PENGARUH PEMAHAMAN AGAMA TERHADAP PERILAKU SANTRI DI MADRASAH DINIYAH TARBIYATUL ULUM NGLEBENG PANGGUL TRENGGALEK - Institutional Repository of IAIN Tulungagung

BAB II
LANDASAN TEORI
A. Pemahaman Agama
1. Pengertian Pemahaman
Pemahaman adalah kemampuan seseorang dalam mengartikan,
menafsirkan, menterjemahkan atau menyatakan sesuatu dengan caranya
sendiri tentang pengetahuan yang pernah diterima.1
Pemahaman berasal dari kata paham yang artinya mengerti benar
dalam suatu hal.2 Sedangkan menurut Anas Sudjiono pemahaman adalah
kemampuan seseorang untuk mengerti sesuatu setelah sesuatu itu
diketahui dan diingat. Dengan kata lain, memahami adalah mengetahui
tentang sesuatu dan dapat melihatnya dari berbagai segi. Pemahaman
merupakan jenjang kemampuan berpikir yang setingkat lebih tinggi dari
ingatan dan hafalan.3
Berdasarkan dari pengertian di atas, dapat disimpulkan bahwa
pemahaman adalah sebuah kemampuan yang dimiliki oleh seseorang
dalam mengartikan atau menerjemahkan sesuatu dengan caranya sendiri.
Mereka dapat mengartikan apa yang mereka peroleh dari pengetahuan
yang mereka terima. Jadi, sebuah pemahaman itu memiliki tingkat
kemampuan yang lebih tinggi dibandingkan dengan hafalan atau ingatan.
1


http://nayawati.blogspot.com/2010/04/pengaruh-pemahaman-ajaran-agama-islam.html
diakses pada Jum’at, 03 Februari 2017 pukul 12.40 WIB
2
Departemen Pendidikan Nasional, Kamus Besar Bahasa Indonesia, (Jakarta : Balai
Pustaka, 2005), hal.811
3
Anas Sudjiono, Pengantar Evaluasi Pendidikan, (Jakarta : PT Grafindo Persada, 1996),
hal. 50

13

14

2. Pengertian Agama
Menurut Elizabeth K. Nottingham dalam buku Jalaludin, agama
adalah gejala yang begitu sering “terdapat di mana-mana”, dan agama
berkaitan dengan usaha-usaha manusia untuk mengukur dalamnya makna
dari keberadaan diri sendiri dan keberadaan alam semesta. Selain itu
agama dapat membangkitkan kebahagiaan batin yang paling sempurna

dan juga perasaan takut dan ngeri. Meskipun perhatian tertuju kepada
adanya suatu dunia yang tak dapat dilihat (akhirat), namun agama
melibatkan dirinya dalam masalah-maslaah kehidupan sehari-hari di
dunia.4
Menurut Goode dalam buku Bryan S. Turner secara umum,
perdebatan tentang definisi afama bisa dilihat dari berbagai sisi dasar
konseptual. Misalnya, ada perbedaan mendasar antara perspektif
reduksionis dengan nom-reduksionis. Perspektif yang pertama cenderung
melihat agama sebagai epifenomena, sebuah refleksi atau ekpresi dari sisi
yang lebih dasariah dan permanen yang ada dalam prilaku individu dan
masyarakat manusia. Penulis-penulis semacam Pareto, Lenin, Freud dan
Engels memnadang agama sebagai produk atau refleksi mental dari
kepentingan ekonomi, kebutuhan biologis atau pengalaman ketertindasan
kelas. Implikasi pandangan reduksionis ini adalah kesimpulan yang
mengatakan keyakinan-keyakinan religius sama sekali keliru, karena
yang diacu adalah kriteria-kriteria saintifik atau positifistik. Oleh karena

4

Jalaludin, Psikologi Agama, (Jakarta : PT. RajaGrafindo Persada, 2012), hal.317


15

itu memegang keyakinan religius adalah tindakan irrasional, karena yang
dirujuk adalah kriteria logis pemikiran. Implikasi terakhir reduksionisme
kaum positivistik adalah bahwa agama dilihat sebagai aktifitas kognitif
nalar individu yang, karena satu dan lain sebab, telah salah kaprah
memahami hakikat kehidupan empiris dan sosial.
Sedangkan menurut Max Muller dalam buku Allan Menzies
mengatakan bahwa “Agama adalah suatu keadaan mental atau kondisi
pikiran yang bebas dari nalar dan pertimbangan sehingga menjadikan
manusia mampu memahami Yang Maha Tak Terbatas melalui berbagai
nama dan perwujudan. Tanpa kondisi seperti ini . . . . tidak aka nada
agama yang muncul”.5
Definisi ini mengindikasikan bahwa hanya ada satu cara agar
manusia bisa meyakini keberadaan Yang Mahatinggi, yakni dengan
menemukan sesuatu yang bisa membantu mereka melewati batasanbatasan nalar dan yang tidak mereka pahami melalui sebuah proses
intelektual. Definisi Muller yang mengesampingkan sisi praktikal dan
elemen pemujaan dari agama ini bisa dibilang sangat fatal. Hal ini karena
sebuah agama tidak akan muncul tanpa ada keduanya. Pada karya-karya

berikutnya, Muller mengoreksi definisinya tersebut setelah mendapat
kritikan dari sejumlah ilmuwan. Ia memodifikasi definisi tersebut
menjadi, “Agama terbentuk dalam pikiran sebagai sesuatu yang tak
tampak yang dapat memengaruhi karakter moral dari seorang manusia”.

5

Allan Menzies, Sejarah Agama Agama, (Yogyakarta : Forum, 2014), hal.11

16

Dalam definisi ini, Muller mengakui bahwa pemujaan atau kegiatankegiatan praktis di mana manusia menunjukkan karakter moralnya dalam
bentuk ketakutan, rasa terima kasih, cinta, rasa bersalah ini semua adalah
bagian esensial dari agama, dan persepsi manusia tentang sesuatu yang
tidak terbatas itu hanyalah salah satu sisi dari agama. Namun demikian,
definisi Muller ini telah berpengaruh terlampau besar dalam sejarah
kajian kita ini sehingga tidak mungkin bagi kita untuk mengabaikannya
begitu saja.6
Agama dalam kehidupan individu berfungsi sebagai suatu sistem
nilai yang memuat norma-norma tertentu. Secara umum norma-norma

tersebut menjadi kerangka acuan dalam bersikap dan bertingkah laku
agar sejalan dengan keyakinan agama yang dianutnya. Sebagai sistem
nilai agama memiliki arti yang khusus dalam kehidupan individu serta
dipertahankan sebagai bentuk ciri khas.7
Agama juga berpengaruh sebagai motivasi dalam mendorong
individu untuk melakukan suatu aktivitas, karena perbuatan yang
dilakukan dengan latar belakang keyakinan agama dinilai mempunyai
unsur kesucian, serta ketaatan. Keterkaitan ini akan memberi pengaruh
diri seseorang untuk berbuat sesuatu. Sedangkan agama sebagai nilai etik
karena dalam melakukan sesuatu tindakan seseorang akan terikat kepada

6
7

Ibid., hal.12
Ibid., hal.318

17

ketentuan antara mana yang boleh dan mana yang tidak boleh menurut

ajaran agama yang dianutnya.8
Para cendikiawan yang lain telah menjelaskan agama sebagai
bentuk tindakan yang didorong oleh keingintahuan pikiran manusia,
dorongan yang membuat manusia tergerak untuk mencari tahu penyebab
dari sesuatu, terutama penyebab atau pencipta pertama dari segala
sesuatu. Di sinilah kita sampai pada beragam fitur agama ; agama selalu
ditunjukan untuk dapat menjelaskan tentang dunia, dan untuk
menyatukan kembali pikiran manusia dengan cara membersihkannya dari
berbagai persoalan yang mendera. Agama juga membimbing manusia
melalui suatu pandangan yang memungkinkannya memandang seluruh
bagian dunia dan kehidupan sebagaimana mestinya. Definisi ini juga
belum menjelaskan apa itu yang dimaksud dengan agama. Rasa
penasaran dan keinginan untuk mencari tahu tidak sekedar bersifat
religius, tapi lebih cenderung bersifat filsafati. Motif-motif selain itu
memiliki kaitan dengan ilmu pengetahuan yang muncul sejak manusia
pertama kali melakukan persembahan. Rasa ingin tahu mendorong
manusia untuk mencari tahu apakah penyebab pertama dari segalanya ;
dalam agama dia menemukan sesuatu yang bisa menjanjikan penjelasan
tentang dunia kepadanya, dan yang dapat menjelaskan hal itu kepada
dirinya sendiri. Tapi, butuh lebih dari sekedar rasa ingin tahu untuk

membuat manusia menemukan bahwa awal mula dari segalanya -ketika

8

Ibid., hal.321

18

dia telah berhasil menemukannya- adalah Tuhan, yang kemudian
membuatnya melakukan persembahan dan memberikan pengurbanan.
Lantas, apa motif dibalik pemujaan atau peribadatan? Tak diragukan lagi,
kekaguman selalu muncul dalam ritual pemujaan, tapi apa sesungguhnya
yang ada di balik kekaguman ini? Tidak ada definisi tentang agama yang
dianggap cukup memadai untuk menjawab motif yang mana itu. Inilah
inti masalahnya. Harus ada sebuah kualitas moral sekaligus intelektual
yang kemudian menjadi karakteristik dari agama. Apakah agama itu jika
dipandang dari segi moralitas? Praktik-praktik pemujaan mungkin bisa
dipilah-pilih berdasarkan kualitas moral yang berupaya ditunjukkan
melalui ritual-ritual tersebut. Motif-motif yang paling bertolak belakang,
yakni kebanggaan, kemarahan, belas dendam, rasa takut, kelaparan, atau

rasa bersalah; semuanya dapat dijumpai dalam ritual pemujaan. Tetapi
jika agama adalah wujud rasa sentimen sekaligus tindak-tanduk manusia,
ritual-ritual pemujaan seperti ini belum bisa dibandingkan dengan agama,
juga tidak bisa digunakan untuk menjawab apa definisi agama yang
tengah kita cari.9
Definisi ini menimbulkan pertentangan yang beragam. Definisi ini
mengidikasikan bahwa hanya ada satu cara agar manusia bisa meyakini
keberadaan Yang Mahatinggi, yakni dengan menemukan sesuatu yang
bisa membantu mereka melewati batasan-batasan nalar dan yang tidak
mereka pahami melalui sebuah proses intelektual. Definisi Muller yang

9

Allan Menzies, Sejarah Agama Agama …, hal.12-14

19

mengesampingkan sisi praktikal dan elemen pemujaan dari agama ini
bisa dibilang sangat fatal. Hal ini karena sebuah agama tidak akan
muncul


tanpa

keduanya.

Pada

karya-karya

berikutnya,

Muller

mengkoreksi definisnya tersebut setelag mendapat kritikan dari
sejumblah ilmuwan. Ia memodifikasinya menjadi seperti ini : “Agama
terbentuk dalam pikiran sebagai sesuatu yang tak tampak yang dapat
mempengaruhi karakter moral dari seorang manusia”. Dalam definisi in,
Muller mengakui bahwa pemujaan atau kegiatan-kegiatan praktis di
mana manusia menunnukkan karakter moralnya dalam bentuk ketakutan,
rasa terima kasih, cinta, rasa bersalah, semuanya adalah esesial dari

agama.10
Berdasarkan firman Allah SWT pada Q.S. Al-Baqarah ayat 256
yang berbunyi :

‫لا إكراه في الدين قد تبين الرشد من الغي‬
Artinya :
“Tidak ada paksaan untuk (memasuki) agama (Islam);
sesungguhnya telah jelas jalan yang benar daripada jalan yang
sesat.” (Surat al-Baqoroh: 256)11
Berdasarkan penjelasan di atas dapat disimpulkan bahwa agama
mempunyai makna yang kuat. Agama dijadikan pedoman dalam
berperilaku dengan orang lain. Tetapi agama yang dijadikan pedoman
adalah agama yang sesuai dengan keyakinan dari manusia itu sendiri.
10

Ibid., hal.14
Departemen Agama RI, Mushaf Al-Qur’an Terjemah Edisi Tahun 2002, (Depok : AlHuda, 2005), hal.44
11

20


Selain itu, agama juga dapat mendorong manusia dalam melakukan hal
yang positif yang sesuai dengan ajaran yang mereka dapat.
3. Pemahaman Agama
Kesempurnaan ajaran Islam bukan sekedar penelian subyektif,
melainkan diakui secara obyektif oleh para cendikiawan non muslim,
seperti yang dinyatakan oleh V.N.D.Dean bahwa :12
“Islam is complete integration of religion, political system, way of
life and insterpretation of history”, Islam adalah perbedaan yang
sempurna antara agama, sistem politik, pandangan hidup serta
penafsiran sejarah.
Allah SWT juga berfirman pada Q.S. Al-Ma’idah ayat 3 yang
berbunyi :13

‫ض‬

‫ْ أ ْ ْ ع ْ ْ ْع‬

ْ

ْ ْ ‫اْ ْ أ‬
‫س‬
ْ ْ‫ا‬

Artinya :
“Pada hari ini Aku telah sempurnakan bagi kalian agama kalian,
dan Aku telah cukupkan nikmat-Ku atas kalian dan Aku pun telah
ridha Islam menjadi agama bagi kalian.” (Q.S. Al-Ma’idah : 3)
Selain itu juga dalam hadist riwayat muslim dijelaskan, yang
berbunyi :14

َ‫س ْ اه ص‬
ْ ‫ش‬
12

ْ ‫حْ ج ْس ع‬

ِّ ‫ض ا‬

ْ ‫ج ش‬

ْ : ‫ض ع ْ أ ْض ق‬

‫ع ْع‬

ْ ‫ْ ْطعع‬

ْ ‫اه ع‬

‫سَ ا‬

Musthafa Kamal Pasha, Akidah Islam, (Jogjakarta : Citra Karsa Mandiri, 2003), hal. 4
Departemen Agama RI, Mushaf Al-Qur’an Terjemah …, hal.107
14
Muhyiddin Yahya bin Syaraf Nawawi, Hadits Arba’in Nawawiya, (Islamhouse.com,
2010), hal.9
13

21

‫ ح َ ج س‬، ‫َ أح‬

‫ا ْع ف‬

ْ ْ

ْ ْ

‫ ف‬، ‫ع اْإسْا‬

‫ا َّأث‬، ‫ع ْ ف‬
ْ‫فأس‬

ْ ْ‫ح َ أخ‬

‫س‬

‫اه ع‬

‫اَ ِ ص‬

: ‫ق‬

ْ ‫ف‬

‫ضع َّ ْ ع‬

‫اه ع‬

‫س ْ اه ص‬

ْ‫ّ أ‬
ْ ْ ‫ اْإسا أ‬: ‫س‬
َّ ‫ا‬

ْ

‫ْ ا َّا‬

، ْ‫ ص ق‬: ‫ْ س ْا ق‬
ْ ْ ‫أ‬: ‫ق‬
. ِ‫ش‬
‫ا‬

ْ‫خ‬

ْ

‫اَ اه أ َ ح َ ا س ْ اه‬

ْ‫اسْ طع‬

ْ ‫ع اْإ‬
ْ

‫ْ ف‬

‫ع ْأ‬

‫ا َّ ئ ؟‬

ْ ‫أ‬

‫ع‬

ّْ
ْ ‫فعج‬
‫ائ‬

‫ه‬

ْ ْ‫ ق فأخ‬، ‫ق ص ْق‬

ْ ْ‫ فأخ‬: ‫ ق‬. ‫ا‬
‫ا ْحّ ا ْع ا ا ْع‬
‫ ع‬: ‫ ثَ ق‬، ً

‫ا‬

‫ّْأ‬

‫س‬

ْ ْ‫ ق فأخ‬. ‫ا َّ ئ‬

‫ّء ط‬
َ ‫عءا‬

‫ض‬

ْ ْ‫ فأخ‬: ‫ ق‬، ‫ّ ِق‬

َ ‫ أ ْ عْ اه أ‬: ‫ ق‬، ّْ‫اْإح‬

ْ ‫ق أ‬، ‫ا‬

ْ ْ ‫حَّ ا‬

‫اْ ْ ا خ‬

: ‫ق‬، ‫ّع‬
َ ‫ع ا‬

‫ ا‬، ‫ّ ْع‬
َ ‫س ا ا‬

َ‫ْ ا ف‬
‫ع‬
ْ‫أ‬

ْ ْ ‫ف‬

ْ ‫ا ْ ّْ ْ ع‬
ْ‫أ‬

َ

‫اْأ‬

ّْ ‫ ث َ ا ْط ق ف‬، ْ ْ ‫ا‬

. ْ ْ ْ ِ‫ ق ف َ ْ ج ْ أ ـ ْ ع‬. ْ‫س ْ أع‬

‫ اه‬: ْ ‫ق‬

[ ّ ‫ا‬

]

Artinya :
“Dari Umar r.a juga dia berkata : Ketika kami duduk-duduk di sisi
Rasulullah SAW suatu hari tiba-tiba datanglah seorang laki-laki yang
mengenakan baju yang sangat putih dan berambut sangat hitam, tidak
tampak padanya bekas-bekas perjalanan jauh dan tidak ada seorang pun
di antara kami yang mengenalnya. Hingga kemudian dia duduk di
hadapan Nabi lalu menempelkan kedua lututnya kepada kepada lututnya

22

(Rasulullah SAW) seraya berkata : “Ya Muhammad, beritahukan akau
tentang Islam?”, maka bersabdalah Rasulullah SAW : “Islam adalah
engkau bersaksi bahwa tidak ada Tuhan yang disembah selain Allah, dan
bahwa Nabi Muhammad adalah utusan Allah, engkau mendirikan sholat,
menunaikan zakat, puasa Ramdhan dan pergi haji jika mampu”,
kemudian dia berkata :”Anda benar”. Kami semua heran, dia yang
bertanya dia pula yang membenarkan. Kemudian dia bertanya lagi:
“Beritahukan aku tentang Iman”. Lalu beliau bersabda : “Engkau
beriman kepada Allah, malaikat-malaikat-Nya, kitab-kitab-Nya, rasulrasul-Nya dan hari akhir dan engkau beriman kepada takdir yang baik
maupun yang buruk”, kemudia dia berkata : “Anda benar”. Kemudian
dia berkata lagi : “Beritahukan aku tentang ihsan”. Lalu beliau
bersabda : “Ihsan adalah engkau beribadah kepada Allah seakan-akan
engkau melihatnya, jika engkau tidak melihatnya maka Dia melihat
engkau”. Kemudian dia berkata : “Beritahukan aku tentang hari kiamat
(kapan kejadiannya)”. Beliau bersabda “ “Yang ditanya tidak lebih tahu
dari yang bertanya”. Dia berkata : “Beritahukan aku tentang tandatandanya”, beliau bersabda : “Jika seorang hamba melahirkan tuannya
dan jika engkau melihat seorang bertelanjang kaki dan dada, miskin dan
penggembala domba, (kemudian_ berlomba-lomba meninggikan
bangunannya”. Kemudia orang itu berlalu dan aku beridam sebentar.
Kemudian beliau (Rasulullah) bertanya : “Tahukan engkau siapa yang
bertanya?”, aku berkata : “Allah dan Rasul-Nya lebih mengetahui”.
Beliau bersabda : “Dia adalah Jibril yang datang kepada kalian
(bermaksud) mengajarkan agama kalian”. (HR. Muslim)
Agama Islam yang kandungan ajarannya sangat sempurna tetapi
tidak berbelit-belit itu ditegakkan di atas tiga pilar utama. Dalam sebuah
hadist yang diriwayatkan oleh Umar bin Khatab r.a Rasulullah saw
diterangkan bahwa ajaran Islam memuat tiga ajaran dasar, yaitu Iman.
Ikhsan, dan Islam. Ketiga ajaran ini pada hakekatnya merupakan satu
kesatuan yang bulat dan utuh, yang tidak dapat dipisahkan satu sama
lainnya.15

15

Musthafa Kamal Pasha, Akidah Islam …, hal. 4

23

KH Anwar Musadad dalam menggambarkan padunya ketiga ajaran
Islam di atas diumpamakan semisal pohon yang tumbuh teramat
suburnya dengan buahnya yang sangat lebat. Pohon seperti ini jelas
pohon yang menemukan tanah yang cocok, dan tumbuh dengan kokoh
karena akarnya menghunjam ke segala penjuru. Turusnya tampak sehat
dan kuat tak tergoyahkan oleh hembusan angin puyuh, dan rantingnya
merimbun lebat dengan buah yang lezat, terasa teduh bagi siapapun yang
bernaung di bawahnya. Kalau Iman semisal akarnya dan tauhid sebagai
akar penunjangnya, maka Islam semisal batang, dahan, dan rantingnya
dan Ihsan serupa dengan buahnya.16
Masalah iman memuat ajaran-ajaran pokok yang bertalian dengan
persoalan keyakinan bathin beragama, antara lain beriman secara benar
kepada Allah, hari akhir, malaikat, Nabi dan Rasul-Nya, kitab suci serta
taqdir dan qadla’-Nya.17
Sedangkan yang dimaksud dengan Islam dalam hadist riwayat
Umar bin Khatab di atas bukan Islam dalam pengertian ad-die:n atau
agama, tetapi lebih menunjuk pada pengertian ibadah. Masalah ibadah
memuat persoalan yang berhubungan dengan aturan dan tata cara yang
mengatur bagaimana seseorang hamba menghubungkan dirinya dengan
Tuhan, bagaimana cara-caranya mendekatkian diri (taqarrub) kepada-

16
17

Ibid., hal.5
Ibid.

24

Nya. Ajaran yang bersangkutan dengan masalah ini antara lain seperti
aturan seputar masalah thaharah, shalat, zakat, puasa, dan haji.18
Secara keseluruhan, ajaran Islam sangat menekankan masalah
kebagusan dan kesucian bathin atau ihsan, baik sikap batin dalam rangka
usaha menghubungkan dirinya kepada Allah, kesucian batin dalam
hubungannya dengan pergaulan sesama manusia, kesucian batin dengan
dirinya sendiri ataupun kesucian batin dalam hubungannya dengan
lingkungan sekitar.19
Agama Islam sangat menekankan kepada umatnya agar memiliki
akhlak, perangai, budi pekerti yang luhur, mulia lagi terpuji (akhlak
karimah / akhlak mahmudah). Karena hanya dengan perangai yang bagus
ini akan menjadi daya perekat dalam tata pergaulan dengan sesamanya,
dan lebih jauh lagi ia menjadi kunci untuk mendekatkan diri kepada
Allah. Penegasan mengenai arti pentingnya peranan akhlak ini dapat
dibuktikan dari pernyataan Rasullullah SAW sendiri bahwa hakekat
Allah mengutus dirinya terjun di tengah-tengah umat itu tidak lain
kecuali untuk membimbing dan menyempurnakan akhlak umat manusia
(Innama: bu’itstu liutammima maka;rima al’akhla;q). Sebagai bukti
yang mendukung pernyataan Rasullullah di atas maka sebanyak 80% dari
pada kandungan al-Qur’an memuat ajaran ihsan, akhlak atau moral.20
Jadi pemahaman agama itu dapat dilihat ketika mereka beriman,
yaitu mengakui adanya Allah, Rasulullah, malaikat, kitab Allah, hari
18

Ibid., hal.6
Ibid.
20
Ibid.
19

25

akhir, dan qada’ dan qadhar. Selain itu ketika mereka dapat menerapkan
lima rukun islam. Jika mereka dapat melakukan ketiga hal tersebut,
mereka dapat dikatakan bahwa mereka dapat memahami tentang agama.
B. Perilaku Santri
1. Pengertian Perilaku
Perilaku (behavior) adalah sesuatu yang dikerjakan atau dikatakan
oleh seseorang. Istilah lain yang identik dengan perilaku adalah aktivitas,
respons, kinerja,dan reaksi.21
Perilaku atau aktivitas-aktivitas tersebut dalam pengertian luas,
yaitu perilaku yang menampak (overt behavior) dan atau perilaku yang
tidak menampak (inert behavior), demikian pula aktivitas-aktivitas
tersebut di samping aktivitas motorik juga termasuk aktivitas emosional
dan kognitif.22
Menurut Muhibbin Syah dalam Psikologi belajar menjelaskan
bahwa, perilaku adalah segala manifestasi hayati atau manifestasi hidup
individu, yaitu semua ciri-ciri yang menyatakan bahwa individu manusia
itu hidup. Perilaku ini bukan hanya mencakup hal-hal yang dapat diamati
(over) tetapi juga hal-hal yang tersembunyi (covert).23
Dari pengertian di atas dapat disimpulkan bahwa yang dimaksud
dengan perilaku adalah segala kegiatan manusia yang disadari maupun
tidak disadari. Salah satunya adalah di dalam mereka berbicara, berjalan,
21

J. Tombokan Runtukahu, Analisis Perilaku Terapan untuk Guru, (Jogjakarta : Ar-Ruzz
Media, 2013), hal. 20
22
Bimo Walgito, Psikologi Sosial (Suatu Pengantar), (Yogyakarta : CV. Andi Offset,
2003), hal.15
23
Muhibbin Syah, Psikologi Belajar …, hal.152

26

cara mereka melakukan sesuatu, dan cara mereka berinteraksi dengan
orang lain.
2. Pembentukan Perilaku
Beberapa pembentukan perilaku antara lain :24
a. Cara pembentukan perilaku dengan kondisioning atau kebiasaan
Salah satu cara pembentukan perilaku dapat ditempuh dengan
kondisioning atau kebiasaan. Dengan cara membiasakan diri untuk
berperilaku seperti yang diharapkan, akhirnya akan terbentuklah
perilaku tersebut. Misal dibiasakan bangun pagi, atau menggosok
gigi sebelum tidur, mengucapkan terima kasih bila diberi sesuatu
oleh orang lain, membiasakan diri untuk datang tidak terlambat di
kantor dan sebagainya. Cara ini didasarkan atas teori belajar
kondisioning baik yang dikemukakan oleh Pavlov maupun oleh
Thorndike dan Skinner. Walaupun antara Pavlov, Thorndike dan
Skinner terdapat pendapat yang tidak seratus persen sama, namun
para ahli tersebut mempunyai dasar pandangan yang tidak jauh
berbeda satu dengan yang lain. Kondisioning Pavlov dikenal
dengan kondisioning klasik, sedangkan kondisioning Thorndike
dan Skinner dikenal sebagai kondisioning operan. Walaupun
demikian ada yang menyebut kondisioning Thorndike sebagai
kondisioning instrumental, dan kondisioning Skinner sebagai
kondisioning operan. Seperti telah dipaparkan di depan atas dasar

24

Bimo Walgito, Psikologi Sosial …, hal.18-19

27

pandangan ini untuk pembentukan perilaku dilaksanakan dengan
kondisioning atau kebiasaan.
b. Pembentukan perilaku dengan pengertian (insight)
Di samping pembentukan perilaku dengan kondisioning atau
kebiasaan,

pembentukan

perilaku

dapat

ditempuh

dengan

pengertian atau insight. Misal datang kuliah jangan sampai
terlambat, karena hal tersebut dapat mengganggu teman-teman
yang lain. Bila naik motor harus pakek helm, karena helm tersebut
untuk

keamanan

diri,

dan

masih

banyak

contoh

untuk

menggambarkan hal tersbut. Cara ini berdasarkan atas teori belajar
kognitif, yaitu belajar dengan disertai adanya pengertian. Bila
dalam eksperimen Thordike dalam belajar yang dipentingkan
adalah soal latihan, maka dalam eksperimen Kohler dalam belajar
yang penting adalah pengertian atau insight. Kohler adalah salah
satu tokoh dalam psikologi Gestalt dan termasuk dalam aliran
kognitif.
c. Pembentukan perilaku dengan menggunakan model
Di samping cara-cara pembentukan perilaku seperti tersebut
di atas, pembentukan perilaku masih dapat ditempuh dengan
menggunakan model atau contoh. Kalau orang bicara bahwa orang
tua sebagai contoh anak-anaknya, pemimpin sebagai panutan yang
dipimpinnya, hal tersebut menunjukkan pembentukan perilaku
dengan menggunakan model. Pemimpin dijadikan model atau

28

contoh oleh yang dipimpinnya. Cara ini didasarkan atas teori
belajar sosial (social learning theory) atau observational learning
theory yang dikemukakan oleh Bandura dalam buku Bimo
Walgino.
3. Faktor-faktor yang mempengaruhi perilaku
Pada dasarnya manusia itu sudah mempunyai bakat sejak lahir,
sedangkan dalam perkembangannya tergantung pada pendidikan yang
mereka dapat. Terdapat beberapa faktor-faktor yang mempengaruhi
perilaku manusia, antara lain :
a. Faktor internal, tingkah laku manusia adalah corak kegiatan yang
sangat dipengaruhi oleh faktor yang ada dalam dirinya. Faktorfaktor intern yang dimaksud antara lain jenis ras/keturunan, jenis
kelamin, sifat fisik, kepribadian, bakat, dan intelegensia.
b. Faktor eksternal, faktor-faktor ini antara lain pendidikan, agama,
kebudayaan, lingkungan, dan sosial ekonomi.25
4. Teori Perilaku
Fokus teori perilaku adalah mengubah perilaku manusia dengan
asumsi bahwa penjelasan perilaku dapat diprediksi. Hubungan fungsional
akan terjadi dan generalisasi diupayakan secara jelas sehingga dapat
mengurangi perilaku menyimpang dan meningkatkan perilaku yang tidak

25

http://syakira-blog.blogspot.co.id/2008/11/faktor-faktor-yang-mempengaruhi.html
diakses pada hari Rabu, 3 Mei 2017 pukul 20.40 WIB

29

menyimpang. Teori perilaku menekankan pada perubahan perilaku dan
bukan pada mendiskusikan perilaku.26
Teori perilaku terkait dengan stimulus (jamak stimuli). Stimulus
adalah variabel lingkungan menyangkut kondisi atau perubahan dalam
dunia fisik. Dimensi fisik termasuk berat, warna, ukuran, insensitas,
kesemuanya dapat dijelaskan, diukur, dimanipulasi sesuai dimensidimensi yang ada. Dengan kata lain, stimuli adalah objek atau peristiwa
yang berdampak pada seseorang. Stimuli meliputi stimuli di dalam diri
(kesakitan, tekanan hidup, dan kemarahan) dan di luar seseorang (orang
lain, tempat, benda, dan suara)27
Perilaku manusia itu didorong oleh motif tertentu sehingga manusia
itu berperilaku. Dalam hal ini ada beberapa teori, di antara teori-teori
tersebut dapat dikemukakan :
a. Teori insting
Teori ini dikemukakan oleh McDougall sebagai pelopor dan
psikologi sosial, yang menerbitkan buku psikologi sosial yang
pertama kali, dan mulai saat itu psikologi sosial menjadi
pembicaraan yang cukup menarik. Menurut McDougall perilaku itu
disebabkan karena insting, dan McDougall mengajukan suatu
daftar insting. Insting merupakan perilaku yang innate, perilaku
yang bawaan, dan insting akan mengalami perubahan karena
pengalaman. Pendapat McDougall ini mendapat tanggapan yang
26
27

J. Tombokan Runtukahu, Analisis Perilaku …, hal. 20
Ibid.

30

cukup tajam dari F. Allport yang menerbitkan buku Psikologi
Sosial pada tahun 1924, yang berpendapat bahwa perilaku manusia
itu disebabkan karena banyak faktor, termasuk orang-orang yang
ada di sekitarnya dengan perilakunya.
b. Teori dorongan (drive theory)
Teori ini bertitik tolak pada pandangan bahwa organisme itu
mempunyai dorongan-dorongan atau drive tertentu. Dorongandorongan ini berkaitan dengan kebutuhan-kebutuhan organisme
yang mendorong organisme berperilaku. Bila organisme itu
mempunyai

kebutuhan,

dan

organisme

ingin

memenuhi

kebutuhannya maka akan terjadi ketegangan dalam diri organisme
itu. Bila organisme berperilaku atau reduksi dari dorongandorongan tersebut. Karena itu teori ini menurut Hull dalam buku
Bimo Walgito juga disbut teori drive reduction.28
c. Teori insentif (incentive theory)
Teori ini bertitik tolak pada pendapat bahwa perilaku
organisme itu disebabkan karena adanya insentif. Dengan insentif
akan mendorong organisme berbuat atau berperilaku. Insentif atau
juga disebut sebagai reinforcement ada yang positif dan ada yang
negatif. Reinforcement yang positif adalah berkaitan dengan
hadiah, sedangkan reinforcement yang negatif berkaitan dengan
hukuman. Reinforcement yang positif akan mendorong organisme

28

Bimo Walgito, Psikologi Sosial …, hal.19-21

31

dalam berbuat, sedangkan reinforcement yang negatif akan dapat
menghambat dalam organisme berperilaku. Ini berarti bahwa
perilaku timbul karena adanya insentif atau reinforcement. Perilaku
semacam ini dikupas secara tajam dalam psikologi belajar.
d. Teori atribusi
Teori ini ingin menjelaskan tentang sebab-sebab perilaku
orang. Apakah perilaku itu disebabkan oleh diposisi internal
(missal motif, sikap, dan sebagainya) ataukah oleh keadaan
eksternal. Teori ini dikemukakan oleh Fritz Heider dalam buku
Bimo Walgito dan teori ini menyangkut lapangan psikologi sosial.
Pada dasarnya perilaku manusia itu dapat atribusi internal, tetapi
juga dapat atribusi eksternal.
Atribusi adalah memperkirakan apa yang menyebabkan
orang lain itu berperilaku tertentu. Menurut Heider, setiap individu
pada dasarnya adalah seseorang ilmuwan semu (pseudo scientist)
yang berusaha untuk mengerti tingkah laku orang lain dengan
mengumpulkan dan memadukan potongan-potongan informasi
sampai mereka tiba pada sebuah penjelasan masuk akal tentang
sebab-sebab orang lain bertingkah laku tertentu.29
Atribusi internal adalah jika perilaku seseorang yang diamati
disebabkan oleh faktor-faktor internal, misalnya sikap, sifat-sifat
tertentu, ataupun aspek-aspek internal yang lain. Contoh, jika anak
29

WIB

http://igalbersaudara.blogspot.com/ diakses pada hari Kamis, 13 April 2017 pukul 21.08

32

memperoleh nilai raport yang jelek, maka sebabnya dapat saja
karena anak itu malas, terlalu banyak main, atau bodoh.30
Sedangkan atribusi eksternal adalah perilaku sosial yang
diamati disebabkan oleh keadaan atau lingkungan di luar diri orang
yang bersangkutan. Contoh, jika anak memeproleh nilai raport
yang jelek, maka sebabnya dapat saja karena ada masalah dengan
lingkungannya, orang tuanya bercerai, hubungan yang jelek dengan
orang tua, ditekan oleh teman-teman, ataupun gurunya yang tidak
menarik.31
Secara umum, kita dapat mengatribusi suatu tindakan
seseorang dikarenakan oleh daya personal yang hanya jika
seseorang yang kita persepsi tersebut mempunyai kemampuan
dalam bertindak, mempunyai niat dalam melakukan, dan berusaha
untuk menyelesaikan tindakannya tersebut. Jika demikian, kita
menganggap bahwa tindakan tersebut berhubungan dengan
sifatnya. Dan di sisi lain kita menganggap bahwa tindakan tersebut
juga sebagai daya lingkungan.
e. Teori kognitif
Apabila seseorang harus memilih perilaku mana yang mesti
dilakukan, maka yang bersangkutan akan memilih alternatif
perilaku yang akan membawa manfaat yang sebesar-besarnya bagi
yang bersangkutan. Ini yang disebut sebagai model suvjective
30

http://puspareni.blogspot.com/2012/05/atribusi.html diakses pada hari Sabtu, 15 April
2017 pukul 12.12 WIB.
31
Ibid.

33

expexted utility (SEU). Dengan kemampuan memilih ini berarti
faktor berpikir berperan dalam menentukan pemilihannya. Dengan
kemampuan berpikir seseorang akan dapat melihat apa yang telah
terjadi sebagai bahan pertimbangannya di samping melihat apa
yang dihadapi pada waktu sekarang dan juga dapat melihat ke
depan apa yang akan terjadi dalam seseorang bertindak. Dalam
model SEU kepentingan pribadi yang menonjol. Tetapi dalam
seseorang berperilaku kadang-kadang kepentingan pribadi dapat
disingkirkan.32
5. Pengertian Santri
Secara etimologis, terdapat berbagai pendapat yang diajukan para
ahli berkenaan dengan pengertian santri. Abu Hamid dalam buku
Nasaruddin Umar memahami bahwa, kata santri adalah gabungan dari
dua suku kata. “sant” yang berarti manusia baik dan “tra” yang artinya
suka menolong. Dalam kerangka ini, kata santri dapat dipahami sebagai
kumpulan individu-induvidu yang terdidik (khususnya dalam ilmu-ilmu
keagamaan) yang berorientasi pada aksi-aksi sosial-kemasyarakatan.33
Sedangkan Johns, sebagaimana dikutip Dhofier dalam buku
Nasaruddin Umar, mengatakan bahwa kata santri itu sendiri berasal dari
bahasa Tamil yang berarti guru mengaji. Sedangkan menurut C.C. Berg,
kata santri berasal dari kata India (Sansekerta) shastri yang berarti orang
yang tahu kitab-kitab suci (Hindu), atau seorang ulama dalam pengertian
32
33

Bimo Walgito, Psikologi Sosial …, hal.19-21
Nasaruddin Umar, Rethinking Pesantren, (Jakarta : PT Gramedia), hal.3

34

Islam Indonesia. Kata shastri merupakan turunan dari kata shastra yang
berarti kitab suci, atau karya kegamaan, atau ilmiah.34
Dalam Ensiklopedia Pendidikan dikemukakan bahwa, kata santri
berarti orang yang belajar agama Islam, sehingga pesantren mempunyai
arti tempat berkumpul untuk belajar agama Islam. Ziemek memahami
asal etimologi dari pesantren adalah pe-santri-an yang berarti tempat
tinggal. Dalam hal ini, santri mendapat pelajaran dari pimpinan pesantren
yaitu kiai dan para ustadz. Pendapat Ziemek tersebut, sejalan dengan
definisi etimologi pesantren yang telah dikemukakan oleh Abu Hamid
sebelumnya. Nurcholish Madjid sendiri menyatakan, kata santri berasal
dari bahasa Jawa yaitu, “cantrik” yang berarti seseorang yang selalu
mengikuti seorang guru ke mana pun ia pergi.35
Asal usul kata “santri” yang merupakan akar kata “pesantren”, juga
dikatakan bersumber dari kata “santri”, yang berasal dari kata “sastri”,
sebuah kata dari bahasa Sanskerta yang artinya melek huruf.
Penggunakan kata ini menggambarkan bahwa kaum santri adalah orangorang terdidik bagi orang Jawa, khususnya pada permulaan tumbuhnya
kekuasaan politik Islam di Demak. Hal ini terlihat dari dihubungkannya
kata santri dengan orang-orang yang mengerti dan memahami kitab-kitab
yang bertulisan dan berbahasa Arab.36
Satu istilah lain untuk santri sebagaimana dikemukakan Zaini
Muchtarom yang lazimnya digunakan oleh orang Jawa ialah kata
34

Ibid., hal.4
Ibid.
36
Ibid.
35

35

putihan, yang merupakan derivasi dari kata putih dengan akhiran –an.
Istilah ini agaknya dipakai karena pakaian putih yang mereka kenakan
waktu sholat. Para putihan biasanya memakai kopiah yang terbuat dari
beludru hitam serupa fez, sehelai kemeja putih, dan sarung. Setelah
mereka naik haji ke Mekah dan menjadi kaji (haji), mereka tukarkan
kopiah tadi dengan peci katun putih atau kopiah kaji. Pendapat ini
diperkuat dengan mengutip hasil penelitian H.W. Bachtiar yang
mengatakan bahwa, di sekitar Keraton Surakarta terdapat sebuah desa
yang disebut “desa keputihan” atau “desa mutihan” yang berarti desa
putih.37
Dalam berbagai definisi yang diberikan para ahli tentang istilah
santri tersbeut, penulis memahami bahwa pengertian santri tidak hanya
terbatas pada orang yang sedang dan pernah mengeyam pendidikan
agama di pondok pesantren di bawah asuhan para kiai-ulama. Tetai, juga
kepada mereka yang belajar dan memahami ilmu-ilmu kegamaan baik
secara autodidak maupun secara institusi formal yang kemudian
diwujudkan dalam aktivitas kesehariannya.38
Ada kecenderungan sosok intelektual, politisi, dan pebisnis yang
concern terhadap nilai-nilai ajaran Islam disebut juga kelompok santri.
Istilah kelas menengah santri sering digunakan Fachri Ali untuk
komunitas kelas menengah yang concern terhadap moralitas Islam.39

37

Ibid., hal.5
Ibid., hal.6
39
Ibid.

38

36

Dalam pengertian di atas dapat dijelaskan bahwa santri adalah
sekelompok orang yang sedang melakukan pendidikan di dunia pesantren
maupun madrasah diniyah. Sekelompok orang tersebut menuntut ilmu
agama tersebut tidak hanya di pesantren tetapi juga di madrasah diniyah.
Terkadang siswa-siswi yang bersekolah di Madrasah Tsanawiyah
maupun di Madrasah Aliyah juga memanggilnya dengan sebutan santri.
6. Interaksi Sosial Santri
Pesantren merupakan salah satu lembaga pendidikan keagamaan
yang menyelenggarakan proses pembelajaran. Secara historis, lembaga
ini didirikan dalam rangka menyebarluaskan ilmu-ilmu keagamaan.
Dalam perkembangannya, pesantren mengalami perubahan-perubahan,
sehingga tidak hanya ilmu-ilmu keagamaan saja yang diajarkan, tetapi
ilmu-ilmu umum.40
Sebagai sebuah pendidikan, keberadaan pesantren Al-Hikam tidak
bisa dipisahkan dengan beberapa faktor yang melingkupinya, antara lain
kiai, ustadz, santri, pondok, dan lingkungan. Dalam proses pembelajaran,
faktor-faktor tersebut akan saling berinteraksi, sehingga terdapat berbagai
interaksi yang terjadi di dalam pesantren, baik interaksi santri dengan
kiai, santri dengan ustadz, santri dengan sesama santri, maupun santri
dengan lingkungan. Interaksi yang terjalin di pesantren ini ada yang
bersifat individual maupun kelompok.41

40
41

Binti Maunah, Tradisi Intelektual Santri …, hal. 121
Ibid., hal.122

37

a. Interaksi sosial santri dengan kiai
Menurut Turmudi dalam buku Binti Maunah bahwa dalam
proses interaksi sosial di pesantren, kiai merupakan tokoh yang
mempunyai posisi startegis dan sentral dalam masyarakat. Posisi
sentral kiai ini terkait erat dengan kedudukannya sebagai seorang
pendidik dan terpandang di tengah-tengah masyarakat. Sebagai
orang yang mendidik, kiai memberikan pengetahuan Islam kepada
para penduduk desa dan para santrinya. Pesantren sebagai lembaga
pendidikan Islam tradisional adalah merupakan sarana penting
untuk melakukan transfer pengetahuan terhadap masyarakat desa
maupun para santri. Di sisi lain, para kiai menjadi patron bagi siapa
saja, banyak penduduk desa bergantung. Secara khusus, posisi
sentral kiai dapat dilihat dalam patronase ini, terutama karena pola
ini menghubungkan dan mengikat kiai dengan para santri atau
siswanya.42
Interaksi sosial santri dengan kiai merupakan sebuah
keharusan. Santri sebagai pihak yang mencari ilmu, sedangkan kiai
sebagai pihak yang memberi dan mengajarkan ilmu. Sebagai
seseorang yang mencari ilmu, santri harus mematuhi berbagai
norma, aturan, tata nilai yang ada di pesantren ; baik norma-norma

42

Ibid., hal.123

38

yang tertulis maupun tidak tertulis, sehingga diharapkan terjadi
interaksi sosial yang baik dan harmonis.43
Dalam kajian ini ditemukan adanya keharmonisan hubungan
antara santri dengan kiai. Keharmonisan hubungan antara santri
dengan kiai tersebut tampak dalam berbagai cara dan kesempatan.
Misalnya dalam perkataan maupun sikap atau perilaku, baik ketika
kiai ada di pesantren maupun tidak, baik ketika berada di dalam
pesantren maupun di luar pesantren, demikian juga secara
individual maupun kelompok.44
Berdasarkan berbagai interaksi sosial yang terjadi antara
santri dengan kiai, tampak bahwa dalam kenyataannya kiai
memiliki perhatian yang cukup besar terhadap mereka. Perhatian
itu tidak hanya terbatas pada aspek psikis (perasaan, pemecahan
atas permasalahan yang dihadapi) saja, tetapi juga aspek fisikmaterial. Artinya kiai juga memberikan bantuan kepada santri
khususnya, yang mempunyai masalah dalam hal ekonomi dirinya
atau keluarganya.45
Interaksi antara santri dengan kiai mempunyai peran yang
besar, khususnya pada santri. Karena dengan adanya interaksi
tersebut, para santri dapat menjaga keharmonisan antara santri
dengan kiai. Perilaku atau interaksi seperti itu tidak hanya berlaku

43

Ibid.
Ibid.
45
Ibid., hal.128
44

39

pada santri pesantren saja, melainkan dengan santri yang berada di
Madrasah Diniyah.
b. Interaksi sosial santri dengan ustadz
Dalam interaksi sosial diantara santri dengan ustadz juga
terdapat keharmonisan-keharmonisan. Keharmonisan hubungan
tersebut tampak dalam berbagai interaksi yang dilakukan dalam
kehidupan sehari-hari, baik di dalam pesantren maupun di luar
pesantren, secara individual maupun kelompok.46
Interaksi sosial antara santri dengan ustadz merupakan suatu
keniscayaan yang harus terjadi, karena keduanya selalu dan lebih
sering bertemu. Selain itu juga karena mereka berada di suatu
lembaga yang sama ; santri sebagai orang yang belajar, dan ustadz
sebagai orang yang memberikan/menyampaikan ilmu pengetahuan.
Secara langsung maupun tidak langsung hubungan diantara
keduanya terjalin atas berbagai hak dan kewajiban yang ada,
terjalin akrab, dan bahkan khusus bagi ustadz yang masih muda,
hubungan diantara mereka hampir seperti teman sendiri.47
Keharmonisan hubungan itu dapat dilihat dari berbagai
kondisi

dan

kesempatan

ketika

diantara

keduanya

saling

berbincang-bincang. Karena dalam perbincangan ini ada banyak
masalah yang dibicarakan, mulai dari masalah pribadi, pendidikan
dan sosial keagamaan ; seolah-olah ustadz merupakan tempat bagi
46
47

Ibid., hal.130
Ibid.

40

pengaduan mereka, curhat. Akan tetapi walaupun demikian, dalam
interaksi sosial ini, para santri tetap menjunjung tinggi sikap
hormat dan menghargai serta sikap tawadhu’ kepada ustadz.48
Keakraban, kedekatan dan keharmonisan antara santri dengan
ustadz seolah-seolah menjadi hubungan mereka sebagaimana
teman dekat, seolah-olah tidak ada jarak yang memisahkan mereka.
Maka dalam beberapa kesempatan tampak seolah-olah tidak ada
perbedaan antara santri dengan ustadz, khususnya antara santri
dengan ustadz muda, ustadz yang belum berkeluarga. Lain halnya
dengan ustadz yang senior, para santri memberikan penghormatan
yang berbeda dengan ustadz muda.49
Interaksi sosial yang terjalin antara santri dengan ustadz ini
tidak bisa dipisahkan dengan beberapa hal yang melingkupinya,
misalnya

adanya

kepentingan

dari

santri,

atau

santri

diminta/dipanggil oleh ustadz, terkait dengan proses pembelajaran,
dan lain sebagainya. Pada prosesnya interaksi itu juga tidak bisa
dipisahkan dengan masalah yang dibicarakan antara santri dengan
ustadz. Misalnya masalah pembelajaran, masalah pekerjaan,
keluarga, bahkan masalah pribadi.50
Dalam proses interaksi ini, ustadz tidak meninggalkan
keberadaan salah satu fungsinya sebagai motivator. Para ustadz
selalu memberikan motivasi kepada para santri, khususnya terkait
48

Ibid.
Ibid., hal.131
50
Ibid., hal.132
49

41

dengan proses belajar. Bentuk motivasi yang diberikan ustadz
kepada para santri ini bermacam-macam ; ada yang dengan cara
memberikan saran, nasehat, ada juga yang dengan memberikan
tantangan-tantangan untuk diselesaikan oleh para santri maupun
dengan berbagai cara lainnya, misalnya dengan bercanda (guyonan)
ataupun sindirian. Bahkan motivasi yang diberikan kepada para
santri tidak hanya berkaitan dengan proses belajar, tetapi juga
terkait dengan masa depan, kemampuan apa yang harus dimiliki
santri.51
Jadi, interaksi yang terjalin antara santri dengan ustadz itu
lebih sering terjadi daripada berinteraksi dengan kiai. Karena para
santri lebih sering bertemu dengan ustadz daripada kiai. Namun,
para santri ketika berinteraksi dengan ustadz, baik ustadz tersebut
masih muda, ustadz yang sudah berkeluarga, bahkan ustadz yang
sudah senior mereka harus tetap bersikap tawadhu’.
c. Interaksi sosial sesama santri52
Dalam kajian ini juga ditemukan adanya proses hubungan
yang harmonis, yang tercipta diantara sesama santri. Keharmonisan
hubungan tersebut tampak dalam berbagai interaksi yang dilakukan
dalam kehidupan sehari-hari, baik di dalam pesantren maupun di
luar pesantren, baik secara individual maupun kelompok.

51
52

Ibid., hal.133
Ibid., hal.136-141

42

Interaksi sosial antar sesama santri ini juga merupakan suatu
keniscayaan, karena sesama santri selalu dan sering bertemu, baik
pada waktu belajar di kelas, di masjid maupun di kamar. Selain itu
juga karena mereka berada di suatu lembaga yang sama ; santri
yang satu sebagai orang yang belajar, dan santr lainnya juga
demikian. Secara langsung maupun tidak langsung hubungan
diantara keduanya terjalin atas kesamaan kedudukan yaitu samasama sebagai santri.
Kedekatan dan keakraban hubungan diantara para santri ini
menjadikan mereka seolah-olah seperti keluarga, walaupun dalam
prosesnya perlu adaptasi terlebih dahulu, dan mereka masih
membutuhkan pengarahan-pengarahan. Apalagi, secara umum
pola-pola kekeluargaan ini sudah ada dan terjadi di semua
pesantren, sehingga interaksi sosial yang terjalin antar sesama
santri berjalan dengan harmonis dan secara kekeluargaan.
Kebebasan dalam berinteraksi yang diberikan oleh pengelola (kiai),
bukan berarti santri-santri bebas, lepas dan semaunya sendiri di
pesatren ini ; akan tetapi kebebasan yang diberikan kiai adalah
kebebasan yang masih dalam batas-batas etis, sehingga hal-hal
yang negatif yang dapat menodai keharmonisan hubungan diantara
para santri tidak akan terjadi.
Dalam menjada keharmonisan hubungan tersebut, dalam
proses interaksi antar sesama santri sebenarnya ada norma-norma

43

yang harus ditegakkan. Norma yang perlu ditegakkan di sini adalah
norma-norma yang berlaku bagi sesama pemuda (santri), dalam
perkataan maupun perbuatan. Walaupun terdapat perbedaan
pemahaman tentang norma, akan tetapi hal itu tidak menjadikan
para santri untuk tidak berperilaku baik. Keharmonisan hubungan
yang terjalin diantara sesama santri ini terwujud, tentu karena
perilaku-perilaku yang baik dari para santri, baik dalam ucapan
maupun perbuatan.
Di tengah-tengah proses interaksi tersebut ternyata santri juga
mempunyai perhatian kepada santri yang lain. Mereka bisa menilai
bagaimana perhatian antara santri yang satu dengan santri yang
lainnya. Perhatian atau penilaian santri yang satu dengan santri
yang lain positif. Perhatian mereka terhadap santri yang lain dapat
terwujud dengan berbagai bentuk perilaku, kesetiakawanan sosial
yang tinggi, misalnya ketika ada santri yang sakit mereka ikut
menjenguk, bahkan ketika salah satu orang tua santri sakit, mereka
juga menjenguknya dan ikut menunggu di rumah sakit.
Di samping itu, proses interaksi sosial diantara para santri
juga terlihat dalam bentuk atau sikap solidaritas. Solidaritas mereka
ini tercermin dalam beberapa sikap, seperti saling tolong menolong
dan saling membantu antar sesama santri. Sikap solidaritas yang
ditunjukkan oleh para santri ada yang bersifat individual dan ada

44

yang bersifat kolektif. Sikap inilah yang pada kenyataannya
menambah keharmonisan hubungan yang terjalin diantara mereka.
Solidaritas yang ditunjukkan oleh para santri dalam
kehidupan sehari-hari tersebut terwujud dalam berbagai bentuk
kegiatan, baik yang terkait dalam bidang pendidikan mulai dari
memberikan saran/masukan, pinjam meminjam buku sampai pada
penyelesaian suatu tugas belajar ; maupun sosial keagamaan,
seperti ta’ziyah dan lain sebagainya. Sikap solidaritas ini dilakukan
oleh para santri baik secara individual maupun kelompok.
Secara khusus, dalam bidang pendidikan (pembelajaran),
sikap saling membantu tersebut pada akhirnya juga berlanjut dalam
bentuk pemberian motivasi-motivasi. Motivasi-motivasi yang
diberikan oleh para santri ini merupakan motivasi yang bersifat
positif dalam rangka meningkatkan proses pembelajaran dan
prestasi. Ada beberapa cara yang digunakan para santri dalam
memberikan motivasi ; adakalanya dengan perkataan semata, dan
adakalanya juga dengan bercanda (gojlokan). Motivasi-motivasi
yang diberikan oleh para santri itu akan berpengaruh pada diri
santri, cepat atau lambat, langsung atau tidak langsung. Walaupun
dalam kenyataannya dalam kajian ini ditemukan tidak semua santri
memberikan motivasi.
Walau demikian, ada hal menarik yang perlu diperhatikan
bahwa masalah yang terjadi diantara sesama santri tersebut selalu

45

diselesaikan dengan cara ishlah, diselesaikan bersama-sama. Pada
sisi lain, proses penyelesaian atas suatu masalah yang terjadi di
antara para santri, pernah suatu ketika diserahkan kepada ustadz
atau pengurus. Penyelesaian yang dilakukan oleh ustadz biasanya
dalam bentuk sindiran-sindiran, dan adakalanya ustadz memanggil
santri yang sedang bermasalah tersebut.
Demikianlah interaksi sosial yang terjadi diantara sesama
santri dalam bentuk kehidupan sehari-hari, baik ketika di dalam
pesantren maupun di luar pesantren ; dalam proses pembelajaran
maupun tidak ; baik ketika ada masalah maupun tidak ; termasuk
bagaimana cara penyelesaian masalah tersebut. Demikian juga
dengan berbagai dukungan, perhatian dan motivasi serta rasa
solidaritas yang diberikan antar sesama santri sehingga interaksi
diantara mereka berjalan dengan baik. Hubungan baik yang terjalin
di antara mereka, pada akhirnya akan menjadikan mereka sebagai
santri yang berakhlak mulia, mengerti tugas, kewajiban dan
tanggungjawabnya.
d. Interaksi sosial santri dengan lingkungan53
Dalam kajian ini diperoleh gambaran mengenai adanya
keharmonisan yang tercipta dalam hubungan santri dengan
lingkungan. Keharmonisan hubungan tersebut tampak dalam
berbagai hal, mulai dari perkataan maupun sikap atau perilaku, baik

53

Ibid., hal.142

46

ketika santri mengadakan kegiatan di masyarakat maupun tidak,
ketika bertemu di dalam pesantren maupun tidak ; demikian juga
secara individual maupun kelompok.
Sebagaimana

interaksi

sosial

lainnya,

keharmonisan

hubungan antara santri dengan lingkungan merupakan suatu
keharusan. Santri sebagai individu maupun kelompok yang hidup
dan menuntut ilmu di pesantren, tidak bisa memisahkan diri dari
lingkungan masyarakat sekitar. Hal ini dikarenakan keberadaan
pesantren tidak bisa dipisahkan dari lingkungan masyarakat di
mana pesantren itu berada. Lebih dari itu, keharmonisan hubungan
santri di dalam pesantren, baik dengan kiai, ustadz, maupun sesama
santri akan banyak berpengaruh terhadap interaksi sosial santri
terhadap lingkungan. Oleh karena itu, santri mau tidak mau harus
berinteraksi dengan lingkungan dan menjaga hubungan baik
dengan lingkungan tersebut.
Terlepas adanya perbedaan persepsi diantara para santri,
dalam proses interaksi dengan lingkungan terdapat norma-norma
yang harus diindahkan oleh para santri dan tidak boleh
ditinggalkan. Karena norma-norma inilah yang dapat menjadikan
hubungan diantara keduanya berjalan dengan akrab dan harmonis.
Apabila

dalam

berinteraksi

tidak

ada

norma-norma

yang

ditegakkan, maka bisa dipastikan interaksi yang berjalan diantara
keduanya adalah interaksi yang kurang akrab.

47

Dalam kajian ini ditemukan ada perbedaan persepsi sesama
santri tentang norma-norma yang perlu dijaga dalam berinteraksi
dengan masyarakat. Dalam persepsi para santri, terdapat normanorma

yang harus diindahkan dalam berinteraksi

masyarakat

(lingkungan).

Norma-norma

dalam

dengan

berinteraksi

tersebut merupakan norma-norma yang berlaku di masyarakat pada
umunya. Apa yang dipahami oleh para santri sebagai sesuatu hal
yang baik, itulah yang dipraktekkan. Norma-norma tersebut antara
lain ketika bertemu mereka saling tegur sapa, kalau bertamu
mengucapkan salam, berjabat tangan, dan ramah tamah serta saling
menghormati. Bahkan para santri biasanya menyesuaikan diri
dengan norma-norma yang ada di masyarakat, sehingga hubungan
diantara mereka berjalan dengan baik dan harmonis.
Sementara itu, bagi beberapa santri ada yang menganggap
bahwa norma-norma dalam berinteraksi dengan masyarakat tidak
ada. Hal ini sebagaimana anggapan beberapa santri di atas, bahwa
mereka merasa kurang akrab dengan masyarakat. Maka tidak ada
norma-norma yang perlu ditegakkan karena hal itu sudah
merupakan kebiasan. Pada akhirnya hal ini juga berimplikasi pada
kerenggangan hubungan antara santri dengan masyarakat.
Pada tahap selanjutnya, untuk meningkatkan hubungan
(interaksi) antara santri dengan masyarakat dibutuhkan semacam
adanya perhatian, sikap saling memperhatikan. Sikap saling

48

memperhatikan

ini

tidak

hanya

sekedar

bahwa

santri

memperhatikan perilaku masyarakat, atau sebaliknya masyarakat
memperhatikan perilaku santri di dalam dan di luar pesantren ;
tetapi sikap saling memperhatikan ini diharapkan berlanjut dan
berimplikasi pada adanya sebuah penilaian. Sebuah perhatian dan
penilaian yang diharapkan dapat menambah serta meningkatkan
keharmonisan hubungan antara santri dengan masyarakat.
Beberapa sikap yang ditunjukkan oleh santri maupun
masyarakat, seperti bagaimana perhatian masyarakat terhadap
pesantren dan santri sendiri, bagaimana juga perhatian santri
dengan kontribusinya terhadap masyarakat, dan dalam bentukbentuk penilaian lain ; adalah merupakan bukti nyata atas perhatian
dan kepedulian masyarakat

Dokumen yang terkait

PENGARUH PEMAHAMAN AGAMA TERHADAP PERILAKU SANTRI DI MADRASAH DINIYAH TARBIYATUL ULUM NGLEBENG PANGGUL TRENGGALEK - Institutional Repository of IAIN Tulungagung

0 0 6

PENGARUH PEMAHAMAN AGAMA TERHADAP PERILAKU SANTRI DI MADRASAH DINIYAH TARBIYATUL ULUM NGLEBENG PANGGUL TRENGGALEK - Institutional Repository of IAIN Tulungagung

0 0 6

PENGARUH PEMAHAMAN AGAMA TERHADAP PERILAKU SANTRI DI MADRASAH DINIYAH TARBIYATUL ULUM NGLEBENG PANGGUL TRENGGALEK - Institutional Repository of IAIN Tulungagung

0 0 3

PENGARUH PEMAHAMAN AGAMA TERHADAP PERILAKU SANTRI DI MADRASAH DINIYAH TARBIYATUL ULUM NGLEBENG PANGGUL TRENGGALEK - Institutional Repository of IAIN Tulungagung

0 0 12

PENGARUH PEMAHAMAN AGAMA TERHADAP PERILAKU SANTRI DI MADRASAH DINIYAH TARBIYATUL ULUM NGLEBENG PANGGUL TRENGGALEK - Institutional Repository of IAIN Tulungagung

0 0 21

PENGARUH PEMAHAMAN AGAMA TERHADAP PERILAKU SANTRI DI MADRASAH DINIYAH TARBIYATUL ULUM NGLEBENG PANGGUL TRENGGALEK - Institutional Repository of IAIN Tulungagung

0 0 20

PENGARUH PEMAHAMAN AGAMA TERHADAP PERILAKU SANTRI DI MADRASAH DINIYAH TARBIYATUL ULUM NGLEBENG PANGGUL TRENGGALEK - Institutional Repository of IAIN Tulungagung

0 0 14

PENGARUH PEMAHAMAN AGAMA TERHADAP PERILAKU SANTRI DI MADRASAH DINIYAH TARBIYATUL ULUM NGLEBENG PANGGUL TRENGGALEK - Institutional Repository of IAIN Tulungagung

0 0 2

PENGARUH PEMAHAMAN AGAMA TERHADAP PERILAKU SANTRI DI MADRASAH DINIYAH TARBIYATUL ULUM NGLEBENG PANGGUL TRENGGALEK - Institutional Repository of IAIN Tulungagung

0 0 3

PENANAMAN AQIDAH ISLAMIYAH SANTRI DI MADRASAH DINIYAH TARBIYATUL ULUM DESA SERUT KECAMATAN BOYOLANGU KABUPATEN TULUNGAGUNG Institutional Repository of IAIN Tulungagung

0 0 13