DARI HAM KE TERORISME

DARI HAM KE TERORISME
Bambang Cipto
SEJAK Perang Dingin berakhir lebih satu dekade yang lalu politik luar negeri
Amerika telah mengalami perubahan-perubahan mendasar dengan implikasi
berbeda-beda terhadap seluruh negara didunia. Dikalangan negara-negara Asia
yang lain, Indonesia termasuk salah satu negara yang paling sial sejak politik luar
negeri Amerika berubah. Sepaniang dekade terakhir abad ke dua puluh yang lalu
Indonesia mengalami tekanan bertubi-tubi dari Amerika karena berbagai
pelanggaran hak asasi manusia yang terjadi di Timor Timur. Tekanan yang
dilancarkan pemerintah Amerika tersebut sempat menciptakan keteganganketegangan hubungan yang berimplikasi negatif terhadap hubungan ekonorni,
perdagangan dan kerjasarna militer kedua negara.
Krisis ekonomi yang menerpa Indonesia memperburuk huhungan kedua negara
karena lembaga-lembaga keuangan internasional yang bekerja dibawah pengaruh
Amerika juga melancarkan kebijakan ekstra ketat karena lemahnya bargaining
position pemerintah Indonesia. Krisis ekonomi tanpa dikehendaki memperlebar
arena tekanan pemerintah Amerika terhadap Indonesia.
Sejak Timor Timur lepas sebenarnya Indonesia dapat bernapas lega karena
pemerintah Bush yang terpilih menggantikan Clinton pada awalnya berniat
kembali menjalin hubungan baik dengan pemerintah Indonesia. Ada isyarat bahwa
bantuan militer yang dihentikan sejak akhir pemerintahan Suharto akan
dipulihkan kembali. Diluar dugaan semua orang peristiwa 11 September 2001

mengubah seluruh harapan pemerintah Indonesia.
Perang terhadap Taliban ternyata berbuntut panjang dan cenderung menimbulkan
ancaman baru bagi Indonesia. Harian terkemuka di Amerika melansir pernyataan
keras Paul Wolfowitz bahwa Indonesia merupakan target baru perang antiterorisme yang dilancarkan Amerika. Memang dalam pernyataan perangnya tahun
lalu Bush pernah menegaskan bahwa perang melawan terorisme ini akan
dilancarkan selama 10 tahun. Sehingga sekalipun Taliban telah hancur berantakan
namun kampanye anti-terorisme versi Bush agaknya akan tetap dilancarkan.
Pertanyaannya adalah mengapa Indonesia dalam kurun waktu 12 tahun terakhir
ini selalu menjadi menjadi incaran pemerintah Amerika melalui tekanan
diplomatik karena pelanggaran HAM di Timor Timur. tekanan ekonomi oleh IMF
dan sekarang tekanan baru karena tuduhan adan teroris di Indonesia? Untuk
memahami hal tersebut perlu dijelaskan beberapa hal.
Pertama, seorang presiden Amerika pada umumnya bekerja berdasarkan
kecendungan ideologisnya. Para presiden Republiken sejak Ronald Reagan
dikenal sangat anti Soviet dan strategi inilah yang telah mengantarkan Reagan
menjadi presiden dan terpilih dua kali sebagai presiden. Presiden Bush pengganti
Reagan juga mirip, yakni, suka berperang seperti yang dilakukannya dalam
mengusir Sadam dari Kuwait Presiden Clinton dan partai Demokrat, sebaliknya,

lebih memusatkan perhatian pada kebijakan ekonomi sehingga tak banyak

melibatkan diri dalam peperangan. berdasarkan kebiasaan tradisi tersebut maka
bisa diduga bahwa kecenderungan Presiden Bush yang Republiken saat ini kurang
lebih sama dengan presiden Republiken yang lain.
Pada awalnya Bush lebih tertarik untuk menekan dan mengisolir Cina dengan
merencanakan sistem pertahanan dunia yang diarahkan untuk menekan Cina.
Namun program ini sangat mahal dan kurang populer. Bush sangat diuntungkan
oleh tragedi 11 September yang merupakan bencana sekaligus mega-prornosi bagi
Presiden. Oleh karena itu Bush dengan cerdik segera mengeksploitasi tragedi
tersebut sebagai bentuk ancaman sangat menakutkan yang perlu dilawan dengan
seluruh kekuatan yang dimiliki pemerintah dan masyarakat Amerika. Eksploitasi
isu keamanan dan terorisme internasional adalah satu-satunya cara bagi Bush
untuk tetap eksis dan unggul dalam percaturan politik Amerika.
Bush mustahil membangun citra din sebagai presiden yang sukses lewat keajaiban
ekonomi sebagaimana Clinton. Sejak masa kampanye Clinton memang berjanji
akan mengembalikan dan menggairahkan kembali perekonomian Amerika. Janji
ini berhasil dipenuhi sehingga Clinton terpilih dua kali. Bush, sebaliknya, pada
masa kampanye lebih tertarik pada urusan konflik di Asia Timur dan kurang
perhatian pada isu-isu ekonomi. Disamping itu Bush sudah lama dikenal sebagai
politisi yang sama sekali tak piawai dalam urusan ekonomi. ltulah sebabnya Bush
sangat bangga membangun citra diri sebagai Pahlawan Anti-Terorisme persis

seperti Reagan dan Bush yang juga tidak becus dalam urusan ekonomi domestik.
Kedua, dewasa ini aspirasi dan tuntutan domestik baik lewat Kongres Amerika,
kelompok kepentingan, maupun media massa semakin banyak mencampuri proses
pembuatan kebijakan luar negeri Amerika. Perkembangan politik dinegara-negara
berkembang yang miskin dan lemah seperti Indonesia selalu diikuti oleh
kelompok-kelompok kepentingan di Amerika. Salah satu penyebab mengapa
Amerika menekan Indonesia dalam isu HAM dimasa lain adalah karena besarnya
pengaruh kelompok-kelompok kepentingan yang mendukung kemerdekaan Timor
Timur di Amerika.
Tuduhan-tuduhan Amerika bahwa Indonesia menjadi sarang terorisme dan oleh
karenanya pantas menjadi sasaran baru tidak lepas dari pengaruh ke antiIndonesia di Amerika. Tanggapan pemerintah Bush terhadap kelompok-kelompok
ini, antara lain, muncul dari harapan untuk dapat dipilih kembali sebagai presiden
dalam pemilihan presiden Amerika tahun 2004 mendatang. Dengan demikian
sesungguhnya cap terorisme yang dijual Amerika ke dunia internasional
sesungguhnya tidak lebih dari upaya Bush agar tetap bertahan selaku presiden
bahkan bila mungkin terpilih kembali untuk kedua kalinya.
Bagi Bush isu-isu internasional yang dapat mengerek citranya selaku presiden
sangat penting untuk dikelola secara profesional karena dalam pemilihan tahun
2000 yang lalu perbedaan suara antara Bush dan Gore sesungguhnya sangat tipis
(hanya 537 suara). Disamping itu intervensi MA Amerika juga sangat besar

sehingga penghitungan suara manual di Florida sesungguhnya bisa mengalahkan
Bush seandainya MA tidak banyak campur tangan. Kelemahan-kelemahan ini

sangat serius sehingga mau tak mau sebagai presiden yang menang dengan suara
tipis dan tidak populer (populer votes Gore 500.000 lebih banyak dari Bush) ia
harus memiliki tingkat popularitas nasional dan internasional yang tinggi.
Dengan demikian sesungguhnya segala macam kampanye anti-terorisnie yang
dilancarkan Bush selama ini tidak lain adalah bagian dari skenario besar dirinya
agar tetap diakui sebagai presiden Amerika yang memiliki legitimasi yang kuat
baik didalam maupun diluar Amerika. Berdasarkan pertimbangan ini pemerintah
Indonesia harus lebih berhati-hati dalam menentukan sikap dalam berhubungan
dengan Amerika.
Sebab sikap pemerintah Bush saat ini akan sangat dipengaruhi oleh sukses dirinya
dalam mengelola perekonomian nasional. Artinya, jika dalam tahun 2002 hingga
akhir 2003 perekonomian Amerika semakin buruk maka besar kemungkinan
popularitas Bush akan semakin merosot. Jika dalam tahun 2004 perekonomian
Amerika tidak menunjukkan perkembangan menyolok maka bisa diperkirakan
bahwa Bush akan dengan mudah dikalahkan oleh calon-calon presiden dari
Demokrat yang dalam tahun-tahun terakhir dikenal bertangan dingin dalam
urusan ekonomi dan kurang peduli dengan petualangan politik internasional yang

mereka pandang tidak produktif
Selanjutnya untuk menghadapi tekanan Amerika pemerintah Indonesia harus lebih
mengutamakan upaya pemulihan perekonomian bangsa dan jangan mudah
terpancing oleh tuntutan jangka pendek. Sebab selama perekonomian Indonesia
tidak mengalami perbaikan maka pemerintah ini akan tetap dianggap sebagai
pemerintah yang loyo, kurang memiliki harga diri serta tergantung pada uluran
bantuan asing. Dengan GNP amat sangat rendah (US$ 680) dan tingkat korupsi
amat sangat buruk (peringkat ke 98) wajar jika Amerika tidak lagi menganggap
Indonesia sebagai negara yang pantas dihormati. Oleh karena itu wajar jika
pemerintah Amerika dan kelompok anti-Indonesia di Amerika dengan mudah
mempermainkan Indonesia sekehendak hati mereka tanpa mempedulikan
akibatnya bagi jutaan penduduk Indonesia yang semakin hari semakin miskin.
Untuk keluar dari kemelut ini Indonesia harus segera melakukan reformasi total
dalam bidang ekonomi dan hukum serta tidak hanya terobsesi oleh perebutan
kursi presiden.
SM-02-2003