Institutional Repository | Satya Wacana Christian University: Tato sebagai Representasi Spiritual Orang-Orang Bertato T2 752014027 BAB II

BAB II
TUBUH, TATO DAN SPIRITUAL

2.1 Pengantar
Tato adalah bentuk modifikasi dekoratif dan permanen yang melekat
pada tubuh, dan dianggap sebagai sebuah modifikasi yang tidak normal dan sehat
karena prosesnya yang tidak alamiah. Oleh karena tato diletakkan pada tubuh,
maka itu mudah menjadi sorotan orang lain. Bab ini akan memaparkan bagaimana
orang-orang bertato menarik perhatian dan dikenakan sebuah stigma yang negatif
oleh orang lain di dalam masyarakat, yakni pertama-tama dengan menjabarkan
bagaimana tubuh di dalam konteks sosial dan bagaimana tato dipandang sebagai
sebuah modifikasi yang tidak lazim di masyarakat, hingga pada penjabaran
mengenai sejarah dan perkembangan tato hingga zaman sekarang.
Rekam jejak perjalanan tato, yang ternyata merupakan tradisi di beberapa
kebudayaan dan zaman, menunjukkan adanya keterkaitan dengan upaya
merepresentasikan spiritual anggota masyarakat tersebut di dalam tato, untuk
itulah di akhir Bab ini juga akan dipaparkan makna spiritual di dalam perspektif
psikologi dan konseling, agama, seni, dan sosiologi. Bab ini akan mengantarkan
pada pemahaman bagaimana tato, yakni gambaran-gambaran permanen yang
menghias tubuh, dapat dijadikan sebagai ungkapan dari representasi spiritual.


13

2.2 Tubuh dan Modifikasi Tubuh
2.2.1

Tubuh dalam Konteks Sosial

Tubuh “fisik” menyediakan pondasi metaforis untuk berpikir tentang
tubuh “sosial”. Para pengamat sosial yang menjelaskan masyarakat sebagai
sebuah sistem yang terbentuk dari beragam bagian yang saling berhubungan dan
bekerja sama kurang lebih secara harmonis, secara khusus menyajikan sistem
sosial sebagai kesehatan secara umum dimana tubuh digambarkan secara ideal
sebagai sesuatu yang natural dan sehat, berkembang agar beradaptasi terhadap
perubahan di lingkungan sekitar, dan terkadang menderita karena “penyakit”
seperti penyimpangan dan masalah-masalah sosial.1 Seiring kebangkitan
positivisme biogenik dalam teori kriminologi, tubuh manusia menjadi fokus
terang terhadap teori sosio-etiologis dimana tubuh diduga menentukan gerakan
seseorang ke dalam sebuah pola pelanggaran hukum atau menyatakan
kecenderungan fisiologisnya untuk berbuat jahat, oleh karena tubuh juga menjadi
media menyalurkan pikiran dan kehendak.2 Tubuh diharapkan berkembang

melalui proses yang normal dan alami, dan ketika seseorang memodifikasi
tubuhnya secara sengaja baik secara permanen maupun sementara, maka
tindakannya dianggap tidak etis.
Sosiolog Turner yang telah memfokuskan karyanya pada tubuh,
memaparkan bagaimana sosiologi klasik, yang berkembang sebagian dengan
penjelasan biologis bagi tindakan sosial, menegaskan hukum dan struktur sosial
rasional. Teori klasik, sejauh berbicara mengenai tubuh, mangasumsikan
1
Peter Corrigan, The Dressed Society: Clothing, the Body and Some Meanings of the
World (London: Sage Publications, 2008), 80.
2
Clinton R. Sanders, “Viewing the Body: An Overview, Exploration and Extension”
dalam Dennis Waskul dan Phillip Vannini (Penyunting), Body/Embodiment: Symbolic Interaction
and the Sociology of the Body (England: Ashgate, 2006), 279.

14

rasionalitas pada bagian aktor-aktor sosial dan mempersepsikan tubuh sebagai
pembatas terhadap rasionalitas dan alasan.3 Alasan menjanjikan sejumlah besar
kebaikan yang tidak diharapkan dapat disediakan oleh tubuh.

Tubuh hidup, menua, melemah, sedangkan alasan bekerja sesuai logika
hukum

universal

dan

menghasilkan

kebenaran-kebenaran

kekal.

Tubuh

membedakan seseorang dengan yang lain, dan merupakan denominator umum,
merupakan subjek terhadap kehendak, emosi, dan dorongan-dorongan yang
mengerikan di luar kendali subjek. Pikiran rasional waspada, dan merupakan
proses kesadaran diri yang dapat dilakukan subjek dalam konteks otonomi dan
pilihan.4 Tubuh sosial merupakan satu kesatuan dengan tubuh fisik, dimana dalam

keterhubungannya dengan sesama manusia, tubuh fisik mengambil peran.
Tindakan yang dilakukan oleh manusia dalam interaksinya terhadap sesama
dikendalikan oleh kognisi dan kesadaran di dalam tubuh manusia. Proses biologis
dan psikologis yang terjadi di dalam tubuh mendorong tindakan-tindakan
seseorang, itu sebabnya tubuh menjadi pembeda antara seseorang dengan yang
lain.
Gallagher, dalam hal ini juga berpendapat sama, yakni bahwa tubuh
dirasakan dan memainkan peran dalam kognisi dan kesadaran. Ia menjelaskan hal
tersebut dalam dua konsep yakni body image

dan body schema . Bagaimana

seseorang bersikap, memandang, dan meyakini sesuatu dan terhadap orang lain itu
menjadi bagian dari peran body image, dimana proses dari sistem tersebut

3
Bryan S. Turner, “Recent Developments in the Theory of the Body” dalam Mike
Featherstone, Mike Hepworth, Bryan S. Turner (Penyunting), The Body: Social Process and
Cultural Theory (London: Sage Publications, 1991), 4.
4

Victoria Pitts, In the Flesh: The Cultural Politics of Body Modification (New York:
Palgrave Macmillan, 2003), 26-27.

15

dikendalikan oleh body schema .5 Bagian tubuh yang terlihat dan dapat dirasakan
oleh orang lain ialah body image, sedangkan sistem di dalam tubuh, yang tidak
terlihat oleh orang lain ialah body schema .
Body image terdiri atas sebuah sistem persepsi, sikap, dan keyakinan

yang bersinggungan dengan tubuh dari seseorang itu sendiri. Body schema , yang
terkait dengan biologi, merupakan sebuah sistem kapasitas sensori-motor yang
berfungsi tanpa kesadaran maupun pemantauan persepsi yang memposisikan
tubuh sebagai sebuah objek.6 Perbedaannya terletak pada persepsi dan keyakinan
terhadap sesuatu dan kapasitas gerak atau kemampuan untuk melakukan sesuatu.
Tubuh, dalam perkembangan pemikiran berikutnya, sering diasumsikan
tetap, fakta material yang akan dilampaui oleh alasan. Sosiologi modern abad ke20 melihat tubuh sebagian besarnya menjadi sebuah sistem organis yang juga
dialokasikan pada disiplin ilmu lainnya, seperti fisiologi maupun biokimia, atau
menjadi bagian dari syarat-syarat tindakan, yakni pembatas lingkungan.
Fungsionalisme, misalnya, menganggap sebuah model ekonomi sebagai aktor

rasional, dan tubuh dengan demikian menjadi eksternal terhadap aktor, yang
muncul sebagai agen pembuat keputusan..7 Tubuh menjadi pelaksana atau aktor di
dalam situasi sosial, yang dikendalikan oleh pikiran rasional.
Goffman melihat tubuh sebagai sebuah situs untuk mempertunjukkan diri
yang tidak memiliki ontologi penting atau inti. Diri, dari perspektif ini, dibuat dari
beragam bagian yang diperankan oleh orang-orang, dan tujuan kunci aktor-aktor
5

Shaun Gallagher, How the Body Shapes the Mind (New York: Oxford University
Press, 2005), 24.
6
Gallagher, How the Body, 24. Shaun Gallagher, “The Body in Social Context: Some
Qualifications on the ‘Warmth and Intimacy’ of Bodily Self-consciousness” dalam Grazer
Philosophische Studien Volume 84 Issue 1 (2012), 107.
7
Turner, “Recent Developments” dalam Featherstone, Hepworth, Turner (Penyunting),
The Body, 7, 9.

16


sosial adalah menciptakan dan menopang kesan-kesan tertentu terhadap orangorang yang melihatnya.8 Kesan pertama di dalam kehidupan sehari-hari menjadi
hal yang penting ketika berpapasan dengan orang lain. Ketika seseorang muncul
di hadapan orang lain, maka ia secara sadar akan memproyeksikan situasi
tersebut, dimana konsepsi mengenai dirinya adalah bagian yang penting.
Fernàndez, dalam penelitiannya terhadap kelompok etnis Mbororo,
menemukan hal serupa bahwa tubuh berfungsi sebagai sebuah ruang yang
menandakan asal koordinat khusus untuk menciptakan sebuah medan simbolis
dari konvensi sosial. Tubuh menjadi sebuah daerah yang secara serempak
mendiami dan didiami, sebuah ruang bagi konstruksi dan pertunjukan identitas
pribadi maupun kelompok, yang biasanya bersifat sosial.

9

Artinya, tubuh

memiliki peran dasar di dalam interaksi sosial yang menghasilkan sebuah
presentasi sosial. Fernàndez membuktikannya dengan tato wajah dan skarifikasi
yang dipakai oleh masyarakat etnis Mbororo sebagai penyataan ‘menjadi subjek’.
Subjektifikasi tersebut dimaksudkan oleh mereka sebagai bahasa yang
mengekspresikan identitas budaya.

Tubuh, berdasarkan paparan pendapat para ahli di atas, menjadi sebuah
lokasi dimana masyarakat dapat bertemu dan menggambarkan pengaruhpengaruhnya dalam interaksi terhadap orang lain. Tubuh menjadi aktor-aktor
sosial

yang memainkan

peran-peran

tertentu.

Identitas

tiap-tiap

orang

tergambarkan di dalam kehadiran tubuh tersebut dalam fungsi-fungsi sosialnya,

8
Erving Goffman, The Presentation of Self in Everyday Life (Edinburgh: University of

Edinburgh, 1956), 3, 8-9.
9
Cristina Enguita Fernàndez, “Managing Ethnicity through the Body: Tattoo and Facial
Scarification Ethnography among the Cameroon’s Mbororo” dalam Scientific Journal of
Humanistic Studies Volume 6 Issue 10 (March 2014), 4-5.

17

itu sebabnya tubuh dapat digunakan sebagai situs untuk mempertunjukkan diri
dalam usaha untuk menghadirkan diri di hadapan orang lain.
Tubuh, meskipun demikian, bukanlah semata “lokasi” fisik dimana
masyarakat menggambarkan pengaruh-pengaruhnya, melainkan “sumber” materi
hubungan dan kategori sosial, dan “alat” sensual yang melaluinya orang-orang
terikat pada atau tersisihkan dari bentuk sosial.10 Masyarakat ada sebelum
kelahiran setiap generasi baru, dan pola-pola dominan institusi dan relasi sosial
mendesak pengaruh yang tak terelakkan pada perkembangan subjek-subjek yang
terkandung di dalamnya.11 Hal ini yang Durkheim coba analisis dalam upaya
mendirikan proses fundamental pengaturan konstitusi seluruh masyarakat, yakni
bahwa ia melihat tubuh sebagai “lokasi” terbaik bagi masyarakat. Secara khusus,
moralitas biasa yang mengubah sekumpulan orang menjadi suatu masyarakat,

bagi Durkheim, terekspresikan melalui rangka simbolis yang tidak hanya
membentuk kesadaran dan hati nurani para anggotanya, melainkan juga bagian
luar dari tubuh mereka. Hal tersebut muncul ketika nilai-nilai sosial
mempengaruhi ukuran fisik, bentuk dan rupa populasi sosial.
Durkheim melihat tubuh sebagai lokasi yang dikelilingi oleh serangkaian
kesan dan larangan totemis yang mencari gabungan aturan moral masyarakat
dengan menetapkan bagaimana orang-orang berhubungan dengan topografi dan
melihat daging (tubuh) mereka sendiri dan daging (tubuh) setiap generasi baru.12
Gambar yang tercap pada daging tubuh merupakan cara representasi terpenting

10

John Evans, Brian Davies, Jan Wright (Penyunting), Body Knowledge and Control:
Studies in the Sociology of Physical Education and Health (London and New York: Routledge
Taylor and Francis Group, 2005), xvii.
11
Evans, Davies, Wright (Penyunting), Body Knowledge, xvii.
12
Emile Durkheim, The Elementary Forms of Religious Life (New York: The Free
Press, 1995), 124-138.


18

yang ada, sebab tubuh berbagi dalam kehidupan biasa, yang di dalamnya orangorang diarahkan secara insting, untuk melukiskan maupun memberi cap pada
tubuh mereka apa yang mengingatkan mereka akan kehidupan.13 Cap atau gambar
pada tubuh yang dimaksud oleh Durkheim dalam hal ini peneliti pahami sebagai
tanda kesukuan semacam tato dan skarifikasi. Fitur dasar norma-norma
kebudayaan tersebut mengangkat identitas dan kepemilikan terhadap anggota
kelompok atau suku. Penggunaannya sebagai bagian dari norma yang diaturkan
ialah sebagai identitas dan ingatan terhadap pengalaman kehidupan yang telah
dilalui oleh masing-masing pribadi. Tubuh, dalam hal ini, menjadi media untuk
menyampaikan cerita kepada orang lain.
Orang-orang adalah tubuh. Setiap orang menghuni tubuhnya sendiri dan
berhubungan dengan orang lain melalui tubuh mereka. Melihat tubuh sebagai
objek pertama individual dan paling alami akan menolong untuk tiba pada cara
orang-orang paham bagaimana menggunakan tubuh mereka dari masyarakat yang
satu ke masyarakat yang lain.14 Pemikiran tentang tubuh, kemudian berkembang
menjadi dua yaitu diri dan masyarakat, yang kadang-kadang menyatu karena
begitu dekat, terkadang juga jauh berpisah, yang memunculkan penjabaran
makna.
Setiap simbol alamiah yang berasal dari tubuh, memuat pemaknaan
sosial dan setiap budaya membuat seleksinya sendiri dari wilayah simbolisme
tubuh, yang terkait dengan tubuh secara sosial, bukan secara fisik. Eksplorasi
mengenai donasi permukaan tubuh untuk tato dalam penelitian ini akan

13

Durkheim, The Elementary Forms, 223.
Chris Shilling, “Afterword: Body Work and the Sociological Tradition” dalam Julia
Twigg, Carol Wolkowitz, dkk. (Penyunting), Body Work in Health and Social Care: Critical
Themes, New Agendas (United Kingdom: Wiley-Blackwell, 2011), 164.
14

19

mengantarkan kepada pemahaman bagaimana tubuh telah dianggap sebagai objek
fisik dan konstruksi sosial, yang dapat terlihat pada peran sentral tubuh dalam
mediasi hubungan sosial, dan bagaimana orang menanggapi tubuh yang hidup dan
mati (mayat) secara historis dan kultural tertentu.

2.2.2

Modifikasi Tubuh

Manusia menjalani perubahan secara fisik sebagai bagian menjadi dan
bersama dengan tubuh lain dalam dunia materi dan sosial.15 Tubuh, sebagai suatu
kesatuan budaya dan biologis yang lahir secara serempak, dengan seketika
mengalah pada proses modifikasi saat kelahiran, berakhir ketika kebekuan saraf di
tubuh yang gemuk akhirnya tersingkap. Sepanjang rangkaian kehidupan, tubuh
berkembang, misalnya dalam tinggi, massa otot, dan ketangkasan mental dan
fisik, dan merosot tanpa bisa diacuhkan, menderita luka, mengalami kerusakan tak
terduga dan kegagalan fungsi.
Praktek modifikasi tubuh biasanya dicirikan sebagai tindakan dimana
seseorang

memainkan

peran

perantara

dalam

perubahan

jasmaninya.16

Pengalaman dan proses secara fisik, seperti penuaan, penyakit, dan kematian
dirasakan sama di manapun, namun pemahaman terhadap pengalaman dan proses
tersebut bergantung pada diri pribadi masing-masing dan konteks budaya di mana
seseorang tinggal. Di negara Barat misalnya, orang-orang dipandang sebagai yang
bertanggung jawab atas apa yang terjadi terhadap tubuhnya masing-masing,
secara khusus berkaitan dengan kesehatan dan pengindahan. Sedikit banyaknya,

15
Mary Kosut, “Tattoos and Body Modification” dalam International Encyclopedia of
the Social and Behavioral Sciences 2nd Edition Volume 24 (2015), 32.
16
Will Johncock, “Modifying the Modifier: Body Modification as Social Incarnation”
dalam Journal for the Theory of Social Behaviour Volume 42 Issue 3 (September 2012), 241.

20

semua orang diharapkan berpartisipasi dalam modifikasi dan persembahan tubuh,
tanpa memperhatikan akses kepada sumber dan tingkatan kesempatan, terutama di
negara-negara modern secara teknologi dan makmur.17 Proses tersebut dijalani
demi membangun sebuah penampilan yang menarik dari tubuh dan dapat
menghadirkan kedirian masing-masing pribadi.
Demi menunjukkan identitas dirinya, menurut Shilling, orang-orang
terlibat dalam berbagai “proyek tubuh” yang mengusahakan konstruksi pribadi
untuk kepentingan kesehatan dan keindahan tubuh.18 Bagi orang-orang yang
berkeinginan untuk perubahan telah benar-benar terwujud dalam daging mereka
sendiri, tubuh mereka menjadi layar yang melaluinya budaya dapat melihat atau
jatuh untuk melihat budaya itu sendiri tercermin. Wegenstein menemukan bahwa
orang-orang

yang

dikelilingi

oleh

tubuh-tubuh

hasil

make-over

dapat

menghasilkan keinginan bagi seseorang untuk melakukan hal yang sama namun
juga menghasilkan tatapan yang melingkar, yakni “aku melihat diriku dalam
tubuh orang lain, dan tubuh-tubuh orang lain memberitahuku bagaimana
penampilanku”.19 Wegenstein menyebut tatapan itu sebagai ‘tatapan kosmetik’
yang melaluinya tindakan melihat tubuh orang sendiri dan tubuh orang lain
diinformasikan melalui teknik, ekspektasi, dan strategi modifikasi tubuh. Ada juga
tatapan bermoral, yakni sebuah cara melihat tubuh selayaknya menanti
penyempurnaan spiritual dan fisik yang hadir dalam struktur tubuh sebagai
kekurangan atau kebutuhan. Seseorang harus menghendaki yang terbaik untuk
dirinya, baik di dalam maupun di luar.

Kosut, “Tattoos and Body, 32.
Chris Shilling, The Body and Social Theory (London: Sage Publications, 2003), 4-5.
19
Bernadette Wegenstein, The Cosmetic Gaze: Body Modification and the Construction
of Beauty (London: MIT Press, 2012), 2.
17

18

21

Lebih jauh lagi, Lemma, dalam penelitiannya terhadap seorang laki-laki
yang menggambarkan masa-masa traumatis dalam kehidupannya dengan banyak
tato, menemukan adanya ketergantungan antara seseorang dengan orang lain yang
mendorongnya untuk melakukan modifikasi tubuh dalam rangka untuk dapat
diterima. Bentuk dari sebuah modifikasi tubuh semakin kompulsif dan ekstrim
merefleksikan kesulitan dalam mengintegrasikan kenyataan hidup yang paling
mendasar, yakni bahwa manusia tidak bisa melahirkan dirinya sendiri. Ini benarbenar dirasakan oleh tubuh.20 Seseorang akan melihat ke dalam bagaimana orang
lain menatap dirinya, sehingga ia akan melakukan modifikasi tubuh demi
menyesuaikan dengan bagaimana orang lain ingin melihatnya.
Setiap orang berinteraksi dengan orang lain di dalam tubuhnya.
Penampilan saat menghadirkan diri di tengah-tengah orang lain sangat
mempengaruhi besarnya kemungkinan penerimaan terhadap diri orang tersebut.
Hal ini pula yang mendorong orang-orang untuk melakukan modifikasi tubuh
ketika dirasa bahwa dirinya kurang diterima, atau demi penerimaan yang lebih
besar. Memang tidak dapat dipungkiri bahwa ketika orang lain melihat kehadiran
seseorang, maka tatapan yang diungkapkan kurang lebih merupakan tatapan
kosmetik. Jika seseorang kurang menarik, maka penerimaan terhadap dirinya pun
seringkali kurang.
Perasaan diinginkan itu, menurut Turner, ialah alami sebab pada
dasarnya manusia seringkali memiliki kebutuhan dan itu karena manusia memiliki
tubuh. Kebutuhan seperti makan dan minum, juga tidur menjadi bagian mendasar
dari tubuh karena sistem organiknya. Di dalam filosofi sosial, kebutuhan tubuh
20

Alessandra Lemma, Under the Skin: A Psychoanalytic Study of Body Modification
(London dan New York: Routledge Taylor and Francis Group, 2010), 3-4.

22

yang secara terbuka bukanlah kebutuhan fisik, melainkan persahabatan atau relasi
dan menghormati diri.21 Hal senada juga ditemukan oleh Atkinson dalam
penelitiannya mengenai modifikasi tubuh, yakni bahwa mengembangkan
penampilan tubuh yang lebih baik itu merupakan kendaraan menuju perolehan
pengakuan, kekaguman, dan keterlibatan di dalam kelompok yang dikenal secara
menguntungkan.22 Tubuh diharapkan dapat lebih diterima dalam setiap interaksi
sosial, sehingga keinginan tersebut diteruskan pada kognisi, yang menjadikan
‘pengembangan’ tubuh tersebut sebagai sebuah kesadaran diri dan keputusan
berwawasan luas. Objektifikasi sebagai sebuah keinginan dan konsekuensi
menjadi suatu elemen semacam keputusan.
Covino memahami hal tersebut di dalam tiga poin penting, yakni
pertama-tama bahwa kehinaan diri diciptakan dan didukung oleh imajiner
pembedahan estetis; kedua, bahwa keadaan kehinaan itu dicirikan dengan
keterasingan, proses kehinaan (membersihkan diri sendiri dari ke-tidak diinginkan) yang merupakan suatu tindakan orientasi untuk sebuah penyambutan
komunitas yang dihuni oleh tubuh-tubuh pantas dan bersih. Ketiga, imajiner
pembedahan estetis menggambarkan tubuh yang dikembangkan sebagai sebuah
kebutuhan demi integrasi komunal, sekalipun integrasi tersebut bersikeras bahwa
pasien pembedahan estetis merupakan perantara otonomi.23 Itu sebabnya,
pemberian diri untuk terlibat di dalam industri estetis menuntut kehendak cerdas
dan berwawasan demi identifikasi dan komunitas, dengan menunjukkan harapan
21

Bryan S. Turner, The Body and Society-Third Edition (Los Angeles: Sage
Publications, 2008), 17.
22
Michael Atkinson, “Tattooing and Civilizing Processes: Body Modification as Selfcontrol” dalam Canadian Review of Sociology/ Revuecanadienne de sociologie Volume 41 Issue 2
(May 2004), 133.
23
Deborah Caslav Covino, Amending the Abject Body: Aesthetic Ma keovers in
Medicine and Culture (Albany: State Universityof New York, 2004), 13, 15.

23

akan tubuh-tubuh sempurna yang cocok dengan intelektual, emosional, dan
spiritual diri.
Modifikasi tubuh, dalam hal untuk dapat diterima di dalam interaksi
dengan tubuh-tubuh lain tersebut, berputar baik di sekitar bidang biologis,
teknologi-medis,

maupun

antar

perseorangan,

dimana

orang-orang

mengadopsinya untuk memperoleh kembali tubuh-tubuh yang trauma oleh karena
penyakit-penyakit traumatis semacam AIDS, kanker, dan penyakit patologis lain
yang kronis. Tubuh dimodifikasi sebagai upaya pertahanan ataupun tanggapan
pencegahan terhadap penyakit-penyakit traumatis tersebut.24 Modifikasi tubuh,
dengan demikian, menjadi bagian dari sifat dasar kedua dari seseorang, sebuah
tanggapan yang dipelajari untuk penyakit dan sebuah taktik untuk pulih dari tubuh
yang rusak.
Persepsi-persepsi sosial seringkali dirasakan oleh individu sebagai satu
proses dan bentuk tekanan-tekanan yang mengharuskan seseorang untuk berbuat
sesuatu. Proses menghadapi tekanan-tekanan itu umumnya dihadapi dengan
strategi-strategi tertentu agar manusia dapat hidup di dalamnya, salah satunya
ialah modifikasi tubuh, yang memang sering dimaksudkan untuk mempercantik
diri atau memberi kesan menarik pada tubuh. Proses pembedahan estetis menjadi
pilihan bagi beberapa orang, namun tidak sedikit juga memilih skarifikasi, tato,
dan tindik sebagai media memperindah diri. Semua cara tersebut, sekalipun
beresiko, mengarah pada satu syarat, yakni dapat diterima selama seseorang
berusaha untuk terlihat lebih baik, yang disesuaikan dengan kehendak bebas dari
si pemilik tubuh. Tampil menarik sebaiknya mempertimbangkan kesehatan
24

Michael Atkinson, Tattooed: The Sociogenesis of a Body Art (Toronto Buffalo
London: University of Toronto Press, 2003), 14.

24

sebagai sebuah opsi dan ekspektasi bagi tiap-tiap orang sebab teknologi dan setiap
layanan modifikasi tersebut ada untuk menopang integritas biologi tubuh.

2.2.3

Tato sebagai Modifikasi Tubuh

Kulit, kanvas dimana melaluinya perbedaan-perbedaan manusia dapat
ditulis dan dibaca, telah menjadi sebuah topik menarik yang berkelanjutan dalam
antropologi dan disiplin ilmu lainnya yang berkaitan mulai dari deskripsi mulamula orang-orang aneh hingga teori postmodern mengenai tubuh dalam
masyarakat kontemporer. Kulit, sebagai cara yang dapat dilihat dalam hal
melukiskan identitas pribadi dan perbedaan budaya, bukanlah semata sebuah
kesenangan yang sangat ditekuni di banyak kebudayaan, melainkan juga menjadi
pembicaraan yang diminati oleh para sarjana ilmu sosial dan kemanusiaan.25
Secara perspektif antropologis dan historis, dapat diperdebatkan bahwa di mana
ada kulit dan peluang, di sana akan ditemukan tubuh bertato.
Tato merupakan sebuah luka tusukan yang masuk ke dalam kulit dan
diisi dengan tinta. Seseorang harus melalui proses kulitnya ditembus dengan
jarum. Seniman tato, atau pembuat tato menggunakan mesin tato untuk menembus
kulit dengan jarum dan memasukkan tinta ke area kulit yang ditembus tersebut,
menggambarkan sketsa yang diinginkan klien. Tinta masuk melewati lapisan
epidermis, lapisan teratas dari kulit, ke dalam lapisan dermis, lapisan kedua yang
merupakan terdalam dari kulit. Tato menjadi permanen karena sel lapisan dermis
stabil. Jika sang seniman tato tidak mencapai lapisan dermis, maka pekerjaannya
akan menghasilkan tato yang kelihatan kasar dan tidak rata, sementara jika
Enid Schildkrout, “Inscribing the Body” dalam Annual Review of Anthropology
Volume 33 (2004), 319.
25

25

mencapai terlalu dalam, maka akan menghasilkan pendarahan dan rasa sakit yang
besar.26 Dapat dikatakan bahwa keberhasilan sebuah proses menato tubuh sangat
bergantung pada seniman tatonya. Setiap orang yang menginginkan sebuah tato
perlu meyakinkan kecakapan dari sang seniman.
Beberapa orang tidak memiliki keberanian untuk melakukan tato karena
takut melukai dirinya sehingga memberikan trauma terhadap kulitnya. Tidak
sedikit pula yang justru lebih berani mengambil resiko body painting, yakni
semacam tato yang bukan permanen, demi mengalami tato pada kulitnya namun
tanpa rasa sakit saat pengaplikasiannya. Praktek tersebut biasanya menggunakan
pewarna rambut bubuk, yang jika tidak sesuai dengan kulit yang menerimanya
akan dapat mengakibatkan peradangan dimana kulit melepuh dan akhirnya
terluka. Hal ini terkesan menggelikan, yakni bahwa mereka tidak menginginkan
tato namun mencoba ‘tiruannya’ yang juga beresiko menimbulkan rasa sakit yang
besar. Tato, bagaimanapun, ialah ketika gambar yang diguratkan pada kulit
menjadi permanen.
Pertatoan, sejak awal tahun 1990-an, telah berbunga sebagai proyek
tubuh yang populer, meningkat dari sekedar praktek kebudayaan subkultur
marjinal yang hanya diketahui dan dipahami oleh beberapa orang tertentu saja
hingga menjadi sesuatu yang diadopsi secara aktif oleh gabungan orang-orang
dari latar belakang sosial berbeda-beda.27 Sebuah penelitian seorang Italia pada
tahun 2010, misalnya, yang dimasukkan di dalam National Library of Medicine

26
Leanne Currie-McGhee, Tattoos, Body Piercings, and Health (United States:
Reference Point Press, 2014), 11.
27
Atkinson, Tattooed: The Sociogenesis, 20.

26

Amerika, menemukan bahwa 4 persen orang dewasa Italia menggunakan tato.28
Di Amerika, survei pada tahun 2012 menemukan bahwa ada sekitar 21% orang
dewasa memiliki setidaknya satu gambar tato di tubuhnya.29 Banyak ilmuan sosial
yang menggali tentang alasan tato begitu populer di Barat pada akhir abad ke-20
dan awal abad ke-21. Jawabannya beragam, antara lain bahwa tato semakin
diterima secara sosial, tato merupakan alat untuk menggambarkan kepribadian,
tato merupakan suatu cara untuk menampilkan keanggotaan sosial maupun
politik, dan yang paling komprehensif ialah bahwa tato itu efektif. Tato sangat
fungsional pada tingkatan mikro dan makro sosial.30 Tato merupakan bentuk
modifikasi tubuh permanen yang tertua dan terluas penggunaannya.
Di dalam konteks budaya, menurut Kosut, tato mungkin dilihat dan
dialami secara positif, namun ada orang-orang lain yang nampaknya akan selalu
berpikir rendah terhadap tato, bukan sebagai modifikasi tubuh melainkan sebagai
mutilasi tubuh. Istilah terdahulu “modifikasi” menunjukkan bahwa seseorang
terlibat dalam karya diri atau tubuh yang beralasan untuk batas tertentu.
Sementara istilah “mutilasi” menunjukkan sebuah perilaku yang berhubungan
dengan penyakit fisik maupun mental dan penderitaan.31 Menurut Pitts menandai
tubuh, baik tato maupun skarifikasi, dibaca sebagai pesan berbahaya yang
menyatakan esensi diri pribadi individual, khususnya kesehatan mentalnya, yang
seringnya dilihat sebagai penggolongan gangguan kepribadian, depresi, atau

28

Leanne Currie-McGhee, Tattoos, Body Piercings, and Teens (United States:
Reference Point Press, 2014), 8-9.
29
Kris Hirschmann, Tattoos, Body Piercings, and Art (United States: Reference Point
Press, 2014), 6.
30
Kosut, “Tattoos and Body”, 32.
31
Kosut, “Tattoos and Body”, 32.

27

masalah psikologis lainnya.32 Orang-orang yang tidak memiliki kesehatan mental
yang baik cenderung dianggap mudah untuk melukai dirinya sendiri, itu sebabnya
tidak sedikit yang memandang orang-orang bertato sebagai orang yang memiliki
riwayat gangguan psikologis.
Wohlrab dan rekan-rekannya, akan tetapi menemukan hal yang
bertentangan dengan temuan Pitts tersebut. Mereka menemukan bahwa karakter
bertato dinilai lebih sehat dan secara fisik lebih memikat dibandingkan dengan
karakter yang tidak bertato.33 Hal tersebut dikarenakan modifikasi secara umum
diyakini meningkatkan daya tarik dan daya tarik menunjukkan kualitas pasangan.
Peningkatan daya tarik fisik melalui modifikasi tubuh, seperti tato, merupakan
bukti dalam sebuah jangkauan luas kebudayaan dan belakangan telah menjadi
populer di kalangan masyarakat Barat.
Modifikasi tubuh, bagaimanapun, menyesuaikan terhadap tujuan
pemakaiannya, yakni karena alasan medis, yang mungkin saja untuk menutupi
kekurangan karena bekas luka atau operasi, dan dapat juga karena alasan non
medis, yakni untuk meningkatkan kepercayaan diri dalam memikat lawan jenis
atau menjadi yang unggul di antara sesama jenis kelamin. Pertatoan modern
berkembang kontradiktif dalam zaman sekarang dan menjadi populer dalam
mimbar media utama, sekalipun dalam waktu yang sama pula dianggap sebagai
yang tidak dapat diterima, jika tidak sebagai kategori yang berbahaya.
Tato, dalam budaya kontemporer Barat, memiliki sejumlah makna dan
dikondisikan di dalam jangkauan konteks sosial yang luas. Motivasi pribadi untuk

32

Pitts, In the Flesh, 25.
Silke Wohlrab, Bernhard Fink, Peter M. Kappeler, Gayle Brewer, “Perception of
Human Body Modification” dalam Personality and Individual Differences Volume 46 Issue 2
(2009), 203.
33

28

mendapatkan tato bervariasi secara luar biasa, dan kelas sosial, gender, ras,
seksualitas, profesi kerja, usia, dan lokasi geografis mungkin mempengaruhi
pengalaman dan pemilihan tato. Praktek tato lintas budaya tertentu menegaskan
ketidakstabilan dan sifat dapat ditempa dari tubuh dalam budaya konsumer
kontemporer yang diambil untuk diberikan agar mereka dengan tingkat ekonomi
modal akan dapat terlibat dalam beberapa macam tindakan atas tubuh atau diri
demi pemeliharaan, perbaikan, kesehatan, kecantikan, dan tuntutan awet muda.
Peningkatan dalam popularitas tato bertepatan dengan meningkatnya
popularitas bentuk-bentuk lain dari modifikasi tubuh. Pada akhirnya, tubuh yang
membebaskan diri, yang modern, dipahami sebagai suatu situs transformasi dan
penyesuaian yang potensial, entah melalui rezim-rezim makanan dan ritual
kecantikan, ataupun sebagai tato yang lebih non-normatif dan secara potensial
terlihat menjadi stigma. Tubuh bukanlah objek yang statis yang telah diberikan
kepada manusia,34 melainkan sebuah perantara yang fleksibel dan dapat diubah
sehingga manusia dapat mengolah lagi dan secara potensial menciptakan kembali
ke dalam suatu bentuk yang lebih fungsional dan menarik.
Bertolak dari ketaatan terhadap modifikasi tubuh sebagai suatu proses
dari konstruksi identitas pribadi tersebut, Atkinson memandang itu sebagai tiang
pondasi lain yang di atasnya usaha penelitian terhadap proyek tubuh sebaiknya
dibangun. Mengingat litani teknik modifikasi tubuh yang tersedia, perlu untuk
mempertanyakan kapan dan mengapa seseorang memilih untuk mengubah sebuah
aktivitas jasmani di dalam proses penciptaan-diri, redefinisi, dan representasi.35
Menggunakan tubuh untuk menandakan dan menampilkan identitas merupakan
34
35

Kosut, “Tattoos and Body”, 32.
Atkinson, Tattooed: The Sociogenesis, 21.

29

aktivitas dasar dalam proses komunikasi-sosial, dan semacam pengakuan
mungkin menjadi titik keberangkatan dalam pengkajiannya terhadap tato.36
Proyek modifikasi tubuh semacam menato dilihat sebagai sumber konstruksi
identitas karena poyek tersebut menegaskan maksud seseorang untuk menjadi
bebas dan berbeda, atau karena proyek tersebut dilakukan untuk alasan yang
sangat pribadi.
Tato, bagaimana pun juga sebaiknya tidak dibungkal bersama bentukbentuk ekspresi sartorial dan trendi sesaat, sebab tindakan memberi diri untuk
ditato biasanya meliputi tiga tahapan yang berbeda variasi panjangnya, yakni
sebelum perencanaan, penerimaan tato, dan proses pemulihan dan perawatan
sesudah.37 Terlebih bahwa perilaku menato dapat dilihat sebagai sebuah upaya
untuk mengenalkan sebuah subkultur, yakni dalam mana orang-orang bertato
telah sedang menciptakan tubuh yang menggambarkan diri mereka terhadap
orang-orang lain di sekitarnya,38 bukan berarti bahwa menato merupakan sebuah
gerakan primitif yang modern.39 Menato tetaplah merupakan sebuah tindakan
modifikasi tubuh yang eksotis. Seni tato dalam karya tubuh memberikan sebuah
dimensi keindahan dan menarik banyak orang.

36

Atkinson, Tattooed: The Sociogenesis, 21. Jung Mee Mun, Kristy A. Janigo, dan Kim
K.P. Johnson, “Tattoo and The Self” dalam Clothing and Textiles Research Journal Volume 30
Issue 2 (2012), 135-136.
37
Atkinson, Tattooed: The Sociogenesis, 33.
38
Ken Gelder, Subcultures: Cultural Histories and Social Practice (New York:
Routledge, 2007), 122.
39
Matt Lodder, “The Myths of Modern Primitivism” dalam European Journal of
American Culture Volume 30 Issue 2 (Agustus 2011), 105, 109.

30

2.3 Pengertian dan Sejarah Perkembangan Tato
2.3.1

Sejarah Istilah Tato

Istilah “tato” (Ind.) yang diadaptasi dari istilah tattoo (Eng.) dibentuk
dari istilah tatau yang muncul dalam bahasa-bahasa Samoa, Tahiti, dan Tonga40,
yang berarti “menandai sesuatu” namun juga memiliki pertalian dengan istilah
Polinesia ta , artinya “mencoreng sesuatu”.41 Pengalihbahasaan istilah inilah yang
membentuk kata tattoo dalam Bahasa Inggris sebagaimana istilah Tätowierung
dalam Bahasa Jerman dan istilah tatouage dalam Bahasa Prancis, namun tatau
dalam Bahasa Samoa digunakan untuk menunjukkan bentuk tunggal dan jamak.42
Tato dapat dipahami sebagai tanda atau suratan yang diguratkan ke dalam kulit.
Tato merupakan sebuah seni yang sangat canggih dari orang-orang
Polinesia kuno yang telah disebarkan dan ditiru secara luas di seluruh dunia. Bagi
orang-orang Polinesia, tubuh menjadi kanvas keramat. Tato tradisional orangorang Polinesia menggunakan sisir jarum yang tajam terbuat dari tulang-tulang
dan cangkang kerang untuk menusuk kulit dengan bahan celupan alami, seperti
jelaga dari buah kemiri yang dibakar. Prajurit Polinesia menyelimuti diri mereka
dengan tato-tato, bahkan hingga kelopak mata dan lidah, demi memberi kesan
galak. Laki-laki dan perempuan pun menggunakan tato untuk menunjukkan status
40

Tahiti adalah sebuah pulau Polinesia yang kadang-kadang ditempati oleh penduduk
Tonga dan Samoa selama millenium pertama Masehi. Pertama kali ditemukan oleh penjelajah
Inggris, Samuel Wallis pada tahun 1767, dan dikunjungi oleh Kapten James Cook dalam pelayaran
keduanya pada tahun 1774. Awak kapal Cook sempat mencatat dan menggambarkan gambargambar pertama dari gaya-gaya tato penduduk, juga membawa pulang seorang Tahiti bertato yang
bernama Omai untuk diperlihatkan di Eropa. Perjalanan pertama Cook ke Tahiti juga terkemuka
karena dari perjalanan inilah orang-orang Barat pertama kali terbuka terhadap kata Bahasa Tahiti
tatau, yang kemudian menjadi kata Bahasa Inggris tattoo . Margo DeMello, Encyclopedia of Body
Adornment (London: Greenwood Press, 2007), 255.
41
Charles Taliaferro dan Mark Odden, Tattoos and The Tattooing Arts in Perspective:
An Overview and Some Preliminary Observations dalam Robert Arp (Penyunting), Tattoos:
Philosophy for Everyone: I Ink therefore I am (United Kingdom: Wiley-Blackwell, 2012), 4.
42
Juniper Ellis, Tattooing The World: Pasific Designs in Print and Skin (New York:
Columbia University Press, 2008), 210.

31

mereka di masyarakat atau secara sederhana untuk menunjukkan bahwa mereka
telah diberkati oleh dewa.43 Tato sejak permulaan sejarahnya merujuk pada
lukisan yang diaplikasikan pada tubuh yang bertujuan sebagai tanda, yakni
kedudukan sosial, keberanian, dan pertanda diberkati oleh dewa. Hal tersebut pun
ditemukan oleh Kapten James Cook dalam pelayarannya ke Polinesia.
Catatan jurnal Kapten Cook menandakan awal dari sejarah modern tato.
Kapten Cook menuliskan tentang keikutsertaan orang-orang Tahiti dalam praktek
menato. Baik laki-laki maupun perempuan melukis tubuhnya dengan apa yang di
dalam bahasa mereka disebut tattow. Hal ini dilakukan dengan menatah warna
hitam di bawah kulit mereka, sedemikian rupa supaya menjadi tidak terhapuskan.
Perempuan secara umum memiliki gambar Z yang sederhana pada setiap tulang
sendi jari-jari tangan dan kaki, laki-laki pun demikian.44 Pengaplikasian tato
adalah dengan menggunakan bahan-bahan tradisional yang tentunya masih
dikerjakan secara manual (hand tapping). Desain-desain gambar yang dikenakan
adalah sesuai dengan tujuan yang hendak ditunjukkan sebagai tanda, sehingga
lewat desain gambar tersebut ada informasi yang didapat tentang seseorang yang
mengenakannya.
Metode tattowing mereka menggunakan suatu pigmen dari jelaga sebagai
warna, yang dipersiapkan dari “smoak”, sejenis kacang berminyak. Itulah yang
mereka gunakan, bukan lilin. Alat yang digunakan untuk menusukkannya ke
bawah kulit terbuat dari potongan tulang atau kulit atau kerang yang sangat tipis,
berukuran mulai dari seperempat inci ke satu inci dan setengah luas, dan setengah

43
Claire O’Neal, Polynesian Cultures in Perspective (United State: Mitchell Lane
Publishers, 2015), 50-51.
44
James Cook, Captain Cook’s Journal during The First Voyage Round The World
(H.M Bark Endeavour: A Literal Transcription of The Original MSS, 1768-71), 93.

32

panjang, tergantung tujuan penggunaannya. Salah satu ujung dipotong menjadi
gigi tajam, dan ujung lainnya dipasangkan sebuah pegangan. Bagian gigi
dicelupkan ke dalam cairan hitam, kemudian digerakkan dengan pukulan tajam
dan cepat pada pegangan dengan sebuah tongkat ke dalam kulit, begitu dalam
sehingga setiap coretan diikuti oleh sedikit darah. Bagian yang ditandai
meninggalkan luka hingga beberapa hari sebelum itu sembuh.45 Hal itu tentu saja
merupakan operasi yang menyakitkan karna peralatan dan prosesnya yang sangat
tradisional, dengan bahan yang sangat alami.
Pertatoan baru terkenal setelah penemuan Kapten Cook dalam
perjalanannya, dan nampaknya menato dan skarifikasi atau karya-karya kulit
memang telah menjadi bagian dalam masyarakat di daerah Pasifik. Orang-orang
Polinesia memang tidak mengawali seni menghias tubuh mereka dengan tandatanda permanen, namun karena penjelajahan orang-orang Eropa dan Amerika
pada abad kedelapan belas dan kesembilan belas, seni tersebut ditangkap dengan
kedatangan para pelaut, yang memperoleh tato di Polinesia, kemudian
mempopulerkannya ketika pulang.

2.3.2

Jejak Kuno Tato Pra Sejarah

Orang-orang Polinesia mula-mula membawa formula seni tersebut dan
desain orisinilnya bersama mereka dari tempat asalnya di Barat daya Pasifik, juga
Melanesia dan Austronesia (Asia Tenggara). Mereka tetap membawa seni
tersebut, di manapun mereka selanjutnya menetap di seluruh Pasifik, dan

45

Cook, Captain Cook’s Journal, 93.

33

dianggap sebagai ritus bagian budaya di antara penduduk pulau.46 Penemuan
terhadap serpihan-serpihan kecil dan alat-alat yang terbuat dari bebatuan kwarsa
dan obsidian sejak pertengahan hingga akhir periode Holosen situs-situs
arkeologis di Melanesia menunjukkan bahwa alat-alat tersebut memang
digunakan untuk menusuk dan memotong kulit halus. Kononenko, dalam
penelitiannya menemukan tentang penggunaan alat-alat tersebut untuk sebuah
karya-kulit di Melanesia.47 Menurutnya, menato dengan memotong dan menusuk
ke dalam kulit itu sudah menjadi sebuah aspek integral dari perilaku sosial
masyrakat di sekitar Pasifik.48 Rekaman historis dan etnografis menggambarkan
sumber data yang kaya terhadap penggunaan alat-alat batu bagi modifikasi kulit
manusia melalui penusukan dan pemotongan. Penggunaanya ditujukan untuk
pengobatan medis, menato, dan skarifikasi.
Distribusi alat-alat batu tersebut memungkinkan dua hal terjadi. Pertama,
praktek mula-mula skarifikasi dan tato pada tubuh manusia dengan memotong
mungkin berkembang setidaknya pada pertengahan Zaman Holosen, dan menjadi
salah satu fitur aktivitas sosial populasi lokal di Britania Baru Barat, misalnya,
dan mungkin saja di tempat-tempat lain. Kedua, menato dengan menusuk
nampaknya merupakan praktek yang paling banyak muncul di akhir zaman
tersebut. Kemudian teknik-teknik menato berubah seiring dengan munculnya
sistem sosial yang berbeda di Melanesia, begitu pula dengan alat-alat yang
digunakan.49 Penemuan tersebut membuktikan betapa tuanya aktivitas menato ini

46

Robert D. Craig, Handbook of Polynesian Mythology (California: ABC-CLIO, 2004),

245.

47
Nina Kononenko, “Middle and Late Holocene Skin-working Tools in Melanesia:
Tattooing and Scarification?” dalam Archaeology in Oceania Volume 47 Issue 1 (April 2012), 14.
48
Kononenko, “Middle and Late, 25.
49
Kononenko, “Middle and Late, 26.

34

dalam peradaban manusia. Tidak hanya penemuan alat-alat menato dan skarifikasi
itu saja, para arkeolog juga menemukan aktivitas-aktivitas lain yang dilakukan
oleh para nenek moyang yang merujuk pada kegiatan menato.
Ada beberapa mumi dan banyak barang-barang tembikar atau hasil
kerajinan tangan yang telah menampilkan tato sebagai kesehatan, kekuatan, dan
keindahan tubuh. Ketika Ötzi pertama kali diteliti, para arkeolog terkejut karena
mereka tidak pernah melihat tato-tato Zaman Tembaga sebelumnya, dan karena
teknik akupuntur sebagai pengobatan bagi derita tulang sendi, rematik, dan radang
sendi dikira berasal dari Asia lebih dari 2000 tahun kemudian. 50 Kulit dijadikan
kanvas yang pertama bagi seni. Kayu, batu, arang, dan alat semacam gigi
digunakan untuk menorehkan ide-ide estetis di dalam permukaan tubuh.
Kebiasaan

masyarakat

berbudaya

pada

zaman-zaman

lampau

tersebut

menampilkan berbagai tujuan yakni sebagai ungkapan seni, pengobatan, tanda
kekuatan dan identitas hidup, dan tanda kekuatan supranatural.
Arca-arca Zaman Batu, seperti Venus of Wilendorf, tidak bertanda, dan
torehan pada tubuh arca hanya muncul setelah permulaan Zaman Neolitikum,
yakni ketika keramik pertama kali dibuat dan dihias. Pada zaman tersebut, orangorang menggores pot-pot dengan mengambil titik yang tajam dan memotong
tanah liat. Jika pot merupakan sebuah metafor untuk tubuh, maka proses mengukir
tersebut dapat dianggap sebagai menato. Praktek seperti itu mungkin saja ada di
Zaman Batu, namun tidak ada bukti-bukti untuk pertatoan sebelum 7000 tahun
yang lalu. Kemungkinan hal itu hanya ada setelah pot pertama dihias, orang-orang
mulai bermaksud membuat perubahan permanen pada tampilan kulit mereka
Jarett A. Lobell dan Eric A. Powell, “Ancient Tattoos” dalam Archaeology Volume
66 Issue 6 (2013), 42.
50

35

sendiri.51 Tato dihadirkan sebagai sesuatu yang mirip dengan perhiasan atau
dandanan pada tubuh, namun berbeda dengan perhiasan, tato merupakan
perhiasan pribadi yang akan digunakan oleh si pemilik tubuh selamanya. Tato
memungkinkan untuk mewujudkan kekuatan seseorang.
Pada penduduk asli Amerika, banyak bukti mengenai tato datang dari
pot-pot keramik yang menyerupai kepala manusia bertato ditemukan. Bejanabejana tersebut seringnya dihias dengan motif-motif burung, yang nampaknya
berkaitan dengan Sang Manusia Burung, dewa yang menjamin adanya matahari
setiap hari dan melambangkan kemenangan hidup setelah kematian. Tato-tato
tersebut biasanya berbentuk bulu atau cakar hewan liar di sekitar mata. Mereka
menjadi ciptaan supranatural dengan menato diri dengan motif-motif burung.52
Para dukun dalam masyarakat Moche di Peru, dengan cara yang sama juga,
digambarkan dengan manusia berbentuk hewan, mungkin untuk menunjukkan
kemampuan mereka untuk merubah bentuk dalam keadaaan kesurupan.53 Barangbarang keramik peninggalan yang berhiaskan gambar-gambar yang menyerupai
tato tersebut kemudian dianggap sebagai representasi budaya pertatoan kuno,
karena jika masyarakat tersebut tidak pernah mengaplikasikan guratan-guratan
tersebut pada kulit tubuh mereka sendiri, maka pot-pot keramik tersebut, yang
umumnya menyerupai bentuk manusia, tidak akan dihias seperti itu.
Peradaban manusia pada zaman tersebut tidak hanya melibatkan tubuh
pada sebuah proyek modifikasi, namun juga menerapkannya pada produk-produk
tembikar hasil pekerjaan tangan mereka. Motif-motif yang menyerupai tato
tersebut menyimbolkan sebuah makna dan cerita dari kebudayaan mereka sendiri.
Lobell dan Powell, “Ancient Tattoos”, 41.
Lobell dan Powell, “Ancient Tattoos”, 46.
53
Lobell dan Powell, “Ancient Tattoos”, 44.
51
52

36

Tato-tato itu sendiri dimaksudkan untuk alasan estetis, baik untuk memperindah
tubuh maupun sebagai hiasan pada barang tembikar yang dihasilkan, sehingga di
dalam barang-barang tembikar tersebut terpatri cerita kehidupan budaya mereka.

2.3.3

Tato sebagai Budaya Universal

Sejarah mengungkapkan pertatoan sebagai praktek manusia yang
universal yang tidak hanya dilakukan oleh orang-orang Polinesia dan suku-suku
kuno di Benua Eropa dan Asia. Mereka mempraktekkan pertatoan, dengan
menghias tubuh mereka sendiri dengan desain abstrak dan mengembangkan
patung-patung ukiran. Hal menarik dari praktek tersebut adalah makna dari
praktek itu sendiri.
Mempersembahkan dan menghias tubuh merupakan aspek seni orangorang Polinesia dan Mikronesia. Tubuh itu sendiri dihias dengan tato dan pakaian
serta perhiasan merupakan hiasan kedua. Setiap kebudayaan memiliki gaya
sendiri dan setiap makna dan simbolisme yang berbeda.54 Tato menghormati
peristiwa-peristiwa khusus,55 seperti bagian ritus utama, kemenangan di
pertempuran, partisipasi dalam pesta besar, dan peringatan terhadap peristiwaperistiwa tersebut, dan juga menjadi penanda kedewasaan.
Tatau mengantarkan sebuah kendaraan ke dalam bahasa, dimana pola-

polanya menandakan status kendaraan tersebut sebagai pakaian untuk hidup.
Berpakaian

bukanlah

demi

menutupi

ketelanjangan

melainkan

untuk

menunjukkan bahwa seseorang siap untuk kehidupan, untuk kedewasaan dan
pelayanan bagi masyarakat, bahwa seseorang telah menang dari rasa sakit fisik
54
Adrienne L. Kaeppler, The Pacific Arts of Polynesia and Micronesia (New York:
Oxford University Press, 2008), 111.
55
Kaeppler, The Pacific Arts, 114.

37

dan siap untuk menghadapi tuntutan-tuntutan hidup, dan akhirnya menguasai yang
paling menuntut aktivitas yakni bahasa atau seni berpidato. 56 Menato menjadi
bagian dari sebuah proses yang lebih dari perorangan, dimana memiliki sebuah
tato adalah sebuah ‘cara hidup’ bagi mereka. Berbeda dengan sejarah pertatoan di
Mikronesia dan Polinesia, di Jepang dan di Cina, sejarah tato diawali dengan
penggunaannya untuk menandakan kaum budak dan para pelaku kriminal.
Di Jepang, tato digunakan sebagai tanda pengingat visual dari
superioritas Jepang terhadap kaum pedagang. Sekitar tahun 1790-an, pedagang
Ainu ditandai dengan garis hitam pada lengannya untuk menandakan bahwa ia
telah menerima secangkir saké di pos perdagangan. Hal tersebut merupakan
dorongan untuk mengumpulkan lebih banyak hasil tangkapan laut bagi
perdagangan Nagasaki.57 Tanda-tanda di lengan tersebut dapat dispekulasikan
sebagai sebuah tanda yang tidak manusiawi yang menempatkan Ainu pada posisi
yang lebih rendah terhadap rekan saudagarnya.
Di Cina, para penguasa zaman sebelum modern menggunakan tato
sebagai bentuk lanjutan dari hukuman badani. Mencap, mencoreng, menusuk dan
membuatnya menjadi gelap, mengukir karaker (aksara kata dalam Bahasa Cina),
menato teks, dan memberi pola pada tubuh. Misalnya untuk hukuman bagi
seorang perampok, maka aksara “perampokan” ditato pada pipi atau dahi si
perampok,58 hal tersebut cukup menyampaikan pesan terhadap masyarakat di
tempat-tempat umum, dan menjadi penghinaan yang ekstrim baginya kemana pun
ia pergi.
56
Ellis, Tattooing The World , 35 mengutip Albert Wendt, “Tatauing the Post-Colonial
Body” dalam SPAN (1996).
57
Brett L. Walker, The Conquest of Ainu Lands: Ecology and Culture in Japanese
Expansion, 1590-1800 (London: University of California Press, 2001), 95-96.
58
Lei, “The Blood-stained”, 103.

38

Fungsi tersebut, akan tetapi, mengalami perubahan pada zaman Dinasti
Song. Sejarah mencatat bahwa para tentara juga menggunakan tato. Berbeda
dengan tato yang dimaksudkan untuk menghukum, tato-tato tersebut justru untuk
menunjukkan kesetiaan dan keberanian. Salah satunya berupa slogan berbunyi,
“Dengan hati yang murni membela kerajaan” yang diguratkan di wajah mereka. 59
Itulah permulaan aksi menato teks di tubuh sebagai bentuk ekspresi kebajikan
Cina, kesetiaan, patriotisme, dan bakti.
Di Indonesia, kebudayaan tato banyak dikenal di dalam masyarakat
Mentawai dan Dayak. Tato dikerjakan dengan cara hand tapping, dan memiliki
keterkaitan dengan cara hidup. Di Mentawai, tato dikenal dengan istilah “titi”.
Schefold, dalam penelitiannya mengenai perburuan kepala di Pulau Siberut,
Mentawai, menemukan bahwa tato tidak ada hubungannya dengan ritus tertentu
ataupun aktivitas spesialis. Tato diperlakukan sebagai sumbangan kebudayaan
terhadap proses natural pertumbuhan kedewasaan tubuh seorang laki-laki ataupun
perempuan. Tato-tato tersebut juga mengandung pola-pola spesifik yang
berhubungan dengan perburuan kepala (kebiasaan ini telah lama ditinggalkan oleh
masyarakat Mentawai). Pemburu kepala yang berhasil digelari dengan sebuah
gambar tato menyerupai kodok pada perutnya, sebagai simbol dari korbannya dan
juga pola spiral tertentu di dahi dan bahunya. Selain itu, setiap anggota kelompok
pemburu kepala diberikan tato menyerupai manset yang melingkar pada
lengannya bagian bawah dan betisnya (mungkin ada hubungannya dengan fakta

59

Lei, “The Blood-stained”, 7,9.

39

bahwa tanda kenang-kenangan yang sering dibawa pulang mencakup bagian kaki
dan tangan).60
Berbeda dengan Schefold yang memahami tato sebagai simbol
kedewasaan laki-laki dan perempuan serta simbol keberhasilan dari kebiasaan
perburuan kepala zaman dulu, Durga yang merupakan seniman tato dari Indonesia
yang menekuni tato tradisional, memahami tato sebagai kekayaan yang dibawa
sampai mati. Makna tato bagi masyarakat Mentawai secara dalam dipahami oleh
Durga sebagai keselerasan antara kehidupan manusia dengan roh nenek moyang.
Desain-desain tato Mentawai tidak diciptakan untuk diaplikasikan pada
tubuh sebagai motif tunggal atau berdiri sendiri, melainkan dirancang secara
kontekstual untuk keseluruhan tubuh, yakni mulai dari wajah, leher, dada,
punggung, tulang rusuk, perut, tungkai dan lengan, tangan, jari-jari, pinggul,
pantat, paha, dan tulang kering. Desain dan motif-motif keseluruhannya tercipta
dari garis-garis, titik-titik, persilangan dan geometris lainnya, sebagaimana
bentuk-bentuk simetris yang sederhana, namun itu membentuk garis-garis tegas
melintasi tubuh dan sangat berhubungan dengan setiap bagian tubuh dan anatomi
manusia.61
Each motive and element of Mentawai tattoo has a strong correlation
with the way of living of the Mentawaian, its nature and animism
religion, which is called Arat Sabulungan. Arat: custom; Sabulungan: the
spirits that inhabit foliage; Bulu: leaf (symbol of nature