Histeroskopi Operatif pada Lesi Jinak Intrauterin

HISTEROSKOPI OPERATIF PADA LESI
JINAK INTRAUTERIN

OLEH
M. OKY PRABUDI

DEPARTEMEN OBSTERI DAN GINEKOLOGI
FAKULTAS KEDOKTERAN
UNIVERSITAS SUMATERA UTARA
RSUP. H. ADAM MALIK
MEDAN

DAFTAR ISI
Halaman
DAFTAR ISI ....................................................................................................
i
Histeroskopi Operatif pada Lesi Jinak Instrauterin..........................................

1

Gambaran Prosedur ..........................................................................................


3

Histeroskopi .....................................................................................................

3

Resektoskop .....................................................................................................

4

Peralatan Operasi Tambahan............................................................................

4

Medium Pengembang.......................................................................................

5

Sistem Manajemen Cairan ...............................................................................


6

Anestesi ............................................................................................................

7

Histeroskopi Diagnostik ...................................................................................

8

Histeroskopi Operatif .......................................................................................

11

Prosedur............................................................................................................

11

Evaluasi Preoperatif .........................................................................................


12

Perawatan Preoperatif ......................................................................................

13

Perawatan Intraoperatif ....................................................................................

13

Perawatan Pasca Operatif.................................................................................

14

Komplikasi .......................................................................................................

15

Komplikasi Terkait Prosedur ...........................................................................


15

Komplikasi Terkait Medium ............................................................................

17\

Komplikasi Lambat ..........................................................................................

20

Kesimpulan ......................................................................................................

20

Daftar Pustaka ..................................................................................................

21

HISTEROSKOPI OPERATIF PADA LESI

JINAK INTRAUTERIN

OLEH:
M. OKY PRABUDI

DEPARTEMEN OBSTETRI DAN GINEKOLOGI
FAKULTAS KEDOKTERAN UNIVERSITAS SUMATERA UTARA
RSUP. H. ADAM MALIK MEDAN
2015

Histeroskopi Operatif pada Lesi Jinak Intrauterin

Histeroskopi adalah prosedur invasif minimal yang dapat mendiagnosis
dan mengobati banyak kelainan endoserviks intrauterin (Tabel 1). Histeroskopi
telah mengubah praktek ginekologi dengan cara meningkatkan kemampuan dokter
untuk mengelola kondisi endoserviks, endometrium, dan ostium tuba, tetapi
pengetahuan dan keterampilan diperlukan untuk mengoptimalkan hasil dan
keamanan prosedur ini1.
Sejak awal tahun 1980-an, histeroskopi telah membuka pemandangan
diagnostik baru untuk evaluasi diagnostik dari saluran leher rahim dan rongga

rahim, mengungkapkan batas yang melekat pada dilatasi, kuretase dan biopsi
endometrium jika dilakukan tanpa bimbingan visual. Dalam beberapa tahun
terakhir, banyak teknik telah berkembang yang memungkinkan histeroskopi
dilakukan pada pasien rawat jalan tanpa menggunakan anestesi. Dilatasi kanalis
serviks juga digunakan untuk biopsi sampel atau pengobatan menggunakan
histeroskopi untuk polip endometrium, mioma kecil, sinekia, atau malformasi
uterus, seperti septa uterus1,2.
Saat ini, sebagian besar prosedur bedah yang dilakukan dengan bantuan
histeroskopi memberikan hasil yang lebih baik daripada menggunakan teknik
laparoskopi tradisional yang dalam hal prosedur invasif tidak dapat ditentukan
dengan perbandingan mutlak. Munculnya inovasi teknis baru-baru ini telah
merevolusi bidang histeroskopi sehingga memungkinkan untuk melakukan
pemeriksaan endoskopi komprehensif pada rongga rahim bagi pasien rawat jalan,
tanpa menggunakan anestesi atau dilatasi awal saluran leher rahim. Akibatnya,
rentang indikasi untuk prosedur histeroskopi telah berkembang dengan pesat.
Teknik histeroskopi diindikasikan pada semua kasus yang membutuhkan,
setidaknya secara teoritis, visualisasi langsung dari saluran leher rahim dan rongga
rahim. Histeroskopi diagnostik dan surgikal telah menjadi baku emas dalam
praktek ginekologi2,3.
Histeroskopi memungkinkan dilakukannya penanganan pada keadaan

patologis yang bersifat pada situasi rawat jalan. Prosedur bedah histeroskopi, atau

1

dengan kata lain, operasi histeroskopi besar, dilakukan di ruang operasi. Beberapa
indikasi sebelumnya untuk dilakukan teknik operasi laparotomi konvensional,
seperti malformasi uterus, adhesi intrauterine, mioma submukosa dan intramural,
saat ini telah termasuk dalam ruang lingkup indikasi teknik histeroskopi.
Pengobatan perdarahan uterus disfungsional dengan histerektomi sebagian besar
telah digantikan oleh ablasi atau reseksi endometrium di bawah kendali
histeroskopi, karena teknik yang terakhir ini dianggap lebih cocok untuk menjaga
integritas dari saluran uroginekologi dan telah terbukti kurang invasif untuk
pasien2,3.

Tabel 1. Indikasi Histeroskopi Diagnostik dan Operatif1
Diagnosis
Evaluasi perdarahan uterus abnormal
Pemeriksaan lanjutan pada kasus infertilitas (kombinasi dengan laparoskopi atau
ultrasonografi 3 dimensi).
Evaluasi lanjutan pada temuan ultrasonografi uterus yang abnormal.

Evaluasi lanjutan pada hasil biopsi endometrium yang abnormal. Biopsi
endometrium
Terapi
Miomektomi (mioma intracavitary dan beberapa mioma intramural)
Polipektomi endometrium
Pembuangan lesi pada endoservik.
Pengambilan benda asing (misalnya, laminaria, malposisi alat intrauterine, hasil
konsepsi yang tertahan)
Eksisi adhesi intrauterin.
Perbaikan septum uteri.
Ablasi/reseksi endometrium.
Sterilisasi histeroskopik.
Tuboplasti atau kanulasi.

Tabel 2. Kontraindikasi Histeroskopi1
Kehamilan intrauterin viabel
Penyakit Radang Panggul
Servisitis mukopurulen
Infeksi herpes aktif atau prodromal
Kanker serviks


2

GAMBARAN PROSEDUR
Sebelum histeroskopi, pemeriksaan vulva dan pemeriksaan bimanual
diperlukan untuk menentukan posisi uterus dan untuk menyingkirkan nyeri tekan
pada adneksa atau pelvik. Pengetahuan tentang posisi rahim membantu untuk
penempatan orientasi dari histeroskop dan mengurangi risiko perforasi uterus4,.
Teknik tradisional untuk memasukkan histeroskop memerlukan spekulum
dan, jika perlu, tenakulum. Setelah spekulum dimasukkan ke dalam vagina,
serviks dibersihkan dengan larutan antiseptik. Ujung distal histeroskop ini
kemudian dimasukkan ke dalam leher rahim, diikuti dengan inspeksi endoserviks
secara panoramik. Histeroskop sebaiknya dimasukkan lebih dalam ke rahim
dibawah visualisasi langsung secara perlahan. Setelah histeroskop berada di dalam
rongga rahim, topografi rongga endometrial dan ostium tuba dinilai. Jika dijumpai
suatu hal yang abnormal, histeroskop operatif yang dilengkapi dengan instrumen
berspesifikasi khusus dapat digunakan untuk melakukan biopsi atau membuang
lesi. Teknik histeroskopi vaginoskopik semakin banyak dianjurkan. Tanpa
penggunaan spekulum, histeroskop ditempatkan ke dalam vagina bagian bawah,
kemudian dilakukan pengembangan medium, dan histeroskop dimasukkan lebih

lanjut ke dalam kanalis serviks4.

HISTEROSKOPI
Dasar dari histeroskop adalah optik teleskop atau perangkat fiberoptik tipis
yang terhubung ke sumber cahaya. Sebuah kamera video dapat terpasang pada
ujung proksimal histeroskop. Pemantauan video dan fotografi memungkinkan
pasien untuk mengamati jalannya prosedur dan adanya dokumentasi foto untuk
rekam medis. Untuk histeroskopi diagnostik, cahaya rendah dapat memberikan
pencahayaan yang adekuat. Jika kamera video digunakan, diperlukan sumber
cahaya xenon atau halogen dengan kekuatan yang lebih tinggi4.
Histeroskop dapat dibagi menjadi 2 jenis, fleksibel dan kaku, yang tersedia
dalam berbagai diameter. Histeroskop yang tipis, fleksibel cenderung lebih
disukai untuk histeroskopi diagnostik, sedangkan histeroskop yang kaku lebih
sering digunakan untuk histeroskopi operatif. Resektoskop adalah histeroskopi

3

operatif yang dilengkapi dengan perangkat khusus untuk melakukan prosedur
pembedahan1,4.


RESEKTOSKOP
Resektoskop histeroskopi merupakan adaptasi dari resektoskop urologi,
dengan kemampuan tambahan untuk mengadakan sirkulasi cairan terus-menerus.
Mekanisme aliran kontinu membersihkan debris dan mukus, memungkinkan
visualisasi

yang

lebih

baik

sepanjang

prosedur

bedah.

Resektoskopi

memungkinkan pengangkatan polip endometrium dan fibroid submukosa, biopsi
endometrium terarah, pembagian septum uterus, dan ablasi endometrium. Saat ini
tersedia histeroskopi operatif monopolar dan bipolar. Saat histeroskopi operatif
monopolar digunakan, pasien harus berada diatas suatu alas dispersif dan media
pengembang yang bersifat nonelektrolit dan nonkonduksi harus digunakan; saat
histeroskopi bipolar digunakan, larutan saline atau larutan Ringer laktat dapat
digunakan dan pasien tidak perlu ditempatkan diatas alas dispersif1,4.

PERALATAN OPERASI TAMBAHAN
Berbagai instrumen khusus tersedia untuk digunakan selama histeroskopi
operatif, termasuk instrumen bedah (misalnya forceps penggenggam, gunting,
forceps biopsi) dan peralatan elektrosurgikal dan laser1,4.
Instrumen bedah mungkin fleksibel, semirigid, atau kaku. Instrumen
fleksibel dan semirigid yang lebih kecil dapat digunakan untuk prosedur bedah
minor seperti pengambilan alat kontrasepsi dalam rahim (IUD), penghancuran
adhesi tipis, atau eksisi polip kecil. Namun, karena sifat mereka yang rapuh,
instrumen ini tidak dapat digunakan untuk menghilangkan fibroid atau polip besar.
Instrumen fleksibel dan semirigid biasanya dimasukkan melalui kateter khusus
dan alat tambahan. Instrumen kaku dapat menempel secara permanen pada ujung
distal dari selubung operasi atau dimasukkan melalui selubung penyeimbang.
Instrumen ini rapuh dan harus diperlakukan dengan hati-hati untuk mencegah
kerusakan1,3.

4

Lingkaran kawat yang dimodifikasi khusus, bola pemutar, dan elektroda
penguap dapat digunakan untuk reseksi, ablasi, atau mengeringkan jaringan
endometrium. Untuk elektroda monopolar, digunakan arus 60 sampai 100 watt.
Saat energi elektrik bipolar digunakan, pengaturan biasa diterapkan. Lingkaran
elektroda digunakan untuk reseksi fibroid submukosa (miomektomi), dan bola
pemutar digunakan untuk ablasi endometrium. Laser serat optik (yaitu, Nd: YAG,
argon, dan kalium-Titanyl-fosfat [KTP]) dapat digunakan untuk ablasi
endometrium, adhesiolisis, dan pengeringan lesi intrakaviter1,4.
Baru-baru ini, perangkat morcellator histeroskopi telah tersedia yang
memungkinkan reseksi cepat lesi intracavitary tanpa energi listrik. Manfaat
tambahan teknik ini meliputi penggunaan larutan saline sebagai medium
pengembang dan pengangkatan jaringan dengan mudah menggunakan alat isap
melalui selubung histeroskopi1,4.

MEDIUM PENGEMBANG
Rongga endometrium adalah ruang potensial; dimana rongga tersebut
harus mengembang untuk visualisasi yang memadai. Histeroskopi operatif
umumnya dilakukan dengan medium pengembang, sedangkan histeroskopi
diagnostik dapat dilakukan dengan cairan atau karbon dioksida (C02)1,4.
Karbon Dioksida (CO2) adalah medium pengembang pilihan untuk
histeroskopi diagnostik karena tidak berantakan, cepat diserap, dan memiliki
indeks refraktil sangat baik. Sebuah insuflator histeroskopi harus digunakan, yang
mengatur aliran dan membatasi tekanan intrauterin ke titik maksimum 100 mm
Hg. Tekanan yang lebih tinggi bisa mengakibatkan emboli CO2. Untuk alasan ini,
insuflator laparoskopi, yang memberikan tekanan dari 1 sampai 15 L / menit,
tidak boleh digunakan. CO2 melewati saluran tuba dan dapat menyebabkan nyeri
bahu karena iritasi diafragma. Gejala biasanya mereda dalam waktu 5 sampai 15
menit. Jika visualisasi dengan CO2 kurang baik, CO2 dapat segera diganti dengan
medium cair yang dimasukkan menggunakan tabung intravena (IV)1,4.

5

Medium Cair
Jenis energi listrik yang digunakan menentukan medium cair yang dipilih.
Sumber energi monopolar memerlukan larutan hipotonik (bebas elektrolit) seperti
dekstrosa 5%, glisin 1,5%, sorbitol 3%, atau manitol 5%. Glisin, cairan viskositas
rendah, digunakan dengan elektrokauter monopolar karena merupakan konduktor
listrik yang buruk, meminimalkan hemolisis selama irigasi, dan memperlihatkan
gambaran optik yang sangat baik. Jika larutan elektrolit secara tidak sengaja
digunakan selama resektoskopi monopolar, daya berdifusi dan tanpa energi yang
terarah, lingkaran kawat tidak akan terpotong. Sumber energi bipolar
membutuhkan larutan isotonik seperti normal saline atau Ringer laktat. Medium
pengembang ini menghantarkan arus listrik dan dapat digunakan pada prosedur
histeroskopi diagnostik, laser, atau mekanik1,4.
Hyskon® (dekstran 70 dalam 10% dekstrosa) memiliki viskositas tinggi,
bebas elektrolit, medium pengembang nonkonduktif yang dapat digunakan dengan
laser Nd: YAG dan sumber energi monopolar seperti pada histeroskopi diagnostik
dan operatif. Hyskon tidak dapat bercampur dengan darah dan dengan demikian
memberikan gambaran optik yang sangat jelas. Namun, terdapat beberapa
kerugian untuk penggunaannya. Media ini merupakan plasma expander dan dapat
menarik sejumlah besar air , menyebabkan kelebihan elektrolit dan cairan. Efek
samping lainnya adalah anafilaksis dan koagulopati. Selain itu, tidak ada pompa
cairan otomatis untuk mengukur aliran masuk dan keluar secara akurat, dan
kebocoran cairan di sekitar leher rahim sulit untuk diatasi dan diukur. Akhirnya,
sifat kental medium pengembang ini membuatnya sulit untuk disuntikkan dengan
jarum suntik atau pompa dan semua instrumen perlu dibersihkan dalam air panas
segera setelah digunakan1,4.

SISTEM MANAJEMEN CAIRAN
Karena cairan dapat diabsorbsi dengan cepat dan tak terduga, pemantauan
terus menerus sangat penting dilakukan. Perangkat modem ginekologi
menggunakan sistem manajemen cairan (pompa cairan otomatis) yang terus
mengukur jumlah cairan yang masuk dan keluar, dengan suara atau alarm visual

6

yang menandakan adanya defisit cairan. Dokter dapat mengatur defisit cairan
yang dapat ditoleransi berdasarkan faktor risiko pasien (misalnya, usia, fungsi
kardiovaskular, fungsi ginjal). Alarm menunjukkan keadaan untuk menghentikan
prosedur dan mengevaluasi pasien dengan cepat. Keuntungan lain pompa cairan
ini adalah kemampuan untuk menentukan tekanan intrauterin dan dengan mudah
menyesuaikan tekanan cairan untuk mengontrol perdarahan dan untuk
mengurangi gambaran rongga endometrium yang negatif palsu, yang mungkin
terjadi dengan tekanan endometrium lebih tinggi atau konstan. Perubahan tekanan
cairan intrauterin juga dapat membantu memfasilitasi reseksi fibroid uterus
dengan menyebabkan kontraksi miometrium, yang membantu enukleasi fibroid1,4.
Sistem manajemen cairan memainkan peranan penting dalam keamanan
histeroskopi operatif. Banyak sistem yang berlaku, dan penggunaannya
meningkatkan keselamatan pasien saat algoritme penanganan penyerapan cairan
diikuti. Jika sistem manajemen cairan otomatis tidak tersedia, dokter harus
bergantung pada metode kuno dengan menghitung jumlah cairan yang masuk dan
keluar1,4.

ANESTESI
Pilihan anestesi (yaitu, lokal, regional, atau general) tergantung pada
banyak faktor, termasuk pilihan dokter, status medis pasien, jenis dan
kompleksitas prosedur, kemampuan fasilitas, dan pilihan pasien. Histeroskopi
diagnostik dapat dilakukan dalam situasi rawat jalan tanpa anestesi. Prosedur
histeroskopi yang lebih kompleks biasanya dilakukan sebagai operasi rawat
jalan1,4.
Untuk histeroskopi diagnostik, NSAID dapat digunakan 1 sampai 2 jam
sebelum prosedur. Untuk pasien yang meminta anestesi, IV midazolam
(anxiolytic) dan fentanyl (analgesik) menawarkan onset kerja yang baik dan risiko
oversedasi yang rendah, obstruksi jalan napas, atau gangguan cardiopulmonal.
Untuk kasus yang lebih kompleks, sedasi sedang atau anestesi umum dapat
digunakan. Dokter yang melakukan anestesi harus menyadari efek samping obat
dan bersiap untuk mengelola jalan napas pasien dengan tepat1,4.

7

HISTEROSKOPI DIAGNOSTIK
Selama dekade terakhir, histeroskopi diagnostik dengan biopsi terarah
telah menjadi baku emas untuk mengevaluasi kelainan endometrium. Semua
metode lain yang saat ini tersedia untuk memeriksa rongga rahim (yaitu, dilatasi
dan kuretase, biopsi endometrium, hystero- salpingography [HSG], ultrasonografi
panggul, dan saline infusione sonohysterography [SIS]) dilakukan tanpa manfaat
visualisasi langsung. Histeroskopi menawarkan keuntungan untuk bisa langsung
memvisualisasikan keadaan patologis apapun serta melakukan biopsi terarah atau
eksisi dari lesi yang diidentifikasi selama prosedur. Karena histeroskopi
memungkinkan dilakukan evaluasi terhadap endometrium, endoserviks, dan
ostium tuba, histeroskopi dapat menjadi alat yang berguna dalam untuk
pemeriksaan lanjutan dari beberapa keluhan ginekologis umum. Secara khusus,
histeroskopi diagnostik diindikasikan untuk mengevaluasi (1) perdarahan uterus
pra- atau pasca menopause, (2) infertilitas (bersama dengan laparoskopi), (3)
temuan abnormal pada ultrasonografi pencitraan rahim yang lain, dan (4) hasil
biopsi yang kurang jelas. Histeroskopi diagnostik juga dapat digunakan untuk
mengevaluasi kelayakan prosedur histeroskopi operatif (misalnya, miomektomi,
perbaikan septum uterus) atau untuk menilai keberhasilan prosedur sebelumnya
(misalnya, reseksi adhesi intrauterin pada pasien dengan infertilitas persisten)1,4.

Histeroskopi pada Pasien Perdarahan Uterus Abnormal
Perdarahan uterus abnormal (AUB) mungkin merupakan gejala yang
paling umum dalam praktek ginekologi terutama pada wanita peri dan
pascamenopause. Berbagai teknik diagnostik untuk pengelolaan AUB (yaitu
dilatasi dan kuretase, biopsi endometrium, vabra kuret hisap, tes tantangan,
hysterosalpingography dan USG transvaginal) telah diusulkan. Dalam beberapa
tahun terakhir, histeroskopi rawat jalan dikombinasi dengan biopsi pengambilan
sampel endometrium telah menunjukkan potensi besar sebagai pengobatan lini
pertama pasien AUB. Selain itu, pengalaman menunjukkan kegunaan prosedur
pasien

rawat

jalan

kombinasi

(histeroskopi

dan

biopsi

endometrium)

8

dibandingkan dilatasi saja dan kuretase, yang memerlukan anestesi dan rawat
inap5,6.

Persiapan Pasien
Kuretase sebelum histeroskopi tidak perlu dilakukan4,5.

Teknik Histeroskopi Diagnostik
Teknik histeroskopi diterapkan sebagai prosedur klinis klasik. Pada pasien
dengan AUB, biopsi pengambilan sampel endometrium sering dilakukan setelah
selesainya pemeriksaan histeroskopi. Biopsi sampel dapat dipraktekkan dengan
teknik yang dijelaskan di atas, dengan menggunakan forseps biopsi dan gunting;
teknik menggunakan instrumen sekali pakai dapat digunakan juga (misalnya,
Vabra aspirasi, Perma atau Novak kuret). Penyebab utama perdarahan uterus
abnormal adalah: Mioma submukosa dan intramural polip endometrium atrofi
endometrium postpartum metrorrhagia Penulis tidak berfokus pada hiperplasia
endometrium atau karsinoma endometrium dalam makalah ini4,5.

Mioma Submukosa atau Intramural
Dalam kebanyakan kasus, mioma intrauterin dapat tetap ada untuk waktu
yang lama, bermanifestasi setelah usia 35 tahun. Pada sekitar 80% kasus, mereka
menonjol ke dalam rongga sampai mencapai ukuran yang bervariasi; jarang
bertangkai perpindahan ke dalam saluran leher rahim sangat jarang terjadi. Di
bawah visualisasi histeroskopi, mioma ini tampak sangat bervariasi: sekali waktu,
mioma ini permukaan halus dan reguler ditutupi oleh endometrium homogen
mirip dengan sisa rongga rahim yang lain. Jika ada perkembangan intrakaviter
yang luas, kompresi endometrium berikutnya dapat menimbulkan ulserasi dan
nekrosis terlihat di puncak pertumbuhan. Kadang-kadang, permukaan fibroid
submukosa tampak multilobulated, berwarna putih mutiara dan beriringan dengan
satu atau lebih pembuluh darah besar4,5.

Polip Endometrium

9

Polip endometrium adalah lesi mukosa eksofitik yang berbeda dalam
bentuk, ukuran, jumlah, dan penampilan. Epitel permukaan dari bentuk satu atau
beberapa polip mirip dengan yang ada pada endometrium sekitar dan
berkonsistensi lembut pada saat kontak dengan ujung histeroskop4,5.

Gambar 1 . Polip Endometrium Multipel

Gambar 2. Polip endometrium besar dan lunak.

10

Gambar 3. Polip endometrium yang terletak pada dinding inferior uterus

Gambar 4. Polip kornu yang tidak dapat dibuang dengan kuretase tradisional

HISTEROSKOPI OPERATIF
PROSEDUR
Indikasi untuk histeroskopi operatif termasuk polipektomi, miomektomi,
ablasi endometrium, perbaikan septum uterus (metroplasty), reseksi adhesi
intrauterin, dan sterilisasi. Miomektomi dan polypectomy Miomektomi dan
polipektomi histeroskopik merupakan prosedur bedah minimal invasif yang aman
dan efektif menghilangkan lesi intrakaviter. Meskipun pembahasan berikut
berfokus pada miomektomi, teknik yang digunakan untuk kedua prosedur serupa
dan termasuk lingkaran reseksi dan penggunaan gunting histeroskopi, laser, atau
elektroda penguap. Prosedur intraoperatif tambahan untuk memfasilitasi
pengangkatan fibroid termasuk agen farmakologis yang menyebabkan kontraksi

11

uterus, pijat uterus dan dekompresi, bimbingan sonografi, dan diseksi mekanik
sederhana4.

EVALUASI PREOPERATIF
Evaluasi preoperatif rongga uterus penting dilakukan untuk menentukan
jumlah mioma, ukuran, lokasi, dan kedalaman penetrasi miometrium. Faktorfaktor ini membantu menentukan apakah pendekatan histeroskopi diindikasikan
dan, jika demikian, keahlian bedah yang diperlukan dan apakah prosedur dapat
berhasil diselesaikan dalam satu operasi. Saat ini, tidak ada sistem klasifikasi
histeroskopi untuk mioma yang seragam, meskipun beberapa ahli setuju bahwa
kedalaman keterlibatan miometrium menentukan tingkat kesulitan, keahlian bedah,
dan risiko kelebihan cairan. Salah satu sistem, yang dikembangkan oleh
Masyarakat Eropa Ginekologi Endoskopi (ESGE), menganggap hanya kedalaman
penetrasi miometrium dan jenis GO mioma sebagai sepenuhnya dalam rongga
endometrium, jenis G1 dengan luas kurang dari 50% ke miometrium, dan jenis G2
lebih dari 50 % ke dalam miometrium. Karena sistem ini berasal dari
histeroskopik, kedalaman keterlibatan ditentukan secara subjektif dan dapat
dipengaruhi oleh medium pengembang dan tekanan intrauterin. Sistem klasifikasi
ESGE menganjurkan bahwa miomektomi histeroskopi dibatasi untuk mioma GO
dan G1, kecuali dokter memiliki keterampilan ahli dalam histeroskopi4,5.
Teknik miomektomi histeroskopi sering dilakukan dengan menggunakan
resectoscope dan lingkaran kawat. Sekali di dalam endoserviks, lokasi yang tepat
dari lesi harus ditentukan, ostia uterotubal divisualisasikan, dan ukuran lesi
ditentukan. Manuver ini membantu untuk memetakan prosedur pembedahan untuk
memberikan strategi operasi paling aman untuk

pengangkatan secara

histeroskopik. Ketika terdapat beberapa lesi, pengangkatan lesi terdekat leher
rahim dan dinding posterior disarankan, diikuti oleh reseksi pada bagian fundus
dan lateral. Teknik reseksi dasar meliputi pengirisan serial atau pencukuran lesi
sampai rata dengan endometrium. Lingkaran kawat (monopolar atau bipolar)
ditempatkan di belakang lesi dan ditarik ke arah dokter ketika elektroda diaktifkan.
Pemotongan dimulai di permukaan, dengan lintasan selalu diarahkan operator,

12

menjaga lingkaran terlihat sepanjang waktu. Dengan setiap bagian dari lingkaran
kawat, potongan jaringan berbentuk sabit akan mengapung ke dalam rongga rahim.
Ketika visualisasi dikaburkan, potongan-potongan mioma harus dibuang dengan
lingkaran kawat atau forceps polip. Meskipun potongan mioma bisa lewat secara
spontan, meninggalkan sisa mioma dalam rahim dapat menyebabkan nyeri kolik,
leukorrhea menetap, perlengketan, atau infeksi intrauterine. Selanjutnya,
pemeriksaan patologis jaringan sangat penting. Mioma mungkin memiliki
keterikatan

miometrium.

histeroskopi ahli

dan

Enukleasi

identifikasi

penuh
pesawat

membutuhkan

keterampilan

bedah. Untuk memudahkan

pengangkatan, dekompresi uterus intermiten, pijat manual, injeksi prostaglandin F,
teknik reseksi mekanik dengan lingkaran kawat telah dijelaskan4,5.

PERAWATAN PREOPERATIF
Perencanaan pra-bedah adalah penting untuk menentukan jenis dan
luasnya prosedur histeroskopi operatif dan keterampilan bedah yang diperlukan.
Risiko (termasuk risiko tertunda), manfaat, komplikasi, kemungkinan tidak
menyelesaikan prosedur, dan hasil yang diharapkan harus ditinjau berdasarkan
pasien dan informasi persetujuan yang didokumentasikan. Pasien harus diberitahu
bahwa, dalam hal perforasi uterus, laparoskopi, laparotomy, dan / atau transfusi
darah dapat diperlukan. Posisi pasien adalah penting untuk mencegah cedera saraf.
Cedera saraf peroneal dapat diminimalkan dengan posisi yang tepat dari kaki
untuk menghindari tekanan berlebihan pada bagian lateral kaki. Cedera saraf
femoralis dapat dicegah dengan meminimalkan hiperekstensi dan hiperfleksi kaki.
Stoking kompresi yang dianjurkan untuk mengurangi risiko trombosis vena dalam.
Antibiotik profilaksis rutin tidak dianjurkan pada pasien yang menjalani operasi
histeroskopi4,5.

PERAWATAN INTRAOPERATIF
Histeroskopi operatif harus selalu dilakukan dibawah visualisasi langsung
untuk mengurangi risiko perforasi uterus. Laparoskopi yang beriringan telah
turun-temurun digunakan untuk memandu prosedur sulit seperti perbaikan septum

13

uterus atau reseksi perlekatan yang luas. Namun, panduan dengan sonografi
intraoperatif telah terbukti efektif dan aman. Coccia et al membandingkan hasil
antara 81 pasien yang menjalani histeroskopi dengan bimbingan sonografi untuk
penangan fibroid submukosa atau septum uterus dengan kelompok kontrol 45
pasien yang telah diterapi dengan pengawasan laparoskopi. Histeroskopi dengan
panduan sonografi tidak hanya efektif, tetapi tidak ada komplikasi karena
visualisasi yang tidak memadai dan, di antara mereka yang menjalani metroplasty,
tidak perlu dilakukan operasi ulang (operasi kedua diperlukan di 4 pasien dari
kelompok kontrol). Para peneliti menyimpulkan bahwa reseksi luas mioma (10
mm sampai 15 mm dari permukaan luar uterus) dicapai dengan menggunakan
pedoman sonografi. Selama histeroskopi operatif, tekanan intrauterine terendah
yang diperlukan untuk mempertahankan pandangan operasi yang jelas harus
digunakan. Hal ini paling aman dilakukan dengan hysteroscope aliran kontinu dan
pompa cairan otomatis. Ada peningkatan risiko absorpsi cairan bila tekanan
intrauterin lebih besar dari tekanan arteri rata-rata. Mengenai sinus miometrium
juga meningkatkan perdarahan dan penyerapan cairan. (Biasanya, perdarahan
minimal selama histeroskopi karena tekanan intrauterin menekan sinus
miometrium.) Umumnya, visualisasi yang memadai dapat dicapai dengan tekanan
infus 60 sampai 75 mm Hg. Secara singkat meningkatkan tekanan intrauterin
dengan memperhatikan defisit cairan mungkin diperlukan untuk mendapatkan
visualisasi adekuat. Ketika visualisasi terhambat, penting untuk menentukan
apakah tabung tempat cairan kosong atau perforasi uterus telah terjadi. Terakhir,
pipa harus diperiksa untuk menentukan apakah terputus. Ketika prosedur
pembedahan yang lama dapat diantisipasi adalah-berperan serta (misalnya, dalam
kasus lesi intrakaviter bessar, adhesi intrauterin yang luas, atau septum uterus),
ahli anestesi harus juga mengurangi cairan IV4,5.

PERAWATAN PASCA OPERATIF
Sebagian besar pasien dapat dipulangkan dalam waktu 1 sampai 2 jam
setelah histeroskopi. Nyeri pasca operasi minimal, biasanya membutuhkan
narkotika ringan dan NSAID selama beberapa hari. Demam jarang terjadi. Pasien

14

harus diinstruksikan untuk pergi ke dokter jika mereka mengalami demam atau
nyeri panggul hebat. Pasien harus menghindari senggama sampai perdarahan
minimal. Olahraga dapat dilanjutkan dalam waktu 1 minggu setelah operasi4,5.

KOMPLIKASI
Umumnya, histeroskopi aman dan komplikasi jarang terjadi, terutama
dengan prosedur diagnotic. Dalam sebuah penelitian prospektif dari 13.600
hysteroscopies yang dilakukan pada 63 rumah sakit di Belanda, Jansen et al
melaporkan tingkat komplikasi keseluruhan hanya 0,28% (0,13% untuk prosedur
diagnostik, 0,95% untuk prosedur operasi). Dari catatan, tidak ada kematian.
Komplikasi histeroskopi umumnya jatuh ke dalam 3 kategori: prosedur terkait,
media yang terkait, dan akhir pasca operasi. Dengan pilihan yang tepat dari pasien,
perencanaan sebelum prosedur yang tepat dan antisipasi komplikasi, dan
intervensi yang cepat, risiko dapat diminimalkan4,5.

KOMPLIKASI TERKAIT PROSEDUR
Komplikasi terkait prosedur termasuk perforasi uterus, perdarahan
intraoperatif, laserasi serviks, cedera pada organ yang berdekatan, dan
ketidakmampuan untuk menyelesaikan prosedur yang direncanakan. Dalam
sebuah penelitian retrospektif, Propst et al menemukan insidensi komplikasi 2,7%
dari operasi dalam kelompok lebih dari 900 wanita yang menjalani histeroskopi,
dengan insidensi yang lebih tinggi pada mereka yang menjalani miomektomi atau
metroplasty dibandingkan polypectomy atau ablasi endometrium . Dalam studi
oleh Jansen et al, risiko komplikasi terbesar adalah dengan adhesiolisis (4,5%),
diikuti oleh ablasi endometrium dan miomektomi (keduanya 0,8%), dan
polypectomy (0,4%). Hampir setengah dari komplikasi berkaitan dengan pintu
masuk serviks. Komplikasi terkait prosedur dapat diminimalkan dengan
pematangan serviks dengan misoprostol, prostaglandin Ej analog. Misoprostol
meningkatkan akumulasi intraseluler dari air bebas, melembutkan leher rahim,
dan secara pasif meningkatkan diameter os serviks. Sebuah uji coba terkontrol
secara acak dari 152 pasien menunjukkan bahwa 200 ara misoprostol pervaginam

15

diberikan 9 sampai 10 jam sebelum histeroskopi operatif mengurangi kebutuhan
untuk dilatasi serviks, penurunan kejadian laserasi serviks, dan mengurangi waktu
operasi dibandingkan dengan kontrol. cara masuk lainnya (misalnya, oral), dosis,
dan waktu administrasi juga telah dipelajari, dengan hasil yang mirip. Efek
samping yang paling sering dari misoprostol adalah kram perut bagian bawah,
diare, dan perdarahan pervaginam ringan7.

Perforasi Uterus
Insidensi perforasi uterus yang dilaporkan selama histeroskopi operatif
bervariasi dari 0,8% sampai 3% . Faktor risiko termasuk nulliparitas, stenosis
serviks, menopause, ablasi endometrium sebelumnya, SC berulang, penggunaan
agonists gonadotropin-releasing hormone, cone biopsy sebelumnya, retroversi
uterus, dan pemasukan alat yang terlalu kuat. Sangat penting untuk melakukan
pemeriksaan panggul sebelum melakukan histeroskopi, karena ini akan
menentukan arah kemana hysteroscope dimasukkan. Dilatasi serviks adekuat
mengurangi gaya yang dibutuhkan untuk pemasukan. Dilatasi minimal diperlukan
pada histeroskopi diagnostik, tapi histeroskopi operatif memerlukan os internal
yang dilebarkan menjadi 8 mm sampai 10 mm. Perawatan ekstra dan tindakan
pencegahan harus diambil pada wanita yang memiliki riwayat sesar sebelumnya,
miomektomi, atau perforasi uterus karena faktor-faktor ini dapat menyebabkan
kelemahan miometrium dan peningkatan risiko perforasi. Visualisasi lengkap
terhadap uterus penting selama histeroskopi operatif, dan dokter sebaiknya tidak
melanjutkan prosedur jika visualisasi tidak memadai. Perforasi harus dicurigai
ketika suara uterus berjalan dengan baik melewati ukuran yang diharapkan dari
rahim; ada kesulitan mempertahankan distensi rahim, visualisasi yang buruk, atau
peningkatan perdarahan pervaginam; atau epiploica apendiks atau usus terlihat.
Pasien dengan perdarahan intraperitoneal sering mengeluh sakit perut dan bahu
dan dapat mengalami ketidakstabilan hemodinamik. Sebuah survei pada abdomen
dengan ultrasonografi akan menunjukkan cairan bebas intraperitoneal. Jika
perforasi dicurigai, disarankan untuk menghentikan prosedur segera. Jika
perforasi pada midline dan fundus dan tidak ada penggunaan energi panas,

16

observasi mungkin memadai. Jika perforasi pada uterus lateral atau serviks
dicurigai atau pasien tidak stabil, laparoskopi atau laparotomi mungkin diperlukan.
Sebuah survei pada abdomen (laparoskopi atau laparotomi) diperlukan jika energi
panas digunakan pada saat perforasi. Selain itu, defisit cairan harus diukur dan
dikelola secara tepat jika perforasi terjadi selama histeroskopi=7.

Perdarahan
Perdarahan berlebihan intra dan pasca operasi jarang terjadi. Perdarahan
intraoperatif sering dapat dikelola dengan elektrokauter langsung jika area
perdarahan diidentifikasi berasal dari dalam uterus. Injeksi vasopressin encer
intracervical juga telah terbukti mengurangi perdarahan intraoperatif. Vasopresin
menginduksi kontraksi otot polos kapiler uterus,

arteriole kecil, dan venula.

Penggunaannya dianjurkan bila operasi berlangsung lama, lesi yang besar, atau
reseksi miometrium yang dalam. Jika visualisasi tidak jelas karena darah, 30 mL
kateter Foley dimasukkan ke dalam uterus, dikembangkan, dan dibiarkan didalam
dapat menghentikan perdarahan. Dalam kasus perdarahan aktif dan visualisasi
yang buruk, prosedur harus dihentikan1,7.

Cedera
Laserasi serviks dapat dijahit setelah prosedur histeroskopi selesai. Adanya
dugaan cedera termal intraabdominal (usus, kandung kemih) memerlukan evaluasi
dengan laparoskopi atau laparotomi7.

KOMPLIKASI TERKAIT MEDIUM
Komplikasi terkait media dan tingkat keparahan bervariasi berdasarkan
jenis media pengembang yang digunakan. Langkah-langkah penting untuk
menghindari komplikasi ini meliputi strategi pencegahan yang tepat, pengawasan
yang hati-hati, dan respon langsung terhadap tanda-tanda masalah1,8.

17

Kelebihan Cairan
Risiko terbesar morbiditas dan mortalitas pada histeroskopi operatif adalah
penyerapan cairan intravaskular berlebihan. Absorpsi cairan dipengaruhi oleh luas
permukaan bidang bedah, durasi operasi, saluran vena terbuka, vaskularisasi dari
lesi (misalnya, reseksi dari fibroid dengan banyak pembuluh darah), tekanan
intrauterine, dan jenis cairan yang digunakan. Pemantauan berkala terhadap defisit
cairan sangat penting. Sebuah pompa cairan otomatis atau perawat khusus yang
menghitung input dan output sangat penting bagi keselamatan pasien8.

Kelebihan cairan dengan larutan elektrolit bebas
Penyerapan sistemik berlebihan dari larutan elektrolit bebas (misalnya,
glisin, sorbitol, mannitol) dapat menyebabkan hiponatremia. Jika defisit cairan
tidak terdiagnosis atau tidak dikelola secara aktif, komplikasi serius dapat
berkembang. Tanda-tanda hiponatremia meliputi agitasi, nausea, muntah, sakit
kepala, penglihatan kabur, dan kejang. Penyerapan cukup cairan bebas elestrolit
akan menghasilkan dilusi hiponatremia dan hipo osmolalitas. Dalam situasi ini,
molekul air bergerak melintasi sawar darah-otak dan menyamakan osmolalitas
intraseluler dan ekstraseluler, yang dapat mengakibatkan peningkatan tekanan
intrakranial, edema serebral, dan necrosis sel. Glycine merupakan penyebab
hiponatremia -hipo-osmolar tersering. Waktu paruh glisin intravaskular adalah 90
menit, dimana setelah itu sebagian besar diserap intraseluler. Hal ini dapat
mengakibatkan berlebihnya cairan, yang selanjutnya dapat menyebabkan
hiponatremia hipo-osmolar. Selain itu, glisin dimetabolisme dalam hati dan ginjal
menjadi ammonia dan asam glikolat. Toksisitas amonia menyebabkan gejala
sistem saraf pusat seperti kelesuan, kejang, encephalopathy, dan koma. Glycine
memiliki efek menghambat di otak tengah, sumsum tulang belakang, dan sel-sel
ganglion di retina, dan kebutaan sementara mungkin terjadi. Ada sedikit risiko
hipo-osmolalitas dengan mannitol, meskipun hiponatremia dilusi masih dapat
terjadi. Manitol juga menyebabkan diuresis osmotik, yang dapat menangkal
bahaya berlebihan intravasasi cairan. Namun, pengendapan kristal gula pada
instrumen dapat merusak lapangan pandang. Dengan larutan bebas elektrolit, jika

18

defisit 750 mL terjadi, defisit cairan harus dipantau lebih ketat dan upaya harus
dilakukan untuk membawa prosedur untuk kesimpulan. Pada pasien yang sudah
lanjut usia atau memiliki penyakit penyerta, mungkin bijaksana untuk mengakhiri
prosedur pada saat ini. Untuk yang lebih muda, pasien yang sehat, selama tidak
ada kekhawatiran untuk perforasi uterus, prosedur harus dihentikan jika defisit
mencapai 1000-1500 mL. Sebuah panel elektrolit harus ditarik dalam ruang
pemulihan dan administrasi diuretik dimaksud. Jika oc¬curs hiponatremia,
konsultasi harus dicari untuk koreksi, tetapi tingkat serum biasanya harus
ditingkatkan perlahan, dengan 1 sampai 2 mEq / mL per jam dan tidak lebih dari
12 mEq / L dalam 24 jam pertama1,8.

Kelebihan cairan dengan larutan elektrolit
Normal saline dan larutan Ringer Laktat adalah iso-osmolar dengan cairan
intravaskular, tetapi intravasasi cairan yang berlebihan masih dapat menyebabkan
kelebihan cairan. Selain itu, diperkirakan bahwa aksi hormon antidiuretik (ADH)
pada ginjal dapat menyebabkan ekskresi urin hipertonik dan, dengan demikian,
menyebabkan hiponatremia serum. Khususnya pada wanita muda, pelepasan
ADH mungkin dipicu oleh kombinasi stres, nyeri, dan mual daripada yang
dihasilkan akibat kondisi hiperosmolalitas atau hipovolemia. Edema paru dan
gagal jantung kongestif dan komplikasi neurologis dapat terjadi tetapi tidak
sesering pada cairan bebas elektrolit dan hanya terjadi jika terjadi defisit volume
besar. Bila menggunakan larutan isotonik, prosedur harus dihentikan jika defisit
cairan mencapai 2500 mL dan kelebihan cairan dikelola dengan cara yang sama
seperti dengan larutan elektrolit bebas, dengan penilaian serum elektrolit dan
ambang batas yang rendah untuk pemakaian diuretik8,9.

Emboli Udara
Emboli udara jarang terjadi namun merupakan komplikasi fatal pada
histeroskopi. Sebuah survei terbaru dari literatur oleh Groenman et al
mengungkapkan 13 kasus dilaporkan dengan angka kematian 50%. Jika pasien
sadar, nyeri dada dan dispnea dapat terjadi. Tanda-tanda lainnya termasuk klasik

19

murmur "mill-wheel", penurunan saturasi oksigen, penurunan akhir tidal CO, dan
hipotensi. Emboli udara telah dilaporkan pada histeroskopi diagnostik
menggunakan C02 untuk distensi; embolus udara (dari ruang udara) lebih sering
terjadi pada prosedur operasi. Agar udara atau embolus gas terjadi, harus ada
saluran vena terbuka dan gradien tekanan. Jika situasi seperti ini diduga, pasien
harus ditempatkan dalam posisi dekubitus lateral kiri dengan kepala miring ke
bawah 5 derajat. Hal ini memungkinkan udara yang terjebak akan teraspirasi dari
ventrikel kanan melalui cardiocentesis atau kateter yang dimasukkan melalui vena
jugularis. Untuk mengurangi resiko emboli, maka sangat penting untuk
mengeluarkan udara dari tabung, menjaga tekanan intrauterin pada atau di bawah
tekanan arteri rata-rata pasien, mempertahankan laju aliran kurang dari 100 mL /
menit, dan meminimalkan jumlah kali hysteroscope operatif dikeluarkan1,10.

KOMPLIKASI LAMBAT
Pasca operasi, pasien umumnya cepat untuk kembali beraktivitas,
kebutuhan minimal untuk obat penghilang rasa sakit, dan keluhan yang terbatas.
Meskipun cedera usus dan kandung kemih dan endometritis pasca operasi jarang
terjadi, ini harus dipertimbangkan dan diselidiki ketika pasien mengalami rasa
sakit terus-menerus, demam, discharge berbau busuk, atau malaise. Beberapa
komplikasi histeroskopi mungkin tidak jelas selama berbulan-bulan atau bahkan
bertahun-tahun. Ini termasuk komplikasi kehamilan, sindrom pasca-ablasi
sterilisasi tuba, nyeri haid baru atau memburuk, hematometra, kanker
endometrium, dan kegagalan untuk benar-benar mengobati gejala4.

KESIMPULAN
Histeroskopi adalah teknik yang aman, efektif, dan minimal invasif aman
untuk mendiagnosis dan mengobati sejumlah keadaan patologis intrauterin.
Dengan

pengetahuan

mengenai

peralatan

yang

memadai,

pengalaman

menggunakan teknologi, dan antisipasi terhadap komplikasi potensial, prosedur
histeroskopi yang rumit pun dapat dilakukan dengan risiko minimal kepada pasien.

20

Daftar Pustaka
1. Bradley LD, Darayatna SD. Hysteroscopy.

The Hospital Physician

Obstetrics and Gynecology Board Review Manual Vol 11 Part 4. Turner
White Communications, Inc., Strafford Avenue. 2008. p1-8. Available
at: www.turner-white.com
2. Campo R, et al. Office mini hysteroscopy. Human Reproduction Update
1999.Vol 5. No 1. p73-81
3. Krishnan K, Manash B. Office Hysteroscopy. J Obstet Gynecol India Vol.
55, No. 2 : March/April 2005. p174-177
4. Mencaglia L, de Albuquerque Neto, Alvarez RAR. Manual of
Hysteroscopy, Diagnostic, Operative and Office Hysteroscopy. Endopress,
Tuttlingen. Germany. 2013 . p28-30
5. Clark TJ, Cooper NAM, Kremer C. RCOG/BSEG Joint Guideline: Best
Practice in Outpatient Hysteroscopy. RCOG Green-top Guideline No. 59.
March. 2011. p1-22
6. Dinic SPT et al. Role of Hysteroscopy in Evaluation of Patients with
Abnormal Uterine Bleeding. Scientific Journal of the Faculty of Medicine
in Niš 2011;28(3):177-181
7. Jansen et al. Hysteroscopy Complications. Vol 96. No.2. The American
College of Obstetricians and Gynecologists. Published by Elsevier Science
Inc. August 2000. 265-270
8. Nezhat et al. Accuracy of hysteroscopy fluid overfill. Journal of Minimally
Invasive Gynecology (2007) 14, 489–493
9. Estes CM, Maye JP. Severe Intraoperative Hyponatremia in a Scheduled
for Elective Hysteroscopy: a case report. AANA Journal. June 2001. Vol
71, No. 3. p202-203
10. Sabsovich I, et al. Air embolism during operative hysteroscopy: TEEguided Resuscitation Journal of Clinical Anesthesia. Elsevier Inc (2012)
24, 480–486

21