ProdukHukum BankIndonesia penj gbi dpr 100706

RAPAT KERJA KOMISI XI DPR RI — DEPKEU — BI - 10 JULI 2006

PENJELASAN BANK INDONESIA
PADA RAPAT KERJA KOMISI XI DPR RI
DENGAN DEPARTEMEN KEUANGAN DAN BANK INDONESIA
TANGGAL 10 JULI 2006

I. Pendahuluan
Anggota Dewan yang terhormat,
1. Pertama-tama perkenankanlah kami menyampaikan terima kasih kepada Pimpinan dan
Anggota Komisi XI DPR yang telah mengundang kami dalam Rapat Kerja bersama
Departemen Keuangan pada hari ini yang akan membahas mengenai Tata Cara
Penghapusan Piutang Negara Dalam Rangka Penyelesaian Kredit Bermasalah (NPL).
Terkait dengan agenda hari ini, ijinkan kami menyampaikan terlebih dahulu mengenai
perkembangan perbankan triwulan II-2006 yang dilanjutkan dengan pemaparan mengenai
tata cara penyelesaian NPL perbankan.
II. Perkembangan Perbankan Triwulan II-2006
2. Sebagaimana telah diperkirakan, kinerja perbankan nasional mulai membaik pada triwulan
II-2006. Hampir seluruh indikator utama perbankan pada periode tersebut menunjukkan
perkembangan yang cukup menggembirakan. Demikian pula secara umum perbankan masih
dapat mengatasi risiko usaha yang dihadapinya dengan baik, termasuk mengurangi tekanan

terhadap tingginya kredit bermasalah.
3. Memasuki triwulan II-2006, peningkatan jumlah kredit terus berlanjut dan pada bulan Mei
meningkat cukup signifikan, yaitu sebesar Rp 14,2 triliun sehingga menjadi Rp747,6 triliun
pada akhir Mei 2006. Meskipun demikian, bila dibandingkan dengan posisi akhir Desember
2005, pertumbuhan kredit perbankan baru mencapai 2,4%. Pertumbuhan ini jauh lebih
rendah dari pertumbuhan kredit yang ditargetkan untuk tahun 2006 sebesar 18%. Namun,
perbankan nampak masih optimis dalam mencapai target penyaluran kredit sesuai dengan
rencana bisnis tahun 2006.
Dilihat dari kelompok bank, kelompok bank BUMN telah
memberikan sumbangan yang besar terhadap kenaikan kredit perbankan dari triwulan I2006 sampai dengan akhir Mei 2006, yaitu naik sebesar Rp 15,2 triliun atau 61,1% dari total
kenaikan kredit perbankan.
4. Dengan tingkat inflasi yang terkendali dan suku bunga serta nilai tukar yang stabil, secara
umum bank-bank dapat mengelola risiko yang dihadapinya - terutama risiko kredit - dengan
baik. Didukung kondisi moneter yang kondusif serta pertumbuhan kredit yang cukup besar
telah menyebabkan turunnya rasio NPL. Secara gross, NPL perbankan turun dari 9,4% pada
triwulan I-2006 menjadi

1

RAPAT KERJA KOMISI XI DPR RI — DEPKEU — BI - 10 JULI 2006


8,8% pada Mei 2006 sedangkan secara net, NPL perbankan turun dari 5,6% menjadi 5,1%.
Sementara itu, NPL yang terjadi di kelompok bank BUMN terutama didominasi oleh segmen
market corporate dan lebih banyak disumbang oleh sektor industri.
III. Tata Cara Penyelesaian NPL Perbankan
Anggota Dewan Yang Terhormat,
5. Penyelesaian kredit bermasalah atau NPL perbankan pada umumnya dilakukan dalam tiga
tahap yaitu (1) restrukturing; (2) hapus buku (write off) dan (3) hapus tagih. Tahapan
penyelesaian NPL tersebut sangat ditentukan oleh bentuk badan hukum dari bank-bank
nasional yang beroperasi selama ini yaitu Persero, Perseroan Terbatas (PT) dan Koperasi.
6. Penyelesaian NPL yang dilakukan oleh bank swasta umumnya dilakukan secara berjenjang.
Penyelesaian tahap 1 biasanya dilakukan oleh manajemen bank, dalam hal ini jajaran Direksi
dan Dewan Komisaris. Apabila pada upaya tahap 1 tersebut belum dapat menyelesaikan
NPL bank, maka dapat ditempuh tahap 2 yaitu melakukan hapus buku. Kegiatan hapus buku
ini tidak menghilangkan hak tagih bank kepada debitur, sehingga tahap ini pada dasarnya
bersifat administratif yaitu memindahkan pencatatan kredit tersebut dari on balance sheet
kepada off balance sheet. Kredit bermasalah/NPL yang dicatat dalam off balance sheet
tersebut umumnya kredit bermasalah yang sudah tidak memiliki prospek usaha, sehingga
dilakukan eksekusi agunan yang dikuasai oleh bank sebagai sumber penerimaan bank
sebagai salah satu jalan untuk recover kredit. Bila nilai agunan tersebut tidak meng-cover

jumlah hutang debitur, maka dilakukan hair cut atau hapus tagih atas hutang debitur baik
sebagian atau seluruhnya. Mengingat hapus tagih ini mengakibatkan hilangnya sebagian
atau seluruh aset/tagihan bank kepada debitur, maka kewenangan yang memutuskan untuk
hapus tagih tersebut diatur dalam anggaran dasar bank yaitu harus mendapat persetujuan
RUPS.
7. Sementara itu, permasalahan kredit yang diberikan bank-bank Pemerintah (Bank Persero)
atau yang lazim disebut Bank BUMN, termasuk dalam kategori piutang Badan Usaha Milik
Negara (BUMN) sehingga penyelesaiannya tunduk pada peraturan yang berlaku, antara lain
UU no. 49/Prp Tahun 1960 tentang Panitia Urusan Piutang Negara (PUPN), UU no. 17 Tahun
2003 tentang Keuangan Negara, UU no. 1 Tahun 2004 tentang Perbendaharaan Negara,
serta berbagai aturan pelaksanaannya.
8. Dari berbagai peraturan tersebut, terdapat dua aturan yang kurang kondusif dalam
penyelesaian kredit bermasalah Bank BUMN. Aturan pertama terkait dengan Definisi
Piutang/Aset Negara.
UU No. 17 tahun 2003 tentang Keuangan Negara Pasal 2 huruf g mendefinisikan bahwa
“Keuangan negara meliputi kekayaan negara/kekayaan daerah yang dikelola sendiri atau
pihak lain berupa uang, surat berharga, piutang, barang serta hak lainnya yang dapat
dinilai uang, termasuk kekayaan yang dipisahkan pada perusahaan negara/perusahaan
daerah”.
Sementara itu dalam aturan pelaksanaan ditegaskan:


2

RAPAT KERJA KOMISI XI DPR RI — DEPKEU — BI - 10 JULI 2006

a. Keputusan Menteri Keuangan (KMK) No. 300/KMK.01/2002 tentang Pengurusan
Piutang Negara pasal 1 menyebutkan bahwa piutang negara termasuk piutang
badan-badan yang baik secara langsung atau tidak langsung dikuasai oleh Negara;
b. Peraturan Menteri Keuangan (PMK) No. 31/PMK.07/2005 tentang Tata Cara
Pengajuan Usul, Penelitian dan Penetapan Penghapusan Piutang Perusahaan
Negara/Daerah dan Piutang Negara/Daerah pasal 3 antara lain mengatur bahwa
piutang negara hanya mencakup piutang Pemerintah pusat. Penghapusan secara
mutlak atas piutang perusahaan negara hanya dapat dilakukan setelah
pengurusannya diserahkan kepada Panitia Urusan Piutang Negara (PUPN) Cabang.
c. PMK No. 31/PMK.07/2005 pasal 9 menyebutkan bahwa penghapusan secara mutlak
diartikan sebagai hapus tagih piutang perusahaan negara. Sementara itu, hapus tagih
tersebut dilakukan oleh:

-


Penghapusan piutang pokok ditetapkan oleh Menteri Keuangan;

-

Penghapusan piutang bunga, denda dan atau biaya-biaya ditetapkan oleh
perusahaan negara bersangkutan.

Dengan demikian, karena tata cara penyelesaian piutang/kredit Bank Persero harus
tunduk pada aturan tersebut di atas, maka Bank Persero tidak memiliki kewenangan
untuk melakukan hapus tagih terhadap pokok kredit dalam penyelesaian kredit
bermasalah sebagaimana lazimnya yang dimiliki dan dilakukan oleh bank-bank swasta.
9. Semestinya, dengan dikeluarkannya UU No. 1 Tahun 1995 tentang Perseroan, penyelesaian
piutang perusahaan negara yang telah berbadan hukum perseroan tunduk pada hukum
privat (hukum perseroan), sehingga implementasi dari definisi kekayaan negara yang telah
dipisahkan oleh negara pada badan hukum perseroan tersebut diperhitungkan sebatas
jumlah penyertaan pemerintah kepada badan BUMN dimaksud, tidak termasuk aset BUMN
lainnya seperti kredit (apalagi bank BUMN tersebut telah go public).
10. Aturan kedua terkait dengan ketidakjelasan ruang lingkup penyelesaian aset tingkat
pertama.
Dalam UU No. 49/Prp 1960 tentang Panitia Urusan Piutang Negara, penjelasan pasal 4,

dijelaskan bahwa “Piutang negara pada tingkat pertama pada prinsipnya diselesaikan
oleh instansi dan badan yang bersangkutan”. Selanjutnya disebutkan bahwa apabila
tidak mungkin diselesaikan, maka penyelesaiannya diserahkan kepada PUPN.
Sementara itu dalam aturan pelaksanaan yaitu KMK No. 300/KMK.01/2002 tentang
Pengurusan Piutang Negara ditegaskan:
a. Pasal 2 ayat 1 menegaskan bahwa piutang negara pada tingkat pertama diselesaikan
sendiri oleh BUMN yang bersangkutan sesuai ketentuan perundang-undangan yang
berlaku.
b. Pasal 2 ayat 2 mengatur bahwa dalam hal penyelesaian pada tingkat pertama
tersebut tidak berhasil, maka BUMN yang bersangkutan wajib menyerahkan
pengurusan piutang Negara kepada PUPN.
Berdasarkan ketentuan tersebut masih belum terdapat kejelasan mengenai ruang
lingkup penyelesaian aset pada tingkat pertama yang dapat dilakukan oleh Bank Persero.

3

RAPAT KERJA KOMISI XI DPR RI — DEPKEU — BI - 10 JULI 2006

11. Mengingat tingginya NPL bank BUMN saat ini, maka dalam rangka membantu melakukan
penyehatan terhadap struktur aset bank BUMN serta meningkatkan daya saing bank BUMN,

Pemerintah kiranya perlu mempertimbangkan untuk menciptakan iklim yang kondusif
dengan memberi kewenangan penyelesaian NPL pada tingkat pertama yang lebih luas
kepada bank BUMN dengan mengatur secara tegas bahwa kewenangan bank BUMN pada
penyelesaian tingkat pertama mencakup tindakan eksekusi jaminan, lelang dan atau
pemberian hair cut dalam restrukturisasi kredit. Hal ini penting karena kewenangan yuridis
yang diberikan kepada bank selama ini hanya sampai pada hapus buku dan atau hair cut
atas tunggakan bunga dan denda overdraft kredit.
12. Hambatan-hambatan yang disebutkan sebelumnya telah mengakibatkan bank BUMN tidak
memiliki akselerasi yang sama dengan bank swasta dalam penyelesaian NPL, yang pada
akhirnya menyebabkan relatif tingginya NPL bank BUMN.
13. Selanjutnya, untuk menyelesaikan permasalahan NPL Bank BUMN, Pemerintah melalui
Menko Perekonomian
telah melakukan
pembahasan dengan instansi terkait dan
memperbaiki aturan hukum yang dinilai menghambat penyelesaian NPL bank BUMN.
Penekanan dari aturan hukum tersebut adalah pada batasan aset negara yang dipisahkan
sebatas pada modal negara yang ditempatkan, sehingga definisi piutang negara kepada
BUMN hanya sebatas nilai Penyertaan Modal Pemerintah (PMP) kepada badan hukum
tersebut, sehingga piutang perusahaan negara menjadi piutang korporasi yang tunduk
pada hukum privat.

14. Demikian pula dalam waktu dekat diperlukan terobosan hukum dalam bentuk Peraturan
Pemerintah untuk mempertegas landasan hukum penyelesaian aset bermasalah bank BUMN
tersebut, yang harus lebih tunduk pada hukum perseroan, sehingga kewenangan tertinggi
untuk penyelesaian NPL tersebut cukup diputuskan dalam RUPS bank.
Selanjutnya
diperlukan pula pemahaman dan atau penyamaan persepsi pada tingkatan instansi yang
lebih luas mencakup instansi penegakan hukum (BPK, POLRI, Kejaksaan, KPK dan
Kehakiman).
IV. Penutup
Anggota Dewan yang terhormat,
15. Demikianlah Bapak dan Ibu Anggota Dewan yang terhormat, paparan singkat kami
mengenai tata cara Penghapusan Piutang Negara Dalam Rangka Penyelesaian Kredit
Bermasalah (NPL). Dapat disimpulkan bahwa urgensi perlunya terobosan hukum tersebut
pada dasarnya adalah untuk menciptakan bank-bank BUMN memiliki playing field yang
sama dengan bank swasta lainnya dalam penyelesaian kredit bermasalah serta mendorong
bank BUMN memberikan kontribusi yang optimal dalam pembiayaan kredit sektor riil.

Jakarta, 10 Juli 2006

4