponen kebahasaan, fisik, sosial dan psikologi. Komponen kebahasaan mencakup lafal, struktur, kosa kata, kefasihan dan pemahaman. Aspek fisik berhubungan dengan lingkungan fisik, aspek sosial sangat erat dengan interaksi sosial dimana bahasa digunakan sebagia alat komunikasi. Aspek psikologi melibatkan aspek kognitif dan aspek afektif dan juga aspek motivasi.

  Seperti telah kita ketahui bahwa dalam kegiatan menyimak, aktivitas kita awali dengan mendengarkan dan diakhiri dengan memahami atau menanggapi apa yang kita simak. Kegiatan berbicara tidak demikian, tetapi kegiatan berbicara diawali dari suatu pesan yang harus dimiliki pembicara yang akan disampaikan kepada penerima pesan agar penerima pesan dapat menerima atau memahami isi pesan itu. Manusia sebagai makhluk sosial memerlukan hubungan dan kerja sama dengan manusia lain. Hubungan dengan manusia lainnya itu antara lain berupa menyampaikan isi pikiran dan persaan, menyampaikan suatu informasi, ide atau gagasan serta pendapat atau pikiran dengan suatu tujuan.

  Dalam menyampaikan pesan seseorang menggunakan suatu media atau alat yaitu bahasa, dalam hal ini bahasa lisan. Seorang yang akan menyampaikan pesan tersebut mengharapkan agar penerima pesan dapat memahaminya. Pemberi pesan disebut juga pembicara dan penerima pesan disebut penyimak atau pendengar. Peristiwa proses penyampaian pesan secara lisan seperti itu disebut berbicara Dengan rumusan lain dapat dikemukakan bahwa berbicara adalah keterampilan menyampaikan pesan melalui bahasa lisan. (Ramelan dalam http//www.konsepbicara.com/search.)

  Dalam Kamus Besar Bahasa Indonesia (Kridalaksana, ed., 1996: 144) tertulis bahwa berbicara adalah “berkata; bercakap; berbahasa atau melahirkan pendapat (dengan perkataan, tulisan, dsb.) atau berunding“.

  Selain batasan di atas, Tarigan dalam Nurgiantoro (1994: 200) meyatakan bahwa kemampuan berbicara memberikan batasan bahwa “Berbicara adalah kemampuan mengucapkan bunyi-bunyi artikulasi atas kata-kata untuk mengekspresikan, menyatakan, serta menyampaikan pikiran, gagasan dan perasaan”.

  Nunan (1991: 39) juga bependapat bahwa berbicara adalah salah satu aspek bahasa yang penting dalam pembelajaran bahasa, kesuksesan diukur dari kemampuannya dalam berkomunikasi. Seseorang tidak dikatakan menguasai bahasa Inggris apabila dia tidak dapat berkomunikasi secara lancar. Kemampuan siswa juga diukur dari bagaimana dia dapat menggunakan bahasa baik secara lisan maupun tulis

  Jadi, pada hakekatnya berbicara merupakan ungkapan pikiran dan perasaan seseorang dalam bentuk bunyi-bunyi bahasa. Kemampuan berbicara adalah kemampuan mengucapkan bunyi-bunyi artikulasi atau mengucapkan kata-kata untuk mengekspresikan, menyatakan, menyampaikan pikiran, gagasan, dan perasaan. Pendengar menerima informasi melalui rangkaian nada, tekanan, dan penempatan persendian.

  Jika komunikasi berlangsung secara tatap muka, berbicara ini dapat dibantu dengan mimik dan pantomimik pembicara.

  Berbicara merupakan wujud aktivitas lisan dalam berkomunikasi. Keterampilan berbicara akan mendukung efektivitas komunikasi yang dilakukan. Oleh sebab itu, keterampilan berbicara dalam pembelajaran bahasa Indonesia menempati posisi yang sangat signifikan di samping keterampilan berbahasa yang lain.

  Ramelan (1992: 13) mengatakan bahwa semua manusia pada hakikatnya dimanapun mereka berada pasti berbicara meskipun mereka tidak mempunyai kemampuan menulis. Bayi menguasai bahasa pertama dalam bentuk lisan bukan dalam bentuk tulisan. Hal ini membuktikan bahwa berbicara adalah kemampuan dasar yang pertama diperoleh untuk menggungkapkan sebuah atau beberapa kosakata yang baru diperolehnya.

  Sedangkan menurut Ur (1996: 120), berbicara adalah keterampilan untuk mengungkapkan atau mengucapkan artikulasi suara dengan tepat untuk mengekspresikan, menyatakan dan menyampaikan sebuah ide, pemikiran dan perasaan sesuai dengan kaidah tata bahasa yang benar. Jadi, berbicara adalah alat untuk mengkomunikasikan ide yang disusun serta dikembangkan sesuai dengan kosakata, pengucapan dan tata bahasa yang benar yang disesuaikan dengan kebutuhan pendengar.

  Dari beberapa teori-teori diatas dapat disimpulkan bahwa berbicara adalah kegiatan yang besifat aktif dalam menyampaikan pesan berdasarkan pengucapan, tata bahasa, dan kosakata yang tepat untuk berkomunikasi sebagai fungsi sosial yaitu transaksional dan interaksional secara berterima dalam masyarakat.

  b.

  Faktor yang Mempengaruhi Keterampialan Berbicara Pearson dan Johnson (1972 : 54) membedakan apa yang mereka sebut sebagai faktor dalam dan faktor luar. Faktor dalam mencakup hal- hal dimana pembicara menyampaikan pesan yang dapat dimengerti atau dipahami oleh orang lain. Sedangkan faktor luar adalah faktor yang berasal dari luar pembicara yaitu lawan bicara atau pendengar, tempat, respon atau tanggapan, waktu, situasi dan kondisi pada saat pembicaraan berlangsung. Penyampaian pesan yang harus dipahami merupakan jembatan antara suatu informasi yang diketahui maupun informasi yang belum diketahui atau dipahami di dalam kerangka pengetahuan yang bertujuan untuk memastikan bahwa informasi tersebut benar-benar dapat diterima dan dipahami oleh lawan bicara. Beberapa faktor yang a)

  Input dan aktifitas Hal pokok yang harus dipertimbangkan adalah kompleksitas teks.

  Hal tersebut akan berpengaruh pada faktor struktur tata bahasa. Faktor aktifitas akan berhubungan dengan aktifitas berbicara yang mencakup bahan atau topik pembicaraan sehingga masukan atau input akan sangat penting peranannya dalam memperlancar aktifitas berbicara.

  b) Pembicara

  Latar belakang pembicara mencakup percaya diri (self assure), motivasi, kemampuan penyampaian pesan, pengetahuan budaya dan pengetahuan kebahasaan. David Nunan (1989: 65 ) mengajukan beberapa hal yang dianggap sangat berhubungan dengan faktor tersebut antara lain: sejauh mana tingkat kepercayaan diri pembicara menyampaikan pesan kepada orang lain. Bagaimana motivasi mereka dalam berbicara? Bagaimana pembicara menyerap secara familiar terhadap topik pembicaraan? Apakah pengalaman pembicara memberikan manfaat atau strategi keahlian dalam penyampaian pesan? Kemampuan bahasa; apakah pembicara mampu mengukur kemampuan berbicaranya? Apakah penyesuaian diri pembicara terhadap lawan bicara sudah memadai?

c) Tujuan pengajaran berbicara.

  Tujuan pengajaran berbicara bagi para siswa adalah untuk melatih kemampuan berbicara mereka yang meliputi praktik percakapan yang hari, dialog atau tanya jawab sesuatu masalah, menceritakan kembali peristiwa-peristiwa sosial, isu politik, budaya pada lingkup nasional maupun internasional. Menyatakan persetujuan atau ketidaksetujuan tentang suatu hal, berdiskusi atau debat. Dengan cara tersebut pengajaran berbicara secara terpadu terpusat pada siswa-siswa. Para siswa dituntut untuk selalu aktif untuk berlatih berbicara. Mereka dilatih untuk berani mengungkapkan pendapat atau perasaan suka atau tidak suka kepada teman-temannya. Sehingga atmosfir di dalam kelas dimenej sebaik mungkin sehingga situasi kelas benar-benar kondusif untuk belajar dan berlatih berbicara atau mengkomunikasikan berbagai hal. Meskipun telah diciptakan situasi sedemikian rupa kadang kadang siswa masih merasakan adanya hambatan dalam menyampaikan gagasan atau ide, mereka sering merasa ragu-ragu, malu atau takut. Untuk mengeliminir perasaan tersebut guru berperan sangat penting yaitu dengan cara membantu siswa-siswa menyemangati atau memberikan motivasi dengan mengatakan apa pun gagasan atau ide yang akan disampaikan tidak ada hubungannya dengan benar atau salah sehingga setiap siswa bisa menolak atau tidak menjawab tanpa harus memberikan alasan atau keterangan. Hal ini masih menandakan adanya tingkat kategori siswa merasa malu. Untuk guru harus mampu memilih aktivitas yang bisa dirasakan para siswa merasa nyaman.

  Peran guru Penciptaan situasi dan aktivitas seperti tersebut di atas akan berlangsung baik dengan sendirinya di bawah kendali guru.

  Kemudian guru memutuskan apakah akan terlibat dalam aktivitas berbicara tersebut secara sejajar sebagai anggota atau hanya akan berada di belakang sebagai pengamat atau membantu kelancaran kegiatan berbicara siswa. Untuk cara pertama jarak psikologis antara siswa dengan guru dapat dikurangi, sedangkan untuk cara yang kedua guru tidak akan bertindak independen dalam memberikan nasihat atau membantu kelompok yang lain. Bagaimanapun metode yang dipilih, guru harus berhati-hati dalam memberikan koreksi kesalahan berbicara para siswanya, hal ini akan memberikan gambaran mereka pada keraguan dan merasa tidak aman dalam penyampaian pesan ketika mereka benar-benar praktik berkomunikasi. Nampaknya akan lebih baik apabila guru berperan sebagai pengamat dan hanya memberikan bantuan demi kelancaran aktivitas berbicara siswa ketika terjadi kebuntuan pembicaraan dengan cara memberikan semangat sehingga mereka mampu mengatasi kesulitan-kesulitan dengan menemukan alternatif lain dalam mengekpresikan hal yang akan dikatakan.

  e) Masalah utama dalam pengukuran ketrampilan berbicara

  Pada bahasan awal telah dijelaskan bahwa berbicara merupakan suatu ketrampilan yang kompleks yang memerlukan sejumlah perbedaan yang krusial sehingga sering dihadapkan dengan masalah yang serius dalam pengukuran ketrampilan berbicara sebagaimana dinyatakan oleh Harris (1969 : 87) disebabkan oleh hal-hal sebagai berikut; (1) minimnya kriteria yang reliabel dalam pengukuran ketrampilan berbicara, (2) tidak adanya kesepakatan umum tentang keakuratan pelafalan, (3) tipe pengukuran tes ketrampilan berbicara yang subyektif, (4) adanya ketidakkonsistenan dalam pemberian skor.

  f) Bagaimana mengukur ketrampilan berbicara siswa

  Ketrampilan berbicara siswa diukur melalui tes. Ada tiga cara dalam pengukuran tersebut yaitu dengan role play (bermain peran) tes, retelling (pengulangan cerita) dan interview (wawancara).

6. Kemampuan Mengungkapkan Gagasan

  Keterampilan berbicara merupakan kemampuan mengungkapkan gagasanserta ide yang dalam pikiran disertai ekspresi berbicara dan penyampaian gagasanyang baik. Ketrampilan berbicara san gat erat

  

hubungannya dengan k ajar mengajar yang

  siswa arena dalam proses kegiatan bel terjadi,

  siswa dituntut untuk berpendapat, menyampaikan pikiran dan gagasan dalam pikirannya. Ketrampilan berbicara sendiri akan tumbuh dan berkembang dengan baik karena dipengaruhi oleh berbagai faktor diantaranya yaitu kreativitas verbal untuk mengungkapkan ide.

  Lebih lanjut, Tarigan dalam Nurgiantoro (1994: 200) menyatakan bahwa berbicara adalah kemampuan mengucapkan bunyi-bunyi artikulasi atas kata-kata untuk mengekspresikan, menyatakan, serta menyampaikan pikiran, gagasan, dan perasaan. Pada penelitian ini kemampuan mengungkapkan gagasan adalah kemampuan siswa untu memunculkan ide untuk menyampaikan pikiranya dalam bentuk keterampilan berbicara.

  Jadi kemampuan mengungkapkan gagasan sangat erat dengan keterampialan berbicara. Seseorang yang mampu mengungkapkan gagasan secara cepat dan tepat maka orang tersebut akan mampu berkomunikasi orang lain secara bermakna. Dengan kata lain, orang tersebut mempunyai keterampialan bahasa yang baik.

B. Pengajuan Hipotesis

  Hipotesis dalam penelitian ini berdasarkan kajian teori diatas adalah sebagai berikut: “Metode pembelajaran simulasi pidato efektif untuk meningkatkan kemampuan mengungkapkan gagasan dalam konteks berbicara siswa kelas X SMA Negeri 1 Kutasari dalam proses pembelajaran bahasa Indonesia.”

C. Penelitian Yang Relevan

  Penelitian tentang simulasi pernah dilakukan oleh Sukmadewi yaitu seorang mahasiswa FKIP Universitas Negeri Singaraja yang dilakukan pada tahun 2003 dengan judul Penerapan Model Pembelajaran Permainan

  Simulasi pada Pokok Bahasan Aritmatika Sosial sebagai Upaya Meningkatkan Prestasi Belajar dan Aktivitas Siswa Kelas IC SLTPN 1 Rendang . Penelitian tersebut menyimpulkan bahwa metode permainan

  simulasi sangat cocok dalam pembelajaran yang berhubungan dengan ilmu sosial karena dengan menggunakan metode ini siswa melakukan aktivitas pembelajaran dikelas dengan menggunakan situasi nyata seperti yang terjadi di lingkungan masyarakat.

  Penerapan metode pembelajaran simulasi juga telah diteliti oleh Venty Yuniar Nilasari dengan judul Penerapan Metode Simulasi pada

  Konsep-Konsep Abstrak untuk Meningkatkan Aktivitas dan Hasil Belajar

Biologi di Kelas XI IPA SMA Negeri 10 Malang . Pada peneletian tersebut

  memperoleh hasil peneltian yaitu peningkatan persentase aktivitas belajar siswa dari siklus 1 ke siklus 2 dan dari siklus 2 ke siklus 3 meliputi aspek kerja ilmiah (30.82% menjadi 45.42% dan menjadi 64.43%), pemahaman konsep (43.12% menjadi 63.75% dan menjadi 81.66%), motivasi belajar (54.48% ) menjadi 77.5% dan menjadi 87.41%) dan kerjasama siswa (51.67% menjadi 78.32% dan menjadi 82.22%); 2) metode simulasi dapat meningkatkan hasil belajar siswa, yang ditunjukkan dengan peningkatan rata-rata skor tes siswa pada siklus 1 dari 48.83 menjadi 82.64 dan pada siklus 2 dari 7.28 menjadi 78.55 serta pada siklus 3 dari 71.94 menjadi 76.65.

  Penelitian lain mengenai simulasi dalam ruang lingkup penelitian bahasa adalah dilakukan oleh Jariyah seorang mahasiswi UNS pada tahun 2010 dengan judul penelitian”Upaya Meningkatkan Kemampuan Membaca

  

Permulaan Dalam Pembelajaran Bahasa Indonesia Melalui Simulasi

Merangkai Kartu Huruf Pada Siswa Tunagrahita Sedang Kelas III SDLB

Negeri Batang Tahun Pelajaran 2010/2011” . Hasil penelitian tersebut

  menyebutkan bahwa simulasi merangkai kartu huruf dapat meningkatkan kemampuan membaca permulaan dalam pembelajaran Bahasa Indonesia pada siswa tunagrahita sedang kelas III SDLB Negeri Batang tahun pelajaran 2010/2011.

  Berdasarkan hasil penelusuran yang peneliti temukan, belum ada yang meneliti model simulasi kaitannya dengan peningkatan mengungkapkan gagasan dalam konteks berbicara. Dengan demikian, penelitian yang peneliti lakukan berbeda dengan penelitian-penelitian sebelumnya.