Kajian Yuridis Terhadap Alat Bukti Penyadapan Di Tinjau Dari Hak Asasi Manusia

BAB II
KEBIJAKAN HUKUM PIDANA DI DALAM PENGATURAN
PENYADAPAN DALAM HUKUM POSITIF DI INDONESIA

A. Kebijakan Hukum Pidana dalam Perkembangan Teknologi Informasi
Perkembangan masyarakat serta didorong dengan perkembangan teknologi
informasi dan komunikasi yang begitu pesat dewasa ini, akan menimbulkan
konsekuensi bahwa negara yang dalam hal ini adalah pemerintah dan hukum
harus mengambil kembali peranannya, yakni dalam mengatur kehidupan
bermasyarakat, berbangsa, dan bernegara, terlbih pernanan dalam melinduingi dan
mensejahterakan setiap masyarakatnya.
Pembaharuan tersebut termasuk didalamnya hukum pidana, hukum pidana
tidak hanya berfungsi melindungi nilai-nilai moral semata, hukum pidana dalam
era modern ini lebih condong digunakan sebagai sarana atau alat untuk mencapai
kesejahteraan sosial atau kesejahteraan social (social welfare), namun tetap tetap
memberikan keamanan bagi setiap warga masyarakatnya (social defense)51.
Menurut Barda Nawawi Arief bahwa tujuan akhir atau tujuan utama dari
kebijakan hukum pidana (criminal policy) adalah memberikan perlidungan
masyarakar (social defense) untuk mencapai kesejahteraan masyarakat 52.
Fungsi hukum secara klasik perlu ditambah dengan fungsi-fungsi lainnya
yakni menciptakan hukum yang berfungsi sebagai sarana pembaharuan

masyarakat (social engineering), oleh karena itu, hukum tidak harus dipandang

51

Kristian dan Yopi Gunawan, Op.Cit., hlm. 132
Barda Nawawi Arief, Bunga Rampai Kebijakan Hukum Pidana (Perkembangan
Penyusunan Konsep KUHP Baru), (Bandung: Kencana Prenada Media Group, 2010), hlm. 4
52

Universitas Sumatera Utara

sebagai kaidah semata-mata, tetapi juga harus dipandang sebagai sarana
pembangunan, yaitu hukum yang berfungsi sebagai pengarah dan jalan tempat
berpijak kegiatan pembangunan. Dengan demikian, hukum sebagai sarana
pembaharuan masyarakat ke arah yang lebih maju (progresif), sehingga
memperhatikan

faktor-faktor

sosiologis,


antropologis,

dan

kebudayaan

masyarakat. 53
1. Pengertian Kebijakan Hukum Pidana (criminal Policy)
Sudarto, mengemukakan tiga arti mengenai kebijakan kriminal, yaitu 54 :
a. Dalam arti sempit, ialah keseluruhan asas dan metode yang menjadi dasar
dan reaksi terhdap pelanggaran hukum yang berupa pidana;
b. Dalam arti luas, ialah keseluruhan fungsi dari aparatur penegeak hukum
termasuk didalamnya cara kerja dari pengadilan dan polisi;,
c. Dalam arti paling luas (beliau ambil dari Jorgen Jepsen), ialah keleuruhan
kebijakan, yng dilakukan melalui perundang-undangan dan badan-badan
resmi, yang bertujuan untuk menegakkan norma-norma sentral dari
masyarakat
Hal ini sejalan dengan yang dikemukakan oleh Marc Ancel yang
memberikan defenisi “the rational organization of the control of crime by

society”. 55 Bertolak dari pengertian yang diberikan oleh Marc Ancel ini, G. Peter

53

S.F.Marbun, Deno Kemelus, Saut P. Panjaitan, dkk, Dimensi-dimensi Pemikiran
Hukum Administrasi Negara, (Yogyakarta: Universitas Islam Indonesia, cetakan I), hlm. 184-185
54
Sudarto, Kapita Selekta Hukum Pidana, (Jakarta:Alumni, 1981), hlm. 113-114
55
Marc Ancel, Social Defense A Modern Approach to Criminal Problem, (London:
Rouledge, 1965), hlm. 209

Universitas Sumatera Utara

Hoefnagels mengemukakan bahwa “criminal policy is the rational organization
of the social reaction to crime.” 56
Kebijakan atau upaya penanggulangan kejahatan pada hakikatnya
merupakan bagian integral dari upaya perlindungan masyarakat (social defense)
dan upaya mencapai kesejahteraan masyarakat (social welfare). Oleh karena itu
dapat dikatakan, bahwa tujuan akhir atau tujuan utama dari politik criminal ialah

”perlindungan masyarakat untuk mencapai kesejahteraan masyarakat”. Secara
skematis hubungan tersebut dapat digambarkan sebagai berikut : 57

Skema.1 Kebijakan Hukum Pidana

Social Welfare Policy
Tujuan
Social Policy

Social Defence Policy
Penal
Criminal Policy
Non Penal

Oleh karena itu, penanggulangan kejahatan perlu ditempuh dengan
pendekatan kebijakan, hal ini mempunyai arti sebagai: adanya keterpaduan

56

G. peter Hoefnagels, The Other Side of Criminology an Invension of The Concept of

Crime, (Holland: Kluwer-zdeventer, 1963), hlm. 57
57
Ibid, hlm.

Universitas Sumatera Utara

(integritas) antara politik kriminal dan politik sosial, serta adanya keterpaduan
antara upaya penanggulangan kejahatan dengan penal dan non-penal. 58
2. Ruang Lingkup Kebijakan Hukum Pidana
Istilah kebijakan diambil dari istilah Policy (Inggris) atau Politiek
(Belanda). Bertolak dari kedua istilah asing ini, maka istilah ”kebijakan hukum
pidana” dapat juga disebut dengan istilah, antara lain “penal policy”, “criminal
law policy”, atau “strafrechtspolitiek”.
Menurut Sudarto, yang dimaksud politik hukum pidana adalah:
a. Usaha untuk mewujudkan peraturan-peraturan yang baik sesuai dengan
keadaan dn situasi pada suatu saat. 59
b. Kebijakan dari negara melalui badan-badan yang berwenang untuk
menetapkan peraturan-peraturan yang dikehendaki, yang diperkirakan bisa
digunakan untuk mengekspresikan apa yang terkandung dalam masyarakat
dan untuk mencapai apa yang dicitakan. 60

Sementara menurut Marc Ancel, Penal Poilicy atau Kebijakan Hukum Pidana,
adalah: 61
“Suatu ilmu sekaligus seni yang pada akhirnya mempunyai tujuan praktis
untuk memungkinkan peraturan hukum positif dirumuskan secara lebih
baik dan untuk memberikan pedoman tidak hanya kepada pembuat
undang-undang, tetapi juga kepada pengadilan yang menerapkan undangundang dan juga kepada para penyelenggara atau pelaksana putusan
pengadilan.”

58

Yesmin Anwar dan Andang, Pembaharuan Hukum Pidana, (Jakarta: Gramedia
Widiasarana, 2008), hlm. 57
59
Sudarto, Hukum dan Hukum Pidana (Bandung: Alumni, 1981), hlm.159
60
Sudarto, Hukum Pidana dan Perkembangan Masyarakat (Bandung: Sinar Grafika,
1983), hlm. 20
61
Marc Ancel, Op.cit, hlm. 4-5


Universitas Sumatera Utara

Berdasarkan definisi diatas, maka yang dimaksud “peraturan hukum positif” itu
adalah peraturan perundang-undangan hukum pidana yang digunakan untuk
menanggulangi kejahatan, sehingga istilah “penal policy” menurut Marc Ancel
adalah sama dengan istilah “kebijakan atau politik hukum pidana”.
Barda Nawawi Arief, menjelaskan bahwa kebijakan hukum pidana dapat
dilakukan dengan dua cara, yakni dengan menggunakan sarana penal dan sarana
nonpenal. Secara garis besar, modern criminal science atau hukum pidana modern
terdiri dari tiga komponen utama yang mendasarinya, yaitu: 62
a. Kriminologi;
b. Hukum Pidana; dan
c. Kebijakan Penal
Berdasarkan pada uraian diatas, dapat dinyatakan bahwa kebijakan hukum
pidana atau politik hukum pidana, merupakan sebuah penghubung antara realitas
kehidupan dengan hukum, antara konteks dengan teks. Sehingga diharapkan
tercipta suatu hukum dan penegakkan hukum yang baik dan tepat yang senantiasa
mengikuti perkembangan masyarakat.
3. Kebijakan Hukum Pidana (Criminal Policy) kaitannya dengan Pembaharuan
Hukum Pidana (Penal Reform)

Berdasarkan penejalasan diatas, maka dapat disimpulkan bahwa criminal
policy akan sangat berpengaruh pada pembaharuan hukum pidana pada suatu
negara. Dengan demikian dapat dikatakan bahwa kebijakan hukum pidana
(criminal policy) akan memberi petunjuk, akan memberikan arah dan kajian atau
masukan terkait perlu tidaknya pembaharuan hukum
62

Barda Nawawi Arif, Bunga Rampai Kebijakan Hukum Pidana, (Bandung: PT Citra
Aditya Bakti, 2005), hlm. vii

Universitas Sumatera Utara

Pembaharuan hukum pidana dapat dilakukan dengan beberapa latar
belakang, diantaranya
a. Hukum pidana saat ini berlaku tidak lengkap atau tidak dapat menampung
berbagai masalah dan dimensi perkembangan bentuk-bentuk tindak pidana
baru;
b. Hukum pidana saaat ini berlaku kurang atau bahkan tidak sesuai dengan nilainilai sosio-filosofik, sosio-politik, dan sosio kultural yang hidup di dalam
masyarakat;
c. Hukum pidana yang berlaku saat ini kurang atau tidak sesuai dengan

perkembangan pemikiran atau ide dan aspirasi tuntutan kebutuhan
masyarakat;
d. Hukum pidana yang saat ini berlaku bukanlah merupakan sistem hukum
pidana yang utuh karena masih terdapat pasal-pasal yang bertentangan satu
sama lain;
Sehingga apa yang dikemukakan oleh mantan ketua Mahkamah Agung Purwoto S
Gandasubrata, bahwa hukum harus menggali dan menemukan nilai-nilai hukum
yang baik dan benar sesuai dengan Pancasila dan juga terhadap hukum yang
diakui oleh masyarakat internasional secara universal. 63
Dalam rangka mencegah atau menanggulangi kejahatan atau tindak
pidana, hukum pidana dapat digunakan sebagai sarana atau alat untuk mencapai
tujuan yang telah ditetapkan, yakni menciptakan masyarakat yang damai, tentram,
dan sejahtera. Barda Nawawi Arief menyatakan bahwa kebijakan hukum pidana

63

Purwoto S. Gandasubrata, Tugas Hakim Indonesia-dalam sumbangsih untuk Prof.
Djokosoetono, S.H, (Jakarta: Lembaga Penerbit Fakultas Ekonomi Universitas Indonesia,
Desember 1984, hlm. 516


Universitas Sumatera Utara

dapat dijalankan atau dilaksanakan melalui beberapa tahapan, yaitu tahap
formulasi, tahap penerapan hukum, dan tahap pelaksanaan pidana.
Tahap formulasi hukum merupakan tahap yang paling penting karena pada
tahap ini akan menentukan produk hukum yang telah dibuat dapat ditegakkan
(enforceable) atau tidak. 64 Kebijakan formulasi menurut Barda Nawawi Arief
adalah suatu perencanaan atau program pembuat undang-undang mengenai apa
yang akan dilakukan dalam mengahadapi problema tertentu dan cara bagaimana
melakukan

atau

melaksanakan

sesuatu

yang

telah


direncanakan

atau

diprogramkan itu. 65 Ini artinya, pada tahap formulasi peraturan perundangundangan telah terjadi proses kriminalisasi yang mengatur baik ruang lingkup
perbuatan yang bersifat melawan hukum, pertanggungjawaban pidana yang dapat
dimintakan, sanksi pidana yang dapat dijatuhkan, bahkan cara dan alat untuk
dapat membuktikan telah terjadinya suatu tindak pidana yang pembuktiannya
sangat sulit dan rumit. Sehingga peraturan perundang-undangan yang digunakan
tidak serta merta dilakukan pemerintah dengan melanggar hak asasi manusia.
Dalam kaitannya dengan penyadapan, pada tahap ini akan ditentukan
apakah tindakan penyadapan diperlukan, bagaimana konsep tindakan penyadapan
yang sesuai dengan norma hukum di Indonesia, bagaimana konsep penyadapan
yang tidak melanggar hak asasi manusia, bagaimana apabila ada pihak-pihak yang
melakukan penyadapan tidak sesuai hukum, sehingga pada tahap ini akan
menentukan peraturan yang mengatur penyadapan baik secara konseptual maupun
secara teknis.

64

Kristian dan Yopi Gunawan, Op.cit, hlm. 154
Barda Nawawi Arief, Kebijakan Legislatif dalam Penanggulngn Kejahatan dengan
Pidana Penjara (Disertasi) (Semarang: Universitas Diponegoro, 1994) hlm. 63
65

Universitas Sumatera Utara

Peraturan ini akan digunakan oleh pemerintah yang akan memiliki dua
fungsi utama, yaitu fungsi untuk mengekspresikan nilai-nilai dan fungsi
instrumental. 66 Penyadapan yang diformulasi kedalam peraturan perundangundangan tersebut akan menjadi salah satu upaya luar biasa dalam menanggulangi
kejahatan dengan modus baru dan dengan pembuktian yang sulit dengan
menggunakan teknologi informasi yang sangat camggih. Saat ini diperlukan
sebuah kebijakan hukum pidana dalam rangka melakukan pembaharuan hukum
pidana sehingga dapat melakukan penegakan hukum. Penegakan hukum yang
dilakukan sudah seharusnya dirumuskan didalam sebuah undang-undang yang
akan menjadi pedoman bagi aaprat penegak hukum, sehingga segala tindakan
yang dilakukan tidak melanggar asas-asas hukum serta melanggar hak asasi
manusia.

B. Pengaturan Penyadapan dalam Hukum Positif di Indoensia
Dalam hukum positif di Indoensia, terdapat beberapa Undang-undang
yang dengan tegas memberikan kewenangan kepada lembaga penegak hukum
tertentu untuk melakukan tindakan penyadapan. Beberapa contoh tindak pidana
khusus yang dalam peraturan perundang-undangannya diatur secara tegas
mengenai penyadapan:
1. Undang-undang Republik Indonesia Nomor 5 Tahun 1997 tentang
Psikotropika (Lembaran Negara Republik Indoensia Tahun 1997 Nomor 10,
Tambahan Lembaran Negara Republik Indoensia Nomor 3671)

66

Djoko Prakoso, Pembaharuan Hukum Pidana di Indonesia, (Yogyakarta: Liberty,
1987), hlm. 126

Universitas Sumatera Utara

Dalam Pasal 1 angka 1 Undang_Undang Nomor 5 Tahun 1997 tentang
Psikotropika :
“Psikotropika adalah zat atau obat baik alamiah maupun sintesis bukan
narkotika, yang berkhasiat psikoaktif melalui pengaruh selektif pada
susunan saraf pusat yang menyebabkan perusahaan khas pada aktivitas
mental dan prilaku.”
Perkembangan kejahatan narkotika pada saat ini telah menakutkan
kehidupan masyarakat. Dibeberapa negara, termasuk Indonesia, telah berupaya
untuk meningkatkan program pencegahan dari tingkat penyuluhan hukum sampai
kepada program pengurangan pasokan narkoba atau narkotika.
Dalam Pasal 55 huruf c Undang-undang Republik Indonesia Nomor 5
Tahun 1997 tentang Psikotropika dinyatakan dengan tegas bahwa:
“Selain yang ditentukan dalam Undang-Undang Nomo8 Tahun 1981
tentang Hukum Acara Pidana Penyidik Polisi Negara Republik Indonesia
dapat menyadap pembicaraan melalui telepon dan/atau alat
telekomunikasi elektronika lainnya yang dilakukan oleh orang yang
dicurigai atau diduga keras membicarakan masalah yang berhubungan
dengan tindak pidana psikotropika. Jangka waktu penyadapan
berlangsung untuk paling lama 30 (tiga puluh) hari.”

Hal yang perlu dikemukakan berdasarkan pertimbangan yang terdapat
dalam Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 5 Tahun 1997 tentang
Psikotropika tepatnya dalam huruf d dan e dikemukakan dengan tegas bahwa
penyalahgunaan psikotropika dapat merugikan kehidupan manusia dan kehidupan
bangsa. Sehingga pada gilirannya dapat mengancam ketahanan nasional dan
dengan semakin pesatnya ilmu pengethuan dan teknologi, transportasi,
komunikasi dan informasi telah mengakibatkan

peredaran gelap psikotropika

yang semakin luas dan berdimensi internasional. Oleh karena itu, tindak pidana

Universitas Sumatera Utara

psikotropika dapat dikatakan atau dikualifikasikan sebagai kejahatan yang bersifat
luar biasa yang penangannya membutuhkan cara-cara luar biasa yang salah
satunya adalah dengan dilakukannya penyadapan. 67
Berdasarkan ketentuan sebagaiman ditur dalam Pasal 55 huruf c diatas,
dapat dilihat bahwa kebijakan hukum pidana Indoenesia (criminal pebal policy)
dalam hal pencegahan dan pemberantasan tindak pidana psikotropika telah
merumuskan dengan tegas mengenai legalitas dan keabsahan tindakan
penyadapan yang dilakukan oleh penyidik terhadap orang atau sekelompok orang
yang dicurigai atau diduga keras membicarakan masalah yang berhubungan
dengan tindak pidana psikotropika dengan menggunakan media atau sarana
berupa telepon dan/atau alat telekomunikasi laainnya.
2.

Undang-undang Nomor 31 Tahun 1999 tentang Pemberantasan Tindak

Pidana Korupsi sebagaimana telah diubah dengan Undang-Undang Nomor 20
Tahun 2001 tentang Perubahan atas Undang-Undang Nomor 31 Tahun 1999
tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi.
Pengertian korupsi apabila dilihat dari pendapat para ahli akan
memberikan suatu definisi yang berbeda antara satu dan yang lain. Menurut
Robert Kiltgaard, korupsi itu ada manakala seseorangsecara tidak halal
meletakkan kepentingan pribadi diatas kepentingan rakyat, serta cita-cita yang
menurut simpah kan dilayaninya. Korupsi muncul dalam banyak bentuk, dan
membentang dari soal sepele sampai pada soal yang amat besar. Korupsi dapat
menyangkut penyalahgunaan instrument-instrumen kebijakan seperti soal tariff,
pajak, kredit, sistem irigasi, kebijakan perumahan, penegakan hukum, peraturan

67

Kristian dan Yopi Gunawan, Op.Cit.,hln. 272

Universitas Sumatera Utara

menyangkut kemanan umum, pelaksanaan kontrak, pengambilan pinjaman, dan
sebagainya. 68
Korupsi merupakan kejahatan yang pemberantasannya harus dilakukan
secara luar biasa". Oleh karena itu wajar jika dalam Undang-Undang
Pemberantasan Korupsi juga dimungkinkan seseorang koruptor dihukum mati
diatur didalam Pasal 2 ayat 2 Undang-Undang Nomor 31 Tahun 1999 tentang
Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi sebagaimana telah di ubah dengan
Undang-Undang Nomor 20 Tahun 2001 tentang Perubahan atas Undang-Undang
Nomor 31 tahun 1999 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi (selanjutnya
disebut UU PTPK). 69
Didalam pertimbangan UU PTPK dalam huruf a dan b dikemukakan
dengan tegas bahwa tindak pidana korupsi sangat merugikan keuangan negara dan
perekonomian negara dan menghambat pembangunan nasional sehingga harus
diberantas dalam rangka mewujudkan masyarakat yang adil dan makmur
berdasarkan Pancasila dan Undang-Undang Dasar 1945 dan menimbang bahwa
tindak pidana korupsi yang terjadi selama ini selain merugikan keuangan negara
atau perekonomian negara juga menghambat pertumbuhan dan kelangsungan
pembangunan nasional.
Sehingga tindak pidana korupsi perlu digolongkan sebagai kejahatan yang
pemberantasannya harus dilakukan dengan cara luar biasa untuk lebih menjamin
kepastian

hukum,

menghindari

keragaman

penafsiran

dan

memberikan

perlindungan terhadap hak-hak sosial dan ekonomi masyarakat serta perlakuan

68

Robert Klitgaard, Membasmi Korupsi, terjemahan Hermoyo, (Jakarta:Yayasan Obor,
1998), hlm. xix
69
http://www.rolastampubolon.wordpress.com/korupsi-merupakan-extra-ordinary-crime,
diakses tanggal 18 April 2016

Universitas Sumatera Utara

secara adil dalam memberantas tindak pidana korupsi. Sejalan dengan hal tersebut
Ketua Kamar Pidana Artidjo Alkostar mengemukakan bahwa korupsi sebagai
Extra Ordinary Crime Korupsi Politik yang terjadi di Indoensia ditunjukkan
dalam berbagai kasus korupsi yang terbukti dilakukan oleh pejabat atau
penyelenggara negara. Korban kejahatan korupsi politik adalah rakyat. Ddalam
negara demokrasi sejatinya rakyat menjadi pemangku kepentingan (stakeholder)
kedaulatan negara. Banyaknya kesempatan dan sarana yang dimiliki oleh
pemegang kekuasaan di eksekutif dan kekuasaan electoral di parlemen, menjadi
peluang melakukan korupsi. Dengan berbagai modus operandi pelaku korupsi
politik melakukan tindakan transaksional yang menguntungkan diri sendiri, orang
lain atau korporasi 70
Dampak korupsi politik sangat berbahaya bagi integritas negara dan
martabat bangsa. Predikat negara korup akan dan harus ditanggung oleh seluruh
komponen bangsa, termasuk sebagian rakyat yang tidak berdosa. Kendatipun
korupsi di Indonesia secara yuridis telah dikualifikasikan sebagai kejahatan luar
biasa (extra ordinary crime), namun fenomena korupsi yang sistemik dan meluas
tetap merisaukan masyarakat secara nasional. Pelaku korupsi politik mencoreng
harga diri bangsadepannya. didepan public internasional. Hilangnya harta
kekayaan negara dalam jumlah trilyunan rupiah, telah mengakibatkan banyak
rakyat menderita, kehilangan hak-hak stategis secara sosial ekonomi, mengalami
degradasi martabat kemanusiaan dan menjadi buram masa depannya. 71

70

http://bawas.mahkamahagung.go.id/portal/component/content/article/3-artikel-khususbadan-pengawas/323-korupsi-sebagai-extra-ordinary-crime-dan-tugas-yuridis-para-hakim, di akses
pada hari Selasa, 19 April 2016
71
Ibid

Universitas Sumatera Utara

Laporan Transparansi Internasional (TI) menunjukkan bahwa praktik
penyalahgunaan kekuasaan dan keuangan negara akan berujung pada suatu tindak
pidana.

Dari

negara-negara

yang

berada

di

kawasan

ASEAN

pada tahun 2013, Indoensia berada pada posisi ke-6 dengan skor 32, hal ini masih
jauh di bandingkan dengan negara-negara ASEAN lainnya seperti Singapura (86),
Brunei Darussalam (60), Malaysia (50), Filipina (36), dan Thailand (35).
Berikut uraian lengkap mengenai data indeks tindak pidana korupsi dari
Transparansi Internasional pada tahun 2013. 72

Tabel.1 Indeks Persepsi Korupsi 2013
Peringkat
ASEAN

Negara

Skor

1

Singapura

86

2

Brunei Darussalam

60

3

Malaysia

50

4

Filipina

36

5

Thailand

35

6

Indonesia

32

7

Vietnam

31

8

Timor Leste

30

9

Laos

26

10

Myanmar

21

11

Kamboja

20

Sumber: Transparansi Internasional (TI)

72

http://www.ti.or.id/index.php/publication/2013/12/03/corruption-perception-index2013, diakses pada 19 April 2016

Universitas Sumatera Utara

Berdasarkan data diatas, tidaklah berlebihan berlebihan apabila dikatakan
bahwa tindak pidana korupsi merupakan bentuk kejahatan luar biasa (extra
ordinary crime) yang menimbulkan efek sosial kemasyarakatan maupun sekat
kesenjangan yang sangat membahayakan. Disamping itu, perilaku koruptif akan
senantiasa membawa kearah paradigm degradasi moral. Sebuah adagium
menyebutkan bahwa “semakin dekat ssseorang dengan kekuasaan maka akan
cenderung untuk berbuat korup”. 73
Pengaturan dan legitimasi tindakan penyadapan dalam menangani
maraknya tindak pidana korupsi dapat dilihat pada Pasal 26 UU PTPK yang
menyatakan :
“Penyidikan, penuntutan, pemeriksaan disidang pengadilan terhadap
tindak pidana korupsi, dilakukan berdasarkan hukum acara pidana yang
berlaku, kecuali ditentukan lain dalam Undang-Undang ini.”
Kemudian bila dilihat pada bagian penjelasan Pasal ini di kemukakan dengan
tegas bahwa:
“Kewenangan penyidik dalam pasal ini termasuk wewenang untuk
melakukan penyadapan (wiretapping).”
Penyadapan sebagai alat bukti petunjuk dapat dilihat dari ketentuan Pasal 26 A
UU PTPK yang menyatakan bahwa:
“Alat bukti yang sah dalam bentuk petunjuk sebagimana dimaksud dalam
Pasal 188 ayat (2) Undang-Undang Nomor 8 tahun 1981 tentang Hukum
Acara Pidana, khusus untuk tindak pidana korupsi, juga diperoleh dari:
alat bukti lain yang berupa informasi yang diucapkan, dikirim, diterima
atau disimpan secara elektronik dengan alat optik atau yang serupa
dengan itu; dan dokumen, yakni setiap rekaman data atau informasi yang
dapat dilihat, dibaca, dan/atau didengar yang dapat dikeluarkan dengan
atau tanpa bantuan suatu sarana, baik yang tertuang di atas kertas, benda
73

Kristian dan Yopi Gunawan, Op.Cit.,hln. 289

Universitas Sumatera Utara

fisik apapun selain kertas, maupun yang terekam secara elektronik, yang
berupa tulisan, suara, gambar, peta, rancangan, foto, huruf, tanda, angka
atau perfolasi yang memiliki makna.”
Sehungga berdasarkan ketentuan-ketentuan diatas, dapat dilihat bahwa
kewenangan yang dmiliki seorang penyidik dalam rangka menemukan dan
menentukan pelaku tindak pidana korupsi dapat dilakukan melalui penyadapan
(wiretapping), dan hasil penyadapan yang dilakukan tersebut diakui sebagai alat
bukti yang sah, yaitu berupa alat bukti petunjuk.
3.

Undang-Undang Nomor 36 Tahun 1999 tentang Telekomunikasi (Lembaran

Negara Republik Indonesia Tahun 1999 Nomor 154, tambahan Lembaran Negara
Republik Indonesia Nomor 3881)
Pengaturan mengenai penyadapan dalam Undang-Undang ini dapat
diemukan dalam ketentuan Pasal 42 ayat (2) Undang-Undang Nomor 36 Tahun
1999 tentang Telekomunikasi yang menyatakan dengan tegas bahwa:
“Untuk

keperluan

proses

peradilan

pidana,

penyeleggara

jasa

telekomunikasi dapat merekam informasi yang dikirim dan/atau doterima
oleh penyelenggara jasa telekomunikasi serta dapat memberikan
informasi yang diperlukan atas:
a. Permintaan tertulis Jaksa Agung dam/atau Kepala Kepolisian
Republik Indonesia untuk tindak pidana tertentu;
b. Permintaan penyidik untuk tindak pidana tertentu sesuai dengan
undang-undang yang berlaku.”
Berdasarkan ketentuan sebagaiaman diatur pada Pasal 42 di atas, dapat
dilihat bahwa untuk keperluan proses peradilan pidana, penyelenggara jasa
telekomunikasi dapat merekam informasi yang dikirim dan/atau diterima oleh
penyelenggara jasa telekomunikasi serta dapat memberikan informasi yang

Universitas Sumatera Utara

diperlukan untuk kepentingan proses peradilan pidana. Namun hal ini dapat
dilakukan berdasarkan permintaan tertulis dari Jaksa Agung bagi Jaksa yang ingin
melakukan penyadapan, dan/atau Kepala Kepolisian Republik Indonesia bagi
permintaan penyidik dan dapat diajukan untuk tindak pidana tertentu yang bersifat
khusus sesuai dengan undang-undang yang berlaku.
Menurut undang-undang ini juga, yang harus diperhatikan adalah subjek
atau lembaga yang berwenang melakukan tindakan penyadapan. Subjek atau
lembaga yang berwenang untuk melakukan tindakan penyadapan bukanlah
penyidik tindak pidana yang bersangkutan melainkan penyelenggara jasa
telekomunikasi. Dengan demikian, penyidik baik itu kepolisian ataupun kejaksaan
atau penyidik lainnya yang tidak berwenang untuk melakukan tindakan
penyadapan secara langsung dapat diminta untuk dilakukan tindakan penyadapan
kepada penyelenggara jasa telekomunikasi.
Sehingga hal ini juga dapat menimbulkan dampak positif dan juga dmpak
negatif. Dmpak negatif dalam hal ini, penyidik tidak dapat langsung melakukan
tindakan penyadapan sehingga rantai birokrasi dan prosedural menjadi lebih
panjang, lebih rumit, dan membutuhkan lebih banyak waktu. Selain itu, kondisi
yang demikian akan membuka peluang untuk terbukanya rahasia tindakan
penyadapan yang dilakukan ataupun terhadap hasil sadapan. Disisi lain, hal ini
menimbulkan dampak positif. Dampak positif dalam hal ini adalah terkontrolnya
tindakan penyadapan baik itu tindakan penyadapan yang dilakukan oleh
penyelenggara jasa telekomunikasi maupun terkontrolnyanya pihak-pihak mana
saja yang akan disadap, untuk keperluan apa tindakan penyadapan dilakukan serta

Universitas Sumatera Utara

tindakan penyadapan ini tidak dapat dilakukan secara sembarangan karena
diperlukan izin pimpinan. 74
4.

Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-Undang Nomor 1 tahun 2002

tentang Pemberantasan TIndak Pidana Terorisme (Tsmbahan Lembaran Negara
Republik Indonesia Nomor 423) sebagaimana telah ditetapkan dengan UndangUndang Republik Indonesia Nomor 15 Tahun 2003 tentang Penetapan Peraturan
Pemerintahan Pengganti Undang-Undang Nomor 1 Tahun 2002 tentang
Pemberantasan Tindak Pidana Terorisme menjadi Undang-Undang (Lembaran
Negara Republik Indonesia Tahun 2003 Nomor 45, Tambahan Lembaran Negara
Republik Indonesia Nomor 4284)
Tindak Pidana Terorisme sama halnya dengan tindak pidana korupsi,
tindak pidana terorisme merupakan tindak pidana kerah putih (white collar crime)
yang bersifat ekstra ordinary (extra ordinary crime) dan terorganisasi (organized
crime) dengan dimensi kejahatan baru (new dimension of crime) yang sudah tentu
akan sangat berdampak negatif dan sangat berbahaya sehingga dalam upaya
pencegahan dan pemberantasannya perlu dilakukan dengan cara-cara yang luar
biasa pula.
Terkait dengan tindakan penyadapan, tindakan penyadpan diatur secara
tegas dalam Pasal 31 ayat (1) huruf b Undang-Undang Republik Indonesia Nomor
15 Tahun 2003 tentang Penetapan Peraturan Pemerintah Pengganti UndangUndang Nomor 1 tahun 2002 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Terorisme
Menjadi Undang-Undang ( selanjutnya disebut UU Terorisme) yang menyatakan
bahwa:

74

Ibid.,hln. 282

Universitas Sumatera Utara

“Berdasarkan bukti permulaan yang cukup sebagaimana yang dimaksud
dalam Pasal 26 ayat (4) penyidik berhak menyadap pembicaraan melalui
telepon atau alat komunikasi lain yang diduga digunakan untuk
mempersiapkan, merencanakan, dan melakukan tindak pidana terorisme.”
Kemudian hal yang menarik berdasarkan Pasal 31 ayat (2) dan ayat (3) UU
Terorisme dikemukakan dengan tegas bahwa:
“Tindakan penyadapan sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) huruf b,
hanya dapat dilakukan atas perintah Ketua Pengadilan Negeri untuk
jangka waktu paling lama 1 (satu) tahun dan tindakan sebagaimana
dimaksud dalam ayat (1) dan ayat (2) harus dilaporkan atau
dipertaggungjawabkan kepada atasan penyidik.”

Berdasarkan kedua hal diatas, dapat dilihat bahwa tindakan penyadapan
baru dapat dilakukan oleh penyidik tindak pidana terorisme apabila telah
memenuhi persyaratan yang telah ditentukan dengan tegas oleh undang-undang.
Dengan kata lain, dapat dikatakan bahwa pihak atau subjek atau lembaga yang
berwenang untuk melakukan penyadapan adalah penyidik tindak pidana
terorisme. Namun, tindakan tersebut baru dapat dilakukan apabila telah memenuhi
persyaratan yang telah ditentukan dengan tegas oleh undang-undang. Adapun
persyaratan-persyaratan tersebut adalah sebagai berikut:
a. Tindakan penyadapan baru dapat dilakukan ketikda terdapat bukti permulaan
yang cukup sebagaimana diatur dalam Pasal 26 ayat (1) sampai dengan ayat
(4) undang-undang ini.
b. Tindakan penyadapan dilakukan atas pembicaraan melalui telepon atau alat
komunikasi lain.

Universitas Sumatera Utara

c. Penyadapan yang dilakukan harus ditunjukkan terhadap orang atau
sekelompok orang yang diduga sedang mempersiapkan, merencanakan, dan
melakukan tindak pidana terorisme.
d. Tindakan penyadapan dilakukan atas perintah Ketua Pengadilan Negeri.
e. Tindakan penyadapan dilakukan dalam jangka waktu yang telah dilakukan
yaitu paling lama 1 (satu) tahun.
f. Tindakan penyadapan yang dilakukan harus dapat dipertanggungjawabkan
dengan memberikan atau membuat laporan kepada atasan penyidik.
Berdasarkan hal tersebut, dapat dilihat bahwa Undang-UU Terorisme telah
mengatur dengan tegas, jelas, dan rinci mengenai prosedur dan tata cara
dilakukannya penyadapan.
5.

Undang-Undang Nomor 21 Tahun 2007 tentang Pemberantasan Tindak

Pidana Perdagangan Orang (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2007
Nomor 58, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 4270)
Dalam pertimbangan Undang-Undang Nomor 32 Tahun 2007 tentang
Pemberantasan Tindak Pidana Perdagangan (selanjutnya disebut UU Perdangan
Orang) Orang dikemukakan bahwa setiap orang sebagai makhluk Tuhan Yang
Maha Esa memiliki hak-hak asasi sesuai dengan kemuliaan harkat dan
martabatnya yang dilindungi oleh undang-undang berdasarkan Pancasila dan
Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945; bahwa
perdagangan orang, khususnya perempuan dan anak, merupakan tindakan yang
bertentangan dengan harkat dan martabat manusia dan melanggar hak asasi
manusia sehingga harus diberantas; bahwa perdagangan orang telah meluas dalam
bentuk jaringan kejahatan yang teroganisasi, baik bersifat antar negara maupun

Universitas Sumatera Utara

dalam negeri, sehingga menjadi ancaman terhadap masyarakat, bangsa dan
negara, serta norma-norma kehidupan yang dilandasi penghormatan terhadap hak
asasi manusia dan keinginan untuk mencegah dan menanggulangi tindak pidana
perdangangan orang didasarkan pada nilai-nilai luhur, komitmen nasional dan
internasional untuk melakukan upaya pencegahan sejak dini, penindakan terhadap
pelaku, perlindungan korban, dan peningkatan kerja sama.
Terkait dengan tindakan penyadapan yang dapat dilakukan, berdasarkan
ketentuan Pasal 31 ayat (1) dan ayat (2) UU Perdagangan Orang Orang ditentukan
dengan tegas bahwa:
“Berdasarkan bukti permulaan yang cukup, penyidik berwenang
menyadap telepon atau alat komunikasi lain yang diduga digunakan untuk
mempersiapkan,

merencanakan,

dan

melakukan

tindak

pidana

perdagangan orang.”
Pada ayat (2) menyatakan bahwa:
“Tindakan penyadapan sebagaiaman sebagaimana dimaksud pada ayat
(1), hanya dilakukan atas izin tertulis Ketua Pengadilan untuk jangka
waktu paling lama 1 (satu) tahun.”
Sehingga berdasarkan kedua hal itu ditentukan dengan tegas bahwa
penyadapan dapat dilakukan dengan syarat-syarat sebagai berikut:
a. Tindakan penyadapan hanya dapat dilakukan oleh Penyidik.
b. Tindakan penyadapan baru dapat dilakukan setelah terdapat bukti permulaan
yang cukup
c. Tindakan penyadapan dilakukan terhadap telepon atau alat komunikasi
lainnya.

Universitas Sumatera Utara

d. Tindakan penyadapan dilakukan terhadap seorang atau sekelompok orang
yang duduga sedang mempersiapkan, merencanakan, dan melakukan tindak
pidana perdagangan orang
e. Tindakan penyadapan hanya dilakukan atas izin tertulis Ketua Pengadilan.
f. Tindakan penyadapan hanya dapat dilakukan dalam tenggang waktu yang
telah ditentukan, yaitu paling lama 1 (satu) tahun.
Berdasarkan hal tersebut UU Perdagangan orang telah dengan tegas
mengatur mengenai prosedur dan tata cara dilakukannya penyadapan, pengaturan
dalam undang-undang ini masih dapat dikatakan belum terperinci. Diakatakan
demikian karena undang-undang ini tidak mengatur secara terperinci mengenai
prosedur dan tata cara teknis melakukan penyadapan. 75
6.

Undang-Undang Nomor 35 Tahun 2009 tentang Narkotika (Lembaran

Negara Republik Indonesia tahun 2009 Nomor 143, Tambahan Lembaran Negara
Republik Indonesia Nomor 5062).
Di dalam Undang-Undang Nomor 35 Tahun 2009 tentang Narkotika
(selanjutnya disebut UU Narkotika) dalam ketentuan Pasal 75 huruf I,
dikemukakan dengan tegas bahwa:
“Dalam rangka melakukan penyidikan, penyidik Badan Narkotika
Nasional (BNN) berwenang melakukan penyadapan yang terkait dengan
penyadalahgunaan dan peredaran gelap Narkotika dan Prekursor
Narkotika setelah terdapat bukti awal yang cukup.”
Sedangkan berdasarkan Pasal 77 ayat (1) sampai dengan ayat (4) dikemukakan
pula bahwa:

75

Ibid, hlm. 294

Universitas Sumatera Utara

(1) Penyadapan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 75 huruf I
dilaksanakan setelah terdapat bukti permulaan yang cukup dan dilakukan
paling lama 3 (tiga/ bulan terhitung sejak surat penyadapan diterima
penyidik.
(2) Penyadapan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) hanya dilaksanakan
atas izin tertulis dari Ketua Pengadilan.
(3) Penyadapan

sebagaimana

dimaksud

pada

ayat

91)

dapat

diperpanjang 1 9satu) kali untuk jangka waktu yang sama.
(4) Tata Cara penyadapan dilaksanakan sesuai dengan ketentuan
peraturan perundang-undangan.
Sehingga berdasarkan ketentuan tersebut, prosedur dan tata cara penyadapan
tersebut adalah:
a. Tindakan penyadapan dilakukan dalam rangka penyidikan.
b. Tindakan penyadapan dilakukan oleh Penyidik Badan Narkotika Nasional.
c. Tindakan penyadapan dilakukan berkaitan dengan penyalahgunaan dan
peredaran gelap narkotika dan precursor narkotika.
d. Tindakan penyadapan hanya dapat dilakukan setelah mendapat bukti
permulaan yang cukup.
e. Tindakan penyadapan dilakukan paling lama 3 (tiga) bulan terhitung sejak
surat penyadapan diterima oleh penyidik.
f. Jangka waktu dilakukanya penyadapan tersebut dapat diperpanjang 1 (satu)
kali dalam jangka waktu yang sama.
g. Tindakan penyadapan hanya dapat dilaksanakan atas izin tertulis dari Ketua
Pengadilan.

Universitas Sumatera Utara

Berdasarkan hal diatas, pengaturan penyadapan khususnya berkaitan
dengan tata cara atau prosedur dilakukanya penyadapan telah cuku komprehensif
di atur dalam UU Narkotika jika dibandingkan dengan pengaturan dalam
peraturan perundang-undangan lainnya.

Universitas Sumatera Utara