Hubungan Antara Kesengajaan Terhadap Pertanggung Jawaban Pidana Dalam Kasus Kecelakaan Lalu Lintas Di Jalan Yang Menyebabkan Hilangnya Nyawa Seseorang Chapter III V

BAB III
UNSUR KESENGAJAAN DALAM PEMIDANAAN
KECELAKAAN LALU LINTAS

Kecelakaan lalu lintas menurut Pasal 1 angka 24 Undang-Undang No. 22
Tahun 2009 tentang Lalu Lintas dan Angkutan Jalan adalah suatu peristiwa di jalan
yang tidak diduga dan tidak disengaja melibatkan kendaraan dengan atau tanpa
pengguna jalan lain yang mengakibatkan korban manusia dan/atau kerugian harta
benda. 122 Dalam pengertian kecelakaan lalu lintas tersebut mengidentifikasikan
bahwa peristiwa kecelakaan lalu lintas adalah peristiwa yang tidak diduga dan tidak
disengaja, oleh karena adanya unsur tidak diduga dan tidak disengaja, maka dapat
diartikan dengan kelalaian (kealpaan – culpa).
Ada beberapa faktor yang menjadi penyebab terjadinya kecelakaan lalu
lintas, yaitu 123 :
1. “Kelalaian, pengguna jalan, misalnya : menggunakan telepon genggam
ketika mengemudi, kondisi tubuh letih dan mengantuk, mengendarai
kendaraan dalam keadaan mabuk, kurangnya pemahaman terhadap
rambu-rambu lalu lintas, dan sebagainya;
2. Ketidaklayakan kendaraan, misalnya : kendaraan dengan modifikasi yang
tidak standard, rem blong, kondisi ban yang sudah tidak layak pakai,
batas muatan yang melebihi batas angkut kendaraan, dan sebagainya;

3. Ketidaklayakan jalan dan/atau lingkungan, misalnya : kondisi jalan yang
berlubang, kurangnya pemasangan rambu-rambu lalu lintas dan marka
jalan, dan sebagainya.
Kecelakaan lalu lintas dapat terjadi akibat kombinasi ketiga faktor di
atas”.
122

Lihat juga : Pasal 93 ayat (1) Peraturan Pemerintah No. 43 Tahun 1993 tentang Prasarana
dan Lalu Lintas, yang menyatakan bahwa : “Kecelakaan lalu lintas adalah suatu peristiwa di jalan
yang tidak disangka-sangka dan tidak disengaja melibatkan kendaraan dengan atau tanpa pemakai
jalan lainnya, mengakibatkan korban manusia atau kerugian harta benda”.
123
Website Resmi Korps Lalu Lintas Polri, “Faktor Penyebab Kecelakaan Lalu Lintas”,
National Traffic Management Center, http://www.lantas.polri.go.id., diakses pada 30 Januari 2013.

81
Universitas Sumatera Utara

Selanjutnya akan dibahas mengenai jenis-jenis kecelakaan lalu lintas menurut
peraturan perundang-undangan yang berlaku.


A.

Jenis-Jenis Kecelakaan Lalu Lintas Menurut Undang-Undang No. 22
Tahun 2009 tentang Lalu Lintas dan Angkutan Jalan
Menurut jenisnya, kecelakaan lalu lintas dapat digolongkan atas beberapa

penggolongan sebagaimana diatur dalam Pasal 229 Undang-Undang No. 22 Tahun
2009 tentang Lalu Lintas dan Angkutan Jalan, yaitu :
1. Kecelakaan lalu lintas ringan adalah merupakan kecelakaan yang
mengakibatkan kerusakan kendaraan dan/atau barang;
2. Kecelakaan lalu lintas sedang adalah kecelakaan yang mengakibatkan luka
ringan dan kerusakan kendaraan dan/atau barang. Luka ringan dimaksud
adalah luka yang mengakibatkan korban menderita sakit yang tidak
memerlukan perawatan inap di rumah sakit atau selain yang diklasifikasikan
dalam luka berat;
3. Kecelakaan lalu lintas berat adalah kecelakaan yang mengakibatkan korban
meninggal dan/atau luka berat. Luka berat dimaksud adalah yang
mengakibatkan korban :
a. Jatuh sakit dan tidak ada harapan sembuh sama sekali atau

menimbulkan bahaya maut;
b. Tidak mampu terus-menerus untuk menjalankan tugas jabatan atau
pekerjaan;

Universitas Sumatera Utara

c. Kehilangan salah satu panca indera;
d. Menderita cacat berat atau lumpuh;
e. Terganggu daya pikir selama 4 (empat) minggu lebih;
f. Gugur atau matinya kandungan seseorang;
g. Luka yang membutuhkan perawatan rumah sakit lebih dari tiga puluh
hari.

Menurut Kadiyali LR, kecelakaan dapat diklasifikasikan berdasarkan
beberapa hal di bawah ini sebagai berikut 124 :
1. “Berdasarkan Lokasi Kecelakaan, terdiri dari :
a. Lokasi jalan lurus 1 (satu) lajur, 2 (dua) lajur maupun 1 (satu) lajur
searah atau berlawanan arah;
b. Tikungan jalan;
c. Persimpangan;

2. Berdasarkan Waktu Terjadinya Kecelakaan;
Jenis kecelakaan ini ditetapkan menurut 1 (satu) periode waktu tertentu,
misalnya periode 1 (satu) jam, 2 (dua) jam, dan seterusnya. Direktorat
Lalu Lintas Kepolisian Republik Indonesia, membagi waktu kecelakaan
sebagai berikut 125 :
a. Pukul 06.00 – 09.00;
b. Pukul 10.00 – 13.00;
c. Pukul 14.00 – 17.00;
d. Pukul 18.00 – 21.00;
e. Pukul 22.00 – 01.00;
f. Pukul 02.00 – 05.00;
3. Berdasarkan Korban Kecelakaan;
a. Kecelakaan Luka Fatal adalah kecelakaan lalu lintas yang
mengakibatkan korban jiwa/meninggal dunia;
b. Kecelakaan Luka Berat adalah kecelakaan lalu lintas yang
mengakibatkan korban mengalami luka-luka yang dapat
124

Panjaitan Taruli, “Analisa Kecelakaan pada Lokasi Rawan Kecelakaan di Kota Jakarta”,
(Jakarta : Karya Tulis, Fakultas Teknik Universitas Indonesia, 1989).

125
Mabes Polri, “Polantas Dalam Angka Tahun 2000”, (Jakarta : Direktorat Lalu Lintas
Kepolisian Republik Indonesia, 2001).

Universitas Sumatera Utara

membahayakan jiwa dan memerlukan pertolongan/perawatan lebih
lanjut di Rumah Sakit;
c. Kecelakaan Luka Ringan adalah kecelakaan yang mengakibatkan
korban mengalami luka-luka yang tidak membahayakan jiwa dan
tidak memerlukan pertolongan lebih lanjut dari Rumah Sakit;
4. Berdasarkan Cuaca;
Berdasarkan Buku Laporan Kejadian Kecelakaan dari Divisi Manajemen
Lalu Lintas Jasa Marga, cuaca terbagi menjadi :
a. Cerah;
b. Hujan Gerimis;
c. Hujan Lebat;
d. Kabut;
e. Mendung;
5. Berdasarkan Posisi Kecelakaan.

a. Tabrakan Secara Menyudut (angle), merupakan tabrakan antara
kendaraan yang berjalan pada arah yang berbeda tetapi juga pada arah
yang berlawanan. Biasanya terjadi pada sudut siku-suku (right angle)
di pertemuan jalan;
b. Menabrak Bagian Belakang (rear end), merupakan kendaraan yang
menabrak bagian belakang kendaraan lain yang berjalan pada arah
yang sama, biasanya di jalur yang sama pula;
c. Menabrak Bagian Samping/Menyerempet (side swipe), merupakan
kendaraan yang menabrak kendaraan lain dari bagian samping sambil
berjalan pada arah yang sama atau berlawanan, biasanya pada jalur
yang berbeda;
d. Menabrak Bagian Depan (head on), merupakan tabrakan antara
kendaraan yang berjalan pada arah yang berlawanan;
e. Menabrak Secara Mundur (backing);
f. Kehilangan Kendali (control)”.

Jenis-jenis kecelakaan lalu lintas menurut Undang-Undang No. 22 Tahun
2009 tentang Lalu Lintas dan Angkutan Jalan hanya diatur berdasarkan bobot korban
kecelakaan. Undang-Undang No. 22 Tahun 2009 tentang Lalu Lintas dan Angkutan
Jalan tidak mengatur tentang pembagian-pembagian jenis-jenis kecelakaan lalu lintas

berdasarkan tipe-tipe kecelakaan lalu lintas. Untuk melihat kecelakaan lalu lintas

Universitas Sumatera Utara

berdasarkan posisi kecelakaannya, dapat dilihat pada gambar tipe tabrakan dasar
berikut ini :
Gambar 2
Tipe Tabrakan Dasar

Depan-Depan

Kanan Kiri

Belakang-Belakang
Kiri Dalam
Belakang-Belakang
Putaran U Berlawanan
Lalu Lintas Menyeberang
Terguling Keluar Jalan


Kanan Luar
Terguling di Jalan

Menabrak Objek Tetap

Kanan Dalam

Menabrak Jembatan

Kanan-Kanan RHS

P

Menabrak Kendaraan Parkir

Kanan-Kanan LHS

Kanan Berlawanan

Kanan-Kanan Berlawanan


A

Menabrak Hewan

P

Menabrak Pejalan Kaki

B

Menabrak Pengendara Sepeda

Sumber : “Jenis Kecelakaan Berdasarkan Posisi Tabrakan”, Direktorat Lalu Lintas Kepolisian
Republik Indonesia, 2013.

Universitas Sumatera Utara

Setelah


mengetahui

tipe-tipe

kecelakaan

dasar,

selanjutnya

akan

dikemukakan mengenai klasifikasi kecelakaan berdasarkan posisi terjadinya. Adapun
tabel klasifikasi kecelakaan berdasarkan posisi terjadinya adalah sebagai berikut :
Tabel 1
Klasifikasi Kecelakaan Berdasarkan Posisi Terjadinya

No. Gambar/Lambang

Klasifikasi


1.

Tabrak Depan

2.

Tabrak Belakang

3.

Tabrak Samping

4.

Tabrak Sudut

5.

Kehilangan Kontrol

Keterangan/Kemungkinan
- Terjadi pada jalan lurus yang
berlawanan arah.
- Terjadi pada satu ruas jalan searah;
- Pengereman mendadak;
- Jarak kendaraan yang tidak terkontrol.
- Terkado pada jalan lurus dan searah;
- Pelaku menyelip kendaraan.
- Tidak tersedia pengaturan lampu lalu
lintas
atau
rambu-rambu
pada
persimpangan jalan;
- Mengemudikan kendaraan dengan
kecepatan tinggi pada saat hujan
sehingga
kemudi
tidak
dapat
dikendalikan;
- Terjadi pada saat pengemudi kehilangan
konsentrasi;
- Kendaraan mengalami kehilangan
kendali.

Sumber : Djoko Setijowarno dan Russ Bona Frazila, Pengantar Rekayasa Dasar Transportasi,
(Bandung : Universitas Soegijapranata, 2003).

Dari semua jenis-jenis kecelakaan yang telah diuraikan di atas, ternyata
seluruhnya penyebabnya tetap adalah kelalaian (culpa). Kecelakaan yang disengaja
menyebabkan matinya orang lain adalah pembunuhan, bukan kecelakaan. Karena
alat yang digunakan untuk membunuh seseorang dengan maksud matinya orang lain
tersebut adalah sebuah kendaraan. Untuk mengetahui faktor-faktor penyebab
kecelakaan akan diuraikan pada sub-bahasan di bawah ini :

Universitas Sumatera Utara

B.

Faktor Penyebab Kecelakaan
Kecelakaan merupakan suatu kejadian yang disebabkan oleh 3 (tiga) faktor

utama, yaitu : faktor manusia; faktor kendaraan; serta faktor jalan dan lingkungan.
Pada dasarnya kecelakaan lalu lintas terjadi tidak hanya akibat salah satu faktor di
atas melainkan akibat multi faktor, yaitu gabungan antara 2 (dua) faktor atau bahkan
ketiga-tiga faktor tersebut.
Tidak dapat dipungkiri bahwa penyebab utama kecelakaan adalah karena
faktor ketidak-disiplinan pemakai jalan itu sendiri. Berikut akan dibahas satu per satu
dari masing-masing faktor penyebab kecelakaan.
Gambar 3.
Faktor Utama Penyebab Kecelakaan

Faktor Jalan
&
Lingkungan

Faktor
Manusia

Faktor
Kendaraan

Sumber : Website Resmi Korps Lalu Lintas Polri, “Faktor Penyebab Kecelakaan Lalu Lintas”,
National Traffic Management Center, http://www.lantas.polri.go.id., diakses pada 05
Februari 2013.

Universitas Sumatera Utara

1.

Faktor Manusia
Faktor manusia juga merupakan faktor terbesar penyebab kecelakaan. 126

Manusia yang dimaksud disini adalah pemakai/pengguna jalan, baik pengemudi
maupun pejalan kaki. Terdapat dua elemen utama dari faktor pemakai jalan, yaitu :
faktor fisiologis dan faktor psikologis. Adapun bagian-bagian dari kedua elemen
tersebut dapat dilihat pada Tabel 1 Klasifikasi Kecelakaan Berdasarkan Posisi
Terjadinya.
Tabel 2.
Elemen Utama Faktor Pemakai Jalan
Faktor Fisiologis
Sistem Saraf (Nervous System)
Penglihatan (Vision)
Pendengaran (Hearing)
Stabilitas Perasaan (Stability Sensationi)
Sensasi / Rasa Lain, mis. : Sentuhan, Bau
Modifikasi, mis. : Mabuk, Kelalahan

Faktor Psikologis
Motivasi (Motivation)
Kecerdasan (Inteligent)
Pengalaman (Experience)
Emosi (Emotion)
Kedewasaan (Maturity)
Kebiasaan (Habits)

Sumber : I Wayan Krisna Yasa, “Model Peramalan Kecelakaan Lalu Lintas Jalan di Wilayah
Jabotabek”, (Jakarta : Tesis, Fakultas Teknik Universitas Indonesia, 2002).

Faktor manusia ini juga terbagi 2 (dua) yaitu faktor pengemudi dan faktor
pejalan kaki. Adapun pembahasannya dapat dilihat pada bahasan di bawah ini :

a.

Pengemudi
Mengemudi merupakan pekerjaan yang kompleks sehingga memerlukan

pengetahuan dan kemampuan tertentu pada saat yang sama, pengemudi harus
126

Menurut Bambang Susantono, Wakil Menteri Perhubungan, menyatakan bahwa : “Ada 4
(empat) faktor dari peristiwa kecelakaan yang kerap terjadi hari-hari terakhir ini. Berbagai faktor
penyebab kecelakaan itu antara lain : sarana atau kondisi dari angkutan itu sendiri; prasarana atau
kondisi dari jalan dan jalur masing-masing moda transportasi. Sedangkan 2 (dua) faktor lainnya
adalah manusia yang menjadi kontributor terbesar terutama di moda transportasi darat serta faktor
alam, seperti bencana yang menjadi faktor terakhir”. Sumber : Majalah Gatra, “Manusia Faktor
Utama Penyebab Kecelakaan”, diterbitkan Kamis, 03 Januari 2013.

Universitas Sumatera Utara

menghadapi kendaraan dengan berbagai peralatannya dan menerima pengaruh atau
rangsangan dari keadaan sekelilingnya. 127 Kelancaran dan keselamatan dalam
berkendara tergantung pada kesiapan dan keterampilan pengemudi dalam
menjalankan kendaraannya. Dalam menjalankan tugasnya, pengemudi dipengaruhi
oleh 2 (dua) faktor, yaitu : faktor eksternal dan faktor internal. 128
Faktor eksternal adalah faktor lingkungan. Kondisi lingkungan yang berbedabeda mempengaruhi konsentrasi dan perhatian pengemudi. Faktor lingkungan ini,
antara lain 129 :
1) “Penggunaan tanah dan kegiatannya dalam bentuk jenis pertokoan, pasar, dan
tempat hiburan yang cenderung mengalihkan perhatian pengemudi dari
konsentrasi pada kendaraan lalu lintas;
2) Keadaan udara dan cuaca yang mempengaruhi kondisi tubuh dan emosi,
seperti udara yang panas menyebabkan pengemudi mudah marah atau hujan
yang lebat dapat mengurangi kontrol pengemudi pada kendaraan;
3) Fasilitas lalu lintas seperti rambu, yang dimaksudkan untuk membantu
pengemudi malah bisa mengganggu konsentrasi pengemudi dan menjadi
tidak efektif karena keragaman rambu yang ada pada suatu tempat pada
pemasangan yang tidak tepat;
4) Arus lalu lintas dan karakteristiknya turut mempengaruhi pengemudi pada
kondisi tertentu. Misalnya bila arus lalu lintas padat, pengemudi cenderung
mempercepat kendaraannya, sebaliknya bila arus lalu lintas padat pengemudi
mulai berhati-hati”.
Faktor internal dapat dilihat dari diri pribadi pengemudi itu sendiri, yaitu 130 :

127

Bandingkan dengan pengertian Pengemudi pada Pasal 1 angka 23, Undang-Undang No.
22 Tahun 2009 tentang Lalu Lintas dan Angkutan Jalan, yang menyatakan bahwa : “Pengemudi
adalah orang yang mengemudikan kendaraan bermotor di jalan yang telah memiliki Surat Izin
Mengemudi”. Pertanyaan yang muncul adalah apakah orang yang belum memiliki Surat Izin
Mengemudi apabila mengendarai kendaraan bermotor belum disebut sebagai pengemudi, apakah
apabila orang itu menyebabkan kecelakaan kepada orang lain, bukan disebut sebagai pengemudi.
128
Uri Hermariza, “Studi Identifikasi Daerah Rawan Kecelakaan di Ruas Tol Jakarta –
Cikampek”, (Jakarta : Fakultas Teknik Universitas Indonesia, 2008), hal. 14.
129
Ibid., hal. 14-15.
130
Ibid., hal. 15.

Universitas Sumatera Utara

1) “Kemampuan mengenal situasi dan kondisi lingkungan sekitar yang
berkaitan dengan panca indera, seperti penglihatan, perasaan, pendengaran
dan penciuman;
2) Kemampuan mengemudi serta pengetahuan teori dan praktek yang
menyangkut lalu lintas dan kendaraan, ditunjukkan dengan kelulusan dalam
bentuk kepemilikan Surat Izin Mengemudi (SIM);
3) Karakteristik sifat dan watak yang dimiliki oleh pengemudi yang akan
mempengaruhi tingkah laku dalam berkendara, misalnya pengemudi yang
kasar, tidak sabaran, tenang, dan lain-lain”.

Selain kedua faktor di atas, terdapat lagi satu faktor penting yang
mempengaruhi tingkah laku pengendara yaitu kondisi tubuhnya. Dalam hal ini yang
memegang peranan penting dalam berkegiatan mengemudi adalah kondisi
penglihatan dan waktu reaksi pengemudi.

1.

Penglihatan
Ketajaman penglihatan setiap orang bisa berbeda, bahkan juga terjadi

perbedaan ketajaman antara mata kanan dan mata kiri. Berdasarkan “Course Note on
Transportation Traffic Technology”, penglihatan yang tajam/terang terletak pada
kerucut 3º - 5º (tiga sampai lima derajat). Pandangan masih akan terlihat jelas di luar
daerah ini sampai 120º (seratus dua puluh derajat). Luas jangkauan pandangan pada
bidang datar berkisar antara 10º - 160º (sepuluh sampai dengan seratus enam puluh
derajat), sedangkan pada bidang tegak berkisar antara 0º - 110º (nol sampai dengan
seratus sepuluh derajat). 131
Terdapat beberapa faktor penglihatan yang dapat mempengaruhi kemampuan
penglihatan seseorang dalam mengidentifikasi dan memberikan persepsi dalam
131

Transport Training Centre, Course Notes on Transportation and Traffic Technology,
(Philippines : University of the Philippines, 1983).

Universitas Sumatera Utara

berlalu lintas, antara lain : ketajaman penglihatan (visual actuity); medan keliling
penglihatan (peripheral vision); penglihatan kilau (glare vision); persepsi kedalaman
penglihatan (depth persepsion). 132

2.

Waktu Reaksi
Pada saat berkendara, diperlukan suatu proses yang menerus (continue) dari

pandangan dan pendengaran untuk memonitor dan melakukan suatu respon. Persepsi
terhadap suatu keadaan dan reaksi yang dilakukan meliputi 4 (empat) tahapan aksi
dari pengemudi, yaitu : persepsi/deteksi; identifikasi/pengenalan; emosi; dan
reaksi/kemauan bertindak. 133
Persepsi/deteksi merupakan proses masuknya rangsangan melalui panca
indera sehingga timbul stimulus untuk melakukan respon. Faktor pengalaman dan
kebiasaan dapat menyebabkan rangsangan yang masuk tersebut menimbulkan suatu
tanggapan/gerakan refleks. Semakin kompleks situasi yang dihadapi, maka persepsi
kondisi lalu lintas semakin bertambah. Identifikasi/pengenalan merupakan proses
penelaahan

terhadap

rangsangan

yang

diterima,

seperti

membedakan,

mengelompokkan dan mencatat. Proses ini merupakan tindak lanjut dari persepsi
berupa pengenalan sederhana dari rangsangan yang diterima. Emosi merupakan
proses penanggapan terhadap rangsangan setelah proses persepsi dan identifikasi.
Emosi sangat mempengaruhi pesan akhir yang dikirim ke otak karena sebagai proses
pengambilan keputusan. Dalam hal ini dilakukan penentuan respon untuk

132
133

Uri Hermariza, Op.cit., hal. 16.
Ibid., hal. 16.

Universitas Sumatera Utara

menanggapi rangsangan yang sesuai dengan keadaan. Perilaku yang berkembang
karena marah, takut, dan gugup dapat menimbulkan terjadinya kecelakaan. Reaksi
merupakan respon fisik sebagai hasil dari suatu keputusan. Proses pengambilan
tindakan ini dilakukan sesuai dengan pertimbangan yang diambil. Hal ini
berhubungan dengan ingatan, prasangka, kepercayaan, kebiasaan, kelemahan,
keinginan, dan tingkah laku pengemudi. Keputusan terakhir yang diambil
membutuhkan pencernaan dari semua rangsangan yang diterima menjadi pesan
keluar yang menghasilkantindakan. 134

b.

Pejalan Kaki
Pejalan kaki adalah orang berjalan yang menggunakan fasilitas untuk pejalan

kaki (trotoar). Pejalan kaki merupakan bagian yang cukup besar (sekitar 40%) dari
pelaku perjalanan (trip maker) namun prasarana jalan bagi mereka masih jauh dari
lengkap dan memadai. Fasilitas pejalan kaki yang seringkali peruntukannya
disalahgunakan oleh pihak lain, misalnya pedagang kaki lima, mengakibatkan
pejalan kaki itu sendiri tidak mendapatkan fasilitas serta pelayanan yang baik
sehingga dapat membahayakan mereka. Kondisi dimana pejalan kaki harus naik
turun sepanjang melalui trotoar sebagai akibat dikalahkan oleh jalan masuk rumah
tinggal dan keberadaan pedagang kaki lima menciptakan keadaan yang kurang
nyaman bagi pejalan kaki. Pada akhirnya kondisi seperti ini dapat mengganggu

134

Ibid., hal. 16-17.

Universitas Sumatera Utara

kelancaran lalu lintas kendaraan lainnya dan dapat menimbulkan terjadi
kecelakaan. 135
Selain keberadaan pejalan kaki di badan jalan akibat keberadaan trotoar yang
kurang memadai, pejalan kaki pun melakukan kegiatan menyeberang yang akan
mempengaruhi kegiatan lalu lintas kendaraan di jalan. Kegiatan menyeberang jalan
harus dilakukan secara aman agar tidak menimbulkan kecelakaan. Dalam hal ini,
kecepatan berjalan pejalan kaki sangat berpengaruh pada signal timing. Idealnya,
sinyal hijau tidak hanya dirancang untuk memberi kesempatan kendaraan untuk jalan
pada persimpangan, tetapi juga memberikan kesempatan bagi pejalan kaki untuk
menyeberang. 136

2.

Faktor Kendaraan
Kendaraan merupakan sarana angkutan yang digunakan sebagai perantara

untuk mencapai tujuan dengan cepat, selamat dan hemat, serta menunjang nilai aman
dan nyaman. 137 Dalam kaitannya dengan keselamatan umum, kendaraan yang
digunakan di jalan seharusnya sudah mendapatkan sertifikasi layak jalan yang
dikeluarkan oleh Dinas/Kantor Perhubungan setempat sebelum dioperasikan.
Tingkat resiko terjadinya bahaya kecelakaan akibat ketidak-layakan kendaraan

135

Ibid., hal. 17-18.
Ibid., hal. 18-19.
137
Lihat juga : Pasal 1 angka 7, Undang-Undang No. 22 Tahun 2009 tentang Lalu Lintas dan
Angkutan Jalan, yang menyatakan bahwa : “Kendaraan adalah suatu sarana angkut di jalan yang
terdiri atas Kendaraan Bermotor dan Kendaraan Tidak Bermotor”.
136

Universitas Sumatera Utara

cukup tinggi, sehingga diperlukan ketegasan dari aparat penegak hukum untuk
menindak pelanggaran akan hal tersebut. 138
Kendaraan dapat menjadi faktor penyebab kecelakaan apabila tidak dapat
dikendalikan sebagaimana mestinya yaitu sebagai akibat kondisi teknisnya yang
tidak layak jalan ataupun penggunaan yang tidak sesuai dengan ketentuan. Kondisi
teknis yang tidak layak jalan misalnya seperti rem blong, mesin yang tiba-tiba mati,
ban pecah, kemudi yang tidak berfungsi dengan baik, lampu mati, dan lain
sebagainya. Sedangkan, penggunaan kendaraan yang tidak sesuai dengan ketentuan
misalnya kendaraan yang dimuat secara berlebihan. 139
Terdapat beberapa karakteristik kendaraan yang berpengaruh terhadap
terjadinya kecelakaan antara lain dimensi kendaraan, perlambatan (deselerasi),
pandangan pengemudi, daya kendali, dan penerangan. 140
a. “Dimensi Kendaraan, terdiri dari berat, ukuran, dan daya kendaraan. Semakin
besar dimensi kendaraan maka akan semakin lambat akselerasi yang dapat
dilakukan sehingga kemungkinan terjadinya kecelakaan semakin tinggi;
b. Perlambatan (Deceleration) dapat dilakukan kendaraan dengan baik
dibutuhkan kemampuan berkendara yang baik. Kemampuan berkendara dan
refleks masing-masing orang berbeda sehingga hal ini sangat menentukan
terhadap kemungkinan terjadinya kecelakaan;
c. Pandangan pengemudi di dalam kendaraan harus memiliki pandangan yang
leluasa terhadap halangan yang terdapat di luar kendaraannya. Pandangan
adalah kemampuan atau besarnya sudut maksimum yang dapat dicapai oleh
pengemudi dari tempat duduknya di dalam kendaraan. Hal ini tergantung dan
dipengaruhi oleh dimensi kendaraan. Kemampuan pandangan pengendara
akan semakin baik apabila lebar pandangan vertikal maupun horizontal yang
diukur dari pengemudi semakin besar;
d. Daya kendali kendaraan adalah kontrol terhadap kendaraan. Kendaraan akan
semakin mudah dikontrol apabila semakin baik daya kendali kendaraannya,
138
139

140

Uri Hermariza, Op.cit., hal. 19.
Ibid., hal. 19.
Ibid., hal. 19.

Universitas Sumatera Utara

terutama pada jalan yang kondisinya kurang baik. Kecepatan merupakan
faktor dasar dari daya kendali kendaraan. Pada kecepatan rendah, hampir
semua kendaraan dapat dikendalikan dengan baik walaupun kondisi jalannya
kurang baik. Peralatan yang dapat membantu daya kendali mobil, antara lain :
ban kendaraan; dan stabilisator, yang berfungsi sebagai penunjang, apabila
mobil melewati suatu jalan yang bergelombang;
e. Penerangan kendaraan berfungsi antara lain untuk : kendaraan agar dapat
dikenali/didefinisikan oleh pengemudi; menyediakan penerangan di luar bagi
pengemudi agar dapat melihat pemandangan di depan dan di sekitar
kendaraan pada saat kendaraan melaju. Penerangan juga tergantung pada
kendaraan dan tipe lampunya, posisi kendaraan dimana masuk/tidaknya
cahaya, kondisi cuaca dan keberadaan kendaraan yang berlawanan arah yang
terkadang menggunakan lampu yang menyulitkan pengemudi”. 141

3.

Faktor Jalan & Lingkungan
Kondisi jalan dapat menjadi faktor yang menyebabkan terjadinya kecelakaan.

Jalan yang rusak dapat menjadi faktor penyebab kecelakaan antara lain untuk hal-hal
sebagai berikut 142 :
a. “Kerusakan pada permukaan jalan, misalnya terdapat lubang yang tidak
dikenali pengemudi;
b. Konstruksi jalan yang tidak sempurna, misalnya posisi permukaan bahu jalan
terlalu rendah dibandingkan dengan permukaan perkerasan jalan;
c. Geometrik jalan yang kurang sempurna, misalnya derajat kemiringan yang
terlalu kecil atau terlalu besar pada tikungan, terlalu sempitnya pandangan
bebas bagi pengemudi, dan lain sebagainya”.

Pengaruh lingkungan terhadap pengemudi pada jalan bebas hambatan akan
terasa pada kecepatan kendaraan yang lewat di sepanjang jalan tersebut. Lingkugan
jalan menuntut perhatian pengemudi. Tuntutan ini bervariasi tergantung dari tempat
dan waktu, karena lingkungan jalan akan berubah terhadap waktu dan tempat. Untuk
memelihara kesiagaan secara tetap selama mengemudi hampir jarang terjadi,

141
142

Ibid., hal. 19-20.
Ibid., hal. 23.

Universitas Sumatera Utara

adakalanya pada saat tertentu berada pada tahap kesiagaan yang tinggi, tetapi untuk
waktu yang lain relatif dalam periode yang rendah (lebih santai). Kondisi ideal
adalah ketika pengemudi dapat menjamin keselarasan antara tahap kesiagaan dengan
tuntutan yang ditimbulkan oleh jalan. 143
Bagi pengemudi sangat sulit untuk dapat sempurna dalam mencapai kondisi
ideal tersebut hal ini dapat disebabkan karena tanggapan dari pengemudi terlalu
lambat untuk dapat mengikuti tuntutan yang cepat berubah dari lingkungan jalan dan
tuntutan dari lingkungan jalan melebihi kemampuan mengemudi. Hubungan antara
keselamatan dan perencanaan jalan sangat sulit untuk dianalisa karena keterkaitan
keduanya dengan faktor-faktor lain seperti faktor kendaraan dan manusianya selaku
pengguna jalan. Kondisi jalan yang berpengaruh terhadap terjadinya kecelakaan
terdiri dari dua yaitu faktor fisik dan perangkat pengatur lalu lintas. 144

C.

Dampak Hukum Kecelakaan Lalu Lintas
Kecelakaan lalu lintas dalam Pasal 229 Undang-Undang No. 22 Tahun 2009

tentang Lalu Lintas dan Angkutan Jalan digolongkan menjadi 3 (tiga), yakni :
1. Kecelakaan lalu lintas ringan, merupakan kecelakaan yang mengakibatkan
kerusakan kendaraan dan/atau barang;
2. Kecelakaan lalu lintas sedang, merupakan kecelakaan yang mengakibatkan
luka ringan dan kerusakan kendaraan dan/atau barang;

143
144

Ibid., hal. 23-24.
Ibid., hal. 24.

Universitas Sumatera Utara

3. Kecelakaan lalu lintas berat, merupakan kecelakaan yang mengakibatkan
korban meninggal dunia atau luka berat.

Secara umum mengenai kewajiban dan tanggung jawab pengemudi, pemilik
kendaraan bermotor, dan/atau perusahaan angkutan diatur dalam Pasal 234 ayat (1)
Undang-Undang No. 22 Tahun 2009 tentang Lalu Lintas dan Angkutan Jalan, yang
menyatakan bahwa : “Pengemudi, pemilik kendaraan bermotor, dan/atau perusahaan
angkutan umum bertanggung jawab atas kerugian yang diderita oleh penumpang
dan/atau pemilik barang dan/atau pihak ketiga karena kelalaian pengemudi”. Namun,
ketentuan tersebut, tidak berlaku jika :
1. Adanya keadaan memaksa yang tidak dapat dielakkan atau di luar
kemampuan pengemudi;
2. Disebabkan oleh perilaku korban sendiri atau pihak ketiga; dan/atau
3. Disebabkan gerakan orang dan/atau hewan walaupun telah diambil tindakan
pencegahan. 145

Pihak yang menyebabkan terjadinya kecelakaan lalu lintas wajib mengganti
kerugian yang besarannya ditentukan berdasarkan putusan pengadilan. Kewajiban
mengganti kerugian ini dapat dilakukan di luar pengadilan jika terjadi kesepakatan
damai di antara para pihak yang terlibat. 146 Jadi, dapat disimpulkan bahwa bentuk
pertanggung-jawaban atas kecelakaan lalu lintas yang hanya mengakibatkan
kerugian materi tanpa korban jiwa adalah dalam bentuk penggantian kerugian.
145

Pasal 234 ayat (3), Undang-Undang No. 22 Tahun 2009 tentang Lalu Lintas dan
Angkutan Jalan.
146
Pasal 236, Undang-Undang No. 22 Tahun 2009 tentang Lalu Lintas dan Angkutan Jalan.

Universitas Sumatera Utara

Tetapi apabila dikaitkan dengan Pasal 230 Undang-Undang No. 22 Tahun
2009 tentang Lalu Lintas dan Angkutan Jalan, yang menyatakan bahwa : “Perkara
kecelakaan lalu lintas sebagaimana dimaksud dalam Pasal 229 ayat (2), ayat (3), dan
ayat (4) diproses dengan acara peradilan pidana sesuai dengan ketentuan peraturan
perundang-undangan”. Oleh karena itu, pihak yang menyebabkan kecelakaan lalu
lintas yang mengakibatkan kerugian materi saja tanpa korban merupakan pelaku
tindak pidana dan akan diproses secara pidana karena tindak pidananya.
Dampak hukum yang dapat dikenakan atas kejadian tersebut di atas bagi
pengemudi karena kelalaian adalah sanksi pidana yang diatur dalam Pasal 310 ayat
(1) Undang-Undang No. 22 Tahun 2009 tentang Lalu Lintas dan Angkutan Jalan,
yang menyatakan bahwa :
“Setiap orang yang mengemudikan kendaraan bermotor yang karena
kelalaiannya mengakibatkan kecelakaan lalu lintas dengan kerusakan
kendaraan dan/atau barang sebagaimana dimaksud dalam Pasal 229 ayat (2),
dipidana dengan pidana penjara paling lama 6 (enam) bulan dan/atau denda
paling banyak Rp. 1.000.000,00 (satu juta rupiah)”.

Sedangkan dalam hal pengemudi kendaraan bermotor dengan sengaja
memabahayakan kendaraan/barang, diatur dalam Pasal 311 ayat (2) Undang-Undang
No. 22 Tahun 2009 tentang Lalu Lintas dan Angkutan Jalan, yang menyatakan
bahwa :
“Dalam hal perbuatan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) mengakibatkan
kecelakaan lalu lintas dengan kerusakan kendaraan dan/atau barang
sebagaimana dimaksud dalam Pasal 229 ayat (2), pelaku dipidana dengan
pidana penjara paling lama 2 (dua) tahun atau denda paling banyak Rp.
4.000.000,00 (empat juta rupiah)”.

Universitas Sumatera Utara

Selain pidana penjara, kurungan, atau denda, pelaku tindak pidana lalu lintas
dapat dijatuhi pidana tambahan berupa pencabutan Surat Izin Mengemudi atau ganti
kerugian

yang

diakibatkan

oleh

tindak

pidana

lalu

lintas. 147

Sedangkan untuk perusahaan jasa angkutan umum, di dalam Undang-Undang No. 22
Tahun 2009 tentang Lalu Lintas dan Angkutan Jalan dapat dikenakan sanksi yang
diatur dalam pasal-pasal berikut :
1. Pasal 188 : “Perusahaan Angkutan Umum wajib mengganti kerugian yang
diderita oleh Penumpang atau pengirim barang karena lalai dalam
melaksanakan pelayanan angkutan”;
2. Pasal 191 : Perusahaan Angkutan Umum bertanggung jawab atas
kerugian yang diakibatkan oleh segala perbuatan orang yang dipekerjakan
dalam kegiatan penyelenggaraan angkutan;
3. Pasal 193 :
1) “Perusahaan Angkutan Umum bertanggung jawab atas kerugian yang
diderita oleh pengirim barang karena barang musnah, hilang, atau
rusak akibat penyelenggaraan angkutan, kecuali terbukti bahwa
musnah, hilang, atau rusaknya barang disebabkan oleh suatu kejadian
yang tidak dapat dicegah atau dihindari atau kesalahan pengirim.
2) Kerugian sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dihitung berdasarkan
kerugian yang nyata-nyata dialami.
3) Tanggung jawab sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dimulai sejak
barang diangkut sampai barang diserahkan di tempat tujuan yang
disepakati.
4) Perusahaan Angkutan Umum tidak bertanggung jawab jika kerugian
disebabkan oleh pencantuman keterangan yang tidak sesuai dengan
surat muatan angkutan barang”.

147

Pasal 314, Undang-Undang No. 22 Tahun 2009 tentang Lalu Lintas dan Angkutan Jalan.

Universitas Sumatera Utara

Selain

sanksi

penggantian

kerugian,

perusahaan

angkutan

umum

yangbertanggung jawab atas kerugian yang diderita oleh pengirim barang karena
barang musnah, hilang, atau rusak akibat penyelenggaraan angkutan dapat diberikan
sanksi berupa 148 :
a. “Peringatan tertulis;
b. Denda administratif;
c. Pembekuan izin; dan/atau
d. Pencabutan izin”.

D.

Ketentuan Pidana Terhadap Kecelakaan Lalu Lintas
Pertanggung-jawaban

seorang

pengemudi

kendaraan

bermotor

yang

mengakibatkan kematian dalam kecelakaan lalu lintas dan penerapan dasar
hukumnya akan dibahas pada sub-bahasan ini.
Kecelakaan lalu lintas yang mengakibatkan kematian disebabkan kelalaian
pengemudi kendaraan bermotor. Dalam ketentuan Kitab Undang-Undang Hukum
Pidana (KUHP), pasal yang dapat digunakan untuk menjerat pengemudi kendaraan
bermotor yang mengakibatkan kematian dalam kecelakaan lalu lintas adalah Pasal
359 KUHP, 149 yang menyatakan bahwa : “Barangsiapa karena kesalahannya
(kealpaannya) menyebabkan orang lain mati, diancam dengan pidana penjara paling
lama lima tahun atau pidana kurungan paling lama satu tahun”.
148

Pasal 199 ayat (1), Undang-Undang No. 22 Tahun 2009 tentang Lalu Lintas dan
Angkutan Jalan.
149
Agio V. Sangki, “Tanggung Jawab Pidana Pengemudi Kendaraan yang Mengakibatkan
Kematian Dalam Kecelakaan Lalu Lintas”, Jurnal Les Crimen, Vol. I, No. 1, Januari-Maret 2012, hal.
33.

Universitas Sumatera Utara

Namun, dalam Undang-Undang No. 22 Tahun 2009 tentang Lalu Lintas dan
Angkutan Jalan, pengaturan yang lebih khusus untuk menjerat pengemudi lalai yang
menyebabkan matinya orang lain dapat dijerat dengan Pasal 310 ayat (4), yang
menyatakan bahwa : “Dalam hal kecelakaan sebagaimana dimaksud pada ayat (3)
yang mengakibatkan orang lain meninggal dunia, dipidana dengan pidana penjara
paling lama 6 (enam) tahun dan/atau denda paling banyak Rp. 12.000.000,00 (dua
belas juta rupiah)”. 150
Mengenai ketentuan peraturan perundang-undangan mana yang digunakan
untuk menjerat si pelaku, hal tersebut merupakan kewenangan dari penuntut umum,
dan bukan hakim. Hal ini sesuai dengan ketentuan Pasal 137 Undang-Undang No. 8
Tahun 1981 tentang Hukum Acara Pidana (KUHAP), yang menyatakan bahwa :
“Penuntut umum berwenang melakukan penuntutan terhadap siapapun yang didakwa
melakukan suatu tindak pidana dalam daerah hukumnya dengan melimpahkan
perkara ke pengadilan yang berwenang mengadili”.
Terkait hal ini, dalam Pasal 63 ayat (2) KUHP, menyatakan bahwa : “Jika
suatu perbuatan masuk dalam suatu aturan pidana yang umum, diatur pula dalam
aturan pidana yang khusus, maka hanya yang khusus itulah yang diterapkan”.
Berdasarkan ketentuan tersebut, karena kecelakaan lalu lintas yang mengakibatkan
kematian telah diatur dalam Undang-Undang No. 22 Tahun 2009 tentang Lalu Lintas
dan Angkutan Jalan sebagai peraturan yang bersifat khusus, maka penuntut umum
seharusnya menerapkan ketentuan Pasal 310 ayat (4) Undang-Undang No. 22 Tahun
2009 di dalam dakwaan, dan bukan Pasal 359 KUHP.
150

Ibid., hal. 38.

Universitas Sumatera Utara

Kendati demikian, dalam hal ini ada hal lain yang juga harus diperhatikan
yaitu masalah waktu terjadinya tindak pidana atau tempus delicti, sebagaimana
dijelaskan dalam artikel Dakwaan yang Belum Menggunakan Peraturan
Baru, sebagai berikut :
“Dalam hal ada undang-undang baru, sebelumnya
tempus (waktu) kejadian tindak pidana tersebut.
kejadiannya undang-undang yang baru itu sudah
diberlakukan tentu adalah undang-undang yang baru
sesuai asas lex posteriori derogat legi priori, yaitu
terbaru mengesampingkan undang-undang yang lama.

harus diteliti dahulu
Apabila pada waktu
berlaku, maka yang
tersebut. Hal tersebut
undang-undang yang

Namun bila waktu kejadiannya adalah pada saat undang-undang yang baru
itu belum berlaku, maka harus diteliti, aturan mana yang lebih
menguntungkan bagi terdakwa. Apabila undang-undang baru itulah yang
lebih menguntungkan bagi terdakwa, maka yang dipakai seharusnya adalah
undang-undang yang baru tersebut. Hal tersebut sesuai dengan salah satu asas
dalam hukum pidana yang diatur dalam Pasal 1 ayat (2) KUHP yang
berbunyi : “Jikalau undang-undang diubah, setelah perbuatan itu dilakukan,
maka kepada tersangka dikenakan ketentuan yang menguntungkan baginya”.
Di sisi lain, saat ini sudah terdapat putusan-putusan Mahkamah Agung yang
menggunakan Pasal 310 ayat (1) Undang-Undang No. 22 Tahun 2009 tentang Lalu
Lintas dan Angkutan Jalan terhadap kasus kecelakaan lalu lintas. Salah satu
contohnya adalah Putusan MA No. 403K/Pid/2011 tanggal 28 Juni 2011.

E.

Analisa Hukum Kecelakaan Tugu Tani Dikaitkan Dengan Unsur
Kesengajaan dalam Hukum Pidana
Untuk membahas mengenai kasus Apriani Susanti yang didakwa oleh Jaksa

Penuntut Umum dengan Pasal 338 KUHP akan tetapi diputus oleh Majelis Hakim
dengan Pasal 310 Subs. 311 Undang-Undang No. 22 Tahun 2009, maka terlebih
dahulu harus dilihat bunyi Pasal 338 KUHP tersebut, yaitu : “Barangsiapa dengan

Universitas Sumatera Utara

sengaja merampas nyawa orang lain, diancam karena pembunuhan dengan pidana
penjara paling lama 15 (lima belas tahun)”. Lalu selanjutnya dilihat unsur-unsurnya,
sebagai berikut :
1. Barangsiapa;
2. Dengan sengaja;
3. Menghilangkan jiwa orang lain/merampas nyawa orang lain.

Unsur “Barangsiapa” adalah subjek pelaku dari suatu perbuatan pidana dan
orang tersebut adalah orang yang mampu bertanggung jawab serta dapat
mempertanggungjawabkan atas perbuatannya secara hukum. Dalam kasus Tugu
Tani, istilah “Barangsiapa” dikenakan kepada Apriani Susanti adalah orang
perorangan

sehingga

dapat

dipidana,

serta

memiliki

kemampuan

untuk

mempertanggung-jawabkan perbuatannya secara hukum dalam artian di dalam diri
Apriani Susanti tidak terdapat unsur penghapus pidana baik unsur pemaaf ataupun
unsur pembenar. 151
Unsur “Dengan Sengaja”, sengaja (dolus) terdiri dari wetten / berkeinsafan /
mengetahui dan willen / menghendaki. Dalam teori tentang diketahui dan
dikehendaki, terdapat 2 (dua) aliran, yaitu 152 :

151

Pada unsur Pemaaf misalnya Pasal 44 KUHP tentang tidak dapat dipidananya orangorang yang tidak sempurna akalnya/sakit jiwa, Pasal 49 ayat (2) KUHP noodweer exces atau
pembelaan darurat yang melampaui batas.
Pada unsur Pembenar misalnya Pasal 48 KUHP (overmacht), Pasal 49 ayat (1) KUHP
noodweer atau pembelaan darurat, Pasal 50 KUHP perbuatan karena menjalankan undang-undang
misalnya eksekutor hukuman mati, Pasal 51 KUHP perbuatan atas perintah jabatan oleh kuasa yang
berhak untuk itu.
152
Schaffmeister, et.al., Hukum Pidana, Konsorsium Ilmu Hukum Departemen Pendidikan
dan Kebudayaan, (Yogyakarta : Liberty, 1995), hal. 171.

Universitas Sumatera Utara

1. “Teori Kehendak (wilstheorie), yaitu yang paling tua. Menurut teori
kehendak, sengaja adalah kehendak membuat suatu tindakan dan kehendak
menimbulkan suatu akibat karena tindakan itu. Dengan perkataan lain :
sengaja apabila akibat suatu tindakan dikehendaki, dan boleh dikatakan
bahwa akibat dikehendaki, apabila akibat itu menjadi maksud benar-benar
dari tindakan yang dilakukan tersebut;
2. Teori Mengetahui (voorstellingstheorie) diajarkan Frank tahun 1910.
Kesengajaan adalah kehendak untuk berbuat dengan mengetahui unsur-unsur
yang diperlukan menurut undang-undang”.

Maka dapat dikatakan, seseorang melakukan perbuatan dengan sengaja
apabila ia mengetahui bahwa dengan dilakukannya suatu perbuatan akan timbul atau
mengakibatkan suatu akibat tertentu dan ia menghendaki akibat tersebut. Terkait
perbuatan Apriani Susanti, dapat dikategorikan dengan sengaja, apabila ketika
melakukan perbuatannya tersebut, tersangka dengan akal sehatnya atau dengan
kesadarannya mengetahui bahwa dengan mengendarai Mobil Xenia dalam
kondisinya saat itu, maka dapat mengakibatkan tertabraknya 12 (dua belas) orang
pejalan kaki dan Apriani Susanti menghendaki tertabraknya 12 (dua belas) orang
pejalan kaki tersebut.
Terkait dengan unsur “Dengan Sengaja”, terdapat teori kesengajaan yang
dibagi atas 153 :
1. “Kesengajaan sebagai suatu tujuan (opzet als oogmerk). Kesengajaan sebagai
maksud atau tujuan berarti terjadinya suatu tindakan atau akibat tertentu
adalah benar-benar sebagai perwujudan dari maksud atau tujuan dan
pengetahuan si pelaku”. Terkait dengan kasus Apriani Susanti, apabila
dikategorikan dengan sengajanya sebagai kesengajaan sebagai tujuan atau
153

Jonkers dalam Bambang Purnomo, Asas-Asas Hukum Pidana, (Jakarta : Ghalia Indonesia,
1983), hal. 135.

Universitas Sumatera Utara

maksud terhadap Pasal 338 KUHP, maka matinya 9 (sembilan) orang pejalan
kaki di Tugu Tani adalah merupakan perwujudan dari maksud dan tujuan dari
Apriani Susanti. Akan tetapi jika berpandangan terhadap teori hukum dan
sikap objektif, maka teori kesengajaan ini tidak dapat menjadi dasar
pemenuhan unsur dengan sengaja pada Pasal 338 KUHP terhadap kasus
kecelakaan Tugu Tani;
2. “Kesengajaan
sebagai
suatu
keinsafan
kepastian
(ipzet
bij
zekerheidsbewustzijn).
Si
Pelaku
menyadari/menginsyafi
bahwa
perbuatannya itu pasti akan menimbulkan akibat lain selain akibat utama
yang menjadi tujuannya, tetapi demi tercapainya akibat utama, maka akibat
lain tersebut tidaklah menjadi penghalang bahkan diambilnya sebagai risiko
untuk mencapai tujuan utama”.

Teori kesengajaan sebagai kepastian sering dicontohkan dengan tindakan
seorang pelaku yang membom suatu kapal sebagai pemenuhan keinginan pelaku
terhadap kematian seseorang di dalam kapal tersebut, yang mana terdapat kepastian
bahwa selain seseorang yang diharapkan kematiannya oleh si Pelaku, akan terdapat
orang lain yang mati akibat pemboman tersebut. Namun pelaku tetap melakukan
perbuatannya. Maka perbuatan pelaku yang menyebabkan matinya orang lain itu
dikategorikan kesengajaan sebagai kepastian.
Terkait peristiwa Tugu Tani, teori kesengajaan sebagai kepastian ini tidak
dapat dijadikan sebagai pemenuhan unsur dengan sengaja terhadap Pasal 338 KUHP,
karena sejak awal, pelaku memang tidak menghendaki kematian dari siapapun dari
kesembilan korban kecelakaan tersebut.

Universitas Sumatera Utara

3. “Kesengajaan sebagai suatu keinsafan kemungkinan (opzet bij mogelijkheidsbewustzijn). Terjadi bila si Pelaku sengaja melakukan sesuatu dan atau untuk
menimbulkan suatu akibat tetapi ia menginsyafi bila perbuatan itu ia teruskan
mungkin akan menimbulkan akibat lain tetapi timbulnya akibat lain tersebut
tidaklah menjadi penghalang bahkan diambilnya sebagai resiko untuk
mencapai tujuan utama”.

Teori kesengajaan sebagai suatu keinsafan kemungkinan ini dicontohkan
dengan pelaku yang ingin membunuh A dengan cara meracuni A. Kemudian pelaku
membawakan kue yang telah diracuni pelaku terlebih dahulu dan diantarkan ke
rumah A dengan harapan A akan memakannya dan akan mati. Di satu sisi pelaku
menyadari adanya kemungkinan-kemungkinan seseorang yang tidak diundang
datang mengunjungi A di rumahnya dan turut memakan kue pemberian pelaku dan
akan ikut mati. Apabila itu terjadi, maka kematian tamu tidak diundangkan itu dapat
dikategorikan perbuatan dengan sengaja yang dipenuhi dengan teori kesengajaan
sebagai kemungkinan.
Terkait kasus kecelakaan di Tugu Tani, mungkin apabila sangat teramat
dipaksakan pemenuhan unsur dengan sengaja terhadap Pasal 338 KUHP tentang
pembunuhan, maka teori kesengajaan sebagai kemungkinan inilah yang paling dapat
digunakan. Namun, perlu digarisbawahi bahwa teori ini berdekatan dengan teori
culpa / dengan lalainya. Oleh karena itu, ketentuan hukum memberikan perbedaan
antara perbuatan dengan sengaja, dengan perbuatan karena lalainya meskipun akibat
yang ditimbulkan adalah sama, misalnya akibatnya adalah hilangnya nyawa
seseorang. Tujuan dari pembedaan itu adalah demi tercapainya keadilan. Kelalaian
tidak akan menghapus pidana, tetapi dapat meringankan pidana. Tidaklah mungkin

Universitas Sumatera Utara

penghukuman dilakukan sama terhadap orang yang memang niatnya membunuh
dengan orang yang tidak berniat membunuh. Orang yang berniat membunuh (dengan
sengaja menghilangkan nyawa orang lain) memiliki kendali atas perbuatannya, dia
dapat mundur kapan saja apabila ia menghendakinya, namun orang yang tidak
sengaja, tidak memiliki kendali atas hal tersebut.
Unsur “Menghilangkan Jiwa Orang Lain / Merampas Nyawa Orang Lain”,
dalam tragedi Tugu Tani, terdapat 9 (sembilan) nyawa yang melayang. Putusan
terhadap supir Metro Mini tahun 1992 sebagai dasar pengenaan Pasal 338 KUHP
kepada Apriani Susanti, belakangan ini marak isu penggunaan ketentuan
pembunuhan kepada tersangka Apriani Susanti, yaitu Pasal 338 KUHP dengan
alasan telah ada yurisprudensi-nya yaitu Putusan terhadap Supir Metro Mini yang
terjun ke sungai Sunter tahun 1994 silam. Ada baiknya melihat pengertian
yurisprudensi terlebih dahulu.
Di Indonesia, dikenal pembagian sumber hukum, antara lain 154 :
1.
2.
3.
4.
5.

“Undang-Undang;
Kebiasaan;
Yurisprudensi;
Perjanjian/traktat;
Doktrin (pendapat para ahli)”.

Dari segi harfiah, yurisprudensi berakar dari istilah dalam bahasa Latin yaitu
iuris prudentia yang berarti ilmu pengetahuan hukum. 155 Namun, secara garis besar

154

Darji Darmodiharjo dan Shidarta, Pokok-Pokok Filsafat Hukum : Apa dan Bagaimana
Filsafat Hukum Indonesia, Cetakan Keenam, (Jakarta : Gramedia Pustaka Utama, Mei 2006), hal.
210-211.
155
Jurisprudence, 1) Originally (in the 18th century), the study of the first principles of the
law of nature, the civil law, and the law of nations; 2) More modernly, the study of the general or

Universitas Sumatera Utara

yurisprudensi didefinisikan sebagai ajaran hukum yang dibentuk dan dipertahankan
oleh peradilan dari Putusan Mahkamah Agung dan Putusan Pengadilan Tinggi yang
diikuti oleh hakim-hakim dalam memberikan putusannya dalam soal yang serupa. 156
Dari kesimpulan tersebut dapat diambil inti sari bahwa yurisprudensi adalah putusan
hakim, namun tidak semua putusan hakim adalah yurisprudensi.
Suatu putusan hakim dapat disebut yurisprudensi apabila putusan itu
sekurang-kurangnya memiliki unsur pokok, yaitu 157 :
1. “Keputusan atas suatu peristiwa apabila belum jelas pengaturan dalam
perundang-undangan;
2. Keputusan tersebut harus sudah merupakan keputusan tetap;
3. Telah berulang kali diputus dengan keputusan yang sama dalam kasus yang
sama;
fundamental elements of a particular legal system, as opposed to its practical and concrete details; 3)
The study of legal systems in general; 4) Judicial precedents considered collectively; 5) In German
literature, the whole of legal knowledge; 6) A system, body, or division of law; 7) Caselaw.
Jurisprudence addresses the questions about law that an intelligent layperson of speculative
bent – not a lawyer – might think particularly interesting. What is law? ...where does law come from?
...is law an autonomous discipline? ...what is the purpose of law? ...is law a science a humanity, or
neither? ...a participating lawyer or a judge is apt to think question of this sort at best irrelevant to
what he does, at worst native, impractical, even childlike (low high up?). Sumber : Henry Campbell
Black, Richard A. Garner (Editor), Black’s Law Dictionary, 8th Ed., (Minnesota : West Group, 2004),
hal. 2499-2500.
156
Dalam common law system, yurisprudensi diterjemahkan sebagai : “Suatu ilmu
pengetahuan hukum positif dan hubungan-hubungannya dengan hukum lain”. Sedangkan dalam
statute law system atau civil law system, diterjemahkan sebagai “Putusan-putusan hakim terdahulu
yang telah berkekuatan hukum tetap dan diikuti oleh para hakim atau badan peradilan lain dalam
memutus perkara atau kasus yang sama”. Sumber : Johannes CT. Simorangkir, Hukum dan
Konstitusional, Cet. Ke-II, (Jakarta : Gunung Agung, 1987), hal. 78.
Menurut Subekti, yang dimaksud dengan yurisprudensi adalah “Putusan-putusan Hakim atau
Pengadilan yang telah berkekuatan hukum tetap dan dibenarkan oleh Mahkamah Agung sebagai
Pengadilan Kasasi, atau Putusan Mahkamah Agung sendiri yang sudah berkekuatan hukum tetap.
Tidak semua putusan hakim tingkat pertama atau tingkat banding dapat dikategorikan sebagai
yurisprudensi, kecuali putusan tersebut sudah melalui proses eksaminasi dan notasi Mahkamah Agung
dengan rekomendasi sebagai putusan yang telah memenuhi standar hukum yurisprudensi. Dikenal 2
(dua) jenis yurisprudensi, yaitu : yurisprudensi tetap dan yurisprudensi tidak tetap. Sumber : Subekti
dalam Much. Nurrachmad, Buku Pintar Memahami & Membuat Surat Perjanjian, (Jakarta :
Visimedia, 2010), hal. 9.
157
Tidak semua putusan hakim tingkat pertama atau tingkat banding dapat dikatakan sebagai
yurisprudensi. Hasil penelitian Badan Pembinaan Hukum Nasional (BPHN) tahun 1995
menyimpulkan bahwa suatu putusan hakim dapat disebut sebagai yurisprudensi. Sumber : Ahmad
Kamil dan M. Fauzan, Kaidah-Kaidah Hukum Yurisprudensi, (Jakarta : Kencana, 2004), hal. 11.

Universitas Sumatera Utara

4. Memenuhi rasa keadilan;
5. Keputusan itu dibenarkan oleh Mahkamah Agung”.

Hakim yang berwenang memutus perkara tidak dibenarkan menolak perkara,
meskipun terhadap perkara yang diajukan kehadapannya belum ada pengaturan
hukumnya. 158 Oleh karena itu, hakim dibenarkan melakukan penemuan-penemuan
hukum dengan menyelaraskannya terhadap ketentuan perundang-undangan yang
telah ada. Aliran rechtsvinding menyebutkan bahwa hakim terikat pada undangundang, akan tetapi tidaklah menjadi sekedar “corong undang-undang” yang hanya
melakukan sebagaimana terdapat pada undang-undang, tetapi hakim juga memiliki
kebebasan dalam melakukan penemuan hukum sehingga dalam melaksanakan
tugasnya seorang hakim menganut “kebebasan yang terikat atau keterikatan yang
bebas”. 159
Meninjau putusan terhadap terdakwa Marojahan Silitonga alias Ramses
Silitonga, supir Metro Mini yang tercebur ke sungai Sunter tahun 1994 menewaskan
32 (tiga puluh dua) orang, dapatkah dikategorikan sebagai yurisprudensi? Tidak
dapat, karena hingga kini putusan tersebut masih bersifat pro dan kontra bahkan
setelah hampir 17 (tujuh belas) tahun berlalu, tidak terdapat putusan lain yang
bertolak ukur dari putusan tersebut. Kemudian, pada hakekatnya telah terdapat
ketentuan dalam perundang-undangan yang mengatur tentang pembunuhan, sehingga
bukan merupakan hal baru yang ketentuan hukumnya belum ada, hal ini terkait
158

Pasal 10 ayat (1) Undang-Undang No. 48 Tahun 2009 tentang Kekuasaan Kehakiman,
menyebutkan bahwa : “Pengadilan dilarang menolak untuk memeriksa, mengadili, dan memutus suatu
perkara yang diajukan dengan dalih bahwa hukum tidak ada atau kurang jelas, melainkan wajib untuk
memeriksa dan mengadilinya”.
159
Darji Darmodiharjo dan Shidarta, Op.cit., hal. 286.

Universitas Sumatera Utara

dengan penemuan hukum yang dilakukan hakim harus berprinsip kebebasan yang
terikat (dibatasi oleh ketentuan undang-undang yang berlaku), selain itu telah ada
undang-undang yang mengatur khusus tentang kecelakaan lalu lintas yaitu UndangUndang No. 22 Tahun 2009 tentang Lalu Lintas dan Angkutan Jalan. 160
Lalu, ketentuan hukum apa yang tepat dapat dikenakan kepada Apriani
Susanti? Untuk menjawab pertanyaan tersebut, ketentuan yang dapat dikenakan
kepada Apriani Susanti, antara lain : ketentuan kecelakaan lalu lintas; dan
penggunaan narkotika. Untuk ketentuan kecelakaan lalu lintas diatur dalam UndangUndang No. 22 Tahun 2009 tentang Lalu Lintas dan Angkutan Jalan. Dalam KUHP
terdapat ketentuan yang mengatur tentang kelalaian yang menyebabkan hilangnya
nyawa seseorang yang terdapat dalam Pasal 359 KUHP. Terhadap kecelakaan lalu
lintas, umumnya pasal ini yang dipergunakan. Namun sejak diundangkannya
Undang-Undang No. 22 Tahun 2009 tentang Lalu Lintas dan Angkutan Jalan, maka
dianut prinsip lex specialis derogat legi generalis yang artin