T1__BAB III Institutional Repository | Satya Wacana Christian University: Akomodasi KetentuanKetentuan Protokol Palermo Tahun 2000 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Perdagangan Orang dalam Hukum Nasional Indonesia T1 BAB III

BAB III
HASIL PENELITIAN DAN ANALISIS
A. HASIL PENELITIAN
1.

Defenisi Human Trafficking



Protokol Palermo Tahun 2000 :


“Perdagangan orang” haruslah berarti perekrutan, pengiriman,
pemindahan, menyembunyikan atau menerima individu-individu,
dengan cara mengancam atau penggunaan paksaan atau bentukbentuk kekerasan lainnya,

penculikan,

penipuan,

kebohongan,


penyalahgunaan kekuasaan atau pemanfaatan sebuah posisi yang
rentan

atau

keuntungan

pemberian
untuk

mendapatkan

memiliki kontrol terhadap
untuk

atau

mengeksploitasi.


orang

penerimaan pembayaran
ijin
lain,

Eksploitasi

dari

seseorang

dengan

atau
untuk

tujuan-tujuan

haruslah mencakup, pada


tingkat paling minimum, eksploitasi prostitusi terhadap seseorang
atau bentuk-bentuk lain dari eksploitasi seksual, kerja paksa,
perbudakan atau praktek-praktek yang serupa dengan perbudakan,
penghambaan atau penghilangan organ.


Hukum Nasional :


Dalam pasal 297 KUHP tidak diatur pengertian perdagangan orang
secara jelas.



Dalam Undang-Undang No 21 Tahun 2007 Perdagangan Orang
adalah

tindakan


perekrutan,

pengangkutan,

penampungan,

pengiriman,

pemindahan,

atau penerimaan seseorang dengan

ancaman kekerasan, penggunaan kekerasan, penculikan, penyekapan,
pemalsuan, penipuan, penyalahgunaan kekuasaan atau posisi rentan,
penjeratan utang atau memberi bayaran atau manfaat, sehingga
memperoleh persetujuan dari orang yang memegang kendali atas
orang lain tersebut, baik yang dilakukan di dalam negara maupun
antar negara, untuk tujuan eksploitasi atau mengakibatkan orang
tereksploitasi.
2.


Hukuman yang Berlaku



Protokol Palermo Tahun 2000 :


Negara penerima trafficking sesuai protokol PBB memiliki kewajiban
mengembalikan korban trafficking(Pasal 8)



Hukum Nasional :


Pasal 297 KUHP: Perdagangan wanita dan perdagangan anak lakilaki yang belum cukup umur, diancam dengan pidana penjara paling
lama enam tahun.”




Pasal 2 Undang-Undang No 21 Tahun 2007 tentang Pemberantasan
Tindak Pidana Perdagangan Orang menjelaskan bahwa “setiap orang
yang

melakukan

pengiriman,

perekrutan,

pemindahan,

pengangkutan,

penampungan,

atau penerimaan seseorang dengan

ancaman kekerasan, penggunaan kekerasan, penculikan, penyekapan,

pemalsuan, penipuan,penyalahgunaan kekuasaan atau posisi rentan,
penjeratan utang atau memberi bayaran atau manfaat walaupun
memperoleh persetujuan dari orang yang memegang kendali atas

orang lain, untuk tujuan mengeksploitasi orang tersebut di wilayah
negara Republik Indonesia, dipidana dengan pidana penjara paling
singkat 3 (tiga) tahun dan paling lama 15 (lima belas) tahun dan
pidana denda paling sedikit Rp120.000.000,00 (seratus dua puluh juta
rupiah) dan paling banyak Rp600.000.000,00 (enam ratus juta
rupiah).
3.

Status Korban Perdagangan orang



Protokol Palermo Tahun 2000 :


Sebagai tambahan atas pengambilan langkah-langkah menurut pasal

6 Protokol ini, setiap Negara Pihak harus mempertimbangkan untuk
menetapkan langkah-langkah legislatif dan langkah-langkah lain yang
layak yang memungkinkan korban perdagangan orang untuk tetap
tinggal di wilayahnya,sementara maupun permanen, dalam kasuskasus tertentu(Pasal 7)



Dalam mengimplementasikan ketentuan-ketentuan yang termuat
dalam ayat 1 pasal ini, setiap Negara Pihak harus memberikan
pertimbangan yang layak atas faktor-faktor kemanusiaan dan
kasih(Pasal 7)



Hukum Nasional :
Undang-Undang No 21 Tahun 2007


Setiap korban tindak pidana perdagangan orang atau ahliwarisnya
berhak memperoleh restitusi.




Restitusi sebagaimana dimaksud pada ayat (1) berupa ganti kerugian

atas:
 kehilangan kekayaan atau penghasilan
 penderitaan
 biaya untuk tindakan perawatan medis dan/atau
 psikologis; dan/atau
 kerugian lain yang diderita korban sebagai akibatperdagangan
orang
4.

Tempat rehabilitasi korban perdagangan orang



Protokol Palermo Tahun 2000 :
Tidak dijelaskan sama seperti dalam Undang-Undang No 21 Tahun 2007,

tetapi secara terperinci mengatur keamananan, hak, fasilitas yang diberikan
terhadap korban perdagangan orang.



Hukum Nasional :
Pemerintah Daerah wajib membentuk rumah perlindungan sosial atau pusat
trauma. (Pasal 52).

5.

Pemulangan korban perdagangan orang



Protokol Palermo Tahun 2000 :


Wajib


dipulangkan

ke

negera

asalnya

tanpa

penundaan

yangberlebihan atau tidak beralasan, harus memverifikasi apakah
orang yang menjadi korban perdagangan orang adalah warga

negaranya atau mendapatkan hak sebagai penduduk tetap di dalam
wilayahnya pada saat orang tersebut memasuki wilayah dari Negara
Pihak penerima (Pasal 8).


Hukum Nasional :


Undang-Undang No 21 Tahun 2007
Korban berhak memperoleh rehabilitasi kesehatan, rehabilitasi sosial,
pemulangan, dan reintegrasi sosial dari pemerintah apabila yang
bersangkutan mengalami penderitaan baik fisik maupun psikis akibat
tindak pidana perdagangan orang (Pasal 51)

6.

Kebijakan-Kebijakan Negara



Protokol Palermo Tahun 2000 :
a. Untuk mencegah dan memerangi perdagangan; dan
b. Untuk melindungi korban perdagangan orang, terutama perempuan
dan anak-anak, dari kemungkinan untuk menjadi korban kembali.


Negara-negara Pihak harus berupaya keras untuk melaksanakan
langkah-langkah lain yang ditetapkan seperti penelitian, informasi
dan kampanye media masa dan inisiatif-inisiatif sosial dan
ekonomi untuk mencegah dan memerangi perdagangan.



Kebijakan-kebijakan, program-program, dan langkah-langkah lain
yang ditetapkan sesuai dengan pasal ini haruslah, secara layak,
menyertakan kerja sama dengan organisasi-organisasi lembaga
swadaya masyarakat sipil lainnya.



Hukum Nasional :

Untuk mengefektifkan penyelenggaraan pencegahan dan pemberantasan
tindak pidana perdagangan orang, pemerintah Republik Indonesia wajib
melaksanakan kerja sama internasional, baik yang bersifat bilateral, regional,
maupun multilateralPasal 59 ayat (1)
7.

Pencegahan dan pemberantasan korban perdagangan orang



Protokol Palermo Tahun 2000 :


Negara-negara Pihak harus mengambil atau memperkuat langkahlangkah lain, termasuk melalui kerja sama bilateral atau multilateral,
untuk menekan faktor-faktor yang menyebabkan orang-orang,
terutama perempuan dan anak-anak, menjadi rentan terhadap
perdagangan,

seperti

misalnya

kemiskinan,

keterbelakangan

pembangunan dan kurangnya kesempatan yang setara(Pasal 9)


Hukum Nasional :


Pemerintah, pemerintah daerah, masyarakat, dan keluarga wajib
mencegah terjadinya tindak pidana perdagangan orang (Pasal 57 ayat
(1)).

B. ANALISIS
Komparisi Protokol Palermo dan Undang-Undang Di Indonesia yang mengatur
tentang Human Trafficking
1.

Defenisi Human Trafficking
Berdasarkan pengertian tentang perdagangan orang (Human Trafficking)
yang tertuang dalam Protokol Palermo Tahun 2000 yang mana perdagangan

orang berarti perekrutan, pengiriman, pemindahan, menyembunyikan atau
menerima individu-individu, dengan cara mengancam atau penggunaan paksaan
atau bentuk kekerasan, penculikan, penipuan, kebohongan, penyalahgunaan
kekuasaan, atau pemanfaatan sebuah posisi. Pada umumnya pengertian Human
Trafficking dalam protokol tersebut tidak berbeda jauh dengan pengertian
Human Trafficking dalam Undang-Undang No 21 Tahun 2007 secara garis besar
Human Trafficking berarti tindakan perekrutan, pengangkutan, penampuangan,

pengiriman,

pemindahan atau penerimaan seseorang dengan ancaman

kekerasan. Ini menunjukan bahwa ratifikasi Protokol Palermo Tahun 2000
menjadi Undang-Undang No 21 Tahun 2007 secara garis besarnya
mengakomodasi apa itu Human Trafficking/ Perdagangan Orang.
Di dalam Undang-Undang No 21 Tahun 2007 tidak menggunakan kata
perbudakan dan penghambaan tidak dipakai akan tetapi diganti dengan kalimat
memegang kendali atas orang lain begitu pun juga dengan eksploitasi seksual
yang tidak dirumuskan lagi dalam Undang-Undang No 21 Tahun 2007 sehingga
kalimat memegang kendali atas orang lain memiliki makna yang luas bagi
mengartikan beberapa kata seperti prostitusi, seksual, perbudakan, kerja paksa,
sebagaimana pengertian Human Trafficking dalam Protokol Palermo Tahun
2000 maka penulis menemukan bahwa dalam meratifikasi Protokol Palermo
Tahun 2000 tersebut tidak memiliki banyak perbedaan dalam merumuskan
pengertian Human Trafficking.
Human Trafficking dalam KUHP sebagaimana tertuang dalam Pasal 297

tidak secara terperinci menjelaskan apa itu Human Trafficking hanya memuat
ancaman pidana bagi orang yang melakukan perdagangan wanita dan anak lakilaki yang belum dewasa. Pengertian Human Trafficking dalam pasal ini belum

terlalu jelas disebabkan hanyalah mengatur tentang perdagangan wanita dan
anak laki-laki di bawah umur, berbanding terbalik dengan apa yang diatur dalam
Undang-Undang No 21 Tahum 2007 yang mana Human Trafficking
(perdagangan orang) bukan hanya bagi wanita dan anak laki-laki di bawah umur
tetapi juga diterapkan bagi laki-laki dewasa.
2. Hukuman yang berlaku
Sebagaimana yang tertuang dalam Protokol Palermo Tahun 2000 tidak
mengatur tentang sanksi bagi orang yang melakukan Human Trafficking,
disebabkan karena sanksi yang dapat diterapakan bagi pelaku tindak pidana
perdagangan orang, hanyalah disebutkan untuk negara penerima trafficking
dikembalikan ke negara asal. Pengembalian koraban tersebut dengan maksud
agar supaya pelaku tindak pidana perdagangan orang dapat diberikan sanksi di
negara asal, hal ini berkaitan dengan yuridiksi hukum bagi suatu negara. Dalam
KUHP sudah dirumuskan ancaman pidananya dengan penjara paling lama 6
tahun bagi orang yang melakukan perdagangan wanita dan anak laki-laki yang
belum cukup umur. Ancaman 6 tahun yang dirumuskan dalam KUHP sudah
pasti menunjukkan bahwa negara secara tegas ingin memberantas Human
Trafficking bagi di dalam negeri maupun luar negeri keseriusan.

Ratifikasi Protokol Palermo menjadi Undang-Undang No 21 Tahun 2007
sudah mengatur tentang sanksi bagi perdagangan orang, jika pada Protokol
Palermo hanya mengatur tentang korban perdagangan orang dikembalikan ke
negara asal. Akan tetapi dalam Undang-Undang No 21 Tahun 2007 sanksi yang
diatur maksimum 15 tahun dan minimum 3 tahun dan juga denda paling sedikit
Rp. 120.000.000,00 dan paling banyak Rp.600.000.000,00. Perdagangan orang
merupakan tindak pidana yang luar biasa oleh sebab itu negara dalam

memberantasnya pun dilakukan dengan keseriusan. Sebagaimana yang telah
dirumuskan dalam bagan diatas maka perbedaan yang penulis temukan dalam
penelitian ini adalah tidak diaturnya sanksi yang jelas di dalam Protokol
Palermo Tahun 2000 akan tetapi dalam Undang-Undang No 21 Tahun 2007
sudah dengan jelas mengatur tentang sanksi bagi pelaku Human Trafficking.
3. Status Perdagangan Orang
Status korban perdagangan orang dalam Protokol Palermo Tahun 2000
hanya mengintrupsikan kepada negara pihak untuk mempertimbangkan langkah
yang layak bagi korban perdagangan orang untuk tetap tinggal di wilayahnya
diartikan sebagai negara harus melindungi para korban perdagangan orang
dalam kebijakan-kebijakan legislatif yang baik dalam rangka mewujudkan
kenyamanan bagi korban perdagangan orang dengan mempertimbangkan faktorfaktor kemanusiaan dan kasih. Asas Kemanusiaan mejadi dasar dalam
melaksanakan perlindungan kepada korban, yang mana dalam Pasal 6 UndangUndang No 12 Tahun 2011, Asas Kemanusiaan mengartikan bahwa setiap
materi

muatan

Peraturan

Perundang-undangan

harus

mencerminkan

pelindungan dan penghormatan Hak Asasi Manusia serta harkat dan martabat
setiap warga negara dan penduduk Indonesia secara
proporsional.
Di dalam Undang-Undang No 21 Tahun 2007 setiap korban Human
Trafficking atau ahli warisnya berhak memperoleh restitusi. Restitusi yang

dimaksud adalah ganti rugi yang diderita oleh korban perdagangan orang.
Dalam perbedaan antara Protokol Palermo dengan Undang-Undang No 21
Tahun 2007 negara memiliki fungsi yang berbeda Protokol Palermo
menginstrusikan bagi negara melindungi korban dalam lingkungan sosialnya

akan tetapi dalam Undang-Undang No 21 Tahun 2007 menginstrusikan untuk
negara melakukan ganti rugi bagi korban perdagangan orang dengan maksud
untuk mengembalikan segala bentuk yang korban alami. Persamaan antara
Protokol Palermo dengan Undang-Undang No 21 Tahun 2007 adalah negara
memiliki fungsi yang sentral dalam melindungi korban perdagangan orang.
4. Tempat Rehabilitasi Perdagangan Orang
Tempat rehabilitasi perdagangan orang tidak secara terperinci diatur
dalam Protokol Palermo Tahun 2000 sama halnya dengan Undang -Undang No
21 Tahun 2007 yang sudah secara terperinci mengatur tentang tempat
rehabilitasi perdagangan orang, dalam Protokol Palermo Tahun 2000 hanya
merumuskan korban perdagangan orang untuk dikembalikan ke negara asalnya.
Lebih lanjut dalam Undang-Undang No 21 Tahun 2007 sudah mengatur
keamanan untuk korban perdagangan orang, hak bagi perdagangan orang,
fasilitas yang diberikan bagi korban bahkan setiap daerah wajib membentuk
rumah perlindungan sosial atau pusat trauma. Rumah perlindungan sosial
dimaksudkan untuk memberikan perlindungan pemulihan, rehabilitasi dan
reintegrasi bagi korban yang memerlukan perlindungan secara khusus untuk
memulihkan psikis.
Perbedaan dalam hal pengaturan tempat rehabilitasi korban perdagangan
orang antara Protokol Palermo dan Undang-Undang No 21 Tahun 2007
sangatlah jelas seperti yang penulis kemukakan bahwa Protokol Palermo tidak
mengatur secara terperinci apa itu tempat rehabilitasi hanyalah pemulangan
korban ke negara asal akan tetapi dalam Undang-Undang No 21 Tahun 2007
sudah sangat jelas mengatur tentang tempat rehabilitasi korban perdagangan
orang. Rehabilitasi yang dimaksudkan adalah pemulihan dari gangguan terhadap

fisik, psikis dan sosial agar dapat melaksanakan perannya kembali secara wajar
baik dalam keluarga maupun masyarakat. Korban perdagangan orang berhak
memperoleh rehabilitasi kesehatan, rehabilitasi sosial, pemulangan dan
reintegrasi sosial dari pemerintah apabila yang bersangkutan mengalami
penderitaan baik fisik maupun psikis akibat tindak pidana perdagangan orang
dan juga berhak menerima restitusi. Restitusi yang diberikan dengan maksud
untuk memelihara atau memulihkan fisik maupun psikis bagi korban.
5. Pemulangan Korban Perdagangan Orang
Protokol Palermo mewajibkan korban dipulangkan ke negara asalnya
secepatnya dengan maksud agar hak-hak korban perdagangan orang dapat
dilindungi oleh negara asalnya. Hak yang dimaksud bukan hanya perlindungan
hukum akan tetapi pemulihan dan pengobatan psikis dan fisik yang diderita oleh
korban. Peran negara dianggap penting untuk melindungi para korban oleh
sebab itu dalam Protokol Palermo diwajibkan untuk secepatnya negara tempat
perdagangan orang memulangkan korban perdagangan orang dikembalikan ke
negara asalnya.
Dalam ratifikasinya negara menjalankan apa yang diperintahkan oleh
Protokol Palermo, jika pada Protokol Palermo hanya menginstruksikan negara
untuk secepatnya memulangkan korban perdagangan orang, di dalam
ratifikasinya negara sudah lebih memuat dan mengatur tentang hak-hak korban
perdagangan orang.
Yang penulis temukan dalam penelitian ini bahwa dalam ratifikasinya
sudah mengalami pemaknaan yang jelas tentang pemulangan korban dengan
maksud agar hak korban seperti ganti rugi, rehabilitasi kesehatan, rehabilitasi

sosial dilaksanakan oleh negara. Sebuah langkah maju demi melindungi dan
memulihkan psikis dan fisik korban perdagangan orang
Dalam Undang-Undang No 21 Tahun 2007 tidak mengatur secara
eksplisit tentang pemulangan orang, hanyalah menginstruksikan negara agar
melakukan kerja sama dalam bidang menanggulangi kejahatan Tindak Pidana
Perdagangan Orang, kerja sama yang dimaksudkan, menurut penulis ini berarti
negara dalam melindungi setiap warga negaranya mampu memantau dan
memperhatikan bahkan ketika mereka menjadi koraban perdagangan orang, oleh
sebab itu ada perbedaan antara Protokol Palermo dan hukum nasional tentang
pemulangan korban.
6. Kebijakan-kebijakan Negara
Kebijakan negara yang diatur dalam Protokol Palermo untuk mencegah
dan memerangi perdagangan orang, dan juga melindungi korban perdagangan
orang sebagaimana yang diatur dalam ratifikasi maka ada persamaan antara
kebijakan negara yang dirumuskan dalam Protokol Palermo dan UndangUndang No 21 Tahun 2007 bahwa negara memiliki fungsi untuk melakukan
pencegahan tindak pidana perdagangan orang. Negara wajib melaksanakan kerja
sama internasional baik yang bersifat bilateral, regional maupun multilateral
dalam pencegahan tindak pidana perdagangan orang. Bahkan dalam UndangUndang No 21 Tahun 2007 negara mengalokasikan anggaran untuk
melaksanakan pencegahan dan penanganan masalah perdagangan orang.
Perbedaan yang penulis temukan dalam penelitian ini adalah dalam Protokol
Palermo ada sedikit penekanan untuk mengutamakan perempuan dan anak-anak
akan tetapi dalam Undang-Undang No 21 Tahun 2007 tidak dirumuskan hal
demikian yang mana hanya mewajibkan dalam melakukan pencegahan dalam

tindak pidana perdagangan orang negara melakukan kerja sama internasional.
Kerja sama yang dirumuskan dalam Protokol Palermo adalah kerja sama dengan
organisasi-organisasi lembaga swadaya masyarakat sipil dalam melaksakan
pencegahan tindak pidana perdagangan orang. Perbedaan lainnya negara harus
melakukan langkah penelitian, kampanye media massa, dan inisiatif-inisiatif
sosial dan ekonomi untuk mencegah tindak pidana perdagangan orang, hanya
dirumuskan dalam Protokol Palermo dan tidak dirumuskan lebih lanjut dalam
Undang-Undang No 21 Tahun 2007.
7. Pencegahan dan Pemberantasan Korban Perdagangan Orang
Protokol Palermo Tahun 2000 dalam merumuskan pencegahan dan
pemberantasan, maka negara memiliki peran yang besar melalui kerja sama
bilateral atau multilateral. Negara dalam hal pemberantasan tindak pidana
perdagangan orang dapat melakukan kerja sama dengan negara-negara lain,
dalam Undang-Undang No 21 Tahun 2007 pemerintah daerah dan keluarga
dilibatkan dalam pencegahan perdagangan orang ini menunjukkan bahwa dalam
perbedaan peran untuk mencegah tindak pidana perdagangan orang, jika dalam
Protokol Palermo hanya negara yang dilibatkan maka di dalam Undang-Undang
No 21 Tahun 2007 bukan hanya negara tetapi keluarga memiliki peran penting
dalam melaksanakan pencegahan perdagangan orang.
Sebagai upaya pencegahan tindak pidana perdagangan orang maka
menurut penulis dapat dilakukan melalui beberapa cara: Pertama , peningkatan
pendidikan masyarakat khususnya pendidikan bagi anak-anak dan perempuan
yang status sosialnya rendah termasuk sarana dan prasarana. Kedua,
peningkatan pengetahuan masyarakat tentang tindak pidana perdagangan orang.
Ketiga , perlu diupayakan adanya jaminan bagi keluarga khususnya perempuan

dan orang dalam status sosial rendah untuk memperoleh pendidikan peningkatan
pendapatan dan pelayanan sosial.
Masyarakat secara umum sangat rawan menjadi korban tindak pidana
perdagangan orang apabila tidak mempunyai bekal pengetahuan yang memadai
tentang tindak pidana perdagangan orang untuk itulah diperlukan sosialisasi
secara baik dan menyebarluaskan informasi tentang apa dan bagaimana praktek
Human Trafficking yang harus diwaspadai. Langkah selanjutnya, untuk

memberantas

tindak

pidana

perdagangan

orang

adalah

memberantas

kemiskinan, ketidaksetaraan gender, sempitnya lapangan kerja. Di samping itu
upaya pencegahan dan pemberantasan tindak pidana perdagangan orang
memerlukan adanya perdagangan hukum yang tegas, tanpa perdagangan hukum
yang tegas pencegahan dan pemberantasan tindak pidana perdagangan orang
akan sia-sia.

Dokumen yang terkait

Analisis komparatif rasio finansial ditinjau dari aturan depkop dengan standar akuntansi Indonesia pada laporan keuanagn tahun 1999 pusat koperasi pegawai

15 355 84

ANALISIS SISTEM PENGENDALIAN INTERN DALAM PROSES PEMBERIAN KREDIT USAHA RAKYAT (KUR) (StudiKasusPada PT. Bank Rakyat Indonesia Unit Oro-Oro Dowo Malang)

160 705 25

Representasi Nasionalisme Melalui Karya Fotografi (Analisis Semiotik pada Buku "Ketika Indonesia Dipertanyakan")

53 338 50

KONSTRUKSI MEDIA TENTANG KETERLIBATAN POLITISI PARTAI DEMOKRAT ANAS URBANINGRUM PADA KASUS KORUPSI PROYEK PEMBANGUNAN KOMPLEK OLAHRAGA DI BUKIT HAMBALANG (Analisis Wacana Koran Harian Pagi Surya edisi 9-12, 16, 18 dan 23 Februari 2013 )

64 565 20

Analisis Pertumbuhan Antar Sektor di Wilayah Kabupaten Magetan dan Sekitarnya Tahun 1996-2005

3 59 17

Analisis tentang saksi sebagai pertimbangan hakim dalam penjatuhan putusan dan tindak pidana pembunuhan berencana (Studi kasus Perkara No. 40/Pid/B/1988/PN.SAMPANG)

8 102 57

AN ANALYSIS OF LANGUAGE CONTENT IN THE SYLLABUS FOR ESP COURSE USING ESP APPROACH THE SECRETARY AND MANAGEMENT PROGRAM BUSINESS TRAINING CENTER (BTC) JEMBER IN ACADEMIC YEAR OF 2000 2001

3 95 76

DAMPAK INVESTASI ASET TEKNOLOGI INFORMASI TERHADAP INOVASI DENGAN LINGKUNGAN INDUSTRI SEBAGAI VARIABEL PEMODERASI (Studi Empiris pada perusahaan Manufaktur yang Terdaftar di Bursa Efek Indonesia (BEI) Tahun 2006-2012)

12 142 22

Diskriminasi Perempuan Muslim dalam Implementasi Civil Right Act 1964 di Amerika Serikat

3 55 15

Hubungan antara Kondisi Psikologis dengan Hasil Belajar Bahasa Indonesia Kelas IX Kelompok Belajar Paket B Rukun Sentosa Kabupaten Lamongan Tahun Pelajaran 2012-2013

12 269 5