penj gbi raker komisi XI 050606

RAPAT KERJA GABUNGAN KOMISI XI DPR RI — DEPKEU — BAPPENAS - BI TANGGAL 5 JUNI 2006

PENJELASAN GUBERNUR BANK INDONESIA
PADA RAPAT KERJA GABUNGAN KOMISI XI DPR RI
DENGAN DEPKEU, BAPPENAS DAN BI
TANGGAL 5 JUNI 2006

Pendahuluan
Anggota Dewan yang terhormat,
1. Pertama-tama perkenankanlah kami menyampaikan terima kasih kepada
Pimpinan dan Anggota Komisi XI DPR yang telah mengundang kami dalam Rapat
Kerja Gabungan bersama Pemerintah dan DPR pada hari ini. Sesuai informasi
yang kami peroleh, Rapat Kerja Gabungan ini akan membahas mengenai
borrowing strategy dan pengkajian utang luar negeri dan hibah
kementrian lembaga serta rencana pembayarannya terkait dengan
penyusunan RAPBN 2007. Bagi kami, rapat kerja gabungan ini memiliki arti
yang sangat penting, tidak saja untuk menyamakan persepsi atas perkembangan
ekonomi yang tengah terjadi serta tantangan-tantangan yang dihadapi
perekonomian Indonesia, khususnya yang terkait dengan utang luar negeri
Indonesia, tetapi juga bagi peningkatan koordinasi antara BI, DPR dan
Pemerintah dalam rangka mencari langkah terbaik mengatasi tantangantantangan tersebut.

2. Sebelum kami memaparkan secara singkat mengenai topik hari ini, kami ingin
turut menyampaikan rasa duka cita dan belasungkawa yang sedalam-dalamnya
atas musibah yang telah menimpa Saudara-saudara kita di Daerah Istimewa
Yogyakarta dan Jawa Tengah yang menjadi korban pada peristiwa bencana alam
yang terjadi tanggal 27 Mei yang lalu. Semoga Saudara-saudara kita diberikan
ketabahan dalam menghadapi musibah ini serta diberikan kekuatan untuk
bangkit dan memulai kembali kehidupan barunya dalam menata masa depan
yang lebih baik.

Anggota Dewan Yang Terhormat,
3. Sebagaimana dimaklumi, untuk mencapai sasaran pembangunan ekonomi
diperlukan pembiayaan yang besar. Pembiayaan pembangunan tersebut berasal
dari dalam negeri dan dari luar negeri. Sumber dana dalam negeri antara lain
berupa penerimaan pajak, cukai, serta pembiayaan dari lembaga keuangan
terutama perbankan dan pasar modal. Adapun sumber dana luar negeri terutama

1

RAPAT KERJA GABUNGAN KOMISI XI DPR RI — DEPKEU — BAPPENAS - BI TANGGAL 5 JUNI 2006


dalam bentuk pinjaman, hibah serta penanaman modal langsung (FDI) dan
penanaman di pasar keuangan.
4. Krisis yang kita alami beberapa tahun lalu telah memberikan pelajaran berharga
mengenai dampak ketergantungan pembiayaan kegiatan ekonomi pada utang
luar negeri. Fluktuasi dan depresiasi nilai tukar yang tajam telah mengakibatkan
pembengkakan kewajiban yang sedemikian rupa, yang tidak hanya menimbulkan
masalah kesulitan likuiditas namun juga pada krisis kepercayaan internasional.
Dari sana kami berpandangan bahwa pengelolaan pinjaman khususnya pinjaman
luar negeri perlu dilakukan secara hati-hati agar memberikan manfaat secara
optimal bagi perekonomian nasional dan tidak menimbulkan kerawanan
khususnya terhadap kesinambungan keuangan pemerintah maupun stabilitas
makroekonomi

Anggota Dewan yang terhormat,
5. Secara umum tujuan pengelolaan utang negara dalam jangka panjang adalah
meminimalkan biaya utang pada tingkat risiko yang terkendali. Untuk mencapai
tujuan tersebut, pemerintah telah menetapkan kebijakan utang negara yang
berlaku untuk Pemerintah Pusat dan Daerah sebagaimana tercantum dalam
Undang-undang no. 17/2003 tentang Keuangan Negara pasal 12 ayat 3 serta
penjelasannya. Pasal 12 ayat 3 menyatakan ’Dalam hal anggaran diperkirakan

defisit, ditetapkan sumber-sumber pembiayaan untuk menutup defisit tersebut
dalam Undang-Undang tentang tentang APBN.’ Selanjutnya, dalam penjelasan
pasal tersebut dinyatakan pula bahwa defisit anggaran dibatasi maksimal 3% dari
Produk Domestik Bruto dan jumlah pinjaman dibatasi maksimal 60% dari Produk
Domestik Bruto.
6. Pembatasan tersebut selanjutnya dijabarkan dalam Peraturan Pemerintah (PP)
Nomor 23 tahun 2003 tentang Pengendalian Jumlah Kumulatif Defisit APBN dan
APBD serta Jumlah Kumulatif Pinjaman Pemerintah Pusat dan Pemerintah
Daerah, yaitu bahwa


Jumlah kumulatif defisit APBN dan APBD dibatasi tidak melebihi 3% (tiga
persen) dari PDB tahun bersangkutan.



Jumlah kumulatif pinjaman Pemerintah Pusat dan Pemerintah Daerah dibatasi
tidak melebihi 60% (enam puluh persen) dari PDB tahun bersangkutan.

7. Dalam jangka menengah, pedoman umum pengelolaan utang negara mengacu

pada Peraturan Presiden RI Nomor 7 Tahun 2005 tentang Rencana Pembangunan
Jangka Menengah (RPJM) Nasional tahun 2004-2009. Peraturan tersebut antara
lain menyebutkan bahwa peningkatan pengelolaan pinjaman luar negeri
Pemerintah diarahkan untuk menurunkan stok pinjaman luar negeri tidak saja
secara relatif terhadap PDB tetapi juga secara absolut, sedangkan bagi pinjaman
domestik tetap diupayakan adanya ruang gerak yang cukup pada sektor swasta
melalui penarikan pinjaman neto kurang dari 1% (satu persen) PDB dan menurun
secara bertahap.
Dengan demikian, rasio stok pinjaman terhadap PDB

2

RAPAT KERJA GABUNGAN KOMISI XI DPR RI — DEPKEU — BAPPENAS - BI TANGGAL 5 JUNI 2006

diperkirakan menurun secara bertahap menjadi lebih rendah dari 40% (empat
puluh persen) PDB pada tahun 2009.

8. Selanjutnya Pemerintah telah menyusun suatu Strategi Pengelolaan Utang
Negara yang dituangkan dalam Keputusan Menteri Keuangan (KMK)
No.447/KMK.06/KMK/2005 tanggal 15 September 2005. Strategi pengelolaan

utang negara ini merupakan strategi jangka menengah yang meliputi periode
tahun 2005-2009 dan strategi ini akan dievaluasi minimal sekali dalam setahun
agar sesuai dengan perkembangan lingkungan dan kondisi pasar keuangan.
9. Strategi pengelolaan utang negara dimaksud mencakup strategi pengelolaan atas
Utang negara yang langsung membebani APBN, yaitu pinjaman luar negeri
bilateral/multilateral yang dikelola oleh Direktorat Pengelolaan Pinjaman dan
Hibah Luar Negeri (DPPHLN), Direktorat Jenderal Perbendaharaan; dan Surat
Utang Negara (SUN) yang dikelola oleh Direktorat Pengelolaan Surat Utang
Negara (DPSUN), Direktorat Jenderal Perbendaharaan, Departemen Keuangan.
Anggota Dewan yang Terhormat,
10. Dapat kami sampaikan bahwa sampai dengan bulan Maret 2006, jumlah
pinjaman luar negeri (PLN) Indonesia mencapai USD 131,8 miliar yang terdiri dari
utang pemerintah sebesar USD 76,4 miliar dan utang swasta sebesar USD 46,5
miliar. Jumlah utang tersebut menurun dari akhir Desember 2004 yang mencapai
USD 137,0 miliar dan akhir Desember 2005 yang mencapai USD 133,48 miliar.
Sejalan dengan penurunan tersebut, beberapa indikator beban utang luar negeri
tahun juga memperlihatkan perkembangan yang positif dibandingkan dengan
rasio pada tahun-tahun sebelumnya. Rasio debt service ratio terus mengalami
penurunan yang cukup signifikan dimana pada tahun 2000 tercatat sebesar
41,1% menjadi 24,4% di tahun 2005. Penurunan tersebut juga terjadi pada debt

to export ratio dan debt to GDP rasio yang menurun dari posisi masing-masing
191% dan 85,3% pada tahun 2000 menjadi sebesar 143,6% dan 47% pada tahun
2005.

Indikator Beban Utang Luar Negeri
Debt Service Ratio
Debt to Export Ratio
Debt to GDP

2000
41.1%
191.0%
85.3%

2001
41.4%
200.7%
80.7%

2002

33.1%
193.9%
65.7%

2003
32.2%
190.8%
56.8%

2004
30.1%
174.3%
54.2%

2005
24.4%
143.6%
47.0%

11. Sementara itu, pada tahun 2005, peranan sumber dana dalam negeri dan luar

negeri dalam mendorong kegiatan ekonomi relatif berimbang. Dalam tahuntahun mendatang diharapkan peranan sumber dana dalam negeri akan semakin
meningkat sehingga melebihi sumber dana dari luar negeri. Dalam kaitan ini,

3

RAPAT KERJA GABUNGAN KOMISI XI DPR RI — DEPKEU — BAPPENAS - BI TANGGAL 5 JUNI 2006

Bank Indonesia mendukung langkah-langkah yang telah ditempuh pemerintah
dalam upaya mengurangi ketergantungan perekonomian Indonesia terhadap
utang luar negeri seperti yang tercermin pada perbaikan terhadap indikator
beban utang luar negeri tersebut. Pengurangan beban utang luar negeri tidak
saja menyebabkan tekanan terhadap anggaran pemerintah menjadi lebih ringan
namun juga dapat memperbaiki “credit risk” dalam berinvestasi di Indonesia.
Namun demikian pengurangan utang luar negeri tersebut harus dilakukan secara
hati-hati dan cermat agar tidak menggangu kecukupan cadangan devisa dan
fiscal suistainability.
12. Ke depan, mengingat sumber pembiayaan dari luar negeri masih dibutuhkan
dalam percepatan pertumbuhan ekonomi, sementara posisi pinjaman luar negeri
yang ada saat ini juga masih cukup tinggi, kami berpandangan bahwa
pemanfaatan pinjaman luar negeri hendaknya dilakukan dengan prinsip-prinsip

pengelolaan utang yang sehat. Pertama, sumber pembiayaan luar negeri
hanyalah bersifat pelengkap dari sumber pembiayaan dalam negeri. Selain itu
PLN tidak mempunyai ikatan politik dan disesuaikan dengan kemampuan
perekonomian Indonesia dan dengan sasaran penggunaan yang jelas. Kedua,
pelaksanaan pinjaman luar negeri harus diupayakan agar menimbulkan biaya
yang serendah mungkin. Untuk itu diperlukan upaya lobbying dalam rangka
pencarian pinjaman yang berbunga murah, berjangka waktu panjang dan terms
and condition yang tidak memberatkan. Ketiga, selain itu, untuk diversifikasi
pinjaman, sebaiknya pinjaman luar negeri tersebut tidak terkonsentrasi pada satu
mata uang saja. Diversifikasi pinjaman dapat juga dilakukan melalui penjualan
obligasi ke pasar seperti yang telah dilakukan.
13. Dalam jangka menengah dan panjang, agar pengelolaan utang dapat dilakukan
secara optimal dengan tingkat risiko yang minimal, manajemen pengelolaan
utang sebaiknya dilakukan secara terintegrasi, efisien, prudent, serta berorientasi
kepada risk awareness dan cost consciousness
Demikianlah Bapak dan Ibu Anggota Dewan yang terhormat, paparan singkat kami
mengenai borrowing strategy.

Jakarta, 5 Juni 2006


4