Relasi Partai Politik Agama dan Masyarak

Partai Politik, Negara, dan Masyarakat

Disusun oleh:
PUTRI PUSPITA
LUTHFI HASANAL BOLQIAH
LISA SEPTIANI
EKA YULIANTI

Program Studi Ilmu Politik
Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik
Universitas Islam Negeri Syarif Hidayatullah Jakarta
2014

DAFTAR ISI

1. PENDAHULUAN
1.1.
Latar Belakang Masalah…………....
……………………………………………..1
1.2.
Rumusan Masalah……………..…..……………………………….……......

……2
Tujuan Penulisan………………..………………………………..

1.3.

……………….2
2. PEMBAHASAN
2.1.
Eksistensi

dan

Politik………………………………………..3
2.2.
Relasi Partai Politik, Negara dan

Munculnya

Partai


Masyarakat…………………...

………………6
Positioning Partai Politik dalam Membangun Stabilitas Politik……….

2.3.

………10
3. PENUTUP
3.1.
Kesimpulan…………………..……………………………………………......
…12
Saran……………………..…………………………………………................

3.2.

….12
DAFTAR PUSTAKA…………………..……………………………………………….13

BAB I

PENDAHULUAN
1.1 Latar Belakang

Partai politik merupakan hal yang primer dalam suatu negara demokrasi. Partai politik
berisikan oleh sekelompok warganegara yang sedikit banyak diorganisir secara ketat,
yang bertindak sebagai suatu kesatuan politik dan yang bertujuan menguasai
pemerintahan serta melaksanakan kebijaksanaan umum mereka. Partai politik dapat
diibaratkan sebagai janin yang tumbuh dalam rahim masyarakat dan kemudian diasuh
sampai dewasa oleh negara, sehingga mengenyampingkan masyarakat serta negara
sebagai yang melatarbelakang lahirnya partai politik adalah mustahil, karena alasan
utama partai politik hadir dan eksis sekarang adalah karena adanya masyarakat negara.
Dalam Dasar-dasar Ilmu Politik, Miriam Budiardjo menyatakan bahwa partai politik
berangkat dari anggapan bahwa dengan membentuk wadah organisasi bahwa mereka bisa
menyatukan orang-orang yang mempunyai pikiran serupa sehingga pikiran dan orientasi
mereka bisa dikonsolidasikan. Dengan begitu mereka bisa lebih besar dalam pembuatan
dan pelaksanaan keputusan.
Secara umum partai politik memiliki fungsi sebagai sarana komunikasi politik,
sosialisasi politik, rekuitmen politik, dan pengatur konflik. Terwujud atau tidaknya fungsi
partai politik ini kembali lagi pada sistem yang dianut suatu negara dan seperti apa
kehidupan politik di negara tersebut. Kehidupan politik di setiap negara pasti berbedabeda dan tidak dapat disamakan begitu saja antara negara maju negara yang masih

berkembang. Dalam negara berkembang, pada umumnya partai politik diharapkan
berfungsi seperti di negara-negara maju dalam hal mempengaruhi kebijakan pemerintah
namun hal tersebut sulit dilaksanakan. Juga, dalam praktiknya, sistem politik sangat
berpengaruh pada tujuan yang dicapai suatu partai politik. Dalam beberapa sistem politik,

negara sangat dominan, sementara pada sistem yang lain, partai politik dikendalikan oleh
segelintir elite, sehingga partai kehilangan peran primordialnya.

1.2 Rumusan Masalah
Berdasarkan pemahaman atas latar belakang tersebut, muncul masalah-masalah yang
dirumuskan dalam beberapa pertanyaan sebagai berikut:
1. Relasi partai politik, negara dan masyarakat?
2. Bagaimana seharusnya partai politik ditempatkan?
1.3 Tujuan Penulisan
Tujuan penulisan makalah ini adalah memahami relasi atau hubungan antara partai
politik, Negara dan Masyarakat sebagai unsur-unsur penting dalam sebuah pemerintahan.
Selain itu tujuan kedua adalah memahami Positioning yang tepat bagi partai politik
khususnya di Negara demokrasi seperti Indonesia.

BAB II

PEMBAHASAN

2.1 Eksistensi dan Munculnya Partai Politik

Kemunculan Partai Politik bukanlah merupakan hal yang baru bagi umat manusia hari
ini, namun dibanding kemunculan organisasi negara maka tepatlah jika dikatakan kalau
Partai Politik masih cukup muda. Kemunculannya diantara Negara dan Masyarakat tentu
semakin menegaskan bahwa partai politik hadir karena kebutuhan keduanya, tepatnya
sebagai jembatan antara dua kepentingan.
Secara pelembagaan partai politik lahir di negara-negara Eropa Barat dengan
fungsinya sebagai penghubungan antara kepentingan rakyat dan pemerintah saat itu.
Pemerintah yang notabene dihuni oleh kelompok elite dan meninggalkan rakyat dalam
posisi tradisional memerlukan titik temu, tuntutan-tuntutan rakyat yang tertindas saat itu
lambat laun membentuk kekuatan politik dan memicu pergerakan-pergerakan massa
yang tidak sedikit di beberapa negara menghasilkan revolusi-revolusi besar. Kehadiran
politik tentu menjadi anthithesis dari permasalahan yang terjadi di antara negara dan
masyarakat tepatnya pada abad 19. Abad tersebut yang kemudian diyakini sebagai
lahirnya partai politik yang sampai hari ini masih tetap survive.
Sejarah partai politik yang panjang beserta konflik berdarahnya menjadi semacam
kenangan pahit yang terekam dalam memori sejarah rakyat dunia yang pada akhirnya

memicu munculnya penolakan terhadap eksistensi partai politik. Romanitisisme partai
politik yang memiliki banyak variannya mulai dari Sosialisme, Fasisme, Komunisme,
Kristen Demokrat1, dan sebagainya, sampai akhirnya tinggal catatan sejarah yang kini
tidak henti-hentinya dikaji oleh banyak kalangan termasuk diantaranya mahasiswa.
Apalagi ditarik pada konteks kekinian, modernisasi yang semakin masif membuat
partai politik kehilangan idealismenya. Orientasi partai politik tidak lagi sebagai
penghubung antara negara dan rakyat, tidak juga untuk menyuarakan aspirasi rakyat
1 Miriam Budiardjo, Dasar-dasar Ilmu Politik, (Jakarta: Gramedia Pustaka Utama,
2013), h. 399.

kepada pemerintah, bahkan yang semakin parah partai politik mulai mengalami kropos
pada ideologi yang dahulu sempat dibangga-banggakan. Kehilangan jati diri partai
politik di tengah arus modernitas yang kuat inilah yang menjadi kajian para ahli, tidak
terkecuali Samuel P. Huntington yang mendefinisikan partai politik sebagai sarana
mengorganisir dan menata perluasan partisipasi.2
Asumsi dasar Huntington merujuk pada partisipasi politik sebagai tertib politik yang
menurutnya menjadi faktor ideal sebuah negara. Modernisasi dalam pandangan
Huntington menciptakan kesadaran politik, kegiatan-sosial dan kelompok-kelompok
ekonomi yang pernah ada di tengah-tengah masyarakat tradisional.3
Eksistensi partai politik di zaman modernisasi tidak hanya sebagai penghubung

seperti halnya tatkala partai politik pertama kali lahir di Eropa Barat, tugas barunya
sebagai Pranta-Pranata yang mampu menyerap kekuatan sosial baru yang dengan kata
lain partai politik harus sesuai dengan perkembangan zaman dan perubahan sistem sosial
yang terjadi pada masyarakat. Hal ini karena kuat tidaknya partai politik dipengaruhi
oleh besar tidaknya partisipasi masyarakat dan tinggi rendahnya upaya pelembagaan
dalam rangka menciptakan masyarakat yang demokrasi.
Semakin tinggi partisipasi politik yang ada dalam masyarakat ditambah dengan
dorongan negara yang memberikan keleluasaan bagi partai politik akan menciptakan
stabilitas politik yang baik. Namun negara yang partisipasi politiknya rendah namun kuat
dalam pelembagaannya justru akan melahirkan negara yang otoritarian atau selalu
memaksa rakyatnya, dalam kasus ini partai politik hanya sebagai bayangan bahkan
tindak memiliki andil besar. Begitupun sebaliknya dalam sebuah negara yang partisipasi
politiknya besar namun rendahnya pelembagaan akan menghasilkan situasi anomik atau
di Indonesia pada tahun 1998 tatkala partisipasi masyarakat meningkat dan pemerintah
semakin melemah apalagi tidak mendukung partai politik maka yang terjadi adalah
demontrasi dan situasi chaos.
Negara yang telah membangun partai politik yang berwibawa tanpa mengimbanginya
dengan peningkatan partisipasi politik dalam derajat yang setara, seperti halnya yang
terjadi di India, Uruguay, Chili, Inggris, Amerika Serikat, dan Jepang, kemungkinan
besar akan mengalami destabilisasi perluasan partisipasi politik dalam tingkat yang lebih

2 Samuel P. Huntington, Tertib Politik, (Jakarta: Rajawali Pers, 2004), h. 473
3 Ibid., h. 471.

kecil dibanding dengan negeri-negeri yang tidak lantas membangun partai politik di awal
proses modernisasi. Dalam dasawarsa 1960-an, stabilitas politik di tanah Melayu, di
mana tokoh-tokoh tradisional telah mengendalikan kelompok-kelompok etnis yang
sangat majemuk ke dalam satu kerangka kerja partai tunggal, dianggap lebih tinggi
dibanding stabilitas politik Muangthai, di mana partai politik yang ada telah lalai karena
membiarkan masyarakat berproses tanpa mekanisme kelembagaan yang mampu
mengasimilasikan berbagai kelompok baru.4
Apabila di negara Monarki partai politik tidak memiliki ruang bebas untuk
bereksplorasi contohnya banyak partai politik yang diberdeli oleh pemerintah pada
zaman Presiden Suharto, dan partai politik mengalami kekuasaan penuh (supremasi
politik) di negara demokrasi yang maju, namun di negara berkembang dengan tingkat
kesadaran masyarakat yang tidak cukup tinggi tapi juga tidak bisa dikatakan rendah
partai politik masih hadir sebagai penghubung saja.
Dalam

bukunya


Huntington

menekankan

pentingnya

partai

politik

untuk

mengakomodasi partisipasi politik dan memperkuat kelembagaan politik, karena partai
politik mengorganisir partisipasi politik, dan mempengaruhi batas-batas sampai mana
partisipasi tersebut boleh diluaskan. Jadi stabilitas, kekokohan partai dan sistem
kepartaian tergantung dengan derajat rendah pelembagaan partai politik akan
menghasilkan politik anomik dan kekerasan.5 Dan masih menurut Huntington partai yang
memperoleh dukungan massa, jauh lebih kuat dibanding partai dengan dukungan
terbatas, dan sistem kepartaian yang disandarkan pada dukungan massal akan jauh lebih
kokoh dibandingkan dengan dengan sistem kepartaian yang kenaikan partisipasi

politiknya selalu mengarah kepada pemisahan gradual organisasi partai dan para
pendukungnya. Dalam sistem satu partai sebagaimana di Rusia, Huntington juga melihat
peran partai sangat penting dalam menjaga tertib politik, sekalipun membatasi partisipasi
politik. Partai dan sistem kepartaian yang menggabungkan mobilisasi dan organisasi
akan dapat melaksanakan modernisasi politik dan pembangunan politik secara damai.

4 Ibid., h. 473.
5 Ibid., h. 477.

2.2 Relasi Partai Politik, Negara dan Masyarakat

Negara melalui partai mengendalikan partisipasi politik, tidak dibatasi namun juga
tidak berarti partisipasi masyarakat lebih kuat dibanding partai politik dan negara maka
dari itu keseimbangan peran dan kekuatan yang akan membuat negara stabil. Maka dari
itu kokohnya partai politik bergantung pada derajat pelembagaan dan partisipasi politik
masyarakat. Untuk membangun partai yang kuat menurut Huntington perlu dukungan
massa yang tinggi, dan untuk menarik massa Huntington juga mengemukakan bahwa
semakin besar peranan partai politik dalam proses pemilihan umum maka semakin besar
pula jumlah suara yang dihasilkan.
Relasi antar partai politik, negara dan masyarakat di masing-masing negara tentu

berbeda-beda. Di negara komunis misalnya, sebagian besar bersumber pada prioritas
yang memberikan kebebasan bertindak bagi semua organisasi politik. sedang di Rusia
sebelum adanya industrialisasi

pada dekade 1930-an maka organisasi politik boleh

melakukan strukturisasi dan pengokohan hal ini untuk stabilisasi politik sekaligus upaya
modernisasi.6
Sedangkan di negara non-komunis, Meksiko sejak revolusi 1910 pengokohan negara
dan meningkatnya pembangunan organisasi partai pada dasawarsa 1930-an menjadi
fokus mereka sebelum permasalahan ekonomi. Begitu pula yang terjadi dengan Tunisia,
pemerintah dibawah Neo Destour memberikan prioritas tinggi pada upaya penggalakan
integrasi nasional dan pembangunan pranata politik lebih dahulu sebelum mereka beralih
fokus membangun sosial dan ekonomi di tahun 1962. Dengan demikian negara dan
partai politik menjadi bagian tak terpisahkan, partai politik di negara komunis maupun
non-komunis memiliki peran tersendiri meskipun dengan ruang lingkup yang berbeda.
Namun keberadaan partai politik juga selain mendapat respon dari negara juga dari
masyarakat karena partai politik sejatinya lahir dari rahim masyarakat dan dewasa
dibawah asuhan negara. Namun tentu tidak semua negara memberikan respon positif
terhadap keberadaan partai politik, bagi mereka politik adalah penemuan yang secara
intrinsik mengancam kekuasaan politik para elit yang menyandarkan diri pada sistem
warisan, status sosial ataupun pemilikan tanah.7
6 Ibid., h. 475.
7Ibid., h. 478.

Dalam sejarah respon negatif terhadap partai politik di bagi menjadi tiga kelompok
oleh Samuel P. Huntington, diantaranya :
1. Kelompok Konservatis, menentang keberadaan partai sebagai ancaman bagi
struktur sosial yang sudah mantap. Kelas penguasa dalam kelompok ini
cenderung menganggap partai politik sebagai kekuatan pemecah belah yang
menentang otoritas mereka. Kelompok konservatis tidak menginginkan
perubahan, mereka sudah nyaman dengan kondisinya yang dianggap stabil
namun sebenarnya lemah.

2. Kelompok Administrator yang menentang partai politik tetapi menerima rencana
rasionalisasi struktur sosial dan ekonomi, dalam hal ini kelompok administrasi
tidak bersedia mengikuti arus modernisasi dengan restruturisasi yang ditawarkan
dalam sistem kepartaian.
3. Kelompok Populis penganut paham Rousseau yang mengenal demokrasi
langsung, mereka tidak menginginkan birokrasi yang ada dalam sistem kepertaian
dimana aspirasi rakyat sebelum sampai di pemerintah harus disalurkan terlebih
dahulu kepada partai politik, namun modernisasi dan konsep demokrasinya
diterima. “Mereka membutuhkan demokrasi tanpa partai.”8
Sebenarnya, semua kritik tersebut menampilkan tema umum yang senanda.
Sebetulnya, mereka tidak memiliki alasan kuat menentang kehadiran partai. Malah
sebaliknya, mereka mengkhawatirkan kondisi lemahnya partai dalam percaturan politik.
Upaya yang mereka lakukan untuk menentang kehadiran partai bertujuan untuk
menemukan organisasi lain sebagai pengganti partai politik yang akan berfungsi dalam
mengendalikan partisipasi politik. Sebenarnya, semakin tajam sikap permusuhan
terhadap partai politik di negara berkembang, semakin rawanlah stabilitas masa depan
masyarakat negeri itu. Kudeta lebih banyak terjadi di negara tanpa partai ketimbang di
negara yang menganut sistem politik lainnya. Pemerintahan tanpa parta adalah
pemerintahan konservatif, sedangkan rezim anti partai merupakan rezim reaksioner.9

8Ibid., h. 480.
9 Ibid., h. 480.

Bahkan penolakan atas partai politik dikemukakan dari pihak negara oleh Goerge
Washington yang secara tegas mengingatkan dampak negatif semangat partai atas sistem
pemerintahan Amerika, dia mengatakan :
Partai

selalu

mengacaukan

majelis

umum

dan

melemahkan

administrasi negara. Ia menghasut masyarakat dengan kecemburuan
yang tak beralasan, membangkitkan rasa dendam antar anggota
masyarakat,

dan

kadang-kadang

menggerakan

kerusuhan

dan

pemberontakan. Partai juga membuka kesempatan bagi masuknya
campurtangan asing ke dalam urusan politik dalam negeri dan korupsi,
yang mendapat kemudahan masuk menerobos tubuh pemerintah sendiri
melalui jalur nafsu partai. Dengan begitu, kehendak dan kebijaksanaan
satu partai berkaitan dengan hal yang sama dari negara lain.10
Namun sebagai negara yang tidak memiliki sarana kelembagaan guna mendorong
perubahan tersebut yang terus menerus dan menyerap segala impak perubahan tersebut.
Kapasitas mereka dalam melancarkan modernisasi politik, ekonomi dan sosial jelas dan
sangat terbatas.
Namun tentu Huntington memiliki jawabannya atas hal ini, sementara partai lemah
menurutnya dapat menjelma menjadi sarana infiltrasi asing, partai yang kuat dapat
menyediakan mekanisme institusional dan sistem pengendalian sistem politik dalam
menghadapi bahaya pengaruh kekuasaan asing.11 Jelas berarti bahwa disamping adanya
partai politik lemah terdapat pula partai politik kuat yang senantiasa menjadi
penyeimbang, selain itu juga mempertajam kesadaraan akan politik.
Partai politik yang kuat berarti keterbatasan militer, dan sistem kepartaian dalam
kamus Huntington dinamakan berwibawa. Stabilitas sistem politik yang sedang
berkembang sangat tergantung atas kekokohan partai politik yang dimiliki. Partai hanya
dapat menjadi kuat selama ia mendapat dukungan massa. Hampir semua negara
berkembang non komunis pasca Perang Dunia II tidak memiliki partai politik ataupun
sistem kepartaian yang kokoh. Akan tetapi negara berkembang yang mencapai stabilitas
politik paling tidak memiliki satu partai politik yang berwibawa, seperti Partai-partai

10 Washington, “Farewel Addres”, dalam Ford, ed. 13, h. 304.
11 Samuel P. Huntington, Tertib Politik, (Jakarta: Rajawali Pers, 2004), h. 481.

Kongres, Neo Destour, Accion Democratico, Republican People’s Party yang pernah
menjadi model organisasi politik di negara berkembang.
Untuk melihat kokoh atau tidaknya suatu partai, Huntington memberi tiga tolok ukur.
Pertama, ukuran kekokohan partai dapat dinilai dari kemampuannya untuk
mempertahankan pendirinya atau pimpinan yang membawanya ke puncak kekuasaan,
seperti kesuksesan partai Kongres dalam proses alih kepemimpinan dari Banerjea dan
Beseant kepada Gokhale dan Tilak dan kemudian pada Gandhi dan Nehru. Aspek kedua
adalah kompleksitas dan kedalaman organisasi. Hal ini bisa disimak dari keakraban
hubungan antara partai politik dengan sejumlah organisasi sosial ekonomi. Di Tunisia,
Maroko, Venezuela, India, Israel, Meksiko, dan negara lainnya, adanya hubungan
demikian telah memperbesar dukungan massa atas partai di negara-negara tersebut.
Aspek ketiga berkaitan dengan sejauh mana aktivitas politik dan pendamba kekuasaan
identik dan larut bersama dengan partai, serta sejauh mana mereka mau memandang
partai sebagai sebuah wahana guna mencapai tujuan. Saingan partai dalam memperoleh
aktor-aktor politik adalah kelompok-kelompok sosial tradisional, birokrasi, dan partai
lain. Di Pilipina misalnya, pimpinan politik seringkali berpindah secara timbal-balik
antara dua partai besar.12
Di negara yang masih tradisional tidak membutuhkan Partai politik sedangkan di
negara yang berkembang membutuhkan partai politik namun seringkali tidak
menghendaki keberadaannya. Apabila yang terjadi adalah Government versus Party
maka akan terjadi instabilitas politik.

2.3 Positioning Partai Politik dalam Membangun Stabilitas Politik

Sistem kepartaian yang kuat menyediakan organisasi-organisasi yang mengakar dan prosedur
untuk mengasimilasikan kelompok-kelompok baru ke dalam sistem politik. Proses pembangunan
partai

biasanya

berkembang

12 Ibid., h. 486-488.

melalui

empat

tahapan

penting:

faksionalisme

atau

pengelompokkan, polarisasi atau pemisahan, ekspansi atau perluasan, dan institusionalisasi atau
pelembagaan.
Partai politik berkembang di kota yang pesat perkembangan modernisasi, namun untuk
menjadi partai politik yang kuat dan memenangkan pemilihan umum tidak cukup dengan bekal
masa yang ada di kota, partai politik yang berfungsi mobilisasi dan organisasi harus mencakup
juga pedesaan yang kental dengan tradisionalnya. Meski demikian partai politik harus ada
diantara keduanya, menurut Seydou Kouyate partai ideal adalah :
Organisasi politik yang berfungsi sebagai wadah perpaduan di mana warga
desa dan masyarakat kota bertemu jadi satu. Ia harus mampu membuka
keterasingan masyarakat desa dan mencapai solidaritas nasional yang lantas
kian memperkokoh kebadaannya. Dengan begitu, jurang pemisah diantara
keduanya telah diisi secara positif sedang berbagai strata sosial masyarakat
dipersatukan ke dalam satu aliran yang berorientasi pada upaya pencapaian
tujuan – tujuan politik yang sama13.
Tugas partai politik dalam bahasa Huntington adalah lahir di kota dan dewasa di pedesaan
sehingga dapat menurunkan ego modernisasi dan menerima nilai-nilai yang terkandung dalam
tradisional untuk stabilitas politik.
Posisi partai politik juga selain itu berada diantara masyarakat dan negara, munculnya partai
politik diharapkan meningkatkan kesadaran politik masyarakat dan kepekaan sosial pemerintah
sehingga keduanya tidak memiliki jurang pemisah dengan hadirnya partai politik. oleh karena
itu, partai politik tidak hanya berkisar pada perjuangan memperebutkan kekuasaan saja
melainkan sebagai penghubung atau jembatan antara negara dan masyarakat.

BAB III
PENUTUP

3.1 Kesimpulan
13 Seydou Kouyate, “Africa Report”, Mei 1963, h. 16, dikutip dari Rupert Emerson,
“Parties and National Integration in Africa”, dalam Lapalombara dan Weiner, h.196 – 297.

Partai politik dalam era sekarang tidak lagi hanya memiliki fungsi sebagai penghubung
antara negara dan rakyat, dan menyuarakan aspirasi rakyat kepada pemerintah. Orientasi
partai politik mengalami modernisasi, yang mengubah tujuannya menjadi sarana
mengorganisir dan menata perluasan partisipasi. Semakin tinggi partisipasi politik yang
ada dalam masyarakat, semakin baik stabilitas politiknya, tetapi hal ini harus diikuti
dengan pelembagaan yang kuat, jika tidak, peluang terciptanya situasi anomik cenderung
besar.
Huntington menekankan pentingnya partai politik untuk mengakomodasi partisipasi
politik dan memperkuat kelembagaan politik, karena partai politik mengorganisir
partisipasi politik, dan mempengaruhi batas-batas sampai mana partisipasi tersebut boleh
diluaskan. Kokohnya partai politik sangat bergantung dari pelembagaan dan partisipasi
masyarakat. Huntington memberi tiga tolok ukur untuk mengetahui apakah suatu partai
politik kokoh atau tidak. Pertama, yaitu kemampuannya untuk mempertahankan
pendirinya atau pimpinan yang membawanya ke puncak. Kedua, dan kedalaman
organisasi, dan yang terakhir berkaitan dengan sejauh mana aktivitas politik dan
pendamba kekuasaan identik dan larut bersama dengan partai, serta sejauh mana mereka
mau memandang partai sebagai sebuah wahana guna mencapai tujuan.
3.2 Saran
Meminimalisir banyaknya partai, atau saran kami adalah 2 partai sehingga membuat
kesadaran politik semakin meningkan dan stabilitas politik terjaga, pertarungan
memperebutkan kekuasaan juga menjadi jelas. Karena semakin banyaknya partai akan
membuat kebingungan sistem kepartaiannya.

DAFTAR PUSTAKA

Budiardjo, Miriam. Dasar-dasar Ilmu Politik. Jakarta: Gramedia Pustaka Utama, 2013.
Huntington, Samuel P. Tertib Politik, Jakarta: Rajawali Pers, 2004.