Ontologi Penelitian Terorisme dari Persp

Ontologi Penelitian Terorisme
Berdasarkan Perspektif Historis

Disusun untuk Memenuhi Tugas Review I: Ontologi Terorisme
Mata Kuliah Metodologi Penelitian Terorisme
Semester Genap 2010/2011

Oleh:
Kelompok II
Anggalia Putri P.

NPM: 1006743424

Azalia Primadita Muchransyah

NPM: 1006743443

Program Magister
Terorisme dalam Keamanan Internasional
Departemen Ilmu Hubungan Internasional
Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik

Universitas Indonesia
Jakarta
2011

Ontologi Penelitian Terorisme
Berdasarkan Perspektif Historis
“The dual and reciprocal function of history is to promote our understanding of the past
in light of the present and of the present in light of the past.”
(E. H. Carr)

Dewasa ini, kasus terorisme semakin merebak dan menjadi ancaman yang
mengglobal. Sejak terjadinya peristiwa 11 September 2001, di mana pesawat komersil
Amerika Serikat dibajak oleh teroris Al-Qaeda di bawah pimpinan Osama bin Laden dan
berhasil menabrak menara kembar World Trade Center (WTC) di kawasan Wall Street, New
York, dan Gedung Pentagon di Washington, D.C., grafik ancaman terorisme semakin
meningkat, meskipun terorisme sebenarnya sudah ada di muka bumi setidaknya sejak abad
ke-19.1 Oleh karenanya, kajian dan penelitian mengenai terorisme turut berkembang seiring
dengan berjalannya waktu. Studi terorisme sendiri dikatakan bersifat multidisipliner, namun
beberapa pihak memandang penelitian dalam disiplin ini belum memuat perspektif historis
yang memadai sehingga dikhawatirkan terjebak menjadi studi atau disiplin yang ahistoris.

Tinjauan ini memberikan pandangan mengenai ontologi penelitian terorisme dalam
konteks historis melalui tulisan Isabelle Duyvesteyn, “The Role of History and Continuity in
Terrorism Research” dan menganalisis bagaimana era-era tertentu di dalam timeline sejarah
ternyata memiliki peran dan kontinyuitas yang penting dalam penelitian terorisme. Tulisan ini
terbagi ke dalam empat bagian, yakni (1) Ringkasan Ekskutif; (2) Argumentasi Utama; (3)
Tinjauan Kritis; dan (4) Kesimpulan Aplikatif.

I.

Ringkasan Ekskutif
Dalam artikel “The Role of History and Continuity in Terrorism Research” yang

ditulis pada tahun 2007 ini, Duyvesteyn berargumen bahwa terdapat banyak kesamaan di
antara fenomena terorisme yang berlangsung di masa lalu dan di masa kini. Dengan
menyatakan demikian, ia mengkritik pihak-pihak yang mengklaim dan memperlakukan
terorisme sebagai “barang” baru tanpa terlebih dahulu mengkaji sejarah fenomena tersebut.
1
A. M. Hendopriyono, Terorisme: Fundamentalis Kristen, Yahudi, Islam (Jakarta: Penerbit Buku
Kompas), 2009, h. 45.


2

Permasalahan yang ia angkat dalam artikel ini adalah begitu sedikitnya studi mengenai
sejarah terorisme yang meliputi perkembangan terorisme, tren masa lalu, dan pola-pola
terorisme

periode

modern.

Lebih

jauh

lagi,

Duyvesteyn

menyayangkan adanya


kecenderungan untuk berfokus pada karakteristik-karakteristik “baru” dari terorisme tanpa
berkonsultasi secara “benar” dengan sejarah. Olah karena itu, dalam artikel ini, Duyvesteyn
berargumen bahwa sejarah harus lebih dimasukan sebagai bagian integral dari studi
terorisme.
Secara struktural, artikel ini sendiri terbagi menjadi empat bagian, yaitu: (1)
karakteristik studi sejarah; (2) perkembangan terorisme pada abad ke-19 dan 20 yang
mencakup berbagai wilayah studi untuk diteliti lebih jauh; (3) observasi (catatan kritis); dan
(4) kesimpulan.
Di bagian pertama, yakni karakteristik studi sejarah, Duyvesteyn menyebut sejarah
sebagai studi tentang masa lalu dan ilmu pengetahuan yang bersifat interpretatif. Menurutnya,
studi sejarah tidak bersifat bebas-nilai karena dipengaruhi oleh banyak faktor, termasuk
faktor personal, sosial, politik, ideologis, dan ekonomi penstudinya. Karakteristik terpenting
dari studi sejarah adalah periode waktu dan lokasi geografis (ruang dan waktu), namun
penelitian sejarah dapat pula berfokus pada sebuah entitas, organisasi, atau permasalahan.
Lebih jauh lagi, ia berargumen bahwa “wilayah abu-abu” di antara studi sejarah dan ilmu
sosial yang dulu menjadi dinding pemisah di antara kedua disiplin kini dapat dijadikan
wilayah penelitian yang menjanjikan.
Di bagian kedua, Duyvesteyn menjabarkan berbagai perkembangan mengenai
terorisme di abad ke-19 dan 20 dan mengajukan berbagai pertanyaan yang menurutnya perlu
diteliti lebih jauh. Di abad ke-19, menurutnya, terjadi pergeseran dari pembunuhan kepala

negara (regicide) ke pembunuhan orang-orang lain yang juga dekat dengan pusat kekuasaan.
Secara khusus, dekade terakhir abad ini sering dikatakan sebagai “dekade pembunuhan
politik.” Isu yang dapat diteliti lebih jauh, menurutnya, adalah kapan berbagai pembunuhan
politik ini dapat dikatakan sebagai terorisme dan kapan tidak.
Duvyesteyn menarik perhatian kita pada tiga jenis perkembangan terorisme yang
penting di abad ini, yaitu perkembangan dalam hal organisasi, teknologi, dan teori. Dalam hal
organisasi, di abad ke-19, banyak organisasi masyarakat rahasia (secret societies)
bermunculan, dengan tujuan menggunakan kekerasan untuk mencapai tujuan-tujuan politik.
Pertanyaannya adalah, sampai sejauh mana perkembangan berbagai masyarakat rahasia
tersebut mendorong perubahan dalam hal aktivitas-aktivitas terorisme?
3

Dalam hal teori, perkembangan yang terjadi di abad ini adalah munculnya sebuah
doktrin yang menjustifikasi pembunuhan sebagai cara yang paling efektif untuk
mendatangkan perubahan dan munculnya gagasan “propaganda by deed” yang secara resmi
diadopsi oleh International Anarchist Congress pada tahun 1881. Pertanyaan yang dapat
diteliti mengenai hal ini adalah:
1.

Sejauh mana signifikansi sekularisasi yang terjadi di abad ke-19 terhadap justifikasi

pembunuhan untuk mendatangkan perubahan politik?,

2.

Sejauh mana gagasan ini berbeda dari pembunuhan politik bermotifkan agama?

3.

Apa yang membedakan gagasan ini dengan gagasan-gagasan sejenis di masa lalu?
Dalam hal teknologi, perkembangan yang terjadi di abad ini adalah penemuan mesin

cetak dan dinamit. Pertanyaannya adalah, apakah perkembangan teknologi ini benar-benar
telah membawa dampak revolusioner? Sejauh manakah perkembangan sosial dapat
dipisahkan dari praktik terorisme?
Berbagai perkembangan penting di abad ke-19 ini terkandung di dalam organisasiorganisasi anarkis. Namun, menurut Duyvestyen, pada masa ini, terdapat pula aktivitas
berbagai kelompok teror jenis lain, yakni kelompok revolusioner Rusia, dan nasionalis
radikal. Pertanyaan lain yang dapat ditelusuri berkaitan dengan hal ini adalah kapan dan
mengapa istilah “terorisme” berubah menjadi istilah yang mengandung konotasi negatif
setelah sebelumnya sempat bernilai positif?
Karakteristik lain dari abad ke-19 adalah meningkatnya jumlah kelas menengah di

Barat yang kemudian menjadi kelompok pelaku terorisme terbesar. Menurut Duyvesteyn, hal
ini membuktikan bahwa kemiskinan mungkin bukan merupakan penyebab utama terorisme.
Hal lain yang penting dari abad ke-19 adalah terdapatnya kaitan di antara terorisme dan
periode upheaval secara umum, khususnya anarkisme yang muncul bersamaan dengan
terjadinya perubahan sosial dan ekonomi yang sangat cepat.
Mencermati berbagai perkembangan penting di atas, Duyvestyen berargumen bahwa
abad ke-19 adalah abad yang penting untuk memahami akar terorisme modern. Berbagai
wilayah penelitian yang dapat ditelusuri lebih jauh antara lain kemunculan kelas menengah,
sekularisasi, meningkatnya tingkat pendidikan, peran pers rakyat, urbanisasi, kapitalisme, dan
kemunculan ideologi-ideologi pembebasan.
Di abad ke-20, nasionalisme dipandang sebagai penggerak terorisme, namun
sesungguhnya akar dari terorisme jenis ini telah ada sejak abad ke-19. Selain itu, abad ke-20
juga menyaksikan bermunculannya rezim teror seperti Hitler dan Stalin serta gerakan teroris
4

antikolonial atau perang-perang kemerdekaan. Berkaitan dengan hal ini, pertanyaan yang
dapat ditelusuri lebih lanjut adalah apakah benar terorisme dapat dipisahkan dari perang
gerilya mengingat kedua metode tersebut sama-sama digunakan dalam perang-perang
kemerdekaan. Terorisme nasionalis menempati posisi penting karena dikatakan sebagai jenis
terorisme pertama yang memahami nilai publisitas dan ‘sukses’ dalam mencapai tujuantujuannya (jika dibandingkan dengan terorisme jenis lain). Sementara itu, terorisme pascaPerang Dunia II dikatakan sebagai inovasi dalam fenomena terorisme dalam hal

perkembangan cetak biru organisasi, penggunaan media internasional, dan kesuksesan
terorisme.
Tahun 60-an dianggap sebagai era penting lain dalam sejarah perkembangan terorisme
karena pada masa ini berlangsung internasionalisasi terorisme yang diwakili oleh PLO,
berkembangnya fenomena state-sponsored terrorism dan terorisme sebagai proxy war, dan
semakin canggihnya kapabilitas finansial kelompok teroris. Dalam hal ideologi, karakter dari
era 60-an adalah berkembangnya kelompok-kelompok teror yang menganut ideologi sayap
kiri. Dalam hal metode dan teknologi, di era ini berkembang penggunaan metode terorisme
kota atau urban terrorism serta munculnya televisi yang berimplikasi pada peliputan media
yang lebih tinggi terhadap terorisme. Di masa ini, muncul pula berbagai bentuk terorisme
“asli” Amerika Latin yang dikatakan sebagai sebuah perkembangan baru serta mulai
diberikannya perhatian ilmiah pada berbagai aspek spesifik dari terorisme, misalnya
psikologi terorisme. Akan tetapi, Duvyesteyn mengingatkan bahwa setiap perkembangan di
atas telah memiliki akar historis di masa-masa sebelumnya. Berbagai perkembangan di atas,
menurutnya, menyediakan wilayah-wilayah penelitian yang dapat ditelusuri lebih lanjut.
Perkembangan terorisme pada tahun 70-an dikarakteristikkan oleh kemunculan
kembali terorisme nasionalis-separatis, misalnya ETA dan IRA. Akan tetapi, beberapa pihak
mempertanyakan kemurnian ideologi berbagai gerakan kelompok terorism ini. Hal ini dapat
diteliti lebih lanjut. Klaim bahwa tingkat kebrutalan dan kematian yang lebih tinggi sebagai
karakteristik periode ini juga dinilai Duyvestyen harus ditelusuri lebih lanjut karena hal

tersebut bukanlah sesuatu yang benar-benar “baru”.
Pada tahun 80-an dan 90-an, dikatakan bahwa terorisme sayap kanan mulai
bermunculan. Akan tetapi, Duyvesteyn mengingatkan bahwa pada periode ini, aktivitasaktivitas kelompok teroris nasionalis seperti IRA dan ETA terus berlanjut. Berbagai
perkembangan penting di era ini, menurutnya, adalah menurunnya jumlah insiden teroris di
dunia, menghilangnya berbagai kelompok teroris sayap kiri, dan bertahannya beberapa
5

kelompok teroris berideologikan Marxis-Leninis-Maois meskipun Perang Dingin telah
berakhir. Berbagai perkembangan menarik ini patut diteliti lebih jauh.
Setelah tahun 60-an, berbagai literatur menyatakan bahwa periode lain yang penting
untuk memahami sifat dan esensi terorisme adalah periode di antara tahun 1991 dan 2001, di
mana terorisme religius dianggap sebagai sesuatu yang “baru”.

II.

Argumentasi Utama
Menurut Duyvestyen, terdapat beberapa masalah dalam studi terorisme saat ini, yaitu:

(1) pendekatan multi- atau interdisipliner yang dominan dalam ilmu sosial memiliki
penerapan yang terbatas; (2) sejarah telah sering di(salah)gunakan oleh para “ahli” terorisme

untuk memenuhi kebutuhan mereka; (3) definisi terorisme belum juga disepakati; dan (4)
terdapat banyak klaim general dan kategorisasi mengenai terorisme yang bersifat
menyesatkan karena tidak sesuai dengan kondisi empiris. Di sisi lain, ia juga mengingatkan
bahwa studi sejarah memiliki keterbatasan tersendiri, yakni terikat oleh ruang dan waktu.
Argumen-argumen utama Duyvestyen terilustrasikan dalamn catatan-catatan kritisnya
terhadap berbagai permasalahan di atas, yaitu sebagai berikut:
1.

Berbagai label tematis seperti nasionalis, sayap-kiri, dan religius, sangat populer
untuk membedakan satu periode historis terorisme dan periode historis lainnya,
namun kekuatan eksplanasi berbagai label tersebut sangat terbatas untuk membantu
kita memahami terorisme secara utuh. Menurutnya, monokausalitas adalah
pendekatan penelitian yang terbatas dan sangat tidak produktif.

2.

Perkembangan teknologi tampak memainkan peran penting dalam mendefinisikan
episode-episode baru terorisme dan diberikan kekuatan eksplanasi yang besar, namun
patut dipertanyakan mengapa beberapa perkembangan teknologi tertentu (misalnya
dinamit, pembajakan pesawat, WMD) diberi perhatian yang sangat besar sedangkan

beberapa perkembangan yang lain seperti bom parsel, bom motor, dan sebagainya,
kurang diperhatikan. Selain itu, berbagai perkembangan teknologi tersebut cenderung
terlalu dipentingkan sebagai faktor penjelas/penentu padahal hal tersebut tidak hanya
berdampak pada terorisme, melainkan pada seluruh aspek kehidupan masyarakat.

3.

Terorisme harus selalu dijelaskan di dalam konteks historis (hal ini seringkali
diabaikan). Konteks terorisme tahun 60-an, misalnya adalah perkembangan peran
media dalam masyarakat modern. Sejarah terorisme harus ditulis dalam konteks
sejarah sosial dan militer modern.
6

4.

Satu hal penting yang belum banyak mendapat perhatian adalah kecenderungan
terorisme untuk mematuhi “the law of diminishing returns” di mana untuk
mendapatkan tingkat perhatian yang sama, kelompok teroris harus terus-menerus
melakukan serangan yang lebih kuat.

5.

Berbagai studi terorisme masih bersifat Eurosentris di mana studi mengenai terorisme
di berbagai wilayah lain seperti Asia, Afrika, dan Amerika Latin, masih dilakukan
dengan patokan pengalaman Barat. Studi mengenai terorisme di kawasan-kawasan
lain tanpa bias Barat masih harus dilakukan.

6.

Studi mengenai terorisme dari perspektif historis belum dilakukan beriringan dengan
studi tentang kontraterorisme padahal terdapat aksi-reaksi yang kuat di antara
keduanya.

III.

Tinjauan Kritis
Sejak awal, ilmu-ilmu sosial telah bergulat dengan problem pendekatan. Setiap

pendekatan baru yang muncul senantiasa didahului oleh kritik atas pendekatan sebelumnya.
Hal ini bagi ilmu sosial bukan soal sepele yang hanya bersangkut paut dengan prosedur kerja
penelitian semata, tetapi di balik itu terdapat pengandaian-pengandaian yang mendasarinya,
tujuan dan masalah yang hendak dibahas, konsep-konsep, dan model analisis yang
direkomendasikan2.
Menurut Fauzan Dwi Kurnia, pada dasarnya, penelitian terorisme masuk ke dalam
ranah positivisme, yang secara ontologis memiliki asumsi3:
1.

Segala sesuatu adalah riil, nyata, sehingga di dalam fenomena/gejala sosial, apa-apa
yang tidak nyata dianggap bukan fenomena sosial;

2.

Benda-benda yang ada di sekitar kita adalah objek, dan yang ada di dalam pikiran kita
bukan objek;

3.

Segala sesuatu memiliki pola yang bersifat Universal.
Studi sejarah yang bersifat interpretif dan tidak memiliki ambisi untuk mencapai

status saintifik seperti halnya ilmu alam mengkritik positivisme dalam studi mengenai
terorisme ini dan mengajukan gagasan untuk lebih mengintegralkan perspektif historis dalam
studi terorisme. Dengan kata lain, di dalam artikel ini, pergulatan pendekatan itu lebih
2

Ali Badrudin, “Linguistik Modern (Model Pengkajian Kebudayaan)”, dalam Adabiyyat, Vol. 8, No. 1, Juni
2009, h. 156.
3
Fauzan Dwi Kurnia, Hubungan paham positivisme dengan Ontologi, Epistimologi, dan Aksiologis dalam
penelitian Kualitatif, 2009.
7

menekankan pada epistemologi ketimbang ontologi penelitian. Meski demikian, hal ini tetap
perlu diperhatikan sebab merupakan salah satu kritik utama positivisme.
Secara spesifik, berbagai kritik Duyvesteyn mengilustrasikan "ketegangan" antara
studi humaniora, khususnya studi sejarah dan ilmu sosial yang didominasi oleh paradigm
positivis. Hal ini tercermin antara lain dalam perdebatan "penekanan pada keunikan
temporal-spasial" (studi sejarah) versus "generalisasi, kategorisasi, dan kompartementalisasi"
(ilmu sosial) serta sifat penelitian yang non-value free (sejarah) dan value-free (ilmu sosial).
Ambisi ilmu sosial untuk mencapai status ilmiahh telah berlangsung lama. Emile
Durkheim mencoba menerapkan metode ilmiah di dalam menjelaskan ilmu sosial untuk
memperlihatkan dan memperkuat status keilmiahan ilmu sosial dengan memberikan
penjelasan yang sifatnya sangat individualistik. Ia juga menjelaskan bahwa sebuah fenomena
sosial merupakan sebuah fakta sosial yang menghendaki penjelasan dalam kaitannya dengan
berbagai fakta sosial lainnya4. Levi-Strauss, seorang peneliti ilmu sosial (kebudayaan),
bergulat dengan hal yang serupa. Ia memiliki pandangan, kajian ilmu sosial harus bisa
menjelaskan atau memahami keanekaragaman sosial, menangkap koherensi di balik
keanekaragaman itu, dan dengan demikian, memperoleh status "ilmiah"5. Sementara itu,
keanekaragaman di dalam ilmu sosial dengan jelas menunjukkan bahwa pada tingkat empiris,
ilmu sosial senantiasa subjektif. Persoalannya adalah bagaimana kajian sosial menghindar
dari subjektivitas itu. Positivisme yang mengklaim diri objektif dan empiris kehilangan
kesahihannya justru karena keanekaragaman sosial itu muncul sebagai fakta empiris6. Lalu,
di tengah keanekaragaman sosial yang menandai subjektivitas itu, pertanyaannya adalah
bagaimana positivisme menyingkirkan warna subjektivitas untuk memenuhi tuntunan objektif
dan ilmiah.
Dalam pandangan Levi-Strauss, analogi pada organisme biologi telah membuat kajian
sosial cenderung “historis” (diakronis) dan melulu bicara tentang “proses”7. Padahal, tidak
semua masyarakat yang diteliti meninggalkan dokumen historis. Hal ini pula yang
nampaknya menjadikan studi sosial, khususnya studi terorisme, memakai dokumen historis
yang tersedia kemudian melakukan kompartementalisasi periode historis, mengeneralisasi
karakteristik per periode historis, lalu mengkategorisasi jenis-jenis terorisme. Hal ini menjadi

4
K. Thompson, Emile Durkheim: Criticism and Interpretation, (London: Reutledge, Champman, and Hall,
inc.), 1982, h. 109.
5
Claude Levi-Strauss, Structural Antropology (London: The Penguin Press), 1963.
6
Ibid.
7
Ibid.

8

kritik Duyvesteyn: sudah semestinya sebuah studi historis memperhatikan kontinyuitas—
sebuah hal yang seringkali terlupakan oleh kaum ilmuwan sosial, khususnya penstudi
terorisme.
Duyvesteyn berargumen bahwa sejarah yang kontinyu harus lebih dimasukan sebagai
bagian integral dari studi terorisme. Yang menjadi pertanyaan: Bagaimana melakukan studi
historis secara benar? Hugues de Saint-Victor, seorang sejarawan abad ke-12 menuliskan
mengenai hal ini dalam "De tribus maximis circumstanciis gestorum" (On the Three Most
Important Circumstances of History), di mana ia menunjukkan betapa pentingnya untuk
memahami individu-individu yang terlibat, tempat, dan waktu dari sebuah narasi historis8.
Studi historis kemudian harus mengarah pada studi literatur yang mendalam (yang ia sebut
sebagai "sententia") dari tulisan-tulisan bersejarah, yang dapat menyediakan interpretasi
nonliteral9. Hal ini sesuai dengan penekanan Duyvestyen bahwa pendekatan monokausalitas
ilmu sosial yang positivis yang bertujuan untuk mencari generalisasi, membuat tipologi, dan
melakukan kompartementalisasi supaya mendapatkan penjelasan yang parsimonious dan
mendapatkan variabel parsimoni yang menyebabkan sebuah fenomena sosial tertentu,
misalnya

terorisme,

sangat

tidak

bagus

untuk

memahami

sejarah

perkembangan fenomena sosial tersebut. Sekali lagi, meski makalah ini berfokus pada
ontologinya (apa yang harusnya dipelajari), tidak dapat ditafikan bahwa pembahasan
Duyvesteyn juga mencakup pembahasan epistemologi.
Saran Duyvestyen untuk menahan diri dari memproyeksikan masa depan, apalagi
prediksi, terasa sangat bertentangan dengan tujuan ilmu sosial (positivis), yakni untuk (1)
mendeskripsikan, (2) mengklasifikasikan, (3) menjelaskan, (4) memprediksi, dan (5)
mengontrol. Satu-satunya cara untuk menjembatani hal tersebut adalah dengan menjadikan
studi historis sebagai salah satu elemen yang terintegrasi dengan elemen-elemen lain dalam
melakukan sebuah penelitian terorisme, yakni elemen individu dan keadaan tempat
berlangsungnya sebuah fenomena sosial terorisme, termasuk keadaan sosial dan budaya
masyarakat di sekitarnya.
Tidak dapat dinafikan bahwa perspektif historis memiliki kekurangan, misalnya
kemungkinan tidak lengkapnya dokumentasi sejarah dari suatu peristiwa serta kemungkinan
tidak tercakupnya elemen individu serta lingkungan di dalam sebuah dokumentasi sejarah itu
sendiri, penelitian terorisme tanpa konteks sejarah yang tepat. Akan tetapi, penelitian
8

James R. Ginther, The Westminster Handbook to Medieval Theology (Westminster: John Knox Press), 2009,
h. 87.
9
Ibid.
9

terorisme tanpa konteks perspektif sejarah yang tepat akan menjadi hampa, bahkan
menyesatkan karena pola-pola dan generalisasi yang dihasilkan dan dijadikan landasan
kebijakan

(kontraterorisme)

dipandang

sebagai

sesuatu

yang

universal,

padahal

sesungguhnya terikat pada ruang dan waktu serta konteks historis tertentu.

IV.

Kesimpulan Aplikatif
Dari berbagai kritik Duyvestyen pada studi terorisme yang didominasi paradigma

positivisme dalam ilmu sosial, dapat disimpulkan bahwa sudah saatnya studi terorisme
merangkul perspektif sejarah yang “sebenar-benarnya” (tidak hanya berupa kronologinya)
agar disiplin terorisme tidak menjadi kumpulan generalisasi hampa yang “menyesatkan”
karena terlalu menyederhanakan realitas. Menyimpulkan berbagai argumen dalam uraian di
atas, Duyvestyen mengingatkan kita pada bahwa “sejarah tanpa sosiologi itu buta dan
sosiologi tanpa sejarah itu hampa.” Untuk menghindari hal tersebut, ia menyarankan agar
para sejarawan dan ilmuwan sosial bekerja sama lebih erat dalam bidang ilmu ini.
Duyvestyen juga berargumen bahwa fokus studi terorisme harus digeser ke arah pencarian
akar historis dari berbagai permasalahan terorisme yang ada pada saat ini.
Secara aplikatif, parameter-parameter penelitian historis yang harus dicapai menurut
Duyvestyen adalah sebagai berikut:
1.

Untuk menghindari menyebut segala sesuatu sebagai sesuatu yang “baru,” konteks
historis yang tepat untuk setiap fenomena terorisme harus dikembangkan.

2.

Terorisme dan kontraterorisme harus dikaji secara integral karena terdapat pengaruh
timbal-balik di antara keduanya.

3.

Ruang yang lebih luas untuk melakukan penalaran induktif harus disediakan, juga
untuk perbandingan lintas-kasus.

4.

Label-label dan tipologi jangan diberi penekanan yang berlebihan sehingga tidak
terjadi framing dan reduksi materi.

5.

Akademisi harus berhati-hati dalam mengadvokasi kebijakan dan menahan diri dari
upaya memprediksi masa yang akan datang.
Mencermati berbagai kritik Duyvestyen dan ketegangan di antara argumen-argumen

utamanya dan state of the affairs terorisme pada masa ini, kami berargumen bahwa ke
depannya, studi terorisme perlu didorong untuk lebih fleksibel dalam merangkum berbagai
pendekatan dari ranah ilmu yang beragam, seperti Sejarah, Psikologi, Sosiologi, Hubungan
Internasional, hingga Antropologi. Diharapkan, dengan sumbangsih berbagai ilmu tersebut,
10

ontologi dalam studi terorisme menjadi semakin kaya dan inklusif sehingga penelitian
terorisme akan menjadi lebih komprehensif dan dapat mencapai status keilmuan yang tinggi
tanpa memaksakan sebuah generalisasi parsimoni yang bersifat ahistoris dan hampa.

***

Jumlah Kata: 2,945

11