Hubungan Harga Diri dengan Interaksi Sosial Pada Orang Dengan HIV AIDS (ODHA) di RSUP H. Adam Malik Medan

8

BAB 2
TINJAUAN PUSTAKA
2.1

Konsep HIV/AIDS
2.1.1

Definisi HIV/AIDS
HIV adalah singkatan dari Human Immunodeficiency Virus,

merupakan penyakit lain (infeksi oportunitik) dan dapat berlangsung
lama/bertahun-tahun tanpa memberikan gejala. Infeksi oportunistik adalah
infeksi yang umumnya tidak berbahaya pada orang dengan tubuh normal
namun dapat berakibat fatal pada ODHA (orang dengan HIV/AIDS)
karena sistem kekebalan tubuhnya lemah. Sedangkan AIDS adalah
singkatan dari Acquired Immunodefeciency Syndrome suatu kumpulan
gejala penyakit yang di dapat akibat menurunnya sistem kekebalan tubuh
yang di sebabkan oleh virus HIV. HIV/AIDS adalah suatu kumpulan
kondisi klinis tertentu yang merupakan hasil akhir dari infeksi oleh HIV

(Slyvia & Wilson, 2005) dalam (Indah, 2013).
HIV adalah virus dan seperti kebanyakan virus, HIV memerlukan
sel inang untuk memperbanyak diri guna melakukan replikasi dan bertahan
hidup. HIV diklasifikasikan sebagai retrovirus, yaitu virus asam
ribonukleat (RNA) (French, 2015).
AIDS (Acquired Imune Deficiency Syndrome) atau Sindrom
Kehilangan Kekebalan Tubuh adalah sekumpulan gejala penyakit yang

Universitas Sumatera Utara

9

menyerang tubuh manusia sesudah sistem kekebalannya dirusak oleh virus
yang disebut HIV (Human Immunodeficiency Virus) (Djoerban, 2000).
AIDS adalah sindrom atau kumpulan gejala yang disebabkan oleh
HIV yang mudah menular dan mematikan. Virus tersebut menyerang
sistem kekebalan tubuh, dengan akibat turunnya/hilangnya daya tahan
tubuhnya, sehingga mudah terjangkit dan meninggal karena penyakit
infeksi, keganasan dan lain-lain (Hermawan, 2006).
Dari pengertian di atas penulis menyimpulkan bahwa HIV/AIDS

(Human Immunodeficiency Virus/Acquired Imune Deficiency Syndrome)
adalah kumpulan gejala penyakit yang terjadi akibat menurunnya sistem
kekebalan tubuh manusia yang disebabkan oleh virus dari golongan
retrovirus, yaitu virus asam ribonukleat (RNA).
2.1.2

Transmisi HIV/AIDS
HIV bukan fenomena yang terjadi secara alamiah, virus ini

ditransmisikan dari mana pun agar seseorang dapat terinfeksi. Transmisi
HIV dapat terjadi baik melalui kontak seksual, via darah atau produk
darah, atau dari ibu ke bayinya.
a. Kontak seksual – Sebagian besar infeksi HIV terjadi melalui
hubungan intim tanpa pelindung. HIV terdapat pada semen,
pre-cum, cairan vagina, dan darah haid. Selama berhubungan
intim tanpa pelindung dengan pasangan yang terinfeksi, HIV
dapat berpindah dari satu orang ke orang lain melalui kontak

Universitas Sumatera Utara


10

dengan membran mukosa. Seperti melalui hubungan seksual
anal dan vaginal tanpa pelindung, HIV dapat ditransmisikan
juga melalui seks oral tanpa pelindung meskipun beberapa
bukti menyatakan bahwa metode ini berisiko lebih kecil untuk
mengalami infeksi. Beberapa faktor tertentu akan membuat
transmisi HIV lebih memungkinkan, contohnya, jika seorang
individu sudah mengalami SAI, seperti klamidia, ia lebih
rentan terhadap infeksi (French, 2015).

Dalam Hermawan

(2006) disebutkan juga bahwa kontak dengan menggunakan
mulut, hubungan seksual menggunakan kondom, ciuman mulut
dengan mulut, dan ciuman mulut dengan kelamin dapat
memberikan risiko penularan HIV.
b. Kontak darah dengan darah – HIV terdapat di dalam darah,
setiap kontak dengan darah yang terinfeksi HIV berpotensi
menyebabkan infeksi. Metode infeksi yang paling umum

adalah melalui berbagai peralatan injeksi di antara pengguna
obat terlarang yang diinjeksikan. Saat ini, infeksi HIV jarang
terjadi melalui tranfusi darah karena semua darah yang
didonasikan untuk tranfusi di Inggris sudah diperiksa untuk
HIV dan pemeriksaan tersebut sudah dilakukan sejak tahun
1985. Infeksi HIV melalui luka akibat jarum injeksi jarang
terjadi dan hanya terjadi pada sekitar kurang dari 1% individu.
c. Transmisi ibu ke anak – HIV dapat ditularkan ibu ke bayinya,
baik sebelum atau selama persalinan atau ketika menyusui.

Universitas Sumatera Utara

11

Semua ibu hamil ditawarkan dan dianjurkan untuk melakukan
pemeriksaan HIV karena jika HIV dikonfirmasi selama
kehamilan, medikasi dapat diberikan ke ibu untuk mengurangi
risiko infeksi HIV ditransmisikan ke janin.
Risiko transmisi bergantung juga pada jenis pajanan dan daya
infeksi pasien yang menjadi sumbernya. Risiko transmisi melalui

hubungan intim diperkirakan sekitar 0,2% (1 dalam 500) (Varghese et al.,
2002).
2.1.3

Gambaran klinis HIV/AIDS
Menurut French (2015) gambaran klinis terkait infeksi HIV adalah
a. Dugaan infeksi primer dengan penyakit serokonversif (proses,
setelah pajanan terhadap agens penyebab penyakit, perubahan
darah dari penanda serum yang negatif menjadi positif untuk
penyakit yang spesifik).
b. Setiap manifestasi yang tidak lazim dari penyakit yang
disebabkan oleh bakteri, fungal, virus: infeksi tuberkulosis;
dugaan Pneumocystis jiroveci pneumonia (PCP); atau dugaan
oksoplasmosis serebral.
c. Ulserasi genital persisten.
d. Tumor yang tidak lazim, contohnya, limfoma serebral, limfoma
non-Hodgkin, atau sarkoma Kaposi.
e. Trombositopenia atau limfoma yang tidak dapat dijelaskan.

Universitas Sumatera Utara


12

f. Masalah kulit yang tidak biasa, seperti dermatitis seboreik
berat, psoriasis atau moluskum kontagiosum, herpes zoster
kambuhan atau herpes zoster pada individu berusia muda.
g. Limfadenopati umum (generalised lymphadenopathy, PGL)
persisten atau limfoedema yang tidak dapat dijelaskan.
h. Masalah neurologis mencakup neuropati perifer atau tanda
fokal yang disebabkan oleh lesi intra serebral yang memenuhi
ruang.
i. Penurunan berat badan atau diare yang tidak dapat dijelaskan,
keringat berlebihan di malam hari atau pireksia yang tidak
diketahui penyebabnya (Rogstad et al., 2006).
Menurut Soedarto (2010) penderita yang terinfeksi HIV dapat
dikelompokkan menjadi 4 golongan, yaitu
a.

Penderita Asimtomatik, tanpa gejala, yang terjadi pada masa
inkubasi yang berlangsung antara 7 bulan sampai 7 tahun

lamanya.

b.

Persistent Generalized Lymphadenopathy (GPL) dengan
gejala limfadenopati umum.

c.

AIDS Related Complex (ARC) dengan gejala lelah, demam,
dan gangguan sistem imun atau kekebalan.

d.

Full Blown AIDS merupakan fase akhir AIDS dengan gejala
klinis yang berat berupa diare kronis, pneumonitis interstisial,
hepatomegali, splenomegali, dan kandidiasis oral yang

Universitas Sumatera Utara


13

disebabkan oleh infeksi oportunistik dan neoplasia misalnya
Sarkoma Kaposi. Penderita akhirnya meninggal dunia akibat
komplikasi penyakit infeksi sekunder.
Diagnosis HIV/AIDS dari gejala klinis khas HIV adalah sebagai
berikut :
a.

HIV stadium 1 : asimtomatis atau terjadi GPL (persistent
generalized lymphadenopathy).

b.

HIV stadium 2 : berat badan menurun lebih dari 10%, ulkus
atau jamur di mulut, menderita herpes zoster 5 tahun terakhir,
sinusitis rekuren.

c.


HIV stadium 3 : berat badan menurun lebih dari 10%, diare
kronis dengan sebab tak jelas lebih dari 1 bulan.

d.

HIV stadium 4 : berat badan menurun lebih dari 10%, gejalagejala infeksi pneumosistosis, TBC, kriptokokosis, herpes
zoster dan infeksi lainnya sebagai komplikasi turunnya sistem
imun (AIDS). Untuk menentukan diagnosis pasti HIV/AIDS,
virus penyebabnya dapat diisolasi dari limfosit darah tepi atau
dari sumsum tulang penderita.

Menurut kriteria W.H.O gejala klinis AIDS untuk penderita
dewasa meliputi minimum 2 gejala major dan 1 gejala minor.
Gejala major :
a.

berat badan menurun lebih dari 10%,

b.


diare kronis lebih dari 1 bulan,

Universitas Sumatera Utara

14

c.

demam lebih dari 1 bulan.

Gejala minor :
a.

batuk lebih dari 1 bulan,

b.

pruritus dermatitis menyeluruh,

c.


infeksi umum rekuren misalnya herpes zoster atau herpes
simpleks,

d.

limfadenopati generalisata,

e.

kandidiasi mulut dan orofaring,

f.

ibu menderita AIDS (kriteria tambahan untuk AIDS anak).

Untuk membantu menegakkan diagnosis, dilakukan pemeriksaan
serologi untuk menentukan antibodi terhadap HIV dengan uji ELISA,
uji imunofluoresens, radioimmunoprecipitin assay dan pemeriksaan
western blot.
2.1.4

Tahapan infeksi HIV/AIDS
Progresi penyakit HIV dibagi menjadi empat tahap utama, yaitu :
2.1.4.1 Primer
Individu yang terinfeksi HIV seringkali tidak menyadari bahwa
mereka telah terinfeksi karena mereka tidak menemukan atau
mengalami gejala yang dapat diidentifikasi . beberapa orang akan
mengalami kondisi sakit dalam periode pendek segera setelah
mereka terinfeksi, kondisi ini disebut “penyakit serokonversi”
karena terjadi sesaat sebelum antibodi untuk HIV diproduksi di

Universitas Sumatera Utara

15

dalam tubuh, ketika kadar HIV mencapai angka tertinggi di dalam
darah yang bersirkulasi. Pada saat ini, orang yang terinfeksi
menjadi sangat infeksius.
a. Serokonversi
Gejala untuk penyakit serokonversi bersifat samar dan sering kali
dideskripsikan sebagai gejala “seperti flu”. Umumnya, gejala mulai
terjadi pada 2-6 minggu pasca-infeksi HIV dan akan terjadi sekitar
10-14 hari. Gejala dapat mencakup :
a. Demam dan rasa nyeri pada ekstremitas.
b. Ruam berbercak merah pada tubuh bagian atas.
c. Sakit tenggorok (faringitis).
d. Ulserasi pada mulut atau genital.
e. Diare.
f. Sakit kepala berat.
g. Tidak dapat melihat cahaya.
Diperkirakan hingga 80% orang yang terinfeksi HIV akan
mengalami beberapa gejala ini; namun beberapa gejala ini amat
samar dan berkaaitan dengan penyakit minor lainnya; gejala ini
tidak dikaitkan dengan infeksi HIV.
Gejala yang lebih jarang mencakup :
a.

Meningitis.

b.

Paralisis.

c.

Infeksi oportunistik.

Universitas Sumatera Utara

16

Jika gejala yang jarang terjadi ini dialami atau jika gejala terjadi
lebih dari yang diperkirakan, prognosisnya buruk. Tanpa medikasi
antiretroviral, diagnosis AIDS cenderung dapat ditegakkan dalam 5
tahun.
2.1.4.2 Asimtomatik
Tahap infeksi asimtomatik disebut seperti itu karena orang
yang terinfeksi HIV sering kali menunjukkan tanda infeksi yang
tidak terlihat dan tidak adanya progresi penyakit pada tahap ini.
Tahap infeksi HIV ini dapat berlangsung selama beberapa tahun.
Jika terdapat gejala-gejala tersebut, mayoritas dari individu
akan mengalami pembengkakan kelenjar getah bening, yang
disebut PGL. PGL adalah tanda dari tubuh yang mencoba melawan
infeksi HIV dari pada tanda kerusakan pada sistem imun.
Walaupun individu dengan HIV tidak akan memiliki tandatanda infeksi yang kasat mata, terkadang terdapat kerusakan pada
sistem imun mereka yang hanya dapat terdeteksi dengan
pemeriksaan darah spesifik. Pemeriksaan darah ini termasuk hitung
sel CD4 dan pemeriksaan beban virus.
2.1.4.3 Simtomatik
Penelitian telah menunjukkan bahwa jika dibiarkan tanpa
diterapi, HIV akan terus menerus menyerang sistem imun sel inang
dan menyebabkan lebih banyak gangguan. Kecepatan terjadinya
gangguan amat bergantung pada respons spesifim individu
terhadap virus. Semakin parah imunosupresi maka individu akan

Universitas Sumatera Utara

17

semakin

rentan

mengalami

infeksi

dan/atau

tumor

yang

mengindikasikan infeksi HIV simtomatik.
a. Aksi spesifik HIV
Sebagian besar gejala yang terlihat pada individu yang
terinfeksi HIV disebabkan oleh penurunan sistem imun
dibanding aksi virus itu sendiri. Satu-satunya pengecualian dari
kondisi tersebut adalah sindrom wasting HIV dan demensia
HIV, yang disebabkan oleh aksi langsung HIV.
b. Infeksi oportunistik
Infeksi

oportunistik

adalah

infeksi

yang

masih

dapat

dikendalikan oleh sistem imun yang sehat, tetapi setelah sistem
imun mengalami gangguan akibat HIV; infeksi mengambil
“kesempatan” untuk menimbulkan masalah dan menyebabkan
kondisi sakit. Infeksi oportunistik yang paling sering terjadi di
Inggris adalah Pneumocystis jiroveci (carinii) pneumonia.
2.1.4.4 AIDS
AIDS adalah diagnosis yang ditegakkan hanya jika kriteria
medis tertentu telah ditemukan. Sebagai contoh, individu yang
didiagnosis AIDS akan ditemukan kondisi oportunistik, seperti
PCP atau Sarkoma Kaposi, dan mengalami imunosupresi yang
nyata.
2.1.5

Pengobatan HIV/AIDS
Pengobatan infeksi HIV mutakhir adalah dengan antiretrovirus

(ARV) yang sangat aktif (Highly Active Antiretroviral Therapy, HAART)

Universitas Sumatera Utara

18

yang menggunakan protease inhibitor, berupa kombinasi sedikitnya 3
ARV berasal dari sedikitnya 2 jenis / kelas yang berbeda. Kombinasi ARV
yang umum digunakan adalah NRTI (nucleoside analogue reverse
transcriptase inhibitor), dengan protease inhibitor atau dengan nonnucleoside reverse transcriptase inhibitor (NNRTI). Penerapan HAART
meningkatkan kualitas hidup dan kesehatan umum penderita HIV,
menurunkan dengan drastis angka kesakitan dan angka kematian HIV.
Pada prinsipnya ARV harus diberikan segera sesudah diagnosis
HIV ditegakkan.
Tabel 2.1. Obat antiretroviral (NRTI) yang telah disetujui FDA
Singkatan

Nama Generik

Nama Dagang Cara Pemberian

3TC

Lamivudine

Epivir

Dengan atau tanpa makanan

ABC

Abacavir

Ziagen

Dengan atau tanpa makanan

AZT/ZDT

Zidovudine

Retrovir

Dengan atau sesudah makan

D4T

Stavudine

Zerit

Dengan atau tanpa makanan

DdC

Zalcitabine

Hivid

Dengan atau sesudah makan

Ddl

Didanosine

Videx

Berikan

30

menit

sebelum

makan; hindari alkohol
(Sumber : Soedarto, 2010)

Universitas Sumatera Utara

19

Tabel 2.2. Obat antiretroviral (NNRTI) yang disetujui FDA
Singkatan

Nama Generik

Nama Dagang

Cara Pemberian

DLV

Delavirdine

Rescriptor

Dengan

atau

tanpa

makanan
EFV

Efavirenz

Sustiva/Stocrin

Berikan waktu lambung
dalam keadaan kosong

ETR

Etravirine

Intelence

Berikan bersama makanan

NVP

Nevirapine

Viramune

Dengan

atau

tanpa

makanan
(Sumber : Soedarto, 2010)
Tabel 2.3. Protease Inhibitor yang disetujui FDA
Singkatan

Nama Generik

Nama Dagang

Cara Pemberian

APV

Amprenavir

Agenerase

Dengan

atau

tanpa

makanan
Hindari makanan berlemak
FOS-APV

Fosamprenavir

Lexiva
Telzir

Dengan

atau

tanpa

makanan

(Sumber : Soedarto, 2010)

Universitas Sumatera Utara

20

2.1.6

Pencegahan HIV/AIDS
Tidak ada vaksin untuk mencegah HIV atau AIDS. Pencegahan

hanya dapat dilakukan dengan menghindari kontak dengan virus yang
berasal dari penderita baik secara langsung maupun tidak langsung melalui
barang-barang yang tercemar dengan bahan inefektif berasal dari penderita
HIV.
Petugas yang telah kontak dengan virus diberikan perawatan
antiretrovirus secara langsung (post exposure prophylaxis, PEP). Untuk
mencegah penyebaran HIV/AIDS di masyarakat harus dilakukan upaya
mencegah paparan HIV yang terjadi melalui tranfusi darah, persalinan,
penularan dari ibu ke anak, penggunaan jarum suntik bersama, hubungan
seksual baik yang heteroseksual maupun homoseksual atau perilaku
seksual lainnya.
2.1.7

Dampak Psikologis Akibat HIV
HIV adalah penyakit yang tidak dapat disembuhkan yang memiliki

potensi untuk mengancam jiwa, karenanya orang yang terinfeksi HIV
sering kali mengalami dampak psikologis yang membahayakan. Setelah
seseorang didiagnosis positif mengalami HIV, mungkin hidupnya akan
berjalan pada jalur yang berbeda dari rencana atau ekspektasi sebelumnya.
Orang yang terinfeksi HIV mengalami berbagai macam kehilangan, seperti
kehilangan kesehatan, teman, status sosial, pendapatan, dan ekspektasi
hidup yang direncanakan.

Universitas Sumatera Utara

21

Selama progresi HIV, individu memerlukan bertahun-tahun untuk
memahami mengapa mereka terinfeksi, dapatkah mereka mencegahnya,
kapan waktu yang tepat untuk memberi tahu tentang kondisinya saat ini ke
orang lain, siapa yang harus mereka beri tahu karena orang tersebut
berisiko terinfeksi, dan apa yang akan terjadi pada dirinya di masa depan.
Bagi beberapa orang, diagnosis HIV dapat serupa dengan diagnosis
kanker, seperti yang dijelaskan Elizabeth Kubler-Ross (1969) dalam siklus
berdukanya-penyangkalan dan isolasi, kemarahan, penerimaan, tawarmenawar , depresi, dan akhirnya penerimaan (French, 2015).
Selanjutnya, seiring progresi HIV, individu harus menghadapi
kondisi sakit. Bagi beberapa orang, kondisi sakit ini berarti hilangnya
kendali terhadap tubuh yang dapat menyebabkan rasa tidak memiliki
kendali terhadap hidupnya. HIV menjadi musuh dan orang yang terinfeksi
HIV melaporkan bahwa mereka merasa disiksa oleh virus (Schonnesson
and Ross, 1999) dalam (French, 2015).
2.2 Konsep harga diri
2.2.1 Definisi harga diri
Harga diri berdasarkan pada faktor internal dan eksternal. Harga diri
atau rasa kita tentang nilai-diri; rasa ini adalah suatu evaluasi dimana
seseorang membuat atau mempertahankan diri. Harga diri adalah tinggi
rendahnya penilaian seseorang terhadap dirinya sendiri menurut status
pribadi yang dilihatnya secara subyektif dan diekspresikan lewat sikap
individu tersebut terhadap dirinya sendiri (Karima, 2004).

Universitas Sumatera Utara

22

Harga diri adalah rasa dihormati, diterima, kompeten, dan bernilai.
Orang dengan harga diri rendah seiring merasa tidak dicintai dan sering
mengalami depresi dan ansietas. Harga diri berfluktuasi sesuai dengan
kondisi sekitarnya, meskipun inti dasar dari perasaan negatif dan positif
dipertahankan (Potter and Perry, 2005).
Maslow dalam teori hirarki kebutuhannya menyatakan bahwa
harga diri adalah salah satu motivasi dasar manusia untuk mencapai
aktualisasi diri (dalam Huitt, 2007). APA dictionary of Psychology (2007,
hal. 830) mendefinisikan harga diri sebagai tahapan dimana kualitas dan
karakteristik self-concept yang dimiliki seseorang dianggap positif. Harga
diri merefleksikan gambaran citra diri, kemampuan, pencapaian, dan nilai
yang dimiliki serta sejauh mana seorang individu sukses menerapkannya.
2.2.2

Bentuk harga diri
Berdasarkan kajian literatur mengenai harga diri yang dilakukan

beberapa ahli Brown dan Marshall (2006) membagi bentuk harga diri
kedalam 3 kategori :
a. Global self-esteem
Harga diri sering digunakan sebagai istilah yang merujuk pada
variabel kepribadian yang mewakili bagaimana perasaan seseorang
terhadap dirinya sendiri. Peneliti menamai bentuk harga diri yang
demikian sebagai, global self-esteem atau trait self-esteem, karena
relatif bertahan dalam berbagai situasi dan waktu. Jika seseorang
memiliki harga diri yang tinggi atau rendah ketika kanak-kanak

Universitas Sumatera Utara

23

maka kemungkinan besar individu tersebut akan memiliki tingkat
harga diri yang sama ketika dewasa (weiten et al., 2012).
b. Feeling of self-worth
Harga diri juga sering dirujuk sebagai reaksi emosi evaluatif
terhadap kejadian tertentu. Contohnya seseorang mungkin merasa
harga dirinya naik setelah mendapat promosi jabatan dan harga
dirinya turun setelah menjalani perceraian. Self-worth adalah
perasan bangga terhadap diri sendiri (dalam sisi positif) dan malu
terhadap diri sendiri (dalam sisi negatif). Harga diri yang demikian
disebut juga sebagai state self-esteem, yaitu

harga diri yang

bersifat dinamis dan dapat dirubah bergantung pada perasaan
seseorang terhadap dirinya di waktu tertentu (Heathertron & Polivy
dalam Weiten et al., 2012).
c. Self-evaluations
Disebut juga sebagai domain spesific self-esteem, yaitu harga diri
digunakan

untuk

merujuk

cara

seseorang

mengevaluasi

kemampuan dan atribut bervariasi yang ada pada dirinya.
Contohnya seorang individu yang memiliki keraguan atas
kemampuannya di sekolah dapat disebut memiliki academic selfesteem yang rendah sedangkan individu yang merasa dirinya
memiliki kemampuan yang baik dalam bidang olah raga dapat
dikatakan memiliki athletic self-esteem yang tinggi.

Universitas Sumatera Utara

24

2.2.3

Sumber harga diri
Epstein (dalam Mruk, 2006) menambahkan sumber harga diri yang

dikemukakan oleh Coopersmith sehingga lebih dinamis dengan alasan
apabila kesuksesan (hal positif) terlibat dalam pembentukan harga diri
maka kemungkinan akan adanya kegagalan (hal negatif) juga harus
dilibatkan. Keempat sumber harga diri tersebut adalah :
a. Acceptance vs. rejection
Penerimaan dan penolakan dalam hubungan interpersonal seorang
individu dengan orang tua, saudara, teman, pasangan, dan rekan
kerja dapat mempengaruhi perasaan seorang individu atas dirinya.
Bentuk penerimaan seperti rasa peduli, pengasuhan, perasaan
tertarik, respek, serta kagum dan bentuk penolakan seperti tidak
dihiraukan, direndahkan, atau dimanfaatkan dapat memperharuhi
harga diri seseorang.
b. Virtue vs. guilt
Virtue menurut Epstein adalah kepatuhan terhadap standar moral
dan etika yang berlaku, sedangkan guilt merujuk pada kegagalan
untuk mematuhi standar moral dan etika yang berlaku. Saat
seorang individu bertindak sesuai dengan nila moral dan etika yang
berlaku maka mereka akan merasa sebagai individu yang „layak‟
dan akan mempengaruhi harga diri mereka secara positif.
Sebaliknya saat individu tersebut gagal mengikuti standar moral

Universitas Sumatera Utara

25

yang berlaku maka akan mempengaruhi harga dirinya secara
negatif.
c. Power vs. powerlessness
Epstein

mendefinisikan

power

sebagai

kemampuan

untuk

mengatur atau mengontrol lingkungannya atau dengan kata lain
kemampuan untuk memberi pengaruh. Kemampuan seorang
individu untuk berinteraksi dengan lingkungan dan individu
sekitarnya dengan cara-cara

yang dapat membentuk atau

mengarahkan interaksi tersebut mencerminkan kompetensi dalam
menghadapi tantangan dalam kehidupan dan akan mempengaruhi
harga diri secara positif.
d. Achievement vs. failure
Syarat agar achivement mempengaruhi harga diri seseorang adalah
ketika seorang individu mengalami ke suksesan pada dimensidimensi tertentu yang berhubungan dengan identitas diri mereka.
Contohnya menyikat gigi bukanlah pencapaian signifikan bagi
sebagian besar orang, namun dapat menjadi pencapaian personal
yang besar bagi individu dengan cacat fisik maupun mental. Saat
seorang

individu

mencapai

tujuan

dengan

menghadapi

permasalahan atau rintangan yang memiliki signifikansi personal,
maka individu tersebut menunjukan kompetensi dalam menghadapi
tantangan dalam kehidupan dan hal tersebut mempengaruhi harga
dirinya secara positif.

Universitas Sumatera Utara

26

2.2.4

Tingkat harga diri
Mruk (2006) menyimpulkan tingkat harga diri berdasarkan

beberapa definisi yang dikemukakan oleh beberapa ahli menjadi tiga
kategori, yaitu :
a. Low Self-esteem
Karakteristik individu dengan harga diri rendah meliputi
hipersensitivitas, ketidakstabilan, rasa canggung, dan kurang
percaya diri. Individu dengan harga diri rendah lebih berfokus pada
melindungi

diri

dari

ancaman

dibanding

berusaha

untuk

mengaktualisasikan potensi yang dimiliki dan menikmati hidup.
Individu dengan harga diri rendah juga tidak memiliki gambaran
identitas yang jelas dan sensitif terhadap isyarat sosial yang
dianggap relevan dengan dirinya, mereka menggunakan strategi
self-handicapping dan menurunkan ekspektasi untuk menghindari
perasaan inferior lebih lanjut.
b. High self-esteem
Harga diri tinggi berkorelasi positif dengan rasa bahagia, mereka
yang memiliki harga diri tinggi memiliki pandangan yang baik atas
diri mereka, kehidupan, dan masa depan. Individu dengan harga
diri tinggi lebih mampu menghadapi stres dan menghindari rasa
cemas yang sehingga mereka tetap mampu beindak dengan baik
saat berhadapan dengan stress dan trauma. Terdapat dukungan
empiris mengenai hubungan antara harga diri tinggi dan hubungan

Universitas Sumatera Utara

27

interpersonal. Individu yang memiliki harga diri tinggi memiliki
karakteristik interpersonal yang disukai serta memiliki standar
moral dan kesehatan yang baik. Harga diri yang tinggi juga dapat
membantu meningkatkan kinerja berkaitan dengan kemampuan
pemecahan masalah dalam situasi tertentu yang membutuhkan
inisiatif dan presistensi.
c. Medium self-esteem
Coopersmith (dalam Mruk, 2006) menyatakan bahwa individu
dengan tingkat harga diri sedang merupakan hasil dari tidak
tereksposnya seorang individu pada faktor-faktor yang mendukung
kepemilikan tingkat harga diri yang tinggi, namun memiliki
sebagian faktor sehingga menghindarkan mereka dari tingkat harga
diri yang rendah.
2.2.5

Faktor-faktor yang mempengaruhi harga diri
Harga diri mempengaruhi bagaimana individu akan berfungsi

dalam kehidupannya sehari-hari. Individu dengan harga diri rendah,
cenderung memiliki motivasi rendah (Branden, 1994) dalam Karima
(2004). Sementara individu dengan harga diri tinggi akan lebih dapat
berperilaku efektif (Coopersmith dan Branden) dalam Karima (2004).
Ada beberapa faktor yang mempengaruhi penghargaan seseorang
atas dirinya sendiri menurut Coopersmith (1981) dalam Karima (2004),
yaitu:

Universitas Sumatera Utara

28

a.

Penerimaan atau penghinaan terhadap diri.
Individu yang merasa dirinya berharga akan memiliki

penilaian

yang

lebih

baik

atau

positif

terhadap

dirinya

dibandingkan dengan individu yang tidak mengalami hal tersebut.
Individu yang memiliki harga diri yang baik akan mampu
menghargai dirinya sendiri, menerima diri, tidak menganggap
rendah dirinya, melainkan mengenali keterbatasan dirinya sendiri
dan mempunyai harapan untuk maju dan memahami potensi yang
dimilikinya. Sebaliknya individu dengan harga diri yang rendah
umumnya

akan

menghindar

dari

persahabatan,

cenderung

menyendiri, tidak puas akan dirinya, walaupun sesungguhnya
orang yang memiliki harga diri yang rendah memerlukan
dukungan.
b. Kepemimpinan atau popularitas
Penilaian atau keberartian diri diperoleh seseorang pada saat ia
harus berperilaku sesuai dengan tuntutan yang diberikan oleh
lingkungan

sosialnya

yaitu

kemampuan

seseorang

untuk

membedakan dirinya dengan orang lain atau lingkungannya. Pada
situasi persaingan, seseorang akan menerima dirinya serta
membuktikan seberapa besar pengaruh dan kepopulerannya.
Pengalaman yang diperoleh pada situasi itu membuktikan individu
lebih

mengenal

dirinya,

berani

menjadi

pemimpin,

atau

menghindari persaingan.

Universitas Sumatera Utara

29

c.

Keluarga – orangtua
Keluarga

dan

orangtua

memiliki

porsi

terbesar

yang

mempengaruhi harga diri, ini dikarenakan keluarga merupakan
modal pertama dalam proses imitasi. Alasan lainnya karena
perasaan dihargai dalam keluarga merupakan nilai yang penting
dalam mempengaruhi harga diri.
d. Keterbukaan – kecemasan
Individu cenderung terbuka dalam menerima keyakinan, nilainilai, sikap, moral dari seseorang maupun lingkungan lainnya jika
dirinya diterima dan dihargai. Sebaliknya seseorang akan
mengalami kekecewaan bila ditolak lingkungannya.
2.2.6

Gambaran harga diri ODHA
Harga diri pada pasien HIV/AIDS mempunyai peranan penting

dalam proses perawatan seperti yang diunhkapkan oleh Stuart dan
Sundeen (2000) self esteem (harga diri) adalah perilaku tentang nilai
individu menganalisa kesesuaian paerilaku dengan ideal diri. Harga diri
yang tinggi berakar dari penerimaan diri tanpa syarat sehingga diharapkan
pasien HIV/AIDS dengan harga diri yang tinggi dapat berpengaruh
terhadap penerimaan diri tentang kondisinya tanpa syarat.
Kondisi penurunan harga diri, depresi, stress, dan tak bisa
menerima kenyataan dialami hampir setiap individu atau anggota keluarga
yang mengidap HIV/AIDS. Kondisi tersebut terjadi karena sampai saat ini
masyarakat masih menganggap HIV/AIDS sebagai momok menyeramkan.

Universitas Sumatera Utara

30

Saat divonis sebagai Orang dengan HIV/AIDS (ODHA), yang terbayang
dibenak mereka adalah kematian (Djoerban, 2000).
Harga diri adalah konsep yang meliputi rendah diri, dan
penerimaan mereka kepada orang lain. Ini meliputi penilaian diri mereka
secara internal yang didasarkan pada pengalaman masa lalu. ODHA
dengan harga diri rendah bukan dikarenakan untuk melindungi dirinya
sendiri atau orang lain terhadap penularan infeksi HIV, namun adanya
stigmatisasi, rasa bersalah, kehilangan citra tubuh yang positif, kehilangan
peran, kehilangan pekerjaan, dan hilangnya jaringan sosial. Dalam
mempertahankan harga diri, mekanisme koping yang digunakan pada
pasien HIV/AIDS adalah sebagai berikut :
1) Penolakan: meniadakan realitas situasi
2) Penghindaran: mencoba untuk mengabaikan akibat situasi
3) Regresi: menjadi lebih tergantung, lebih pasif, lebih emosional
4) Kompensasi:

meniadakan keterbatasan disatu area dan

mendapatkan keahlian didaerah lain
5) Rasionalisasi: memaafkan diri untuk tidak mencapai harapan
6) Pengalihan perasaan: penyaluran perasaan yang tidak dapat
diterima ke dalam perilaku yang dapat diterima secara sosial.

Universitas Sumatera Utara

31

2.3

Konsep interaksi sosial
2.3.1

Definisi interaksi sosial
Manusia adalah makhluk sosial sekaligus makhluk individual.

Sebagai makhluk sosial, manusia memiliki motif untuk mengadakan
hubungan dan hidup dengan orang lain dalam rangka memenuhi
kebutuhan dasar, yang disebut dengan dorongan sosial (Mubarak, 2011).
Menurut M. Sitorus dalam Mubarak (2011), interaksi sosial adalah
hubungan-hubungan dinamis yang menyangkut hubungan antarindividuindividu, individu dan kelompok, kelompok dan kelompok dalam bentuk
kerja sama serta persaingan atau pertikaian.
Interaksi sosial adalah hubungan antarindividu satu dan individu
lain, individu satu dapat mempengaruhi yang lainnya atau sebaliknya,
jadi terdapat hubungan yang saling timbal balik (Walgito, B., 2001)
dalam (Mubarak, 2011).
Interaksi sosial adalah hubungan antarsesama manusia dalam
suatu lingkungan masyarakat yang menciptakan satu keterikatan
kepentingan yang menciptakan status sosial. Juga dapat diartikan sebagai
hubungan sosial dinamis yang menyangkut hubungan orang-perorangan
antarkelompok-kelompok

manusia

maupun

antara

orang-orang

perorangan dengan kelompok manusia (Mubarak, 2011).

Universitas Sumatera Utara

32

2.3.2. Faktor-faktor yang mempengaruhi proses interaksi sosial
Menurut Mubarak (2011) berlangsungnya suatu proses interaksi
didasarkan pada berbagai faktor-faktor antara lain faktor imitasi, sugesti,
identifikasi, dan simpati.
1) Faktor imitasi, faktor yang mempunyai peranan sangat
penting dalam proses interaksi sosial yang dapat mendorong
seseorang untuk mematuhi kaidah dan nilai yang berlaku.
Imitasi misalnya, mempunyai peranan yang sangat penting
dalam interaksi sosial. Salah satu segi positifnya adalah
bahwa imitasi dapat mendorong seseorang untuk mematuhi
kaidah-kaidah dan nilai-nilai yang berlaku. Namun demikian,
imitasi mungkin pula mengakibatkan terjadinya hal negatif,
misalnya

yang

ditiru

adalah

tindakan-tindakan

yang

menyimpang, imitasi juga dapat melemahkan atau juga
bahkan mematikan pengembangan daya kreasi seseorang.
2) Faktor sugesti, faktor yang memberikan suatu pandangan
atau sikap yang berasal dari dirinya yang kemudian diterima
oleh pihak lain. Faktor sugesti berlangsung apabila seseorang
memberikan suatu pandangan atau sikap yang berasal dari
dirinya, kemudian diterima oleh pihak lain. Jadi, proses ini
sebenarnya hampir sama dengan imitasi, yang membedakan
adalah berlangsungnya sugesti dapat terjadi karena pihak

Universitas Sumatera Utara

33

yang menerima dilanda oleh emosi, dimana hal tersebut dapat
menghambat daya berpikirnya secara rasional.
3) Faktor identifikasi, faktor yang mempunyai kecenderungankecenderungan

atau

keinginan-keinginan

dalam

diri

seseorang untuk menjadi sama dengan pihak lain. Identifikasi
sifatnya

lebih

mendalam

dari

pada

imitasi,

karena

kepribadian seseorang dapat terbentuk atas dasar proses ini.
Identifikasi
kecenderungan

sebenarnya
atau

merupakan

kecenderungan-

keinginan-keinginan

dalam

diri

seseorang untuk menjadi sama dengan pihak lain. Nyatalah
bahwa berlangsungnya identifikasi mengakibatkan terjadinya
pengaruh-pengaruh yang lebih mendalam daripada proses
imitasi dan sugesti, walaupun ada kemungkinan bahwa pada
mulanya proses identifikasi diawali oleh imitasi dan atau
sugesti.
4) Faktor simpati, faktor yang merupakan suatu proses dimana
seseorang merasa tertarik pada pihak lain. Di dalam proses
ini perasaan memegang peranan yang sangat penting,
walaupun dorongan utama pada simpati adalah keinginan
untuk memahami pihak lain dan untuk bekerja sama
dengannya.

Universitas Sumatera Utara

34

2.3.3. Bentuk-bentuk interaksi sosial
Dalam Mubarak (2011), Kimball Young mengemukakan bahwa
bentuk-bentuk proses sosial adalah oposisi (opposition) yang mencakup
persaingan (competition) dan pertentangan atau pertikaian (conflict),
kerjasama (cooperation) yang menghasilkan akomodasi (accomodation),
dan diferensiasi (differentiation) yang merupakan suatu proses dimana
orang perorangan di dalam masyarakat memperoleh hak-hak dan
kewajiban-kewajiban berbeda dengan orang-orang lain dalam masyarakat
atas dasar perbedaan usia, seks, dan pekerjaan. Diferensiasi tersebut
menghasilkan

sistem

lapisan-lapisan

dalam

masyarakat.

Tamotsu

Shibutani mengedepankan pula beberapa pola interaksi, yaitu sebagai
berikut.
1) Akomodasi dalam situasi-situasi rutin.
2) Ekspresi pertemuan dan anjuran.
3) Interaksi strategis dalam pertentangan-pertentangan.
4) Pengembangan perilaku masyarakat.
Proses-proses interaksi sosial yang pokok adalah sebagai berikut.
1) Proses-proses yang asosiatif.
a. Kerja sama (cooperation). Menurut Sunaryo (2004), kerja
sama adalah suatu usaha bersama antarorang perorang atau
kelompok manusia untuk mencapai satu atau beberapa tujuan
bersama. Ada lima bentuk kerja sama, yaitu sebagai berikut.

Universitas Sumatera Utara

35

1) Kerukunan

yang mencakup gotong-royong dan

tolong-menolong.
2) Bargaining, yaitu pelaksanaan perjanjian mengenai
pertukaran barang-barang dan jasa-jasa antara dua
organisasi atau lebih.
3) Kooptasi (cooptation), yakni suatu proses penerimaan
unsur-unsur

baru

dalam

kepemimpinan

atau

pelaksanaan politik dalam suatu organisasi, sebagai
salah

satu

cara

kegoncangan

untuk

dalam

menghindari

stabilitas

terjadinya

organisasi

yang

bersangkutan.
4) Koalisi (coalition), yakni kombinasi antar dua
organisasi atau lebih yang mempunyai tujuan-tujuan
yang sama.
5) Joint-venture, yaitu kerja sama dalam pengusahaan
proyek-proyek

tertentu.

Misalnya

dalam

melaksanakan pelayanan kesehatan, antara perawat
dan dokter sama-sama melakukan kerja sama,
misalnya mendirikan klinik bersama. Home care
bersama dan lain-lain.
b.

Akomodasi. Menurut Gillin dan Gillin dalam Mubarak
(2011), akomodasi adalah suatu cara untuk menyelesaikan
pertentangan tanpa menghancurkan pihak lawan. Berikut ini
adalah bentuk-bentuk akomodasi.

Universitas Sumatera Utara

36

1) Koersi,

adalah

suatu

bentuk

akomodasi

yang

prosesnya dilaksanakan karena adanya paksaan.
2) Kompromi, adalah suatu bentuk akomodasi dimana
pihak-pihak

yang

terlibat

saling

mengurangi

tuntutannya, agar tercapai suatu penyelesaian terhadap
penyelesaian yang ada.
3) Arbitrasi, merupakan suatu cara untuk mencapai
compromise apabila pihak-pihak yang berhadapan
tidak sanggup mencapainya sendiri.
4) Mediasi, yaitu melibatkan pihak ketiga sebagai
penasihat untuk menyelesaikan secara damai namun
tidak berwenang memberi keputusan-keputusan dalam
penyelesaian perselisihan tersebut.
5) Konsiliasi, suatu usaha untukn mempertemukan
keinginan-keinginan dari pihak-pihak yang berselisih
demi tercapainya suatu persetujuan bersama.
6) Toleransi, disebut juga tolerant participation yang
merupakan suatu bentuk akomodasi tanpa persetujuan
yang bentuknya formal, toleransi timbul secara tidak
sadar dan tanpa disengaja hal ini disebabkan karena
adanya watak orang perorangan atau kelompokkelompok

manusia

yang

sedapat

mungkin

menghindarkan diri dari suatu perselisihan.

Universitas Sumatera Utara

37

7) Stalemate, merupakan suatu proses akomodasi dimana
pihak-pihak yang bertentangan karena mempunyai
kekuatan yang seimbang berhenti pada suatu titik
tertentu dalam melakukan pertentangannya.
8) Adjudication,

yaitu

penyelesaian

perkara

atau

sengekta di pengadilan.
c.

Asimilasi, merupakan proses sosial dalam tingkat lanjut,
ditandai dengan adanya berbagai usaha mengurangi setiap
perbedaan yang terdapat antara orang perorangan atau
kelompok-kelompok manusia dan juga meliputi usaha-usaha
untuk mempertinggi kesatuan tindakan, sikap, dan prossesproses

mental

dengan

memperhatikan

kepentingan-

kepentingan serta tujuan-tujuan bersama. Faktor-faktor yang
dapat mempermudah terjadinya suatu asimilasi antara lain
adalah sebagai berikut.
1) Toleransi.
2) Kesempatan-kesempatan yang seimbang di bidang
ekonomi.
3) Sikap menghargai orang asing dan kebudayaannya.
4) Sikap terbuka dari golongan yang berkuasa dalam
masyarakat.
5) Persamaan dalam unsur-unsur kebudayaan.
6) Perkawinan campuran (amalgamation).
7) Adanya musuh bersama dari luar.

Universitas Sumatera Utara

38

2) Proses-proses yang disosiatif.
Mubarak (2011) menyebutkan bahwa proses-proses disosiatif,
sebagai oppositional processes persis halnya dengan kerja sama
yang sering ditemukan di masyarakat walaupun bentuk dan
arahnya ditentukan dengan kebudayaan dan sistem sosial
masyarakat yang bersangkutan. Proses-proses yang disosiatif
dibedakan dalam tiga bentuk, yaitu sebagai berikut.
a. Persaingan

(competition),

sebagai

proses

suatu

persaingan

sosial,

dimana

dapat

diartikan

individu

atau

kelompok-kelompok manusia yang bersaing, mencari
keuntungan melalui bidang-bidang kehidupan yang pada
suatu masa tertentu menjadi pusat perhatian umum (baik
perseorangan maupun kelompok manusia) dengan cara
menarik perhatian publik atau dengan mempertajam
prasangka yang telah ada, tanpa menggunakan ancaman
atau kekerasan.
b. Kontravensi (contravention), merupakan suatu bentuk
proses

sosial

yang

berada

antara

persaingan

dan

pertentangan atau pertikaian. Tipe-tipe kontravensi menurut
Leopold Von Wiese dan Howard Becker terdapat tiga tipe
umum, yaitu kontravensi generasi masyarakat, kontravensi
yang menyangkut seks, dan kontravensi parlementer.

Universitas Sumatera Utara

39

c. Pertentangan atau pertikaian (conflict), terjadi saat pribadi
maupun kelompok menyadari adanya perbedaan-perbedaan,
misalnya dalam ciri-ciri fisik, emosi, kebudayaan, pola-pola
perilaku, dan seterusnya dengan pihak lain. Pertentangan
adalah suatu proses sosial dimana individu atau kelompok
berusaha

untuk

memenuhi

tujuannya

dengan

jalan

menantang pihak lawan yang disertai dengan ancaman dan
atau kekerasan.
2.3.4. Syarat terjadinya interaksi sosial
Menurut Soekanto (2002: 65) sesuatu dinyatakan sebagai Interaksi
Sosial jika didalamnya terdapat dua unsur, yakni adanya kontak
sosial dan adanya komunikasi:
1. Kontak Sosial (Social Contact)
Kontak sosial merupakan aksi dari individu atau kelompok dan
mempunyai makna bagi pelakunya yang kemudian ditangkap oleh
individu atau kelompok lain. Kontak sosial dapat berlangsung
dalam tiga bentuk, yaitu sebagai berikut.
a. Antara orang perorangan, misalnya apabila anak kecil
mempelajari kebiasaan-kebiaasaan dalam keluarganya.
Proses demikian terjadi melalui sosialisasi (socialization),
yaitu suatu proses dimana anggota masyrakat baru yang
mempelajari berbagai norma dan nilai di tempat dia berada.
b. Antara orang perorangan dengan suatu kelompok manusia
atau sebaliknya, misalnya apabila seseorang merasakan

Universitas Sumatera Utara

40

bahwa tindakan-tindakannya berlawanan dengan normanorma masyarakat atau apabila suatu partai politik memaksa
anggota-anggotanya untuk menyesuaikan diri dengan
ideologi dan programnya.
c. Antara suatu kelompok manusia dengan kelompok manusia
lainnya, misalnya dua partai politik mengadakan kerjasama
untuk mengalahkan partai politik yang ketiga di dalam
pemilihan umum, atau apabila dua buah perusahaan
bangunan mengadakan suatu kontrak untuk membuat jalan
raya, jembatan, dan seterusnya di suatu wilayah yang baru
dibuka.
2. Komunikasi (Communication)
Komunikasi adalah bagian dari interaksi sosial, karena tanpa
komunikasi sangat sulit seorang individu atau kelompok untuk
melakukan interaksi sosial dalam kehidupannya.
2.3.5. Gambaran interaksi sosial ODHA
ODHA atau Orang Dengan HIV/AIDS cenderung mengalami
permasalahan dalam berinteraksi sosial dengan masyarakat, karena
penyakit HIV/AIDS merupakan penyakit paling ditakuti oleh seluruh
masyarakat di dunia, hingga

pada

umumnya

masyarakat

akan

menghindar atau menjauhi kontak sosial dengan ODHA (Duriah, 2014).
Djoerban (2000) mengungkapkan bahwa ODHA umumnya
mengalami depresi, perasaannya tertekan dan merasa tidak berguna,

Universitas Sumatera Utara

41

bahkan ada yang memiliki keinginan bunuh diri. Ini akibat dari
stigmatisasi dan diskriminasi masyarakat terhadap informasi mengenai
AIDS dan ODHA.
Kecenderungan

rendahnya

pemahaman

masyarakat

tentang

HIV/AIDS dapat meningkatkan terjadinya stigma. Akan tetapi ada
sebagian dari masyarakat yang masih peduli dan bersimpati serta
mendukung ODHA yaitu dengan cara mendirikan yayasan HIV/AIDS
yang didirikan oleh orang-orang yang tidak terinfeksi HIV/AIDS. Tetapi
disisi lain banyak pula yang masih menunjukkan penolakan secara halus,
perlakuan yang berbeda-beda dalam hal perumahan dan pekerjaan. Akibat
kurang diterima penderita HIV/AIDS di masyarakat dan stigma yang
diberikan masyarakat terhadap ODHA ini telah membuat mereka menjadi
orang yang kurang terbuka (Hermawati, 2011).

Universitas Sumatera Utara