Perbandingan Kadar Vitamin D pada Penderita HIV AIDS yang Mendapat ARV Satu Tahun dan yang Belum Mendapat ARV

BAB II
TINJAUAN KEPUSTAKAAN

2.1. Sejarah
Acquired Immunodeficiency Syndrome (AIDS) merupakan kumpulan
gejala atau penyakit yang disebabkan menurunnya kekebalan tubuh akibat infeksi
dari virus HIV (Human Immunodeficiency Virus). AIDS merupakan tahap akhir
dari infeksi HIV. Kasus pertama AIDS di dunia dilaporkan pada tahun 1981.
Penemuan sampel dari potongan jaringan beku dan serum dari seorang pria
berusia 15 tahun di St. Louis Amerika Serikat, yang dirawat dan meninggal
akibat Sarkoma Kaposi diseminata dan agresif pada tahun 1968. Virus penyebab
AIDS diidentifikasi oleh Luc Montagnier pada tahun 1983, diberi nama LAV
(Lymphadenopathy virus) sedangkan Robert Gallo menemukan virus penyebab
AIDS pada 1984 yang

dinamakan HTLV-III, selanjutnya disemonstrasikan

bahwa virus tersebut adalah peyebab AIDS.3
Barré-Sinoussi F. (1983) berhasil mengisolasi HIV dari pasien dengan
limfadenopati kemudian HIV didemonstrasikan sebagai penyebab dari AIDS.
Metode


pemeriksaan

Enzyme-Linked

Immunosorbent

Assay

(ELISA)

dikembangkan pada tahun 1985, pemeriksaan ini memberikan apresiasi yang
positif terhadap epidemi HIV di Amerika Serikat dan negara lainnya.3
Sejak tahun 1986 telah banyak dilakukan penelitian tentang HIV. HIV2
berhasil diisolasi dari pasien AIDS di Afrika hingga pada tahun 1996-1997 obat
highly active antiretroviral therapy (HAART) digunakan untuk menekan
replikasi HIV. Luc Montagnier (2008) menerima penghargaan nobel atas
penelitian yang berhasil mengisolasi HIV dari pasien dengan limfadenopati.23

7

Universitas Sumatera Utara

8

2.2. Definisi
Human Immunodefiency Virus (HIV) adalah virus sitopatik yang
diklasifikasikan dalam famili Retroviridae, subfamili Lentivirinae, genus
Lentivirus. Berdasarkan strukturnya (Gambar 1) HIV termasuk famili retrovirus,
suatu virus RNA dengan berat molekul 9.7 kb (kilobases) dan memiliki diameter
120 nm.2,24 Virus ini terdiri dari dua salinan RNA beruntai tunggal yang
mengkode sembilan gen tertutup (gag, pol, vif, vpr, vpu, env, rev, tat dan nef),
dan terdiri dari 2.000 kopi p24 protein virus. Dikelilingi oleh kapsid selubung
virus (envelope). Selubung virus terdiri atas dua lapis membran lipid, dimana
masing-masing unit selubung virus terdiri atas dua protein membran non-kovalen
yaitu glycoprotein 120 (gp120) dan glycoprotein 41 (gp41).2,24

Gambar 2.1. Struktur HIV3
2.3. Epidemiologi
Penularan HIV/AIDS terjadi akibat kontak melalui cairan tubuh yang
mengandung virus HIV yaitu melalui hubungan seksual, baik homoseksual

maupun heteroseksual, jarum suntik pada pengguna narkotika, transfusi
komponen darah dan ibu yang terinfeksi HIV ke bayi yang dilahirkan.1

Universitas Sumatera Utara

9

WHO (tahun 2011) melaporkan ada sebanyak 34 juta orang terinfeksi
HIV. Setiap tahun dijumpai 2,2 juta sampai 2,5 juta orang kasus baru infeksi HIV
dan 1,7 juta orang meninggal karena AIDS. Sejak tahun 1985-1996 kasus AIDS
masih sangat jarang di Indonesia, namun sebagian besar dari kelompok
homoseksual.1,5
Di Indonesia, sejak tahun 1999 terjadi peningkatan jumlah ODHA pada
kelompok orang yang berprilaku resiko tertular HIV, yaitu para penjaja seks
komersil dan penyalahgunaan NAPZA suntik di beberapa provinsi seperti DKI
Jakarta, Riau, Bali, Jawa Barat dan Jawa Timur. Provinsi ini tergolong sebagai
daerah dengan tingkat epidemik terkonsentrasi (concentrated level of epidemic),
sedangkan Papua sudah memasuki tingkat epidemik meluas (generalized
epidemic).10 Berdasarkan data Direktorat Jenderal Pengendalian Penyakit dan
Penyehatan Lingkungan (Ditjen P2PL) Kementerian Kesehatan RI (2013),

HIV/AIDS tersebar di 345 (69,4%) dari 497 Kabupaten/Kota di seluruh provinsi
di Indonesia dilaporkan 103.759 kasus HIV, 43.347 kasus AIDS dan 8.288 kasus
yang meninggal, dimana persentase laki-laki sebesar 55,4%, perempuan sebesar
28,8% dan yang tidak melapor jenis kelamin sebesar 15,8%.7 Berdasarkan data
dari Dinas Kesehatan Provinsi Sumatera Utara (2013), sampai Maret 2013
terdapat 6.824 kasus HIV terdiri dari 4.920 laki-laki dan 1.748 perempuan.8

2.4. Status imunologi
Patogenesis infeksi HIV berhubungan dengan penurunan jumlah
limfosit T yang mengandung reseptor CD4 (CD4+). Agar dapat terjadi infeksi
HIV diperlukan reseptor spesifik pada sel host yaitu molekul CD4. Molekul CD4
mempunyai afinitas yang sangat besar terhadap HIV, terutama terhadap molekul
gp120 dari selubung virus. Diantara sel tubuh yang memiliki molekul CD4 paling
banyak adalah sel limfosit-T. Status imunologi penderita HIV dapat dinilai
dengan mengukur jumlah absolut (per mm3 darah) atau persentase dari sel CD4+,
dan ini dianggap sebagai pemeriksaan standar untuk menilai dan menentukan
derajat imunosupresi yang berhubungan dengan infeksi HIV. Penurunan
progresif dari sel T CD4+ berhubungan dengan progresifitas infeksi HIV dan

Universitas Sumatera Utara


10

peningkatan resiko infeksi oportunistik serta manifestasi klinis lainnya, termasuk
wasting syndrome dan kematian.28

2.5.

Patogenesis Infeksi HIV
HIV masuk ke dalam tubuh manusia melalui berbagai cara, yaitu secara

vertikal, horizontal, dan transeksual. HIV dapat mencapai sirkulasi sistemik
secara langsung dengan diperantarai benda tajam yang menembus dinding
pembuluh darah secara tidak langsung melalui kulit dan mukosa yang tidak intak
seperti yang terjadi pada kontak seksual. Fase selanjutnya, HIV akan berusaha
masuk ke dalam sel target, yaitu sel yang mampu mengekspresikan reseptor
CD4. Agar bisa masuk ke sel target maka gp120 HIV harus berikatan dengan
reseptor CD4. Reseptor CD4 terdapat pada permukaan limfosit T, monosit,
makrofag, langerhan’s, sel dendrite, astrosit dan makroglia. HIV memerlukan
chemokine reseptor yaitu CXCR4 dan CCR5 untuk dapat masuk ke dalam sel.

Semakin kuat dan meningkatnya intensitas ikatan tersebut akan diikuti oleh
proses interaksi lebih lanjut, yaitu terjadi fusi membrane HIV dengan membran
sel target atas peran gp41 HIV. Dengan terjadinya fusi kedua membran maka
seluruh sitoplasma HIV termasuk enzim reverse transcriptase dan inti masuk ke
dalam sitoplasma sel target. Setelah masuk ke dalam sel target, HIV melepaskan
single strand RNA (ssRNA). Enzim reverse transcriptase akan menggunakan
RNA sebagai template untuk mensintesis DNA. Kemudian RNA dipindahkan
oleh ribonuklease dan enzim reverse transcriptase untuk mensintesis DNA lagi
sehingga menjadi double strand DNA yang disebut sebagai provirus. Provirus
masuk ke dalam nukleus, menyatu dengan kromosom sel host dengan perantara
enzim integrase. Penggabungan ini menyebabkan provirus menjadi tidak aktif
untuk melakukan transkripsi dan translasi. Kondisi provirus yang tidak aktif ini
disebut sebagai keadaan laten.2,24
2.6. Siklus Hidup HIV
Dalam siklus hidup HIV, rangkaian asam nukleat berperan pada fungsi
intrinsik. Asam nukleat merupakan zat kimia yang bertanggung jawab atas
penyimpanan dan penyampaian semua informasi genetik untuk yang diperlukan

Universitas Sumatera Utara


11

guna perencanaan pembentukan fungsi sel. Asam nukleat mengandung
deosiribosa disebut asam deoksiribosa nukleat atau DNA. Yang mengandung
ribosom disebut asam ribonukleat atau RNA. DNA berperan membawa informasi
genetik untuk sintesis protein, RNA termasuk mRNA (messenger RNA), tRNA
(transfer RNA) dan rRNA (ribosomal RNA) bertugas melaksanakan instruksi
yang dibawa DNA.2
Infeksi oleh HIV memerlukan reseptor spesifik pada sel host yaitu
molekul CD4. Molekul CD4 ini mempunyai afinitas yang sangat besar terhadap
HIV, terutama terhadap molekul glikoprotein (gp120) dari seluruh virus.
Limfosit T memiliki CD4 terbanyak. Infeksi HIV dimulai dengan penempelan
virus pada reseptor CD4 limfosit T. Setelah menempel, terjadi diskontinuitas dari
membran sel limfosit-T, terjadi fusi kedua membran (HIV dan limfosit) sehingga
seluruh komponen virus masuk ke dalam sitoplasma sel limfosit-T kecuali
selubungnya. Kemudian RNA dari virus mengalami transkripsi menjadi suatu
DNA dengan bantuan enzim reverse transcriptase. Akibat aktivitas enzim RNAase H, RNA yang asli dihancurkan sedang seuntai DNA melalui bantuan enzim
polymerase. DNA yang terbentuk ini kemudian pindah dari dari sitoplasma ke
dalam inti sel limfosit-T dan menyisip ke dalam DNA sel host dengan bantuan
enzim integrase, disebut sebagai provirus. Provirus yang terbentuk ini tinggal

dalam keadaan laten atau dalam keadaan replikasi yang sangat lambat, tergantung
dari aktivitas dan difrensiasi sel host (limfosit T CD4) yang terinfeksi, yang
akhirnya memicu replikasi dengan kecepatan yang sangat tinggi.2,24
Perjalanan infeksi HIV, jumlah limfosit T-CD4, jumlah virus dan gejala klinis
terdiri atas 3 fase berikut:
2.6.1. Fase Infeksi Akut
Setelah HIV menginfeksi sel target, terjadi proses replikasi yang
menghasilkan virus-virus baru (virion). Sekitar 50-70% penderita HIV
mengalami sindroma infeksi akut selama 3-6 minggu setelah terinfeksi virus
dengan gejala umum seperti demam, faringitis, limfadenopati, atralgia, nyeri
kepala, mual, muntah, diare, anoreksia dan penurunan berat badan. Pada fase
akut terjadi penurunan limfosit-T dan kemudian terjadi kenaikan limfosit-T

Universitas Sumatera Utara

12

karena mulai terjadi respon imun. Jumlah limfosit-T pada fase infeksi akut masih
>500 sel/mm3 dan kemudian akan mengalami penurunan setelah 6 minggu
terinfeksi HIV.2,24

2.6.2. Fase Infeksi Laten
Respons imun spesifik HIV yang terbentuk dan terperangkapnya virus
di dalam Sel Dendritik Folikuler (SDF) di pusat germinativum kelenjar limfe
menyebabkan virion dapat dikendalikan, gejala hilang, dan mulai memasuki fase
laten. Fase ini jarang ditemukan virion di plasma sehingga jumlah virion di
plasma menurun karena sebagian besar virus terakumulasi di kelenjar limfe dan
terjadi replikasi di kelenjar limfe. Penurunan limfosit-T terus terjadi walaupun
menurun hingga ±500 sampai 200 sel/mm3,setelah terjadi serokonversi positif
individu umumnya belum menunjukkan gejala klinis (asimptomatis).2,24
2.6.3. Fase Infeksi Kronik
Pada fase ini, replikasi virus terus berlangsung di dalam kelenjar limfe.
Hal ini diikuti proses kerusakan dan kematian SDF karena banyaknya virus.
Terjadi peningkatan jumlah virion secara berlebihan di dalam sirkulasi sistemik.
Respons imun tidak mampu meredam jumlah virion yang berlebihan. Limfosit
semakin tertekan karena intervensi HIV yang semakin banyak. Penurunan jumlah
limfosit T-CD4 hingga 10% dari berat badan dasar
Demam (terus menerus atau intermiten, temperatur oral >37,5 oC) yang
lebih dari satu bulan
Diare (terus menerus atau intermiten) yang lebih dari satu bulan
Limfadenopati meluas


PPE dan kulit kering yang luas merupakan dugaan kuat infeksi HIV.
Beberapa kelainan seperti kutil genital (genital warts), folikulitis dan
psoriasis sering terjadi pada ODHA tapi tidak selalu terkait dengan
HIV

Infeksi

Infeksi viral






Gangguan







Infeksi Jamur

Kandidosis oral
Dermatitis seboroik
Kandidosis vagina kambuhan
Herpes zoster (berulang atau melibatkan lebih
dari satu dermatom)
Herpes genital (kambuhan)
Moluskum kontagiosum
Kondiloma
Batuk lebih dari satu bulan

Universitas Sumatera Utara

14

Pernapasan

Gejala neurologis









Sesak napas
TB
Pneumonia kambuhan
Sinusitis kronis atau berulang
Nyeri kepala yang semakin parah (terus menerus
dan tidak jelas penyebabnya)
Kejang demam
Menurunnya fungsi kognitif

2.7.1. Stadium Klinis
Penilaian stadium klinis (tabel 2.2.) ditentukan setelah diagnosis infeksi
HIV ditegakan (serologi dan/atau virologi). Stadium klinis bermanfaat untuk
menilai status penderita saat diagnosis HIV ditegakan dan follow-up
penatalaksanaan, serta menjadi pedoman untuk memulai terapi profilaksis
kotrimoxazol dan/atau intervensi lainnya yang berhubungan dengan infeksi HIV,
termasuk kapan memulai terapi ARV. Stadium klinis berhubungan dengan angka
harapan hidup, prognosis dan progresifitas penyakit tanpa terapi ARV.22
Tabel 2.2. Stadium klinis infeksi HIV pada orang dewasa menurut WHO
Stadium klinis 1
Asimptomatis
Limfadenopati generalisata persisten
Stadium klinis 2
Penurunan berat badan 10%
Diare, demam yang tidak diketahui penyebabnya, lebih dari 1 bulan
Kandidosis oral atau vaginal
Oral hairy leukoplakia
TB Paru dalam 1 tahun terakhir
Infeksi bakterial yang berat (pneumonia, piomiositis, dll)
TB limfadenopati
Gingivitis/Periodontitis ulseratif nekrotikan akut
Anemia (Hb < 8 g%), netropenia (< 5000/ml), trombositopenia kronis
(