BOOK Tri HNR, Noviati Roficoh Narasi Perkosaan

Narasi Perkosaan dalam Teks Media
(Analisis Naratif Pemberitaan Kasus “EF” di
Tribunnews.com Periode Mei 2016 – Februari 2017)
Tri Hastuti Nur R1 dan Noviati Roicoh2
Abstrak
Data menunjukkan bahwa angka kekerasan terhadap
perempuan di Indonesia semakin meningkat termasuk angka
perkosaan. Namun ketika media massa memberitakan dalam
medianya, kasus-kasus perkosaan dimaknai semata-mata
sebagai persoalan individual korban dan keluarga, persoalan
kriminal biasa dan bahkan dikisahkan sebagai kisah sedih
seperti halnya sinetron. Penelitian ini ingin membongkar
bagaimana narasi tentang perkosaan di media. Adapun
tujuan dari penelitian ini untuk mengetahui narasi perkosaan
dalam teks media Tribunnews.com dalam pemberitaan kasus
perkosaan terhadap EF.
Metode yang digunakan dalam penelitian ini adalah metode
naratif; dengan menggunakan dokumen berita-berita
tribunnews.com periode Mei 2016-Pebruari 2017. Adapun
model metode naratif yang digunakan adalah model Nick
Lacey dan Gillespie untuk melihat struktur narasi, sedangkan

untuk melihat karakter narasi digunakan model aktan dari
Algirdas Greimas.
Hasil penelitian menunjukkan bahwa konstruksi naratif
yang dibangun oleh Tribunnews.com melalui cerita dan
alur dalam pemberitaan kasus perkosaan dan pembunuhan
terhadap EF tidak disajikan secara kronologis. Wartawan
mengkonstruksi peristiwa dengan menekankan pemberitaan
peristiwa perkosaan yang menonjolkan penggunaan kata-kata
sensual dengan mengambil bagian-bagian peristiwa tertentu
dari kasus. Karakter narasi perkosaan dalam pemberitaan
kasus EF ditulis dengan gaya sensasional dan dramatis oleh
wartawan; dan mengandung misoginis yaitu victim blaming.
Korban digambarkan seolah menjadi penyebab dari terjadinya
pembunuhan yang menimpa dirinya. Narasi yang dibangun
media bahwa terjadinya perkosaan bukan semata-mata karena
pelaku tapi ada penyebab dari korban.
Kata Kunci: analisis naratif, berita online, perkosaan.
1
2


Dosen Ilmu Komunikasi, Universitas Muhammadiyah Yogyakarta
Aktivis Perempuan Yogyakarta
Bunga Rampai Komunikasi Indonesia

325

1. Pendahuluan
Catatan Tahunan 2016 yang dikeluarkan oleh Komnas Perempuan
menunjukkan bahwa angka kekerasan terhadap perempuan berjumlah
321.752 kasus yang dilaporkan. Bentuk kekerasan yang terbesar
adalah kekerasan isik dan seksual. Data kasus kekerasan seksual yang
dilaporkan, pada tahun 2015 menempati peringkat ke tiga, dan pada
tahun 2016 berada di peringkat ke dua, yaitu dalam bentuk kasus
perkosaan sebanyak 72% (2.399 kasus), pencabulan mencapai 18% (601
kasus) dan pelecehan seksual mencapai 166 kasus (5%). Berdasarkan
data dari Rape, Abuse, and Incest National Network tahun 2010, kasus
perkosaan sering terjadi di Amerika yang mayoritas korbannya adalah
perempuan dan perempuan di bawah umur.
Meningkatnya kasus kekerasan seksual terhadap perempuan dan
perkosaan menggambarkan bahwa perkosaan sudah menjadi budaya.

Budaya perkosaan dideinisikan sebagai lingkungan di mana tindak
perkosaan adalah lazim dan kekerasan seksual terhadap perempuan
merupakan sesuatu yang normal dan sesuatu yang dimaakan oleh
media dalam budaya populer. Budaya perkosaan diabadikan melalui
penggunaan bahasa yang misoginis, objektiikasi tubuh perempuan,
dan membuat kekerasan seksual sebagai topik yang menarik. Budaya
pop mulai menormalkan kekerasan terhadap perempuan, mendorong
seksualisasi dan objektiikasi perempuan, menciptakan dan
melestarikan keyakinan seksual, stereotip jender, dan mitos (American
Psychological Assosiation, 2007). Ketika kekerasan seksual dianggap
normal, maka risikonya adalah pemerkosaan, percobaan perkosaan,
kekerasan seksual, dan penganiayaan meningkat dan kesalahan atas
pelaku dilimpahkan kepada korban (Cheeseman, 2011). Banyak
kasus kekerasan seksual yang terjadi pada perempuan tidak ditindak
oleh hukum dan pelaku dibiarkan begitu saja. Sekalipun terjadi
kekerasan, perempuan akan tetap di pojokkan meskipun perempuan
sudah menjadi korban ataupun objek kekerasan. Perempuan sebagai
pihak yang mesti bertanggungjawab, karena perempuan yang
(dituduh) sebagai penggoda sehingga laki-laki berhak memperkosanya
(Dzuhayatin, 2001, p. 77)

Terkait dengan kejadian perkosaan ini, media masih merupakan
aktor yang memberitakan kasus perkosaan dalam perspektif yang

326

Bunga Rampai Komunikasi Indonesia

misoginis dan memposisikan korban sebagai “korban perkosaan”
berikutnya yang dilakukan oleh media. Pemberitaan kasus perkosaan
yang terjadi pada EF di Tangerang Selatan bisa dijadikan salah
satu contoh bagaimana media tidak berpihak pada korban dalam
memberitakan kasus perkosaan. EF yang sebagai korban seharusnya
ditempatkan sebagai pihak yang dirugikan, tapi media dalam
menyusun narasi pemberitaan justru cenderung menyalahkan EF
sebagai perempuan. Terjadinya kesalahan yang dilakukan oleh pelaku,
itu dikarenakan kesalahan EF sebagai perempuan yang memancing
pelaku untuk datang ke kamarnya, sehingga pelaku bisa masuk dan
bertemu korban, namun ketika korban diajak melakukan hubungan
yang lebih intim, korban menolak dan menyebabkan pelaku marah
serta berujung membunuh korban. Kronologi yang disusun media

tersebut, memposisikan EF adalah yang bersalah.
Kasus perkosaan yang terjadi pada prempuan tidak hanya dialami
secara isik, namun juga secara mental. Narasi berita yang dibuat terlalu
mendramatisir dan menceritakan korban secara detail menjadikan
korban diperkosa berulang melalui media, sehingga muncul anggapan
yang kembali menyalahkan korban.
“Dalam banyak kasus rape culture atau budaya perkosaan, masih
melekat keyakinan, di mana para pria meyakini bahwa mereka boleh
melecehkan dan bahkan memperkosa perempuan. Budaya ini juga
menjadikan kebanyakan korban perkosaan disalahkan kembali oleh
masyarakat, karena dianggap perempuanlah penyebab terjadinya
pelecehan atau perkosaan (Sucahyo, 2016).”
Berita-berita kekerasan terhadap perempuan khususnya
perkosaan, oleh media di susun dan dinarasikan sedemikian rupa atas
obsesi untuk menyampaikan berita secara seketika, sehingga media
seringkali cenderung memberitakan peristiwa saja, daripada analisis
terhadap kasusnya (Ibrahim, 2011, p. 162). Meskipun demikian,
masyarakat media saat ini sudah tidak lagi menjadi pembaca yang
pasif, sehingga pemberitaan yang ditampilkan oleh media justru
memberikan pandangan lain, bahwa laki-laki pemerkosa bersalah

karena telah melakukan tindakan kejahatan yaitu telah memperkosa,
namun masih ada anggapan bahwa perempuan yang menjadi korban
perkosaan juga salah, karena tidak bisa menutupi tubuhnya, sehingga

Bunga Rampai Komunikasi Indonesia

327

membuat laki-laki tergiur untuk memperkosa. Seperti yang terjadi
pada kasus perkosaan yang dialami EF, dari berita kronologinya
menyebutkan bahwa EF adalah perempuan cantik yang banyak disukai
pria, namun EF selalu menolak ketika ada pria yang ingin memacarinya.
Menariknya, pada kasus EF juga, media menggambarkan bahwa
tindakan tersebut dilakukan atas dasar suka sama suka dan berbeda
dengan pemberitaan kasus kekerasan seksual dan pembunuhan lainnya
yang biasanya didasari tanpa motif khusus.
Pemberitaan kasus perkosaan atas EF diberitakan secara intensif
dalam situs Tribunnews.com; sebagai salah satu yang merajai pasar berita
online. Selain menduduki peringkat pertama dari segi tingkat visitasi,
Tribunnews.com juga sangat intens menampilkan berita kekerasan

seksual pada kasus “Eno, Gagang Cangkul”, ada sebanyak 2.140 berita
yang terkait dalam periode kasus tersebut. Dari data yang diperoleh
tersebut peneliti memutuskan mengambil kasus EF pada pemberitaan
di Tribunnews.com untuk mendeskripsikan konstruksi perkosaan
dalam narasi berita. Penelitian mengenai konstruksi perkosaan dalam
narasi atau teks media sendiri sebelumnya pernah ditulis oleh Daniel
Susilo tahun 2014, tentang “Analisis Wacana Maskulinitas Dalam
Berita Pemerkosaan di Situs Berita Online”, dalam tulisannya ada
pembahasan mengenai maskulinitas yang dihadirkan sebagai pemilik
kuasa dalam menggambarkan tindakan perkosaan. Oleh situs berita
online, tindakan perkosaan digambarkan sebagai bentuk dominasi
maskulinitas atas label feminimitas. Penelitian mengenai perkosaan
Pop Culture V. Rape Culture: he Media’s Impact on the Attitudes
Towards Women, ditulis oleh Alyssa Leigh Smith dan dipublikasikan
dalam UMI Dissertation Publishing tahun 2014. Dalam penelitian
tersebut Alyssa menyimpulkan bahwa ada hubungan antara dunia
hiburan dan pandangan antar pribadi terhadap kekerasan dan mitos
perkosaan yang kurang dari ideal untuk sebuah realitas. Maksudnya,
bisa terbentuk sebuah hubungan antara dunia hiburan dan pandangan
seseorang terhadap perempuan dan pemahaman terhadap kekerasan

interpersonal dan pemerkosaan dan atau penyerangan seksual yang
mengarah pada spesiik jender (Smith, 2014, p. 73).
Media merupakan cerminan dari realitas sosial (mirror of social
reality), maka konstruksi melalui teks dan narasi berita yang dilakukan
oleh media massa mempengaruhi realitas yang ada di masyarakat
328

Bunga Rampai Komunikasi Indonesia

dan menguatkan konstruksi yang telah ada, sehingga kekerasan pada
perempuan terus berlanjut. Maka dari itu, penelitian ini bertujuan
untuk mengungkap bagaimana media mengkonstruksi kasus perkosaan
khususnya pada media berita online di Tribunnews.com melalui teksteksnya yang termuat pemberitaannya.
2. Pertanyaan Penelitian
Bagaimana narasi perkosaan EF dalam pemberitaan media online
di Tribunnews.com?
3. Kerangka Pemikiran
1.1. Konstruksi Realitas Sosial dalam Media
Penelitian ini mengacu pada paradigma konstruktivis, yaitu
kebenaran suatu realitas sosial dilihat sebagai hasil konstruksi sosial

yang bersifat relatif dan tidak dapat digeneralisasikan pada semua
orang. Dalam konsep kajian komunikasi, teori konstruksi sosial berada
di antara teori fakta sosial dan deinisi sosial. Narasi berita yang dibaca
oleh khalayak juga tidak lepas dari konstruksi media (Eriyanto,
2004, p. 13). Hal tersebut mengartikan bahwa media bukan saluran
yang bebas melainkan juga mengkonstruksi pesan. Sedangkan berita
hanyalah konstruksi dari realitas, bukan releksi dari realitas. Pandangan
tersebut berarti bahwa, wartawan  bukan hanya pelapor, tetapi ia adalah
agen konstruksi dari realitas. Konsepsi dari sebuah realitas diserap oleh
wartawan melalui dialektika dan interaksi, kemudian di interpretasikan
melalui narasi berita yang disajikan kepada khalayak dengan makna
yang berbeda-beda sesuai dengan pemahaman wartawan dan diterima
oleh khalayak dengan penafsiran masing-masing.
Media memiliki dua konsep dalam melihat dan mereleksikan
realitas yaitu, pertama, media berperan aktif sebagai partisipan yang
ikut dalam mengkonstruksi pesan sehingga muncul pandangan bahwa
tidak ada realitas yang sesungguhnya dalam media melainkan hasil
konstruksi. Kedua, media bersifat pasif dengan hanya menyalurkan
pesan-pesan sesungguhnya, media berlaku netral dan menampilkan
realitas atau fakta dari suatu peristiwa. Proses penyusunan realitas

yang terjadi dari berbagai peristiwa hingga menjadi suatu narasi atau
wacana yang bermakna sangat dipengaruhi oleh penggunaan bahasa.
Bunga Rampai Komunikasi Indonesia

329

Bahasa digunakan sebagai alat konseptual dan alat narasi. Media
massa menggunakan bahasa tidak hanya untuk menggambarkan
suatu realitas, lebih dari itu media menggunakan bahasa untuk
menentukan gambaran (makna citra) mengenai suatu realitas yang
akan dipahami oleh khalayak. Struktur konstruksi realitas dan makna
yang dimunculkan dari suatu realitas yang akan disajikan media
dipengaruhi oleh bagaimana media memilih kata yang digunakan,
pengutamaan, reduksi, dan penonjolan serangkaian fakta, serta cara
penyajiannya. Dengan demikian, maka media akan menjadi sumber
informasi yang dominan bagi khalayak media dalam memperoleh
gambaran realitas dari suatu peristiwa. Melalui teks yang disusun
media dapat memanipulasi konteks atau realitas (Hamad, 2004, pp.
11-13). Pemberitaan kekerasan pada perempuan dalam media massa
pada kenyataannya tidak hanya terjadi pada tingkat realitas seperti

pemukulan, perkosaan dan pelecehan, melainkan telah membentuk
sebuah realitas kekerasan kembali yang direpresentasikan melalui teks
berita oleh media massa itu sendiri. Teks hadir dari bagian representasi
yang menggambarkan ideologi yang patriarkal. Hal itu terjadi
karena pengambilan detail dan fakta pada judul tersebut merupakan
kerangka alam pikiran patriarki. Sementara itu, penggambaran tubuh
perempuan di berita kekerasan pada perempuan dapat disebut juga
sebagai kekerasan simbolik (Piliang, 2001, p. 149).
1.2 Unsur Misoginis Pada Perkosaan dalam Narasi Berita
Perkosaan secara umum merujuk pada, penetrasi, sentuhan
apapun yang meremehkan bagian tubuh korban dengan memaksa
menggunakan ancaman atau serangan oleh si pelaku dalam menyerang.
Istilah perkosaan secara umum diartikan lebih mengarah ke seks
tanpa persetujuan, memungkinkan adanya penggunaan atau ancaman
kekerasan untuk mendapatkan seks di luar kehendak korban (Burt,
1991, pp. 26-40). Peran gender berkontribusi pada munculnya budaya
perkosaan yang menempatkan hubungan laki-laki dan perempuan
pada posisi yang kaku, menormalkan perkosaan dan seksualitas koersif
(interaksi yang menggunakan paksaan dan kekerasan), termasuk adanya
asumsi bahwa perempuan tidak berhasrat seksual sedangkan laki-laki
tidak bisa mengendalikan dorongan seksual mereka, sehingga perempuan
seharusnya sudah mengetahui itu dan pilihan kembali pada perempuan

330

Bunga Rampai Komunikasi Indonesia

untuk bersikap tidak “menggoda” sehingga mendorongnya pada situasi
seksual. Asumsi tersebut mengarah pada pelimpahan kesalahan pada
perempuan, dan memunculkan kebencian pada perempuan, sehingga
ketika seorang perempuan memamerkan bahkan memiliki hasrat
seksual dia dianggap sebagai “pelacur”, pandangan tersebut kemudian
berkontribusi pada munculnya mitos perkosaan bahwa wanita yang
menikmati seks tidak bisa “benar-benar” disebut diperkosa (Beaudrow,
2014, p. 13). Pada mulanya, seksisme seolah hiburan ringan yang
karenanya tidak perlu tersinggung. Tetapi kemudian ini membangun
sebuah budaya yang “tak peduli” yang kemudian menjadi “tak sensitif ”,
minimnya sensitiitas ini kemudian melahirkan kekerasan pada dunia
yang lebih kasat mata (eksploitasi seksual, kekerasan, perkosaan dan
bahkan pembunuhan) (Candraningrum, 2014)
Misoginis adalah kebencian atau ketidaksukaan terhadap
perempuan. Perwujudan misoginis dapat terjadi lewat berbagai cara
misalnya diskriminasi seksual, itnah perempuan, kekerasan terhadap
perempuan (yang kemudian meluas menjadi prasangka terhadap
perempuan) dan objektivikasi seksual perempuan (Kramarae, 2000,
pp. 1374-1377). Misoginis dilakukan oleh kaum pria pada umumnya,
namun tidak menutup kemungkinan juga dilakukan oleh kaum
perempuan pada perempuan lain ataupun pada dirinya sendiri. Hal
ini terjadi karena masyarakat didominasi dengan sistem patriarki yang
menempatkan pria pada posisi superior dan perempuan pada posisi
subordinat, sehingga perempuan memiliki akses terbatas terhadap
kekuasaan dan pengambilan keputusan (Flood, 2007). Laki-laki
menganggap diam, berarti tidak ada penolakan. Dengan kata lain,
perempuan juga mau dan menginginkan hal yang sama, sementara
menyatakan tidak, dianggap tindak permusuhan dari perempuan.
Sensitiitas gender diperlukan untuk menetralkan cara pandang
masyarakat yang masih cenderung merujuk pada pola patriarki, agar
hal tersebut tidak terus berlangsung dan berdampak semakin maraknya
kasus kekerasan yang terjadi. Sudah sejak lama adanya praktik kekerasan
melalui dominasi maskulinitas tidak begitu banyak dipermasalahkan
oleh anggota masyarakat, terutama masyarakat yang menganut sistem
patriarki, bahwa praktik tersebut dianggap berlangsung kodrati dan
taken for granted (Miedzin, 2002, p. 8).

Bunga Rampai Komunikasi Indonesia

331

1.4. Analisis Naratif dalam Teks Media
Putih (Chasteen, 1998, pp. 13-18) mendeinisikan narasi adalah
cerita terstruktur yang menjawab pertanyaan tentang kapan, di mana,
bagaimana, mengapa dan siapa dalam rangkaian peristiwa tertentu.
narasi berbeda dari bentu-bentuk tulisan atau lisan terutama oleh
karaktristik plotnya. tidak seperti kronologi atau klasiikasi, narasi
menggabungkan waktu dan kausalitas menjadi rangkaian peristiwa.
Peristiwa tidak hanya tercantum atau ditempatkan ke dalam tipologi
melainkan dibentuk menjadi sebuah cerita yang dimengerti dengan
awalan, tengah, dan akhiran. narasi berbeda dari bentuk-bentuk lain
dari bahasa tertulis atau lisan terutama oleh karakteristik ini adalah
plot, tipologi dibentuk menjadi sebuah cerita yang dimengerti dengan
awal, tengah, dan akhir. Penelitian naratif yang identik dilakukan
pada model cerita iksi yaitu novel, ilm, dan feature ternyata juga
dapat dilakukan pada berita. Narasi dapat dikaitkan dengan cerita
berdasarkan fakta seperti berita. Karakteristik narasi dalam berita
(Eriyanto, 2015, p. 85), ada beberapa syarat dasar dalam karakteristik
narasi. Adapun karakteristik dasar yang dimaksud terpapar di bawah
ini :
1) Ada rangkaian peristiwa, Narasi mempunyai rangkaian peristiwa
yang dapat lebih dari satu peristiwa. Peristiwa yang lebih dari satu
kemudian digabungkan dan disebut rangkaian peristiwa.
2) Rangkaian (sekuensial) narasi, mengikuti logika tertentu dan
berkaitan secara logis. Rangkaian narasi berpola umum dan
mengikuti urutan waktu, tetapi tidak selalu harus berurutan.
Dalam hal ini rangkaian peristiwa itu harus mengikuti logika,
msistematika, atau jalan pikiran tertentu.
3) Narasi yang disajikan secara relevan dan sesuai dengan
pengalaman khalayak. Penyajian narasi melalui proses pemilihan
dan penghilangan bagian tertentu dari peristiwa. Proses tersebut
untuk menampilkan peristiwa yang penting, sedangkan yang tidak
dianggap penting dibuang.
Pada berita terdapat lebih dari satu peristiwa, yang pada dasarnya
rangkaian peristiwa dalam berita mengikuti jalan cerita dan logika
332

Bunga Rampai Komunikasi Indonesia

tertentu. Hal trsebut bermaksud agar bermakna dan dapat tersampaikan
kepada khalayak. Secara lebih khusus, berita dapat dikategorikan
dalam jenis narasi ekspositoris. Berita mengikuti logika cara bercerita.
Ada bagian awal dan ada bagian yang ditempatkan di bagian tengah
dan belakang. Hal tersebut bertujuan agar khalayak mampu mengikuti
peristiwa yang disajikan. Peristiwa satu dengan peristiwa lain itu
kemudian membentuk struktur cerita. Meski demikian, berita tidak
bisa mengikuti alur naratif yang normal, disebabkan struktur berita
membutuhkan abstrak cerita dari permulaan dan juga urutan yang
mencerminkan beragam nilai berita dari aktor dan peristiwa, pecahanpecahan informasi digabungkan kembali oleh wartawan berdasarkan
nilai berita (news value) ketimbang urutan kronologis (Sobur, 2014).
4. Metode Penelitian
Metode yang digunakan dalam penelitian ini adalah metode
naratif. Adapun teknik pengumpulan data dalam penelitian ini
menggunakan data berita-berita tentang perkosaan EF dari situs
tribunnews.com periode Mei 2016-Pebruari 2017 sebagai data primer.
Adapun analisis data dalam penelitian ini, bahwa peneliti mengambil
keseluruhan teks sebagai objek analisis, berfokus pada struktur kisah
atau narasi. Penelitian ini juga menggunakan model Nick Lacey dan
Gillespie untuk melihat struktur narasi yang dikembangkan dari konsep
struktur narasi Tzvetan Todorov. Lacey dan Gillepie menambahkan
struktur teks berita yang ditandai oleh adanya gangguan (disruption),
yaitu dari adanya konlik. Gangguan atau konlik dalam sebuah narasi
berita disebut sebagai news value. Berita umumnya hanya mengambil
tahap 1-3 atau 1-4, yakni tahapan ketika muncul gangguan (konlik)
atau ketika konlik dan gangguan mencapai ekskalasi yang memuncak
(Eriyanto, 2015, p. 54), dalam teks berita, penyelesaian dari suatu
peristiwa bisa menjadi awal dari masalah baru.
Sedangkan untuk melihat karakter narasi akan digunakan mode
aktan dari Algirdas Greimas. Model aktan akan digunakan oleh
peneliti untuk pembedahan karakter, yang berguna untuk melihat
keterhubungan antar aktan serta tidak mengharuskan posisi aktan
diisi oleh karakter dalam wujud isik atau manusia melainkan dapat
diperankan oleh objektiikasi atau keadaan tertentu bersifat metaisik,
sehingga lebih dapat memahami secara utuh konteks dan motif

Bunga Rampai Komunikasi Indonesia

333

perilaku lewat relasi antar aktan (Herman & Vervaeck, 2001, p. 53).
Narasi perkosaan adalah kode, bukan hanya tentang rangkain khusus
dari peristiwa tapi juga tentang keyakinan terhadap kejahatan, penjahat
dan korban. Ketika cerita dikembangkan, plot dihidupkan melalui
karakter yang bisa dipercaya dan dialog yang dimengerti.
5. Temuan dan Pembahasan
4.1. Urutan Berita Berdasarkan Kronologis Peristiwa
Pada penelitian ini, berita yang dianalisis adalah berita yang muncul
selama masa kasus tersebut yaitu sejak Mei 2016 - Februari 2017. Berita
yang diteliti dan dipilih didasarkan pada aspek-aspek dalam analisis
naratif yang ada dalam berita tersebut, disusun berdasarkan urutan
kronologis sejak awal kejadian hingga pemberitaan sidang vonis atau
putusan pengadilan pada 8 Februari 2017.
Secara umum peneliti menyusun obyek berita tersebut menjadi
tiga bagian. Bagian pertama menguraikan mengenai kronologi awal
kejadian perkara. Bagian kedua mengenai proses persidangan para
pelaku perkosaan dan pembunuhan. Bagian ketiga mengenai vonis
atau sidang putusan hakim terhadap hukuman bagi pelaku.
5.2. Cerita (Story) dan Alur (Plot)
Pada bagian pertama diberitakan seorang perempuan yang
diketahui bernama EF ditemukan tewas dalam kondisi mengenaskan
dengan tubuh bersimbah darah dan sebuah gagang cangkul tertancap
di kemaluannya, korban ditemukan di dalam kamar mess karyawan.
Tiga orang rekan Eno yang mengetahui hal tersebut langsung
melaporkannya kepada pihak HRD dan diteruskan ke Polsek Teluk
Naga. Pihak kepolisian Teluk Naga langsung melakukan olah TKP.
Pihak kepolisian langsung mengamankan pelaku beserta barang bukti
berupa satu sepeda motor Satria F berplat nomor B6767GZL dan dua
buah kasur lipat yang terdapat bercak noda darah. Seorang pelaku
yang pertama kali terungkap yaitu Rahmat Ariin, karena diketahui
mengantongi hanphone korban. Para pelaku langsung dibawa ke
Jatanras Polda Metro Jaya untuk diinterogasi.
Pada bagian kedua, adalah penangkapan tersangka dan dijerat
pasal berlapis. Untuk mendalami kasus tersebut maka dilakukan
334

Bunga Rampai Komunikasi Indonesia

rekonstruksi kasus pembunuhan sadis terhadap EF. Total ada 31
adegan yang merangkum seluruh peristiwa pembunuhan sadis
tersebut. Selanjutnya untuk pemeriksaan dalam ditemukan patah
tulang pipi kanan berlubang, patah tulang rahang kanan, luka terbuka
yang menembus lapisan penutup rongga panggul penggantung urat
besar sebelah kanan. Kemudian, robeknya hati sampai belakang bawah
menembus ke atas dekat rongga dada kanan, robeknya paru-paru
bagian atas sampai bawah, pendarahan pada rongga dada 200cc dan
rongga perut 300cc.
Pada bagian ketiga yaitu di persidangan, RAL membantah
telah melakukan pembunuhan namun bantahan tersebut tidak
mempengaruhi isi BAP, karena ada poin yang membuat posisi RAL
tetap berat yaitu ada barang bukti berupa air liur RAL di sekitar dada
korban. Pada persidangan 16 Juni 2016, RAL dijatuhi hukuman atau
vonis 10 tahun penjara. Pada 25 Januari 2017 dua terdakwa pembunuh
dan pemerkosa EF yaitu Rahmat Ariin dan Imam Harpiadi dituntut
hukuman mati dalam sidang beragendakan tuntutan di PN Tangerang
oleh Jaksa Penuntut Pengadilan Negeri Tangerang.
Dari cerita di atas, peneliti melihat adanya perbedaan antara
cerita (story) dan alur (plot) berita yang di muat dalam Tribunnews.
com. Perbedaan antara cerita dan alur bisa dilihat dari bagaimana
peristiwa dirangkai dalam berita. Alur pemberitaan Tribunnews.com
ini tidak disusun secara kronologis. Pada sebagian berita, wartawan
hanya mengangkat bagian tertentu saja dari peristiwa yang diangkat,
kemudian rangkaian peristiwa disusun berdasarkan yang paling
menarik (bagi pembaca) menurut wartawan ke bagian yang sekedar
tambahan saja (piramida terbalik), selain itu wartawan juga menyusun
peristiwa secara bolak-balik atau maju-mundur. Alur berita yang ditulis
tidak secara kronologis oleh jurnalis menunjukkan bahwa jurnalis
menempatkan dirinya sebagai pihak yang membuat berita secara
objektif (narator berada di luar peristiwa). Dalam penulisan beritanya,
jurnalis lebih banyak memposisikan dirinya sebagai orang ketiga
dengan memberikan kesempatan pada narasumber sebagai pelapor
peristiwa. Hal tersebut menegaskan bahwa jurnalis memberitakan
peristiwa secara objektif, karena wartawan tidak terlibat dalam peristiwa
melainkan memberitakan peristiwa tersebut dari luar, sehingga apa
yang diberitakan bebas dari subjektiitas pembuat berita. Sebenarnya
Bunga Rampai Komunikasi Indonesia

335

dalam pembuatan konten berita yang ditulis secara piramida terbalik
juga jurnalis dipengaruhi oleh faktor-faktor internal dan eksternal
media. Faktor internal bisa berasal dari institusi media yang memiliki
kepentingan tertentu dalam pembuatan isi berita, sedangkan faktor
eksternal bisa berasal dari faktor ekonomi, budaya, ataupun keinginan
pasar (khalayak media). Asumsi yang ditulis oleh peneliti tersebut
didasarkan pada kajian yang dilakukan oleh Shoemaker dan Reese
tentang level analisis yang membentuk suatu garis kontinum dari
mikro ke makro, yaitu dari unit terkecil pada sebuah sistem ke unit
yang terluas. Bahwa apa yang terjadi di level bawah dipengaruhi oleh
apa yang terjadi di level lebih tinggi.
Dari alur yang dibuat oleh Tribunnews.com terlihat, Tibunnews.
com ingin mengambil peristiwa itu sebagai ilustrasi kecil untuk
memperlihatkan kesadisan dalam kasus perkosaan dan pembunuhan
tersebut. Wartawan mengemas dan mencitrakan berita sebagai informasi
yang sensasional. McQuail dan Fung (Yusuf, 2010), menyandingkan
bahasan mengenai sensasionalisme pemberitaan dengan unsur
ketertarikan manusia (human interest) dan materi penarik perhatian
(excitement) seperti berita kriminal, skandal seks, gosip, dan kehidupan
selebritis yang diperoleh dengan melanggar privasi, termasuk fotofoto perempuan seksi dan korban kriminalitas yang ditampilkan
secara “telanjang”. Berita sensasional sedikit sekali didasarkan pada
nalar atau logika yang sehat karena semata-mata ditujukan untuk
memicu rasa penasaran, emosi, empati, bahkan kesenangan sensual
bagi pembacanya. Bahasan mengenai sensasionalisme pemberitaan
di media massa terdapat tiga aspek yaitu teknik, proses, dan pola.
Pertama, aspek teknik sensasionalisme adalah strategi media dalam
menampilkan berita hingga menjadi sensasional yang dapat dilakukan
melalui elemen verbal dan visual, juga menggunakan metode repetisi
dan alokasi dalam penyajiannya. Elemen verbal terdapat dalam unsur
bahasa (sensasional) baik pada level kata, frasa, klausa, dan kalimat
yang tampak dari judul, subjudul, lead, dan isi pada penulisan berita.
Sedangkan elemen visual bisa dilihat pada penggunaan foto, ilustrasi,
serta penggunaan warna dan ukuran tertentu pada penulisan sehingga
mencolok dan secara inderawi mengarahkan pembaca pada hal yang
mencolok tersebut. Pada pemberitaan perkosaan dan pembunuhan
terhadap EF, wartawan menggunakan elemen verbal yang terlihat dalam
336

Bunga Rampai Komunikasi Indonesia

judul berita, lead, maupun isi berita (yang sensasional). Sedangkan
sensasionalisme dalam unsur visual diperlihatkan oleh wartawan
melalui foto dan penggunaan ukuran tertentu dalam penulisan.
Sementara itu, metode repetisi adalah pengulangan atau
peningkatan frekuensi unsur-unsur sensasionalisme yang menimbulkan
sensasi dalam berita. Sedangkan metode alokasi adalah penambahan
waktu dalam menampilkan atau memberi penekanan pada unsurunsur sensasionalisme dalam berita. Metode repetisi digunakan oleh
wartawan dalam menuliskan berita kasus perkosaan dan pembunuhan
terhadap EF dengan seringnya menulis informasi yang menimbulkan
sensasi seperti, RAL (pelaku/kekasih EF) sempat bercumbu dengan
EF sebelum kejadian pembunuhan, selain itu dalam penyusunan alur
cerita wartawan terus mengulang informasi yang memuat adegan sadis
pelaku dalam melakukan perkosaan dan pembunuhan terhadap EF.
Tribunnews.com menyajikan berita tidak secara kronologis, karena
menyesuaikan dengan keinginan pasar yang cenderung menginginkan
berita yang bersifat instan, sensasional dan sadis, tentunya hal itu juga
dilakukan agar pembaca penasaran dan terus mengikuti perkembangan
kasus. Menurut Ghimire, wartawan lebih banyak memberitakan isuisu yang terbatas pada taraf pengungkapan konlik tanpa melakukan
penelitian terlebih dahulu. Ini dilakukan semata-mata untuk
memuaskan konsumen medianya akan sesuatu yang sensasional
(Yusuf, 2010). Oleh karena itulah, terkadang wartawan abai terhadap
pesan yang akan dibangun dalam sebuah berita dan hanya menuliskan
berita dengan gaya hiburan yang diyakini adalah sesuai keinginan
pasar (khalayak media) dengan tidak melakukan analisis mendalam
bagaimana berpihak pada korban perkosaan dan keyakinan bahwa
perkosaan adalah pelanggaran HAM.
5.3. Analisis Struktur Narasi Berita Kasus Perkosaan dan Pembunuhan
EF
Secara keseluruhan berita ini mempunyai empat struktur,
yaitu gangguan (disruption) > kesadaran akan terjadi gangguan >
upaya untuk memperbaiki gangguan> kondisi keseimbangan. Dari
struktur berita ini, yang menarik adalah berita tidak dimulai dari
kondisi keseimbangan (ekuilibrium), tetapi langsung masuk ke tahap
Bunga Rampai Komunikasi Indonesia

337

berikutnya yakni adanya gangguan (disruption). Struktur semacam ini
tampaknya dipilih oleh Tribunnews.com untuk tujuan mengambil sisi
dramatis untuk menarik perhatian pembaca. Dramatisme menjelaskan
bahwa kehidupan sama halnya dengan pertunjukan teatrikal yang
di dalamnya terdapat elemen act (tindakan), agent (pelaku), scene
(konteks yang melatari tindakan tersebut), agency (sarana untuk
mencapai tujuan tersebut) serta purpose (tujuan dari tindakan). Lebih
mudahnya, suatu peristiwa atau fakta disajikan atau ditulis dalam berita
dengan bahasa hiperbolik dan melebih-lebihkan, tujuannya untuk
menimbulkan efek dramatis bagi pembacanya. Melalui unsur dramatis
ini pembaca akan mengikuti berita seperti menonton sebuah ilm,
sehingga pembaca akan lebih mudah untuk menyerap informasi yang
disampaikan wartawan. Namun pada kasus berita perkosaan seperti
kasus EF misalnya, dramatisasi yang dilakukan oleh jurnalis justru
dapat mencederai perasaan korban atau keluarga korban yang trauma
akibat tindak perkosaan tersebut. Penggunaan dramatisasi dalam
beberapa kasus bahkan dapat mengaburkan substansi berita yang ingin
disampaikan dan justru menimbulkan pikiran negatif dalam benak
pembaca (Yusuf, 2010).
Struktur berita yang tidak dimulai dari keseimbangan (Ekuilibrium)
tetapi langsung pada tahap gangguan (Disruption) memungkinkan
bahwa wartawan ingin menunjukkan bahwa realitas sosial yang ada
di masyarakat memang tidak dalam kondisi seimbang. Berbagai
macam permasalahan yang ada di masyarakat telah mengganggu
keseimbangan yang ada, sehingga kegaduhan, kekerasan, dan ancaman
tumbuh dimana-mana. Hal ini mengasumsikan bahwa Negara sedang
tidak dalam kondisi seimbang atau aman. Struktur pemberitaan kasus
perkosaan dan pembunuhan terhadap EF dirangkai secara berseri oleh
wartawan. Wartawan tidak menuliskan secara keseluruhan peristiwa
dalam sebuah naskah berita yang utuh melainkan memuat peristiwa
tersebut menjadi beberapa tahapan sesuai berjalannya kasus dan
beberapa cuplikan peristiwa diambil wartawan untuk diberitakan.
Melihat dari struktur narasi yang dibuat oleh wartawan dalam
menuliskan rangkaian kasus tersebut, dengan kondisi pemberitaan
mengenai perkosaan dan kriminalitas mulai muncul dan memanas
secara vulgar di media online khususnya, wartawan Tribunnews.com
mengawali penampilan kasus “EF” tersebut sebagai sebuah ‘kejutan’,
338

Bunga Rampai Komunikasi Indonesia

bahwa ada kasus perkosaan dan pembunuhan yang lebih sadis selain
kasus YY ataupun kasus perkosaan lainnya. Khalayak dikejutkan
dengan pemberitaan pembunuhan sadis yang ditulis dengan judul,
“Sadis! Wanita Muda Tewas Babak Belur dengan Gagang Cangkul di
Kemaluan”. Berita tersebut memuat tentang kronologi ditemukannya
EF yang tewas dalam kondisi mengenaskan yaitu sebuah gagang
cangkul terbenam dikemaluan korban. Setelah memperoleh perhatian
publik dengan kejutan awal tersebut, Tribunnews.com selanjutnya
menyajikan sisi-sisi sadis peristiwa pembunuhan dalam berita yang
didukung dengan menunjukkan identitas korban, foto-foto alat yang
dilakukan untuk melakukan kejahatan, bahkan foto-foto ilustrasi yang
menggambarkan kesadisan tersebut. Lead pada berita ini dilengkapi
dengan foto ilustrasi yang memperlihatkan kaki yang sudah dilabeli
jenazah, dan di foto ilustrasi pada berita selanjutnya terlihat separuh
lebih tubuh perempuan dengan posisi telentang bersimbah darah dan
ada cangkul di sampingnya. Lead dan foto mencolok yang dimuat
oleh Tribunnews.com ini secara tidak langsung mewakili apa yang
ingin ditampilkan atau digambarkan oleh wartawan mengenai kasus
pembunuhan dan pemerkosaan. Lewat lead tersebut, wartawan ingin
mengatakan bahwa telah terjadi pembunuhan dengan cara yang sangat
sadis dilakukan oleh para pelaku dengan memasukkan gagang cangkul
ke alat kelamin korban. kata “tewas babak belur” ditulis oleh wartawan
untuk menunjukkan bahwa korban dianiaya terlebih dahulu sebelum
akhirnya dibunuh.
Muatan-muatan sadis yang tergambar dalam narasi perkosaan
dan pembunuhan oleh wartawan ditulis dalam berbagai berita lainnya
dengan judul, “Enno Dibunuh Karena Menolak Cinta Dua Pemuda”
berita ini berbicara tentang alasan EF dibunuh yang dikarenakan
EF telah menolak cinta para pelaku. Kata “dibunuh” menunjukkan
unsur kesengajaan dalam tindakan membunuh. Sedangkan pada kata
“menolak” digunakan jurnalis untuk menjelaskan alasan tindakan
“membunuh” itu terjadi. Dari judul tersebut bisa diartikan bahwa,
tindakan pembunuhan itu terjadi dikarenakan pelaku kecewa pada
EF yang menolak cintanya. Pada judul tersebut mengandung unsur
misoginis, yaitu victim blaming atau bisa diartikan sebagai tindakan
menyalahkan korban. “Setelah Diperkosa, 90 Persen Gagang Pacul
Masuk ke Tubuh Eno” berita ini memperlihatkan bagaimana tindakan
Bunga Rampai Komunikasi Indonesia

339

pembunuhan tersebut dilakukan dengan sangat kejam sehingga
dampak yang ditimbulkan adalah luka yang parah dialami oleh korban,
selanjutnya narasi perkosaan dan pembunuhan yang ditulis dengan
muatan sadis tergambar dalam berita “Kronologi Pembunuhan Sadis
Pakai Gagang Pacul: Baru Sebulan Pacaran Sudah Minta Hubungan
Intim” berita ini selain menceritakan kronologi dilakukannya
pembunuhan dan pemerkosaan terhadap EF juga membahas tentang
status pacaran antara salah satu pelaku dengan korban, judul berita
yang ditulis wartawan tersebut menunjukkan bahwa dalam hubungan
pacaran hubungan intim adalah wajar untuk dilakukan, hanya saja
pada berita tersebut wartawan menyayangkan tindakan pelaku yang
terlalu cepat meminta untuk berhubungan intim (baru sebulan).
Berita lainnya yaitu, “Hal yang Terjadi di Kamar Sebelum EF
Diperkosa Lalu Dihabisi Secara Sadis”. Kata “hal yang terjadi di
kamar” menunjukkan bahwa ada suatu aktivitas, dalam isi beritanya
ditulis bahwa aktivitas tersebut adalah Ral dan EF yang berbincangbincang mesra. Ini menegaskan bahwa EF (korban) dengan senang
hati menerima kedatangan Ral (pelaku dan pacar korban). namun,
ketika EF menolak ajakan Ral untuk berhubungan intim, Ral kecewa
dan marah. Kata “diperkosa” juga menggambarkan tindakan yang
disengaja atau pemaksaan, hal ini merujuk pada rasa marah Ral yang
ditolak EF. Kata “dihabisi” merujuk pada tindakan membunuh yang
dilakukan oleh pelaku. Pemilihan kata tersebut diibaratkan makanan
yang dihabiskan, berarti bahwa EF adalah obyek yang pantas untuk
dimakan(dihabiskan). Dalam berita tersebut selain unsur sadisme, juga
ada unsur victim blaming yang dilakukan oleh wartawan.
5.4. Analisis Fungsi dan Karakter Narasi pada Pemberitaan Kasus EF
Dalam mengalisis fungsi dan karakter dari berita, peneliti
menggunakan model aktan dari Algirdas Greimas yang mengkategorikan
karakter menjadi enam kategori atau aktor yaitu pengirim, objek,
penerima, pendukung, subjek, dan penghambat. Melalui karakteristik
dalam narasi yang disebut oleh Greimas sebagai aktan (actant) kita
bisa melihat bagaimana sebuah karakter digambarkan dan relasi antar
karakter terhubung. Dari narasi berita mengenai pembunuhan sadis
terhadap EF di Tribunnews.com, ada sejumlah fungsi karakter dalam
340

Bunga Rampai Komunikasi Indonesia

narasi. Tabel menyajikan fungsi karakter yang ditemukan dalam narasi.
Tidak semua fungsi narasi yang diidentiikasikan Greimas terdapat
dalam narasi berita Tribunnews.com. Dari berita Tribunnews.com
tersebut, terdapat beberapa aktan dan hubungan di antara aktan-aktan.
Terkait hubungan beberapa aktan, ketiga pelaku sama-sama tertarik
dengan korban, dalam berita ditulis bahwa ketiganya menyukai korban
dan korban juga dikenal memang disukai banyak laki-laki. Objek
dari narasi ini adalah EF, seorang wanita muda yang banyak disukai
laki-laki. Subjek dari narasi adalah 3 orang laki-laki yang kemudian
menjadi pelaku pembunuhan dan perkosaan terhadap EF. Subyek (3
pelaku) melakukan aktivitas agar bisa mendapatkan obyek. Dengan
demikian poros atau sumbu pengiriman (axis of transmission) adalah
tiga pelaku yang ingin mendapatkan EF. Dalam narasi berita ditulis
ketiga pelaku melakukan itu karena didorong oleh rasa tertarik pada
EF (korban). penerima (receiver) adalah EF yang akhirnya menjadi
korban pembunuhan dan perkosaan oleh subyek (3 pelaku). Tujuan
subyek meraih obyek didukung dari kecantikan paras obyek, sementara
penghalang (traitor) adalah penolakan cinta dari EF kepada tiga pelaku.
Poros kekuasaan (axis of power) dari narasi ini adalah kemolekan
tubuh EF. Narasi berita ini menegaskan bahwa tindakan ketiga pelaku
mendekati EF dipicu oleh EF sendiri, karena bertubuh molek dan
membuat pelaku menjadi tertarik. Yang menarik, penghalang (traitor)
dalam narasi ini bukanlah orang lain yang mungkin juga menyukai
EF, tetapi justru penolakan cinta dari EF pada tiga pelaku. Penolakan
merupakan suatu hal yang dapat berdampak pada perubahan emosi
seseorang.
Dari model aktan (actantial model) yang sudah diuraikan di
atas, terlihat bagaimana korban (EF) disalahkan atas tindakannya
yang mengizinkan pelaku untuk masuk ke kamarnya dan berpakaian
seksi. Sedangkan pelaku RA dalam pemberitaan ditempatkan sebagai
aktor yang dilindungi oleh kekuatan hukum. Meski RA diposisikan
sebagai subjek dalam pemeberitaan, tetapi tindakan RA digambarkan
diperintah oleh adanya status pacaran dengan korban. Sedangkan untuk
dua pelaku lainnya digambarkan sebagai aktor yang tidak sepenuhnya
bersalah karena adanya kesalahan EF yang membuat pelaku menjadi
penasaran. Berita ini juga mengandung kontradiksi, yang terlihat
dari ketidakkonsistenan dalam menempatkan atau memosisikan
Bunga Rampai Komunikasi Indonesia

341

tokoh dalam karakter tertentu. Sebagai missal, R dan IH, Rahmat
Ariin dan Imam Harpiadi. Pada satu sisi, R dan IH digambarkan
tidak sepenuhnya bersalah karena korban sendiri yang memancing
tindakan itu terjadi, namun dibagian lainnya R dan IH digambarkan
sebagai orang yang sangat keji yang bahkan hingga akhir putusan tidak
menyesali perbuatannya. Selain itu, kontradiksi juga terdapat pada
penggambaran karakter korban. Pada salah satu beritanya, Tribunnews.
com menggambarkan korban sebagai sosok yang baik dan pendiam.
Namun di berita lainnya Tribunnews.com juga menggambarkan bahwa
korban sebagai pemicu terjadinya perkosaan dan pembunuhan karena
sosok korban yang berparas cantik dan banyak disukai laki-laki, dan
korban juga yang mengajak pacarnya berkencan di kamarnya.
Menurut
pandangan
konstruksionis,
keberhasilan
mentransformasikan perkosaan menjadi masalah sosial tergantung
pada narasi persuasif yang membuat “seksualitas koersif ” sebagai
sebuah fenomena fundamental sosial. dalam kasus pemerkosaan, isu
seksualitas koersif dapat menjadi konstruksi naratif yang bervariasi
sebagai cerita tentang kejahatan, tentang kejatuhan moral individual,
tentang penyakit, atau sekitar sosialisasi (Chasteen, 1998, pp. 13-18).
Alhasil konstruksi seksualitas koersif yang dibangun oleh budaya dan
dikukuhkan kembali oleh media melahirkan pemikiran bahwa seks
bukan lagi seks jika tanpa kekerasan. Ketika perempuan cantik pada
kebudayaan 1950-an dengan mudah mendapat jodoh atau seringkali
digoda, maka kecantikan pada kebudayaan modern mengarah pada
perkosaan (Wolf, Mitos Kecantikan, 2004, pp. 266-267).

6. Kesimpulan
Berdasarkan pada analisis naratif menggambarkan bahwa cerita dan
alur yang ada dalam pemberitaan kasus perkosaan dan pembunuhan
terhadap “EF”, peristiwa tidak disajikan secara kronologis dan narator
mengambil posisi diluar peristiwa. Wartawan ingin memposisikan
seakan-akan bersifat obyektif dalam memberitakan, padahal sebenarnya
dalam kasus perkosaan keberpihakan pada korban menjadi penting.
Selain itu juga wartawan mengemas peristiwa secara sensasional
melalui pilihan kata-katanya dengan alasan menyesuaikan dengan
keinginan pasar yang cenderung menginginkan berita yang bersifat
instan, sensasional dan sadis. Penulisan berita yang tidak kronologis
342

Bunga Rampai Komunikasi Indonesia

berdampak pada berkurangnya informasi yang menyeluruh terhadap
kasus, sehingga pembaca hanya dapat melihat kasus perkosaan hanya
dari sebagian peristiwa dalam narasi berita yang ditulis sesuai dengan
sudut pandang wartawan dan kepentingan media.

Karakter narasi perkosaan dalam pemberitaan kasus
EF ditulis sensasional dan dramatis oleh wartawan, dan
mengandung unsur misoginis yaitu victim blaming dalam
berita. EF (korban) digambarkan seolah menjadi penyebab dari
terjadinya pembunuhan yang menimpa dirinya. Dari segi bahasa
jurnalistik, pada pemberitaan kasus pembunuhan dan perkosaan
terhadap EF, Tribunnews.com masih menggunakan pilihan
kata diksi yang bias, menstigmatisasi korban sebagai pemicu
perkosaan, dan menghakimi korban dengan upaya stereotyping.
Jurnalis juga seringkali memberikan opini yang menghakimi dan
tidak berimbang kepada perempuan korban kekerasan seksual.
Kata-kata bernuansa sadis dan cabul masih banyak digunakan
sebagai judul berita.

DAFTAR PUSTAKA
American Psychological Assosiation. (2007). Report of the APA Task
Force on the Sexualization of Gilrs. Retrieved Januari 21, 2017,
from American Psychological Association: www.apa.org/pi/wpo/
sexualization.html.
Beaudrow, J. (2014). he Culture Of Rape: Examining Causes And
Educating For A Rape-Free Society. 13. Ontario, Canada:
Lakehead University.
Burt, M. R. (1991). Rape myths and acquaintance rape. In A. Parrot & L.
Bechhofer (Eds.). New York: John Wiley dan Sons, Inc.
Candraningrum, D. (2014, September 22). Industrialisasi dan
Seksualisasi Perempuan dalam Media. from Jurnal Perempuan.
Retrieved November 20, 2016, from Jurnal Perempuan: http://
www.jurnalperempuan.org/blog/dewi-candraningrumindustrialisasi-dan-seksualisasi-perempuan-dalam-media
Chasteen, A. L. (1998). Rape Narratives in the U.S.: Feminism, Culture
and the Construction of Rape as a Social Problem. Ann Arbor,
Bunga Rampai Komunikasi Indonesia

343

United States of America: University of Michigan.
Dzuhayatin, S. R. (2001). Perkosaan dan Mekanisme Kolonialisasi
Gender. Jurnal Populasi , 12, 77.
Eriyanto. (2015). Analisis Naratif: Dasar-dasar dan Penerapannya
dalam Analisis Teks Media. Jakarta: Prenada Media Group.
Hamad, I. (2004). Konstruksi Realitas Politik dalam Media Massa:
sebuah studi critical discourse analysis terhadap berita-berita
politik. Jakarta: Granit.
Ibrahim, I. S. (2011). Kritik Budaya Komunikasi: Budaya, media, dan
gaya hidup dalam proses demokratisasi di Indonesia. Yogyakarta:
Jalasutra.
Kramarae, C. (2000). Routledge International Encyclopedia of Women.
New York: Routledge.
Miedzin, M. (2002). Boys Will Be Boys: Breaking the link between
masculinity and violence. New York: Lantern Books.
Piliang, Y. A. (2001). Sebuah Dunia Yang Menakutkan. Mesin-mesin
Kekerasan dalam Jagat Raya. Bandung: Mizan.
Smith, A. L. (2014). Pop Culture V. Rape Culture: he Media’s Impact
on the Attitudes Toward Women. UMI Disertation Publishing ,
73.
Sobur. (2014). Komunikasi Naratif: Paradigma, Analisis, dan Aplikasi.
In McQuail. Yogyakarta: Rosda.
Sucahyo, N. (2016, Mei 11). Indonesia Darurat Kekerasan terhadap
Perempuan. Retrieved Agustus 4, 2016, from VOA Indonesia:
http://www.voaindonesia.com/a/indonesia-darurat-kekerasanterhadap-perempuan/3324692.html
Wolf, N. (2004). Mitos Kecantikan. Yogyakarta: Niagara.

Biograi Singkat
Dr. Tri Hastuti Nur Rochimah, M.Si, lecture in communication
studies, Muhammadiyah University of Yogyakarta. She graduated
her doctoral in Gajah Mada University and focus in communication
sociology. Master degree of communication studies in Indonesia
University (2002) and bachelor form Sebelas Maret University of
344

Bunga Rampai Komunikasi Indonesia

Surakarta in mass communication (1994). Research and publication
focus in media, gender, social and political marketing.
Noviati Roicoh, alumnus Ilmu Komunikasi Universitas
Muhammadiyah Yogyakarta; sejak mahasiswa konsen dengan isu-isu
gender, aktif di IMMAWATI dan aktivis perempuan Yogyakarta.

Bunga Rampai Komunikasi Indonesia

345