BAB II KAJIAN PUSTAKA, KONSEP DAN LANDASAN TEORI 2.1 Kajian Pustaka (Penelitian Terdahulu) - Reduplikasi Dalam Bahasa Angkola Mandailing

BAB II KAJIAN PUSTAKA, KONSEP DAN LANDASAN TEORI

2.1 Kajian Pustaka (Penelitian Terdahulu)

  Untuk mendukung analisis data dan memperoleh hasil penelitian yang maksimal maka perlu ditinjau beberapa penelitian terdahulu sebagai kajian pustaka penulis. Adapun penelitian yang pernah dilakukan terhadap bahasa Angkola Mandailing adalah sebagai berikut.

  Nasution (2001) melakukan penelitian tentang ”Analisis Semantik Bahasa Mandailing”. Penelitian ini membicarakan gambaran deskriptif analitik semantik bahasa Mandailing, khususnya semantik leksikal dan semantik kalimat menurut teori dan konsep semantik. Hasil penelitian ini menggunakan pendekatan semantik struktural yang mendeskripsikan bahasa dengan kerangka teori analisis makna, yang mencakup (1) leksem, (2) paduan leksem, (3) idiom, (4) ciri-ciri makna leksikal, (5) hubungan makna leksikal, (6) ciri-ciri makna kalimat, (7) hubungan makna kalimat, (8) konteks linguistik yang mempengaruhi ciri dan hubungan makna, khususnya pada tingkat frasa, klausa, dan kalimat.

  Lubis (2002) melalukan penelitian tentang ”Kalimat Tanya dalam Bahasa Mandiling: Analisis Sintaksis”. Penelitian ini mengkaji ciri dan struktur sintaksis kalimat tanya bahasa Mandailing. Tujuan kajian ini adalah mendeskripsikan jenis kalimat tanya yang digunakan masyarakat Mandailing ketika berkomunikasi dan menemukan struktur kalimat tanya yang digunakan dengan melihat fungsi sintaksis dari unsur-unsur yang membentuk kalimat tanya, kalimat tanya berdasarkan fokus kalimat dan kata tanya, kalimat tanya tanpa kata tanya, kalimat tanya alternatif, kalimat tanya negatif, dan kalimat tanya embelan. Struktur kalimat tanya ditentukan oleh unsur pembentukan kalimat tanya itu sendiri. dalam Bahasa Angkola”. Penelitian ini mengenai pendeskripsian tindak bahasa permohonan bahasa Angkola, dengan cara melakukan tindak bahasa permohonan dan kesantunan yang direfleksikan dalam tindak bahasa permohonan, dengan teori pragmatik dan teori kesantunan. Hasil penelitian menunjukkan bahwa cara melakukan tindak bahasa permohonan bahasa Angkola terdiri atas (1) tindak bahasa permohonan langsung, (2) tindak bahasa permohonan tidak langsung, (3) tindak bahasa permohonan literal, (4) tindak bahasa permohonan tidak literal, (5) tindak bahasa permohonan langsung literal, (6) tindak bahasa permohonan tidak langsung literal, (7) tindak bahasa permohonan langsung tidak literal, dan (8) tindak bahasa permohonan tidak langsung tidak literal.

  Irwan (2007) menulis karya ilmiah ”Proses Afiksasi Bahasa Angkola Mandailing”. Karya ilmiah ini menganalisis afiksasi yang ada dalam bahasa Angkola Mandailing, dengan pendeskripsian bentuk, distribusi, dan nosi. Pada hasil penelitian tersebut disimpulkan bahwa bahasa Angkola Mandailing ditemukan proses afiksasi.

  Adapun proses afiksasi yang terdapat dalam bahasa Angkola Mandailing adalah:prefiks (awalan) terdiri dari sebelas buah, yaitu: /mar-/, /ma-/, /maN-/, /tar-/, /pa-/, /di-/, /paN-/, /par-/, /sa-/, /saN-/, /um-/; infiks (sisipan) terdiri dari dua buah, yaitu: /-in-/, dan /-um-/; sufiks (akhiran) terdiri dari empat buah, yaitu: /-i/, /-an/, /-on/, /-hon/; konfiks terdiri dari empat buah, yaitu: /mar-hon/, /ha-an/, /paN-an/, /mar-an/.

  Selanjutnya, Irwan (2009) juga menulis karya ilmiah tentang ”Kata Majemuk Bahasa Batak Angkola Mandailing”. Tulisan tersebut mengulas bagaimana dua buah kata atau lebih digabungkan sehingga membentuk suatu arti tersendiri. Dalam tulisan tersebut dianalisis ciri-ciri, tipe, bentuk, dan makna kata majemuk dalam bahasa Batak Angkola Mandailing. Hasil penelitian tersebut adalah: (1) Ciri kata majemuk bahasa Batak Angkola Mandailing pada umumnya kedua unsurnya adalah morfem bebas.

  Unsur kata majemuk mempunyai hubungan dan susunan yang mantap dan kedua unsurnya tidak dapat dibalik, misalnya bagas godang menjadi godang bagas. (2) Pada umumnya unsur-unsur kata majemuk jenis kata nominal merupakan kata dasar, misalnya solop kulit, ‘sandal kulit’, jambu horsik ‘jambu kelutuk.’ (3) Sebagian kata majemuk berbentuk kata berimbuhan, misalnya manuk martahuak ‘ayam berkokok.’ (4) Sebagian besar kata majemuk bahasa Batak Angkola Mandailing terdiri atas dua unsur (kata), sebagian terdiri dari tiga unsur (kata). Kata majemuk yang terdiri dari tiga unsur kata dalam bahasa ini diserap dari bahasa Indonesia, misalnya dua puluh

  

tolu ‘dua puluh tiga’, naek kareta angin ‘naik sepeda dayung.’ (5) Kata majemuk

  bahasa Batak Angkola Mandailing juga bisa dijadikan kata ulang, melalui perulangan unsur pertamanya, misalnya guru sikola menjadi guru-guru sikola, mangan modom ‘makan tidur’ menjadi mangan-mangan modom ‘makan-makan tidur.’ Kemudian tipe kata majemuk bahasa Batak Angkola Mandailing ditentukan menurut jenis kata atau kelas kata. Menurut kelas katanya, kata majemuk bahasa Batak Angkola Mandailing ini tergolong ke dalam nomina, verba, adjektiva, dan numeralia. Juga ditentukan tipe konstruksinya; konstruksi endosentris dan eksosentris. Kata majemuk konstruksi endosentris, misalnya amak pandan ‘tikar pandan’, tarup rumbia ‘atap rumbia’, kata

  amak ‘tikar’, tarup ‘atap’ merupakan unsur inti.

  Kemudian, kata majemuk bahasa Batak Angkola Mandailing dibedakan atas tiga macam. Pertama, kata majemuk dwanda, yaitu penggabungan dengan derajat yang sama. Dengan kata lain, kedua-duanya merupakan sama derajatnya. Contoh:

  

naposo bulung ‘muda mudi’, menek godang ‘kecil besar.’ Kedua, kata majemuk

  tatpurasa, yaitu kata majemuk yang bagian yang kedua memberi penjelasan pada

  

Ketiga, kata majemuk kharmadaraya, yaitu bagian yang kedua menjelaskan bagian

  yang pertama, tetapi bagian yang menjelaskan itu terdiri dari kata sifat. Contoh: bosi

  barani ‘magnet’ dan aek milas ‘air panas.’

  Kata majemuk bahasa Batak Angkola Mandailing mempunyai makna sebagai berikut. Pertama, makna struktural ditunjukkan oleh hubungan semantik di antara unsur-unsurnya diterangkan dan menerangkan (DM). Misalnya, tukang topa ‘tukang tempa’ yang artinya orang yang ahli dalam menempa besi, hudon bosi ‘periuk besi’ yang mempunyai arti periuk yang terbuat dari besi. Kedua, makna yang didukung oleh kata majemuk yang berjenis nomina dapat dibedakan sebagai berikut.

  1. Menyatakan sesuatu yang ada hubungannya dengan kekeluargaan/persahabatan,

  2. Menyatakan benda yang berhubungan dengan makanan dan tumbuh-tumbuhan,

  3. Menyatakan benda yang berhubungan dengan keperluan rumah tangga,

  4. Menyatakan suatu benda yang berhubungan dengan manusia,

  5. Menyatakan suatu benda yang berhubungan dengan nama binatang, 6. Menyatakan suatu benda yang berhubungan dengan alam sekitar/lingkungan.

  Ketiga, makna idiomatik (kiasan) kata majemuk dengan makna yang tidak

  sebenarnya. Misalnya, bagas godang, pengertian yang sebenarnya adalah rumah

  

besar, makna idiomatiknya adalah rumah adat, dan ginjang roha pengertian yang

sebenarnya adalah panjang hati, makna idiomatiknya yaitu orang yang sombong.

  Kemudian, Irwan (2009) menulis karya ilmiah ”Pola Kalimat Perintah dalam Bahasa Angkola Mandailing”. Dalam tulisan ini ditemukan bahwa (1) Pada umumnya pola kalimat perintah bahasa Mandailing memiliki kesamaan bentuk, yaitu predikat mendahulukan subjek. Ada beberapa jenis kalimat perintah yang terdapat dalam permintaan, (c) kalimat perintah larangan, (d) kalimat perintah nasihat, (e) kalimat perintah ajakan, (f) kalimat perintah pertimbangan, (g) kalimat perintah paksaan, (h) kalimat perintah harapan, (i) kalimat perintah bujukan, dan (j) kalimat perintah desakan. (2) Ciri-ciri dalam bahasa Mandailing (a) pemakaian bentuk yang tidak memakai awalan, yaitu bentuk yang memakai awalan /mar-/, (b) lebih banyak menggunakan partikel /-ma/. Berdasarkan ciri formalnya kalimat ini dalam penulisannya ditandai dengan tanda (!). Kalimat perintah adalah kalimat suruh atau kalimat yang memerintahkan sesuatu dengan menggunakan intonasi walaupun hanya terdapat salah satu unsur kalimat dan mengharapkan tanggapan berupa tindakan. (3) Fungsi kalimat perintah yang dipakai pada bahasa Mandailing, yaitu sebagai penyampaian maksud suruhan untuk memperoleh tanggapan dari orang yang disapa.

  Hutasuhut (2008) melakukan penelitian tentang ”Medan Makna Aktivitas Tangan dalam Bahasa Mandailing”. Penelitian ini mengkaji medan makna aktivitas tangan dalam bahasa Mandailing. Data penelitian berupa leksem verbal yang menyatakan konsep aktivitas tangan yang lazim digunakan oleh masyarakat penutur bahasa Mandailing. Teori yang digunakan dalam penelitian ini adalah teori semantik yang bertalian dengan analisis komponen makna yang dikemukakan oleh Nida (1975) dan Lehrer (1974). Berdasarkan hasil analisis disimpulkan bahwa aktivitas tangan dalam bahasa Mandailing mempunyai dua puluh submedan, yaitu: (1) maniop ‘memegang’, (2) manjama ‘menyentuh’, (3) mambuat ‘mengambil’, (4) mangoban ‘membawa’, (5) mamayakkon ‘meletakkan’, (6) mangaramban ‘melempar’, (7)

  

mangalehen ‘memberi’, (8) manarimo ‘menerima’, (9) mambuka ‘membuka’, (10)

manutup ‘menutup’, (11) manarik ‘menarik’, (12) mamisat ‘menekan’, (13)

  ‘menggulung’, (16) mamio ‘memanggil’, (17) mangayak ‘mengusir’, (18) mangambat ‘menghambat’, (19) manjalang ‘menyalam’, dan (20) manudu ‘menunjuk.’

  Nasution (2010) menulis karya ilmiah ”Pemajemukan dalam Bahasa Mandailing”. Dari hasil karya ilmiah ini dapat disimpulkan bahwa pemajemukan Bahasa Mandailing terdiri atas (1) kata majemuk dasar yang berupa gabungan: KB + KB, KB + KK, KB + KS, KB + Kbil, KK + KK, KS + KS, KS + KB, dan Kbil + KB; (2) kata majemuk berimbuhan yang terdiri dari imbuhan /mar-/, /marsi-/, /paN-/, /-an/,

  

/pa-/, dan /par-/; (3) kata majemuk berulang dengan pengulangan sebagian dan

pengulangan seluruhnya.

  Ketiga jenis kata majemuk ini dapat berfungsi sebagai subjek, predikat, dan objek. Adapun makna yang ditimbulkan akibat proses morfologis adalah ‘jamak’, ‘berulang kali’, ‘menyerupai’, ‘memakai’, ‘berusaha’, ‘memelihara’, ‘intensitas’, dan ‘kausatif.’ Gabungan bentuk dasar dengan bentuk-bentuk yang lain di dalam pemajemukan Bahasa Mandailing dapat membentuk kata benda majemuk, kata kerja majemuk, kata sifat majemuk, dan kata bilangan majemuk.

  Bangun (2011) mengadakan penelitian tentang ”Reduplikasi Morfemis Bebas Konteks dan Terikat Konteks Bahasa Karo”. Penelitian tersebut bertujuan untuk menggambarkan tipe reduplikasi morfemis bahasa Karo berdasarkan bentuk, menggambarkan makna reduplikasi morfemis bebas konteks, dan menggambarkan makna reduplikasi morfemis terikat konteks. Penelitian ini dilakukan untuk menemukan norma umum reduplikasi morfemis dalam bahasa Karo. Reduplikasi tersebut didefenisikan dan dibandingkan dengan melihat pola atau tipe.

  Berdasarkan hasil yang diperoleh reduplikasi tidak terjadi dalam bentuk tetapi dalam arti, yaitu dengan menggabungkan dua kata (atau bentuk) sinonim. Dalam reduplikasi bebas konteks dari makna reduplikasi terikat konteks. Ada membentuk reduplikasi tertentu yang tidak selalu sama meskipun dasar mengenainya dengan kata anggota kelas yang sama. Bentuk reduplikasi morfemis bahasa Karo adalah pengulangan penuh, pengulangan berimbuhan, pengulangan berubah bunyi, pengulangan sebagian, dan pengulangan semu. Arti reduplikasi terikat konteks bahasa Karo ditentukan oleh konteksnya. Arti reduplikasi bebas konteks bahasa Karo sangat banyak tanpa dipengaruhi oleh konteksnya.

2.2 Konsep Reduplikasi

2.2.1 Defenisi Reduplikasi

  Reduplikasi merupakan proses morfemis yang mengulang bentuk dasar, baik secara keseluruhan, sebagian (parsial), maupun dengan perubahan bunyi. Proses reduplikasi dapat bersifat paradigmatis (infleksional) dan dapat pula bersifat derivasional. Reduplikasi yang paradigmatis tidak mengubah identitas leksikal tetapi hanya memberi makna gramatikal. Reduplikasi yang bersifat derivasional membentuk kata baru atau kata yang identitas leksikalnya berbeda dengan bentuk dasarnya.

  Reduplikasi sebagai suatu peristiwa yang lazim terdapat dalam bahasa telah banyak dibicarakan meski menggunakan berbagai istilah, misalnya;

  The distinction between processes and morphemes is not always clear, and it is sometimes hard to know when a changeis to be considered as independently meaningful and hence as constituting a morpheme, (Nida, 1964),

  (Verharr, 1977), mengatakan reduplikasi adalah proses morfemis yang mengubah bentuk kata yang dikenainya “bila bentuknya berbeda, maknanya berbeda” Matthews (1978:127) menyatakan bahwa reduplikasi merupakan repetisi yang dapat menyatakan proses pengulangan atau reduplikasi merupakan pengulangan bentuk, baik seluruhnya maupun sebagian, baik dengan variasi fonem maupun tidak. Samsuri (1988:14) menyatakan reduplikasi merupakan pengulangan bentuk kata, yang dapat utuh atau sebagian disebut “perulangan bentuk kata”

  Selanjutnya, Keraf (1991:149) menyatakan bahwa reduplikasi merupakan sebuah bentuk gramatikal yang berwujud penggandaan sebagian atau seluruh bentuk dasar sebuah kata disebut “bentuk ulang”. Dan (Chaer, 2008) juga menyatakan reduplikasi adalah “pengulangan bentuk kata”

  Dari beberapa pengertian di atas dapat ditarik kesimpulan bahwa reduplikasi ialah proses pengulangan bentuk, baik seluruhnya maupun sebagian, baik dengan variasi fonem maupun tidak, yang mengakibatkan terbentuknya kata ulang. Reduplikasi dapat dikelompokkan menjadi reduplikasi morfemis, reduplikasi fonologis, reduplikasi sintaktis, dan reduplikasi semantis. Reduplikasi morfemis merupakan reduplikasi yang paling banyak dibicarakan oleh para ahli bahasa.

  Reduplikasi merupakan suatu proses dan hasil pengulangan satuan bahasa sebagai alat fonologis atau gramatikal, sehingga pada hakikatnya dapat ditemui reduplikasi fonologis dan reduplikasi gramatikal. Reduplikasi gramatikal mencakup reduplikasi morfemis (reduplikasi morfologis) dan reduplikasi sintaktis. Kadang- kadang ada yang mengelompokkan begitu saja reduplikasi menjadi reduplikasi fonologis, reduplikasi morfologis, dan reduplikasi sintaktis (lihat Kridalaksana, 1982:13—14; 1989:88; Simatupang, 1983).

  Bentuk ulang berbeda dengan bentuk yang diulang. Bentuk ulang dapat mengubah makna tunggal menjadi tak tunggal/jamak sedangkan bentuk yang diulang maling!.

  2.2.2 Reduplikasi Fonologis

  Reduplikasi fonologis merupakan peristiwa reduplikasi yang dapat berupa perulangan suku atau suku-suku kata sebagai bagian kata. Bentuk dasar dan reduplikasi fonologis ini secara deskriptif sinkronik tidak dapat ditemukan dalam bahasa yang bersangkutan. Contoh reduplikasi fonologis dalam bahasa Indonesia, antara lain, susu, pipi, kuku, sisi, kupu-kupu, kura-kura, biri-biri, betutu, dan

  

cecunguk. Reduplikasi seperti ini oleh para ahli bahasa Indonesia sering disebut

  perulangan semu, kata ulang semu, atau reduplikasi semu (Alisyahbana, 1953:55 56;

  −−

  Samsuri, 1988:91; Keraf, 1991:153;). Kelompok lain menyatakan bahwa reduplikasi seperti itu tidak dapat dimasukkan sebagai kata ulang atau bentuk ulang karena secara deskriptif, baik secara struktural maupun semantis, tidak dapat dikembalikan bentuk dasarnya (Ramlan, 1979:38; Keraf, 1984:123; Parera, 1988:58). Tata Bahasa Baku

  

Bahasa Indonesia (1988:168) tidak memberikan sikap, hanya menampilkannya

sebagai catatan bahwa dalam bahasa Indonesia dijumpai bentuk yang seperti itu.

  2.2.3 Reduplikasi Morfologis

  Reduplikasi morfologis (reduplikasi morfemis) merupakan reduplikasi yang paling banyak dibicarakan oleh pakar tata bahasa Indonesia. Reduplikasi morfemis mengacu pada persoalan bahan (input) yang berupa morfem, sedangkan reduplikasi morfologis mengacu pada cakupan bidangnya, yaitu pada tataran morfologi. Hasil (output) reduplikasi ini berupa kata, yaitu kata kompleks. Reduplikasi morfologis ini bahasa di dunia terutama bahasa yang bertipe aglutinatif.

  Reduplikasi morfologis dalam bahasa-bahasa tertentu dimungkinkan memiliki bentuk dasar yang serupa dengan bentuk turunan atau bentuk kompleks. Artinya, bentuk dasar reduplikasi itu sebelumnya telah memiliki status sebagai kata kompleks, kemudian menjadi unsur proses morfologis lagi untuk membentuk kata ‘baru’ yang lain sehingga terjadi rekursi. Kembalinya kata menjadi unsur leksikal itu disebut leksikalisasi (Kridalaksana, 1989:14), dan sebaliknya, berubahnya leksem menjadi kata disebut gramatikalisasi.

  Sebagai contoh, bentuk berjalan-jalan (diasumsikan bentuk dasarnya berjalan) dapat ditunjukkan prosesnya: (1) Proses 1 : prefiksasi /ber-/ terhadap bentuk jalan menjadi berjalan. (2) Proses 2 : leksikalisasi berjalan menjadi unsur leksikal yang biasanya disebut leksem. (3) Proses 3 : reduplikasi bentuk berjalan menjadi berjalan-jalan.

  Bentuk orang-orang dapat ditunjukkan prosesnya: (1) Proses 1 : gramatikalisasi leksem orang menjadi kata orang. (2) Proses 2 : leksikalisasi orang menjadi leksem orang. (3) Proses 3 : reduplikasi orang menjadi orang-orang.

  Kadang-kadang bentuk orang-orang dan sejenisnya diasumsikan dibentuk dari leksem (ada pula yang menyebut morfem bebas) yang langsung mengalami proses reduplikasi, tanpa melalui pemunculan menjadi kata lebih dahulu. Dengan demikian, bila asumsinya demikian pada bentuk orang-orang tidak dijumpai proses leksikalisasi.

  Namun, bila diterima adanya fakta orang dan sejenisnya pernah muncul sebagai kata, analisis seperti di atas dapat diterima.

  Reduplikasi sintaksis merupakan reduplikasi gramatikal yang bahannya berupa leksem (ada yang menyebut morfem), dan hasilnya berupa klausa. Jadi, reduplikasi ini menghasilkan klausa, bukan lagi kata. Persoalannya, klausa di sini bukan dalam arti bentuk, melainkan dalam semantik. Perhatikan kalimat contoh berikut ini.

  (1) Tua-tua masih mampu naik sepeda orang itu. Bentuk tua-tua dalam konteks itu dapat diparafrasekan menjadi meskipun tua,

  

walaupun tua, dan sebagainya sehingga bentuk lengkapnya adalah orang itu (sudah)

tua, yang merupakan klausa dengan tua sebagai predikat inti. Untuk jelasnya, bahwa

tua-tua merupakan reduplikasi sintaksis, dapat dilihat parafrase dibawah ini.

  (2) Meskipun orang itu sudah tua, ia masih mampu naik sepeda. Dari penjelasan ini dapat dibuktikan bahwa reduplikasi tua-tua adalah reduplikasi sintaksis.

2.2.5 Reduplikasi Semantis

  Reduplikasi semantis adalah perulangan makna yang sama dari dua buah kata yang bersinonim. Misalnya, ilmu pengetahuan, alim ulama, cerdik pandai, segar

  

bugar, muda belia, tua renta, dan gelap gulita. Kata ilmu dan pengetahuan memiliki

  makna yang sama; kata alim dan ulama juga memiliki makna yang sama; dan seterusnya. Namun, bentuk-bentuk seperti ini dalam berbagai buku tata bahasa dimasukkan dalam kelompok reduplikasi berubah bunyi (dwilingga salin suara). Memang bentuk segar bugar perubahan bunyinya masih bisa dikenali, tetapi bentuk

  

muda belia tidak tampak sama sekali bahwa unsur pertama berasal dari unsur kedua

atau sebaliknya.

2.2.6 Hakikat Reduplikasi

  Batasan-batasan yang disebutkan di atas secara tegas memperkuat hakikat reduplikasi yang tidak lain merupakan gejala repetisi atau perulangan bentuk. Bentuk yang diulang itu ternyata disebut dengan bermacam-macam sebutan dan cara pengulangannya dapat secara utuh dapat pula hanya sebagian. Bentuk yang diulang ada yang menggunakan istilah kata, bentuk kata, bentuk dasar, bahkan ada yang menyebut leksem (lihat Parera, 1988:48; Kridalaksana, 1989:12).

  Bila persoalan bentuk yang menjadi dasar perulangan timbul permasalahan istilah, persoalan hasil reduplikasi semuanya menunjukkan kesamaan persepsi, yaitu harus berupa kata, dan kata yang dihasilkan dari proses reduplikasi termasuk kata turunan atau kata kompleks. Dengan demikian, bila digambarkan akan tampak sebagai berikut.

  Gambar-1. Proses Reduplikasi Dari gambar di atas jelaslah bahwa reduplikasi harus dibedakan dari kata yang berulang. Kata yang berulang tidak akan menghasilkan kata, tetapi menghasilkan kata- kata. Kata yang berulang muncul sebagai repetisi itu biasa dijumpai pada peristiwa berbahasa yang dilakukan oleh penjual atau penjaja makanan dan sebagainya, orang yang sedang sakit atau ketakutan, orang yang sedang menjadi suporter olah raga, dan sebagainya. Bentuk tuturan seperti itu tidak termasuk ke dalam reduplikasi meski terjadi peristiwa perulangan atau repetisi bentuk lingual. Misalnya, sate, sate, sate! ditampilkan secara formal).

2.2.7 Jenis-jenis Reduplikasi

  Reduplikasi atau pengulangan kata dapat dibagi menjadi empat bagian, yaitu pengulangan secara keseluruhan, pengulangan sebagian, pengulangan yang berkombinasi dengan afiks, dan pengulangan dengan perubahan fonem (Ramlan, 2001:69).

  2.2.7.1 Pengulangan Seluruh

  Pengulangan seluruh adalah pengulangan seluruh bentuk dasar, tanpa perubahan fonem, dan tidak berkombinasi dengan proses pembubuhan afiks. Contoh: (1) buku → buku-buku (2) sekali → sekali-sekali (3) pengertian → pengertian-pengertian

  2.2.7.2 Pengulangan Sebagian

  Pengulangan sebagaian ialah pengulangan sebagian dari bentuk dasarnya. Di sini bentuk dasar tidak diulang seluruhnya. Hampir semua bentuk dasar pengulangan golongan ini berupa bentuk kompleks. Apabila bentuk dasar itu berupa bentuk kompleks, kemungkinan-kemungkinan bentuknya sebagai berikut.

  (1) Bentuk dasar dengan prefiks /meN-/, misalnya:

  membaca → membaca-baca melambaikan → melambai-lambaikan

  (2) Bentuk dasar dengan konfiks /ber-an/, misalnya:

  berlarian → berlari-larian berjauhan → berjauh-jauhan

  (3) Bentuk dasar dengan sufiks /-an/, misalnya:

  → tumbuh-tumbuhan nyanyian → nyanyi-nyanyian

  2.2.7.3 Pengulangan yang Berkombinasi dengan Pembubuhan Afiks

  Pengulangan yang berkombinasi dengan pembubuhan afiks ialah pengulangan bentuk dasar disertai dengan penambahan afiks secara bersama-sama dan bersama- sama pula mendukung satu arti. Contoh: kereta-keretaan, kuda-kudaan, mobil-

  

mobilan. Berdasarkan petunjuk penentuan bentuk dasar selalu berupa satuan yang

  terdapat dalam penggunaan bahasa. Dengan demikian, dapat ditentukan bahwa bentuk dasar bagi kata ulang kereta-keretaan adalah kereta dan bukan keretaan, bentuk dasar

  

kuda-kudaan adalah kuda dan bukan kudaan, dan mobil-mobilan adalah mobil dan

  bukan mobilan. Jadi, bentuk dasar kereta, kuda, dan mobil diulang menjadi kereta-

  

kereta, kuda-kuda, mobil-mobil lalu mendapat bubuhan afiks /-an/. Prosesnya adalah

  sebagai berikut: (1) kereta → kereta-kereta + -an → kereta-keretaan, (2) kuda → kuda-kuda + -an → kuda-kudaan, (3) mobil → mobil-mobil + -an → mobil-mobilan.

  2.2.7.4 Pengulangan dengan Perubahan Fonem (variasi)

  Pengulangan dengan perubahan fonem ialah pengulangan bentuk dasar dengan disertai perubahan fonem (vokal atau konsonan), misalnya bolak-balik, gerak-gerik,

  

ramah-tamah, warna-warni, lauk-pauk, beras-petas, dan carut-marut. Oleh Parera

(1988) reduplikasi jenis ini disebut bentuk ulang konsonan dan bentuk ulang vokal.

  2.2.8 Bentuk Dasar Reduplikasi

  Setiap kata ulang memiliki satuan yang diulang. Sebagian kata ulang dengan mudah dapat ditentukan bentuk dasarnya. Namun, sebagian kata ulang tidak mudah untuk menentukan bentuk dasarnya. Ramlan (2001:65), mengemukakan bahwa ada dua petunjuk dalam menentukan bentuk dasar kata ulang.

  1. Pengulangan pada umumnya tidak dapat mengubah golongan kata. Dengan petunjuk ini dapat ditentukan bahwa bentuk dasar bagi kata ulang yang termasuk golongan kata nominal berupa kata nominal, bentuk kata ulang yang termasuk golongan verbal berupa kata verbal, dan bentuk dasar bagi kata ulang yang termasuk golongan kata numeralia juga berupa kata numeralia. Contoh:

  a. makan-makanan (kata nominal) : bentuk dasarnya makanan (kata nominal) : bentuk dasarnya berkata (kata kerja)

  b. berkata-kata (kata kerja) : bentuk dasarnya cepat (kata sifat)

  c. cepat-cepat (kata sifat)

  d. sepuluh-sepuluh (kata bilangan) : bentuk dasarnya sepuluh (kata bilangan) 2. Bentuk dasar selalu berupa satuan yang terdapat dalam penggunaan bahasa.

  Contoh: : bentuk dasarnya mempertahankan, bukan

  a. mempertahan-tahankan mempertahan.

  : bentuk dasarnya mengatakan, bukan

  b. mengata-ngatakan mengata.

  : jika bentuk dasarnya minum maka

  c. minum-minuman pengulangan terbentuk dengan proses pembubuhan afiks. : jika bentuk dasarnya minuman maka

  d. minum-minuman pengulangan terbentuk dengan pengulangan sebagian.

  2.2.9 Makna Reduplikasi

  Proses perulangan menyatakan beberapa makna. Untuk memudahkan peneliti mengetahui makna reduplikasi dalam bahasa Angkola Mandailing, penelitian ini mengacu pada pendapat Ramlan (2001:176) mengemukakan bahwa makna reduplikasi atau pengulangan kata sebagai berikut.

  1. Reduplikasi menyatakan makna ‘banyak’ yang berhubungan dengan bentuk dasar (D) .’ Contoh: mahasiswa-mahasiswa, miskin-miskin, mahal-mahal, dan rumah-

  rumah

  2. Reduplikasi menyatakan makna ‘banyak’ yang tidak berhubungan bentuk dasar (D)’, melainkan berhubungan dengan kata yang diterangkan. Kata yang diterangkan itu pada tataran frase menduduki fungsi sebagai unsur pusat. Contoh: a. Mahasiswa yang pandai-pandai mendapatkan beasiswa (mahasiswa itu pandai).

  b. Pohon di tepi jalan itu rindang-rindang.

3. Reduplikasi menyatakan makna ‘tak bersyarat’ atau ‘konsesif ‘ dalam kalimat.

  Contoh: jambu-jambu mentah dimakannya. Pengulangan pada kata jambu dapat digantikan dengan kata meskipun, menjadi meskipun jambu mentah, dimakannya.

  4. Reduplikasi menyatakan makna ‘yang menyerupai apa yang tersebut pada bentuk dasar (D).’ Contoh:

a. Serupa ( D + R)

  ‘yang meyerupai kuda.’ (1) kuda-kuda

  ‘yang meyerupai langit.’ (2) langit-langit

  ‘yang meyerupai mata.’ (3) mata-mata

  b. Dalam hal ini proses pengulangan berkombinasi dengan proses pembubuhan afiks /-an/. Contoh: ‘yang meyerupai mobil.’

  (1) anak-anakaan ‘yang meyerupai mobil.’

  (2) mobil-mobilan (3) gunung-gunungan ‘yang menyerupai gunung.’

  5. Reduplikasi menyatakan makna ‘perbuatan tersebut pada bentuk dasar dilakukan berulang-ulang/terus menerus atau (iteratif).’ Contoh: ‘berteriak berkali-kali.’

  a. berteriak-teriak ‘memukul berkali-kali.’

  b. memukul-mukul ‘terapung terus menerus’

  c. terapung-apung

  berkelanjutan turun temurun’

  d. turun-temurun ‘tanpa berhenti’

  e. terus-menerus

  6. Reduplikasi menyatakan makna ‘tindakan melakukan sesuatu tanpa tujuan yang sebenarnya’ atau mengatakan perbuatan yang tersebut pada bentuk dasar dilakukan dengan enaknya, atau dengan santainya, atau dengan senangnya.’ Contoh:

  ‘tanpa tujuan sebenarnya’

  a. berenang-renang

  

tanpa tujuan sebenarnya.’

  b. menari-nari ‘tanpa tujuan sebenarnya’

  c. mencoba-coba ‘berjalan dengan santainya.’

  d. berjalan-jalan ‘makan dengan santainya.’

  e. makan-makan

  7. Reduplikasi menyatakan makna ‘perbuatan pada bentuk ini dilakukan oleh dua pihak dan saling mengenai atau berbalasan.’ Dengan kata lain, pengulangan ini menyatakan makna ‘saling (resiprokatif).’Contoh:

  ‘saling memukul.’

  a. pukul-memukul

  b. pandang-memandang ‘saling memandang.’

  c. hormat-menghormati ‘saling menghormati’ ‘saling bergantian.’

  d. ganti-bergantian

  e. bersembur-semburan ‘saling menyembur.’

  8. Reduplikasi menyatakan makna ‘hal-hal yang berhubungan dengan perkejaan yang tersebut pada bentuk dasar (D).’ Contoh: a. cetak-mencetak ‘hal-hal yang berhubungan dengan pekerjaan mencetak.’

  ‘hal-hal yang berhubungan dengan pekerjaan menjilid.’

  b. jilid-menjilid

9. Reduplikasi menyatakan makna ‘agak.’ Contoh:

a. Agak ( D + R)

  ‘agak samar’ (1) samar-samar

  ‘agak kabur’ (2) kabur-kabur

b. Agak (( D + R) + ke -/-an)

  (1) keibu-ibuan ‘agak keibuan.’

  (2) keanak-anakan ‘agak kekanak-kanakan.’

  (3) kemerah-merahan ‘agak merah.’ (4) kebiru-biruan

10. Reduplikasi menyatakan makna ‘tingkat yang paling tinggi yang dapat dicapai.’

  Dalam hal ini pengulangan berkombinasi dengan proses pembubuhan afiks /se-

  nya/. Contoh:

  a. sepenuh-penuhnya ‘tingkat penuh yang paling tinggi yang dapat dicapai; sepenuh mungkin.’ b. serajin-rajinnya

  ‘tingkat rajin yang paling tinggi yang dapat dicapai; serajin mungkin.’

  11. Selain dari makna yang tersebut di atas, terdapat juga proses pengulangan yang sebenarnya tidak mengubah arti bentuk dasarnya, melainkan hanya menyatakan intensitas perasaan. Contoh:

  a. mengharapkan bandingkan dengan kata mengharap-harapkan b. membedakan bandingkan dengan kata membeda-bedakan.

2.2.10 Bahasa Angkola Mandailing

  Bahasa Angkola dan Mandailing sebenarnya tidak terpisahkan karena kedekatan kultural dan geografis. Berdasarkan hasil pemetaan bahasa yang dilakukan oleh Tim Pemetaan Bahasa, Balai Bahasa Medan, Pusat Bahasa, tahun 2007 menunjukkan bahwa antara bahasa Angkola dan Mandailing tidak mempunyai perbedaan yang signifikan.

  Penggunaan nama bahasa Angkola dan bahasa Mandailing tidak bisa diterima sebab masing-masing masyarakat pengguna bahasa tersebut masih dapat melakukan komunikasi dengan baik, walaupun pada beberapa makna tertentu mereka saling tidak memahami. Setelah dilakukan penghitungan dialektometri terhadap kedua bahasa tersebut, maka dapat dibuktikan bahwa penggunaan nama atau istilah bahasa untuk bahasa Angkola dan Mandailing tidak bisa digunakan sebab persentase perbedaannya adalah Angkola Mandailing karena perbedaannya hanya pada subdialek. Jadi, bahasa Angkola dan Mandailing merupakan satu bahasa yang sama.

2.3 Landasan Teori

  Teori sebagai landasan kerja yang digunakan dalam penelitian ini adalah teori morfologi yang bertalian dengan reduplikasi dan menggunakan analisis struktur bahasa berdasarkan teori linguistik deskriptif struktural seperti yang dikemukanan oleh Nida (1964), Verhaar (1977), Matthews (1978:127), Simatupang (1983), Keraf (1984), Samsuri (1988), Ramlan (2001), dan Chaer (2008). Untuk mengetahui tipe reduplikasi dalam bahasa Angkola Mandailing, penelitian ini mengacu pada pendapat M.D.S, Simatupang (1983:57) sebagai berikut.

  : rumah-rumah, pohon-pohon, perdebatan-

  1. Tipe R-1 : (D + R) perdebatan.

  : bolak-balik, kelap-kelip, desas-desus, teka-

  2. Tipe R-2 : (D + Rpf) teki.

  : berlari-lari, berteriak-teriak, bercakap-

  3. Tipe R-3 : ((D + R) + ber-) cakap.

  : bersalam-salaman (salam-salaman),

  4. Tipe R-4 : ((D + R) + ber-/-an) berpacar-pacaran (pacar-pacaran).

  : anak-beranak, adik-beradik, kait-berkait,

  5. Tipe R-5 : (D + (R + ber-)) ganti-berganti.

  : melompat-lompat, membawa-bawa,

  6. Tipe R-6 : ((D + R) + meN-)

  melihat-lihat, membaca-baca, termasuk juga dalam tipe ini: terbatuk-batuk, terbirit- birit.

  : pukul-memukul, tolong-menolong, bantu-

  7. Tipe R-7 : (D + (R + meN-)) membantu, kait-mengait.

  : hormat-menghormati, cinta-mencintai,

  8. Tipe R-8 : (D + (R + meN-/-i)) dahulu-mendahului.

  9. Tipe R-9 : ((D + R) + meN-/-kan): menggerak-gerakan, melambai-lambaikan, membagi-bagikan.

  : menghalang-halangi, menakut-nakuti,

  10. Tipe R-10 : ((D + R) + meN-/-i) menutup-nutupi.

  : setinggi-tingginya, sekuat-kuatnya,

  11. Tipe R-11 : ((D + R) + se-/-nya) seberat-beratnya.

  12. Tipe R-12 : ((D + R) + ke-/-(-nya)) : ketiga-tiga(-nya), keenam-enam(-nya), kedua-dua(-nya).

  : kehitam-hitaman, kehijau-hijauan, keputih-

  13. Tipe R-13 : ((D + R) + ke-/-an)

  putihan. Bentuk ini hanya terbatas pada kata sifat yang tidak memiliki antonim. (tidak ditemukan bentuk kekering-keringan, kebaru-baruan).

  : rumah-rumahan, kapal-kapalan, untung-

  14. Tipe R-14 : ((D + R) + -an) untungan, koboi-koboian.

  : kilau-kemilau, taram-temaram, tali-temali,

  15. Tipe R-15 : (D + (R + -em-)) turun-temurun.

  : tetangga, lelaki, leluhur, seseorang,

  16. Tipe R-16 : (D + Rp) beberapa, sesuatu, sesekali.

  17. Reduplikasi semantik, yaitu proses pengulangan arti melalui penggabungan dua bentuk yang bersinonim: cerdik-pandai, arif-bijaksana, tutur-kata, ilmu-

  pengetahuan, semak-belukar.

  18. Bentuk-bentuk residu (bentuk yang sangat terbatas): hal-ihwal, adat-istiadat, alim-ulama, sebab-musabab, warta-berita.

  Meskipun bentuk reduplikasi yang dikemukakan Simatupang tersebut tampaknya cukup banyak, pada dasarnya ia menggolongkan reduplikasi atas tiga macam juga, yaitu (1) reduplikasi penuh, (2) reduplikasi parsial, dan (3) reduplikasi berimbuhan. Proses perulangan menyatakan beberapa makna. Simatupang (1983) mengatakan bahwa makna reduplikasi atau pengulangan kata terbagi dua, yaitu makna leksikal dan makna gramatikal. Ada kalanya proses reduplikasi morfemis tidak menimbulkan perubahan arti leksikal. Ada pula proses reduplikasi morfemis yang mengakibatkan perubahan arti leksikal tanpa diikuti oleh perubahan arti gramatikalnya. Sebaliknya, ada yang mengakibatkan perubahan arti gramatikal tanpa diikuti oleh perubahan arti leksikalnya. memperlihatkan konteks kata ulang yang bersangkutan, misalnya rumah-rumah dari kata dasar rumah. Reduplikasi yang demikian disebut reduplikasi bebas konteks. Di pihak lain, ada reduplikasi yang artinya bergantung pada konteksnya. Misalnya, arti reduplikasi tidur-tidur pada kalimat (1) Sudah dua hari dua malam dia tidak tidur-

  

tidur (- tidur) dan kalimat (2) Dia tidak tidur, hanya tidur-tidur (- tidur). Reduplikasi

yang demikian disebut reduplikasi terikat konteks.

  Selain itu, ada yang menunjukkan bahwa arti yang dapat dihubungkan dengan reduplikasi tertentu bergantung pada ciri semantis bentuk yang dikenainya. Misalnya, arti yang terdapat pada ketik-mengetik, berbeda dengan arti yang terdapat pada pukul-

  

memukul. Perbedaan arti yang demikian berdasarkan pada ciri semantis masing-

  masing dasar yang bersangkutan: mengetik berciri (-resiprokatif) dan memukul berciri ( + resiprokatif).

  Sehubungan dengan arti yang dapat dihubungkan dengan bentuk-bentuk reduplikasi tertentu ialah diperlukannya konteks tertentu untuk mengetahui arti yang dikandung oleh bentuk-bentuk reduplikasi yang bersangkutan. Misalnya, kata nenek-

  

nenek dalam kalimat (1) Sudah nenek-nenek, dia masih suka bersolek (+ tua, +

  tunggal), dan (2) Saya melihat nenek-nenek duduk-duduk di depan rumah (+ tua, - banyak). Makna pada kalimat (1) ‘konsetif’ dan pada kalimat (2) ‘serupa dasar.’ Oleh karena itu, kalimat tersebut dapat digolongkan reduplikasi terikat konteks (lihat Chaer, 2008). Untuk mengetahui makna reduplikasi dalam bahasa Angkola Mandailing, penelitian ini mengacu pada pendapat Simatupang (1983).