Pertanggungjawaban Pidana Pengatur Lalu Lintas Udara Sipil Atas Kecelakaan Pesawat Terbang Dalam Perspektif Undang-Undang RI Nomor 1 Tahun 2009 Tentang Penerbanga

(1)

DAFTAR PUSTAKA

A. BUKU

Hamzah, Andi, 2009, Perbandingan Hukum Pidana Beberapa Negara, Sinar Grafika, Jakarta.

Katoppo, Aristides, dan Kardi, Koesnadi, 2006, Air Power, APCI, Yogyakarta. Poernomo, Bambang, 1997, Asas-asas Hukum Pidana, Dahlia Indonesia, Jakarta. Arief, Barda Nawawi, 2008, Hukum Perbandingan Hukum Pidana, RajaGrafindo

Persada, Jakarta.

Hakim, Chappy, 2009, Cat Rambut Orang Yahudi, Gramedia, Jakarta. ____________, 2010, Berdaulat di Udara, Gramedia, Jakarta.

Prakoso, Djoko, 1984, Tindak Pidana Penerbangan di Indonesia, Ghalia Indonesia, Jakarta.

Tunggal, Hadi Setia, 2007, Himpunan Peraturan Penerbangan, Harvarindo, Jakarta.

Martono, H.K., 2007, Pengantar Hukum Udara Nasional dan Internasional, RajaGrafindo Persada, Jakarta.

____________, 2010, Hukum Angkutan Udara, RajaGrafindo Persada, Jakarta. Sapardjaja, Komariah E., 2002, Ajaran Sifat Melawan Hukum Materiel dalam

Hukum Pidana Indonesia: Studi Kasus tentang Penerapan dan Perkembangan dalam Yurisprudensi, Alumni, Bandung.

Moeljatno, 2008, Asas-asas Hukum Pidana, cetakan ke-VIII, Rineka Cipta, Jakarta.

Harahap, M. Yahya, 2009, Pembahasan Permasalahan dan Penerapan KUHAP tentang Penyidikan dan Penuntutan, Sinar Grafika, Jakarta.

Sianturi, S.R., 1986, Asas-asas Hukum Pidana di Indonesia dan Penerapannya, Alumni AHAEM-PTHAEM, Jakarta.


(2)

B. PERATURAN PERUNDANG-UNDANGAN

Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945.

Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 1 Tahun 1946 Tentang Kitab Undang-undang Hukum Pidana.

Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 8 Tahun 1981 Tentang Kitab Undang-undang Hukum Acara Pidana.

Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 4 Tahun 1976 Tentang Perubahan dan Penambahan Beberapa Pasal dalam Kitab Undang-undang Hukum Pidana Bertalian dengan Perluasan Berlakunya Ketentuan Perundang-undangan Pidana Kejahatan Penerbangan dan Kejahatan Terhadap Sarana/Prasarana Penerbangan.

Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 2 Tahun 2002 Tentang Kepolisian Negara Republik Indonesia.

Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 15 Tahun 1992 Tentang Penerbangan.

Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 1 Tahun 2009 Tentang Penerbangan. Peraturan Pemerintah Republik Indonesia Nomor 3 Tahun 2001 Tentang

Keamanan dan Keselamatan Penerbangan.

Keputusan Menteri Perhubungan Nomor 42 Tahun 2001 Tentang Civil Aviation Safety Regulations Part 61 Revision 01 about Licensing of Pilot and Flight Instructors.

Convention on International Civil Aviation, Signed at Chicago, on 7 December 1944.

International Standards and Recommended Practices Annex 13 to the Convention on International Civil Aviation about Aircraft Accident and Incident Investigation, Ninth Edition, July 2001.


(3)

C. LAMAN INTERNET

http:/

tentang Pertanggung Jawaban Pidana.

http://www.dephan.go.id/modules.php?name=News&file=article&sid=8143.

http://www.iamsa.web.id/index.php?option=com_content&task=view&id=16&Ite mid=10000.

http://en.wikipedia.org/wiki/Air_traffic_control.

http://umum.kompasiana.com/2009/02/19/mengapa-dunia-penerbangan-kita-menjadi-sorotan-dunia/.

http://tabloidaviasi.com/hukum-regulasi/aspek-hukum-kecelakaan-pesawat-udara/.


(4)

BAB III

PERTANGGUNGJAWABAN PIDANA PENGATUR LALU LINTAS UDARA SIPIL ATAS KECELAKAAN PESAWAT TERBANG DARI PERSPEKTIF UNDANG-UNDANG RI NO 1 TAHUN 2009 TENTANG

PENERBANGAN

C.Pertanggungjawaban Pidana Pengatur Lalu Lintas Udara Sipil Atas Kecelakaan Pesawat Terbang Dari Perspektif Undang-Undang RI No 1 Tahun 2009 Tentang Penerbangan

1. Sekilas tentang profesi Pengatur Lalu Lintas Udara Sipil (Air Traffic Controller)

Pengatur lalu-lintas udara (Air traffic control) adalah penyedia layanan yang mengatur lalu-lintas di informasi kepad navigasi. Biasanya Pengaturan lalu-lintas udara dilakukan diatas (Tower), agar dapat melihat dengan jelas keadaan landasan pacu dan lingkungan sekitarnya. Tujuan dari Pengaturan lalu lintas udara adalah untuk menghindarkan tabrakan antar pesawat terbang, menghindarkan pesawat terbang yang berada di daerah pergerakan pesawat dengan penghalang lainnya dan terciptanya kelancaran serta keteraturan lalu lintas udara. Tugas Air Traffic Controler tercantum di dalam Annex 2 (Rules of the Air) dan Annex 11 (Air Traffic Services) Konvensi Chicago 1944 adalah mencegah tabrakan antar pesawat, mencegah tabrakan pesawat dengan obstructions, mengatur arus lalu lintas udara yang aman, cepat dan teratur kepada pesawat terbang, baik yang berada di ground atau yang sedang terbang / melintas dengan menggunakan jalur yang telah ditentukan. Untuk melaksanakan tugas tersebut diperlukan seorang petugas ATC dalam Pengaturan arus lalu lintas udara yang dimulai


(5)

dari pesawat melakukan contact (komunikasi) pertama kali sampai dengan pesawat tersebut mendarat (landing) di bandara tujuan. Di samping itu diperlukan dukungan prasarana, sarana, serta perangkat peraturan yang sesuai dengan ketentuan-ketentuan yang dikeluarkan ICAO (International Civil Aviation Organization) atau Organisasi Penerbangan Sipil Internasional, yang dari hari ke hari terus dilakukan amandemen sesuai dengan perkembangan arus lalu lintas penerbangan dan teknologi. Dengan semakin tingginya frekuensi penerbangan yang melintasi ataupun mendarat di bandar udara dewasa ini, maka tugas dan tanggung jawab ATC menjadi semakin berat. Oleh karena itu, kualitas dan kehandalan perangkat kerja dan SDM yang ada dibelakangnya harus benar-benar prima untuk menjamin terhindarnya insiden penerbangan. Guna mendukung kelancaran pelayanan lalu lintas penerbangan, pada setiap pesawat udara dan Bandar Udara yang beroperasi harus dilengkapi dengan fasilitas komunikasi yang memadai. Fasilitas komunikasi penerbangan tersebut digunakan untuk komunikasi antara Pengatur lalu lintas udara dengan pilot/pesawat dan antara petugas lalu lintas udara dengan unit lain di Bandar Udara tersebut maupun dengan petugas Pengatur Lalu Lintas Udara di Badar Udara lainnya. Untuk dapat menjadi seorang Pengatur Lalu Lintas Udara harus mengikuti pendidikan khusus Pengatur Lalu Lintas Udara, yang saat ini hanya ada di Diklat-Diklat Perhubungan Udara di seluruh Indonesia. Pendidikan dilaksanakan selama 2 (dua) tahun (D II) sebagai pemegang license Junior ATC, dan 3 (tiga) tahun (D III) sebagai pemegang license Senior ATC. Pendidikan ini kemudian diteruskan dengan Diklat Radar selama kurang lebih


(6)

3 (tiga) bulan, dan atau mengikuti pendidikan selama 4 (empat) tahun (D IV) sesuai kebutuhan di lapangan.

2. Perbuatan yang termasuk tindak pidana dan ketentuan pidananya yang berkaitan dengan profesi Pengatur Lalu Lintas Udara Sipil yang diatur dalam Undang-Undang RI No 1 Tahun 2009 Tentang Penerbangan

Di dalam Undang Undang RI Nomor 1 Tahun 2009 tentang Penerbangan diatur tentang bentuk-bentuk tindak pidana dan ketentuan pidananya yang berkaitan dengan profesi Pengatur Lalu Lintas Udara Sipil yaitu sebagai berikut :

a. Dalam pasal 423 disebutkan bahwa :

(1) Personel bandar udara yang mengoperasikan dan/atau memelihara fasilitas bandar udara tanpa memiliki lisensi atau sertifikat kompetensi dipidana dengan pidana penjara paling lama 1 (satu) tahun atau denda paling banyak Rp200.000.000,00 (dua ratus juta rupiah).

(2) Dalam hal perbuatan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) mengakibatkan matinya orang, dipidana dengan pidana penjara paling lama 15 (lima belas) tahun dan denda paling banyak Rp1.000.000.000,00 (satu miliar rupiah).

b. Selanjutnya dalam pasal 429 dinyatakan bahwa setiap orang yang menyelenggarakan pelayanan navigasi penerbangan tidak memiliki sertifikat pelayanan navigasi penerbangan dipidana dengan pidana penjara paling lama 5 (lima) tahun dan denda paling banyak Rp1.000.000.000,00 (satu miliar rupiah).


(7)

c. Dan dalam pasal 430 disebutkan bahwa :

(1) Personel navigasi penerbangan yang tidak memiliki lisensi atau sertifikat kompetensi dipidana dengan pidana penjara paling lama 1 (satu) tahun atau denda paling banyak Rp200.000.000,00 (dua ratus juta rupiah).

(2) Dalam hal perbuatan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) mengakibatkan matinya orang, dipidana dengan pidana penjara paling lama 15 (lima belas) tahun dan denda paling banyak Rp1.000.000.000,00 (satu miliar rupiah).

d. Dalam pasal 437 dinyatakan bahwa :

(1) Setiap orang menyampaikan informasi palsu yang membahayakan keselamatan penerbangan dipidana dengan pidana penjara paling lama 1 (satu) tahun.

(2) Dalam hal tindak pidana sebagaimana dimaksud pada ayat (1) mengakibatkan kecelakaan atau kerugian harta benda, dipidana dengan pidana penjara paling lama 8 (delapan) tahun.

(3) Dalam hal tindak pidana sebagaimana dimaksud pada ayat (1) mengakibatkan matinya orang, dipidana dengan pidana penjara paling lama 15 (lima belas) tahun.

e. Dan dalam pasal 439 diuraikan bahwa :

(1) Setiap personel pelayanan lalu lintas penerbangan yang pada saat bertugas menerima pemberitahuan atau mengetahui adanya pesawat udara yang berada dalam keadaan bahaya atau hilang dalam


(8)

penerbangan tidak segera memberitahukan kepada instansi yang tugas dan tanggung jawabnya di bidang pencarian dan pertolongan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 355 sehingga mengakibatkan kecelakaan pesawat udara dan kerugian harta benda, dipidana dengan pidana penjara paling lama 8 (delapan) tahun.

(2) Dalam hal tindak pidana sebagaimana dimaksud pada ayat (1) mengakibatkan matinya orang, dipidana dengan pidana penjara paling lama 10 (sepuluh) tahun.

3. Pertanggungjawaban Pidana Pengatur Lalu Lintas Udara Sipil Atas Kecelakaan Pesawat Terbang Dari Perspektif Undang-Undang RI No 1 Tahun 2009 Tentang Penerbangan

Pertanggungjawaban pidana dapat dibebankan kepada setiap orang yang dengan terbukti sah dan meyakinkan telah melakukan sebuah perbuatan yang dalam aturan hukum pidana dikategorikan sebagai suatu tindak pidana, sesuai dengan asas legalitas yang berlaku dan bukanlah sebagai suatu upaya untuk mengkriminalisasikan perbuatan yang dilakukan oleh seseorang, akan tetapi merupakan sebuah tindakan yang telah sesuai dengan aturan pidana yang berlaku. Dikatakan bukan sebagai suatu upaya kriminalisasi, karena peristiwa hukum tersebut telah diatur dalam suatu ketentuan peraturan perundang-undangan yang telah berlaku sebelum peristiwa tersebut terjadi (bukan karena adanya pemberlakuan suatu aturan untuk berlaku surut).

Undang-Undang Nomor 1 Tahun 2009, tidak secara tegas mengatur terkait pertanggungjawaban pidana dari seorang Pengatur Lalu Lintas Udara, akan


(9)

tetapi berdasarkan ketentuan yang terdapat dalam Bab XXIX A KUHP dengan tegas ditentukan bahwa setiap orang yang melakukan suatu perbuatan yang menyebabkan timbulnya suatu kejadian ataupun kecelakaan terhadap pesawat udara, maka dapat dimintakan pertanggungjawaban dalam aspek pidana kepada pelakunya, sehingga berdasarkan peristiwa yang terjadi, Pengatur Lalu Lintas Udara yang menyebabkan terjadinya kecelakaan tersebut merupakan pelaku dari peristiwa pidana tersebut. Akan tetapi, pertanggungjawaban tidak sepenuhnya dibebankan kepada Pengatur Lalu Lintas Udara semata, karena kejadian tersebut merupakan suatu kondisi berantai yang apabila ditarik kebelakang, dimungkinkan terdapat beberapa faktor pendorong sehingga hal tersebut dapat terjadi, salah satunya adalah faktor dari manajemen organisasi.

Keterlibatan dari manejemen organisasi selaku operator dan tempat bernaung dari Pengatur Lalu Lintas Udara, memiliki peranan yang sangat besar terhadap profesionalitas dari seorang Pengatur Lalu Lintas Udara, terkait dengan mekanisme manajemen waktu operasional bagi Pengatur Lalu Lintas Udara. Jadwal kerja yang padat bagi seorang Pengatur Lalu Lintas Udara, sebagai suatu beban psikologis tersendiri dalam menjaga performance di lapangan. Kesalahan yang dilakukan oleh seorang Pengatur Lalu Lintas Udara juga menjadi tanggung jawab bagi organisasi sebagai pemberi tugas dan penyedia jasa pelayanan penerbangan. Sehingga patut untuk menjadi perhatian bahwa selain beban pertanggungjawaban dalam aspek pidana dibebankan kepada Pengatur Lalu Lintas Udara atas suatu kecelakaan, juga tidak menutup kemungkinan beban pertanggungjawaban pidana diberikan kepada organisasi


(10)

tempatsang Pengatur Lalu Lintas Udara bernaung, karena terdapat unsur kelalaian yang dilakukan oleh organisasi dalam pengelolaan sumber daya manusia yang dinaunginya.

Tanggung jawab secara korporasi tidaklah bertentangan dengan regulasi penerbangan, yaitu Undang-Undang Nomor 1 Tahun 2009 karena dalam regulasi penerbangan tersebut, seperti yang diatur dalam Pasal 411 ayat (1), bahwa tindak pidana penerbangan yang dilakukan oleh orang yang bertindak, baik untuk dan / atau atas nama organisasi ataupun untuk kepentingan dari organisasinya, baik berdasarkan hubungan kerja maupun hubungan lainnya, bertindak dalam lingkungan organisasi tersebut, baik secara sendiri maupun bersama-sama, dianggap tindakan tersebut dilakukan oleh korporasi, sehingga pertanggungjawaban pidananya dibebankan kepada organisasi ataupun pengurusnya.

D.Kecelakaan Pesawat Terbang Garuda Indonesia GA-152 Di Bandar Udara Polonia, Medan

Garuda Indonesia Penerbangan GA 152 adalah sebuah pesawat kawasan perladangan warga di Desa Buah Nabar, dan 45 km dari kota Medan) saat hendak mendarat di pada yang berjumlah 222 orang dan 12 awak.


(11)

Pesawat tersebut sedang dalam perjalanan dari bersiap untuk mendarat. Kontak terakhir dari pilot yang diterima oleh Pengatur Lalu Lintas Udara sekitar pukul 13.18 WIB, Pengatur Lalu Lintas Udara Bandara Polonia kehilangan hubungan dengan pesawat sekitar pukul 13. terjadinya peristiwa tersebut, kota Medan sedang diselimuti visibility (jarak pandang) sekitar 600 sampai 800 meter. Ketebalan kabut menyebabkan jangkauan pandang pilot sangat terbatas dan cuma mengandalkan tuntunan dari Pengatur Lalu Lintas Udara Bandara Polonia, namun kesalahmengertian komunikasi antara Pengatur Lalu Lintas Udara dengan pilot menyebabkan pesawat mengambil arah yang salah dan menabrak tebing gunung. Penyebab jatuh diduga karena kesalahan petugas Pengatur Lalu Lintas Udara / Air Traffic Control (ATC) saat mengarahkan pilot Hance Rahmowiyogo keluar dari kabut kabut 15 menit sebelum mencapai Bandara Polonia dalam penerbangannya dari Jakarta. Bukannya keluar dari kabut, pesawat justru menabrak perbukitan dan menewaskan seluruh penumpang dan awak. Di antara penumpang ada dua extra crew, masing-masing Sumali (pilot) dan Tahta Yuwaldi (kopilot).

Pesawat badan lebar bermesin ganda Pratt and Whitney JT9D-59A ini dimiliki Garuda sebanyak sembilan buah, masuk pertama kali di armada Garuda bulan Maret 1982. Pesawat itu mengangkut kargo sebanyak 6.750 kg dan pos 588 kg. Bahan bakar yang dibawa dalam tanki sebanyak 25.000 kg dan baru terpakai 12.700 kg. Kecelakaan ini mengingatkan kejadian yang menimpa pesawat F-28 Garuda "Mamberamo", serta pesawat TNI AU Hercules C-130H-MP, masing-masing 13 Juli 1979 dan 23 November 1985. Kala itu pesawat F-28 menempuh


(12)

rute Palembang-Medan, membawa empat awak dan 57 penumpang, sedang Hercules TNI AU yang membawa 10 awak, terbang dari Padang dalam rangka patroli udara. Ketiga peristiwa naas tersebut, sama-sama terjadi di sekitar Gunung Sibayak, Sumut, dan sama-sama menewaskan seluruh penumpang dan awak.

Evakuasi korban sampai pukul 21.00 belum dapat dilakukan karena lokasi reruntuhan berada di jurang sedalam 400 meter dan terletak tiga kilometer dari ruas jalan utama Medan-Berastagi. Namun sejak sore, petugas tim SAR dari ABRI dan masyarakat terus berusaha mengumpulkan potongan mayat yang sebagian besar sulit dikenali. Tidak sedikit pun bentuk bagian pesawat yang masih utuh. Semuanya hancur berkeping-keping. Seluruh isi pesawat bercampur aduk dengan potongan tubuh manusia. Hampir seluruh mayat yang ditemukan tidak ada yang utuh. Untuk mengantisipasi penerbangan dari Bandara Polonia Medan, sejak pukul 15.30 WIB Kepala Cabang Bandara Polonia Medan Hari Sirjono menutup rute penerbangan sejak pukul 15.30 WIB.


(13)

BAB IV

KESIMPULAN DAN SARAN

A.Kesimpulan

Berdasarkan hasil penelitian yang dilakukan oleh penulis terhadap permasalahan yang terjadi, ditarik suatu kesimpulan bahwa :

1. Pertanggungjawaban pidana dapat dibebankan kepada Pengatur Lalu Lintas Udara yang menyebabkan kecelakaan pesawat terbang dengan ketentuan dapat dibuktikan bahwa penyebab utama timbulnya kecelakaan tersebut karena terdapat faktor intention (kesengajaan), recklessness (kesembronoan), atau negligence (kealpaan / kurang hati-hati) yang dilakukan oleh Pengatur Lalu Lintas Udara, serta peristiwa kecelakaan tersebut telah memenuhi rumusan unsur-unsur delik pidana yang diatur dalam ketentuan pidana yang berlaku, khususnya ketentuan pidana yang mengatur tentang tindak pidana penerbangan, sepanjang unsur-unsur dalam pertanggungjawaban pidana, khususnya terkait dengan alasan penghapus dari tindak pidana sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan yang berlaku dapat terpenuhi juga. Patut untuk menjadi perhatian bahwa kesalahan yang dilakukan oleh Pengatur Lalu Lintas Udara tidak sepenuhnya dibebankan kepada Pengatur Lalu Lintas Udara semata, karena harus terlebih dahulu dilihat faktor penyebab yang melatar belakangi terjadinya kesalahan tersebut. Tidak menutup kemungkinan bahwa kesalahan juga terdapat pada organisasi


(14)

tempat Pengatur Lalu Lintas Udara tersebut bernaung, karena manajemen yang keliru dapat berdampak pada kredibilitas, personalitas dan profesionalitas dari Pengatur Lalu Lintas Udara. Pembebanan jadwal kerja yang padat menjadi salah satu penyebab timbulnya penurunan performance dari seorang Pengatur Lalu Lintas Udara, dimana hal tersebut dapat berakibat terburuk, yaitu timbulnya suatu kecelakaan yang dapat menimbulkan korban jiwa.

2. Penerapan peraturan perundang-undangan selain ketentuan dalam regulasi penerbangan, seperti ketentuan dalam Bab XXIX A KUHP sebagai ketentuan umum aturan pidana, bukanlah sebagai bentuk pengesampingan dari adagium lex specialis derogate legi generalis, akan tetapi sebagai suatu langkah guna tercapainya kepastian hukum atas suatu perbuatan yang telah memenuhi rumusan unsur-unsur delik pidana. Tindakan tersebut juga bukanlah sebagai upaya untuk mengkriminalisasi profesi tertentu, namun merupakan aktualisasi dari paradigma supremasi hukum di Indonesia yang semakin berkembang sesuai dengan dinamika sosial masyarakat dan perkembangan zaman yang semakin berkembang. Semua profesi pasti memiliki resiko dan konsekuensi hukum yang harus ditaati, karena seperti yang diatur Pasal 27 ayat (1) UUD 1945 bahwa terdapat kesetaraan kedudukan setiap warga negara dalam hukum dan pemerintahan serta wajib untuk menjunjung tinggi hukum tanpa terkecuali (equality before the law).


(15)

B.Saran

Akhir penulisan, dari apa yang telah diuraikan oleh penulis atas dilematika yang terjadi di lapangan serta perhatian yang sangat besar terhadap pengembangan ilmu hukum dan dunia penerbangan di Indonesia, penulis memandang perlunya beberapa pembenahan guna perbaikan di masa datang dengan saran-saran berupa:

1. Penyelidikan dan penyidikan terkait tindak pidana, khususnya tindak pidana dalam bidang penerbangan, sepatutnya dilakukan secara fair dan objektif, dan tidak berupaya untuk melindungi komunitas / korps tertentu karena bagaimanapun semua profesi memiliki resiko dan konsekuensi hukum yang sama sesuai dengan asas equality before the law.

2. Terkait dengan regulasi dalam bidang penerbangan, pasal-pasal yang terkait dengan kecelakaan pesawat terbang memiliki kekurangan dalam substansi, khususnya dalam hal pertanggungjawaban terhadap kecelakaan yang terjadi, karena dapat menimbulkan suatu interpretasi yang berbeda-beda antara masyarakat penerbangan dan aparat penegak hukum.

3. Pembentukan aturan pelaksana atas Undang-Undang Nomor 1 Tahun 2009 sepatutnya dibentuk dengan lebih terperinci sehingga tidak menimbulkan pemahaman dan penafsiran yang dapat menimbulkan konflik kepentingan dalam dunia penerbangan karena akan berdampak


(16)

pada ketidakpercayaan masyarakat, khususnya masyarakat internasional terhadap sistem penerbangan di Indonesia.

4. Hal yang penting lainnya untuk menjadi perhatian adalah agar dibentuknya suatu peraturan perundang-undangan yang menentukan dengan tegas bahwa Pengatur Lalu Lintas Udara merupakan suatu profesi serta ditetapkannya kode etik yang mengatur tentang profesi Pengatur Lalu Lintas Udara sipil di Indonesia sehingga di masa datang seorang Pengatur Lalu Lintas Udara dapat memiliki pelindungan dalam aspek hukum atas tindakan-tindakan yang dilakukannya dalam mencapai keselamatan dan keamanan penerbangan yang lebih optimal.


(17)

BAB II

PERBUATAN-PERBUATAN YANG TERMASUK LINGKUP TINDAK PIDANA DI BIDANG PENERBANGAN DALAM PERSPEKTIF UNDANG

UNDANG RI NOMOR 1 TAHUN 2009 TENTANG PENERBANGAN

C.Perbandingan Undang-Undang Nomor 15 Tahun 2002 tentang Penerbangan dan Undang-Undang Nomor 1 Tahun 2009 tentang Penerbangan serta kaitannya dengan Kitab Undang-Undang Hukum Pidana (KUHP)

Regulasi penerbangan yang lama yaitu Undang-Undang Nomor 15 Tahun 1992 tidak memberikan pembatasan dalam penyelidikan, sehingga penyidik saat itu harus mendasarkan pada ketentuan Pasal 102 ayat (1) KUHAP yang menentukan bahwa penyelidik yang mengetahui, menerima laporan atau pengaduan tentang terjadinya suatu peristiwa yang patut diduga merupakan tindak pidana wajib segera melakukan tindakan penyelidikan yang diperlukan, demikian juga dengan Pasal 14 ayat (1) Undang-Undang Nomor 2 Tahun 2002 tentang Kepolisian Negara Republik Indonesia yang menentukan tugas pokok dari Kepolisian, dimana salah satu tugas pokok Kepolisian adalah melakukan penyelidikan dan penyidikan terhadap semua tindak pidana sesuai dengan hukum acara pidana dan peraturan perundang-undangan lainnya, maka Kepolisian melaksanakan suatu penyelidikan terhadap peristiwa tersebut.

Dimana unsur-unsur rumusan yang terdapat dalam Pasal 479g KUHP yang menentukan bahwa barangsiapa karena kealpaannya menyebabkan pesawat udara celaka, hancur, tidak dapat dipakai atau rusak, dipidana:

a. dengan pidana penjara selama-lamanya lima tahun, jika karena perbuatan itu timbul bahaya bagi nyawa orang lain;


(18)

b. dengan pidana penjara selama-lamanya tujuh tahun, jika karena perbuatan itu mengakibatkan matinya orang.

dengan unsur-unsurnya berupa : 1) barangsiapa;

2) karena kealpaan;

3) menyebabkan rusak, hancur, celaka dan tidak dapat dipakai lagi suatu pesawat udara;

4) dan menimbulkan bahaya atau matinya orang lain.

Adagium lex specialis derogate legi generalis, dinilai oleh sebagian besar kalangan merupakan hal penting yang untuk diperhatikan dalam pengenaan aturan hukum terkait peristiwa kecelakaan pesawat terbang. Hal tersebut, didasarkan pada ketentuan yang terdapat dalam Pasal 63 ayat (2) KUHP yang menentukan bahwa jika suatu perbuatan masuk dalam suatu aturan pidana yang umum, diatur pula dalam aturan pidana yang khusus, maka yang khusus itulah yang diterapkan.

Apabila dikaitkan dengan pandangan Hart, terkait dengan sistem hukum yang ada, “asas lex specialis derogate legi generalis termasuk dalam kategori rules of recognition, dimana asas ini mengatur aturan hukum mana yang diakui keabsahannya sebagai suatu aturan yang berlaku”16

16

. Dengan demikian, asas ini merupakan salah satu secondary rules yang sifatnya bukan mengatur perilaku sebagaimana primary rules, tetapi mengatur terkait dengan pembatasan penggunaan kewenangan dari aparatur negara dalam mengadakan suatu penekanan terhadap pelangggaran atas aturan tentang suatu perilaku.


(19)

Penggunaan pasal dalam KUHP bukanlah sebagai bentuk dari pengesampingan atas peraturan perundang-undangan yang khusus (lex specialis), akan tetapi hal tersebut dilakukan karena peraturan perundang-undangan tentang penerbangan yang berlaku sebelumnya, yaitu Undang-Undang Nomor 15 Tahun 1992, tidak memberikan aturan khusus yang dapat mengakomodir peristiwa kecelakaan pesawat dalam aspek ketentuan pidananya. Apabila dikaitkan dengan Undang-Undang Nomor 1 Tahun 2009 sebagai regulasi penerbangan yang berlaku pada saat ini, penggunaan ketentuan dalam Bab XXIX A KUHP tersebut tetap dapat dilakukan karena ketentuan pidana yang terdapat dalam undang-undang tersebut secara garis besar menekankan pada perbuatan-perbuatan yang dilakukan dengan unsur kesengajaan, namun terhadap perbuatan-perbuatan yang mengandung unsur kelalaian sama sekali tidak diatur dengan tegas. Aturan tentang kejahatan dalam penerbangan yang diatur dalam BAB XXII A KUHP, dengan tegas memberikan aturan yang terkait dengan perbuatan-perbuatan yang dikategorikan sebagai tindak pidana penerbangan dan memberikan rumusan terkait dengan tindak pidana penerbangan yang mengandung unsur kelalaian dalam perbuatan yang dilakukan tersebut.

Lebih lanjut, dalam ketentuan peralihan Undang-Undang Nomor 15 Tahun 1992 tidak ditentukan bahwa pasal-pasal yang mengatur tentang kejahatan penerbangan dalam bab XXIX A KUHP hapus dan tidak berlaku lagi setelah diberlakukannya Undang-Undang Nomor 15 Tahun 1992, sehingga merupakan langkah yang tepat dengan digunakannya aturan pidana dalam KUHP terkait peritiwa kecelakaan yang terjadi. Terkait dengan penegakan hukum formal, dalam


(20)

Pasal 52 ayat (3) Undang-Undang Nomor 15 Tahun 1992 juga menegaskan bahwa dalam pelaksanaan penyidikan dilakukan dengan peraturan perundang-undangan yang berlaku, yaitu KUHAP.

Undang-Undang Nomor 1 Tahun 2009 tentang penerbangan sebagai regulasi penerbangan yang berlaku saat ini, dalam ketentuan-ketentuan pidana yang diatur dalam Bab XXII tidak memberikan aturan terkait pertanggungjawaban pidana atas peristiwa kecelakaan. Seperti halnya regulasi yang sebelumnya, undang-undang ini hanya terbatas sebagai aturan perundang-undangan pidana pelengkap dari KUHP, sehingga bila terjadi suatu peristiwa kecelakaan yang sama, maka aturan yang diberlakukan merupakan aturan pidana dalam KUHP sepanjang rumusan unsur-unsur dalam pasal-pasal yang dikenakan terpenuhi oleh peristiwa dan pelakunya.

b. Perbuatan yang termasuk tindak pidana dan ketentuan pidananya dalam Undang Undang RI Nomor 1 Tahun 2009 tentang Penerbangan

Di dalam Undang Undang RI Nomor 1 Tahun 2009 tentang Penerbangan diatur tentang bentuk-bentuk tindak pidana dan ketentuan pidananya yaitu sebagai berikut :

1. Dalam pasal 401 dinyatakan bahwa setiap orang yang mengoperasikan pesawat udara Indonesia atau pesawat udara asing yang memasuki kawasan udara terlarang dipidana dengan pidana penjara paling lama 8 (delapan) tahun dan denda paling banyak Rp500.000.000,00 (lima ratus juta rupiah).


(21)

2. Di dalam pasal 402 disebutkan bahwa setiap orang yang mengoperasikan pesawat udara Indonesia atau pesawat udara asing yang memasuki kawasan udara terbatas dipidana dengan pidana penjara paling lama 3 (tiga) tahun atau denda paling banyak Rp500.000.000,00 (lima ratus juta rupiah).

3. Selanjutnya dalam pasal 403 dinyatakan bahwa setiap orang yang melakukan kegiatan produksi dan/atau perakitan pesawat udara, mesin pesawat udara, dan/atau baling-baling pesawat terbang yang tidak memiliki sertifikat produksi dipidana dengan pidana penjara paling lama 3 (tiga) tahun atau denda paling banyak Rp500.000.000,00 (lima ratus juta rupiah).

4. Di dalam pasal 404 disebutkan bahwa setiap orang yang mengoperasikan pesawat udara yang tidak mempunyai tanda pendaftaran dipidana dengan pidana penjara paling lama 5 (lima) tahun atau denda paling banyak Rp1.000.000.000,00 (satu miliar rupiah). 5. Dan di pasal 405 diuraikan bahwa setiap orang yang memberikan

tanda-tanda atau mengubah identitas pendaftaran sedemikian rupa sehingga mengaburkan tanda pendaftaran, kebangsaan, dan bendera pada pesawat udara dipidana dengan pidana penjara paling lama 1 (satu) tahun atau denda paling banyak Rp250.000.000,00 (dua ratus lima puluh juta rupiah).


(22)

(1)Setiap orang yang mengoperasikan pesawat udara yang tidak memenuhi standar kelaikudaraan dipidana dengan pidana penjara paling lama 3 (tiga) tahun atau denda paling banyak Rp1.500.000.000,00 (satu miliar lima ratus juta rupiah).

(2)Jika perbuatan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) menimbulkan kerugian harta benda dipidana dengan pidana penjara paling lama 4 (empat) tahun atau denda paling banyak Rp2.000.000.000,00 (dua miliar rupiah).

(3)Jika perbuatan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) mengakibatkan kematian seseorang dan kerugian harta benda, dipidana dengan pidana penjara paling lama 10 (sepuluh) tahun dan denda paling banyak Rp2.500.000.000,00 (dua miliar lima ratus juta rupiah).

7. Kemudian dalam pasal 407 dinyatakan bahwa setiap orang yang mengoperasikan pesawat udara yang tidak memiliki sertifikat operator pesawat udara dipidana dengan pidana penjara paling lama 2 (dua) tahun atau denda paling banyak Rp2.500.000.000,00 (dua miliar lima ratus juta rupiah).

8. Dan dalam pasal 408 dinyatakan bahwa setiap orang yang mengoperasikan pesawat udara yang tidak memiliki sertifikat pengoperasian pesawat udara dipidana dengan pidana penjara paling lama 1 (satu) tahun atau denda paling banyak Rp500.000.000,00 (lima ratus juta rupiah).


(23)

9. Dalam pasal 409 dinyatakan bahwa setiap orang selain yang ditentukan dalam Pasal 47 ayat (1) yang melakukan perawatan pesawat udara, mesin pesawat udara, baling-baling pesawat terbang dan komponennya dipidana dengan pidana penjara paling lama 1 (satu) tahun atau denda paling banyak Rp200.000.000,00 (dua ratus juta rupiah).

10. Dalam pasal 410 disebutkan bahwa setiap orang yang mengoperasikan pesawat udara sipil Indonesia atau asing yang tiba di atau berangkat dari Indonesia dan melakukan pendaratan dan/atau tinggal landas dari bandar udara yang tidak sesuai dengan ketentuan dalam Pasal 52 dipidana dengan pidana penjara 1 (satu) tahun atau denda Rp500.000.000,00 (lima ratus juta rupiah).

11. Di pasal 411 diuraikan bahwa setiap orang dengan sengaja menerbangkan atau mengoperasikan pesawat udara yang membahayakan keselamatan pesawat udara, penumpang dan barang, dan/atau penduduk atau merugikan harta benda milik orang lain dipidana dengan pidana penjara paling lama 2 (dua) tahun dan denda paling banyak Rp500.000.000,00 (lima ratus juta rupiah).

12. Kemudian dalam pasal 412 diuraikan bahwa :

(1)Setiap orang di dalam pesawat udara selama penerbangan melakukan perbuatan yang dapat membahayakan keamanan dan keselamatan penerbangan dipidana dengan pidana penjara paling lama 2 (dua) tahun atau denda paling banyak Rp500.000.000,00 (lima ratus juta rupiah).


(24)

(2)Setiap orang di dalam pesawat udara selama penerbangan melakukan perbuatan yang melanggar tata tertib dalam penerbangan dipidana dengan pidana penjara paling lama 1 (satu) tahun atau denda paling banyak Rp100.000.000,00 (seratus juta rupiah).

(3)Setiap orang di dalam pesawat udara selama penerbangan mengambil atau merusak peralatan pesawat udara yang membahayakan keselamatan dipidana dengan pidana penjara paling lama 2 (dua) tahun atau denda paling banyak Rp200.000.000,00 (dua ratus juta rupiah).

(4)Setiap orang di dalam pesawat udara selama penerbangan mengganggu ketenteraman dipidana dengan pidana penjara paling lama 1 (satu) tahun atau denda paling banyak Rp100.000.000,00 (seratus juta rupiah).

(5)Setiap orang di dalam pesawat udara selama penerbangan mengoperasikan peralatan elektronika yang mengganggu navigasi penerbangan dipidana dengan pidana penjara paling lama 2 (dua) tahun atau denda paling banyak Rp200.000.000,00 (dua ratus juta rupiah).

(6)Dalam hal tindak pidana sebagaimana dimaksud pada ayat (1), ayat (2), ayat (3), ayat (4) atau ayat (5) mengakibatkan kerusakan atau kecelakaan pesawat dan kerugian harta benda dipidana dengan pidana penjara paling lama 5 (lima) tahun dan denda paling banyak Rp2.500.000.000,00 (dua miliar lima ratus juta rupiah).


(25)

(7)Dalam hal tindak pidana sebagaimana dimaksud pada ayat (1), ayat (2), ayat (3), ayat (4), atau ayat (5) mengakibatkan cacat tetap atau matinya orang dipidana dengan pidana penjara paling lama 15 (lima belas) tahun.

13. Di dalam pasal 413 disebutka bahwa :

(1)Setiap personel pesawat udara yang melakukan tugasnya tanpa memiliki sertifikat kompetensi atau lisensi dipidana dengan pidana penjara paling lama 1 (satu) tahun atau denda paling banyak Rp200.000.000,00 (dua ratus juta rupiah).

(2)Dalam hal perbuatan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) mengakibatkan matinya orang, dipidana dengan pidana penjara paling lama 15 (lima belas) tahun dan denda paling banyak Rp1.000.000.000,00 (satu miliar rupiah).

14. Di dalam pasal 414 dinyatakan bahwa setiap orang yang mengoperasikan pesawat udara asing di wilayah Negara Kesatuan Republik Indonesia tanpa izin Menteri dipidana dengan pidana penjara paling lama 5 (lima) tahun atau denda paling banyak Rp2.000.000.000,00 (dua miliar rupiah).

15. Selanjutnya dalam pasal 415 dinyatakan bahwa setiap orang yang mengoperasikan pesawat udara sipil asing yang dioperasikan di wilayah Negara Kesatuan Republik Indonesia yang tidak memenuhi persyaratan kelaikudaraan dipidana dengan pidana penjara paling lama 5 (lima)


(26)

tahun atau denda paling banyak Rp2.000.000.000,00 (dua miliar rupiah).

16. Dalam pasal 416 dinyatakan bahwa setiap orang yang melakukan kegiatan angkutan udara niaga dalam negeri tanpa izin usaha angkutan udara niaga dipidana dengan pidana penjara paling lama 1 (satu) tahun atau denda paling banyak Rp500.000.000,00 (lima ratus juta rupiah). 17. Dalam pasal 417 dinyatakan bahwa setiap orang yang melakukan

kegiatan angkutan udara niaga berjadwal dalam negeri tanpa izin usaha angkutan udara niaga berjadwal dipidana dengan pidana penjara paling lama 1 (satu) tahun atau denda paling banyak Rp500.000.000,00 (lima ratus juta rupiah).

18. Kemudian dalam pasal 418 disebutkan bahwa setiap orang yang melakukan kegiatan angkutan udara niaga tidak berjadwal luar negeri tanpa persetujuan terbang dari Menteri 93 dipidana dengan pidana penjara paling lama 1 (satu) tahun atau denda paling banyak Rp200.000.000,00 (dua ratus juta rupiah).

19. Dalam pasal 419 disebutkan bahwa :

(1)Setiap orang yang melakukan pengangkutan barang khusus dan berbahaya yang tidak memenuhi persyaratan keselamatan dan keamanan penerbangan 136 ayat (1) dipidana dengan pidana penjara paling lama 2 (dua) tahun atau denda paling banyak Rp500.000.000,00 (lima ratus juta rupiah).


(27)

(2)Dalam hal perbuatan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) mengakibatkan matinya orang, dipidana dengan pidana penjara paling lama 15 (lima belas) tahun.

20. Di pasal 420 dinyatakan bahwa pemilik, agen ekspedisi muatan pesawat udara, pengirim, badan usaha bandar udara, unit penyelenggara bandar udara, badan usaha pergundangan, atau badan usaha angkutan udara niaga yang melanggar ketentuan pengangkutan barang khusus dan/atau berbahaya dipidana dengan pidana penjara paling lama 1 (satu) tahun atau denda paling banyak Rp200.000.000,00 (dua ratus juta rupiah).

21. Dalam pasal 421 dinyatakan bahwa :

(1)Setiap orang berada di daerah tertentu di bandar udara, tanpa memperoleh izin dari otoritas bandar udara dipidana dengan pidana penjara paling lama 1 (satu) tahun atau denda paling banyak Rp100.000.000,00 (seratus juta rupiah).

(2)Setiap orang membuat halangan (obstacle), dan/atau melakukan kegiatan lain di kawasan keselamatan operasi penerbangan yang membahayakan keselamatan dan keamanan penerbangan dipidana dengan pidana penjara paling lama 3 (tiga) tahun dan/atau denda paling banyak Rp1.000.000.000,00 (satu miliar rupiah).

22. Lalu dalam pasal 422 disebutkan bahwa :

(1)Setiap orang dengan sengaja mengoperasikan bandar udara tanpa memenuhi ketentuan keselamatan dan keamanan penerbangan ayat


(28)

(1) dipidana dengan pidana penjara paling lama 3 (tiga) tahun dan denda paling banyak Rp1.000.000.000,00 (satu miliar rupiah).

(2)Dalam hal perbuatan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) menimbulkan kerugian harta benda seseorang, dipidana dengan pidana penjara paling lama 5 (lima) tahun dan denda paling banyak Rp2.000.000.000,00 (dua miliar rupiah).

(3)Dalam hal perbuatan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) mengakibatkan matinya orang, dipidana dengan pidana penjara paling lama 15 (lima belas) tahun dan denda paling banyak Rp5.000.000.000,00 (lima miliar rupiah).

23. Dalam pasal 423 disebutkan bahwa :

(1)Personel bandar udara yang mengoperasikan dan/atau memelihara fasilitas bandar udara tanpa memiliki lisensi atau sertifikat kompetensi dipidana dengan pidana penjara paling lama 1 (satu) tahun atau denda paling banyak Rp200.000.000,00 (dua ratus juta rupiah).

(2)Dalam hal perbuatan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) mengakibatkan matinya orang, dipidana dengan pidana penjara paling lama 15 (lima belas) tahun dan denda paling banyak Rp1.000.000.000,00 (satu miliar rupiah).

24. Di pasal 424 dinyatakan bahwa :

(1)Setiap orang yang tidak bertanggung jawab terhadap kerugian yang diderita oleh pengguna jasa bandar udara dan/atau pihak ketiga


(29)

berupa kematian atau luka fisik orang yang diakibatkan oleh pengoperasian bandar udara 240 ayat (2) huruf a, dipidana dengan pidana penjara paling lama 15 (lima belas) tahun dan denda paling banyak Rp2.000.000.000,00 (dua miliar rupiah).

(2)Setiap orang yang tidak bertanggung jawab terhadap kerugian yang diderita oleh pengguna jasa bandar udara dan/atau pihak ketiga berupa:

a. musnah, hilang, atau rusak peralatan yang dioperasikan; dan/atau b. dampak lingkungan di sekitar bandar udara, yang diakibatkan

oleh pengoperasian bandar udara, dipidana dengan pidana penjara paling lama 10 (sepuluh) tahun dan denda paling banyak Rp1.000.000.000,00 (satu miliar rupiah).

25. Dalam pasal 425 disebutkan bahwa setiap orang yang melaksanakan kegiatan di bandar udara yang tidak bertanggung jawab untuk mengganti kerugian atas setiap kerusakan pada bangunan dan/atau fasilitas bandar udara yang diakibatkan oleh kegiatannya, dipidana dengan pidana penjara paling lama 3 (tiga) tahun dan denda paling banyak Rp1.000.000.000,00 (satu miliar rupiah).

26. Kemudian pasal 426 dinyatakan bahwa setiap orang yang membangun bandar udara khusus tanpa izin dari Menteri 247 ayat (1) dipidana dengan pidana penjara paling lama 3 (tiga) tahun dan denda paling banyak Rp1.000.000.000,00 (satu miliar rupiah).


(30)

27. Lalu dalam pasal 427 dinyatakan bahwa setiap orang yang mengoperasikan bandar udara khusus dengan melayani penerbangan langsung dari dan/atau ke luar negeri tanpa izin dari Menteri, dipidana dengan pidana penjara paling lama 3 (tiga) tahun atau denda paling banyak Rp3.000.000.000,00 (tiga miliar rupiah).

28. Dalam pasal 428 disebutkan bahwa :

(1)Setiap orang yang mengoperasikan bandar udara khusus yang digunakan untuk kepentingan umum tanpa izin dari Menteri dipidana dengan pidana penjara paling lama 3 (tiga) tahun atau denda paling banyak Rp3.000.000.000,00 (tiga miliar rupiah).

(2)Dalam hal tindak pidana sebagaimana dimaksud pada ayat (1) mengakibatkan matinya orang dipidana dengan pidana penjara paling lama 15 (lima belas) tahun dan denda paling banyak Rp15.000.000.000,00 (lima belas miliar rupiah).

29. Di pasal 429 dinyatakan bahwa setiap orang yang menyelenggarakan pelayanan navigasi penerbangan tidak memiliki sertifikat pelayanan navigasi penerbangan dipidana dengan pidana penjara paling lama 5 (lima) tahun dan denda paling banyak Rp1.000.000.000,00 (satu miliar rupiah).

30. Lalu dalam pasal 430 dinyatakan bahwa :

(1)Personel navigasi penerbangan yang tidak memiliki lisensi atau sertifikat kompetensi dipidana dengan pidana penjara paling lama 1


(31)

(satu) tahun atau denda paling banyak Rp200.000.000,00 (dua ratus juta rupiah).

(2)Dalam hal perbuatan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) mengakibatkan matinya orang, dipidana dengan pidana penjara paling lama 15 (lima belas) tahun dan denda paling banyak Rp1.000.000.000,00 (satu miliar rupiah).

31. Dalam pasal 431 disebuykan bahwa :

(1)Setiap orang yang menggunakan frekuensi radio penerbangan selain untuk kegiatan penerbangan atau menggunakan frekuensi radio penerbangan yang secara langsung atau tidak langsung mengganggu keselamatan penerbangan dipidana dengan pidana penjara paling lama 5 (lima) tahun dan denda paling banyak Rp100.000.000,00 (seratus juta rupiah).

(2)Dalam hal tindak pidana sebagaimana dimaksud pada ayat (1) mengakibatkan matinya orang, dipidana dengan pidana penjara paling lama 15 (lima belas) Tahun dan denda paling banyak Rp100.000.000,00 (seratus juta rupiah).

32. Kemudian dalam pasal 432 disebutkan bahwa setiap orang yang akan memasuki daerah keamanan terbatas tanpa memiliki izin masuk daerah terbatas atau tiket pesawat udara dipidana dengan pidana penjara paling lama 1 (satu) tahun atau denda paling banyak Rp500.000.000,00 (lima ratus juta rupiah).


(32)

33. Lalu dalam pasal 433 menyebutkan bahwa setiap orang yang menempatkan petugas keamanan dalam penerbangan pada pesawat udara niaga berjadwal asing dari dan ke wilayah Republik Indonesia tanpa adanya perjanjian bilateral, dipidana dengan pidana denda paling banyak Rp1.000.000.000,00 (satu miliar rupiah).

34. Di pasal 434 disebutkan bahwa setiap orang yang mengoperasikan pesawat udara kategori transpor tidak memenuhi persyaratan keamanan penerbangan sehingga mengakibatkan kecelakaan pesawat udara dan kerugian harta benda, dipidana dengan pidana penjara 5 (lima) tahun dan denda paling banyak Rp1.000.000.000,00 (satu miliar rupiah). 35. Di dalam pasal 435 inyatakan bahwa setiap orang yang masuk ke

dalam pesawat udara, daerah keamanan terbatas bandar udara, atau wilayah fasilitas aeronautika secara tidak sah dipidana dengan pidana penjara paling lama 1 (satu) tahun atau denda paling banyak Rp500.000.000,00 (lima ratus juta rupiah).

36. Di pasal 436 disebutkan bahwa :

(1)Setiap orang yang membawa senjata, barang dan peralatan berbahaya, atau bom ke dalam pesawat udara atau bandar udara tanpa izin huruf d, dipidana dengan pidana penjara paling lama 3 (tiga) tahun.

(2)Dalam hal tindak pidana sebagaimana dimaksud pada ayat (1) mengakibatkan kerugian harta benda dipidana dengan pidana penjara paling lama 8 (delapan) tahun.


(33)

(3)Dalam hal tindak pidana sebagaimana dimaksud pada ayat (1) mengakibatkan matinya orang, dipidana dengan pidana penjara paling lama 15 (lima belas) tahun.

(4)Selanjutnya dalam pasal 437 disebutkan bahwa setiap orang menyampaikan informasi palsu yang membahayakan keselamatan penerbangan dipidana dengan pidana penjara paling lama 1 (satu) tahun.

(5)Dalam hal tindak pidana sebagaimana dimaksud pada ayat (1) mengakibatkan kecelakaan atau kerugian harta benda, dipidana dengan pidana penjara paling lama 8 (delapan) tahun.

(6)Dalam hal tindak pidana sebagaimana dimaksud pada ayat (1) mengakibatkan matinya orang, dipidana dengan pidana penjara paling lama 15 (lima belas) tahun.

37. Dalam pasal 438 dinyatakan bahwa :

(1)Kapten penerbang yang sedang bertugas yang mengalami keadaan bahaya atau mengetahui adanya pesawat udara lain yang diindikasikan sedang menghadapi bahaya dalam penerbangan, tidak memberitahukan kepada unit pelayanan lalu lintas penerbangan sehingga berakibat terjadinya kecelakaan pesawat udara dan kerugian harta benda, dipidana dengan pidana penjara paling lama 8 (delapan) tahun.


(34)

(2)Dalam hal tindak pidana sebagaimana dimaksud pada ayat (1) mengakibatkan matinya orang, dipidana dengan pidana penjara paling lama 10 (sepuluh) tahun.

38. Di pasal 439 disebutkan bahwa :

(1)Setiap personel pelayanan lalu lintas penerbangan yang pada saat bertugas menerima pemberitahuan atau mengetahui adanya pesawat udara yang berada dalam keadaan bahaya atau hilang dalam penerbangan tidak segera memberitahukan kepada instansi yang tugas dan tanggung jawabnya di bidang pencarian dan pertolongan sehingga mengakibatkan kecelakaan pesawat udara dan kerugian harta benda, dipidana dengan pidana penjara paling lama 8 (delapan) tahun.

(2)Dalam hal tindak pidana sebagaimana dimaksud pada ayat (1) mengakibatkan matinya orang, dipidana dengan pidana penjara paling lama 10 (sepuluh) tahun.

39. Di pasal 440 dinyatakan bahwa setiap orang yang merusak atau menghilangkan bukti-bukti, mengubah letak pesawat udara, mengambil bagian pesawat udara atau barang lainnya yang tersisa akibat dari kecelakaan atau kejadian serius pesawat udara dengan pidana penjara paling lama 1 (satu) tahun atau denda paling banyak Rp500.000.000,00 (lima ratus juta rupiah).

40. Dalam pasal 441 disebutkan bahwa tindak pidana di bidang penerbangan dianggap dilakukan oleh korporasi apabila tindak pidana


(35)

tersebut dilakukan oleh orang yang bertindak untuk dan/atau atas nama korporasi atau untuk kepentingan korporasi, baik berdasarkan hubungan kerja maupun hubungan lain, bertindak dalam lingkungan korporasi tersebut, baik sendiri maupun bersama-sama.

41. Lalu dalam pasal 442 disampaikan bahwa dalam hal panggilan terhadap korporasi, maka pemanggilan untuk menghadap dan penyerahan surat panggilan disampaikan kepada pengurus di tempat pengurus berkantor, di tempat korporasi itu beroperasi, atau di tempat tinggal pengurus.

42. Dan pada pasal 443 diuraikan bahwa dalam hal tindak pidana di bidang penerbangan dilakukan oleh suatu korporasi, selain pidana penjara dan denda terhadap pengurusnya, pidana yang dapat dijatuhkan terhadap korporasi berupa pidana denda dengan pemberatan 3 (tiga) kali dari pidana denda yang ditentukan dalam Bab ini.


(36)

BAB I PENDAHULUAN

A.Latar Belakang

Kasus kecelakaan pesawat terbang yang terjadi di Indonesia telah menyita perhatian masyarakat luas, karena selain interval waktu yang berdekatan dan melanda hampir seluruh maskapai penerbangan, juga yang paling menyorot perhatian publik adalah timbulnya korban jiwa dalam kecelakaan tersebut. Kepercayaan masyarakat atas kenyamanan dan keselamatan dalam penggunaan moda transportasi udara tersebut semakin berkurang, meskipun kebutuhan atas penggunaannya sangat tinggi. Perusahaan penerbangan selaku operator, oleh masyarakat dianggap lalai dan tidak profesional dalam pengelolaan perusahaan, disisi lain Pemerintah selaku regulator juga dianggap lamban dalam mengambil tindakan atas kondisi yang terjadi di lapangan serta tidak memiliki ketegasan dalam Pengaturan atas perusahaan-perusahaan penerbangan yang tidak memenuhi standar keselamatan.

Secara garis besar, hal ini menunjukkan bahwa pengelolaan sektor penerbangan di Indonesia terkait kualitas dari sumber daya manusia operator penerbangan dan pembuat regulasi sangat rendah. Lemahnya kualitas sumber daya manusia itu menjadi bahaya laten dalam industri penerbangan. Kelemahan itu diduga merupakan tindakan melanggar hukum dan atau tidak sesuai dengan norma etika kerja dari industri penerbangan secara mayoritas.


(37)

Kondisi kritis pada sektor penerbangan di Indonesia terjadi karena para pengelola di tingkat regulator dan operator bukanlah merupakan orang-orang profesional yang lebih mengutamakan keselamatan dan keamanan umum daripada kepentingan kelompok-kelompok tertentu yang sangat diuntungkan oleh regulasi penerbangan yang ada. Pelanggaran hampir terjadi di semua level, baik di tingkat manajemen perusahaan maskapai, regulator, awak pesawat, maupun operator di lapangan. Kurangnya sikap profesionalisme tersebut membahayakan keselamatan pengguna jasa penerbangan, rendahnya sumber daya manusia industri penerbangan itu sebagai akibat dari penyederhanaan kebijakan (deregulasi) industri penerbangan. Pemerintah diharapkan dapat merespon kondisi tersebut dengan membentuk dan/atau melakukan pembenahan atas regulasi yang berkaitan dengan penerbangan sehingga moda transportasi tersebut dapat memberikan keamanan dan kenyamanan.

Salah satu contoh adalah kasus kecelakaan pesawat yang menimpa pesawat terban 200 yang jatuh pada tanggal kawasan perladangan warga di Desa Buah Nabar Kecamatan Sibolangit Kabupaten Deli Serdang, sekitar 50 kilometer dari 222 penumpang dan 12 awak pesawat tewas. Penyebab jatuh diduga karena kesalahan petugas Pengatur Lalu Lintas Udara atau Air Traffic Controller (ATC) saat membimbing pilot Hance Rahmowiyogo keluar dari kabut asap 15 menit sebelum mencapai Bandara Polonia dalam penerbangannya dari Jakarta.


(38)

Bukannya keluar dari kabut, pesawat justru menabrak perbukitan dan menewaskan seluruh penumpang dan awak berjumlah 234 orang.

Berdasarkan Undang Undang Nomor 1 Tahun 2009 tentang Penerbangan pasal 431 dan 437 maka kelalaian yang dilakukan oleh Pengatur Lalu Lintas Udara atau Air Traffic Controller (ATC) tersebut adalah tindak pidana, yang juga diatur dalam Kitab Undang-Undang Hukum Pidana (KUHP) Pasal 479g huruf a dan b. Namun penuntutan pidana terhadap Pengatur Lalu Lintas Udara atau Air Traffic Controller (ATC) terkait kecelakaan pesawat terbang tersebut dapat menimbulkan polemik baru di dalam masyarakat, khususnya masyarakat penerbangan yang memiliki pandangan bahwa tindakan tersebut merupakan suatu bentuk kriminalisasi terhadap profesi Pengatur Lalu Lintas Udara atau Air Traffic Controller (ATC) di Indonesia. Apalagi dengan mendasarkan pada ketentuan Convention Chicago 1944 sebagai regulasi penerbangan internasional. Ditambahkan lagi, penggunakan data yang terdapat dalam black box pesawat sebagai alat bukti di dalam persidangan, memicu reaksi yang semakin keras dari para personel penerbangan dan pakar penerbangan, karena hal itu bertentangan juga dengan Annex 13 sebagai standar ketentuan pelaksanaan atas regulasi penerbangan internasional yang berlaku secara universal bagi negara-negara anggota Organisasi Penerbangan Sipil Internasional atau International Civil Aviation Organization (ICAO).

Peraturan perundang-undangan baru tentang penerbangan, yaitu Undang-Undang RI Nomor 1 Tahun 2009 melakukan suatu pembenahan terkait pemeriksaan terhadap personel penerbangan sipil yang diindikasikan melakukan


(39)

suatu pelanggaran etika dalam profesi dan berpotensi melanggar ketentuan hukum pidana. Mekanisme pemeriksaan atas personel penerbangan dilaksanakan melalui majelis profesi penerbangan seperti yang ditegaskan dalam Pasal 364 Undang-Undang Nomor 1 Tahun 2009 yang menentukan bahwa untuk melaksanakan penyelidikan lanjutan, penegakan etika profesi, pelaksanaan mediasi dan penafsiran penerapan regulasi, komite nasional membentuk majelis profesi penerbangan, dengan tugas pokok sebagaimana yang ditentukan dalam Pasal 365 Undang-Undang RI Nomor 1 Tahun 2009, yaitu:

1. menegakkan etika profesi dan kompetensi personel di bidang penerbangan;

2. melaksanakan mediasi antara penyedia jasa penerbangan, personel dan pengguna jasa penerbangan; dan

3. menafsirkan penerapan regulasi di bidang penerbangan.

Terkait dengan dugaan adanya unsur-unsur tindak pidana yang ditemukan dalam hasil penyidikan lanjutan majelis profesi penerbangan, maka dapat dilimpahkan kepada instansi yang memiliki kompetensi terkait dengan hal tersebut seperti yang ditentukan dalam Pasal 368 Undang-Undang RI Nomor 1 Tahun 2009 bahwa majelis profesi penerbangan berwenang:

1. memberi rekomendasi kepada Menteri untuk pengenaan sanksi administratif atau penyidikan lanjut oleh PPNS;

2. menetapkan keputusan dalam sengketa para pihak dampak dari kecelakaan atau kejadian serius terhadap pesawat udara; dan


(40)

Pembenahan terhadap prosedur investigasi atas kecelakaan pesawat terbang dan para personel penerbangan merupakan langkah yang ditempuh pemerintah selaku regulator untuk mendapatkan kepastian hukum dalam pemeriksaan kondisi yang sering terjadi didalam lingkungan penerbangan dengan didasarkan pada ketentuan-ketentuan penerbangan internasional, khususnya ICAO Annex 13 tentang Aircraft Accident and Incident Investigation (Investigasi Kecelakaan dan Kejadian Pesawat Terbang) yang berlaku secara universal dikalangan penerbangan dunia dan ketentuan-ketentuan yang termaktub dalam Civil Aviation Safety Regulation (CASR) atau Peraturan Keselamatan Penerbangan Sipil (PKPS) sebagai ketentuan standar keselamatan penerbangan.

Berdasarkan pada realita di lapangan dan dengan menitikberatkan pada pertanggungjawaban dalam aspek hukum pidana melalui mekanisme penyelidikan dan penyidikan atas seorang personel penerbangan sipil khususnya Pengatur Lalu Lintas Udara atau Air Traffic Controller (ATC) yang menyebabkan terjadinya kecelakaan pesawat terbang di Indonesia terkait dengan diberlakukannya Undang-Undang RI Nomor 1 Tahun 2009 tentang Penerbangan, penulis mengangkat sebuah judul guna penyusunan suatu penulisan skripsi, yaitu:

Pertanggungjawaban Pidana Pengatur Lalu Lintas Udara Sipil Atas Kecelakaan Pesawat Terbang Dalam Perspektif Undang-Undang RI Nomor 1 Tahun 2009 Tentang Penerbangan.


(41)

B.Permasalahan

Berdasarkan latar belakang masalah yang telah dikemukakan tersebut, maka dapat dirumuskan masalah sebagai berikut:

1. Perbuatan-perbuatan apakah yang termasuk lingkup tindak pidana di bidang penerbangan dalam perspektif Undang Undang RI Nomor 1 Tahun 2009 tentang Penerbangan?

2. Bagaimana pertanggungjawaban pidana bagi Pengatur Lalu Lintas Udara Sipil terhadap kecelakaan pesawat terbang?

C.Tujuan dan Manfaat Penulisan

Tujuan yang hendak dicapai dalam melakukan penulisan ini adalah untuk mengetahui perbuatan yang termasuk dalam tindak pidana di bidang penerbangan dalam perspektif Undang Undang RI Nomor 1 Tahun 2009 tentang Penerbangan dan untuk mengetahui bagaimana pertanggungjawaban pidana bagi Pengatur Lalu Lintas Udara Sipil terhadap kecelakaan pesawat terbang.

Hasil penulisan ini dapat memberikan manfaat teoritis, yaitu:

1. Memberikan sumbangan pengetahuan, pemikiran atau masukan terhadap perkembangan ilmu hukum, khususnya hukum pidana terkait dengan pertanggungjawaban pidana terhadap personel penerbangan sipil yang menyebabkan terjadinya kecelakaan pesawat terbang di Indonesia;

2. Memberikan sumbangan pengetahuan terhadap profesi Pengatur Lalu Lintas Udara atau Air Traffic Controller (ATC) di Indonesia, agar dapat


(42)

mengetahui dan memahami hal-hal yang berkaitan dengan kecelakaan pesawat terbang serta pertanggungjawabannya dalam hukum pidana; 3. Memberikan sumbangan pengetahuan terhadap masyarakat luas,

khususnya masyarakat penerbangan di Indonesia sehingga dapat memahami dan menjawab polemik seputar regulasi penerbangan dan aturan hukum pidana yang berlaku di Indonesia dalam kaitannya dengan pertanggungjawaban pidana personel penerbangan sipil dalam kecelakaan pesawat terbang;

Di samping itu juga memberikan manfaat praktis yaitu memberikan masukan bagi aparat penegak hukum terkait penegakan hukum dalam bidang penerbangan yang dalam dinamika hukum di Indonesia mengalami perkembangan yang sangat signifikan serta dapat menjunjung tinggi sikap profesionalitas dalam penegakan aturan hukum di Indonesia.

D.Keaslian penulisan

Skripsi ini merupakan karya tulis yang asli dimana belum ada penulis yang menulis skripsi tentang hal yang sama, khususnya di Falkutas Hukum Universitas Sumatera Utara Medan, keaslian penulisan ini ditunjukan dengan adanya penegasan dari pihak administrasi bagian/jurusan hukum pidana.

E.Tinjauan Kepustakaan


(43)

a. Pengertian

Istilah tindak pidana sendiri digunakan sebagai pengganti istilah bahasa Belanda, yaitu strafbaarfeit. Strafbaarfeit terdiri dari kata strafbaar yang bermakna dapat dihukum dan kata feit yang berarti sebagian dari suatu kenyataan, dengan demikian secara harafiah istilah strafbaarfeit itu dapat diterjemahkan sebagai sebagian dari suatu kenyataan yang dapat dihukum. Pengertian yang lebih mendasar terkait istilah tindak pidana (strafbaarfeit) sangatlah beragam dan merupakan pengertian yang terbatas pada pendapat teoritis dari para ahli hukum pidana. Beberapa ahli hukum pidana memberikan pandangan-pandangannya terkait dengan pengertian dari tindak pidana (strafbaarfeit).

D. Simons mengatakan bahwa “strafbaarfeit merupakan kelakuan yang diancam pidana, bersifat melawan hukum, dan berhubungan dengan kesalahan yang dilakukan oleh orang yang mampu bertanggungjawab”2, disisi lain van Hamel menyatakan bahwa “strafbaarfeit adalah kelakuan orang yang dirumuskan dalam undang-undang, bersifat melawan hukum, patut dipidana dan dilakukan dengan kesalahan”3

2

Sianturi, S.R., Asas-asas Hukum Pidana di Indonesia dan Penerapannya, Alumni AHAEM-PTHAEM, Jakarta, 1986, hlm. 205.

. Schaffmeister juga memiliki pendapat sendiri tentang strafbaarfeit, beliau menyatakan bahwa “strafbaarfeit merupakan perbuatan manusia yang termasuk dalam ruang lingkup rumusan delik, bersifat melawan hukum dan dapat dicela, dimana yang dimaksud dengan ‘dapat dicela’ disini memiliki makna yang sama dengan kesalahan.


(44)

Ahli-ahli hukum pidana Indonesia juga memiliki definisi yang beragam terkait istilah tindak pidana (strafbaarfeit) tersebut. Komariah E. Sapardjaja menyatakan bahwa “tindak pidana sebagai suatu perbuatan manusia yang memenuhi perumusan delik, melawan hukum dan pembuat bersalah melakukan perbuatan itu”4, bahkan Wirjono Prodjodikoro memberikan suatu pemahaman singkat tentang tindak pidana dengan menyatakan bahwa “tindak pidana berarti suatu perbuatan yang pelakunya dapat dikenakan hukuman pidana”5. Pompe sendiri memiliki definisi mengenai strafbaarfeit dengan mendasarkan pada dua perspektif pemahaman yang berbeda, yaitu6

1) definisi menurut teori, adalah suatu pelanggaran terhadap norma yang dilakukan karena kesalahan si pelanggar dan diancam dengan pidana untuk mempertahankan tata hukum dan menyelamatkan kesejahteraan umum;

:

2) definisi menurut hukum positif, adalah suatu kejadian (feit) yang oleh peraturan perundang-undangan dirumuskan sebagai perbuatan yang dapat dihukum.

Moeljatno mengartikan suatu tindak pidana dalam bahasa yang berbeda, beliau mengatakan bahwa :

“perbuatan pidana adalah perbuatan yang oleh suatu aturan hukum dilarang dan diancam pidana, asal saja dalam pada itu perlu diingat bahwa larangan ditujukan kepada perbuatan (yaitu suatu keadaan atau kejadian yang ditimbulkan oleh kelakuan orang), sedangkan ancaman pidananya ditujukan kepada orang yang menimbulkan kejadian itu”7

4

Sapardjaja, Komariah E., 2002, Ajaran Sifat Melawan Hukum Materiel dalam Hukum Pidana Indonesia: Studi Kasus tentang Penerapan dan Perkembangan dalam Yurisprudensi, Alumni, Bandung

5

Bambang Poernomo, Asas-asas Hukum Pidana, Dahlia Indonesia, Jakarta, 1997, hlm. 89.

6

Ibid.


(45)

Pandangan-pandangan dari para ahli hukum pidana tersebut memiliki perbedaan terkait substansi materi dari pengertian akan tindak pidana (strafbaarfeit), namun secara garis besar dari beberapa pendefinisian akan tindak pidana tersebut terdapat beberapa kesamaan penekanan terkait dengan unsur-unsur dari suatu tindak pidana.

b. Unsur-unsur tindak pidana

Pada hakikatnya, setiap tindak pidana terdiri dari unsur-unsur lahiriah yang berdasarkan fakta dari tindakan yang dilakukan, mengandung perbuatan dengan akibat yang ditimbulkan oleh tindakan tersebut. Selain kelakuan dan akibat, untuk adanya perbuatan pidana biasanya diperlukan juga adanya unsur keadaan yang menyertai perbuatan tersebut. Unsur keadaan yang menyertai perbuatan tersebut, oleh van Hamel dibagi dalam dua aspek, yaitu “aspek dari dalam diri si pelaku dan aspek diluar dari si pelaku yang memiliki pengaruh terhadapnya”8

Aspek dari dalam diri si pelaku yang dimaksud oleh van Hamel merupakan: “aspek yang terkait dengan keinginan batin dari pelaku terkait dengan jabatan yang dimiliki oleh yang bersangkutan seperti dalam Pasal 413 KUHP, dimana apabila jabatan yang dimaksud tidak ada, maka kejahatan tersebut tidak akan ditimpakan kepada si pelaku. Aspek yang berasal dari luar diri si pelaku, seperti yang terdapat dalam Pasal 332 KUHP, dimana keinginan dari si pelaku yang ingin membawa lari wanita


(46)

tersebut, mendapat persetujuan dari wanita yang dilarikan, namun karena adanya faktor dari luar diri para pihak, yakni orang tua dari wanita tersebut yang tidak menyetujui dari tindakannya, maka tindakan itu merupakan sebagai salah satu bentuk tindak pidana”9

2. Pertanggungjawaban Pidana

.

Pertanggungjawaban pidana dalam istilah asing disebut juga dengan criminal responsibility yang menjurus kepada pemidanaan pelaku tindak pidana dengan terlebih dahulu melihat pelaku tindak pidana tersebut dapat dimintakan pertanggungjawabannya atau tidak, terkait dengan tindak pidana yang dilakukannya. Pada dasarnya tindak pidana adalah perbuatan atau serangkaian perbuatan yang padanya dilekatkan sanksi pidana. Dilihat dari istilahnya, hanya sifat-sifat dari perbuatan saja yang meliputi suatu tindak pidana, sedangkan sifat-sifat orang yang melakukan tindak pidana tersebut menjadi bagian dari persoalan lain, yaitu pertanggungjawaban pidana. Karakteristik orang yang melakukan tindak pidana berhubungan dengan penentuan dapat dipertanggungjawabkannya yang bersangkutan.

Aturan hukum mengenai pertanggungjawaban pidana berfungsi sebagai penentu syarat-syarat yang harus ada pada diri seseorang sehingga sah jika dijatuhi pidana. Aturan mengenai pertanggungjawaban pidana merupakan saringan pengenaan pidana, yaitu hanya dapat diterapkan terhadap mereka yang memiliki kesalahan dan pidana yang dikenakan sebatas kesalahannya


(47)

tersebut. Aturan mengenai pertanggungjawaban pidana bukan merupakan standar perilaku yang wajib ditaati masyarakat, tetapi regulasi mengenai bagaimana memperlakukan mereka yang melanggar kewajiban tersebut.

a. Unsur-unsur pertanggungjawaban pidana

Penentuan dapat dipidananya seseorang sebagai pertanggungjawaban atas tindak pidana yang dilakukannya, tidak lepas dari unsur-unsur yang terdapat dalam rumusan tindak pidana serta faktor-faktor yang dapat mengakibatkan hapusnya suatu pertanggungjawaban pidana. Lebih lanjut, segi psikologis kesalahan juga harus dicari di dalam batin pelaku yang menunjukkan adanya hubungan batin dengan perbuatan yang dilakukan sehingga pelaku dapat mempertanggung jawabkan perbuatannya. Seseorang yang memiliki kelainan jiwa tidak dapat dikatakan memiliki hubungan batin antara dirinya dengan perbuatan yang dilakukan, karena orang tersebut tidak menyadari akibat dari perbuatan yang dilakukannya. Persoalan dalam aspek psikologis adalah ketika mencari tahu mengenai sikap batin seseorang yang melakukan tindak pidana karena seseorang tersebut tentu saja dapat melakukan kebohongan dan tidak ada yang dapat menjamin seseorang tersebut jujur atau tidak, oleh karena itu harus dipakai cara untuk mengetahuinya dengan menggeserkan kesalahan dalam pengertian psikologis menjadi pengertian secara normatif yuridis, yaitu menurut ukuran yang biasa dipergunakan oleh masyarakat dalam menilai apakah perbuatan tersebut meruapakan suatu kesalahan atau tidak.


(48)

Rumusan tindak pidana, pada umumnya mengedepankan unsur kesengajaan sebagai salah satu unsur yang terpenting. Apabila dalam suatu rumusan tindak pidana terdapat perbuatan dengan sengaja (opzettelijk), maka unsur dengan sengaja ini akan menguasai atau meliputi semua unsur lain yang ditempatkan dibelakangnya dan harus dibuktikan. Sengaja berarti juga adanya kehendak yang disadari yang ditujukan untuk melakukan kejahatan tertentu, maka berkaitan dengan pembuktian bahwa perbuatan yang dilakukan tersebut merupakan perbuatan yang disengaja, terkandung pengertian menghendaki dan mengetahui atau biasa disebut dengan willens en wetens, yaitu seseorang yang melakukan suatu perbuatan dengan sengaja itu harus memenuhi rumusan menghendaki (willens) dari apa yang diperbuat dan memenuhi unsur mengetahui (wettens) dari apa yang diperbuat.

Unsur kehendak atau menghendaki dan mengetahui dalam kaitannya dengan unsur kesengajaan tidak dapat dibuktikan dengan jelas secara materiil karena memang maksud dan kehendak seseorang tersebut sulit untuk dibuktikan secara materiil, maka pembuktian adanya unsur kesengajaan dalam pelaku melakukan tindakan melanggar hukum sehingga perbuatannya dapat dipertanggung jawabkan kepada pelaku seringkali hanya dikaitkan dengan keadaan serta tindakan dari pelaku pada saat melakukan perbuatan melanggar hukum yang dituduhkan.

Disamping unsur kesengajaan, terdapat juga unsur kelalaian atau kealpaan (culpa) yang dalam doktrin hukum pidana disebut sebagai kealpaan yang tidak disadari (onbewuste schuld) dan kealpaan yang disadari


(49)

(bewuste schuld). Dalam unsur ini faktor terpenting adalah pelaku dapat menduga terjadinya akibat dari perbuatanya atau pelaku kurang berhati-hati. Wilayah culpa terletak antara sengaja dan kebetulan.

Kelalaian dapat didefinisikan sebagai apabila seseorang melakukan sesuatu perbuatan dan perbuatan itu menimbulkan suatu akibat yang dilarang dan diancam dengan hukuman oleh undang-undang, maka walaupun perbuatan itu tidak dilakukan dengan sengaja namun pelaku dapat berbuat secara lain sehingga tidak menimbulkan akibat yang dilarang oleh undang-undang, atau pelaku dapat untuk tidak melakukan perbuatan tersebut sama sekali. Unsur terpenting dalam culpa atau kelalaian adalah pelaku mempunyai kesadaran atau pengetahuan yang mana pelaku seharusnya dapat membayangkan akan adanya akibat yang ditimbulkan dari perbuatannya, atau dengan kata lain bahwa pelaku dapat menduga bahwa akibat dari perbuatannya itu akan menimbulkan suatu akibat yang dapat dihukum dan dilarang dalam undang-undang.

Berdasarkan uraian tersebut diatas, dapat dikatakan bahwa jika ada hubungan antara batin pelaku dengan akibat yang timbul karena perbuatannya itu atau ada hubungan lahir yang merupakan hubungan causal antara perbuatan pelaku dengan akibat yang dilarang tersebut, maka hukuman pidana dapat dijatuhkan kepada pelaku tersebut, tetapi jika hubungan causal tersebut tidak ada, maka pelaku tidak dapat dijatuhkan suatu hukuman pidana.


(50)

b. Hapusnya pertanggungjawaban pidana

Hal penting lainnya yang terkait dengan masalah pertanggungjawaban pidana adalah mengenai peniadaan dan pengecualian atas pertanggungjawaban pidana yang diberikan kepada pelaku tindak pidana, maksudnya adalah dimana seseorang tidak dapat dipidana meskipun telah memenuhi semua rumusan unsur-unsur pidana, baik unsur obyektif maupun unsur subyektif sebagaimana yang telah ditentukan.

Alasan-alasan pembenar atau alasan-alasan pemaaf atas tindak pidana yang dilakukan merupakan sesuatu hal yang dapat dianggap sebagai alasan yang dapat menghapuskan sifat melawan hukum perbuatan itu, sehingga hal itu menjadi sesuatu yang bukan sebagai tindak pidana meskipun tindakan atau perbuatan tersebut sesuai dengan rumusan yang dilarang oleh undang-undang.

Alasan-alasan pemaaf yang dimana kesalahannya ditiadakan (straffuitsluiting grand) dan alasan-alasan pembenar yang sifat melawan hukumnya ditiadakan (rechtsuaar diging grand) yang dasar-dasarnya ditentukan dalam KUHP, sebagai berikut:

1) Alasan pemaaf / kesalahan a) Pasal 44 ayat (1)

“Barangsiapa melakukan perbuatan yang tidak dapat dipertanggungjawabkan padanya, disebabkan karena jiwanya cacat dalam tumbuhnya (gebrekkige ontwikkeling) atau terganggu karena penyakit (ziekelijke storing), tidak dipidana.”


(51)

b) Pasal 48

“Barangsiapa melakukan perbuatan karena pengaruh daya paksa, tidak dipidana.”

c) Pasal 49 ayat (2)

“Pembelaan terpaksa yang melampaui batas, yang langsung disebabkan oleh kegoncangan jiwa yang hebat karena serangan atau ancaman serangan itu, tidak dipidana.”

2) Alasan pembenar / peniadaan sifat melawan hukum a) Pasal 49 ayat (1)

“Barangsiapa terpaksa melakukan perbuatan untuk pembelaan, karena ada serangan atau ancaman serangan ketika itu yang melawan hukum, terhadap diri sendiri maupun orang lain, terhadap kehormatan kesusilaan (eerbaarheid) atau harta benda sendiri maupun orang lain, tidak dipidana.”

b) Pasal 50

“Barangsiapa melakukan perbuatan untuk melaksanakan ketentuan undang-undang, tidak dipidana.”

c) Pasal 51 ayat (1)

“Barangsiapa melakukan perbuatan untuk melaksanakan perintah jabatan yang diberikan oleh penguasa yang berwenang, tidak dipidana.”

Berkaitan dengan unsur-unsur kesalahan yang bersifat psikologis dan normatif, unsur-unsur pertanggungjawaban dalam pidana serta dasar untuk di hapusnya suatu pertanggungjawaban pidana seperti yang telah dipaparkan diatas, maka dapat ditarik suatu kesimpulan bahwa


(52)

pertanggungjawaban pidana hanya dapat dikenakan kepada pelaku tindak pidana apabila secara mutlak dan tidak terpisahkan dapat memenuhi beberapa unsur-unsur, yaitu:

1) Adanya kemampuan bertanggungjawab pada diri si pelaku, dalam arti jiwa si pelaku dalam keadaan sehat dan normal;

2) Adanya hubungan batin antara si pelaku dengan perbuatannya baik yang disengaja (dolus) maupun karena kealpaan (culpa); 3) Tidak adanya alasan pelaku yang dapat menghapus kesalahan.

3. Aturan Pidana dalam Regulasi Penerbangan terhadap Kecelakaan Pesawat Terbang

a. Konvensi Chicago 1944

Wilayah penerbangan bersifat internasional, hal ini terjadi karena moda transportasi udara tidak hanya bergerak dalam lingkup domestik dalam negeri saja, melainkan menembus batas wilayah negara. Berdasarkan atas kondisi tersebut, maka regulasi terkait dengan penerbangan tidak hanya menggunakan aturan-aturan yang bersifat nasional, melainkan juga bersifat internasional dan disusun berdasarkan kesepakatan negara-negara yang tergabung dalam Organisasi Penerbangan Sipil Internasional (International Civil Aviation Organization / ICAO). Aturan penerbangan yang berlaku secara internasional tersebut tertuang dalam Konvensi Chicago 1944 beserta Annexes dan dokumen-dokumen teknis operasional lainnya.

Annexes merupakan ketentuan standar dan petunjuk pelaksanaan internasional (international standards and recommended practices) atas


(53)

aturan yang terdapat dalam Konvensi Chicago 1944. Secara substansi, aturan internasional lebih menitik beratkan aturan-aturan privat dalam ketentuan-ketentuan yang dihasilkan. Hal ini didasarkan pada konsep perjanjian antara penyedia jasa dan pengguna jasa, yang dimana hal tersebut merupakan bagian dari ketentuan aturan privat (perdata).

Terkait dengan kecelakaan pesawat udara, berdasarkan Artikel 26 Konvensi Chicago 1944 menentukan bahwa petunjuk pelaksanaan atas prosedur investigasi kecelakaan pesawat udara didasarkan dalam ketetentuan ICAO Annex 13 about Aircraft Accident and Incident Investigation (Investigasi Kecelakaan dan Kejadian Pesawat Terbang). Lebih lanjut, seperti yang ditentukan dalam artikel 3.1 ICAO Annex 13, menekankan bahwa investigasi yang dilakukan bertujuan untuk mencari penyebab timbulnya suatu kecelakaan pesawat udara sehingga dapat digunakan untuk mencegah kecelakaan sejenis terulang kembali (shall be prevention of an accident and incident). Lebih lanjut, dan patut untuk menjadi perhatian bahwa di lain sisi, tujuan dari investigasi bukanlah untuk mencari siapa yang salah atau siapa yang harus bertanggungjawab (it is not the purpose of this activity to apportion blame or liability) atas kecelakaan yang terjadi.

Selain ICAO Annex 13, ketentuan khusus yang mengatur tentang keselamatan penerbangan tertuang dalam suatu Peraturan Keselamatan Penerbangan Sipil (Civil Aviation Safety Regulation / CASR) yang dalam penerapannya secara nasional ditentukan berdasarkan kemampuan


(54)

masing-masing negara dalam penyediaan sarana dan prasarana penunjang. Penggunaan CASR di Indonesia diatur dengan menggunakan Keputusan Menteri Perhubungan.

b. Undang-Undang Nomor 1 Tahun 2009 tentang Penerbangan

Aturan perundang-undangan yang khusus mengatur tentang penerbangan di Indonesia adalah Undang-Undang Nomor 1 Tahun 2009. Regulasi ini merupakan pengganti dari Undang-Undang Nomor 15 Tahun 1992 yang merupakan regulasi penerbangan sebelumnya. Regulasi ini dapat dikatakan sebagai suatu terobosan yang dilakukan pemerintah dalam hal Pengaturan terhadap bidang penerbangan di Indonesia. Pembaharuan secara besar-besaran dilakukan dalam menjawab permasalahan-permasalahan yang terjadi di dalam dunia penerbangan Indonesia, khususnya permasalahan yang berkaitan dengan keselamatan dan keamanan dalam penerbangan, karena hal tersebut merupakan suatu hal yang menjadi masalah besar dalam sistem penerbangan nasional Indonesia yang berimbas pada larangan terbang maskapai Indonesia ke wilayah Eropa.

Disadari bahwa penerbangan merupakan sistem transportasi yang mempunyai karakteristik yang berbeda bila dibandingkan dengan moda transportasi lainnya, sehingga didalam Pengaturannya pun memiliki kekhususan tersendiri. Hal ini dengan tegas dinyatakan dalam konsideran undang-undang ini yang mempertimbangkan bahwa penerbangan sebagai sistem transportasi yang menggunakan teknologi tinggi sehingga


(55)

diperlukannya suatu jaminan keselamatan yang optimal. Teknologi tinggi yang menjadi dasar dalam penerbangan tidaklah dapat dipandang sebelah mata saja. Hal ini merupakan suatu sistem yang tidak mungkin untuk dipelajari dalam waktu yang singkat serta tanpa adanya kredibilitas dan komitmen yang tinggi. Sistem navigasi, instrumen-instrumen dasar dan lanjut dalam ruang kemudi, sistem aerodinamika dan avionik, serta sistem-sistem pendukung lainnya, membutuhkan suatu pelatihan yang ketat dan berkelanjutan sehingga dapat menghasilkan personel-personel penerbangan yang profesional dalam bidang tugasnya masing-masing.

Undang-undang ini secara garis besar mengalami perubahan yang sangat signifikan dan merupakan penyempurnaan dari Undang-Undang RI Nomor 15 Tahun 1992 tentang Penerbangan terdahulu yang dirasakan sudah tidak sesuai dengan dinamika yang terjadi di lapangan. Hal ini terlihat dari pasal-pasal yang terdapat dalam undang-undang ini yang dimana sebelumnya hanya berjumlah tujuh puluh enam pasal, menjadi empat ratus enam puluh enam pasal, yang secara keseluruhan terbagi dalam dua puluh empat bab. Materi ataupun substansi dalam undang-undang ini memberikan Pengaturan secara komprehensif mulai dari perancangan pesawat udara hingga sertifikasi kelaikudaraannya, sarana dan prasarana penunjang penerbangan, investigasi kecelakaan pesawat udara yang bersifat independen, pembentukan majelis profesi penerbangan, serta tanggung jawab pengangkut selaku operator.


(56)

Untuk menjamin terwujudnya penyelenggaraan penerbangan yang memenuhi standar keselamatan dan keamanan, undang-undang ini mengatur penerapan program keselamatan dan keamanan penerbangan nasional, serta program budaya tindakan keselamatan yang mengacu pada regulasi Organisasi Penerbangan Sipil Internasional (International Civil Aviation Organization / ICAO).

4. Kecelakaan Pesawat Udara

a. Independensi dalam investigasi

Undang-Undang RI Nomor 1 Tahun 2009 tentang Penerbangan melakukan pembenahan dalam hal Pengaturan terhadap kecelakaan dan investigasi atas kecelakaan pesawat udara. Hal tersebut dapat terlihat dalam ketentuan Bab XVI yang menentukan bahwa investigasi terhadap kecelakaan adalah tanggung jawab dari pemerintah yang berdasarkan ketentuan Pasal 357 ayat (2) membentuk komite nasional selaku satuan kerja khusus investigator kecelakaan yang dalam pertanggungjawabannya bersifat langsung kepada Presiden.

Komite nasional tersebut merupakan lembaga yang bersifat independen dengan anggota yang dipilih berdasarkan standar kompetensi serta melalui uji kelayakan dan kepatutan yang dilakukan oleh Menteri Perhubungan dengan tugas yang dimiliki berupa :


(57)

2) Melakukan penelitian atas penyebab timbulnya kecelakaan pesawat udara;

3) Mengadakan penyelidikan lanjutan terkait kecelakaan pesawat udara;

4) Menyusun laporan akhir atas investigasi yang dilakukan;

Sebelum laporan akhir atas investigasi dilaporkan kepada Menteri Perhubungan, terlebih dahulu komite nasional menyusun suatu konsep laporan akhir yang diserahkan kepada negara dimana pesawat tersebut terdaftar, operator penerbangan, serta pabrikan pesawat yang bersangkutan. Konsep laporan akhir tersebut diserahkan kepada pihak-pihak terkait dalam kurun waktu dua belas bulan terhitung sejak dilakukannya investigasi kecelakaan tersebut. Apabila investigasi yang dilakukan belum dapat diselesaikan dalam batas waktu dua belas bulan, maka komite nasional wajib memberikan laporan perkembangan (intermediate report) setiap tahunnya kepada pihak-pihak tersebut. Laporan akhir yang disusun nantinya akan berbentuk sebuah rekomendasi kepada Menteri Perhubungan untuk ditindak lanjuti, karena investigasi yang dilakukan tersebut bertujuan untuk mencegah terjadinya kecelakaan pesawat terbang dengan penyebab yang sama dan digunakan untuk menjadi tolak ukur untuk melakukan perbaikan di masa mendatang.

Ketentuan dalam artikel 27 Konvensi Chicago dan ditindak lanjuti dalam Pasal 361 Undang-Undang Nomor 1 Tahun 2009, menentukan bahwa komite nasional memiliki kewenangan untuk melakukan investigasi


(58)

terhadap kecelakaan pesawat, baik pesawat udara nasional maupun pesawat udara asing yang mengalami kecelakaan di wilayah hukum negara Indonesia, dengan melibatkan personel-personel yang berasal dari negara pesawat tersebut didaftarkan (accredited representative), operator penerbangan yang bersangkutan, serta pabrikan pesawat udara yang mengalami kecelakaan.

Patut untuk menjadi perhatian adalah hal-hal yang berkaitan dengan hasil investigasi yang dilakukan oleh komite nasional, berdasarkan ketentuan dalam Pasal 359, bahwa hasil investigasi tidak dapat dapat dijadikan sebagai alat bukti dalam proses peradilan baik perdata maupun pidana, kecuali informasi-informasi yang tidak tergolong sebagai informasi yang bersifat rahasia. Informasi yang dikategorikan sebagai informasi rahasia (non disclosure of records) antara lain:

1) pernyataan dari orang-orang yang diperoleh dalam proses investigasi;

2) rekaman atau transcript komunikasi antara orang-orang yang terlibat di dalam pengoperasian pesawat udara;

3) informasi mengenai kesehatan atau informasi pribadi dari orang-orang terlibat dalam kecelakaan atau kejadian;

4) rekaman suara di ruang kemudi (Cockpit Voice Recorder / CVR) dan catatan kata demi kata (transcript) dari rekaman suara tersebut;


(59)

5) rekaman dan transcript dari pembicaraan petugas pelayanan lalu lintas penerbangan (Air Traffic Services / ATS); dan

6) pendapat yang disampaikan dalam analisis informasi termasuk rekaman informasi penerbangan (Flight Data Recorder / FDR). Masalah kerahasiaan informasi merupakan tindak lanjut dari ketentuan ICAO Annex 13 yang mengatur secara khusus tentang investigasi kecelakaan dan kejadian atas pesawat udara yang telah diratifikasi oleh pemerintah Indonesia, yang dalam ketentuannya menekankan bahwa apabila negara yang melakukan suatu investigasi kecelakaan pesawat udara berkeyakinan bahwa dengan melakukan penyebarluasan terhadap hasil investigasi akan berdampak negatif pada dunia penerbangan, maka negara tersebut tidak perlu menyebarluaskan hasil investigasi kepada publik.

b. Penyelidikan lanjutan

Pasal 364 mengatur bahwa selain melakukan investigasi atas penyebab terjadinya kecelakaan pesawat, komite nasional juga melakukan penyelidikan lanjutan terkait kecelakaan yang terjadi. Penyelidikan lanjutan yang dimaksud merupakan suatu proses lanjutan yang bertujuan untuk memberikan perlindungan dan kepastian hukum bagi personel penerbangan atas tindakan, keputusan dan pengabaian yang dilakukannya berdasarkan hasil pelatihan serta pengalaman yang dimilikinya (actions, omissions or decisions taken by them that are commensurate with their experience and training) serta penentuan dari sisi profesi perilaku mana yang dapat diterima


(1)

KATA PENGANTAR

Puji dan syukur Penulis panjatkan kepada Tuhan Yang Maha Esa atas segala berkat dan kasihNya sehingga dapat terselesaikannya Penulisan Skripsi dengan judul “PERTANGGUNGJAWABAN PIDANA PENGATUR LALU LINTAS UDARA SIPIL ATAS KECELAKAAN PESAWAT TERBANG DALAM PERSPEKTIF UNDANG-UNDANG RI NOMOR 1 TAHUN 2009 TENTANG PENERBANGAN”.

Penyusunan Penulisan Skripsi ini tidak terlepas dari bantuan berbagai pihak yang dengan segala keterbukaan dan kerelaan hati memberikan dukungan, bimbingan, saran, nasehat serta semangat yang begitu luar biasa besar serta berkesan bagi Penulis. Oleh karena itu dalam kesempatan ini, Penulis menyampaikan penghargaan dan ucapan terima kasih yang setinggi-tingginya kepada :

1. Bapak Prof. DR. Runtung Sitepu, S.H., M.Hum., selaku Dekan Fakultas Hukum Universitas Sumatera Utara.

2. Bapak Prof. Dr. Budiman Ginting, S.H., M.Hum., selaku Pembantu Dekan I Fakultas Hukum Universitas Sumatera Utara.

3. Bapak Syafruddin, S.H., M.H., D.F.M., selaku Pembantu Dekan II Fakultas Hukum Universitas Sumatera Utara.

4. Bapak Muhammad Husni, S.H., M.Hum., selaku Pembantu Dekan III Fakultas Hukum Universitas Sumatera Utara.

5. Bapak Abul Khair, S.H., M. Hum., selaku Ketua Departemen Hukum Pidana Fakultas Hukum Universitas Sumatera Utara.

6. Ibu Nurmalawaty, S.H., M. Hum., selaku Dosen Pembimbing I. 7. Ibu Rafiqoh Lubis, S.H., M. Hum., selaku Dosen Pembimbing II. 8. Bapak dan Ibu Dosen serta Staf Pengajar Fakultas Hukum Universitas

Sumatera Utara.

9. Bapak dan Ibu Staf Fakultas Hukum Universitas Sumatera Utara. 10. Kolonel Pnb Taufik Hidayat, S.E., selaku Komandan Pangkalan TNI


(2)

11. Mayor Nav Medi Rachman, MBA Avi. Mgt., MMOASc., selaku Kepala Dinas Operasi Pangkalan TNI AU Medan beserta staf.

12. Kedua orang tua Penulis, Bapak Thomas Brahmana dan Ibu Samaria Tarigan beserta saudara-saudari Penulis, Novilia Syska Brahmana, S.E., Ak. dan Adefani Prabudi Ketaren, Albert Brahmana, S.H. serta Arnold Brahmana.

13. Paman Penulis, Bapak Daud Brahmana, S.H., yang telah mendorong Penulis untuk menuntut ilmu di Fakultas Hukum Universitas Sumatera Utara.

14. Rekanita Penulis, Maria Imaniar Ginting, Amd. beserta keluarga.

15. Rekan-rekan mahasiswa/i Program Ekstensi Fakultas Hukum Universitas Sumatera Utara Tahun 2008, AKBP Endang Hermawan, SIK., Kompol Fadillah Zulkarnaen, SIK., Eddy Purwono, Thomas Manurung, Amd., Yusi Astuti Purba, Amd., Shinta Zahara, Amd., Desi Apriguna Singarimbun, Amd., Kristalia Purba, Amd. dan Ronny Eko Wisuda Rambe, S.Sos.

16. Semua pihak yang tidak dapat disebutkan satu persatu, namun telah banyak memberikan semangat, dorongan, motivasi, bantuan, dan inspirasi kepada penulis sehingga selesainya penulisan Skripsi ini. Penulis menyadari akan keterbatasan dan kekurangan dalam penulisan ini, oleh karena itu sumbangan dalam bentuk kritik maupun saran akan sangat

bermanfaat bagi penyempurnaan Penulisan Skripsi ini. Semoga bermanfaat. Tuhan memberkati.

Medan, Desember 2010 Penulis

DEDY P. BRAHMANA NIM 080221001


(3)

DAFTAR ISI

KATA PENGANTAR...……….. i

DAFTAR ISI...……….. iv

ABSTRAKSI……….……….. vii

BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang……… 1

B. Permasalahan……….. 6

C. Tujuan dan Manfaat Penulisan……... 6

D. Keaslian Penulisan... 7

E. Tinjauan Kepustakaan……… 7

1. Tindak Pidana (strafbaarfeit)………... 7

a. Pengertian……….……...….. 8

b. Unsur-unsur tindak pidana……… 10

2. Pertanggungjawaban Pidana……….. 11

a. Unsur-unsur pertanggungjawaban pidana………. 12

b. Hapusnya pertanggungjawaban pidana………. 15

3. Aturan Pidana dalam Regulasi Penerbangan terhadap Kecelakaan Pesawat Terbang………. 17

a. Konvensi Chicago 1944………... 17

b. Undang-Undang Nomor 1 Tahun 2009 tentang Penerbangan……… 19

4. Kecelakaan Pesawat Udara………... 21

a. Independensi dalam investigasi………. 21

b. Penyelidikan lanjutan……… 24

5. Tindak Pidana Penerbangan……….. 27

a. Perluasan dalam Kitab Undang-undang Hukum Pidana……….… 27


(4)

c. Kecelakaan pesawat udara sebagai tindak

pidana……….……… 32

F. Metode Penelitian……….. 35

1. Jenis Penelitian……….………….. 35

2. Sumber Data……….………. 35

3. Metode Pengumpulan Data……….………….. 36

4. Metode Analisis……….……… 36

G. Sistematika Penulisan ………..…………... 37

BAB II PERBUATAN-PERBUATAN YANG TERMASUK LINGKUP TINDAK PIDANA DI BIDANG PENERBANGAN DALAM PERSPEKTIF UNDANG UNDANG RI NOMOR 1 TAHUN 2009 TENTANG PENERBANGAN A. Perbandingan Undang-Undang Nomor 15 Tahun 2002 tentang Penerbangan dan Undang-Undang Nomor 1 Tahun 2009 tentang Penerbangan serta kaitannya dengan Kitab Undang-Undang Hukum Pidana (KUHP)……….. 38

B. Perbuatan yang termasuk tindak pidana dan ketentuan pidananya dalam Undang Undang RI Nomor 1 Tahun 2009 tentang Penerbangan……….….. 41

BAB III PERTANGGUNGJAWABAN PIDANA PEMANDU LALU LINTAS UDARA SIPIL ATAS KECELAKAAN PESAWAT TERBANG DARI PERSPEKTIF UNDANG-UNDANG RI NO 1 TAHUN 2009 TENTANG PENERBANGAN A. Pertanggungjawaban Pidana Pemandu Lalu Lintas Udara Sipil Atas Kecelakaan Pesawat Terbang Dari Perspektif Undang-Undang RI No 1 Tahun 2009 Tentang Penerbangan.………. .. 57


(5)

2. Perbuatan yang termasuk tindak pidana dan ketentuan pidananya yang berkaitan dengan Pemandu Lalu Lintas Udara……….… ... . 59 3. Pertanggungjawaban Pidana Pemandu Lalu Lintas Udara Sipil Atas Kecelakaan Pesawat Terbang Dari Perspektif Undang-Undang RI No 1 Tahun 2009 Tentang Penerbangan………….……….. ... 61 B. Kecelakaan Pesawat Terbang Garuda Indonesia GA-152 Di Bandar Udara Polonia Medan……….. 63

BAB IV KESIMPULAN DAN SARAN

A. Kesimpulan……… 66 B. Saran………. 68


(6)

ABSTRAKSI

Dedy P. Brahmana1

1

Mahasiswa Departemen Hukum Pidana Fakultas Hukum Universitas Sumatera Utara Medan.

** Pembimbing I, Staf Pengajar Departemen Hukum Pidana Fakultas Hukum Universitas Sumatera Utara Medan.

*** Pembimbing II, Staf Pengajar Departemen Hukum Pidana Fakultas Hukum Universitas Sumatera Utara Medan.

Nurmalawaty, S.H., M. Hum.** Rafiqoh Lubis, S.H., M. Hum.***

Kasus kecelakaan pesawat terbang yang terjadi di Indonesia telah menyita perhatian masyarakat luas dan dalam beberapa kasus diduga merupakan tindakan melanggar hukum. Namun penuntutan pidana terhadap Pengatur Lalu Lintas Udara terkait kecelakaan pesawat terbang tersebut menimbulkan polemik baru di dalam masyarakat, khususnya masyarakat penerbangan yang berpandangan bahwa hal tersebut merupakan suatu bentuk kriminalisasi terhadap profesi Pengatur Lalu Lintas Udara di Indonesia. Hal inilah yang mendorong Penulis untuk mengangkat “Pertanggungjawaban Pidana Pengatur Lalu Lintas Udara Sipil Atas Kecelakaan Pesawat Terbang Dalam Perspektif Undang-Undang RI Nomor 1 Tahun 2009 Tentang Penerbangan” sebagai judul skripsi Penulis.

Berdasarkan Undang Undang Nomor 1 Tahun 2009 maka kelalaian yang dilakukan oleh Pengatur Lalu Lintas Udara yang menyebabkan terjadinya kecelakaan pesawat terbang adalah tindak pidana, yang juga diatur dalam Kitab Undang-Undang Hukum Pidana. Namun aturan ini dimungkinkan dapat bertentangan dengan ketentuan dalam Annex 13 International Civil Aviation Organization yang menyatakan bahwa tujuan satu-satunya penyelidikan kecelakaan pesawat terbang adalah hanya mencari penyebab kecelakaan untuk mencegah terjadinya kecelakaan serupa dan bukan untuk mencari siapa yang bersalah atau bertanggung jawab atas kecelakaan tersebut.

Dalam penulisan skripsi ini Penulis menggunakan metode penelitian hukum normatif yaitu dengan melakukan penelitian terhadap peraturan perundang-undangan dan bahan hukum yang berhubungan serta dengan menganalisa kasus yang berkaitan dengan judul skripsi ini secara kualitatif yaitu menggunakan bahan yang ada semaksimal mungkin berdasarkan asas-asas, pengertian dan sumber hukum yang ada kemudian menarik kesimpulan dari analisa tersebut.

Dari penulisan ini disimpulkan bahwa pertanggungjawaban pidana dapat dibebankan kepada Pengatur Lalu Lintas Udara yang menyebabkan kecelakaan pesawat terbang karena terdapat faktor kesengajaan dan/atau kelalaian. Dimana penerapan peraturan perundang-undangan nasional selain ketentuan dalam regulasi penerbangan internasional yaitu KUHP dan Undang-Undang RI Nomor 1 Tahun 2009 tentang Penerbangan, bukanlah sebagai bentuk pengesampingan dari adagium lex specialis derogate legi generalis, akan tetapi sebagai suatu langkah guna tercapainya keadilan dan kepastian hukum di Indonesia.