Perumusan dan Strategi Implementasi Sist

PERUMUSAN DAN STRATEGI IMPLEMENTASI SISTEM
KONSERVASI BERBASIS MASYARAKAT SEBAGAI UPAYA
PENANGANAN KONFLIK MANUSIA-ORANGUTAN (Pongo sp.) DI
INDONESIA

Disusun sebagai Salah Satu Syarat
Pemilihan Mahasiswa Berprestasi Utama
Tingkat Universitas Indonesia
2013

Oleh:

ARDIANTIONO
NPM: 1006675726

FAKULTAS MATEMATIKA DAN ILMU PENGETAHUAN ALAM
UNIVERSITAS INDONESIA
DEPOK

1


BAB I: PENDAHULUAN

A. Latar Belakang

Indonesia bersama Malaysia dikenal sebagai negara penghasil minyak sawit terbesar di
dunia. Kedua negara menargetkan penambahan 83% produksi dan 89% ekspor minyak sawit
terkait permintaan yang diperkirakan akan meningkat hingga dua kali lipat di tahun 2020
(Yuwono, dkk., 2007). Sektor kelapa sawit telah menjadi salah satu pendapatan utama bagi
Indonesia dengan menyumbang 12% dari total Rp. 700 triliun pendapatan negara pada tahun
2008. Luas perkebunan kelapa sawit telah telah meningkat 35 kali lipat sejak tahun 1967
menjadi sekitar 5,6 juta ha pada tahun 2005 dan sekitar 7.8 juta ha pada tahun 2009
(Wibowo, 2010). Sebagian perkebunan telah dikelola dengan baik, tetapi sebagian masih
membawa dampak negatif terhadap lingkungan. Diketahui perluasan perkebunan kelapa
sawit melalui konversi hutan dapat menimbulkan tekanan terhadap ekosistem di dalamnya
terutama pada daerah bernilai konservasi tinggi (Yuwono, dkk., 2007).
Kerusakan

habitat

oleh


konversi

hutan

menjadi

perkebunan

kelapa

sawit

mengakibatkan penurunan populasi satwa secara drastis. Penelitian oleh Laidlaw (1998)
dalam Yuwono, dkk. (2007) menunjukkan bahwa perkebunan kelapa sawit hanya mendukung
0—20% dari kelangsungan hidup satwa yang ditemukan pada hutan hujan primer. Berbagai
satwa terutama mamalia harus memanfaatkan ruang dan sumber pakan yang sama dengan
manusia untuk tetap bertahan hidup pada perubahan lingkungan (Yuwono, dkk., 2007).
Perebutan sumber daya dengan manusia inilah yang menjadi penyebab konflik diantara
manusia dan satwa yang mendorong terjadinya perburuan, penangkapan, dan pembunuhan

satwa dalam kasus ekstrim.
Konflik manusia dan satwa yang saat ini menjadi perhatian dunia internasional adalah
konflik manusia-orangutan (Pongo sp.). Diperkirakan sekitar 5000 orangutan dibunuh dan
1000 orangutan ditangkap untuk perdagangan satwa setiap tahunnya. Apabila ancaman
terhadap orangutan terus dibiarkan maka orangutan yang merupakan salah satu kerabat
terdekat manusia akan mengalami kepunahan total dalam 10 tahun kedepan (Whyte, dkk.,
2005). Alasan penyerangan terhadap orangutan cukup beragam, mulai dari ketakutan
masyarakat karena orangutan memasuki wilayah pemukiman, perburuan untuk perdagangan
dan makanan, hingga dianggap hama karena merusak perkebunan (Yuwono, dkk., 2007).

2

Seiring dengan semakin tinggi kesadaran masyarakat tentang pentingnya menjaga alam,
kasus perluasan perkebunan kelapa sawit yang dianggap sebagai penghancur hutan hujan
tropis turut menjadi perhatian. Kasus pembantaian1 orangutan menjadi akibat serius konflik
yang telah terjadi saat ini. Apabila konflik ini tidak ditangani dengan serius, tidak menutup
kemungkinan masalah ini akan berujung pada kepunahan satwa endemik dan berkarisma
yang selalu menjadi perhatian dunia. Bukan hal yang mustahil juga bila hal tersebut terus
berlanjut, akan memicu pemboikotan produk perdagangan dari Indonesia yang menggunakan
minyak sawit (Supriatna, 2012). Oleh karena itu, penanganan konflik manusia-orangutan

sebagai bagian dari upaya konservasi orangutan dan ekosistem di dalamnya menjadi hal
mendesak yang penting untuk dilakukan.
Upaya konservasi orangutan telah dilakukan oleh berbagai pihak yaitu pemerintah,
lembaga swadaya masyarakat (LSM), dan privat. Walaupun begitu, pada kenyataannya upaya
konservasi masih belum terlaksana seperti yang diharapkan. Konflik manusia-orangutan yang
terjadi saat ini merupakan konflik yang melibatkan dua pihak yaitu perusahaan kelapa sawit
dan masyarakat lokal. Tanpa melibatkan kedua pihak terutama masyarakat lokal, maka
praktik konservasi yang diharapkan tidak akan berjalan.
Melalui penelitian ini, penulis mencoba fokus kepada perumusan dan strategi
implementasi sistem konservasi berbasis masyarakat. Masyarakat dipilih sebagai basis
konservasi karena masyarakat lokal hidup dan bergantung dengan hutan yang juga menjadi
habitat alami orangutan sejak dahulu. Upaya mempertahankan hutan oleh masyarakat dari
pihak pengembang perkebunan kelapa sawit akan membantu melindungi hutan dan spesies di
dalamnya termasuk orangutan (Buckland, 2010). Keberadaan masyarakat lokal menjadi
kekuatan penting untuk menjaga hutan di Indonesia. Oleh karena itu, penulis meyakini
peranan masyarakat sangatlah besar dalam menjaga keberlangsungan hidup orangutan.

1

Istilah pembantaian sengaja digunakan untuk menyulut rasa sentimen yang berlebih bukan saja bagi para

pecinta lingkungan, tetapi agar publik pun ikut terpengaruh dalam memberikan perhatian terhadap konflik yang
terjadi (Supriatna, 2012).
3

B. Perumusan Masalah

1. Bagaimana peranan masyarakat lokal dalam upaya konservasi orangutan di
Indonesia?
2. Bagaimana kemungkinan implementasi sistem konservasi berbasis masyarakat dalam
konservasi orangutan di Indonesia?
3. Bagaimana perumusan dan strategi implementasi sistem konservasi berbasis
masyarakat sebagai solusi untuk konflik manusia-orangutan dalam upaya konservasi
di Indonesia?
4. Bagaimana peranan mahasiswa sebagai fasilitator dalam sistem konservasi berbasis
masyarakat sebagai solusi untuk konflik manusia-orangutan di Indonesia?

C. Konstruksi Gagasan atau Ide Pokok

Konflik manusia-orangutan merupakan fenomena yang terjadi ketika eksploitasi
sumber daya alam yaitu hutan terjadi secara berlebihan dan mengakibatkan pembenturan

kepentingan di antara kedua pihak. Manusia pada kenyataannya bertanggung jawab
dalam memicu konflik yang terjadi saat ini dan merupakan kewajiban manusia untuk
menyelesaikannya juga. Penulis menggagas sistem konservasi berbasis masyarakat
sebagai suatu upaya konservasi karena meyakini peranan dan kekuatan yang besar dari
masyarakat lokal dapat menjadi solusi untuk konflik manusia-orangutan yang telah
terjadi. Sistem konservasi ini menekankan pada upaya perlindungan hutan yang menjadi
habitat orangutan dan tidak pada upaya perlindungan secara langsung kepada orangutan.
Masyarakat lokal yang dilibatkan dalam sistem ini adalah masyarakat yang tinggal di
dalam atau sekitar hutan habitat yang menjadi habitat orangutan. Mekanisme perumusan
dan strategi implementasi sistem konservasi berbasis masyarakat akan dibahas lebih
lanjut pada bab analisis dan sintesis.

4

D. Tujuan dan manfaat penelitian

1. Tujuan umum
Penelitian dilakukan untuk mengkaji kemungkinan implementasi sistem konservasi
berbasis masyarakat, perumusan, serta strategi implementasinya sebagai solusi untuk
konflik manusia-orangutan di Indonesia.


2. Tujuan khusus
Berdasarkan tujuan umum diatas, dapat dirumuskan tiga tujuan khusus yaitu:
a. Penelitian bertujuan untuk mengetahui dan menganalisis peranan masyarakat lokal
dalam upaya konservasi orangutan di Indonesia.
b. Penelitian bertujuan untuk mengkaji kemungkinan

implementasi sistem

konservasi berbasis masyarakat dalam konservasi orangutan di Indonesia.
c. Penelitian bertujuan untuk merumuskan dan merancang strategi implementasi
sistem konservasi berbasis masyarakat sebagai solusi untuk konflik manusiaorangutan di Indonesia.
d. Penelitian bertujuan untuk mengetahui dan menganalisis peranan mahasiswa
sebagai fasilitator dalam sistem konservasi berbasis masyarakat sebagai solusi
untuk konflik manusia-orangutan di Indonesia.

3. Manfaat penelitian
Adapun manfaat dari penelitian ini adalah sebagai berikut:
a.


Penelitian memiliki manfaat dalam memberikan kajian yang utuh dan
rekomendasi untuk pembuatan kebijakan konservasi oleh pemerintah maupun
lembaga non-pemerintah dalam menjaga keberlangsungan hidup orangutan di
Indonesia.

b.

Penelitian memiliki manfaat dalam menggagas sistem konservasi berbasis
masyarakat yang dapat diimplementasikan untuk upaya konservasi di Indonesia.

5

BAB II: TELAAH PUSTAKA

A. Orangutan dan Ekologinya

Orangutan borneo (Pongo pygmaeus) dan orangutan sumatera (Pongo abelii)
merupakan satu-satunya kera besar yang hidup di Asia. Orangutan ditemukan di pulau
Sumatera dan Borneo dengan 90% populasi berada di Indonesia (Soehartono, dkk., 2007;
Yuwono, dkk., 2007). Wich, dkk. (2008) memperkirakan jumlah populasi orangutan di

Sumatera sebanyak 6.667 individu dan di Borneo sebanyak 54.567 individu. Angka tersebut
diperkirakan akan terus menurun seiring dengan penyusutan hutan yang menjadi habitat
alami orangutan (Soehartono, dkk., 2007).
Kelangsungan hidup orangutan sangat tergantung pada hutan hujan tropis yang menjadi
habitatnya. Orangutan umumnya hidup di dataran rendah dengan kepadatan tertinggi terdapat
pada ketinggian sekitar 200—400 m dpl. Orangutan merupakan satwa arboreal yang
berukuran besar, memiliki daerah jelajah yang luas, dan memiliki masa hidup yang panjang.
Setiap kelahiran, orangutan betina hanya menghasilkan satu bayi dengan jarak kelahiran 6—9
tahun2 (Supriatna & Edy, 2000; Yuwono, dkk., 2007).
Sebagai mahluk hidup yang sangat tergantung pada keberadaan hutan, orangutan dapat
dianggap sebagai wakil terbaik dari struktur keanekaragaman hayati hutan hujan tropis yang
berkualitas tinggi. Orangutan telah dijadikan "flagship species" untuk meningkatkan
kesadaran konservasi masyarakat. Kelestarian orangutan menjamin kelestarian hutan
sehingga diharapkan kelestarian mahluk hidup lain ikut terjaga pula. Orangutan merupakan
pemakan buah (frugivore) sehingga menjadi agen penyebar biji yang efektif untuk menjamin
regenerasi hutan. Orangutan juga menarik dari segi ilmu pengetahuan karena kemiripan
karakter biologis dengan manusia. Sebagai satu-satunya kera besar di Asia, orangutan
memiliki potensi untuk menjadi ikon pariwisata Indonesia3 (Soehartono, dkk., 2007;
Yuwono, dkk., 2007; Supriatna, 2008).


2

Kasus kelahiran kembar sangat jarang ditemukan dan umumnya induk orangutan hanya akan mau merawat
satu anak di alam (Supriatna & Edy, 2000). Siklus reproduksi yang lambat menjadi permasalahan yang dihadapi
dalam upaya pemulihan populasi orangutan.
3
Tercatat sebanyak 5.825 wisatawan berkunjung setiap tahunnya untuk menyaksikan kehidupan alami
orangutan di Taman Nasional Tanjung Puting (Kementerian Kehutanan, 2012).

6

B. Ancaman Terhadap Orangutan: Kerusakan Habitat Akibat Konversi Hutan

Hutan hujan tropis di Asia Tenggara mengalami tekanan dari dua kegiatan besar yaitu
pembalakan secara besar-besaran baik secara legal maupun ilegal dan kegiatan konversi
lahan untuk berbagai keperluan, termasuk pembangunan perkebunan kelapa sawit. Data Food
and Agriculture Organization (FAO) menunjukkan tutupan hutan di Indonesia sepanjang
tahun 1990-an mengalami penurunan hingga 13 juta hektar dengan laju deforestasi sebesar
1,51 juta ha/tahun pada tahun 2000-2009 (Sumargo, dkk. 2009).
Penyusutan dan kerusakan kawasan hutan dataran rendah yang terjadi di Sumatera dan

Borneo selama sepuluh tahun terakhir telah mencapai titik kritis yang dapat membawa
bencana ekologis skala besar. Kerusakan kawasan hutan telah menurunkan jumlah habitat
orangutan sebesar 1-1,5% per tahunnya di Sumatera. Jumlah kehilangan habitat di Borneo
sebesar 1,5-2% per tahunnya dan lebih tinggi jika dibandingkan dengan Sumatera. Kerusakan
hutan yang menjadi habitat orangutan di Borneo menyebabkan fragmentasi pada populasi
orangutan borneo (Gambar 1) (Soehartono, dkk., 2007).
Konversi hutan menjadi perkebunan kelapa sawit4 diduga menjadi penyebab utama
kerusakan habitat orangutan di Indonesia saat ini. Mengambil contoh di Borneo, provinsi
Kalimantan Timur telah merencanakan pengembangan perkebunan kelapa sawit sebesar 1
juta ha dan sebanyak 330 perusahaan telah mengantongi luas izin mencapai 3,73 juta ha
dengan realisasi penanaman 576,31 ribu ha pada April 2012. Ketiadaan batas kawasan hutan
yang jelas di lapangan dan kurang tepatnya pemberian perizinan perkebunan juga
mengakibatkan sekitar 200 ribu ha lahan perkebunan tumpang tindih atau menjarah kawasan
hutan (Sardjono, dkk. 2012). Di Sumatera, dapat diambil contoh kasus konversi hutan rawa
gambut menjadi perkebunan kelapa sawit di daerah Tripa, Aceh. Laju kehilangan hutan yang
menjadi habitat orangutan sumatera ini bahkan mencapai 3.300 ha/tahun pada periode tahun
2005-2009 (Tata, dkk. 2012).
Konversi hutan menjadi perkebunan kelapa sawit saat ini memang menjadi pilihan
karena memberikan pendapatan bagi negara sebesar Rp. 84 triliun pada tahun 2008 (Wibowo,
2010). Usaha kelapa sawit telah menjadi pilihan bagi masyarakat di Tripa karena upah yang
besar bagi buruh yaitu Rp. 139.881 per hari dan keuntungan sebesar Rp. 88.134.000 untuk
4

Penulis memfokuskan permasalahan perkebunan kelapa sawit sebagai ancaman utama terhadap orangutan
dalam tulisan ini. Permasalahan lain seperti pembalakan liar, pertambangan, pembakaran hutan dan lahan
berpindah (Sudjono, dkk. 2012) tetap diperhitungkan walaupun tidak dianggap sebagai ancaman utama bagi
keberlangsungan hidup orangutan.
7

setiap ha luas perkebunan sekali panen (Tata, dkk. 2012). Hal ini menyebabkan semakin
meluasnya perambahan hutan untuk dikonversi menjadi perkebunan kelapa sawit.

[Gambar 1. Sebaran populasi orangutan di Borneo pada tahun 1930-2004]

C. Konflik Manusia-Orangutan
Konflik manusia-orangutan terjadi karena adanya kompetisi akan sumber daya alam
yang terbatas. Sebagian masyarakat masih beranggapan bahwa orangutan “hanyalah
binatang” yang derajatnya lebih rendah dari manusia sehingga hak dan kebutuhannya untuk
hidup sering tidak dipertimbangkan. Kebutuhan manusia akan lahan, sumber daya alam,
kekayaan dan kesejahteraan yang terus meningkat menjadi ancaman bagi keberadaan dan
keberlangsungan hidup orangutan (Yuwono, dkk., 2007).
Konflik manusia-orangutan sering berdampak pada kerusakan tanaman dan konsumsi
buah di perkebunan dan lahan masyarakat, serta munculnya rasa tidak aman dari kedua belah
pihak pada saat bertemu. Kerugian dari pihak perusahaan, salah satunya seperti yang terjadi
di PT. Kerri Sawit Indonesia (Kalimantan Tengah) dimana satu orangutan dalam dua hari
dapat memakan 300 pokok sawit berusia 1 tahun yang harga perpokoknya Rp. 20.000,- (Bpk.
Iwan-PT. Kerri Sawit Indonesia). Kasus perusakan oleh orangutan juga ditemukan di
kawasan batang Serangan, Sumatera Utara dimana tercatat 801 kasus terjadi selama Februari
2007-Januari 2008 di 179 perkebunan warga (Campbell-Smith, dkk. 2012). Di sisi lain,
kerugian dari segi konservasi juga terjadi pada biaya penyelamatan orangutan yang tinggi
yaitu US$ 3.000/individu (BOSF, unpubl.). Apabila tidak dicari penyelesaian, konflik yang
berkelanjutan akan berakibat buruk dan merugikan bagi kedua belah pihak (Yuwono, dkk.,
2007).

8

Salah satu dampak dari konflik manusia-orangutan adalah peningkatan kasus
pembunuhan orangutan dan perburuan orangutan untuk diperdagangkan. Konversi hutan
untuk berbagai kepentingan seperti perkebunan dan pembangunan infrastruktur yang
memotong habitat orangutan akan mengurangi luas habitat dan jumlah pakan bagi orangutan.
Ketiadaan sumber pakan dan tekanan perburuan menyebabkan orangutan memasuki daerahdaerah pemukiman dan perkebunan sehingga meningkatkan konflik di antara keduanya.
Orangutan seringkali dianggap sebagai hama yang mengambil hasil kebun masyarakat di
banyak lokasi sepanjang perbatasan hutan terutama di Sumatera dan konsekuensinya mereka
disiksa, dianiaya, atau dibunuh. Hal tersebut jelas bertentangan dengan UU No. 5 tahun 1990
pasal 21 (Soehartono, dkk., 2007; Yuwono, dkk., 2007).
Dampak lain dari konflik manusia-orangutan adalah kematian orangutan akibat
tertimpa pohon pada saat kegiatan land clearing dan kematian karena kelaparan. Pihak
perkebunan juga sering melakukan penangkapan orangutan melalui jerat ataupun pengejaran
langsung yang umumnya berakhir pada kematian orangutan. Dari semua itu, pada akhirnya
terjadi penurunan populasi orangutan secara cepat, bahkan menimbulkan kepunahan
orangutan di beberapa tempat (Whyte, 2005; Yuwono, dkk., 2007).
Whyte (2005) memperkirakan 5000 orangutan dibunuh dan 1000 diperdagangkan
setiap tahunnya. Studi terbaru telah dilakukan oleh Meijaard, dkk (2011) melalui pendekatan
kepada masyarakat lokal untuk menkuantifikasi kasus pembunuhan orangutan di Kalimantan,
Indonesia5. Tercatat sebanyak 750-1800 orangutan dibunuh pada tahun 2008 dengan rata-rata
1950-3100 orangutan dibunuh setiap tahunnya. Walaupun lebih rendah dari angka yang
disampaikan oleh Whyte (2005) tetapi angka tersebut berpotensi memberikan ancaman bagi
populasi orangutan Borneo di wilayah Kalimantan.

5

Studi dilakukan dengan melakukan wawancara terhadap 6.983 responden di 687 desa yang tersebar di
Kalimantan Barat, Tengah, dan Timur. Studi bertujuan untuk mengetahui kondisi sosial-ekonomi masyarakat,
pengetahuan masyarakat terhadap orangutan terutama konflik dan kasus pembunuhannya, dan pengetahuan
terhadap hukum yang melindungi orangutan.

9

D. Upaya Konservasi dan Penanganan Konflik Manusia-Orangutan

Salah satu upaya konservasi yang telah dilakukan pemerintah adalah dengan membuat
kebijakan terkait konservasi orangutan. Pemerintah Indonesia bekerjasama dengan lembaga
non-pemerintah membuat Strategi dan Rencana Aksi Konservasi Orangutan 2007-2017 yang
mencangkup segala kebijakan pemerintah baik dalam ruang lingkup umum maupun sektoral.
Salah satu undang-undang yang sangat penting adalah Undang-undang Nomor 5 Tahun 1990
tentang Konservasi Sumber Daya Alam Hayati dan Ekosistemnya, termasuk turunannya yaitu
Peraturan Pemerintah No. 7 Tahun 1999 tentang Pengawetan Tumbuhan dan Satwa Liar dan
Peraturan Pemerintah No. 8 Tahun 1999 tentang Pemanfaatan Tumbuhan dan Satwa Liar
(Soehartono, dkk., 2007). Dalam dunia internasional,

lembaga status konservasi satwa

internasional International Union for Conservation of Nature (IUCN) memberikan kategori
genting (endangered) kepada orangutan borneo dan kritis (critically endangered) kepada
orangutan sumatera. Kedua spesies tersebut juga terdaftar dalam Apendiks I CITES
(Convention on International Trade in Endangered of Wild Species of Fauna and Flora)
yang berarti orangutan maupun bagian tubuhnya sama sekali tidak boleh diperdagangkan
(Supriatna, 2012).
Upaya konservasi yang juga sedang berjalan adalah dengan memberi perlindungan
hutan yang menjadi habitat dari orangutan. Upaya cukup inovatif telah dilakukan oleh LSM
Nature Alert dan Orangutan Survival Foundation yaitu dengan mengajak konsumen untuk
mengurangi pemakaian produk minyak sawit dan mengecek asal minyak sawit yang
digunakan, apakah berasal dari perkebunan yang merusak hutan habitat orangutan atau tidak
(Whyte, 2005; Buckland, 2010).
Upaya konservasi lainnya adalah dengan melakukan mitigasi konflik manusiaorangutan. Pengelola lahan yang diduga menjadi habitat potensial orangutan diwajibkan
melakukan survey terlebih dahulu dengan melibatkan para ahli untuk memastikan keberadaan
orangutan. Deteksi secara visual keberadaan orangutan merupakan petunjuk yang terbaik.
Jika tidak ditemukan secara visual, maka tanda-tanda lain yang ditinggalkan orangutan perlu
diperhatikan, seperti keberadaan sarang dan terdengarnya suara orangutan (Yuwono, 2007).
Pengetahuan akan populasi dan dinamika orangutan di daerah sekitar lahan konversi sangat
penting untuk manajemen konservasi yang akan dilakukan.
Penanganan konflik manusia-orangutan melibatkan upaya relokasi, rehabilitasi, dan
reintroduksi. Relokasi dilakukan pada orangutan yang kehilangan tempat tinggalnya dan
dipindahkan ke habitat baru yang lebih menunjang. Rehabilitasi dilakukan untuk merawat
10

orangutan yang juga telah kehilangan habitatnya dan biasanya menampung orangutan yang
telah cacat permanen atau anak-anak orangutan hasil sitaan (Soehartono, dkk., 2007;
Supriatna, 2008; Buckland, 2010). Kementerian Kehutanan (2012) mendokumentasikan pusat
rehabilitasi yang terdapat di daerah sebaran orangutan yaitu Bukit Lawang dan Batu Mbelin
Sibolangit (Sumatera Utara), Pusat Rehabilitasi Orangutan Janthoi (Aceh), Care Cenyer and
Quarantine dan Nyaru Menteng (Kalimantan Tengah), Wanariset Semboja (Kalimantan
Timur). Setelah menjalani rehabilitasi, orangutan akan dilepasliarkan (reintroduksi) agar
memperoleh kesempatan untuk belajar mencari pakan secara mandiri dan belajar
bersosialisasi secara alami (Soehartono, dkk., 2007)

E. Kendala Dalam Upaya Konservasi dan Penanganan Konflik Manusia-Orangutan

Upaya konservasi yang telah dilakukan sejauh ini belum menunjukkan hasil
memuaskan dalam perlindungan orangutan maupun penanganan konflik manusia-orangutan.
Konflik kepentingan yang melibatkan manusia dan orangutan menunjukkan tren peningkatan.
Kerusakan yang ditimbulkan oleh orangutan pada perkebunan kelapa sawit maupun
perkebunan warga juga semakin meningkat dan umumnya diakhiri dengan orangutan sebagai
korban (Yuwono, dkk., 2007).
Penegakan hukum di Indonesia terkait dengan konservasi terhitung masih lemah. Hal
ini disebabkan masih belum ada koordinasi yang baik di antara pemerintah pusat dengan
daerah, maupun bidang-bidang pemerintah yang bergerak di bidang konservasi. Selain itu,
seringkali peraturan dan kebijakan yang diberikan bersifat ambigu sehingga dapat
disalahartikan. Sebagai contoh Peraturan Pemerintah No. 8 Tahun 1999 tentang Pemanfaatan
Tumbuhan dan Satwa Liar sering dimanfaatkan oleh pihak yang tidak bertanggungjawab
untuk mengeksploitasi keanekaragaman hayati di Indonesia termasuk orangutan (Yuwono,
dkk., 2007; Setyowati, dkk. 2008; Supriatna, 2008).
Program rehabilitasi mendapatkan berbagai kendala seperti risiko penularan penyakit
(dari satwa yang dilepas ke populasi alam) dan juga kepada manusia. Biaya rehabilitasi
orangutan juga terhitung sangat besar dan pada tahun 1991 diperkirakan mencapai US$ 1.200
per satwa untuk enam bulan. Kendala terbesar adalah tidak diketahuinya tingkat keberhasilan
orangutan yang direintroduksi. Data dari Kalimantan menunjukkan bahwa satwa lepasan
menunjukkan mortalitas yang tinggi. Bagaimanapun daya tampung hutan hujan tropis dataran
rendah sebagai habitat alami orangutan juga akan terbatas bahkan cenderung mengecil. Hal
11

ini menjadi dilema bagi para penggiat konservasi sehingga muncul pertanyaan “apakah upaya
rehabilitasi dan reintroduksi orangutan masih perlu dilakukan?” (Supriatna, 2008).

F. Konservasi Berbasis Masyarakat: Pentingnya dan Kendala yang Dihadapi

Masyarakat yang tinggal di kawasan hutan memiliki peranan penting dalam upaya
konservasi hutan dan sumber daya di dalamnya. Kementerian Kehutanan mencatat jumlah
desa yang berhubungan dengan kawasan hutan saat ini tercatat sebanyak 31.957 desa
(Renstra Kemenhut 2010-2014) yang terdistribusi di dalam kawasan hutan sebanyak 1.305
desa (4,08%), tepi kawasan hutan sebanyak 7.943 (24,86%) dan di sekitar hutan sebanyak
22.709 (71,06%) (Rahmina, dkk. 2011). Pengakuan pemerintah terhadap hak pengelolaan
hutan oleh masyarakat telah ditetapkan dalam Peraturan Menteri Kehutanan No. 36/2009
yang menjabarkan hak pengelolaan di dalam kawasan hutan untuk masyarakat seperti hutan
desa, hutan kemasyarakatan,dan hutan tanaman rakyat (Warman, dkk. 2012). Pengelolaan
hutan oleh masyarakat diharapkan bersifat bijak dan lestari untuk mendukung keberdayaan
hutan dalam mendukung ekosistem di dalamnya.
Seringkali muncul perselisihan antara pemerintah pusat dengan pemerintah daerah,
serta antara pengelola kawasan konservasi dengan masyarakat di sekitar kawasan. Konflik
antara pemerintah pusat dengan pemerintah daerah bisa muncul karena perbedaan
kepentingan.

Pemerintah pusat

menghendaki

suatu kawasan dilindungi,

sehingga

pembangunan fisik kawasan harus dilakukan secara hati-hati dan tidak sampai berdampak
negatif terhadap sumberdaya hayati yang ada di dalam kawasan yang dilindungi. Di sisi lain,
pemerintah daerah menginginkan daerahnya bisa dimanfaatkan secara optimal untuk
pembangunan (Angi, 2005; Setyowati, dkk. 2008; Supriatna, 2008).
Pada tahap implementasi, konflik antara pengelola kawasan konservasi dengan
masyarakat juga bisa muncul. Konflik yang paling menonjol terkait dengan masalah hak
masyarakat untuk mengakses kawasan konservasi. Berdasarkan studi kasus diberbagai
kawasan lindung, konflik pada umumnya berkaitan dengan: (a) kurangnya perhatian terhadap
proses pelibatan komunitas lokal dan pihak lainnya yang berkepentingan di dalam
perencanaan, pengelolaan dan pembuatan keputusan yang terkait dengan kebijakan kawasan
lindung; dan (b) kebutuhan komunitas lokal sekitar kawasan lindung (seperti padang
gembalaan, kayu bakar, bahan bangunan, makanan ternak, tumbuhan obat, berburu) yang

12

berkonflik dengan tujuan pengelolaan kawasan lindung (Setyowati, dkk. 2008; Supriatna,
2008).
Salah satu konflik yang timbul dari tata kelola konservasi adalah terdapat perbedaan
cara pandang antara negara (dalam hal ini: pemerintah) dengan masyarakat, khususnya yang
tinggal di sekitar alam (hutan dan laut). Pemerintah memandang bahwa alam yang unik, khas
dan utuh harus dilindungi sehingga penduduk sekitar merupakan ancaman. Alokasi, akses
dan kontrol ditetapkan oleh negara dengan landasan ilmu pengetahuan modern. Sementara
masyarakat memandang bahwa hutan adalah hasil konstruksi sosial antara masyarakat dan
ekosistem di sekitarnya. Pengetahuan lokal masyarakat telah menjadi landasan dalam
mengalokasikan, mengakses dan mengontrol sumberdaya alam tersebut (Angi 2005;
Yuwono, 2007; Setyowati, dkk. 2008; Supriatna, 2008).
Perbedaan cara pandang ini merupakan hal yang penting untuk diperhatikan dalam
keberlanjutan pengelolaan sumber daya alam dan konservasinya karena tidak dapat
dipungkiri bahwa kawasan konservasi di Indonesia tidak bisa dilepaskan dari kehidupan
masyarakat di dalam dan sekitarnya. Cara pandang masyarakat sudah sepatutnya
dipertimbangkan dalam pembuatan kebijakan konservasi di Indonesia.

13

BAB III: METODE PENELITIAN

Metode penelitian yang digunakan di adalah penelitian yang bertumpu kepada studi
kepustakaan (library research). Penelitian ini menurut bentuknya merupakan penelitian
preskriptif, menurut tujuannya merupakan penelitian problem solution,

menurut

penerapannya merupakan penelitian berfokus masalah, sedangkan menurut ilmu yang
dipergunakan merupakan penelitian multidispliner (melibatkan bidang ilmu biologi, ekonomi
dan sosial-budaya)
Jenis data yang digunakan dalam penelitian adalah data primer yang diperoleh dari
wawancara dan data sekunder yang diperoleh dari pengumpulan sumber informasi berupa
arikel ilmiah, buku, artikel populer, brosur, dan video. Metode analisis data yang digunakan
adalah dengan menggunakan pendekatan kualitatif (Cresswell, 1994). Dilakukan pendekatan
kualitatif karena penelitian ini mencoba untuk merumuskan sebuah sistem konservasi
berbasis masyarakat dari bawah (induktif). Penulis mengumpulkan data atau informasi dan
kemudian melakukan sintesis dan analisis untuk mendapatkan rumusan sistem dan strategi
implementasinya sebagai gagasan yang diajukan dalam makalah.

14

BAB IV: ANALISIS DAN SINTESIS

A. Konflik Manusia-Orangutan dan Permasalahan Konservasinya

Permasalahan konflik manusia-orangutan menggambarkan bagaimana sulitnya manusia
hidup berdampingan dan harmonis dengan alam. Orangutan sendiri bukanlah satu-satunya
korban akibat aktivitas manusia yang bersifat eksploitatif dan destruktif, tetapi banyak sekali
spesies yang juga terancam keberadaannya bahkan mengalami kepunahan. Dalam sejarah
tercatat terjadi kepunahan harimau jawa dan harimau bali akibat kerusakan habitat. Tidak
terhitung berapa banyak spesies tumbuhan, burung, mamalia, reptil, amfibi, dan
mikroorganisme yang terancam akibat kerusakan habitat oleh manusia (Supriatna, 2008).
Orangutan menjadi sorotan dunia karena mereka menjadi representasi bagaimana
manusia memperlakukan alam yang telah menghidupi manusia selama ini. Manusia telah
menunjukkan ketidakpedulian dengan alam hutan yang bisa kita lihat melalui konversi hutan
yang begitu besar sehingga mengakibatkan laju deforestasi hutan sebesar 1,51 juta ha/tahun
pada tahun 2000-2009 (Sumargo, dkk. 2009), suatu angka yang fantastis untuk sebuah
kerusakan hutan yang menjadi penyokong kehidupan di bumi ini. Ironisnya, manusia tidak
hanya menunjukkan ketidakpedulian pada hutan, tetapi juga kepada satwa dan bahkan
masyarakat lokal di dalamnya.
Orangutan diangkat menjadi flagship species untuk meningkatkan kesadaran konservasi
karena beberapa pertimbangan. Peranan orangutan yang besar dalam menjaga ekosistem di
dalamnya menjadikan orangutan sebagai salah satu spesies kunci (keystone species) di hutan
hujan tropis. Jenis kera besar ini juga dikenal memiliki kesamaan yang besar dengan manusia
(salah satu kerabat manusia paling dekat) dan merupakan spesies karismatik yang dikenal
oleh dunia (Supriatna & Edy, 2000; Yuwono, dkk., 2007). Pertanyaannya sekarang, jika
orangutan saat ini telah terancam keberadaannya akibat kerusakan habitat dan konflik dengan
manusia, apakah spesies lain memiliki kesempatan yang lebih besar untuk bertahan?
Penganiyaan, pengusiran hingga pembunuhan orangutan yang bahkan saat ini telah dianggap
hama oleh sebagian orang menjadi gambaran jelas bagaimana manusia berdiri diatas puncak
mata rantai makanan dan memiliki kuasa untuk melakukan apapun.
Konflik manusia-orangutan memang paling besar terjadi di antara pihak perkebunan
kelapa sawit dengan orangutan. Konflik orangutan juga terjadi di masyarakat sekitar hutan
dan perkebunan dimana orangutan merambah daerah pemukiman untuk mencari makanan.
15

Pada dasarnya orangutan merupakan hewan pemalu dan penakut (Yuwono, dkk., 2007),
mereka tidak akan memasuki daerah perkebunan maupun pemukiman apabila tidak ada
tekanan yang mendesak. Berkurangnya habitat dan makanan menyebabkan tekanan yang
besar pada orangutan dan tidak sedikit orangutan yang mati akibat kelaparan. Oleh sebab itu,
orangutan yang memasuki kawasan perkebunan dan pemukiman tidak dapat disalahkan.
Panduan langkah mitigasi dan manajemen konflik manusia-orangutan telah ditulis oleh
Yuwono, dkk (2007) dalam buku panduan “Guideliness for the better management practices
on avoidance, mitigation, and management of human-orangutan conflict in and around oil
palm plantations”. Panduan tersebut dikhususkan bagi perusahaan perkebunan kelapa sawit
untuk pengelolaan perkebunan yang lebih baik. Akan sangat membantu apabila perusahaan
tersebut bersedia untuk mengikuti panduan yang telah diberikan para ahli konservasi dalam
mengatasi konflik dengan orangutan. Walaupun begitu, implementasi konservasi yang
dilakukan oleh perusahaan perkebunan tidak serta merta mengatasi permasalahan konflik
yang ada saat ini. Jika perusahaan perkebunan kelapa sawit dapat menghindari konflik
dengan orangutan, tidak menutup kemungkinan (dan kemungkinan besar akan terjadi) konflik
akan berpindah ke daerah pemukiman masyarakat. Ditambah dengan fakta perambahan hutan
dan rencana perluasan kebun kelapa sawit akan semakin mengurangi habitat alami orangutan
sehingga meningkatkan konflik diantara keduanya.
Oleh karena itu, penanganan konflik manusia-orangutan merupakan hal yang mendesak
untuk dilakukan. Disamping konsekwensi tekanan dari masyarakat baik di Indonesia maupun
dunia dan potensi ancaman pemboikotan produk minyak sawit produksi Indonesia,
penanganan konflik juga merupakan komponen penting dari upaya konservasi yang telah
dilakukan (Supriatna, 2012; Supriatna 2008). Masyarakat akan menyangsikan efektivitas dan
kebutuhan akan suatu upaya konservasi apabila konflik manusia dan satwa yang telah terjadi
belum juga terselesaikan dan dapat berujung pada ketidakpercayaan masyarakat terhadap
suatu upaya konservasi.

16

B. Masyarakat Lokal Sebagai Garis Depan Perlindungan Hutan dan Habitat
Orangutan

Masyarakat lokal merupakan komunitas yang hidup di sekitar sumber daya alam yang
ada dan memanfaatkan sumber daya tersebut secara lestari. Kehidupan masyarakat lokal tidak
bisa dipisahkan dari keberadaan hutan yang menjadi penopang hidup mereka (Angi, 2005;
Setyowati, dkk. 2008; Supriatna, 2008). Akan tetapi, konversi hutan menjadi lahan
perkebunan kelapa sawit sebagai contoh, telah menghilangkan sumber pendapatan dan
penyokong kehidupan masyarakat di sekitarnya.
Suku Dayak di hutan Kalimantan merupakan salah satu contoh masyarakat lokal yang
teguh mempertahankan hutan mereka. Suku Dayak Kalimantan meyakini bahwa hutan
merupakan anugerah dari Yang Maha Kuasa dan oleh sebab itu merupakan hal yang tabu
untuk mengeksploitasi secara berlebihan segala sumber daya yang ada di dalamnya.
Walaupun begitu, tidak sedikit masyarakat suku Dayak yang harus kehilangan tempat tinggal
akibat lahan mereka dikonversi menjadi perkebunan (Anggi, 2005; Setyowati, dkk., 2008).
Hal tersebut terjadi karena sebagian masyarakat lokal tidak memiliki surat kepemilikan tanah
yang resmi sehingga tidak dapat meminta bantuan hukum dari pemerintah. Selain itu,
pemberian HPH (Hak Pengelolaan Hutan) terutama di masa Orde Baru juga memberikan
perusahaan perkebunan kelapa sawit kuasa yang sangat besar untuk melakukan konversi
hutan (Supriatna, 2008). Oleh karena itu pengakuan pemerintah terhadap hak pengelolaan
hutan oleh masyarakat melalui Peraturan Menteri Kehutanan No. 36/2009 menjadi penting
sebagai kekuatan bagi masyarakat untuk mempertahankan hutan (Warman, 2012).
Masyarakat yang tinggal di sekitar hutan memiliki peranan besar dalam menjaga hutan
yang menjadi habitat alami satwa di dalamnya termasuk orangutan. Sebagian masyarakat
memiliki pengetahuan yang lebih dalam mengenai manfaat dari hutan secara ekologis,
konservasi, sosial, budaya, maupun ekonomis. Pengetahuan tersebut membantu masyarakat
untuk mengelola dan memanfaatkan hutan di sekitar mereka dengan lebih bijak. Pengetahuan
dan pemanfaatan secara bijak oleh masyarakat sering disebut dengan istilah kearifan lokal
(Supriatna, 2008; Buckland 2010). Oleh karena itu sangat penting melibatkan masyarakat
dalam perumusan dan implementasi sistem konservasi di Indonesia. Masyarakat lokal
memiliki cara tersendiri untuk melindungi hutan mereka. Masyarakat dapat melakukan
negosiasi secara hukum, dapat menyuarakan aspirasi mereka ke pemerintah dan masyarakat
lainnya, serta memiliki hak yang sama untuk mengelola hutan mereka (Setyowati, dkk.,
2008).
17

Salah satu contoh kasus keberhasilan masyarakat bersama pemerintah daerah dalam
melindungi hutan mereka adalah pembentukan Taman Nasional Batang Gadis. Pada akhir
tahun 2003, bupati Mandailing Natal mengusulkan dibentuknya suatu kawasan konservasi di
sekitar hutan Batang Gadis. Usulan tersebut kemudian ditanggapi oleh pemerintah pusat
dengan mengirimkan tim terpadu. Rekomendasi tim terpadu digunakan oleh Menteri
Kehutanan untuk menetapkan kawasan konservasi seluas 108.000 ha. Pada bulan April tahun
2004, Batang Gadis ditetapkan statusnya sebagai taman nasional. Keterlibatan bupati dan
masyarakat sekitar sangat membantu komitmen pemerintah dalam usaha konservasi
(Supriatna, 2008). Tidak menutup kemungkinan bahwa masyarakat lokal dapat turut serta
berperan seperti di Batang Gadis, untuk melindungi hutan mereka dari ancaman konversi
hutan.

C. Sistem Konservasi Berbasis Masyarakat

C.1. Sistem Konservasi Berbasis Masyarakat: Gambaran Umum

Pada dasarnya konservasi berbasis masyarakat bukanlah merupakan hal yang baru.
Pembentukan Taman Nasional Batang Gadis menjadi salah satu gambaran konservasi
berbasis masyarakat di Indonesia. Pemberdayaan masyarakat lokal dalam mengelola alam
sudah dicanangkan dalam berbagai program yang dirancang pemerintah maupun LSM.
Pendekatan Pengelolaan Sumberdaya Alam Berbasis Masyarakat (Community Based Nature
Resource Management-CBNRM) merupakan program pemberdayaan masyarakat lokal untuk
lebih bijak dalam mengelola alam yang meliputi tiga aspek yaitu eksplorasi, ekploitasi secara
bijak, dan konservasi. Hal ini penting sekali karena banyak sekali kawasan konservasi yang
berkembang kemudian hancur akibat kadar dukungan, ketidakpedulian, permusuhan, dan
eksploitasi yang dilakukan masyarakat sekitar (Supriatna, 2008).
Dalam skenario yang baik, masyarakat akan dilibatkan dalam perencanaan dan
pengelolaan kawasan serta diberi pelatihan dan pekerjaan oleh penanggung jawab kawasan.
Jika hal ini dapat dilakukan, masyarakat dapat memetik keuntungan dari perlindungan
keanekaragaman hayati serta pengaturan kegiatan di kawasan (Setyowati, dkk., 2008;
Supriatna 2008). Dengan begitu, diharapkan masyarakat akan memiliki kesadaran untuk
menjaga kawasan hutan di sekitarnya. Beberapa komunitas masyarakat lokal telah
menunjukkan kemandirian dalam mengelola kawasan hutan secara bijak dan mandiri.
Walaupun begitu, masih diperlukan partisipasi pemerintah, peneliti maupun lembaga non18

pemerintah untuk mensosialisasikan dan menunjukkan pentingnya konservasi secara ilmiah
terutama dalam melindungi hutan yang menjadi habitat satwa di dalamnya.
Saat ini telah terwujud pengakuan yang lebih baik terhadap peranan masyarakat lokal,
bahwa partisipasi mereka merupakan suatu elemen kunci yang seringkali hilang dalam
strategi pengelolaan konservasi. Strategi top-down, dimana pemerintah sebagai penentu
rencana pengelolaan, perlu dipadukan dengan program-program bottom-up, dimana desa-desa
dan berbagai kelompok lokal lainnya merumuskan dan mencapai rencana-rencana
pengembangan mereka (Angi, 2005; Yuwono, dkk., 2007; Setyowati, dkk., 2008; Supriatna
2008). Program bottom-up ini penting karena dalam implementasinya, suatu sistem
konservasi tidak dapat digeneralisir untuk digunakan di seluruh Indonesia, akan tetapi perlu
pertimbangan dari pihak daerah yang memang mengenali dengan baik medan yang akan
dikonservasi.

C.2.

Sistem Konservasi Berbasis Masyarakat: Bagaimana Implementasinya
Dapat Dilakukan Dalam Upaya Konservasi Orangutan di Indonesia?

Suatu upaya sukses dalam konservasi orangutan dengan melibatkan masyarakat telah
dilakukan oleh Dr. Willie Smits di desa Samboja Lestari, Kalimantan Timur. Pendiri Borneo
Orangutans Survival (BOS) dan Masarang Foundation dalam videonya sebagai pembicara
menyampaikan upaya yang telah dilakukan beliau dan timnya dalam restorasi hutan,
konservasi orangutan, dan juga pemberdayaan masyarakat6. Dr. Smits dan masyarakat secara
khusus menanam pohon aren di sekeliling hutan yang akan digunakan sebagai habitat
orangutan. Perkebunan aren ini menjadi sumber pendapatan masyarakat sehingga masyarakat
diharapkan tidak melakukan eksploitasi berlebih di dalam hutan. Hal ini terbukti efektif,
dimana masyarakat Samboja Lestari turut serta secara aktif menjaga dan melindungi hutan
mereka dan konflik dengan orangutan yang sebelumnya terjadi dapat dikurangi.
Upaya inovatif lainnya juga dilakukan oleh Yayasan Alam Sehat Lestari (ASRI) yang
didirikan oleh drg. Hotlin Ompusunggu dan dr. Kinari Webb. Yayasan ASRI bergerak dalam
upaya konservasi khususnya orangutan di Taman Nasional Gunung Palung (TNGP),
Kalimantan Barat melalui pemberdayaan partisipatif sekitar 6.000 masyarakat lokal yang
tinggal di sekitar taman nasional. Masyarakat lokal sebagian besar berpenghasilan rendah
dengan rata-rata pendapatan hanya sebesar $13/bulan.Masalah kesehatan menjadi perhatian
bagi yayasan ini. Yayasan ASRI memberikan layanan kesehatan yang murah hingga gratis
19

kepada masyarakat lokal dengan syarat masyarakat lokal turut berpartisipasi dalam upaya
restorasi dan perlindungan hutan di kawasan TNGP. Upaya pemberantasan kemiskinan,
masalah kesehatan, dan siklus deforestasi terus dilakukan dan diharapkan kedepannya
masyarakat lokal dapat menjadi penjaga hutan di desa mereka7 (alamsehatlestari.org).
Keberhasilan sistem konservasi berbasis masyarakat terletak pada pemberdayaan masyarakat
sekitar hutan untuk turut serta berpartisipasi di dalamnya. Dr Smits menekankan bahwa
masyarakat lokal adalah kekuatan terbesar dari upaya konservasi apapun, dimanapun dan
kapanpun. Upaya konservasi yang harus dilakukan saat ini adalah menjaga hutan yang
menjadi habitat alami orangutan agar tidak semakin hilang. Oleh karena itu peranan
masyarakat sangatlah penting untuk menjaga hutan disekitarnya. Perlindungan hutan tersebut
dilakukan oleh masyarakat apabila masyarakat dapat memahami dan mendapatkan
keuntungan baik secara pendapatan maupun kesehatan yang memang merupakan bagian
penting dalam kesejahteraan masyarakat (Supriatna, 2008). Pendekatan tersebut mempunyai
nilai tambah berupa pengembalian nilai-nilai masyarakat (khususnya) dalam rasa
kepemilikan serta tanggung jawab pada hutan tersebut (Angi 2005; Setyowati, dkk., 2008;
Supriatna 2008).

6

Materi disampaikan oleh Dr. Willie Smits pada acara TED 2009 di Long Beach dengan judul "How to Restore
a Rainforest" (www.ted.com).
7 Program yang dilakukan oleh yayasan ASRI juga meliputi program reforestasi, perkebunan organik,
pemberian kambing untuk janda, dan upaya konservasi dan edukasi (alamsehatlestari.org).

20

C.3. Sistem Konservasi Berbasis Masyarakat: Perumusan dan Strategi
Implementasinya Sebagai Solusi Konflik Manusia-Orangutan di
Indonesia

1. Perumusan Sistem Konservasi Berbasis Masyarakat

Sistem konservasi berbasis masyarakat menekankan pada perlindungan hutan yang
menjadi habitat orangutan8. Upaya konservasi yang dilakukan akan mengarah kepada upaya
konservasi ekosistem sehingga cangkupan perlindungannya lebih luas dibandingkan upaya
konservasi yang terfokus hanya pada spesies tertentu saja (Soehartono, dkk., 2007; Buckland,
2010). Perlindungan hutan dalam sistem konservasi berbasis masyarakat diharapkan mampu
membantu meningkatkan kesejahteraan bagi masyarakat. Masyarakat lokal dipilih karena
mereka telah hidup dan bergantung pada hutan di sekitar baik melalui jasa ekologis maupun
sumber daya sehingga potensi pemanfaatan hutan lebih mudah untuk dikembangkan
(Supriatna, 2008).
Perumusan sistem konservasi berbasis masyarakat melibatkan beberapa tahap penting
sebagai fondasi untuk strategi implementasi kedepannya9. Penulis membuat secara khusus
rumusan sistem konservasi yang dapat dilihat pada Gambar 3 (Soehartono, dkk., 2007;
Setyowati, dkk., 2008; Supriatna 2008):

8

Dr. Noviar Andayani (Regional Director Wildlife Conservation Society) menyatakan hal terpenting untuk
mengatasi konflik manusia-orangutan adalah melalui penyediaan ruang untuk keduanya. Perlindungan hutan
dapat memberikan ruang untuk orangutan sehingga diharapkan mampu mengakomodir kebutuhan ruang
diantara manusia-orangutan (wawancara langsung pada tanggal 22 April 2013).
9
Perumusan sistem melibatkan alur pelaksanaan dari awal hingga akhir. Oleh karena itu penulis memilih suatu
sistem yang bersifat menyeluruh agar strategi implementasi yang dilakukan dapat dipersiapkan dan
dilaksanakan dengan lebih baik.

21

Sistem Konservasi Berbasis M asyarakat

Pengumpulan data

1

Penguatan institusi dan pengembangan

Informasi

1.

keanekaragaman
hayati
2

2.

Sosial, ekonomi, dan
budaya masyarakat

Pendekatan kebijakan

Pemetaan pola pemanfaatan

1.

Pendekatan dan

SDA

sosialisasi

Ekow isata berbasis

kepada

masyarakat

pemerintah

3.

Kegiatan usaha alternatif

2.

Pembentukan

4.

Kerjasama dengan pihak lain

forum

(NGO, institusi pendidikan,

masyarakat

dan para ahli).

[Gambar 2: Diagram alur sistem konservasi berbasis masyarakat]

2. Strategi Implementasi Sistem Konservasi Berbasis Masyarakat

Sistem konservasi berbasis masyarakat yang telah dirumuskan sebagai solusi
penanganan konflik diantara manusia dan orangutan memerlukan strategi untuk implementasi
di lapangan. Perbedaan mendasar sistem ini dengan sistem konservasi lainnya adalah alur
yang melibatkan strategi pengambilan data dasar sebagai pertimbangan, pelibatan masyarakat
secara utuh, dan pendekatan kebijakan untuk memperkuat basis sistem konservasi yang akan
diterapkan. Sistem konservasi berbasis masyarakat dalam

menjaga hutan yang menjadi

habitat alami orangutan dapat diimplementasikan dalam strategi-strategi berikut berikut
(Soehartono, dkk., 2007; Setyowati, dkk., 2008; Supriatna 2008; Alif, 2011):

a. Pengumpulan data dasar
Dilakukan penghimpunan berbagai informasi mengenai keanekaragaman
hayati di hutan dan kondisi sosial ekonomi dan budaya masyarakat. Keanekaragaman
hayati yang didata adalah keberadaan populasi orangutan dan spesies lain yang
terdapat di dalam hutan. Pengumpulan data sangat bermanfaat sebagai bahan kajian
22

dalam penyusunan langkah-langkah kegiatan, potensi keanekaragaman hayati di
hutan, serta untuk mengetahui ketersediaan masyarakat di sekitar kawasan hutan.
Salah satu proses pengumpulan data kondisi sosial ekonomi yang dapat ditawarkan
adalah penerapan Participatory Rural Appraisal, sebuah metode identifikasi
kebutuhan dan masalah bersama masyarakat.

b. Penguatan institusi dan pengembangan masyarakat
Dilakukan penguatan peran institusi-institusi formal dan informal serta
pengembangan masyarakat agar masyarakat lokal memiliki kemampuan memadai
guna berperan aktif dalam mengelola sumber daya alam dan juga konservasi
orangutan. Penguatan institusi juga dilakukan untuk membuka akses masyarakat
dalam proses pembuatan keputusan. Contoh program yang dapat dilakukan antara
lain:

1. Melakukan pemetaan partisipatif bersama masyarakat tentang pola pemanfaatan
wilayah dan sumber daya alam terutama pemanfaatan di hutan yang menjadi
habitat orangutan. Pemetaan ini menjadi masukan bagi pemerintah dalam
menyusun kebijakan konservasi di kawasan tersebut.
2. Pengembangan ekowisata berbasis masyarakat. Kegiatan ini bertujuan untuk
memanfaatkan potensi keanekaragaman hayati yang terdapat di hutan masyarakat
sebagai sumber pendapatan penduduk lokal, sekaligus memupuk rasa memiliki
sehingga muncul upaya dari masyarakat untuk mempertahankan keberadaannya
(livelihood sustainability). Sebagai contoh, Di Taman Nasional Tanjung Puting
yang terkenal dengan orangutan, sebanyak 5.825 wisatawan datang berkunjung
setiap tahunnya untuk menyaksikan kehidupan orangutan di alam (Kementerian
Kehutanan, 2012). Orangutan di hutan alami memiliki potensi wisata yang besar
sehingga apabila dimanfaatkan secara bijak dapat menjadi sumber pendapatan
yang cukup besar bagi masyarakat. Selain itu, penjualan suvernir dan pernakpernik orangutan dapat dilakukan oleh masyarakat di pemukiman.
3. Pengembangan kegiatan usaha alternatif yang bertujuan memberikan pilihan
berbagai peluang ekonomi yang bisa menjadi andalan bagi pendapatan
masyarakat. Sebagai contoh penanaman tanaman palawija atau perkebunan di
daerah pinggiran hutan, budidaya tanaman-tanaman khas di daerah tersebut

23

(seperti anggrek), pembuatan kompos dari serasah di lantai hutan, pemanenan
getah damar, rotan, dan sebagainya.
4. Peningkatan kerjasama dengan lembaga non-pemerintah (LSM), institusi
pendidikan, dan para ahli. Kerjasama yang terjalin dapat membantu masyarakat
untuk semakin memahami keanekaragaman hayati yang ada di hutan, bagaimana
pengelolaan yang bijak, serta menggali potensi pemanfaatan hutan secara bijak.

c. Pendekatan kebijakan
1. Melakukan pendekatan dan sosialisasi secara intensif kepada pemerintah dan
lembaga legislatif di tingkat kabupaten, provinsi, maupun pusat, dalam proses
pengambilan keputusan agar

mendukung pengelolaan kawasan berbasis

multistakeholder dan berwawasan lingkungan.
2. Memfasilitasi terbentuknya forum masyarakat yang menjadi wadah komunikasi
antarpihak (multistakeholder) yang memiliki kepentingan di kawasan tersebut.
Forum tersebut dapat terdiri dari wakil masyarakat, pemerintah daerah, dan
pengusaha, serta ahli konservasi. Forum menjadi salah satu media bagi
masyarakat untuk berpartisipasi dalam pembuatan kebijakan.

Implementasi sistem konservasi berbasis masyarakat tentunya membutuhkan komitmen
dan kerjasama yang kuat diantara berbagai pemegang kepentingan. Hal yang ditekankan di
dalam sistem konservasi ini adalah masyarakat lokal memegang peranan sentral dalam
melakukan upaya konservasi. Masyarakat lokal juga mendapatkan keuntungan dengan
menjaga hutan di sekitar mereka baik dari segi ekologis, ekonomi, sosial, maupun budaya.
Yang menjadi perhatian utama adalah bagaimana masyarakat dapat terlibat sepenuhnya
dalam upaya perumusan hingga implementasi sistem konservasi berbasis masyarakat.
Diharapkan melalui sistem konservasi berbasis masyarakat dan dipadukan dengan upaya
konservasi lainnya, akan semakin banyak hutan yang dapat dilindungi dan dimanfaatkan
secara bijak dan lestari sehingga habitat bagi orangutan tetap terjaga kedepannya.

24

C.4. Sistem Konservasi Berbasis Masyarakat: Bagaimana Mahasiswa Dapat
Berperan dalam Perumusan dan Strategi Implementasi Sistem
Konservasi Berbasis Masyarakat?

Sistem konservasi berbasis masyarakat melibatkan masyarakat lokal sebagai pemegang
peran sentral. Mahasiswa turut memegang peranan penting dalam implementasi sistem
konservasi tersebut. Peranan utama mahasiswa adalah sebagai jembatan atau fasilitator dua
kepentingan utama yaitu kepentingan pemerintah dan masyarakat lokal. Peranan mahasiswa
dalam sistem konservasi berbasis masyarakat dapat dilihat pada alur berikut:

PEMERINTAH (STRATEGI TOP-DOWN)
Pembentukan Kebijakan Konservasi (UU Nomor 5 Tahun 1990 dan turunannya)

MAHASISWA SEBAGAI JEMBATAN KEPENTINGAN PEMERINTAHMASYARAKAT LOKAL (FASILITATOR)
Sinergisasi Strategi Bottom-Up dan Top-Down

MASYARAKAT LOKAL (STRATEGI BOTTOM-UP)
Pembentukan Hukum Adat dan Kawasan Hutan Adat10

[Gambar 3. Bagan peran mahasiswa dalam sistem konservasi berbasis masyarakat]

10

Hutan adat merupakan kawasan hutan yang telah ditetapkan secara bersama oleh masyarakat lokal yang
tinggal di daerah tersebut. Pembentukan hutan adat masih sering menimbulkan konflik dengan pemerintah
dimana tidak ada keputusan resmi pemerintah yang menetapkan kawasan hutan adat, terutama di daerah
konservasi ((Rahmina, dkk. 2011; Warman, dkk. 2012).

25

Peran mahasiswa sebagai fasilitator dapat dilakukan dalam beberapa langkah yaitu:

1. Mempelajari perundang-udangan dan hukum adat pada area implementasi sistem
konservasi berbasis masyarakat (Setyowati, dkk., 2008). Pengetahuan akan kebijakan
yang dibuat oleh pemerintah dan masyarakat lokal akan membantu dalam penafsiran
dan penyampaian kepentingan yang ada di dalam hukum tersebut.
2. Memfasilitasi p