Membangun Tradisi Keilmuan Di PTM

Membangun Jembatan Tradisi Keilmuan Di PTM1
Oleh: Prof. Dr. Abdul Munir Mulkhan, S.U.2
Islam diyakini pemeluknya sebagai agama sempurna yang akan membawa
kemajuan dan kemakmuran umatnya. Namun fakta-fakta sosial cenderung menunjukkan
masyarakat dari bangsa-bangsa yang dikenal memeluk Islam berada di bawah negerinegeri Barat dan masayarakat bangsa yang oleh umat Islam sering disebut kafir. Kondisi
serupa juga dialami oleh Perguruan Islam dan Perguruan Muhammadiyah. Apabila kita
amati secara seksama, salah satu faktor yang bisa menjelaskan situasi demikian ialah
sulitnya dibangun tradisi keilmuan dalam masyarakat Islam kontemporer berbeda dari
situasi pada abad-abad pertama perkembangan masyarakat Islam.
Kita semua menyadari adanya dilema keilmuan di Perguruan Muhammadiyah dan
Islam termasuk Perguruan Tinggi Islam (PTI) negeri atau swasta dan Perguruan Tinggi
Muhammadiyah (PTM). Namun dilema “abadi” hampir tidak pernah terpecahkan, boleh
secara tak sengaja kita nikmati. Kita mudah melempar tanggung jawab kegagalan yang
dibuat atau kemunduran yang terjadi dengan menyatakan hal itu sebagai akibat dilema
kontroversial tersebut bukan sebagai akibat ketidakprofesionalan kerja kita. Akibatnya,
boleh jadi kita sudah tidak lagi peka dan tidak menyadari bahwa ada persoalan serius,
bagai virus ganas yang setiap saat menggerogoti energi yang dimiliki.
Dilema problematik itu ialah apa yang dikenal sebagai dihotomi pendidikan dan
dihotomi ilmu pengetahuan yang hanya dialami oleh dan dalam praktik pendidikan
Islam. Di satu sisi ada keharusan politik mengikuti Kementerian Pendidikan Nasional
(Diknas) dan Kementerian Agama dari dua tradisi keilmuan yang memiliki semacam

‘ideologi’ berbeda. Di sisi lain, dilema itu juga muncul dari pra-anggapan bahwa dua
tradisi keilmuan; Islamic Studies dan Secular Studies merupakan tradisi yang saling
bertentangan tanpa jembatan penghubung.
Pra-anggapan dan dilema tersebut lebih dilestarikan adanya dua pengedali politik
pendidikan yaitu Kemenag dan Diknas yang berdampak lebih luas dalam produk dan
regulasi yang harus diikuti PTM hampir tanpa daya. Jika semua bidang keilmuan di
bawah Diknas seorang akademisi bebas beban teologis, dalam bidang Islamic Studies

1
). Disusun dan disampaikan dalam acara Kuliah Umum dalam rangka Yuducium Program
Pascasarjana Program Studi Pemikiran Pendidikan Islam Universitas Muhammadiyah Surabaya, 6 Maret
2010 di Surabaya.
2
). Anggota Dikti-Litbang PP Muhammadiyah 2005-2010, Anggota Komnas HAM 2007-2012.

1

seolah dibebani doktrin teologis mengenai kesempurnaan ajaran yang melekat pada
kelimuan Islamic Studies.
Situasi aneh bin ajaib berlangsung di kelembagaan di PTM (juga di PTI negeri)

tentang dua fakultas yang mengkaji bidang keilmuan yang sama dengan nilai teologis
berbeda. Sekedar contoh bisa disebut FIP, FH, FE yang memperlajari pendidikan dan
pendidikan Islam, psikologi dan psikologi Islam, Hukum dan Hukum Islam, Ekonomi
dan Ekonomi Islam (syariah). Di perguruan yang sama ada FAI dengan jurusan Syariah
dan Tarbiyah yang masing-masing mempelajari hukum publik (nasional), ekonomi dan
ekonomi syariah atau hukum publik, pendidikan (umum) dan psikologi Islam. Gelar
keduanya berbeda, yang satu memakai tambahan sifat Islam dan tidak dengan lainnya,
sehingga lulusan PTM dan PTI memiliki dua gelar berbeda seperti SPD dan SPDI atau
MPD dan MPDI, SPs dan SpsI, SE dan SEI, SH dan SHI dst.
Akibat lebih lanjut ialah sulitnya tumbuh tradisi keilmuan bahkan cenderung teori
yang sudah usang diulang-kaji karena berhenti menjadi peniru (imitasi).3 Tema-tema
dan hasil penelitian di PTI dan PTM sulit memperoleh pengakuan publik akibat
cenderung tidak mampu menjawab persoalan yang menjadi hajat publik. Sulit lahir
teori-teori baru dari PTI dan PTM karena adanya pra-anggapan pemikiran Islam sudah
selesai yang ada adalah penerjemahan dan penerapan. Gelora keterbukaan pintu ijtihad
yang pernah muncul di abad ke-19 ternyata pupus sebelum lahir, sehingga dunia
pendidikan tinggi Islam lebih merasa aman mengadopsi teori sekuler daripada
melahirkan teori baru yang lebih kritis yang dapat ditawarkan kepada dunia.
Problem tersebut juga berkait dengan cara pandang yang meletakkan ilmu yang
lahir dan diproduk negeri-negeri Barat sebagai ilmu yang batal selain dipandang sebagai

bagian strategi dunia Barat (Yahudi dan Kristiani) menghancurkan dunia Islam. Namun,
dalam praktiknya, hampir tidak ada dunia Islam yang dapat menghindari keterpaksaan
memanfaatkan jasa ilmu pengetahuan yang diproduksi bangsa-bangsa Barat tersebut
baik yang filosofis, teoritik, apalagi bidang teknologi, termasuk teknologi pembelajaran.
Sebagai peniru pun gagal menjadi peniru yang piawai karena adanya beban teologis di
atas.
Persoalannya, bagaimana seharusnya dunia akademik masyarakat Islam bersikap
dan menetapkan langkah-langkah strategis? Apakah ada jalan keluar dari dilema abadi
3

). Thomas S. Kuhn, The Structure of Scietific Revolutions, Thomas S. Kuhn, The University Press,
Chicago, 1970.

2

ini, bagaimana langkah yang mesti dilakukan, apakah bisa ditempuh jalan tersebut?
Pertanyaan itu bisa dijawab dengan beberapa langkah sebagaimana uraian berikut.
Perbedaan mendasar pemikiran Barat dan Islam ialah posisi bidang metafisika.
Pemikiran Barat menolak metafisika sebagai wilayah kajian ilmu sementara pemikiran
Islam tidak pernah mempermasalahkannya. Bersamaan itu terjadi pemisahan wilayah

keagamaan dan keduniaan dengan masing-masing pemegang otoritas yang berbeda
yaitu Pendeta dengan gerejanya dan ilmuan.4 Pemikiran Islam menempatkan ilmu
berbasis kitab suci dengan metode deduktif-rasional sebagai ilmu utama berkedudukan
lebih tinggi daripada ilmu berbasis alam yang empiris, sementara pemikiran Barat
sebaliknya.
Langkah paling mendasar yang perlu dilakukan untuk bisa menerima pemikiran
Barat ialah dengan memetafisikkan kembali pemikiran Barat baik pada tingkat filsafat
atau pun teori dan teknologi. Hal ini antara lain bisa dilakukan dengan menyilangkan
dirarhi realitas dalam pemikiran Barat seperti pemikiran E.F. Schumacher dan hirarhi
realitas dalam pemikiran Islam seperti tercermin dalam pemikiran Imam Al-Ghazali.
Schumacher menempatkan manusia pada posisi hirarhi tertinggi sesudah hewan,
tumbuhan dan pelikan, sementara Imam Al-Ghazali memandang manusia memiliki dua
unsur dasar yaitu badan wadag dan badan ruhaniah. Badan wadag dikenai hukum fisis
yang berkembang secara historis sementara badan ruhaniah memiliki hukum sendiri
yang tidak menganut hukum sejarah sehingga bisa berkembang melintasi ruang waktu.
Puncak dari bidang ruhaniah ini ialah makhluk gaib dan wilayah ketuhanan.5
Karena itu sepanjang langkah rasional pemikiran Barat tidak berhenti pada bidang
fisikal atau badan wadag semata maka akan terbuka ruang bagi masuknya wilayah
ruhaniah dan berujung pada wilayah ketuhanan. Mohammad Iqbal berpendapat bahwa
pemikiran bangsa-bangsa Barat modern merupakan kelanjutan pemikiran Islam yang

berhenti sesudah abad ke-11.6 Karena itu jika pemikiran Barat tidak dibatasi pada
wilayah fisik maka akan menyambung kembali dengan wilayah ketuhanan dimana
pemikiran Islam bisa memainkan peran. Persoalan ini juga terkait dengan teori

4

). Christopher Want and Andrzej Klimoswski, Introducing Kant, Icon Books, Cambridge, 1999. Lihat
juga David Robinson and Judy Groves, Introducing Philosophy, Icon Books, Cambridge, 1999.
5
). Abdul Munir Mulkhan, Tujuh Jalan Mencari Tuhan; Isei Pemikiran Imam Al-Ghazali, Bumi
Aksara, Jakarta, 1991.
6
). Mohammad Iqbal, Pembangunan Kembali Alam Pikiran Islam, Bulan Bintang, Jakarta, 1966.

3

pararelitas kitab suci (qauliah) dan kitab sekuler (alam semesta (kauniah) seperti
pandangan Al-Farabi dan Ibnu Tufail serta Fazlur Rahman.7
Selanjutnya dari kerangka pemikiran tersebut di atas bisa dibangun jembatan
keilmuan guna memecahkan problem dan dilema dalam praktik pendidikan Islam.

Penolakan terdahap pemikiran Barat yang diperkukuh doktrin teologis yang masih perlu
dikaji ulang itu berakibat pemikiran pendidikan Islam belum mampu berdialog dengan
pemikiran Barat. Di saat yang sama dengan terpaksa menikmati jasa pengetahuan Barat
seperti teknologi pembelajaran dan kurikulum dalam kasus distribusi waktu dan materi
ajar ke dalam SKS.
Pemikiran Islam selama ini berhenti pada perdebatan dua pandangan dasar yang
dikenal dengan pemikiran Jabariah dan Qadariah, sementara pemikiran Sunni tidak
berbeda tajam dari Jabariah. Soalnya ialah bagaimana posisi pembelajaran dalam kaitan
capaian tujuan pendidikan dan perilaku peserta didik. Jika diletakkan di atas perspektif
Qadariah maka pendidikan memiliki peran dominan dan bertanggungjawab atas hasil
belajar, sementara dalam perspektif Jabariyah pembelajaran sebagai intrumen kehendak
Tuhan yang tidak pernah bisa diketahui sebelum peristiwa terjadi, sehingga evaluasi
mustahil atau hampir tidak mungkin dilakukan karena berarti meng-evaluasi kehendak
Tuhan yang serba gaib dan misterius.
Tanpa mengurangi makna pemikiran Islam klasik di atas, agar pemikiran Islam
bidang pendidikan bisa didialogkan dengan pemikiran dunia Barat, penting dicermati
pandangan Harun Nasution dan Fazlur Rahman tentang makrifat. Keduanya cenderung
membedakan makrifat ke dalam dua jenis yaitu; satu sebagai hidayah yang menjadi hak
absolut Tuhan, yang kedua sebagai hasil ikhtiari yang menjadi ruang kreatif manusia.
Mengingat yang pertama menjadi ruang absolut Tuhan, maka yang terbuka dikaji secara

akademik ialah jenis makrifat kedua sebagai hasil ikhtiari. Dari sini pendidikan digagas
sebagai upaya manusiawi (rasional, obyektif, dan empiris) agar seseorang berpeluang
memperoleh makrifat sebagai hasil usaha pendidikan (ikhtiari).
Wilayah tersebut tampak pararel dsengan pemikiran kontemporer dunia Barat
seperti pemikiran Ian Marshal & Danah Zohar tentang kecerdasan spiritual yang
meletakkan god spot sebagai basis utama. Ideologi keilmuan Barat yang menolak
metafisika, tampaknya ”memaksa” Ian Marshal & Danah Johar tidak menempatkan god
7

). Usman Bakar, Hierarki Ilmu; Membangun Rangka-Pikir Islamisasi Ilmu, Mizan, Bandung, 1997.

4

spot sebagai wilayah ketuhanan.8 Bertumpu hierarhi realitas model Imam Al-Ghazali
mungkin teori god spot-nya Marshall & Zohar bisa dilanjutkan ke dalam wilayah
ketuhanan tentang makrifat seperti dalam pandangan Fazlur Rahman dan Harun
Nasution sebagaimana telah disebutkan.9
Melalui antara lain jalan tersebut mungkin bisa dibangun jembatan akademik dari
logika Barat sembari meletakkan basis fundamental pemikiran Islam sekaligus membuat
racang baru pendidikan berbasis teori kecerdasan makrifat.10 Dari sini dibuka ruang bagi

pengajuan kebenaran Islam melalui jalan peradaban Barat modern sembari membangun
kesatuan ilmu di bawah metafisika yang telah lama ditinggalkan dunia Barat. Di puncak
metafisika itulah ketuhanan model Islam bisa didialogkan atas pemikiran ilmiah Barat
modern sehingga bisa dipahami dunia Barat. Sementara pada saat yang sama pemikiran
Islam melakukan kritik atas modernitas materialistik Barat dengan meng”ilmiah”kan
pemikiran Islam bidang pendidikan dengan meletakkan teori God Spot (huruf kapital)
sebagai titik awal.

Daftar Kepustakaan
Bakar, Osman, 1997, Hierarki Ilmu; Membangun Rangka-Pikir Islamisasi Ilmu, Mizan,
Bandung.
Iqbal, Mohammad, 1966, Pembangunan Kembali Alam Pikiran Islam, Bulan Bintang,
Jakarta.
Kuhn, Thomas S., 1970, The Structure of Scietific Revolutions, Thomas S. Kuhn, The
University Press, Chicago.
Mulkhan, Abdul Munir, 2004, Kecerdasan Makrifat (Pidato Pengukuhan Guru Besar),
IAIN Sunan Kalijaga Yogyakarta, Yogyakarta.
-------------, 1991, Tujuh Jalan Mencari Tuhan; Isei Pemikiran Imam Al-Ghazali, Bumi
Aksara, Jakarta.
Nasution, Harun, 1978, Falsafat Dan Mistisisme dalam Islam, Bulan Bintang, Jakarta.

8

). Danah Zohar & Ian Marshall, SQ: Spiritual Intelligence – The Ultimate Intelligence, Danah Zohar
& Ian Marshall, Bloomsbury, Great Birtain, 2000.
9
). Abdul Munir Mulkhan, Kecerdasan Makrifat (Pidato Pengukuhan Guru Besar), IAIN Sunan
Kalijaga Yogyakarta, Yogyakarta, 2004.
10
). Lihat kecerdasan makrifat pada nomor 6 di atas.

5

Schumacher, E.F., 1981, Keluar Dari Kemelut; Sebuah Peta Pemikiran Baru, LP3ES,
Jakarta.
Rahman, Fazlur, 1984, Membuka Pintu Ijtihad, Pustaka, Bandung.
Rabinson, David and Judy Groves, Introducing Philosophy, Icon Books, Cambridge,
1999.
Want, Christopher and Andrzej Klimoswski, 1999, Introducing Kant, Icon Books,
Cambridge, 1999.
Yazdi, Ha’ri Mehdi, 1992, The Principles of Epistemology in Islamic Philosophy,

Knowledge by Presence, State University Press, New York.
Zohar, Danah & Ian Marshall, 2000, SQ: Spiritual Intelligence – The Ultimate
Intelligence, Danah Zohar & Ian Marshall, Bloomsbury, Great Birtain.
Terjemahan SQ: Memanfaatkan Kecerdasan Spiritual dalm Berpikir Integralistik
dan Holistik untuk Memaknai Kehidupa, Mizan, Bandung.

6