Efektivitas Penggunaan Small Bore Kateter (Pigtail kateter) Dibandingkan dengan Large-Bore Kateter Untuk Drainase Efusi Pleura

BAB 2
TINJAUAN PUSTAKA

2.1. Efusi Pleura
Efusi pleura merupakan akumulasi cairan pleura yang abnormal yang
disebabkan oleh karena pembentukan cairan pleura lebih cepat dari proses
absorpsinya. Sebagian besar efusi pleura terjadi karena adanya peningkatan
pembentukan cairan pleura dan penurunan kecepatan absorpsi cairan pleura
tersebut. Pada pasien dengan daya absorpsi normal, pembentukan cairan pleura
harus meningkat 30 kali lipat secara terus menerus agar dapat menimbulkan suatu
efusi pleura. Di sisi lain, penurunan daya absorpsi cairan pleura saja tidak akan
menghasilkan penumpukan caian yang signifikan dalam rongga pleura mengingat
tingkat normal pembentukan cairan pleura sangat lambat. (Lee YCG, 2013) Efusi
pleura bisa disebabkan oleh penyakit yang berasal dari paru, pleura ataupun
penyakit di luar paru. (Light RW, 2011)
Efusi pleura terbagi menjadi transudat dan eksudat. (Light RW, 2011)
Berdasarkan kriteria Light, dikatakan efusi pleura eksudat jika memenuhi satu
atau lebih kriteria berikut (1) rasio kadar protein cairan pleura/kadar protein serum
lebih besar dari 0,5, (2) rasio kadar LDH cairan pleura/kadar LDH serum lebih
besar dari 0,6 atau (3) kadar LDH cairan pleura lebih besar dari dua pertiga dari
batas atas normal LDH serum. (Mayse M.L, 2008)

Light dan Rodriguez membuat sebuah skema untuk klasifikasi dan
penatalaksanaan efusi pleura berdasarkan jumlah cairan, kekeruhan, dan
karakteristik biokimia cairan dan apakah cairan terlokalisir. Berdasarkan
klasifikasi di atas, maka efusi yang bersifat transudat diangap sebagai
uncomplicated pleural effusion, yang dapat ditangani dengan pengobatan

konservatif atau hanya dengan antibiotik. Efusi pleura eksudat atau efusi pleura
terlokalisir yang luas, diklasifikasikan sebagai complicated pleural effusion harus
dilakukan drainase. Yang termasuk complicated pleural effusion yaitu empiema,
efusi pleura ganas dan hemotoraks. Untuk kasus complicated pleural effusion,
sangat penting untuk dilakukan evakuasi cairan supaya paru dapat kembang untuk

22

Universitas Sumatera Utara

prognosis yang labih baik. Pilihan terapinya adalah torakosentesis untuk
terapeutik, pemasangan selang dada, terapi fibrinolitik, pleurodesis dan
pembedahan. (Yu H, 2011)
Berdasarkan foto toraks, efusi pleura dapat dikelompokkan menjadi efusi

pleura sederhana dan efusi pleura kompleks (Ellis SM, Flower C, 2006)
1. Efusi pleura sederhana
Suatu efusi pleura dikatakan sederhana jika
-

Pada foto toraks postero anterior posisi tegak cairan biasanya terakumulasi
mengikuti gravitasi dengan batas atasnya didefinisikan sebagai meniscus
sign.

-

Pada posisi terlentang, suatu efusi pleura sederhana akan terakumulasi
pertama sekali di bagian posterior dada dan meniscus sign kadang tidak
terlihat.

-

Terdapat peningkatan secara keseluruhan yang membayangi hemitoraks
yang dapat dengan mudah diabaikan


-

Jika ukuran efusi cukup besar, makan akan tampak adanya penebalan yang
jelas di tepi pleura yang disebabkan oleh perpindahan posisi paru yang
menjadi terpisah dari dinding dada oleh karena cairan.

-

Jika posisi pasien semi-tegak maka cairan akan terakumulasi di bagian
belakang kostofrenikus yang tersembunyi dan di posterior rongga pleura.

-

Secara keseluruhan hasilnya adalah peningkatan opasitas pada daerah yang
lebih rendah dengan tetap mempertahankan bayangan diafragma, tanpa
ada meniskus, dan bahkan sudut kostofrenikus masih normal. Kolapsnya
lobus paru tidak tergantung posisi pasien

2. Efusi pleura kompleks
Suatu efusi pleura dikatakan kompleks jika

-

Ketika bentuk efusi tidak membentuk meniscus sign seperti dijelaskan di
atas tetapi malah lurus atau cembung, ini menunjukkan bahwa efusi
tersebut adalah kompleks dan biasanya mengandung cairan yang kental
dan atau bersekat

23

Universitas Sumatera Utara

-

Efusi pleura kompleks tidak selalu terakumulasi di daerah paling bawah
dan oleh karena itu cairan dapat terakumulasi di mana saja di dalam
rongga pleura

-

Suatu efusi pleura kompleks mungkin disebabkan oleh adanya empiema

atau hematom, tetapi efusi pleura sederhana yang kronis dapat menjadi
kompleks tanpa adanya infeksi yang menyertai dan suatu efusi pleura
sederhana yang berada dalam rongga pleura yang kompleks dapat
menunjukkan gambaran efusi pleura kompleks misalnya pada pasien yang
sebelumnya pernah dilakukan intervensi bedah atau pernah terjadi infeksi
sebelumnya.
Berdasarkan USG, efusi pleura juga dapat dibedakan menjadi efusi pleura

sederhana dan efusi pleura kompleks (Coley BD, 2013)
1. Efusi pleura sederhana
-

Gambaran anechoic yang homogen

2. Efusi pleura kompleks
-

Tidak bersekat dengan gambaran hipoechoic

-


Terdapat lebih dari satu sekat

-

Gambaran echoic yang homogen

2.2 . Mekanisme Efusi Pleura
Dalam rongga pleura yang normal, cairan masuk dan keluar dengan
jumlah yang sama secara terus – menerus karena adanya filtrasi yang
berkelanjutan dari sejumlah kecil cairan rendah protein dalam pembuluh darah
mikro yang normal. Pada akhir abad ke-19, Starling dan Tubby mengeluarkan
sebuah hipotesis, bahwa pertukaran cairan mikrovaskuler dan zat terlarut diatur
oleh keseimbangan antara tekanan hidrostatik, tekanan osmotik, dan permeabilitas
membran. (McGrath E, Anderson PB, 2011)
Efusi pleura merupakan akumulasi cairan yang berlebihan di dalam rongga
pleura. Hal ini menunjukkan adanya ketidakseimbangan antara produksi dan
penyerapan cairan pleura. Pada keadaan normal, rongga pleura hanya terisi
sejumlah kecil cairan, biasanya hanya 0,1-0,2 ml/kgBB.


24

Universitas Sumatera Utara

Cairan pleura terbentuk dan diserap kembali secara lambat, dengan jumlah
yang sama dan mempunyai kadar protein yang rendah dibandingkan dengan paru
dan kelenjar getah bening perifer. Beberapa mekanisme terbentuknya cairan
pleura antara lain : (Yataco JC, Dweik RA, 2005)


Peningkatan tekanan hidrostatik dalam sirkulasi pembuluh darah kecil.
Data klinis menunjukkan bahwa peningkatan tekanan intra kapiler
merupakan faktor yang paling sering menyebabkan efusi pleura pada gagal



jantung kongestif.
Penurunan tekanan onkotik di sirkulasi pembuluh darah kecil disebabkan
oleh hipoalbuminemia yang cenderung meningkatkan cairan di dalam




rongga pleura.
Peningkatan tekanan negatif di rongga pleura juga menyebabkan
peningkatan jumlah cairan pleura. Hal ini biasanya disebabkan oleh



atelektasis.
Pemisahan kedua permukaan pleura dapat menurunkan pergerakan cairan
dalam rongga pleura dan dapat menghambat drainase limfatik pleura. Hal



ini bisa disebabkan oleh trapped lung.
Peningkatan permeabilitas pembuluh darah kapiler yang disebabkan oleh
mediator inflamasisangat memungkinkan terjadinya kebocoran cairan dan
protein melewati paru dan pleura visceral ke rongga pleura. Hal ini telah




dibuktikan dengan adanya infeksi seperti pneumonia



tumor atau fibrosis

Gangguan drainase limfatik permukaan pleura karena penyumbatan oleh

Perembesan cairan ascites dari rongga peritoneal melalui limfatik
diafragma atau dari defek diafragma.

2.3 . Diagnosis
Diagnosis efusi pleura ditegakkan melalui beberapa langkah
1) Anamnesis dan pemeriksaan klinis (Havelock T et al, 2010)
Gejala yang ditimbulkan akibat efusi pleura antara lain sesak napas, nyeri
dada yang bersifat pleuritik, batuk, demam, menggigil. Manifestasi klinis efusi
25

Universitas Sumatera Utara


pleura tergantung kepada penyakit yang mendasarinya. Pemeriksaan fisik bisa
normal jika jumlah cairan kurang dari 300 mL. Selanjutnya, jika fungsi
pernapasan dan pengembangan paru dan dinding dada masih normal biasanya
jarang menimbulkan hipoksemia yang signifikan. Hal ini disebabkan oleh
penurunan ventilasi dan perfusi di saat yang bersamaan di paru yang mengalami
kompresi. (Yu H, 2011)
Akumulasi cairan di dalam rongga pleura akan menyebabkan gangguan
restriksi dan mengurangi kapasitas total paru, kapasitas fungsional, dan kapasitas
vital paksa. Hal ini akan menyebabkan ketidakseimbangan ventilasi-perfusi
disebabkan atelektasis parsial pada area yang bersangkutan, jika ukuran efusi
cukup luas maka akan mempengaruhi kardiak output dengan menyebabkan
ventrikel kolaps diastolik.
Ada tiga gejala yang paling umum dijumpai pada efusi pleura yaitu nyeri
dada, batuk, dan sesak napas. Nyeri dada yang disebabkan efusi pleura oleh
karena penumpukan cairan di dalam rongga pleura. Nyeri dada yang ditimbulkan
oleh efusi pleura bersifat pleuritic pain. Nyeri pleuritik menunjukkan iritasi lokal
dari pleura parietal, yang banyak terdapat serabut saraf. Karena dipersarafi oleh
nervus frenikus, maka keterlibatan pleura mediastinal menghasilkan nyeri dada
dengan nyeri bahu ipsilateral. Nyeri juga bisa menjalar hingga ke perut melalui

persarafan interkostalis. Sedangkan batuk kemungkinan akibat iritasi bronkial
disebabkan kompresi parenkim paru. (Roberts JR et al, 2014)
Efusi pleura dengan ukuran yang besar dapat mengakibatkan peningkatan
ukuran hemitoraks serta menyebabkan ruang interkostal menggembung pada sisi
yang terjadi efusi. Pada palpasi akan didapati taktil fremitus berkurang atau
menghilang sama sekali disebabkan cairan tersebut memisahkan paru – paru dari
dinding dada dan menyerap getaran dari paru – paru. Pada perkusi didapati beda,
dan akan berubah saat pasien berubah posisi jika cairan bisa mengalir bebas. Pada
auskultasi akan didapati suara napas yang menghilang tergantung ukuran efusi.
Egofoni dapat terdengar di batas paling atas dari efusi sebagai akibat dari
penyebab jaringan paru yang atelektasis. Gesekan pleura dapat dijumpai jika

26

Universitas Sumatera Utara

terjadi iritasi di pleura, tetapi kadang juga sulit dijumpai dari auskultasi sampai
cairan terevakuasi. (Roberts JR, et al 2014)

Tabel 2.1 Volume cairan pleura dan hubungannya dengan pemeriksaan fisik
(Klopp M, 2013)
Volume cairan pleura
3

Temuan klinis

40-60 U/L

Pleuritis karena jamur

Positif pewarnaan KOH, kultur

Efusi pleura karena

Kolesterol > 300 mg/dL, kolesterol /trigliserida > 1,0

kolesterol

kristal kolesterol

Kilotoraks

Trigliserida > 110 mg/dL, dijumpai kilomikron

Hemotoraks

Hematokrit (rasio cairan pleura/darah > 0,5)

Urinotoraks

Kreatinin (rasio cairan pleura/serum >1,0)

Dialisis peritoneum

Protein < 1,0g/dL, glukosa > 300 mg/dL

Perpindahan

Observasi (seperti susu jika diinfus lipid) cairan

ekstravaskular dari kateter

pleura / glukosa serum > 1,0 (infus glukosa)

vena sentral
Pleuritis reumatoid

karakteristik sitologi (pH < 7,00, glukosa < 30
mg/dL), LDH > 1000 IU/L

Fistel duro-pleura

Terdapat β2 transferin

34

Universitas Sumatera Utara

Tabel 2.3 Tampilan cairan pleura untuk membantu diagnosis (Light RW, Lee
YCG, 2008)
Perkiraan diagnosis
Warna cairan
Kuning pucat (jerami)

Transudat, eksudat pauci-cellular

Merah (seperti darah)
Hematokrit < 5%

Keganasan, BAPE (benign asbestos pleural
effusion), PCIS (post cardiac injury syndrome) ,

infark paru
Hematokrit cairan

Trauma

pleura/serum ≥0,5
Putih susu

Kilotoraks atau efusi pleura karena kolesterol

Coklat

Efusi pleura menyerupai darah yang sudah
berlangsung lama; pecahnya abses hati amuba ke
rongga pleura

Hitam

Spora Aspergillus niger

Kuning kehijauan

Pleuritis reumatoid

Warna dari selang makanan

Selang makanan masuk ke dalam rongga pleura,

atau infus vena sentral

perpindahan kateter ekstravaskular ke
mediastinum / rongga pleura

Karakteristik cairan
Nanah

Empiema

Kental

Mesotelioma

Debris

Pleuritis reumatoid

Keruh

Eksudat inflamasi atau efusi lipid

Anchovy paste

Pecahnya abses hati amuba

Bau atau cairan busuk

Empiema anaerobik

Ammonia

Urinotoraks

35

Universitas Sumatera Utara

4) Biopsi Pleura
Pada kasus efusi pleura yang belum tegak diagnosisnya di mana dicurigai
disebabkan oleh keganasan dan nodul pada pleura tampak pada CT scan dengan
kontras, maka biopsi jarum dengan tuntunan CT scan merupakan metode yang
tepat. Biopsi jarum Abram hanya bermakna jika dilakukan di daerah dengan
tingkat kejadian tuberkulosis yang tinggi, walaupun torakoskopi dan biopsi jarum
dengan tuntunan CT scan dapat dilakukan untuk hasil diagnostik yang lebih
akurat. (Havelock T et al, 2010)

5) Torakoskopi
Torakoskopi merupakan pemeriksaan yang dipilih untuk kasus efusi pleura
eksudat di mana diagnostik dengan aspirasi cairan pleura tidak meyakinkan dan
dicurigai adanya keganasan. (Havelock T et al, 2010)

6) Pemeriksaan Lain Pada Kondisi Tertentu (Havelock T et al, 2010)
-

Pleuritis tuberkulosis
Ketika dilakukan biopsi pleura, maka sampel harus dikirim untuk

pemeriksaan histologi dan kultur untuk menegakkan diagnosis tuberkulosis.
Biopsi pleura melalui torakoskopi merupakan pemeriksaan yang paling akurat
untuk mendapatkan hasil positif

untuk kultur mikobakterium (dan juga

sensitivitas obat). Penanda tuberkulosis pleura dapat bermakna di negara negara dengan angka kejadian tuberkulosis yang rendah. Adenosine
deaminase (ADA) adalah penanda yang paling sering digunakan.

-

Rheumathoid Arthritis yang berhubungan dengan efusi pleura

Sebagian besar efusi pleura yang disebabkan oleh Rheumathoid Arthritis
menunjukkan kadar glukosa yang sangat rendah yaitu 24 F)
Ukuran selang dada dari yang paling kecil hingga yang paling besar adalah
antara 8 – 32 F. Ukuran selang dada yang dibutuhkan tergantung pada indikasi
pemasangan selang dada. Untuk pneumotoraks dianjurkan selang dada ukuran 20
F, dan untuk efusi pleura ukuran 24 – 28 F, serta perlu juga dipertimbangkan jenis
kelamin dan ukuran pasien. (Klopp M, 2013)

40

Universitas Sumatera Utara

2.5.

Jenis selang dada

2.5.1. Large-bore kateter
Pemasangan selang dada merupakan tindakan yang umum dilakukan untuk
drainase cairan dan udara dari rongga pleura pada sebagian besar rumah sakit di
Amerika Serikat. (Gammie JS, Banks MC, Fuhrman CR, et al 1999) Untuk
drainase cairan maupun udara, penggunaan large-bore kateter tetap tetap
merupakan tindakan yang optimal dan adekuat. Bagaimanapun juga, pemasangan
large-bore kateter baik dengan metode blunt dissection maupun dengan trokar

masih menunjukkan angka kematian yang signifikan. (Liu YH et al, 2010)
Pemasangan selang dada merupakan prosedur yang invasif dan komplikasi
bisa terjadi akibat kurangnya pengetahuan tentang anatomi toraks atau
pangalaman dan latihan yang tidak adekuat. Berbagai komplikasi tersebut dapat
diklasifikasikan secara sederhana sebagai komplikasi teknik dan infeksi. Teknik
trokar dilaporkan mengakibatkan angka komplikasi yang lebih tinggi. (Kesieme
EB et al, 2012)
Ukuran selang dada standar biasanya adalah 32-40 F. Pemasangan largebore kateter tersebut memerlukan tekhnik cut-down, traumatis, dan sering

menimbulkan nyeri yang signifikan dan ketidaknyamanan. (Kulvatunyou et al,
2014) Jarak antara tulang rusuk pada orang dewasa adalah sekitar 9 mm (pada sela
iga 5) linea midaxillaris. Selang dada ukuran 32 F memiliki diameter 10,7 mm,
sedangkan selang dada ukuran 24 F memiliki diameter 8 mm dan pigtail kateter
ukuran 8 F memiliki diameter 2,7 mm. selang dada ukuran 32 F memiliki
diameter yang lebih besar dari ruang interkostal dan inilah yang menyebabkan
penggunaan selang dada ukuran besar menimbulkan rasa sakit yang lebih jika
dibandingkan dengan selang dada ukuran kecil. (Caroll P, 2012)
Large-bore kateter sangat umum digunakan untuk berbagai kasus pleura

termasuk di bidang bedah untuk penanganan trauma, pasca operasi dan empiema.
Selain itu, large-bore kateter juga kurang rentan untuk terjadinya blockage
maupun kingking dan sangat cocok untuk kasus – kasus di atas. Beberapa
kekurangan large-bore kateter di antaranya adalah memerlukan diseksi jaringan,
rasa nyeri pada proses pemasangan, luka insisi yang lebih besar, dan dan

41

Universitas Sumatera Utara

merupakan tindakan yang invasif. Beberapa komplikasi yang ditimbulkan adalah
cedera organ (1,4%), malposisi (6,5%), empiema (1,4%), dan blockage (5,2%).
(Caroll P, 2012)

Gambar 2.5 Large Bore kateter (Alazemi S, 2013)

2.5.2. Small-bore kateter
Small-bore kateter telah mengalami perkembangan secara signifikan

selama beberapa tahun terakhir. Kateter tersebut terbuat dari bahan yang lebih
lembut dan lebih fleksibel daripada selang dada ukuran besar yang standar. Hal ini
diyakini dapat mengurangi rasa sakit dan ketidaknyamanan yang dirasakan pasien
dan lebih aman digunakan untuk dinding dada. Ada banyak jenis small-bore
kateter yang tersedia yaitu mulai dari ukuran 8 F sampai 28 F, tetapi yang paling
sering digunakan adalah ukuran antara 8 F sampai 16 F. Beberapa kateter
memiliki ujung yang melengkung dan dinamakan pigtail kateter. Bentuk seperti
ini berfungsi sebagai mekanisme pengunci internal untuk mencegah terjadinya
tercabutnya selang secara tidak sengaja misalnya pada pasien yang tidak
kooperatif maupun pada saat transportasi pasien.
Pemilihan ukuran kateter berdasarkan pada kekentalan cairan yang akan
dikeluarkan. Kateter ukuran 8-12 F dinilai cukup untuk mengalirkan cairan pleura
transudatif dan mengalir bebas. Namun, untuk efusi pleura yang lebih kental
seperti pada complicated parapneumonik effusion, empiema dan hemotoraks,
sumbatan di selang dada biasanya terjadi pada kateter dengan ukuran kecil, dan

42

Universitas Sumatera Utara

sebagian besar dokter biasanya menggunakan kateter mulai dari ukuran 16 F atau
lebih. (Alazemi S, 2013)

Gambar 2.6 Pigtail kateter (Alazemi S, 2013)

Gambar 2.7 Pigtail kateter dengan guidewire (Mahmood K, Wahidi MM,2013)

Pada awal tahun 1990-an, diperkirakan hanya tujuh persen penggunaan
small-bore kateter untuk pemasangan selang dada. Namun saat ini penggunaan
small-bore kateter semakin meningkat. Hal ini dikarenakan ukurannya yang lebih

kecil, hanya memerlukan sedikit atau bahkan tidak memerlukan sayatan dalam
proses pemasangannya, dan rasa nyeri yang lebih sedikit dibandingkan dengan
large-bore kateter. Selain itu, sayatan yang kecil biasanya meninggalkan bekas
43

Universitas Sumatera Utara

luka yang lebih sedikit dan tidak memerlukan penjahitan setelah proses
pencabutan selang dada. (Mahmood K, Wahidi MM,2013)
Small-bore kateter disebut juga dengan pigtail kateter. (Azan B et al, 2014)

Pigtail kateter adalah sebuah selang dada ukuran kecil yang digunakan untuk
mengalirkan cairan maupun udara dari rongga pleura. (Cardenas G et al, 2009)
Pigtail kateter pertama kali dilaporkan digunakan untuk drainase cairan pleura
pada tahun 1970. (Caroll P, 2012)
Small-bore kateter juga memiliki beberapa kelemahan di antaranya adalah

aliran drainase yang lebih lambat dan berpotensi tidak dapat mengevakuasi
kebocoran udara yang besar dan cairan yang kental dengan akumulasi yang cepat
seperti darah. Pada satu penelitian yang membandingkan selang dada dengan
berbagai ukuran disimpulkan bahwa small-bore kateter mempunyai aliran
drainase yang jauh lebih rendah dibandingkan dengan large-bore kateter.
Berdasarkan hal tersebut maka sangat dianjurkan untuk menggunakan large-bore
kateter pada kasus dengan kebocaran udara yang besar dan juga pada pasien post
pneumonektomi. Aliran selang dada yang berukuran sama ternyata bervariasi
sesuai masing – masing produsen. Hal ini mungkin disebabkan oleh panjang
selang dada dan bahan yang digunakan untuk membuat selang selang tersebut.
Oleh karena itu maka setiap klinisi harus benar – benear memahami setiap jenis
selang dada yang disediakan di tempatnya bekerja. (Mahmood K, Wahidi
MM,2013)
Beberapa komplikasi yang ditimbulkan small-bore kateter adalah cedera
organ di sekitarnya (0,2%), malposisi (0,6%), empiema (0,2%), dan blockage
(8,1%). Cairan yang kental seperti darah atau pus dapat menyumbat small-bore
kateter karena alirannya yang lambat. Untuk mencegah terjadinya sumbatan,
biasanya digunakan 30 mL larutan saline steril setiap 6 sampai 8 jam dan hal ini
harus dilakukan secara rutin. (Mahmood K, Wahidi MM,2013)
Insersi pigtail kateter merupakan metode yang efektif dan aman untuk
drainase cairan pleura. (Bediwy AS, Amer HG. 2012) Pigtail kateter mempunyai
resiko yang rendah untuk terjadinya komplikasi yang serius seperti cedera organ,
malposisi, empiema dan blockage. Pigtail kateter menunjukkan skor nyeri yang

44

Universitas Sumatera Utara

rendah, kebutuhan akan analgetik yang rendah, dan tingkat kenyamanan yang
lebih besar dibandingkan dengan pasien yang tatalaksana dengan large-bore
dengan indikasi yang sama. (Havelock T et al, 2010)
Drainase menggunakan pigtail kateter merupakan metode yang mudah
untuk dilakukan, dengan trauma yang minimal, masa rawatan yang relatif singkat,
dan dirasakan lebih nyaman

oleh pasien dibandingkan dengan selang dada

konvensional. Drainase menggunakan pigtail kateter merupakan metode yang
efektif dan aman dibandingkan dengan selang dada konvensional untuk drainase
cairan pleura. (Lin CH et al, 2011)
Pigtail kateter sangat jauh berbeda dengan selang dada konvensional, dan
lebih sedikit traumatis pada saat pemasangan dan meninggalkan bekas yang lebih
kecil. Kelebihan lain dari pigtail kateter adalah tidak mudah tertekuk (kingking).
(Pierrepoint MJ et al, 2002)
Untuk selang dada standar dengan ukuran besar, kebanyakan dokter
melakukan insersi selang dada melalui sebuah sayatan yang dibuat di daerah
interkostal IV atau V linea mid-axillaris di mana selang dada dapat dimasukkan
baik ke arah apikal ataupun posterior tergantung dari penyakit pleura yang
mendasarinya. Dengan metode seperti ini, sangat mungkin terjadi malposisi
selang dada, terutama pada kasus efusi pleura terlokalisir. Namun, hal ini dapat
dicegah dengan bantuan tuntunan radiologi sehingga dapat membantu dokter
untuk dapat menempatkan selang dada secara tepat ke dalam rongga pleura.
Pada kasus efusi pleura yang free flowing tempat insersi selang dada lebih
diutamakan pada sisi lateral untuk mengurangi ketidaknyamanan pasien dan
tercabutnya selang ketika pasien berbaring terlentang. Selain itu, tempat insersi
selang dada juga diusahakan terletak serendah mungkin lalu diarahkan ke
posterior ke tempat di mana cairan pleura paling banyak terkumpul agar dapat
dilakukan drainase maksimal. Penempatan selang dada pada linea mid-skapula
tidak disarankan kecuali pada keadaan tertentu karena dapat beresiko tercabutnya
selang dada oleh gerakan tulang belikat. Namun, pada kasus efusi pleura
terlokalisir, maka lokasi insersi harus benar – benar tepat di tempat terlokalisirnya
cairan (sebaiknya di perbatasan inferior dari tempat terlokalisirnya cairan) terlihat

45

Universitas Sumatera Utara

dari USG toraks. Pada kasus pneumotoraks, tempat insersi biasanya adalah di
bagian anterior dinding dada pada interkostal II.
Ada beberapa jenis small-bore kateter yang tersedia. Ketika kita memilih
sebuah small-bore kateter, ada beberapa hal yang harus dipertimbangkan. Kateter
harus terbuat dari bahan yang lembut dan fleksibel supaya dapat dipasang dengan
mudah melalui ruang interkostal serta dapat meminimalkan rasa sakkit dan
ketidaknyamanan pasien. Kateter dengan ujung yang melingkar (dinamakan
pigtail kateter lebih disukai untuk drainase efusi pleura jangka panjang misalnya

pada efusi pleura ganas atau pada efusi pleura parapneumonik) karena alat ini
memiliki mekanisme penguncian yang dapat meminimalkan kemungkinan
tercabutnya selang dada. Kateter harus bersifat radioopak supaya dapat terdeteksi
dengan mudah pada foto rontgen. (Alazemi S, 2013)

2.6.

Prosedur Pemasangan Selang Dada
Tidak ada kontraindikasi mutak untuk pemasangan selang dada. Sebelum

melakukan pemasangan selang dada, sebaiknya dilakukan identifikasi jika ada
gangguan pada pembekuan darah. Foto toraks harus dilakukan sebelum tindakan
pemasangan selang dada. Kemudian prosedur tindakan harus dijelaskan kepada
pasien dan tindakan dilakukan atas persetujuan pasien. Selain analgesik lokal,
pemberian sedasi dengan opioid atau golongan benzodiazepine untuk pasien
dengan hemodinamik stabil. Reaksi vasovagal biasanya tampak baik pada pasien
usia muda. Pasien yang diberikan obat – obatan sedasi harus terus dipantau dari
segi kardio respiratorinya. (Singh S Gareebo S, 2006)
Ada beberapa hal yang harus diperhatikan dalam pemasangan selang dada.
Yang pertama harus dilakukan adalah menentukan lokasi yang akan dilakukan
pemasangan selang dada.
Dalam ruangan interkostal terdapat otot interkostal, vena, arteri, dan saraf
yang terletak di alur kosta sepanjang batas bawah dari iga superior dari atas ke
bawah dan terletak di antara lapisan kedua dan ketiga dari otot. Untuk
menghindari terkena neurovascular bundle biasanya dianjurkan selang dada
ditempatkan di bagian atas kosta. Namun tusukan dilakukan sedekat mungkin

46

Universitas Sumatera Utara

dengan margin superior dari kosta. Bagaimanapun juga, tusukan harus bisa
dilakukan sedekat mungkin dengan batas superior dari kosta yang lebih rendah
dapat menyebabkan laserasi arteri interkostal. Studi terbaru menunjukkan bahwa
lokasi yang ideal harus 50-60 dari arah menurun kosta. Cedera neurovascula r
bundle tetap mungkin terjadi sebagai komplikasi dari prosedur pemasangan selang

dada. (Light RW, 2011)
British Thoracic Society (BTS) telah merekomendasikan triangle of safety

sebagai lokasi untuk penempatan selang dada. Lokasi ini berbatasan dengan
musculus latissimus dorsi pada bagian anteriornya, lateralnya berbatasan dengan
musculus pectoralis mayor dan garis horizontalnya adalah garis lurus yang ditarik

dari papilla mammae sampai di bawah axilla. Sebuah survei yang dilakukan oleh
resident junior pada landmark anatomi ketika melakukan pemasangan selang dada
menunjukkan bahwa 45% kasus yang dilakukan pemasangan selang dada di luar
area triangle of safety tersebut terdapat error sebanyak 20% .(Havelock T et al,
2010)

gambar 2.8 triangle of safety (Kesieme EB et al, 2012)

47

Universitas Sumatera Utara

gambar 2.9 anatomi dari neurovascular bundle, saraf interkostal, arteri dan vena terletak di bagian
inferior (Roberts JR et al, 2014)

Setelah menentukan lokasi pemasangan, selanjutnya kita akan menentukan
teknik mana yang akan digunakan dalam prosedur pemasangan. Ada beberapa
teknik yang biasa digunakan pada prosedur pemasangan selang dada seperti
teknik blunt dissection, teknik trokar, dan teknik seldinger (menggunakan guidewire). (Havelock T et al, 2010)

2.7.

Teknik pemasangan selang dada

2.7.1. Teknik blunt dissection
Setelah dilakukan anestesi lokal, buatlah insisi di kulit sepangjang 2 cm
yang sejajar dengan ruang interkostal dan harus dilakukan tepat di atas iga untuk
mengurangi risiko cedera neurovaskular. Dengan menggunakan lidokain, lakukan
anestesi lokal dengan infiltrasi di daerah periosteum atas dan bawah tempat
pemasangan selang dada.
Pada metode blunt dissection, dibutuhkan klem Kelly untuk menembus
ruang interkostal. Hal ini harus dilakukan secara perlahan dan pada posisi tertutup
sampai menembus pleura lalu klem dilebarkan untuk membuka pleura parietal dan
otot interkostal. Kemudian masukkan satu jari melalui lubang yang telah dibuat
untuk memastikan posisi yang tepat dan mengurangi perlengketan antara kedua
permukaan pleura sebelum pemasangan selang dada. Klem dijepitkan pada
pangkal selang dada, kemudian diarahkan ke posisi yang diinginkan. Pada kasus
pneumotoraks arahkan ke apikal dan untuk kasus efusi pleura diarahkan ke basal.
(Singh S Gareebo S, 2006)

48

Universitas Sumatera Utara

Teknik blunt dissection ini dapat menyebabkan ketidaknyamanan yang
lebih besar kepada pasien tetapi resiko untuk terjadinya cedera organ lebih kecil. 33
Lokasi selang dada harus dikonfirmasi dengan gambaran kondensasi di
dalam selang dengan respirasi, atau dengan cairan pleura yang dialirkan dalam
selang dada. Selang dada harus dimasukkan dengan lubang proksimal minimal 2
cm melewati batas iga. Posisi selang dada dengan seluruh lubang drainase harus
dinilai dengan palpasi.
Selang dada dijahitkan ke kulit dengan jahitan yang kuat dengan benang
silk 1.0. Jika dilakukan pemasangan large-bore kateter, maka harus dilakukan
jahitan matras. Jahitan purse string tidak lagi dianjurkan karena dapat mengubah
jahitan. Dan hal ini akan meninggalkan bekas luka yang tidak sedap dipandang.
Selang dada harus benar-benar terhubung ke sistem drainase pleura
dengan aliran searah. Ini biasanya dengan system water seal drainage.
Keuntungan dari sistem ini adalah memungkinkan kita untuk mengamati
keluarnya udara rongga pleura pada kasus pneumotoraks dan pengukuran volume
yang akurat pada kasus efusi pleura, tetapi pasien harus dirawat inap dan sangat
membatasi mobilisasi. Kantung penampung cairan dengan katup flutter dan
saluran udara merupakan alternatif yang lebih fleksibel. Beberapa rumah sakit
menggunakan Heimlich flutter valve (one way) dengan selang dada ukuran kecil
untuk kasus simple pneumotoraks. (Singh S Gareebo S, 2006)

2.7.2. Teknik Trokar
Beberapa selang dada masih disertai dengan trokar logam yang dapat
ditarik sehingga ujungnya yang tajam dapat diposisikan ke dalam selang. Trokar
ini kemudian dapat digunakan untuk mengarahkan selang dada ke posisi yang
diinginkan. Namun, trokar ini tidak boleh digunakan untuk membuat saluran ke
dalam rongga pleura. Teknik ini membutuhkan kekuatan yang signifikan dan
dikaitkan dengan kerusakan struktur intratoraks. (Singh S Gareebo S, 2006)
Teknik trokar mungkin akan lebih mudah untuk dilakukan namun akan
meningkatkan resiko cedera paru karena penetrasi yang berlebihan. Pada teknik
trokar, dokter meng-insisi kulit dan memasukkan trokar dengan selang dadanya

49

Universitas Sumatera Utara

secara perlahan dan terkendali hingga mencapai pleura. Kemudian dokter
mencabut trokar dan hanya meninggalkan selang dada terpasang pada lokasi
insisi. (Durai R et al, 2010)
Teknik trokar memiliki beberapa kelebihan yaitu selang dada dapat
terpasang secara cepat dan dapat mengarahkan selang dada ke posisi yang
diinginkan. Namun, kekurangan dari teknik trokar adalah dapat menyebabkan
cedera organ. Pedoman terbaru dari British Thoracic Society dan Advanced
Trauma Life Support merekomendasikan penggunaan trokar untuk pemasangan

selang dada. (John M et al, 2014)
2.7.3. Teknik Seldinger (menggunakan guide-wire)
Selang dada tertentu dapat dipasang dengan metode teknik Seldinger
untuk menghindari teknik blunt dissection. Selang dada jenis ini awalnya
dirancang dalam ukuran kecil (12 F), tetapi sekarang tersedia dalam berbagai
ukuran sampai ukuran 24 F.
Setelah dilakukan anestesi lokal, kemudian lakukan torakosintesis sampai
cairan atau udara teraspirasi dan memastikan ujung selang terletak pada posisi
yang diinginkan di dalam rongga pleura. Sebuah guide-wire kemudian
dimasukkan ke tengah dan bagian atas dipertahankan. Lalu jarum ditarik dan
dibuat sayatan dangkal yang kecil yang kemudian diperbesar dengan dilator.
Setelah itu selang tersebut dimasukkan ke dalam rongga pleura melalui guidewire. (Singh S Gareebo S, 2006)

2.8.

Teknik pemasangan selang dada konvensional

a. Teknik pemasangan selang dada tanpa trokar (Wuryantoro et al, 2011)
1. Lakukan tindakan desinfeksi pada lokasi pemasangan selang dada lalu
tutup dengan duk steril
2. Berikan analgetik (kecuali terdapat kontraindikasi), berikan larutan
anestesi lokal sebanyak 10-20 ml mulai dari subkutan, perikostal,
interkostal hingga pleura parietal lalu lakukan aspirasi cairan atau udara
sehingga dapat menentukan posisi yang tepat untuk insersi selang dada.

50

Universitas Sumatera Utara

3. Buat sayatan di kulit sekitar 2 cm di daerah interkostal sejajar dengan iga,
lalu lakukan diseksi tumpul pada subkutis dan otot M. serratus mengikuti
batas atas iga lalu secara hati – hati menembus otot interkostal dan pleura
baik dengan gunting (dalam posisi tertutup saat memasukkan dan dalam
keadaan terbuka saat ditarik ke luar) maupun dengan jari sehingga cairan
ataupun udara dapat keluar.
4. Lakukan palpasi menggunakan jari untuk merasakan jaringan paru – paru
dan merasakan kemungkinan adanya perlengketan. Putar jari 360 derajat
untuk merasakan adanya perlengketan yang padat.
5. Masukkan selang dada (tanpa menggunakan trokar) menggunakan Kelly
clamp mengarah dorso-apikal atau dorso-caudal pada kasus efusi.Jika

tempat pemasangan selang sudah tepat, maka seharusnya hanya akan
terasa sedikit tahanan. Tahanan yang elastis kadang dapat dirasakan jika
terjadi kingking dan selang dada harus direposisi. Jika kingking terjadi di
luar toraks, maka artinya selang dada terpasang pada tempat yang salah.
6. Fiksasi selang dada ke kulit dengan jahitan
7. Daerah luka dibersihkan dan diberi salep steril agar kedap udara
8. Selang dada dihubungkan dengan botol WSD steril. (gambar 2.9)

51

Universitas Sumatera Utara

gambar 2.10 Prosedur pemasangan selang dada konvensional dengan teknik blunt dissection
(Roberts JR, Custalow CB, Thomsen TW, et al 2014)

b. Teknik pemasangan selang dada konvensional dengan trokar (Wuryantoro et
al, 2011)
1. Lakukan tindakan desinfeksi pada lokasi pemasangan selang dada lalu
tutup dengan duk steril
2. Berikan analgetik (kecuali terdapat kontraindikasi), berikan larutan
anestesi lokal sebanyak 10-20 ml mulai dari subkutan, perikostal,

52

Universitas Sumatera Utara

interkostal hingga pleura parietal lalu lakukan aspirasi cairan atau udara
sehingga dapat menentukan posisi yang tepat untuk insersi selang dada.
3. Buat sayatan di kulit sekitar 2 cm di daerah interkostal sejajar dengan iga,
lalu lakukan diseksi tumpul pada subkutis dan otot M. serratus mengikuti
batas atas iga lalu secara hati – hati menembus 1 otot interkostal dan
pleura.
4. Trokar ditusukkan melalui lubang insisi, menembus pleura parietalis
5. Trokar ditarik keluar sedikit agar tidak mencederai paru – paru. Kemudian
selang dada diarahkan posisinya dan diatur kedalamannya sesuai dengan
tebal dinding dada yang sudah diukur sebelumnya.
6. Fiksasi selang dada ke kulit
7. Daerah luka dibersihkan dan diberi salep steril agar kedap udara
8. Selang dada disambungkan dengan botol WSD steril. (gambar 2.10)

1

2

3

4

53

Universitas Sumatera Utara

5

6

8

7

9

gambar 2.11 Prosedur pemasangan selang dada konvensional dengan teknik trokar (Wuryantoro,
Nugroho A, Saunar RY, 2011)

2.9.

Teknik pemasangan pigtail kateter

a. Teknik pemasangan pigtail kateter menggunakan trokar (Alazemi S, 2013)
1. Menjelaskan pros