Perlindungan Hukum Terhadap Perjanjian Kredit Dengan Jaminan Surat Keputusan Pengangkatan Pegawai Negeri Sipil (Studi PT. Bank Rakyat Indonesia, Tbk) Cabang Medan

BAB II

PERJANJIAN PADA UMUMNYA

A. Pengertian Perjanjian dalam KUHPerdata
Di dalam Buku III KUH Perdata mengenai hukum perjanjian terdapat dua
istilah yang berasal dari bahasa Belanda, yaitu istilah verbintenis dan
overeenkomst. Dalam menerjemahkan kedua istilah tersebut dalam bahasa
Indonesia, terdapat perbedaan antar para sarjana hukum Indonesia. 16
Untuk memahami istilah mengenai perikatan dan perjanjian terdapat
beberapa pendapat para sarjana. Adapun pendapat para sarjana tersebut adalah:
R. Subekti menyatakan bahwa :
Suatu perjanjian merupakan suatu peristiwa di mana seseorang berjanji
kepada orang lain, atau di mana dua orang saling berjanji untuk
melaksanakan sesuatu hal. 17
Abdul Kadir Muhammad menyatakan bahwa :
Perjanjian adalah suatu persetujuan dengan mana dua orang atau lebih
saling mengikatkan diri untuk melaksanakan sesuatu hal dalam lapangan
harta kekayaan. 18 Yang mana perikatan terdapat dalam bidang hukum
harta kekayaan; dalam bidang hukum keluarga; dalam bidang hukum
pribadi. Perikatan yang meliputi beberapa bidang hukum ini disebut

perikatan dalam arti luas.
R. M. Sudikno Mertokusumo menyatakan bahwa :
Memberikan pengertian perjanjian adalah hubungan hukum antara dua
pihak atau lebih berdasarkan kata sepakat untuk menimbulkan akibat
hukum. 19

16

Subekti, Aspek-Aspek Hukum Perikatan Nasional, Bandung: Alumni, 1986, hal 3.
Subekti, Pokok-Pokok Hukum Perdata, Jakarta: Intermasa, 2001, hal. 36
18
Abdul Kadir Muhammad, Hukum Perikatan, Bandung: Citra Aditya Bakti, 1992, hal.

17

78
19

RM. Sudikno Mertokusumo, Mengenal Hukum (Suatu Pengantar), Liberty, Yogyakarta
1988 , hal 97


15
Universitas Sumatera Utara

16

Menurut Pasal 1313 KUHPerdata, perjanjian adalah suatu perbuatan
dengan mana satu orang atau lebih mengikatkan dirinya terhadap satu orang lain
atau lebih. Menurut beberapa pakar hukum pengertian perjanjian atau verbintenes
adalah suatu hubungan hukum kekayaan atau harta benda antara dua orang atau
lebih yang memberikan kekuatan hak pada suatu pihak untuk memperoleh prestasi
dan sekaligus mewajibkan pada pihak lain untuk menunaikan prestasi 20
Berdasarkan pada beberapa pengertian perjanjian di atas, maka dapat
disimpulkan di dalam suatu perjanjian minimal harus ada dua pihak, dimana
kedua belah pihak saling bersepakat untuk menimbulkan suatu akibat hukum
tertentu. Perjanjian/persetujuan batasannya diatur dalam Pasal 1313 KUHPerdata
yang berbunyi: “Suatu persetujuan adalah suatu perbuatan dengan mana satu
orang atau lebih mengikatkan dirinya terhadap satu orang lain atau lebih”.
Mengenai batasan tersebut para sarjana hukum perdata umumnya
berpendapat bahwa definisi atau batasan atau juga dapat disebut rumusan

perjanjian yang terdapat di dalam ketentuan Pasal 1313 KUHPerdata kurang
lengkap dan bahkan dikatakan terlalu luas sehingga banyak mengandung
kelemahan-kelemahan. Adapun kelemahan tersebut antara lain :
a. Hanya menyangkut perjanjian sepihak saja.
Di sini dapat diketahui dari rumusan satu orang atau lebih mengikatkan
dirinya terhadap satu orang atau lebih lainnya. Kata mengikatkan merupakan kata
kerja yang sifatnya hanya datang dari satu pihak saja, tidak dari kedua belah
pihak. Sedangkan maksud dari perjanjian itu mengikatkan diri dari kedua belah

20

Abdulkadir Muhammad. Op.cit.

Universitas Sumatera Utara

17

pihak, sehingga nampak kekurangannya dimana setidak-tidaknya perlu adanya
rumusan saling mengikatkan diri. Jadi nampak adanya konsensus/ kesepakatan
antara kedua belah pihak yang membuat perjanjian.

b. Kata perbuatan mencakup juga tanpa consensus atau kesepakatan.
Dalam pengertian perbuatan termasuk juga tindakan :
1. Melaksanakan tugas tanpa kuasa.
2. Perbuatan melawan hukum.
Dari kedua hal tersebut di atas merupakan tindakan/ perbuatan yang tidak
mengandung adanya konsensus. Juga perbuatan itu sendiri pengertiannya sangat
luas, karena sebetulnya maksud perbuatan yang ada dalam rumusan tersebut
adalah hukum.
c. Pengertian perjanjian terlalu luas.
Untuk pengertian perjanjian di sini dapat diartikan juga pengertian
perjanjian yang mencakup melangsungkan perkawinan, janji kawin. Padahal
perkawinan sendiri sudah diatur tersendiri dalam hukum keluarga, yang
menyangkut hubungan lahir batin. Sedangkan yang dimaksudkan perjanjian dalam
Pasal 1313 KUHPerdata adalah hubungan antara debitur dan kreditur. Di mana
hubungan antara debitur dan kreditur terletak dalam lapangan harta kekayaan saja
selebihnya tidak. Jadi yang dimaksud perjanjian kebendaan saja bukan perjanjian
personal.

Universitas Sumatera Utara


18

d. Tanpa menyebut tujuan.
Dalam perumusan pasal tersebut tidak disebutkan apa tujuan untuk
mengadakan perjanjian sehingga pihak-pihak mengikatkan dirinya itu tidaklah
jelas maksudnya untuk apa. Atas dasar alasan-alasan tersebut yang dikemukakan
di atas, maka perlu dirumuskan kembali apa yang dimaksud dengan perjanjian itu.
Sehingga apa yang dimaksud dengan perjanjian adalah suatu persetujuan dengan
mana dua orang atau lebih saling mengikatkan diri untuk melaksanakan suatu hal
dalam lapangan harta kekayaan. Dengan adanya perjanjian tersebut, maka akan
timbul suatu hubungan hukum di mana pihak yang satu berhak menuntut sesuatu
dari pihak yang lainnya, begitu pula sebaliknya. Hubungan hukum yang demikian
ini disebut dengan perikatan. Dengan demikian perjanjian akan menimbulkan
suatu perikatan, atau dengan kata lain perjanjian merupakan salah satu sumber
perikatan. Berdasarkan Pasal 1233 KUHPerdata, sumber perikatan adalah
perjanjian dan undang-undang. Perikatan dan perjanjian diatur dalam Buku Ketiga
KUHPerdata.
Dari perumusan perjanjian tersebut dapat disimpulkan unsur perjanjian
sebagai berikut:
1. Adanya pihak-pihak.

Pihak-pihak yang ada di dalam perjanjian ini disebut sebagai subyek
perjanjian. Subyek perjanjian dapat berupa manusia pribadi atau juga badan
hukum. Subyek perjanjian harus mampu atau memiliki wewenang dalam
melakukan perbuatan hukum seperti yang ditetapkan dalam undang-undang.

Universitas Sumatera Utara

19

Subyek hukum dapat dalam kedudukan pasif atau sebagai debitur atau dalam
kedudukan yang aktif atau sebagai kreditur.
2. Adanya persetujuan antara pihak-pihak.
Persetujuan di sini bersifat tetap, dalam arti bukan baru dalam tahap
berunding. Perundingan itu sendiri adalah merupakan tindakan-tindakan
pendahuluan untuk menuju kepada adanya persetujuan.
3. Adanya tujuan yang akan dicapai.
Tujuan mengadakan perjanjian terutama guna memenuhi kebutuhan pihakpihak dan kebutuhan tersebut hanya dapat dipenuhi jika mengadakan perjanjian
dengan pihak lain.
4. Adanya prestasi yang akan dilangsungkan.
Bila telah ada persetujuan, maka dengan sendirinya akan timbul suatu

kewajiban untuk melaksanakannya.
5. Adanya bentuk tertentu.
Dalam suatu perjanjian bentuk itu sangat penting, karena ada ketentuan
undang-undang bahwa hanya dengan bentuk tertentu maka perjanjian mempunyai
kekuatan mengikat sebagai bukti.
6. Adanya syarat tertentu.
Mengenai syarat tertentu ini sebenarnya sebagai isi dari perjanjian, karena
dengan syarat-syarat itulah dapat diketahui adanya hak dan kewajiban dari pihakpihak. Dan semua unsur tersebut dapat dihubungkan dengan ketentuan tentang
syarat-syarat sahnya perjanjian Pasal 1320 KUHPerdata yang kemudian dapat
disimpulkan:

Universitas Sumatera Utara

20

a. Syarat adanya persetujuan kehendak di antara pihak-pihak dapat meliputi
unsur-unsur persetujuan, syarat-syarat tertentu dan bentuk-bentuk tertentu.
b. Syarat kecakapan pihak-pihak meliputi unsur-unsur dari pihak-pihak yang
ada dalam perjanjian.
c. Adanya hal tertentu sebagai pokok perjanjian, sebagai obyek perjanjian,

baik berupa benda maupun jasa, serta obyek dapat berwujud dan tak
berwujud.
d. Adanya kausa yang halal, yang mendasari perjanjian itu sendiri meliputi
unsur tujuan yang akan dicapai.

B. Pengertian Perjanjian Kredit dan Hal-hal yang mencakup didalamnya
Perjanjian kredit merupakan salah satu jenis perjanjian yang segala
ketentuan umumnya didasarkan pada ajaran umum hukum perikatan yang terdapat
dalam KUHPerdata. Ketentuan umum dalam KUHPerdata tersebut menjadi dasar
atau asas umum yang konkrit dalam membuat semua perjanjian apapun. 21
Dalam KUHPerdata Buku III Bab I sampai dengan Bab IV Pasal 1319
dinyatakan bahwa: Semua perjanjian baik yang mempunyai suatu nama khusus
maupun yang tidak dikenal dengan suatu nama khusus maupun yang tidak dikenal
dengan suatu nama tertentu, tunduk pada peraturan-peraturan umum yang termuat
dalam Buku III Bab I dan Bab II KUHPerdata.
Setiap kredit yang disetujui dan disepakati antara pihak kreditur dan
debitur maka wajib dituangkan dalam perjanjian kredit (akad kredit) secara

21


Sutarno, Aspek-Aspek Hukum Perkreditan Pada Bank, Bandung,: Alfabeta, hal. 68

Universitas Sumatera Utara

21

tertulis. Dalam praktik perbankan bentuk dan format dari perjanjian kredit
diserahkan sepenuhnya kepada bank yang bersangkutan. Namun ada hal-hal yang
tetap harus dipedomani, yaitu bahwa perjanjian tersebut rumusannya tidak boleh
kabur atau tidak jelas, selain itu juga perjanjian tersebut sekurang-kurangnya
harus memperhatikan keabsahan dan persyaratan secara hukum, sekaligus juga
harus memuat secara jelas mengenai jumlah besarnya kredit, jangka waktu, tata
cara pembayaran kembali kredit serta persyaratan lainnya yang lazim dalam
perjanjian kredit. 22
Dalam praktik, bentuk dan materi perjanjian kredit antara satu bank dan
bank lainnya tidaklah sama. Hal tersebut terjadi dalam rangka menyesuaikan diri
dengan kebutuhan masing-masing. Dengan demikian, perjanjian kredit tersebut
tidak mempunyai bentuk yang berlaku umum, hanya saja dalam praktik ada
banyak hal yang biasanya dicantumkan dalam perjanjian kredit, misalnya, berupa
definisi istilah-istilah yang akan dipakai dalam perjanjian (ini terutama dalam

perjanjian kredit dengan pihak asing atau dikenal dengan loan agreement); jumlah
dan batas waktu pinjaman, serta pembayaran kembali pinjaman (repayment), juga
mengenai apakah si peminjam berhak mengembalikan dana pinjaman lebih cepat
dari ketentuan yang ada; penetapan bunga pinjaman dan dendanya jika debitur
lalai membayar bunga; terakhir dicantumkan berbagai klausul, seperti hukum
yang berlaku untuk perjanjian tersebut. Dalam praktiknya, perjanjian kredit sering

22

Muhammad Djumhana, Op. cit., hal. 385.

Universitas Sumatera Utara

22

kali mengakomodasi hal-hal seperti di atas sehingga semuanya dibakukan dan
akhirnya terbentuklah perjanjian baku untuk perjanjian kredit tersebut. 23
Dasar hukum perjanjian kredit secara tertulis dapat mengacu pada Pasal 1
ayat (11) UU Perbankan. Pasal tersebut dinyatakan bahwa: “Penyediaan uang atau
tagihan berdasarkan persetujuan atau kesepakatan pinjam-meminjam antara Bank

dengan pihak lain.” Kalimat tersebut menunjukkan bahwa pemberian kredit harus
dibuat dengan perjanjian.
Perjanjian kredit merupakan ikatan atau bukti tertulis antara bank dengan
debitur sehingga harus disusun dan dibuat sedemikian rupa agar setiap orang
mudah untuk mengetahui bahwa perjanjian yang dibuat itu merupakan perjanjian
kredit. Perjanjian kredit termasuk salah satu jenis atau bentuk akta yang dibuat
sebagai alat bukti. 24
Secara yuridis ada dua jenis perjanjian atau pengikatan kredit yang
digunakan bank dalam memberikan kreditnya, yaitu: 25
1. Perjanjian kredit yang dibuat di bawah tangan atau akta di bawah tangan
artinya perjanjian yang disiapkan dan dibuat sendiri oleh bank kemudian
ditawarkan kepada debitur untuk disepakati. Untuk mempermudah dan
mempercepat kerja bank, biasanya bank sudah menyiapkan formulir
perjanjian dalam bentuk standar (standaardform) yang diisi, syarat-syarat
dan ketentuannya disiapkan terlebih dahulu secara lengkap. Bentuk
perjanjian kredit yang dibuat sendiri oleh bank tersebut termasuk jenis akta
di bawah tangan.
23

Ibid, hal. 503.
Sutarno, Op. cit., hal. 99-100
25
Budi Untung, Kredit Perbankan di Indonesia, Yogyakarta: Andi, 2000 hal. 31.

24

Universitas Sumatera Utara

23

2. Perjanjian kredit yang dibuat oleh dan di hadapan notaris atau akta otentik
atau akta notariil artinya perjanjian pemberian kredit oleh bank kepada
nasabahnya yang hanya dibuat oleh atau di hadapan notaris, yang
menyiapkan dan membuat perjanjian ini adalah seorang notaris, namun
dalam praktik semua syarat dan ketentuan perjanjian kredit disiapkan oleh
bank kemudian diberikan kepada notaris untuk dirumuskan dalam akta
notariil.
Perjanjian kredit yang dibuat dalam bentuk akta notariil atau akta otentik
biasanya untuk pemberian kredit dalam jumlah yang besar dengan jangka waktu
menengah atau panjang, seperti kredit investasi, kredit modal kerja, kredit
sindikasi (kredit yang diberikan lebih dari satu kreditur atau lebih dari satu
bank). 26
Secara etimologi, kata kredit berasal dari bahasa Yunani yaitu credere
yang di-Indonesiakan menjadi kredit, yakni “kepercayaan” (dalam bahasa Inggris
faith dan trust). Dalam hubungannya antara kreditur (pemberi kredit) dengan
debitur (penerima kredit), si kreditur memiliki kepercayaan bahwa si debitur dapat
mengembalikan uang / barang yang dipinjamnya sesuai dengan waktu dan syaratsyarat yang telah disepakati bersama. Dengan kata lain, seseorang yang
memperoleh kredit, berarti memperoleh kepercayaan. Jadi, dasar dari kredit itu
sendiri adalah kepercayaan (trust).
Dilihat dari segi ekonominya, kredit dapat diartikan sebagai penundaan
pembayaran. Artinya, pengembalian uang/barang dapat dilakukan pada waktu

26

Sutarno, Op. cit., hal. 101

Universitas Sumatera Utara

24

tertentu yang akan datang. Adapun beberapa pengertian kredit yang berasal dari
berbagai ahli, yakni sebagai berikut :
H. M. A. Savelberg menyatakan kredit mempunyai arti antara lain: 27
Sebagai dasar dari setiap perikatan (verbintenis) di mana seseorang berhak
menuntut sesuatu dari yang lain. Sebagai jaminan, di mana seseorang
menyerahkan sesuatu pada orang lain dengan tujuan untuk memperoleh
kembali apa yang diserahkan itu.
JA. Levy merumuskan arti hukum dari kredit sebagai berikut: 28
“Menyerahkan secara sukarela sejumlah uang untuk dipergunakan secara
bebas oleh si penerima kredit. Penerima kredit berhak mempergunakan
pinjaman itu untuk keuntungannya dengan kewajiban mengembalikan
jumlah pinjaman itu dibelakang hari”.

Muchdarsyah Sinungan menyatakan bahwa :
Kredit adalah suatu pemberian prestasi oleh suatu pihak kepada pihak
lainnya dan prestasi itu akan dikembalikan lagi pada suatu masa tertentu
yang akan datang disertai dengan suatu kontrak prestasi berupa bunga”. 29

OP. Simorangkir berpendapat bahwa
Kredit adalah pemberian prestasi (misalnya uang, barang) dengan balas
prestasi (kontraprestasi) yang akan terjadi pada waktu yang akan datang. 30

Dari uraian tersebut di atas dapat disimpulkan bahwa yang dimaksud
dengan kredit adalah suatu pemberian prestasi (uang atau barang) dari pihak
pemberi kredit (kreditur) kepada pihak penerima kredit (debitur) dengan syarat si
debitur akan mengembalikan prestasi itu pada masa tertentu yang akan datang
dengan suatu kontrak prestasi berupa bunga.
27

Ikhwana Nandasari SP, Penyelesaian Kredit Macet dengan Hak Tanggungan pada PT.
Bank Pembangunan Daerah Sumatera Selatan di Palembang, Tesis, Program Pascasarjana,
Universitas Diponegoro, Semarang.2009
28
Ikhwana Nandasari SP, Op.cit.
29
Ibid.
30
Budi Untung, Op. cit., hal. 1.

Universitas Sumatera Utara

25

Pengertian kredit juga dapat dilihat dalam Pasal 1 Butir (11) UU
Perbankan dinyatakan bahwa: Kredit adalah penyediaan uang atau tagihan yang
dapat dipersamakan dengan itu, berdasarkan persetujuan atau kesepakatan pinjammeminjam antara bank dengan pihak lain yang mewajibkan pihak peminjam
untuk melunasi utangnya setelah jangka waktu tertentu dengan jumlah bunga.
Mengenai unsur-unsur yang terdapat dalam hal perkreditan, maka jelas hal itu
tidak terlepas dari unsur kepercayaan. Namun, masih ada beberapa unsur yang
menjadi suatu pertimbangan komprehensif dalam menentukan diperolehnya
kepercayaan atau tidak dalam hal perkreditan tersebut.
Adapun unsur-unsur yang terdapat dalam bidang perkreditan, yaitu: 31
1. Kepercayaan
Kepercayaan adalah keyakinan dari kreditur (pemberi kredit) bahwa
prestasi yang diberikan kepada debitur (penerima kredit), baik berupa uang,
barang, atau jasa, akan dikembalikan sesuai dengan kesepakatan bersama
2. Tenggang waktu
Tenggang waktu adalah waktu yang memisahkan antara pemberian
prestasi dengan kontraprestasi yang akan diterima pada masa yang akan datang.
Dalam unsur waktu ini terkandung pengertian nilai agio dari uang, yaitu uang
yang ada sekarang lebih tinggi nilainya dari uang yang akan diterima pada masa
yang akan datang.

31

Muhammad Djumhana, Op.cit., hal. 231.

Universitas Sumatera Utara

26

3. Degree of risk
Risiko yang akan dihadapi sebagai akibat dari adanya jangka waktu yang
memisahkan antara prestasi dengan kontraprestasi yang akan diterima di
kemudian hari. Semakin panjang waktu yang diberikan maka semakin tinggi pula
tingkat risikonya, sehingga terdapat unsur ketidaktentuan yang tidak dapat
diperhitungkan. Inilah yang menyebabkan timbulnya unsur risiko. Karena adanya
unsur risiko ini maka dibutuhkan jaminan dalam pemberian kredit.
4. Prestasi atau objek
Prestasi atau objek kredit itu tidak saja diberikan dalam bentuk uang, tetapi
juga dapat berbentuk barang atau jasa. Namun, karena kehidupan ekonomi
modern sekarang ini didasarkan pada uang, maka transaksi-transaksi kredit yang
menyangkut uanglah yang sering kita jumpai dalam praktik perkreditan
5. Fungsi Kredit
Kredit pada awal perkembangannya mengarahkan fungsinya untuk
merangsang bagi kedua belah pihak untuk saling menolong untuk tujuan
pencapaian kebutuhan, baik dalam bidang usaha maupun kebutuhan sehari-hari.
Pihak yang mendapat kredit harus dapat menunjukkan prestasi yang lebih tinggi
berupa kemajuan-kemajuan pada usahanya atau mendapatkan pemenuhan atas
kebutuhannya. Adapun bagi pihak yang memberi kredit, secara materiil dia harus
mendapatkan rentabilitas berdasarkan perhitungan yang wajar dari modal yang
dijadikan objek kredit dan secara spiritual mendapatkan kepuasan dengan dapat
membantu pihak lain untuk mencapai kemajuan.

Universitas Sumatera Utara

27

Suatu kredit mencapai fungsinya apabila secara sosial ekonomis, baik bagi
debitur, kreditur, maupun masyarakat membawa pengaruh pada tahapan yang
lebih baik. Maksudnya, baik bagi pihak debitur maupun kreditur mendapatkan
kemajuan. Kemajuan tersebut dapat tergambarkan apabila mereka memperoleh
keuntungan, mengalami peningkatan kesejahteraan, dan masyarakat pun atau
negara mengalami suatu penambahan dari penerimaan pajak, serta kemajuan
ekonomi, baik yang bersifat mikro maupun makro.

Dari manfaat nyata dan

manfaat yang diharapkan maka sekarang ini kredit dalam kehidupan
perekonomian dan perdagangan mempunyai fungsi:
a. Meningkatkan daya guna uang.
b. Meningkatkan peredaran dan lalu lintas uang.
c. Meningkatkan daya guna dan peredaran barang
d. Salah satu alat stabilitas ekonomi.
e. Meningkatkan kegairahan berusaha.
f. Meningkatkan pemerataan pendapatan.
g. Meningkatkan hubungan internasional.
6. Prinsip Pemberian Kredit
Prinsip-prinsip pemberian kredit perbankan menurut Pasal 8 ayat (1) UU
Perbankan menentukan: “Dalam memberikan kredit atau pembiayaan berdasarkan
prinsip syariah, bank umum wajib mempunyai keyakinan berdasarkan analisis
yang mendalam atas itikad dan kemampuan serta kesanggupan nasabah debitur
untuk melunasi hutangnya atau mengembalikan pembiayaan dimaksud sesuai
dengan yang diperjanjikan”.

Universitas Sumatera Utara

28

Prinsip-prinsip pemberian kredit dinyatakan dalam penjelasan Pasal 8 ayat
(1) UU Perbankan, dinyatakan bahwa: Kredit atau pembiayaan berdasarkan
prinsip syariah yang diberikan oleh bank mengandung risiko,sehingga dalam
pelaksanaannya

bank

harus

memperhatikan

asas-asas

perkreditan

atau

pembiayaan berdasarkan prinsip syariah yang sehat. Untuk mengurangi risiko
tersebut, jaminan pemberian kredit atau pembiayaan berdasarkan prinsip syariah
dalam arti keyakinan atas kemampuan dan kesanggupan nasabah debitur untuk
melunasi kewajibannya sesuai dengan yang diperjanjikan merupakan faktor
penting yang harus diperhatikan oleh bank. Untuk memperoleh keyakinan
tersebut, sebelum memberikan kredit, bank harus melakukan penilaian yang
seksama terhadap watak, kemampuan, modal, agunan, dan prospek usaha dari
nasabah debitur.
Dari ketentuan di atas, dapat disimpulkan bahwa bank harus berhati-hati
dalam memberikan kredit kepada calon nasabahnya. Bank harus menyelidiki
terlebih dahulu calon debiturnya apakah calon debitur tersebut dapat dipercaya
dan juga dapat diandalkan (bankable).
Cara yang masih diterapkan dalam menganalisis calon debitur tersebut
dapat dipercaya atau diandalkan adalah apa yang disebut dengan 5 C, yang
meliputi: 32

32

Kasmir, Bank Dan Lembaga Keuangan Lainnya (Edisi Revisi) Jakarta: Raja Grafindo
Persada, 2008, hal. 105.

Universitas Sumatera Utara

29

1. Character (Watak)
Suatu keyakinan bahwa sifat atau watak dari orang-orang yang akan
diberikan kredit benar-banar dapat dipercaya, hal ini tercermin dari latar belakang
nasabah baik yang bersifat latar belakang pekerjaan maupun yang bersifat pribadi
seperti cara hidup atau gaya hidup yang dianutnya, keadaan keluarga,

yang

semuanya merupakan ukuran kemauan membayar.
2. Capacity (Kemampuan)
Dihubungkan dengan pendidikannya, kemampuan bisnis juga diukur
dengan

kemampuannya

dalam

memahami

tentang

ketentuan-ketentuan

pemerintah. Begitu juga dalam kemampuannya dalam menjalankan usahanya
selama ini. Pada akhirnya akan terlihat kemampuannya dalam mengembalikan
kredit yang disalurkan.
3. Capital (Modal)
Untuk melihat penggunaan modal apakah efektif, dilihat laporan keuangan
(neraca dan laporan rugi laba) dengan melakukan pengukuran seperti dari segi
likuiditas, solvabilitas, rentabilitas dan ukuran lainnya. Capital juga harus dilihat
dari sumber mana saja modal yang ada sekarang ini.
4. Collateral (Jaminan atau agunan)
Merupakan jaminan yang diberikan calon nasabah baik yang bersifat fisik
maupun non fisik. Jaminan hendaknya melebihi dari kredit yang diberikan.
Jaminan juga harus diteliti keabsahannya, sehingga jika terjadi sesuatu masalah
maka jaminan yang dititipkan akan dapat dipergunakan secepat mungkin.

Universitas Sumatera Utara

30

5. Condition of Economy (Kondisi Perekonomian)
Dalam menilai kredit hendaknya juga dinilai kondisi ekonomi dan politik
sekarang dan dimasa yang akan datang sesuai sektor masing-masing, serta
prospek usaha dari sektor yang dijalankan. Penilaian prospek usaha yang dibiayai
hendaknya benar-benar memiliki prospek yang baik, sehingga kemungkinan
kredit tersebut bermasalah sangat kecil.
6. Penanganan Kredit Bermasalah
Membicarakan kredit bermasalah, berarti membicarakan resiko yang harus
ditanggung oleh bank dalam setiap pemberian kredit. Oleh karena itu, setiap bank
tidak dapat terlepas dari permasalahan kredit bermasalah. Karenanya yang bisa
dilakukan adalah bagaimana bank dapat menghindarkan diri atau setidak-tidaknya
meminimalisir kredit bermasalah.
Dalam

kebijakan

penanganan

kredit

bermasalah,

hal-hal

yang

diperhatikan, di antaranya, administrasi kredit; kredit yang perlu mendapat
perhatian khusus; perlakuan terhadap kredit yang tunggakan bunganya
dikapitalisasi (kredit plafondering); prosedur penyelesaian kredit bermasalah; dan
prosedur penghapusbukuan kredit macet; serta tata cara pelaporan kredit macet
dan tata cara penyelesaian barang agunan kredit yang telah dikuasai bank yang
diperoleh dari hasil penyelesaian kredit. Dari kebijakan di atas, yang paling
penting pula, yaitu pelaksana dan institusinya itu sendiri. Dari institusinya
diharapkan bahwa: 33

33

Muhammad Djumhana, Op.cit., hal. 552

Universitas Sumatera Utara

31

1. Bank tidak membiarkan atau bahkan menutup-nutupi adanya kredit
bermasalah.
2. Bank harus mendeteksi secara dini adanya kredit bermasalah atau
diduga akan menjadi kredit bermasalah
3. Penanganan kredit bermasalah atau diduga akan menjadi kredit
bermasalah juga harus dilakukan secara dini dan sesegera mungkin.
4. Bank tidak melakukan penyelesaian kredit bermasalah dengan cara
menambah plafon kredit atau tunggakan-tunggakan bunga dan
mengkapitalisasi tunggakan bunga tersebut atau lazim dikenal dengan
praktik plafondering kredit.
5. Bank tidak boleh melakukan pengecualian dalam penyelesaian kredit
bermasalah, khususnya untuk kredit bermasalah kepada pihak-pihak
yang terkait dengan bank dan debitur-debitur besar tertentu.
6. Debitur Beriktikad Baik 34
Dalam rangka menyelamatkan sektor riil dari keterpurukannya,
pemerintah antara lain menggariskan kebijakan agar bank-bank
memberikan kesempatan kepada para debitur yang mempunyai kredit
macet untuk merestrukturisasi kredit tersebut. Restrukturisasi tidak
mungkin diberikan kepada semua kredit yang bermasalah.
Ada beberapa indikator yang dapat digunakan untuk mengukur apakah
debitur mempunyai itikad baik, antara lain sebagai berikut:
a. Sebelum kredit macet:

34

Budi Untung, Op.cit., hal. 124

Universitas Sumatera Utara

32

1. Apabila sebelum kredit menjadi macet, nasabah selalu kooperatif
terhadap bank dan mau menjalankan segala kewajibannya, baik
yang berupa kewajiban untuk mencicil pokok atau kewajiban
membayar bunga.
2. Kredit telah digunakan sesuai dengan maksud dan tujuan yang
tertulis di dalam perjanjian kredit. Dengan kata lain tidak terjadi
side streaming, yaitu menggunakan untuk tujuan lain selain
membiayai proyek atau usaha yang diperjanjikan.
3. Perhitungan kebutuhan jumlah kredit tidak diback-up, yaitu
diajukan kepada bank dengan perhitungan lebih besar dari
kebutuhan yang sesungguhnya.
4. Nilai tanah, peralatan dan aset perusahaan lain baik yang dibiayai
dengan kredit maupun yang dijadikan agunan tidak dimark-up,
yaitu dinilai lebih tinggi dari nilai yang sesungguhnya.
b. Setelah kredit macet:
1. Setelah kredit menjadi macet, debitur tidak sulit dihubungi oleh
Bank/BPPN.
2. Setelah kredit menjadi macet, nasabah mengajukan permohonan
untuk merestrukturisasi hutangnya kepada Bank/BPPN. Hal ini
merupakan pertanda bahwa debitur bersikap positif terhadap
penyelesaian kreditnya.

Universitas Sumatera Utara

33

C. Syarat Sahnya Perjanjian
Menurut Pasal 1320 KUHPerdata, suatu perjanjian itu sah harus terpenuhi
4 syarat, yaitu:
a. Adanya kata sepakat;
Kata sepakat Kata sepakat berarti persesuaian kehendak, maksudnya
memberikan persetujuan atau kesepakatan. Jadi sepakat merupakan pertemuan
dua kehendak dimana kehendak pihak yang satu saling mengisi dengan apa yang
dikehendaki pihak lain dan kehendak tersebut saling bertemu.
Menurut Subekti, yang dimaksud dengan kata sepakat adalah persesuaian
kehendak antara dua pihak yaitu apa yang dikehendaki oleh pihak ke satu juga
dikehendaki oleh pihak lain dan kedua kehendak tersebut menghendaki sesuatu
yang sama secara timbal balik. Dan dijelaskan lebih lanjut bahwa dengan hanya
disebutkannya "sepakat" saja tanpa tuntutan sesuatu bentuk cara (formalitas)
apapun sepertinya tulisan, pemberian tanda atau panjer dan lain sebagainya, dapat
disimpulkan bahwa bilamana sudah tercapai sepakat itu, maka sahlah sudah
perjanjian itu atau mengikatlah perjanjian itu atau berlakulah ia sebagai Undangundang bagi mereka yang membuatnya. 35
J. Satrio, menyatakan, bahwa
Kata sepakat sebagai persesuaian kehendak antara dua orang di mana dua
kehendak saling bertemu dan kehendak tersebut harus dinyatakan.
Pernyataan kehendak harus merupakan pernyataan bahwa ia menghendaki
timbulnya hubungan hukum. Dengan demikian adanya kehendak saja
belum melahirkan suatu perjanjian karena kehendak tersebut harus
diutarakan, harus nyata bagi yang lain dan harus dimengerti oleh pihak
lain. 36
35

Subekti, Bunga Rampai Ilmu Hukum, Alumni, Bandung, 1992, hal. 4
J. Satrio, Hukum Jaminan, Hak-Hak Jaminan Kebendaan, PT. Citra Aditya Bakti
Bandung, 1993, hal. 129
36

Universitas Sumatera Utara

34

Di dalam KUHPerdata tidak dijelaskan mengenai kata sepakat ini, tetapi di
dalam Pasal 1321 ditentukan syarat bahwa tidak ada sepakat yang sah apabila
sepakat itu diberikan karena kekhilafan atau diperolehnya karena dengan paksaan
atau penipuan. Dari pasal ini dapat disimpulkan bahwa terjadinya kata sepakat
antara masing-masing pihak harus diberikan secara bebas atau tidak boleh ada
paksaan, kekhilafan dan penipuan.
Menurut Soebekti, menyatakan bahwa : 37
Paksaan adalah paksaan rohani atau paksaan jiwa (psychis) jadi bukan
paksaan badan (fisik). Selanjutnya kekhilafan terjadi apabila salah satu
pihak khilaf tentang hal-hal yang pokok dari apa yang diperjanjikan atau
tentang sifat-sifat yang penting dari barang yang menjadi objek perjanjian.
Kekhilafan tersebut harus sedemikian rupa sehingga seandainya orang itu
tidak khilaf mengenai hal-hal tersebut ia tidak akan memberikan
persetujuan. Kemudian penipuan terjadi apabila satu pihak dengan sengaja
memberikan keterangan-keterangan yang palsu atau tidak benar disertai
dengan tipu muslihat unuk membujuk pihak lawannya memberikan
perizinannya. Dengan demikian suatu perjanjian yang kata sepakatnya
didasarkan paksaan, kekhilafan, penipuan maka perjanjian itu di kemudian
hari dapat dimintakan pembatalannya oleh salah satu pihak.
b. Cakap untuk membuat perjanjian (bertindak)
Dalam Pasal 1329 KUHPerdata menyebutkan bahwa setiap orang adalah
cakap untuk membuat suatu perjanjian dengan ketentuan oleh undang-undang
tidak ditentukan lain yaitu ditentukan sebagai orang yang tidak cakap untuk
membuat suatu perjanjian. Selanjutnya Pasal 1330 KUHPerdata menyebutkan
bahwa orang yang tidak cakap membuat perjanjian:
1) Orang yang belum dewasa
2) Mereka yang berada di bawah pengampuan/perwalian dan

37

Subekti, Op.Cit., hal. 23-24.

Universitas Sumatera Utara

35

3) Orang perempuan/isteri dalam hal telah ditetapkan oleh Undang-undang
dan semua orang kepada siapa undang-undang telah melarang membuat
perjanjian-perjanjian tertentu.
Mengenai orang yang belum dewasa diatur dalam Pasal 1330
KUHPerdata, dinyatakan bahwa "belum dewasa adalah mereka yang belum
mencapai umur genap 21 (dua puluh satu) tahun dan sebelumnya belum kawin".
Apabila perkawinan itu dibubarkannya sebelum umur mereka genap 21 (dua
puluh satu) tahun, maka mereka tidak kembali lagi dalam kedudukan belum
dewasa. 38Namun dalam Undang-Undang Nomor 30 Tahun 2004 tentang Jabatan
Notaris, Pasal 39 dan 40 dinyatakan untuk penghadap dan saksi paling sedikit
berumur 18 tahun atau telah menikah. Dalam hal ini cakap bertindak untuk
keperluan khusus. Selanjutnya dalam Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1974
dinyatakan cukup umur untuk kawin adalah 18 tahun. Sehingga apabila seseorang
belum berusia genap 21 tahun tetapi telah kawin menimbulkan konsekuensi
menjadi cakap bertindak. Dengan demikian dasar usia cakap untuk bertindak, jika
tidak untuk keperluan khusus (telah diatur dalam undang-undang tertenu) maka
usia yang dipakai adalah dua puluh satu tahun atau telah menikah mendasarkan
Pasal 1330 KUHPerdata.
Mengenai pengampuan/perwalian telah diatur dalam Pasal 433 dan 345,
bunyinya sebagai berikut:
Pasal 433:
Setiap orang dewasa, yang selalu berada dalam keadaan dungu, sakit otak atau
mata gelap harus ditaruh di bawa pengampuan, walaupun jika ia kadang-kadang
38

Mariam Darus Badrulzaman, dkk., Kompilasi Hukum Perikatan,
Aditya Bakti, 2001, hal. 78.

Bandung: Citra

Universitas Sumatera Utara

36

cakap menggunakan pikirnya. Seorang dewasa boleh juga ditaruh di bawah
pengampuan karena keborosannya.
Pasal 345:
Apabila salah satu dari kedua orang tua meninggal dunia maka perwalian terhadap
anak-anak kawin yang belum dewasa, demi hukum dipangku oleh orang tua yang
hidup terlama, sekadar ini tidak telah dibebaskan atau dipecat dari kekuasaan
orang tuanya.
Selanjutnya untuk penjelasan tentang orang perempuan/isteri dalam hal
telah ditetapkan oleh undang-undang dan semua orang kepada siapa undangundang telah melarang membuat persetujuan-persetujuan tertentu, diatur pula
dalam Pasal 108 KUHPerdata disebutkan bahwa seorang perempuan yang
bersuami, untuk mengadakan suatu perjanjian, memerlukan bantuan atau izin
(kuasa tertulis) dari suaminya. Namun hal ini sudah tidak berlaku dengan adanya
Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1974 tentang Perkawinan, yakni Pasal 31 yang
menyatakan: hak dan kedudukan isteri adalah seimbang dengan hak dan
kedudukan suami dalam kehidupan rumah tangga dan pergaulan hidup bersama
dalam masyarakat.
Soebekti menjelaskan bahwa dari sudut keadilan, perlulah bahwa orang
yang membuat suatu perjanjian dan nantinya akan terikat oleh perjanjian itu,
mempunyai cukup kemampuan untuk menginsyafi benar-benar akan tanggung
jawab yang dipikulnya dengan perbuatannya itu. Sedangkan dari sudut ketertiban
hukum,

karena

seorang

yang

membuat

suatu

perjanjian

itu

berarti

mempertaruhkan kekayaannya, maka orang tersebut haruslah seorang yang
sungguh-sungguh berhak bebas berbuat dengan harta kekayaannya. 39

39

Subekti, Op.Cit., hal. 23-24.

Universitas Sumatera Utara

37

c. Adanya suatu hal tertentu
Suatu hal tertentu dalam suatu perjanjian ialah objek perjanjian. Objek
perjanjian adalah prestasi yang menjadi pokok perjanjian yang bersangkutan.
Prestasi itu sendiri bisa berupa perbuatan untuk memberikan suatu, melakukan
sesuatu atau tidak melakukan sesuatu.
Di dalam KUHPerdata Pasal 1333 ayat (1) menyebutkan bahwa suatu
perjanjian harus mempunyai suatu hal tertentu sebagai pokok perjanjian yaitu
barang yang paling sedikit ditentukan jenisnya. Mengenai jumlahnya tidak
menjadi masalah asalkan di kemudian hari ditentukan Pasal 1333 ayat (2).
d. Adanya suatu sebab/kausa yang halal
Sebab atau kausa di sini bukanlah sebab yang mendorong orang tersebut
melakukan perjanjian. Sebab atau kausa suatu perjanjian adalah tujuan bersama
yang hendak dicapai oleh para pihak,

40

sedangkan sebagaimana yang telah

dikemukakan Soebekti, adanya suatu sebab yang dimaksud tiada lain daripada isi
perjanjian. Pada Pasal 1337 KUHPerdata menentukan bahwa suatu sebab atau
kausa yang halal adalah apabila tidak dilarang oleh undang-undang, tidak
bertentangan dengan ketertiban umum dan kesusilaan. Perjanjian yang tidak
mempunyai sebab yang tidak halal akan berakibat perjanjian itu batal demi
hukum. Pembebanan mengenai syarat subyektif dan syarat obyektif itu penting
artinya berkenaan dengan akibat yang terjadi apabila persyaratan itu tidak
terpenuhi. Tidak terpenuhinya syarat subyektif mengakibatkan perjanjian tersebut
merupakan perjanjian yang dapat dimintakan pembatalannya. Pihak di sini yang
40

Sri Soedewi Masjchon, Hukum Jaminan di Indonesia Pokok-Pokok Hukum JAminan
dan Jaminan Perorangan, Yogyakarta: Liberty, 1990, hal. 319

Universitas Sumatera Utara

38

dimaksud adalah pihak yang tidak cakap menurut hukum dan pihak yang
memberikan perizinannya atau menyetujui perjanjian itu secara tidak bebas.
Misalkan orang yang belum dewasa yang memintakan pembatalan orang tua atau
walinya ataupun ia sendiri apabila ia sudah menjadi cakap dan orang yang ditaruh
di bawah pengampuan yang menurut hukum tidak dapat berbuat bebas dengan
harta kekayaannya diwakili oleh pengampu atau kuratornya. Dan apabila syarat
obyektif tidak terpenuhi, maka perjanjian itu batal demi hukum, artinya dari
semula tidak pernah dilahirkan suatu perjanjian dan tidak pernah ada suatu
perikatan. Tujuan para pihak yang mengadakan perjanjian tersebut untuk
melahirkan suatu perikatan hukum adalah gagal. Maka tiada dasar untuk saling
menuntut di depan hakim. Perjanjian seperti itu disebut null and void. Sedangkan
tidak terpenuhinya syarat obyektif mengakibatkan suat perjanjian batal demi
hukum.

D. Prestasi dan Wanprestasi
1. Prestasi
Prestasi atau yang dalam Bahasa Ingris disebut juga dengan istilah
“performance” dalam hukum kontrak dimaksudkan sebagai suatu pelaksanaan
hal-hal yang tertulis dalam suatu kontrak oleh pihak yang telah mengingatkan diri
untuk itu, pelaksanaan mana sesuai dengan “term” dan “condition” sebagaimana
disebutkan dalam kontrak yang bersangkutan. Prestasi merupakan kewajiban yang
tanggungan dan harus dilaksanakan oleh debitur dalam setiap perikatan. Menurut
Pasal 1234 KUH Perdata setiap perikatan adalah untuk memberikian sesuatu,

Universitas Sumatera Utara

39

untuk berbuat sesuatu atau tidak melakukan sesuatu. Dengan demikian wujud
prestasi itu adalah memberikan sesuatu, berbuat sesuatu atau tidak berbuat
sesuatu. 41
Prestasi adalah esesnsi dari perikatan, apabila esensi ini tercapai dalam arti
dipenuhi oleh debitur maka perikatan tersebut berakhir dan agar esensi itu dapat
tercapai maka artinya kewajiban itu telah dipenuhi oleh debitur.
2. Wanprestasi
Wanprestasi (default atau non fulfilment, ataupun yang disebutkan juga
dengan istilah breach of contract) yang dimaksudkan adalah tidak dilaksanakan
prestasi atau kewajiban sebagaimana mestinya yang dibebankan oleh kontrak
terhadap pihak-pihak tertentu seperti yang dimaksudkan dalam kontrak yang
bersangkutan. 42
Ada berbagai model bagi para pihak yang tidak memenuhi prestasinya
walaupun

sebelumnya

sudah

setuju

untuk

wanprestasi tersebut adalah sebagai berikut :

dilaksanakannya.Model-model

43

a. Wanprestasi berupa tidak memenuhi prestasi;
b. Wanprestasi berupa terlambat memenuhi prestasi;
c. Wanprestasi berupa tidak sempurna memenuhi prestasi;
d. Wanprestasi melakukan sesuatu yang oleh perjanjian tidak boleh
dilakukan.
Ada empat akibat adanya wanprestasi, yaitu sebagai berikut: 44

41

Abdulkadir Muhammad, Hukum Perikatan, Bandung : Citra Aditya Bakti , 1992, hal 7
Munir Fuady, Hukum Kontrak (Dari Sudut Pandang Hukum Bisnis), Bandung: Citra
Aditya Bakti, 2001, hal. 87-88
43
Ibid.
42

Universitas Sumatera Utara

40

a. Perikatan tetap ada
Kreditur masih dapat memenuhi kepada debitur pelaksanaan prestasi,
apabila ia terlambat memenuhi prestasi. Disamping itu, kreditur berhak
menuntut ganti rugi akibat keterlambatan melaksanakan prestasinya. Hal
ini disebabkan kreditur akan mendapat keuntungan apabila debitur
melaksanakan prestasi tepat pada waktunya.
b. Debitur harus membayar ganti rugi kepada kreditur (Pasal 1243 KUH
Perdata).
c. Beban risiko beralih untuk kerugian debitur, jika halangan itu timbul
setelah debitur wanprestasi, kecuali bila ada kesenjangan atau kesalahan
besar dari pihak kreditur. Oleh karena itu, debitur tidak dibenarkan untuk
berpegang pada keadaan memaksa.
d. Jika perikatan lahir dari perjanjian timbal balik, kreditur dapat
membebaskan diri dari kewajibannya memberikan kontra prestasi dengan
menggunakan Pasal 1266 KUH Perdata.

E. Onrechtmatige Daad (Perbuatan Melawan Hukum)
Hukum di Prancis yang semula juga mengambil dasar-dasar dari hukum
Romawi, yaitu teori tentang culpa dari Lex Aquilla, kemudian terjadi proses
generalisasi, yakni dengan berkembangnya suatu prinsip perbuatan melawan
hukum yang sederhana, tetapi dapat menjaring semua (catch all), berupa
perbuatan melawan hukum yang dirumuskan sebagai perbuatan yang merugikan

44

R. Subekti, Jaminan-jaminan untuk Pemberian Kredit Menurut Hukum Indonesia.
Bandung: Alumni. 1986, hal. 13.

Universitas Sumatera Utara

41

orang lain, yang menyebabkan orang yang karena salahnya menimbulkan
kerugian tersebut harus mengganti kerugian. Rumusan tersebut kemudian diambil
dan diterapkan di negeri Belanda yang kemudian oleh Belanda dibawa ke
Indonesia, yang rumusan seperti itu sekarang kita temukan dalam Pasal 1365
KUH Perdata Indonesia. Rumusan perbuatan melawan hukum yang berasal dari
KUH Perdata Prancis tersebut pada paruh kedua abad ke-19 banyak
mempengaruhi perkembangan teori perbuatan melawan hukum (tort) versi hukum
Anglo Saxon 45
1. Sistem Civil Law
Perkembangan sejarah tentang perbuatan melawan hukum (PMH) di
negeri Belanda dapat dibagi dalam tiga periode: 46
a. Periode sebelum tahun 1838
Burgerlijk Wetboek (BW) di negeri Belanda baru dikodifikasikan pada
tahun 1838, secara otomatis ketentuan seperti Pasal 1365 KUH Perdata di
Indonesia bahkan belum ada di Belanda.
b. Periode antara tahun 1838-1919
Setelah BW Belanda dikodifikasi, mulailah berlaku ketentuan dalam Pasal
1401 (yang sama dengan Pasal 1365 KUH Perdata Indonesia) tentang perbuatan
melawan hukum (onrechtmatige daad). Meskipun kala itu sudah ditafsirkan
bahwa yang merupakan perbuatan melawan hukum, baik berbuat sesuatu (aktif
berbuat) maupun tidak berbuat sesuatu (pasif) yang merugikan orang lain baik
yang disengaja maupun yang merupakan kelalaian sebagaimana yang dimaksud
45

Munir Fuady, Perbandingan Hukum Perdata, Bandung: Citra Aditya Bakti, 2005, hal.

80
46

Ibid., hal 84-85

Universitas Sumatera Utara

42

dalam Pasal 1366 KUHPerdata Indonesia, tetapi sebelum tahun 1919, dianggap
tidak termasuk ke dalam perbuatan melawan hukum jika perbuatan tersebut hanya
merupakan tindakan yang bertentangan dengan kesusilaan atau bertentangan
dengan putusan masyarakat perihal memperhatikan kepentingan orang lain.
c. Periode setelah tahun 1919
Terjadi penafsiran luas melalui putusan Hoge Raad terhadap perbuatan
melawan hukum dalam Pasal 1401 BW Belanda atau 1365 KUH Perdata
Indonesia kasus Lindenbaum versus Cohen. Perkembangan tersebut adalah
dengan bergesernya makna perbuatan melawan hukum, dari semula yang cukup
kaku kepada perkembangannya yang luas dan luwes. dalam Pasal 1365 KUH
Perdata sebagai “rumusan ajaib” yang diharapkan dapat mencakupi setiap macam
perbuatan melawan hukum, seperti satu jenis obat yang dapat mengobati segala
macam penyakit.
Di Belanda sendiri, saat ini terdapat perumusan yang memiliki inti yang
sama, namun dengan susunan kata yang berbeda yaitu dalam Nieuw Nederlands
Burgerlijk Wetboek, konsep onrechtmatigedaad terdapat dalam buku 6 titel 3
artikel

162.

Perbuatan

Melawan

Hukum

dirumuskan

sebagai 47:

“Als

onrechtmatige daad worden aangemerkt een inbreuk op een recht en een doen of
nalaten in strijd met een wettelijke plicht of met hetgeen volgens ongeschreven
recht in het maatschappelijk verkeer betaamt, een ander behoudens de
aanwezigheid van een rechtvaardigingsgrond”. (Terjemahannya bebasnya yaitu :
Perbuatan melawan hukum adalah perbuatan yang melanggar hak (subyektif)
47

M. Erza Pahlevi, Perbedaan Perbuatan Melawan Hukum dan Perbuatan Menurut
Hukum, http://semuatentanghukum.blogspot.com/2009/12/perbedaan-perbuatan-melawan-hukumdan.html, diakses 1 April 2014.

Universitas Sumatera Utara

43

orang lain atau perbuatan (atau tidak berbuat) bertentangan dengan kewajiban
menurut undang-undang atau bertentangan dengan apa yang menurut hukum tidak
tertulis yang seharusnya dijalankan oleh seorang dalam pergaulannya dengan
sesama warga masyarakat dengan mengingat adanya alasan pembenar menurut
hukum) Adalah hal yang sangat masuk akal bahwa perumusan baru ini lebih
jelas, oleh karena mengenai unsur perbuatan melawan hukum, tidak hanya
mencakup melanggar hak orang lain atau melanggar kewajiban, namun juga
mencakup kesusilaan dan sikap baik bermasyarakat, dimana dua unsur yang
terakhir ini timbul pada tahun 1919 yang berasal dari suatu putusan Hoge Raad
dan bukan dari peraturan perundang-undangan, sementara Belanda sebagai negara
Civil Law membutuhkan perumusan yang baku melalui kodifikasi dalam bentuk
peraturan perundang-undangan (dan bukan yurisprudensi) demi terpenuhinya
kepastian hukum.
2. Sistem Common Law
Sampai dengan penghujung abad ke-19, perbuatan melawan hukum belum
dianggap sebagai suatu cabang hukum yang berdiri sendiri, tetapi hanya
merupakan sekumpulan dari writ (model gugatan yang baku) yang tidak
terhubung satu sama lain. 48
Penggunaan writ ini kemudian lambat laun menghilang. Seiring dengan
proses hilangnya sistem writ di Amerika Serikat, maka perbuatan melawan hukum

48

Munir Fuady, Op,Cit., hal. 81

Universitas Sumatera Utara

44

mulai diakui sebagai suatu bidang hukum tersendiri hingga akhirnya dalam sistem
hukum Anglo Saxon, suatu perbuatan melawan hukum terdiri dari tiga bagian: 49
1. Perbuatan dengan unsur kesengajaan (dengan unsur kesalahan)
2. Perbuatan kelalaian (dengan unsur kesalahan)
3. Perbuatan tanpa kesalahan (tanggung jawab mutlak)
Menurut bahasa Belanda, melawan hukum adalah wederrechtelijk (weder:
bertentangan dengan, melawan; recht: hukum). Menurut Pendapat para ahli di
dalam buku Teguh Prasetyo mengenai pengertian melawan hukum antara lain
adalah dari: 50
a. Simon: Melawan hukum berarti bertentangan dengan hukum pada
umumnya.
b. Noyon: Melawan hukum berarti bertentangan dengan hak subjektif orang
lain.
c. Pompe: Melawan hukum berarti bertentangan dengan hukum dengan
pengertian yang lebih luas, bukan hanya bertentangan dengan undangundang tetapi juga dengan hukum yang tidak tertulis.
d. Van hamel: Melawan hukum adalah onrechmatig atau tanpa hak/
wewenang.
e. Hoge raad: Dari arrest-arrest-nya dapat disimpulkan, menurut HR
melawan hukum adalah tanpa hak atau tanpa kewenangan. (arrest 18-121911 W 9263).
f. Lamintang: Berpendapat, perbedaan diantara pakar tersebut antara lain
disebabkan karena dalam bahasa Belanda recht dapat berarti ”hukum” dan
49

Ibid., hal 3
Teguh Prasetyo dan Abdul Hakim Barkatullah, Politik Hukum Pidana Kajian Kebijakan
Kriminalisasai dan Deskriminalisasi. Yogyakarta: Pustaka Pelajar, 2005, hal. 31-32
50

Universitas Sumatera Utara

45

dapat berarti “hak.” Ia mengatakan, dalam bahasa Indonesia kata
wederrechtelijk itu berarti “secara tidak sah” yang dapat meliputi
pengertian “bertentangan dengan hukum objektif” dan “bertentangan
dengan hak orang lain atau hukum subjektif”.Hoge Raad pada tanggal 31
Januari 1919, N. J. 1919, W. 10365 berpendapat, antara lain sebagai
berikut:

“onrechmatig tidak lagi hanya berarti apa yang bertentangan

dengan hak orang lain atau bertentangan dengan kewajiban hukum si
pelaku, melainkan juga apa yang bertentangan baik dengan tata susila
maupun kepatutan dalam pergaulan masyarakat.” 51
Melawan hukum artinya meskipun perbuatan tersebut tidak diatur dalam
peraturan perundang-undangan (melawan hukum formil) namun apabila perbuatan
tersebut dianggap tercela karena tidak sesuai dengan rasa keadilan atau normanorma kehidupan sosial dalam masyarakat (melawan hukum materil) maka
perbuatan tersebut dapat dipidana. Menentukan perbuatan itu dapat dipidana,
pembentuk undang-undang menjadikan sifat melawan hukum sebagai unsur yang
tertulis. Tanpa unsur ini, rumusan undang-undang akan menjadi terlampau luas.
Sifat ini juga dapat dicela kadang-kadang dimasukkan dalam rumusan delik culpa.
Jika unsur melawan hukum itu dengan tegas terdapat di dalam rumusan delik,
maka unsur juga harus dibuktikan, sedangkan jika dengan tegas dicantumkan
maka tidak perlu dibuktikan. Untuk menentukan apakah suatu perbuatan
dikatakan perbuatan melawan hukum diperlukan unsur-unsur: 52

51

Leden Marpaung, Asas-Teori-Praktik Hukum Pidana, Sinar Grafika, Jakarta, 2005, hal

44
52

Theodorus M. Tuanakotta, Menghitung Kerugian Keuangan Negara Dalam Tindak
Pidana Korupsi, Salemba Empat, 2009, hal. 73

Universitas Sumatera Utara

46

1) Perbuatan tersebut melawan hukum;
2) Harus ada kesalahan pada pelaku;
3) Harus ada kerugian.

47

Suatu tindakan pada umumnya dapat hilang sifatnya sebagai melawan
hukum bukan hanya berdasarkan ketentuan-ketentuan dalam perundang-undangan
melainkan juga berdasarkan asas-asas keadilan atau asas-asas hukum yang tidak
tertulis dan bersifat umum dalam suatu perkara, misalnya faktor negara tidak
dirugikan, kepentingan umum dilayani dan terdakwa sendiri tidak mendapat
untung.

Universitas Sumatera Utara

Dokumen yang terkait

Perlindungan Hukum Perjanjian Kredit dengan Jaminan Surat Keputusan Pengangkatan Anggota Dewan Perwakilan Rakyat Daerah Kota Medan (Studi Bank Sumut Pusat)

1 56 94

Mekanisme objek agunan kredit pada Bank Rakyat Indonesia dengan jaminan surat keputusan pegawai negeri sipil dilingkungan pemerintahan daerah khusus ibukota Jakarta

0 8 104

PRINSIP KEHATI-HATIAN DALAM PERJANJIAN KREDIT PEGAWAI DENGAN JAMINAN SURAT KEPUTUSAN PENGANGKATAN PEGAWAI NEGERI SIPIL (Studi Pada PT Bank Lampung Kantor Cabang Utama)

0 18 31

ASPEK JAMINAN DALAM PERJANJIAN KREDIT DENGAN JAMINAN SURAT KEPUTUSAN PEGAWAI NEGERI SIPIL ASPEK JAMINAN DALAM PERJANJIAN KREDIT DENGAN JAMINAN SURAT KEPUTUSAN PEGAWAI NEGERI SIPIL (Studi di PT. Bank Rakyat Indonesia Cabang Solo Slamet Riyadi Unit Palur).

0 1 12

Perlindungan Hukum Terhadap Perjanjian Kredit Dengan Jaminan Surat Keputusan Pengangkatan Pegawai Negeri Sipil (Studi PT. Bank Rakyat Indonesia, Tbk) Cabang Medan

0 0 8

Perlindungan Hukum Terhadap Perjanjian Kredit Dengan Jaminan Surat Keputusan Pengangkatan Pegawai Negeri Sipil (Studi PT. Bank Rakyat Indonesia, Tbk) Cabang Medan

0 0 1

Perlindungan Hukum Terhadap Perjanjian Kredit Dengan Jaminan Surat Keputusan Pengangkatan Pegawai Negeri Sipil (Studi PT. Bank Rakyat Indonesia, Tbk) Cabang Medan

0 0 14

Perlindungan Hukum Terhadap Perjanjian Kredit Dengan Jaminan Surat Keputusan Pengangkatan Pegawai Negeri Sipil (Studi PT. Bank Rakyat Indonesia, Tbk) Cabang Medan

0 0 3

Tinjauan Yuridis Terhadap Penyelesaian Kredit Macet Dalam Perjanjian Kredit Perbankan Dengan Jaminan Surat Keputusan Pengangkatan Pegawai Negeri Sipil (Studi Pada PT Bank Rakyat Indonesia (Persero), Tbk Cabang Lubuk Pakam)

0 0 6

TINJAUAN YURIDIS TERHADAP PENYELESAIAN KREDIT MACET DALAM PERJANJIAN KREDIT PERBANKAN DENGAN JAMINAN SURAT KEPUTUSAN PENGANGKATAN PEGAWAI NEGERI SIPIL (Studi pada PT Bank Rakyat Indonesia (Persero), Tbk Cabang Lubuk Pakam)

0 0 9