Lembaga dan Peran Militer Serta Analisa

LEMBAGA DAN PERAN MILITER
SERTA ANALISA PERBANDINGAN EKSISTENSI MILITER DALAM
POLITIK DI INDONESIA DAN THAILAND

Disusun untuk memenuhi tugas akhir mata kuliah Perbandingan Politik

Nadia Sarah Azani
0801511002
HI A 2011

Dosen pengampu:
Prof. Dr. Yahya Muhaimin
Gita Karisma, S. IP

PROGRAM STUDI HUBUNGAN INTERNASIONAL
FAKULTAS ILMU SOSIAL ILMU POLITIK
UNIVERSITAS AL-AZHAR INDONESIA
2013

0


BAB I
PENDAHULUAN

1.1.

Latar Belakang Masalah
Indonesia adalah negara kepulauan yang terletak di kawasan Asia Tenggara.

Sebagai salah satu negara dunia ketiga, atau sebuah entitas negara-bangsa yang berdiri
pasca kolonisasi yaitu setelah Proklamasi Kemerdekaan Indonesia pada 17 Agustus
1945, Indonesia membutuhkan sebuah bentuk pertahanan yang kuat demi melindungi
keamanan negara dari ancaman luar. Bentuk pertahanan ini disebut sebagai militer, yang
fungsinya sebagai alat pertahanan dan keamanan negara. Peran militer sangat kuat
dalam sejarah Republik Indonesia. Pada mulanya bentuk angkatan bersenjata telah ada
sejak zaman penjajahan Belanda, yang dibentuk dan dinamai Koninklijke Nederlands
Indische Leger (KNIL) pada 1930.1 Dan pada masa pendudukan Jepang, Pemerintah
Militer Jepang membentuk pasukan Sukarela yang dinamakan tentara Pembela Tanah
Air ((PETA) atau Booi Gijugun pada 1943.2
Meski begitu, angkatan bersenjata tidak hanya dari KNIL dan PETA, ada pula
gerakan-gerakan yang diawali dari tentara gerilyawan pada era penjajahan maupun

beragam gerakan dari kalangan masyarakat yang bertujuan untuk menumpas kolonial.
Sebagai sebuah negara yang beru berdiri, tentu militer memainkan peran yang dominan
pula. Hal ini diwujudkan sebagai bentuk mempertahankan kemerdekaan bangsa dari
bentuk “perebutan” kembali oleh Pemerintah Belanda.
Sejarah telah mencatat jatuh-bangunnya peran militer di Indonesia. Paradigma
bahwa militer menjadi suatu oknum paling penting bagi negara dunia ketiga, tidak
selamanya melekat pada militer di Indonesia.

1

Yahya Muhaimin, Perkembangan Militer dalam Politik di Indonesia 1945-1966, Yogyakarta: Gadjah
Mada University Press, 2002, hal. 31
2
Ibid, hal. 32

1

Sementara Thailand, adalah negara di kawasan Asia Tenggara yang tidak pernah
mengalami masa kolonial. Hal ini yang sedikit membedakan Thailand dengan negaranegara tetangganya di kawasan Asia Tenggara.
Sebagai negara eks monarki absolut sejak 1932, Thailand kini menerapkan

demokrasi parlementer dalam sistem politiknya. Perubahan sistem monarki absolut
menjadi monarki konstitusional tersebut diwarnai dengan kudeta militer. Mengenai hal
ini, Thailand merupakan salah satu negara yang seringkali mengalami kudeta militer
dalam pergolakan politiknya. Sejak 1932, kudeta militer beberapa kali terjadi dan
mengambil alih kekuasaan. Tahun 2006 lalu adalah kudeta militer yang kesekian kali
terjadi. Kudeta tersebut dilakukan oleh Angkatan Darat Kerajaan Thailand terhadap
Pemerintahan Perdana Menteri Thaksin Shinawatra,3 pemerintahan yang bersifat sipil.
Meski demokrasi sedang gencar diberlakukan di Thailand, akan tetapi militer masih
memiliki peran dalam kekuasaan. Hal ini mengindikasikan supremasi militer masih
lebih tinggi daripada sipil.
Dari kedua negara tersebut, dalam makalah ini akan dibahas mengenai peran
militer dan keterlibatannya dalam politik. Serta bagaimana eksistensi mereka dalam
politik dan faktor yang memengaruhi kejatuhan militer maupun keberhasilan militer
menduduki pemerintahan.

1.2.

Rumusan Masalah
Bagaimana peran militer di Indonesia dan Thailand serta mengapa militer di


Indonesia mengalami kejatuhan dalam eksistensinya di dunia politik, sementara militer
Thailand masih memengaruhi pemerintahan?

1.3.

Landasan Teori

1.3.1. Teori Hubungan Sipil–Militer (Samuel P. Huntington)
Samuel Huntington mengemukakan bahwa adanya

dua konsep yang

menjelaskan bagaimana kontrol sipil itu di lakukan. Yaitu Subjective Civilian Control
(Maximizing Civilian Control) yaitu memaksimalkan kekuasaan sipil. Dapat di artikan
3

Sri Issundari, Latar Belakang Kudeta Militer Thailand Pada Masa Pemerintahan PM Thaksin Shinawatra,
Hubungan Internasional UPN, Vol. 12 No. 4, Desember 2008, hal. 203

2


bahwa model ini bisa diartikan sebagai upaya meminimalisasi kekuasaan militer dan
memaksimalkan kekuasaan kelompok–kelompok sipil. Kedua, Objective Civilian
Control (Maximizing Military Professionalism) yaitu memaksimalkan proesionalisme
militer dan menunjukkan bahwa adanya pembagian kekuasaan politik antara kelompok
militer dan kelompok sipil yang kondusif menuju perilaku professional.4
Dua konsep Huntington ini menuju pada arah non–political professional
military yang menempatkan aktor militer sebagai abdi negara yang di tugaskan untuk
mempertahankan negara tanpa berupaya untuk mengembangkan sejarah ideologi dan
landasan moral dari evolusi negara. Abdi negara ini lalu mengembangkan misi teknis
operasional berupa penggunaan kekuatan bersenjata untuk mempertahankan kedaulatan
politik dan territorial negara di bawah kendali otoritas politik sipil yang sah.5
1.3.2. Teori Pretorianisme (Eric A. Nordlinger)
Pretorianisme mengacu pada situasi di mana tentara tampil sebagai actor politik
utama yang sangat dominan yang secara langsung menggunakan kekuasaan atau
mengancam dengan menggunakan kekuasaan mereka. 6 Ada hal yang melandasi
tindakan mengapa militer melakukan intervensi politik di beberapa negara. Adapun ciri
dari keterlibatan militer dakam politik ini ada dua yaitu internal dan eksternal. Ciri-ciri
internal angkatan bersenjata meliputi struktur hierarki, tingkat profesionalisme dan
kepentingan korporat serta latar belakang prajurit militer, identitas etnis, citra tentara

termasuk sikap politik mereka. Sedangkan dalam ciri eksternal atau lingkungan meliputi
tindakan kepala eksekutif sipil, kemampuan dan keabsahan pemerintahan sipil.7

4

Samuel P.Huntington, The Soldier and The State, The Theory and Politics of Civil–Military
Relations,1959.Cambridge, Massachussets : the Belknap Press, of Harvard University Press hal. 80-83.
5
Jaleswari Pramodhawardani, Satu Dekade Reformasi Militer Indonesia, Pelatihan SSR IV Advokasi
Masyarakat Sipil Untuk Reformasi Sektor Keamanan, LIPI, Desember 2008, hal. 21
6
Eric A. Nordlinger, Militer Dalam Politik, Jakarta: PT. Rineka Cipta, 1994, hal. 6
7
Ibid.

3

BAB II
PEMBAHASAN


2.1. Perkembangan Militer di Indonesia
Sejarah perkembangan militer di Indonesia dibagi dalam empat periode waktu.
Hal ini didasarkan pada momentum politik penting yang berimplikasi terhadap peranan
militer dalam kehidupan politik Indonesia. Periode waktu tersebut adalah tahun 19451959, di mana dalam kurun waktu tersebut militer Indonesia lahir dan berkembang di
tengah kancah revolusi mempertahankan kemerdekaan. 8 Militer mencari bentuk dan
posisinya yang tepat di dalam kehidupan bernegara hingga diberlakukannya Dekrit
Presiden 5 Juli 1959 yang kemudian menempatkan militer pada posisi politik yang lebih
diperhitungkan.9
Periode 1959-1966, merupakan kurun waktu di mana pengaruh militer sebagai
kekuatan politik menghadapi berbagai tantangan sekaligus ancaman terhadap
eksistensinya. Dekade setelah peristiwa Gerakan 30 September 1965 (G 30 S/PKI) yang
ditandai dengan dikeluarkannya Surat Perintah Sebelas Maret 1966 (Supersemar),
semakin memperkokoh peran politik militer yang dominan di panggung kekuasaan
Indonesia.10 Periode 1966-1998, merupakan kurun waktu yang cukup panjang bagi
militer terlibat dalam kehidupan politik secara intens, hingga runtuhnya kekuasaan
Presiden Soeharto tanggal 21 Mei 1998. Sejak itu, peran politik militer secara nyata
berangsur surut.11
Kurun waktu 1998-saat ini, merupakan era reformasi nasional yang sedang
berlangsung di mana militer tengah mereposisi perannya, menarik keterlibatannya


8

Yuddy Chrisnandi, Reformasi TNI; Perspektif Baru Hubungan Sipil-Militer di Indonesia, Jakarta: Pustaka
LP3ES Indonesia, 2005, hal. 30
9
Ibid.
10
Ibid.
11
Ibid, hal. 31

4

secara

langsung

dalam

kehidupan


politik,

serta

mengumandangkan

jargon

profesionalisme militer12, sebagai komitmen barunya meninggalkan politik.13
2.1.1. Tentara Nasional Indonesia
Pada 22 Agustus 1945, Badan Keamanan Rakyat (BKR) yang merupakan
himpunan dari bekas-bekas tentara PETA, Heiho, dan lain-lainnya dibentuk. Akan
tetapi, BKR bukan dimaksudkan sebagai suatu organisasi kemiliteran yang resmi.
Pemerintah Soekarno-Hatta memang memaksudkan BKR sekadar hanya untuk
memelihara ketentraman setempat, sesuai dengan strategi politik Soekarno-Hatta yang
amat menitikberatkan dan mementingkan segi diplomasi.14
Pertempuran yang terjadi antara Belanda yang hendak mengambil alih kembali
kekuasaan


atas

Indonesia

dengan

para

pemuda

Indonesia

yang

berjuang

mempertahankan kemerdekaan negara, membuat para pemimpin negara menyadari
bahwa tidak mungkin mempertahankan kemerdekaan negara tanpa suatu Angkatan
Perang.15 Maka, dengan sebuah “Maklumat Pemerintah” pada tanggal 5 Oktober 1945,
terbentuklah organisasi ketentaraan yang bernama Tentara Keamanan Rakyat (TKR). 16

Pada 9 Oktober 1945, sebuah perintah dikeluarkan untuk menyatukan bekas-bekas
tentara PETA, KNIL, Heiho, Laskar-Laskar, serta barisan-barisan rakyat lainnya ke
dalam TKR.17 Akan tetapi, barisan-barisan pemuda bersenjata yang bersifat setengah
organisasi militer dan setengah organisasi politik (laskar-laskar) tetap diperbolehkan
berdiri tanpa melebur ke dalam TKR sebab hak dan kewajiban mempertahankan negara
bukanlah monopoli tentara.18
Pada 1 Januari 1946, Pemerintah mengeluarkan Penetapan Pemerintah No.
2/S.D. 1946 yang mengubah Tentara Keamanan Rakyat menjadi Tentara Keselamatan
Rakyat.19 Belum sampai sebulan, Pemerintah mengeluarkan Maklumat Pemerintah 26
12

Profesionalisme militer, yaitu batas-batas fungsi, kewenangan, tugas, peran, dan kedudukan militer
dalam negara yang menguasai dan menjalankan fungsinya dengan benar sebagai alat pertahanan
negara. Profesionalisme militer terkait dengan dengan konsep hubungan sipil-militer. Militer yang
professional diyakini sebagai landasan terciptanya hubungan sipil-militer yang baik. Lihat, Yuddy
Chrisnandi, Ibid, hal. 26-27.
13
Ibid, hal. 31
14
Yahya Muhaimin, Op.Cit., hal. 23
15
Ibid, hal. 25
16
Ibid.
17
Ibid, hal. 26
18
Ibid.
19
Ibid, hal. 28

5

Januari 1946

yang mengganti nama Tentara Keselamatan Rakyat menjadi Tentara

Republik Indonesia (TRI), dan disebutkan bahwasanya TRI bersifat nasional dan
merupakan satu-satunya organisasi militer di Indonesia.20 Pada 19 Juli 1946,
terbentuklah Angkatan Laut Republik Indonesia (ALRI) dan tanggal 9 April 1946, TRI
Bagian Perhubungan Udara berganti menjadi Angkatan Udara Republik Indonesia
(AURI).21 Akan tetapi timbul persoalan dan kesulitan di dalam barisan bersenjata.
Adanya kesenjangan antara tentara resmi dengan laskar-laskar rakyat yang seringkali
bertolak belakang dengan orientasi dan strategi militer. Presiden Soekarno pun
mengeluarkan dekrit pada tanggal 5 Mei 1947 guna membentuk Panitia Pembentukan
Organisasi Tentara Nasional Indonesia. Pada 7 Juni 1947 keluar sebuah Penetapan
Presiden yang membentuk satu organisasi tentara bernama Tentara Nasional Indonesia
(TNI). Dalam penetapan itu diputuskan bahwa mulai 3 Juni 1947, dengan resmi berdiri
TNI dan segenap anggota Angkatan Perang maupun anggota laskar untuk dimasukkan
serentak ke dalam TNI.22 Hal ini dapat disimpulkan bahwa TNI lahir dari tiga elemen
pokok yaitu bekas tentara KNIL, PETA, dan Laskar.23
2.1.2 Peran Militer di Indonesia
Kondisi perpolitikan di Indonesia sebelum dilaksanakan Pemilu tahun 1955
memiliki dua ciri yang menonjol, yaitu munculnya banyak partai politik (multipartai)
dan seringkali terjadi pergantian kabinet/pemerintahan. Sistem demokrasi yang dianut
adalah Demokrasi Liberal dan sistem pemerintahannya adalah kabinet parlementer.
Pemerintahan Soekarno pada masa Demokrasi Liberal, menunjukkan gejala
instabilitas.24
Semasa Kabinet Ali Sostroamidjojo II, Indonesia dihadapkan dengan
permasalahan dalam negeri, baik pemberontakan daerah dan pergolakan politik. Pada
Maret 1957 Kabinet Ali II jatuh. Dalam keadaan demikian Presiden mengumumkan
berlakunya Staat van Oorlog en Beleg (SOB, atau

keadaan darurat perang) dan

Angkatan Udara ditugaskan mengamankan negara. Lewat TNI gerakan dan

20

Ibid.
Ibid, hal. 29
22
Ibid, hal. 30
23
Ibid, hal. 31
24
Nugroho Notosusanto, dkk, Pejuang Dan Prajurit, Jakarta: Penerbit Sinar Harapan, 1984, hal. 83
21

6

pemberontakan itu dipadamkan, bahkan reputasinya dapat dibanggakan dalam
menumpas PRRI/PERMESTA pada 1957/1958.25
Keadaan tersebut membuktikan bahwa sistem politik Demokrasi Liberal tidak
cocok dengan jiwa bangsa Indonesia. Hal ini mendorong Presiden Soekarno untuk
mengemukakan Konsepsi Presiden pada tanggal 21 Februari 1957, yang mengandung
tiga pokok isi untuk mengadakan pembaruan dalam struktur sosial, struktur politik, dan
kehidupan politik. Selain itu sistem demokrasi parlementer Barat tidak dapat dijalankan
dan Pemerintah hendak menerapkan Demokrasi Terpimpin. Atas hal itu, Presiden
Soekarno pada tanggal 5 Juli 1959, mengumumkan Dekrit Presiden mengenai
pembubaran Konstituante dan berlakunya kembali UUD 45 dalam kerangka Demokrasi
Terpimpin.26 Dampak dari Dekrit Presiden tersebut, selain berlakunya kembali UUD 45
dan diberlakukannya sistem Demokrasi Terpimpin adalah, semakin memberi peluang
bagi militer terutama Angkatan Darat (AD) untuk terjun dalam bidang politik.27
Kehidupan politik dan pemerintahan Indonesia sejak 1959 didominasi oleh tiga
kekuatan politik utama: Presiden Soekarno, TNI, dan Partai Komunis Indonesia (PKI).
Tahun 1960 mulai ditunjukkan adanya suatu pertarungan sengit antara TNI-AD
melawan PKI, yang sejak tahun 1959 telah mengadakan aliansi politik dengan Presiden
Soekarno.28 TNI-AD memandang PKI sebagai natural enemy, bukan saja karena PKI
adalah non-nasionalis, tetapi PKI adalah satu-satunya partai terkuat yang mengancam
kepentingan politik TNI-AD.29
PKI menjadi partai yang kuat, terutama didukung oleh para buruh dan tani di
desa-desa. Selain itu kecondongan Presiden Soekarno terhadap PKI membuka jalan
politik yang besar bagi PKI. Mei 1963, Presiden Soekarno mengumumkan mencabut
SOB di seluruh wilayah Indonesia, sehingga menggoyahkan legitimasi TNI-AD dalam
politik.30 Hal itu menjadikan TNI-AD mengupayakan peningkatan status peranan
golongan fungsionil. Golongan fungsionil ini, meski pada awalnya masih tersendat,
belakangan mendapat sambutan baik dari kalangan non-partai maupun kekuatankekuatan politik yang anti PKI. Hal ini kemudian diperkokoh dengan didirikannya
25

Ibid, hal. 84
Ibid, hal. 101
27
Ibid.
28
Yahya Muhaimin, Op.Cit., hal. 127
29
Ibid, hal. 142
30
Ibid, hal. 139
26

7

organisasi yang dinamakan Sekretariat Bersama Golongan Karya (Sekber Golkar) pada
20 Oktober 1964. Dengan demikian TNI-AD dapat dikatakan berhasil memperkuat
posisinya sebagai kekuatan politik golongan fungsionil dalam pertikaiannya melawan
PKI.31 Pada April 1965, TNI-AD berhasil menyusun suatu doktrin yang dinamakan
Doktrin Tri Ubaya Cakti, yang menyatakan TNI secara resmi memiliki fungsi-ganda di
dalam kehidupan politik Indonesia, yaitu sebagai kekuatan militer dan sebagai kekuatan
sosial-politik.32 Strategi politik TNI-AD lainnya adalah dengan menggunakan civicmission program, yang mengerahkan TNI dalam bidang non-militer dengan
mengutamakan pembangunan, proses produksi, dan lainnya. 33 Hal ini merupakan
strategi untuk bersaing dengan PKI yang telah mendapatkan hati di kalangan rakyat
kecil, sehingga program ini pun dicanangkan di berbagai pelosok daerah guna meraih
hati rakyat pula. Jika hal tersebut terwujud, maka dengan mudah memotong pengaruh
PKI di pedesaan dan kota kecil.34 Meski program ini ditentang pihak PKI, Presiden
Soekarno mendukung penuh disebabkan saat itu sedang terjadi pergolakan di Irian Barat
(Papua).35
Peristiwa-peristiwa yang terjadi selanjutnya, antara lain politik konfrontasi
“Ganyang Malaysia” oleh Soekarno, keluarnya Indonesia dari PBB disebab protes
kepada Amerika Serikat atas pengangkatan Malaysia menjadi Dewan Keamanan PBB,
hingga wacana kerjasama RRC-Indonesia, menimbulkan semakin banyak kesenjangan
antara TNI-AD dan PKI. Kedua belah pihak saling mencurigai satu sama lain. Di pihak
TNI-AD muncul dugaan PKI hendak menguasai Asia Tenggara bersama-sama dengan
RRC dalam menyebarluaskan ideologi komunisme. Sementara PKI mencurigai bahwa
adanya arah TNI-AD untuk kembali menegakkan SOB dan bermain dalam perpolitikan
tanah air.36 Ketegangan tersebut semakin memuncak setelah pada 17 Agustus 1965
Presiden Soekarno dalam pidato kenegaraan memihak aksi-aksi politik PKI dan
menunjukkan kecurigaan terhadap anti-komunisme. Hal itu disebabkan bahwa telah
ditemukan dokumen mengenai rencana melengserkan pemerintahannya. 37

31

Ibid, hal. 145-149
Ibid, hal. 150
33
Ibid, hal. 150-151
34
Ibid, hal. 151
35
Ibid. hal. 153
36
Ibid, hal. 155-176
37
Ibid, hal. 183
32

8

Gerakan 30 September 1965 disinyalir adanya keterlibatan PKI, meski tidak
secara langsung “menampakkan diri” terlibat di dalamnya. Pada peristiwa tersebut,
enam orang perwira tinggi dari pimpinan TNI-AD diculik kemudian dibunuh di Lubang
Buaya, daerah kompleks Pangkalan Udara Halim Perdana Kusuma. 38 Peristiwa tersebut
sebagai suatu pemberontakan dengan dalih bahwa propaganda yang dilakukan TNI-AD.
Dan dari peristiwa ini, muncul seorang Jenderal yang sebelumnya kurang dikenal dalam
dunia politik, yaitu Mayor Jenderal Soeharto, yang sejak peristiwa ini mengambil alih
pimpinan Angkatan Darat untuk sementara.39 Peristiwa G30S/PKI ini menuai reaksi dari
berbagai lapisan masyarakat, baik pro maupun kontra. Dari masyarakat yang kontra,
demonstrasi yang didominasi oleh kaum mahasiswa melancarkan tiga tuntutan yang
dikenal sebagai Tritura, yang salah satu poin pokoknya adalah pembubaran PKI. 40
Adapun Presiden Soekarno, dalam hal ini memihak langkah PKI dan menganggap
bahwa peristiwa tersebut bukanlah sebuah kudeta. Pada permulaan 1966 secara tiba-tiba
Presiden Soekarno mlakukan reshuffle kabinetnya, dan memasukkan orang-orang proPKI menjadi menteri baru.41 Hal tersebut mengundang reaksi besar dari masyarakat,
khususnya mahasiswa anti-PKI. Pergolakan politik terus berlanjut hingga 11 Maret
1966, dengan dikeluarkannya Surat Perintah dari Presiden Soekarno yang dikenal
dengan Supersemar yang antara lain berisi “memutuskan dan memerintahkan kepada
Letnan Jenderal Soeharto, Menteri Panglima Angkatan Darat, untuk atas nama Presiden,
mengambil segala tindakan yang dianggap perlu, untuk terjaminnya keamanan dan
kestabilan jalannya Pemerintahan.”42
Meski ada banyak perbedaan pandangan atas peristiwa ini, akan tetapi dengan
ditandatanganinya surat tersebut, Presiden Soekarno telah menyerahkan political
authority kepada Jenderal Soeharto. Sehari setelahnya, Soeharto membubarkan PKI
beserta seluruh gerakannya dan menyatakannya sebagai partai serta organisasi terlarang
di Indonesia.43
20 Februari 1967, Presiden Soekarno menandatangani suatu dokumen yang
berisi penyerahan kekuasaan pemerintahan kepada Jenderal Soekarno, dan penyerahan
38

Ibid, hal. 196
Ibid, hal. 206
40
Ibid, hal. 218
41
Ibid, hal. 223
42
Ibid, hal. 229
43
Ibid.
39

9

kekuasaan tersebut secara resmi diadakan keesokan harinya di Istana Negara.44 Dengan
demikian, dimulailah masa Orde Baru.
Era Orde Baru, dapat dikatakan sebagai era gemilang bagi militer. Lahirnya
konsep Dwifungsi ABRI (Angkatan Bersenjata Republik Indonesia, penggabungan TNI
(militer) dengan Kepolisian Negara Republik Indonesia/Polri) yang mencakup dua
fungsi: sebagai alat pertahanan dan keamanan negara dan sebagai kekuatan sosial
(Pembina masyarakat) ditetapkan pada tanggal 19 September 1982 dalam UU No. 20
Tahun 1982. Dengan demikian Dwifungsi ABRI adalah suatu konsepsi politik yang
menempatkan ABRI dengan peranan penting dalam dua lingkungan kehidupan politik
secara bersamaan yaitu di lingkungan pemerintahan dan di lingkungan masyarakat
(suprastruktur politik dan infrastruktur politik).45
ABRI, bersama-sama dengan Golongan Karya (Golkar, dan anggotanya banyak
dari kalangan militer), adalah dua kekuatan politik pada masa Orde Baru yang dijadikan
oleh Presiden Soeharto sebagai penopang utama kekuasaan pemerintahannya selama
lebih dari tigapuluh tahun.46 Militer menduduki posisi strategis dalam kepemerintahan.
Dari hasil Persentase Militer Sipil dalam Tiap Departemen pada 1982, disebutkan
bahwa peran militer lebih dominan ketimbang sipil. Antara lain, Departemen Dalam
Negeri 80%, Departemen Luar Negeri 50%, Departemen Hankam 100%, Departemen
Kehakiman 50%, Departemen Penerangan 57%, Departemen Perhubungan 56%,
Departemen Agama 56%, dan Departemen Sosial 57%.47 Sebanyak 64% pembantu
dekat Presiden, 38% Menteri, 67% Sekjen Departemen, 67% Irjen, dan 20% Dirjen dan
71, 4% posisi strategis dalam birokrasi pusat yang tertinggi seperti Presiden, Wapres,
Mensesneg, Menko, Menhankam, Menlu, dan Mendagri, diduduki oleh militer. 48
Begitupun jabatan-jabatan lain seperti menteri, gubernur, bupati, camat, hingga strata
terbawah.
Era Orde Baru oleh Presiden Soeharto dijadikan sebagai program modernisasi
ekonomi yang membawa kesejahteraan Bangsa Indonesia. Program-program seperti
44

Nugroho Notosusanto, dkk, Op.Cit., hal. 134
Ibid, hal. 150-152
46
Yahya Muhaimin, Peranan Politik dan Profesionalisme Militer Indonesia dan Demokratisasi, Pengantar
tahun 2002 dalam Yahya Muhaimin, Op.Cit.,
47
Yudha Kurniawan, MA, Militer dan Politik Serta Perkembangannya di Indonesia, Modul Mata Kuliah
Sistem Sosial-Politik Indonesia, Universitas Al-Azhar Indonesia, 2012
48
Ibid.
45

10

Rencana Pembangunan Lima Tahun (Repelita) dijalankan secara seksama. Program
ini meliputi swasembada pangan yang dimulai dari revolusi hijau, pengendalian
penduduk, industrialisasi non-migas, dan lain-lain. 49 Selain itu, terdapat pula
program pembangunan yang melibatkan peran militer, yaitu program ABRI Masuk Desa
(AMD), suatu program di bidang sosial yang cukup sukses. Program ini memungkinkan
prajurit untuk berinteraksi dengan masyarakat dan membantu menjalankan programprogram di tingkat desa, mulai dari program kebersihan, infrastruktur, kesehatan dan
lain-lain.50
Akan tetapi, pada era Orde Baru praktek otoritarianisme yang diterapkan oleh
Presiden Soeharto cukup kental, ditandai dengan praktek-praktek operasi intelijen
terselubung dalam masyarakat terhadap orang-orang maupun kelompok masyarakat
yang dianggap oleh pemerintah memusuhi atau menentang Pemerintahan Orde Baru.51
Kepemerintahan militer dalam waktu kurun lebih dari tigapuluh tahun ini bukan
berarti tidak memiliki banyak permasalahan. Pada awalnya, Orde Baru diharapkan
mampu membawa masyarakat menjadi masyarakat madani dan demokratis. Meski pada
kenyataannya hanya segelintir orang yang mampu mengenyam kehidupan yang
sejahtera, di samping pembangunan ekonomi yang terbilang sukses. Keadaan dengan
cepat berubah semenjak krisis ekonomi yang melanda Indonesia sejak pertengahan
1997. Perlawanan terhadap pemerintah dari berbagai kalangan di masyarakat pun mulai
merebak. Perlawanan tersebut mencapai puncaknya pada 21 Mei 1998, yang menjadi
momentum besar bagi rakyat Indonesia, yaitu jatuhnya rezim otoritarianisme militer
Orde Baru.
Kejatuhan rezim Orde Baru tersebut merupakan tonggak berdirinya era
Reformasi. Jabatan Presiden Indonesia kemudian diserahkan kepada Wakil Presiden,
Prof. Dr. Ing. Bacharuddin Jusuf Habibie. Kejatuhan ini berdampak besar bagi kalangan
militer. Berbagai hujatan, tuntutan, dan pertentangan terhadap eksistensi militer
merembet sedemikian rupa. Tuntutan penghapusan Dwifungsi ABRI dan desakan agar
49

M. Nurkhoiron, Bencana Industri: Relasi Negara, Perusahaan, dan Masyarakat Sipil, dalam bab
Bencana dan Industrialisasi di Indonesia: Sejarah Tafsir dan Kutukan Paska Kolonial, Desantara: 2010, hal.
204
50
Hidayat Firmansyah, TNI Masuk Desa, 11 April 2011 pukul 09:43,
http://hankam.kompasiana.com/2011/04/11/tni-masuk-desa-353861.html, diakses pada 20 Januari
2013.
51
Yahya Muhaimin, Op.Cit

11

militer kembali ke barak, menjadi isu utama yang disuarakan masyarakat melalui
gerakan aksi mahasiswa maupun aksi-aksi massa lainnya. 52 Masyarakat menuntut
pertanggungjawaban militer yang terlibat dalam berbagai peristiwa, antara lain kasus
Tanjung Priok 1984, kasus Lampung 1990, kasus Marsinah 1993, peristiwa 27 Juli
1996, pemberlakuan Daerah Operasi Militer (DOM) di Aceh 1985, peristiwa
kecurangan PEPERA di Papua 1969, penculikan aktivis tahun 1997-1998, peristiwa
Trisakti-kerusuhan 12-15 Mei 1998, peristiwa Semanggi 1998.53 Desakan kuat juga
ditujukan kepada militer untuk mereformasikan diri dengan menghapuskan lembagalembaga di dalam struktur militer, yang tidak ada sangkut pautnya dengan tugas
pertahanan dan keamanan seperti lembaga sosial politik dan lembaga kekaryaan ABRI.
Militer juga dituntut untuk meninggalkan kedudukan di lembaga DPR, MPR, DPRD,
serta pemisahan TNI dan POLRI.54

2.2. Sekilas Mengenai Militer di Thailand
Thailand adalah negara yang memiliki keunikan politik di mana negara ini terus
dilanda gejolak politik terutama perihal pemindahan kekuasaan. Bentuk Pemerintahan
Monarki Konstitusional dibentuk pada 1932, di mana sistem pemerintahan sebelumnya
berbentuk Monarki Absolut. Peralihan bentuk kekuasaan ini disebabkan oleh kudeta
militer yang mengakhiri kekuasaan diktator yang beruntun. Raja Rama VII, menyetujui
penghapusan monarki absolut dan menggantinya dengan suatu sistem konstitusi di
sepanjang garis-garis sistem demokratik Barat.55
Sejak tahun 1932 budaya kudeta militer telah terjadi. Tercatat dari 1932-2006,
telah terjadi 23 kudeta militer dan 18 kali perubahan konstitusi. 56 Hal ini menandakan
intervensi militer dalam perpolitikan di Thailand relatif kuat. Meski dalam hal ini
supremasi militer atas sipil terlihat kentara dalam politik di Thailand, akan tetapi peran
Raja sebagai Kepala Negara sangatlah penting di mata masyarakat Thailand. Sebagai
52

Yuddy Chrisnandi, Op.Cit., hal. 2
Ibid.
54
Ibid, hal. 3
55
Surya Yudha Regif, Politik Luar Negeri Indonesia Terhadap Thailand Pasca Kudeta Militer Thailand Pada
Tahun 2006 Dalam Ruang Lingkup ASEAN, Departemen Ilmu Politik, FISIP Universitas Sumatera Utara,
Medan 2009, hal. 34
56
Lidya Christin Sinaga, Jalan Panjang Demokrasi Thailand, 3 Desember 2010, pukul 12:59,
http://www.politik.lipi.go.id/index.php/in/kolom/politik-internasional/361-jalan-panjang-demokrasithailand-, diakses pada 20 Januari 2013
53

12

pemimpin tertinggi di Thailand, Raja Bhumibol Adulyadej, Raja Thailand saat ini
adalah tempat terakhir dalam mengakhiri kebuntuan politik.
Ada tiga peranan Raja dalam kehidupan berbangsa di Thailand. Pertama, Raja
adalah pemegang kekuasaan politik, agama, sosial, dan budaya tertinggi. Walaupun
secara struktur politik kekuasaan Raja mulai dibatasi dengan adanya parlemen, militer,
dan elit politik. Dengan adanya kesenjangan antara elit politik, militer, dan masyarakat,
Raja dianggap sebagai tempat terakhir untuk menyelesaikan masalah. Kedua, Raja yang
memiliki kekuasaan turun-temurun dianggap sebagai wakil Tuhan di bumi untuk
menyelamatkan negara ketika berada pada perpecahan nasional. Ketiga, Raja sebagai
symbol tertinggi kekuatan moral. Raja selalu mampu menempatkan posisi yang tepat
ketika krisis politik terjadi. Raja jarang terlibat dalam hiruk-pikuk kekuasaan, tetapi
dengan cermat mengamati arus politik.57
2.2.3. Angkatan Bersenjata Kerajaan Thailand
Kedudukan polisi dengan angkatan bersenjata (militer) di Thailand telah
dipisahkan sejak awal. Angkatan bersenjata, yang bertanggungjawab terhadap masalahmasalah pertahanan negara, berada di bawah kendali Panglima Angkatan Bersenjata.
Hal ini berbeda dengan kepolisian, yang berada di bawah departemen dalam negeri dan
bertanggungjawab untuk masalah-masalah keamanan negara. Polisi Thailand termasuk
kategori orang sipil (civilians).58 Di negara-negara seperti Thailand, Filipina, Singapura
dan Malaysia, anggota angkatan bersenjata tunduk pada dua badan peradilan, yakni
pengadilan sipil jika mereka melakukan tindak pidana umum (civil offences) dan
pengadilan militer jika melakukan tindak pidana militer (military offences). Thailand
merupakan pengecualian karena, menurut konstitusi, militer sepenuhnya diadili oleh
peradilan militer.59
Secara kategoris Konstitusi Thailand menyebut tiga macam lembaga peradilan,
yaitu peradilan sipil (courts of justice), peradilan tata usaha negara (administrative
courts) dan peradilan militer (military courts). Peradilan militer disebut secara eksplisit
disebut dalam konstitusi Thailand. Hal ini menunjukkan peranan militer sangat dominan
dalam sistem politik di negara tersebut. Sejak tahun 1932 militer Thailand, khususnya
57

Surya Yudha Regif, Op.Cit., hal. 37
Mohammad Fajrul Falaakh , Sistem Peradilan Bagi Polisi dan Militer (Perspektif Perbandingan), Bahan
Diskusi Propatria, Jakarta 25-27 Agustus 2002, hal. 1-2
59
Ibid.
58

13

angkatan darat, mempunyai peran yang sangat signifikan dalam sistem politik di
Thailand.60 Menurut konstitusi Thailand (Section 281) peradilan militer berwenang
untuk mengadili semua jenis perkara pidana militer (military criminal cases) dan kasuskasus lain yang diatur menurut hukum nasional Thailand. Dengan pengaturan tersebut
setiap anggota Angkatan Bersenjata Thailand yang melakukan tindak pidana akan
diadili oleh peradilan militer. Yurisdiksi peradilan militer meliputi semua jenis perkara
pidana yang dilakukan oleh anggota Angkatan Bersenjata, baik perkara pidana yang
berhubungan dengan kedinasan atau jabatan militer (military offences) maupun perkara
pidana umum (civil offences).61
Militer Thailand pada mulanya adalah tentara kerajaan yang memiliki kesetiaan
cukup tinggi pada Raja dan kerajaan. Dalam perang dunia ke-II melawan fasisme
Jepang, tentara Thailand sudah menggunakan konsepsi tentara modern (infanteri,
kaveleri, artileri, dan lain-lain, sistem kepangkatan tentara modern). Pada saat itu
meskipun sistem demokrasi parlementer sudah diperkenalkan tetapi militer tetap saja
mendapatkan tempat khusus, bahkan konstitusi mengakui hak-hak istimewa tentara
sebagai kekuatan politik yang sangat diperhitungkan.62
Angkatan Bersenjata Kerajaan Thailand terbagi menjadi tiga, yaitu Angkatan
Darat, Angkatan Laut, dan Angkatan Udara. Akan tetapi, sistem politik militer Thailand
menempatkan Angkatan Darat sebagai kekuatan dominan dan peran Angkatan Laut dan
Angkatan Udara sangat ditentukan oleh kepentingan Angkatan Darat.63
2.2.3. Peran Militer di Thailand
Militer Thailand memasuki dunia politik pada saat kudeta tahun 1932, yang
menjatuhkan sistem Monarki Absolut. Meskipun demikian, kudeta tersebut bukanlah
suatu kudeta militer atau revolusi popular. Kudeta tersebut adalah hasil dari beberapa
faktor, termasuk perilaku Raja saat itu, kecenderungan menuju konstitusionalisme,
meningkatnya rasa percaya diri masyarakat di kalangan birokrat dan militer, serta situasi
ekonomi yang memburuk.64 Namun demikian, kudeta tersebut merupakan langkah awal
bagi masuknya militer ke dalam politik di Thailand.
60

Ibid, hal. 2-3
Ibid
62
Lidya Christin Sinaga, Op.Cit
63
Mohammad Fajrul Falaakh, Op.Cit.
64
Sri Issundari, Op.Cit, hal. 205
61

14

Budaya kudeta militer di Thailand yang terjadi sejak 1932, seringkali berakhir
sukses meski beberapa kali tercatat gagal. Kudeta tersebut menyebabkan adanya
intervensi militer, yaitu keterlibatan militer dalam politik secara langsung.
Selama 15 tahun (1991-2006) Thailand berada dalam alam demokrasi yang
ditandai dengan menguatnya sistem pemerintahan sipil dan tidak adanya intervensi
militer untuk menumbangkan pemerintahan.65 Akan tetapi, apa yang terjadi pada 19
September 2006 merupakan peristiwa yang cukup mengejutkan di saat demokrasi
menjadi trend di kawasan Asia. Thailand memunculkan kembali politik kudeta yang
telah lama ditinggalkan. Pemerintahan sipil yang berada di bawah pemerintahan
Perdana Menteri Thaksin Shinawatra digulingkan oleh militer yang dilakukan oleh
Pasukan Khusus Angkatan Darat Kerajaan Thailand di bawah pimpinan Panglima
Angkatan Darat Jenderal Shonti Boonyaratkalin dan didukung oleh Raja Bhumibol
Adulyadej.66 Pada saat itu Thaksin sedang berada di New York dalam rangka
menghadiri sidang majelis umum PBB.67
Shonti mengambil alih kekuasaan dan mendaulat dirinya sebagai Perdana
Menteri menggantikan Thaksin. Ia berjanji untuk menduduki jabatan tersebut untuk
sementara hingga terpilih pemimpin yang baru.68 Tindak lanjut dari kudeta tersebut ialah
pada tanggal 15 Oktober 2006, junta militer membatalkan pemilu, membatalkan
konstitusi, membubarkan parlemen, melarang unjuk rasa, mengumumkan UU Keadaan
Darurat, menangkap para anggota cabinet, dan memberlakukan sensor terhadap semua
siaran lokal maupun internasional di Thailand. Meski tidak ada korban jiwa yang jatuh,
hal tersebut dilakukan militer untuk memperoleh legitimasi dan keabsahan dari
masyarakat.69
Beberapa tahun sebelum terjadinya kudeta, Thaksin terpilih memimpin Thailand
melalui Pemilu 2001 dari partai Thai Rak Tai. Pada awal pemerintahannya, Thaksin
memimpin Thailand berupaya untuk keluar dari masalah krisis finansial Asia. Salah
satunya ia menggunakan kekayaannya untuk meningkatkan kesejahteraan petani pasca
krisis dan mengeluarkan Thailand dari pinjaman dana IMF. Hal itu dibuktikan Thaksin
dengan menjadikan Thailand sebagai salah satu negara yang cepat keluar dari krisis
65

Surya Yudha Regif, Op.Cit.
Ibid, hal. 35
67
Ibid.
68
Sri Issundari, Op.Cit.hal. 206
69
Ibid
66

15

Asia dan terbebas dari campur tangan IMF.70 Thaksin dengan cepat mengambil hati
rakyat pedesaan yang mayoritas berprofesi sebagai petani dengan kebijakan-kebijakan
seperti asuransi kesehatan yang murah dan tanpa ragu terjun langsung mendengarkan
aspirasi rakyat.71
Akan tetapi, bagi kalangan elit oposisi termasuk militer dan masyarakat kelas
menengah ke atas, hal ini menimbulkan pro dan kontra. Kebijakan Thaksin dianggap
sebagai cara untuk membeli suara rakyat miskin tetapi secara bersamaan mengabaikan
masyarakat kelas atas. Meski pada awalnya kebijakan Thaksin tersebut berhasil dalam
peningkatan ekonomi, akan tetapi secara mengejutkan hal tersebut berimbas kepada
inflasi sehingga pertumbuhan ekonomi yang semula bangkit menjadi terpuruk
kembali.72 Selain itu, pemerintahan sipil yang dipimpin oleh Thaksin ini dianggap
sebagai pemerintahan yang berkarakteristik korupsi, kolusi, dan nepotisme serta
kapitalisme.73
Beberapa faktor yang menyebabkan terjadinya kudeta ialah, pertama, dukungan
Raja Bhumibol Adulyadej yang telah lama menunjukkan ketidaksenangannya kepada
Thaksin. Hal ini yang menjadikan Jenderal Shonti berani mengambil tindakan kudeta,
mengingat peran raja yang menentukan kondisi politik. Kedua, Thaksin telah
memunculkan konflik politik di dalam tubuh militer dengan tindakan nepotisme.
Diperkirakan Thaksin hendak melakukan reshuffle yang hebat dalam tubuh militer.
Ketiga, militer memperkirakan dukungan masyarakat perkotaan atas kudeta tersebut.
Masyarakat menengah ke atas menganggap adanya kudeta militer justru untuk
menyelamatkan demokrasi.74
Pada Desember 2008, pemimpin oposisi dari Partai Demokrat, Abhisit Vejjajiva
terpilih sebagai Perdana Menteri Thailand. Pemilihan Perdana Menteri baru ini
dilakukan menyusul demonstrasi anti-pemerintah dan anti-Thaksin yang mengakibatkan
jatuhnya Perdana Menteri Somchai Wongsawat. Somchai merupakan pimpinan Partai
Kekuatan Rakyat (PPP). Ia diturunkan dari jabatannya sebagai Perdana Menteri karena
tuduhan kecurangan dalam pemilu.Somchai adalah saudara ipar Thaksin dan dianggap

70

Ibid, hal. 207
Ibid.
72
Ibid, hal. 208
73
Surya Yudha Regif, Op.Cit, hal. 36
74
Ibid, hal. 39
71

16

sebagai kepanjangan tangan Thaksin.75 Somchai menjadi Perdana Menteri setelah
Perdana Menteri pasca Thaksin, yaitu Samak Sundaravej yang dinyatakan melanggar
konstitusi karena membawa acara hiburan di televisi swasta.76
Akan tetapi, pemerintahan Abhisit pun diwarnai dengan pertentangan.
Kelompok yang menamakan dirinya sebagai “Kaus Merah” dan pro-Thaksin melakukan
demonstrasi besar-besaran pada 2010. Demonstrasi yang sebagian besar berasal dari
kelas bawah ini menentang Abhisit karena dianggap tidak memiliki legitimasi dan
dianggap sebagai boneka militer.77 Dalam peristiwa kerusuhan Baju Merah itu, sekitar
90 orang tewas dan hampir 1.900 orang terluka dalam serangkaian bentrokan.
Kerusuhan jalanan itu antara demonstran dan pasukan keamanan, yang memuncak
dalam tindakan keras militer pada Mei 2010.78 Kelompok Baju Merah, yang sebagian
besar pendukungnya adalah perdana menteri yang digulingkan, menuntut pemilu
langsung pada 2010. Mereka menuduh pemerintahan Abhisit tidak demokratis karena
berkuasa pada 2008 melalui pemungutan suara parlemen setelah pengadilan dilucuti
kekuasaan sekutu Thaksin.79
Nama

Yingluck

Shinawatra

keluar

sebagai

pemenang

Pemilu

2011,

menggantikan Perdana Menteri Abhisit Vejjajiva. Kemenangannya dalam Pemilu ini,
mewakili Partai Pheu Thai, menjadikannya perdana menteri perempuan pertama di
Thailand. Meski hal ini merupakan kali pertama ia terjun ke kancah perebutan
kekuasaan, nilai saham Thailand di pasar saham negara itu melonjak lebih dari tiga
persen, atau naik 33 poin.80 Namun, berbagai pengamat menyatakan bahwa keberhasilan
Yingluck tak lepas dari peran kakak kandungnya, Thaksin Shinawatra, perdana menteri
yang digulingkan melalui kudeta militer 2006.81
75

Suarakarya Online, Thailand: Pemimpin Oposisi Jadi Perdana Menteri, Selasa, 16 Desember 2008,
http://www.suarakarya-online.com/news.html?id=216179, diakses pada 21 Januari 2013
76
Kunkunrat, Perkembangan Politik di Thailand: Sistem Pemilu, Partai Politik, dan Kudeta, Jurnal
Westphalia Vol. 11 No. 1 Januari-Juli 2012, Hubungan Internasional Universitas Pasundan, Bandung,
2012, hal. 94
77
Ibid, hal. 97
78
Republika Online, Pemimpin Unjuk Rasa Baju Merah Thailand Diadili, Sabtu, 15 Desember 2012, 02:11
WIB, http://www.republika.co.id/berita/internasional/asean/12/12/14/mf0tey-pemimpin-unjuk-rasabaju-merah-thailand-diadili, diakses pada 21 Januari 3013.
79
Ibid.
80
Rimanews.com, Jatuhnya Partai Demokrat, Buka Peluang Perdana Menteri Wanita Pertama Thaialand
Raih Harapan, 05/07/2011 - 06:40 WIB, http://www.rimanews.com/read/20110705/33707/jatuhnyapartai-demokrat-buka-peluang-perdana-menteri-wanita-pertama-thaialand, diakses pada 21 Januari
2013
81
Kunkunrat, Op.Cit, hal. 97

17

2.3. Antara Militer Indonesia dan Militer Thailand
Bila melihat paparan mengenai militer di Indonesia dan Thailand di atas, ada
beberapa indikasi kemiripan maupun perbedaan dari militer di kedua negara tersebut.
Indonesia dan Thailand, meski sama-sama terletak di kawasan Asia Tenggara, akan
tetapi memiliki perbedaan historis yang cukup signifikan. Indonesia adalah negara eks
kolonial Belanda sementara Thailand merupakan satu-satunya negara di kawasan Asia
Tenggara yang tidak terjajah.
Dari faktor historis tersebut, berdampak kepada kultur/budaya militer yang
berkembang di Indonesia dan Thailand. Militer di Indonesia pasca kemerdekaan yang
diproklamirkan pada 1945 lalu menjadi tumpuan dan panutan bangsa dalam
mempertahankan kemerdekaan. Hal tersebut diperkuat bahwasanya Presiden Soekarno
sendiri menyadari bahwa eksistensi militer teramat diperlukan dalam perihal pertahanan
ini. Militer Indonesia pasca kemerdekaan sangat diperhitungkan, terutama disebabkan
petinggi-petinggi militer saat itu merupakan didikan Belanda (KNIL) yang telah
mumpuni dalam strategi perang. Era Orde Lama, tepatnya Demokrasi Liberal yang
sempat diwarnai pertikaian menjadikan militer, lewat peran Angkatan Darat sangat
dibutuhkan dalam stabilitas sosial-politik. Hal ini yang menjadikan langkah awal bagi
militer Indonesia memainkan peran dalam kancah perpolitikan.
Sementara Thailand yang tidak mengalami penjajahan, langkah awal militer
memainkan peran dalam kekuasaan dapat dilihat sejak jatuhnya monarki absolut yang
diktator lewat kudeta militer tahun 1932. Hal ini salah satunya disebabkan hendak
mencontoh konstitusionalisme Barat. Militer Thailand yang awalnya merupakan tentara
kerajaan mengembangkan kultur militer yang dikenal sebagai kudeta militer, dengan
adanya intervensi militer secara berlebihan di dalam politik. Intervensi militer yang
dilakukan oleh militer di Indonesia dan Thailand ini salah satunya didasari oleh
ketidakpercayaan dan ketidakpuasan atas pemerintahan sipil. Lain dari pada itu, ada
pula indikasi bahwa militer memang hendak menguasai pemerintahan.
Dapat dilihat dari “perebutan” kekuasaan antara TNI-AD dan PKI di Indonesia
pada Era Orde Lama, bukan tidak mungkin adanya egosentris maupun keangkuhan di
sini. TNI-AD merasa bahwa pemerintahan Indonesia dapat stabil di bawah cengkeraman
18

militer. Dan atas nama nasionalisme, TNI-AD merasa bahwa kendali Indonesia di
bawahnya dapat menjaga Indonesia dari ancama ideologi komunis. Hal ini tidak lepas
dari pandangan maupun apriori yang telah tertanam sejak kemerdekaan: bahwasanya
karena peran militer lah, Indonesia dapat mempertahankan kedaulatan sebagai bangsa
yang berdiri sendiri dan bukan atas penjajahan.
Hal yang sama dapat dijumpai dari peran militer di Thailand. Kepercayaan kuat
bahwasanya peran militer sangat diperhitungkan dalam stabilitas negara, dibanding
pemerintahan sipil yang cenderung korupsi dan lamban. Sehingga intervensi militer
dalam politik adalah hal yang wajar bahkan diperlukan demi kemaslahatan negara.
Meski bukan secara langsung menduduki kepemerintahan, (dilihat di era Perdana
Menteri Abhisit Vejjajiva) setidaknya militer dapat menyokong pemerintah dari
belakang sehingga dapat terlaksana seluruh kepentingan militer.
Dengan begitu, dapat dikatakan bahwa telah terjadi secara nyata pretorianisme
militer di Indonesia dan Thailand. Pretorianisme merupakan suatu istilah yang merujuk
pada keterlibatan/campur tangan militer di dalam politik. Hal ini tentu sangat jauh dari
konsep profesionalisme militer, yaitu terdapat adanya supremasi sipil atas militer,
sehingga militer tidak mencampuri urusan sipil. Militer hanya fokus dan memiliki
fungsi di bidang pertahanan negara dari ancaman luar. Militer Indonesia dan terutama
militer Thailand disebut Militer Pretorian, karena militer Thailand lahir tanpa pernah
mengalami masa kolonialisme, sehingga militer Thailand memiliki dasar-dasar yang
kuat tentang militer profesional. Selain itu, militer Indonesia dan militer Thailand
terlibat dalam politik termasuk dalam urusan sosial politik yang umumnya menjadi
porsi kerja dari para politisi sipil. Selain itu, militer Indonesia dan Thailand melakukan
intervensi ke bidang sosial politik.
Akan tetapi, ada perbedaan yang mencolok dari militer di Indonesia dan
Thailand. Peran militer di Indonesia, sesuai paparan di atas, berakhir pada 1998, di
mana Soeharto lengser dari jabatannya sebagai Presiden Indonesia setelah menjabat
selama lebih dari tigapuluh tahun. Keadaan ini berdampak kepada jatuhnya kekuasaan
militer (dalam hal ini TNI-AD). Selama Soeharto menjabat sebagai Presiden, hal
tersebut membuat TNI-AD berada di atas angin, dengan kata lain, kekuasaan berada di
tangan militer sehingga berdampak pada supremasi militer atas sipil. Hal itu dibuktikan
dengan hampir seluruh sektor di Indonesia dipegang oleh militer.
19

Sementara di Thailand, militer justru seperti memiliki legitimasi untuk
melakukan serangkaian kudeta. Militer mampu menggeser pemerintahan sipil yang
dianggap tidak mumpuni dalam hal pemerintahan. Hal tersebut dibuktikan dengan
kudeta 2006 lalu, Jenderal Sonthi dengan mudahnya mengumumkan dan mendaulat
dirinya sebagai Perdana Menteri sementara. Sebagian rakyat Thailand justru
mendukung kudeta dengan alasan bahwa kudeta militer dapat membantu demokratisasi
negara.
Dua hal yang berbeda sekali dapat dilihat dari sini. Mengapa militer di Indonesia
dapat jatuh sementara militer di Thailand justru dapat melakukan kudeta dan menduduki
pemerintahan. Ada beberapa faktor yang menyebabkan jatuhnya kekuasaan militer di
Indonesia antara lain, dwifungsi ABRI yang ditentang masyarakat. Masyarakat
Indonesia sudah banyak yang menyadari bahwa sistem pemerintahan militer adalah
suatu hal yang fatal dalam sebuah upaya demokrasi yang berkiblat dengan cara Barat.
Dwifungsi ABRI yang mengintegrasikan TNI-Polri memiliki dua fungsi sebagai alat
pertahanan negara dan pembangun masyarakat. Penulis sendiri sempat merasakan masamasa di akhir Orde Baru. Dengan mudahnya militer berlalu lalang di kawasan sipil, hal
yang seharusnya tidak dapat terjadi di sebuah negara yang menganut demokrasi. Perihal
ini, dapat membawa dampak negatif bagi pertahanan. Dengan lalu-lalangnya militer di
area sipil, menjadikan batas antara area sipil dan militer kabur. Hukum perang
menyatakan bahwa peperangan dilakukan di atas tanah militer, dengan keleluasaan
tersebut area sipil dapat disalahpahami sebagai area militer. Militer di Era Orde Baru
selain menguasai semua sektor, juga melakukan banyak pelanggaran HAM. Selain itu
krisis moneter yang terjadi di akhir Orde Baru yang menyebabkan tuntutan atas
lengsernya kekuasaan militer di tanah air.
Lain halnya dengan Thailand, kudeta militer khususnya kudeta tahun 2006
memiliki dukungan sosok terpenting di kalangan masyarakat Thailand. Raja Bhumibol
Adulyadej merestui dilakukannya kudeta tersebut. Faktor yang menjadikan kudeta ini
direstui salah satunya karena ketidaksukaan Raja kepada Thaksin Shinawatra yang
angkuh dan korupsi. Thaksin dinilai kurang mampu mengambil hati Raja, tidak seperti
Abhisit Vejjajiva. Perlu diingat bahwasanya segala petuah Raja adalah titah, yang harus
dihormati dan dilaksanakan. Adalah langkah cerdik bagi Jenderal Shonti melakukan
lobbying dengan Raja sebelum dimulainya kudeta. Raja bagi masyarakat Thailand
20

adalah simbol father, yang mampu mengendalikan kea rah yang lebih baik. Hal ini yang
membuktikan bahwa nilai paternalism dalam budaya Thailand masih melekat erat. Raja
dianggap sebagai titisan dewa sehingga segala tindak Raja merupakan tindakan dewa
yang harus dipatuhi. Mengutip istilah Prof. Dr. Yahya Muhaimin dalam Perkembangan
Militer dalam Politik di Indonesia 1945-1966,

bahwa sifat “bapakisme” dalam

Masyarakat Thailand begitu kuat. Selain itu masalah kecemburuan sosial antara kelas
menengah atas dengan kelas bawah. Dan yang paling pokok adalah elit militer merasa
memiliki kapabilitas dan kapasitas yang mumpuni dalam menjalankan kepemerintahan
karena latar belakang pendidikan akademi militer membuat mereka dapat berpikir
strategis dan taktis yang memang diperlukan oleh keamanan dan pertahanan negara.
Selain itu militer merasa berjasa secara historis pada era monarki absolut maupun
setelah revolusi 1932.
Adapun suatu hal yang sangat patut disyukuri oleh masyarakat Indonesia
bahwasanya

militer

(TNI-AD)

tidak

melakukan

serangkaian

kudeta

untuk

mengembalikan posisi kekuasaannya seperti masa Orde Baru. Meski hal ini mungkin
saja dapat terjadi, akan tetapi, militer di Indonesia pada masa Reformasi saat ini sudah
mulai mengurangi perannya dalam politik. Reformasi sektor keamanan sudah
dicanangkan dan militer menampakkan keseriusan dalam menjalani kembali fungsi
utamanya yang terangkum dalam sifat profesionalisme militer.

KESIMPULAN

Intervensi militer dalam politik memang banyak terjadi di negara-negara dunia
ketiga, khususnya Indonesia dan Thailand. Salah satu faktor utama adalah peran militer
yang besar dalam pertahanan negara dan dianggap lebih mumpuni untuk menjalankan
sebuah kepemerintahan. Hal ini salah satunya ditujukan untuk pencapaian demokrasi.
21

Akan tetapi, untuk menuju ke arah sana, militer dianggap yang paling mumpuni untuk
menjaga kestabilan negara seraya melangkah menuju demokrasi.
Jatuhnya militer era Orde Baru di Indonesia, menjadi bukti bahwa tak selamanya
militer dapat dan mampu menjalani kepemerintahan. Terlebih, tindak-tanduk dan
kesewenang-wenangan militer masa Orde Baru dinilai masyarakat sebagai indikasi
otoritarianisme. Selain itu, kesadaran masyarakat akan supremasi sipil semakin
terbangun. Pemerintahan Soeharto dapat diibaratkan sebagai bom waktu, bahwasanya
tidak selamanya masyarakat tidur dan terbuai dalam rezim otoriter.
Lain halnya dengan Thailand, kudeta militer sejak 1932-2006 tercatat sudah
terjadi sebanyak 23 kali. Faktor yang menjadikan militer memainkan peran utama pada
intinya hampir sama dengan Indonesia, hanya saja, peran Raja sangat penting di sini.
Sifat paternalistik di dalam masyarakat Thailand yang kental menyebabkan segala apa
yang menjadi tindakan Raja harus dipatuhi. Hal inilah yang membuat kudeta 2006
terjadi, disebabkan peran Raja yang mendukung militer menggulingkan Thaksin
Shinawatra, pemerintahan sipil yang dinilai korupsi, kolusi, dan nepotisme.
Peran militer dalam politik di Indonesia dan Thailand dapat dikategorikan
sebagai pretorianisme militer, seperti apa yang dijelaskan oleh Eric A. Nordlinger. Hal
ini dikarenakan adanya intervensi militer dan ikut campur militer dalam urusan
pemerintahan sipil. Sementara hubungan antara sipil-militer di Indonesia adalah
merebaknya secara luas pemahaman mengenai supremasi sipil di masyarakat Indonesia.
Faktor ini yang menjadi salah satu tumbangnya kekuasaan militer di Indonesia.
Sementara hubungan sipil-militer di Thailand, meski sudah banyak kalangan yang
menentang intervensi militer, namun masih banyak pula yang mendukung peran militer
dalam upaya demokratisasi negara.
DAFTAR PUSTAKA

BUKU
Chrisnandi, Yuddy, Reformasi TNI; Perspektif Baru Hubungan Sipil-Militer di
Indonesia, Jakarta: Pustaka LP3ES Indonesia, 2005

22

Huntington, Samuel P., The Soldier and The State, The Theory and Politics of Civil–
Military Relations,1959.Cambridge, Massachussets : the Belknap Press, of Harvard
University Press
Muhaimin, Yahya, Perkembangan Militer dalam Politik di Indonesia 1945-1966,
Yogyakarta: Gadjah Mada University Press, 2002
Nordlinger, Eric A., Militer Dalam Politik, Jakarta: PT. Rineka Cipta, 1994
Notosusanto, Nugroho, dkk, Pejuang Dan Prajurit, Jakarta: Penerbit Sinar Harapan,
1984
Nurkhoiron, M. Bencana Industri: Relasi Negara, Perusahaan, dan Masyarakat Sipil,
dalam bab Bencana dan Industrialisasi di Indonesia: Sejarah Tafsir dan Kutukan Paska
Kolonial, Desantara: 2010

JURNAL
F