Perbedaan Status Gizi Bayi Usia 6-12 Bulan yang Diberi ASI Eksklusif dan Tidak Diberi ASI Eksklusif di Wilayah Kerja Puskesmas Medan Tembung Kota Medan Tahun 2016

BAB 1
PENDAHULUAN

1.1 Latar Belakang
Status gizi merupakan indikator dalam menentukan derajat kesehatan bayi dan
anak. Status gizi yang baik dapat membantu proses pertumbuhan dan perkembangan
anak untuk mencapai kematangan yang optimal. Gizi yang cukup juga dapat
memperbaiki ketahanan tubuh sehingga bebas dari segala penyakit. Status gizi juga
dapat membantu untuk mendeteksi lebih dini risiko terjadinya masalah kesehatan
(Dwienda, dkk, 2014).
Masalah gizi adalah masalah kesehatan masyarakat. Masalah gizi erat
kaitannya dengan masalah ketahanan pangan tingkat rumah tangga, selain itu juga
menyangkut aspek pengetahuan dan perilaku yang kurang mendukung pola hidup
sehat (Supariasa, dkk, 2011). Keadaan gizi yang baik merupakan salah satu unsur
yang sangat penting. Kekurangan gizi, terutama pada bayi akan menghambat proses
tumbuh kembang anak dalam upaya pencapaian derajat kesehatan yang optimal untuk
meningkatkan mutu kehidupan bangsa. Secara umum terdapat dua faktor utama yang
berpengaruh terhadap faktor tumbuh kembang anak, yaitu faktor genetik dan faktor
lingkungan. Faktor genetik dapat disebabkan dari perkembangan janin pada saat di
dalam kandungan yang kurang sempurna. Faktor lingkungan yang dimaksud
merupakan lingkungan biopsikososialyang mempengaruhi individu setiap hari mulai

dari konsepsi sampai akhir hayatnya (Purwitasari, 2009).

1

Universitas Sumatera Utara

2

Status gizi pada balita dapat berpengaruh terhadap beberapa aspek. Gizi
kurang pada balita, membawa dampak negatif terhadap pertumbuhan fisik maupun
mental, dampak yang lebih serius adalah timbulnya kecacatan, tingginya angka
kesakitan dan percepatan kematian (Rahim, 2014). Status gizi yang baik dipengaruhi
oleh jumlah asupan zat gizi yang dikonsumsi. Secara tidak langsung asupan zat gizi
dipengaruhi oleh beberapa faktor. Diantaranya adalah karakteristik keluarga.
Karakteristi keluarga khususnya ibu yang berhubungan dengan tumbuh kembang
anak. Ibu sebagai orang yang dekat dengan lingkungan asuhan anak ikut berperan
dalam proses tumbuh kembang anak melalui makanan zat gizi yang diberikan.
Karakteristik ibu ikut menentukan keadaan gizi anak (Satoto, 1990).
Untuk mencapai tumbuh kembang optimal, di dalam Global Strategi For
Infant And Young Child Feeding, WHO/UNICEF merekomendasikan empat hal

penting yang harus dilakukan yaitu pertama memberikan Air Susu Ibu kepada bayi
segera dalam waktu 30 menit setelah bayi lahir, kedua memberikan hanya Air Susu
Ibu (ASI) saja atau pemberian ASI secara Ekslusif sejak lahir sampai bayi berusia 6
bulan, ketiga memberikan makanan pendamping Air Susu Ibu (MP-ASI) sejak bayi
berusia 6-24 bulan. Dan keempat meneruskan pemberian ASI sampai anak berusia 24
bulan atau lebih (Depkes RI, 2006).
World Health Organization (WHO), (2016), menyatakan bahwa setiap bayi
dan anak harus mendapatkan gizi yang baik sesuai dengan Konvensi Hak Anak.
Kekurangan zat gizi pada anak merupakan masalah gizi yang perlu mendapat
perhatian yang serius, karena berpengaruh pada tingginya angka kematian anak.

Universitas Sumatera Utara

3

WHO (2016) menyatakan bahwa masalah gizi dikaitkan dengan 45% dari kematian
anak. Selanjutnya berdasarkan Data SDKI 2012 menunjukkan kematian bayi untuk
periode lima tahun sebelum survei (2008-2012) adalah 32 kematian per 1.000
kelahiran hidup. Angka kematian balita dan kematian anak masing-masing sebesar 40
dan 9 kematian per 1.000 kelahiran. (BPS, BKKBN, Macro Internasional, Kemenkes,

2013). Berdasarkan data BPS (2012), prevalensi kematian bayi sebesar 40 per 1000
kelahiran hidup dan kematian balita sebesar 52 per 1000 kelahiran hidup (Badan
Pusat Statistik, 2012).
Periode pertama sejak kehamilan hingga dua tahun sesungguhnya merupakan
periode 1000 hari pertama kehidupan (HPK). Masalah gizi pada 1000 HPK dapat
dikelompokan dalam tiga periode yaitu masa kehamilan, 0-6 bulan, dan 7-23 bulan.
Masalah kekurangan gizi yang mendapat perhatian akhir-akhir ini adalah masalah
kurang gizi dalam bentuk anak pendek (stunting), kurang gizi akut dalam bentuk anak
kurus (wasting). Masalah gizi tersebut terkait erat dengan masalah gizi dan kesehatan
ibu hamil, dan menyusui, bayi baru lahir dan anak usia di bawah dua tahun
(Bappenas, 2012).
Menurut data UNICEF, World Health Organization (WHO) dan World Bank
tren prevalensi pendek dari tahun 1990 sampai 2014 mengalami penurunan yaitu dari
39,6 persen menjadi 23,8 persen, tren prevalensi gizi lebih meningkat dari tahun 1990
sampai 2014 yaitu dari 4,8 persen menjadi 6,1 persen. Sementara itu sebanyak 1 dari
13 anak di dunia mengalami gizi kurang pada tahun 2014, prevalensinya sebesar 7,5
persen dan secara global tercatat bahwa kejadian gizi kurang paling banyak di Asia
dengan prevalensi sebesar 68% (UNICEF, WHO dan World Bank, 2015).

Universitas Sumatera Utara


4

Berdasarkan data Badan Pusat Statistik (2012), presentase angka status gizi
buruk di Provinsi Sumatera Utara sebesar 2,8%, gizi lebih sebesar 7,5 dan status gizi
baik sebesar 71,1%. Berdasarkan data Riset Kesehatan Dasar (Riskesdas, 2013),
prevalensi gizi kurang pada balita (BB/U30%) adalah NTT diikuti Papua Barat, dan dua provinsi yang
prevalensinya 10 persen yaitu Nias 7,7 persen,
Medan 7,6 persen, Humbang Hasunlutan 7,3 persen, Tanjung Balai 4,3 persen dan
Nias Barat 2 persen.

Universitas Sumatera Utara

8

Berdasarkan data Riset Kesehatan Dasar (Riskesdas) tahun 2013, sebanyak
30.801 bayi usia 0-23 bulan di Indonesia diberi ASI dan MP-ASI (Kemenkes, 2013),
dan menurut data SDKI (Kemenkes tahun 2012) menunjukkan 60 persen anak
mendapat makanan pralaktasi selain ASI pada tiga hari pertama kehidupan. Makanan
tambahan dan cairan diperkenalkan saat dini. Walaupun sekitar setengah anak

berumur di bawah dua bulan menerima ASI saja namun persentase pemberian ASI
saja menurun terus setelah dua bulan pertama. Lebih dari 7 diantara 10 anak umur 4-5
bulan sudah menerima makanan tambahan 44 persen, air putih 8 persen, susu atau
cairan tambahan lainnya 8 persen sebagai tambahan dari ASI atau sepenuhnya sudah
disapih 13 persen. Dari data Riskesdas 2013 menunjukkan provinsi Sumatera Utara
merupakan Provinsi dengan cakupan pemberian makanan pralakteal tertinggi pada
bayi yaitu 62,7 persen dan yang paling rendah adalah Provinsi Nusa Tenggara Timur
sebesar 22,2 persen. Jenis makanan prelakteal yang diberikan ke bayi adalah susu
formula sebesar 79, 8 persen. Cakupan makanan jenis susu formula di Indonesia yang
tertinggi di Kepulauan Riau (95,5 persen) dan Bali (93,7 persen) sedangkan cakupan
terendah di Provinsi Sulawesi Barat sebesar 40,2 persen.
Masa pertumbuhan bayi berumur 6-12 bulan membutuhkan asupan gizi tidak
hanya cukup dengan ASI saja, karena produksi ASI pada saat itu semakin berkurang
sedangkan kebutuhan bayi semakin meningkat seiring bertambahnya umur dan berat
badan, oleh karena itu bayi harus mendapat makanan pendamping selain ASI (MPASI) untuk menutupi kekurangan zat-zat gizi yang terkandung di dalam ASI.
Pengetahuan masyarakat yang rendah tentang jenis dan cara mengolah makanan bayi
dapat mengakibatkan terjadinya kekurangan gizi pada bayi (Krisnatuti, 2011).

Universitas Sumatera Utara


9

Pemberian Makanan Pendamping ASI (MP-ASI) secara dini sangatlah
berbahaya, apalagi jika disajikan tidak secara higienis karena menyebabkan
masuknya berbagai jenis kuman. Bayi yang mendapatkan MP-ASI sebelum berumur
enam bulan lebih banyak terserang diare, sembelit, batuk pilek, dan panas
dibandingkan bayi yang hanya mendapatkan ASI eksklusif. Selain itu pemberian
makanan padat secara dini akan menyebabkan kerusakan saluran pencernaan dan
menimbulkan penyumbatan saluran pencernaan (Lily L, 2011).
Makanan yang ideal harus mengandung cukup energi dan zat esensial sesuai
dengan kebutuhan sehari-hari. Pemberian makanan yang kelebihan akan energi
mengakibatkan obesitas, sedang kelebihan zat gizi esensial dalam jangka waktu lama
akan menimbulkan penimbunan zat gizi tersebut dan menjadi racun bagi tubuh.
Misalnya hipervitaminosis A, hipervitaminosis D dan hiperkalemi. Sebaliknya
kekurangan energi dalam jangka waktu lama berakibat menghambat pertumbuhan
dan mengurangi cadangan energi dalam tubuh sehingga terjadi marasmus (gizi
kurang/buruk). Kekurangan zat esensial mengakibatkan defisiensi zat gizi tersebut.
Misalnya Seroftalmia (kekurangan vitamin A), Rakhitis (kekurangan vitamin D)
(Irianto Koes, 2014).
Beberapa penelitian menyatakan bahwa keadaan kurang gizi pada bayi dan

anak disebabkan karena kebiasaan memberikan MP-ASI yang tidak tepat. Keadaan
ini memerlukan penanganan tidak hanya penyediaan pangan, tetapi dengan
pendekatan yang lebih komunikatif sesuai dengan tingkat pendidikan dan
kemampuan masyarakat. Selain itu ibu-ibu kurang menyadari bahwa setelah bayi

Universitas Sumatera Utara

10

berumur 6 bulan memerlukan MP-ASI dalam jumlah dan mutu yang semakin
bertambah, sesuai dengan pertambahan umur bayi dan kemampuan alat cerna nya.
Pemberian makanan tambahan pada bayi sebaiknya diberikan setelah usia
bayi lebih dari enam bulan atau setelah pemberian ASI eksklusif karena pada usia
tesebut kebutuhan gizinya masih terpenuhi dari ASI. Bayi yang lebih cepat
mendapatkan makanan tambahan akan lebih rentan terhadap penyakit infeksi seperti
infeksi telinga dan pernapasan, diare, resiko alergi, gangguan pertumbuhan dan
perkembangan bayi (Arisman, 2004).
Fenomena yang terjadi di masyarakat bahwa ibu-ibu tidak memberikan ASI
secara Eksklusif tetapi lebih memilih memberikan susu formula atau makanan
tambahan pada bayi kurang dari enam bulan. Karena masih banyak ibu-ibu yang

belum mengetahui manfaat pemberian ASI secara Eksklusif. Sebagian ibu
menganggap bahwa dengan memberikan makanan tambahan akan memenuhi
kebutuhan gizi bayi dan bayi tidak akan merasa kelaparan. Hal ini berbahaya dilihat
dari sistem pencernaan bayi belum sanggup mencerna atau menghancurkan makanan
secara sempurna (Boedihardjo, 1994).
Menurut Manalu (2008) menyatakan bahwa sebagian besar anak sudah
diberikan makanan tambahan sebelum umur 5 bulan yaitu sebesar 80,49% dan yang
paling rendah adalah pada umur 5-7 bulan yaitu sebesar 19,51%. Adapun MP-ASI
yang diberikan adalah nasi bubur dengan tambahan garam, atau nasi bubur dengan
lauk, atau nasi keras dengan sayur saja. Hasil penelitian menunjukkan bahwa
frekuensi makan anak yang terbanyak adalah 2x sehari yaitu sebesar 63,41% dan

Universitas Sumatera Utara

11

yang terendah adalah 1x sehari sebesar 9,76%. Dari hasil penelitian didapat bahwa
anak yang frekuensi makannya sedikit memiliki status gizi yang tidak baik.
Pencapaian Program ASI Eksklusif di Kota Medan pada tahun 2015 sebesar
40,1% sementara target nasional yaitu 80%. Di Wilayah Kerja Puskesmas Mandala

kecamatan Medan Tembung pada tahun 2015 pencapaian program pemberian ASI
Eksklusif sebesar 29,3% (Profil Dinas Kesehatan Kota Medan 2016).Angka tersebut
masih sangat rendah dibandingkan pencapaian Propinsi Sumatera Utara maupun
pencapaian Nasional. Sedangkan pencapaian program pemberian ASI Eksklusif di
Puskesmas Mandala Kecamatan Medan Tembung Kota Medan pada tahun 2015
adalah sebesar 29,3%, masih sangat rendah dibandingkan pencapaian Propinsi
Sumatera maupun pencapaian Nasional (Profil Dinkes Kota Medan).
Berdasarkan survei pendahuluan yang dilakukan peneliti dari 12 orang ibu-ibu
yang memiliki bayi usia 6-12 bulan, hanya 2 orang ibu yang memberikan ASI
Eksklusif pada bayi nya. Sedangkan 10 orang ibu rata-rata mereka sudah memberikan
MP-ASI pada bayinya pada saat umur satu atau dua bulan dengan pisang, bubur nasi,
atau MP-ASI pabrikan, susu formula, alasannya mereka takut bayinya kurang
kenyang dan kurang gizi karena hanya diberikan ASI saja. Data yang diperoleh dari
Puskesmas Mandala jumlah bayi usia 0-59 bulan sebanyak 2148 bayi. Diketahui dari
data pemantauan anak gizi kurang dan gizi buruk di Wilayah Kerja Puskesmas
Mandala pada November 2015 terdapat 49 anak yang mengalami gizi kurang dan 4
orang anak yang mengalami gizi buruk dan pada bulan Desember 2015 terdapat 6
(enam) bayi yang mengalami gizi buruk sedang mendapatkan perawatan.

Universitas Sumatera Utara


12

Berdasarkan latar belakang yang telah diuraikan tersebut, maka perlu
dilakukan penelitian tentang perbedaan status gizi bayi usia 6-12 bulan yang diberi
ASI Eksklusif dan tidak diberi ASI Eksklusif di Wilayah Kerja Puskesmas Mandala
Kecamatan Medan Tembung Kota Medan Tahun 2016.

1.2 Permasalahan
Status gizi merupakan indikator dalam menentukan derajat kesehatan bayi dan
anak. Kekurangan zat gizi pada anak merupakan masalah gizi yang perlu mendapat
perhatian yang serius, karena berpengaruh pada tingginya angka kematian anak.
Kekurangan gizi lebih kecil kemungkinannya terjadi pada bayi yang mengkonsumsi
ASI Eksklusif dan terjadinya rawan gizi pada bayi disebabkan antara lain oleh karena
ASI Eksklusif banyak diganti oleh susu formula atau makanan pendamping ASI
dengan jumlah dan cara yang tidak sesuai kebutuhan, sehingga permasalahan
penelitian dirumuskan sebagai berikut apakah ada perbedaan status gizi bayi usia 612 bulan yang diberi ASI Eklusif dan tidak diberi ASI Eksklusif di Wilayah Kerja
Puskesmas Mandala Kecamatan Medan Tembung Kota Medan Tahun 2016?

1.3 Tujuan Penelitian

1.3.1 Tujuan Umum
Tujuan umum dalam penelitian ini adalah untuk mengetahui perbedaan status
gizi bayi usia 6-12 bulan yang diberi ASI Eksklusif dan tidak diberi ASI Eksklusif di
Wilayah Kerja Puskesmas Mandala Kecamatan Medan Tembung Kota Medan Tahun
2016.

Universitas Sumatera Utara

13

1.3.2 Tujuan Khusus
Tujuan khusus dalam penelitian ini adalah sebagai berikut :
1. Untuk mengetahui status gizi bayi di Wilayah Kerja Puskesmas Mandala
Kecamatan Medan Tembung Kota Medan Tahun 2016
2. Untuk mengetahui perbedaan status gizi bayi usia 6-12 bulan yang diberi ASI
Eksklusif dan tidak diberi ASI Eksklusif.
3. Untuk mengetahui pengetahuan ibu terhadap perbedaan status gizi bayi usia 6-12
bulan yang diberi ASI Eksklusif dan tidak diberi ASI Eksklusif.
4. Untuk mengetahui sikap ibu terhadap perbedaan status gizi bayi usia 6-12 bulan
yang diberi ASI Eksklusif dan tidak diberi ASI Eksklusif.
5. Untuk mengetahui tindakan ibu terhadap perbedaan status gizi bayi usia 6-12
bulan yang diberi ASI Eksklusif dan tidak diberi ASI Eksklusif.
1.4 Hipotesa Penelitian
Terdapat perbedaan status gizi bayi usia 6-12 bulan yang diberi ASI Eksklusif
dan tidak diberi ASI Eksklusif di Wilayah Kerja Puskesmas Mandala Kecamatan
Medan Tembung Kota Medan Tahun 2016.
1.5 Manfaat Penelitian
1.

Sebagai masukan bagi Dinas Kesehatan Kota Medan dalam memantau
pemberian ASI Eksklusif pada bayi dan pola pemberian makanan selain ASI
Ekslusif seperti MP-ASI pada bayi agar status gizi bayi lebih baik dan sesuai
yang diharapkan.

Universitas Sumatera Utara

14

2.

Sebagai masukan bagi Camat dan Lurah serta jajaran yang terkait lainnya
untuk mempromosikan ASI Eksklusif dan mengajarkan ibu untuk
memberikan MP-ASI setelah usia bayi lebih dari 6 bulan dan MP-ASI yang
diberikan harus mengandung gizi yang dibutuhkan bayi.

3.

Sebagai masukan bagi Kepala Puskesmas Mandala agar memantau bidanbidan yang bertugas di Wilayah Kerja Puskesmas Mandala, untuk tidak
memberikan susu formula pada saat bayi baru lahir dan memantau pola
pemberian MP-ASI pada bayi usia lebih dari 6 bulan.

Universitas Sumatera Utara

Dokumen yang terkait

PERBANDINGAN KEJADIAN DIARE PADA BAYI BERUSIA 0-6 BULAN YANG DIBERI ASI EKSKLUSIF DENGAN YANG DIBERI Perbandingan Kejadian Diare Pada Bayi Berusia 0-6 Bulan Yang Diberi Asi Eksklusif Dengan Yang Diberi Tidak Asi Eksklusif Di Wilayah Kerja Puskesmas Grog

0 2 16

PERBANDINGAN KEJADIAN DIARE PADA BAYI BERUSIA 0-6 BULAN YANG DIBERI ASI EKSKLUSIF DENGAN YANG DIBERI Perbandingan Kejadian Diare Pada Bayi Berusia 0-6 Bulan Yang Diberi Asi Eksklusif Dengan Yang Diberi Tidak Asi Eksklusif Di Wilayah Kerja Puskesmas Grog

0 3 15

Perbedaan Status Gizi Bayi Usia 6-12 Bulan yang Diberi ASI Eksklusif dan Tidak Diberi ASI Eksklusif di Wilayah Kerja Puskesmas Medan Tembung Kota Medan Tahun 2016

0 0 17

Perbedaan Status Gizi Bayi Usia 6-12 Bulan yang Diberi ASI Eksklusif dan Tidak Diberi ASI Eksklusif di Wilayah Kerja Puskesmas Medan Tembung Kota Medan Tahun 2016

0 0 2

Perbedaan Status Gizi Bayi Usia 6-12 Bulan yang Diberi ASI Eksklusif dan Tidak Diberi ASI Eksklusif di Wilayah Kerja Puskesmas Medan Tembung Kota Medan Tahun 2016

0 0 26

Perbedaan Status Gizi Bayi Usia 6-12 Bulan yang Diberi ASI Eksklusif dan Tidak Diberi ASI Eksklusif di Wilayah Kerja Puskesmas Medan Tembung Kota Medan Tahun 2016 Chapter III VI

0 0 39

Perbedaan Status Gizi Bayi Usia 6-12 Bulan yang Diberi ASI Eksklusif dan Tidak Diberi ASI Eksklusif di Wilayah Kerja Puskesmas Medan Tembung Kota Medan Tahun 2016

0 0 3

Perbedaan Status Gizi Bayi Usia 6-12 Bulan yang Diberi ASI Eksklusif dan Tidak Diberi ASI Eksklusif di Wilayah Kerja Puskesmas Medan Tembung Kota Medan Tahun 2016

0 2 16

PERBEDAAN STATUS GIZI USIA 0-6 BULAN BAYI YANG DIBERI ASI EKSKLUSIF DAN TIDAK EKSKLUSIF DI BPS SURATNI BANTUL YOGYAKARTA NASKAH PUBLIKASI - Perbedaan Status Gizi Usia 0-6 Bulan Bayi yang Diberi ASI Eksklusif dan Tidak Eksklusif di BPS Suratini Bantul Yogy

0 0 12

PERBEDAAN BERAT BADAN BAYI USIA 6 BULAN ANTARA YANG DIBERI ASI EKSKLUSIF DAN ASI TIDAK EKSKLUSIF DI KELURAHAN BUMIJO WILAYAH KERJA PUSKESMAS JETIS YOGYAKARTA

0 0 15